Mengawal dan Mengamankan Rencana Kota
4
Mengawal dan Mengamankan
Rencana Kota
Suhadi Hadiwinoto
Anggota Dewan Pakar Badan Pelestarian Pusaka Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Para perencana banyak yang merasa puas jika menghasilkan rencana yang baik
berdasarkan data dan pertimbangan yang matang. Banyak yang beranggapan
bahwa rencana yang disiapkan oleh kelompok-kerjanya akan dengan mulus
menjadi kenyataan yang bermanfaat bagi masyarakat. Tidak banyak yang
menyadari bahwa rencana yang baik dan lurus bisa saja kemudian menjadi
berbelok dan meleset jauh, bahwa suatu program bisa menguap dan raib tak
kunjung datang. Para perencana sering begitu asyik dengan perencanaannya dan
kurang memperhatikan upaya membangun mekanisme untuk mengawal tindak
lanjutnya. Memang tidak semua kewenangan ada pada perencana, tetapi
setidaknya perlu diupayakan bahwa pada setiap rencana penataan ruang selalu
terkandung di dalamnya gambaran bagaimana rencana itu akan dikoordinasikan,
dilaksanakan, serta diawasi dan dikendalikan. Saat ini peningkatan kualitas
perencanaan sering disoroti tetapi penguatan koordinasi dan pengendalian kurang
dibangun dengan sungguh-sungguh. Di samping itu perlu pula dikembangkan
pemikiran perencanaan yang komprehensif, tidak terbatas pada aspek fisik saja
tetapi dengan sungguh-sungguh menerjemahkan strategi ekonomi dan sosial
budaya ke dalam penataan ruang.
Kata kunci: perencanaan-rencana, mekanisme
pengendalian, strategi ekonomi dan sosial budaya.
4.1
pengawalan,
koordinasi,
LINTASAN PENGAMATAN
Tulisan ini bukan suatu kajian ilmiah melalui penelitian yang terencana dengan
segala proses dan prosedur yang harus dilewati, melainkan lebih merupakan hasil
pengamatan dan pengalaman yang tercatat dalam benak penulis. Untuk kemudahan
menggali ingatan, pengalaman, dan pengamatan tersebut diurutkan sesuai dengan
lintasan kerja penulis.
Pertama, di Pemda DKI (1968), tempat penulis bekerja di Dinas Pekerjaan Umum,
Bagian Pengembangan Kota. Waktu itu, kantor masih sangat sederhana, tenaga
perencana juga masih terbatas, tetapi ada Pak Rio dan Pak Rais di sana. Gubernur
Suhadi Perencanaan
Hadiwinoto, Mengawal
danBerdasar
Mengamankan
Kota
Suprayoga Hadi, Pemikiran
di Indonesia
CatatanRencana
Tahun 2004
77
Ali Sadikin melakukan banyak perbaikan internal dan eksternal. Pada tahun 1969
Pemda DKI meluncurkan program perbaikan kampung, suatu konsep revolusioner
yang kemudian diterapkan di banyak kota lain, bahkan kemudian juga
dikembangkan di beberapa Negara Asia. Waktu itu 70 % permukiman di Jakarta
dalam kondisi sangat buruk dan tidak mungkin selesai ditangani dengan proses
konvensional. Pemda DKI memutuskan untuk membangun dan memperbaiki
prasarana dan sarana mengikuti kondisi setempat pada kampung yang sebetulnya
dahulu berkembang tanpa perencanaan yang baik. Ini merupakan langkah darurat
yang berani, sambil mencoba berangsur-angsur mendekatkannya pada pola
perkembangan makro yang seharusnya. Pada tahun 1971 Bagian Perkembangan
Kota DPU ditingkatkan statusnya menjadi Dinas Tata Kota. Pada tahun 1974 fungsi
pengawasan dipisahkan dari fungsi perencanaan dan dibentuklah Dinas Pengawasan
Pembangunan Kota terpisah dari Dinas Tata Kota. Beberapa lembaga lain juga
ditegaskan fungsi dan kedudukannya. Pola transportasi, sentra-sentra, kawasan
industri, utilitas dan fasilitas umum dicoba dibenahi. Demikian juga kantor-kantor
Pemda berangsur mendapat tempat yang lebih layak. Salah satu hal yang patut
dicatat adalah selalu diupayakan peningkatan berimbang antara makro-mikro, besar
kecil, formal-informal, fisik-nonfisik, dan sebagainya.
Kedua, masih di Pemda DKI (1985), penulis mendapat tugas untuk mengelola
Bidang Fisik dan Prasarana, di Bappeda. Waktu itu merupakan periode yang sangat
dinamis dan menarik karena berbagai inovasi dapat dikembangkan. Diupayakan
koordinasi yang lebih baik antara berbagai sektor prasarana melalui IUIDP
(Integrated Urban Infrastructure Development Project). Demikian juga dalam
perbaikan kampung diupayakan integrasi antara penataan fisik, pengembangan
komunitas, dan pengembangan ekonomi lokal melalui kegiatan usaha kecil
informal. Pada awalnya konsep Tribina itu ditentang, karena pada masa sebelumnya
upaya integrasi ketiga sektor itu memang masih belum lazim dikembangkan secara
terpadu.
Ketiga, di World Bank Jakarta (1990-2003), tempat penulis mengelola Metropolitan
Environmental Improvement Program, lalu masuk di Environment and Social
Impact Unit, kemudian di Urban Development Sector melanjutkan bidang kegiatan
di Pemda DKI dulu. Di sini berkembang kesempatan untuk berdialog dengan
banyak ahli dari berbagai negara, membahas masalah aktual di Indonesia. Kami
juga berkesempatan mendampingi kota-kota di Indonesia menggarap pembangunan
kotanya. Banyak lessons learned yang dapat diserap dari pendampingan itu yang
akan sangat berguna jika kita dapat memanfaatkannya dengan baik.
Keempat, tahap yang masih berjalan sejak 2004, penulis aktif di LSM dan menjadi
anggota Board of Expert di Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) yang
bertujuan membantu dan memperkuat pelestarian pusaka alam dan pusaka budaya,
serta di Forum Permukiman yang mendorong pembangunan permukiman
masyarakat berpenghasilan rendah. Menarik sekali jika kita melihat perkembangan
kota selama 40 tahun lebih dari 3 sudut pandang yang berbeda, pertama dari sisi
birokrasi Pemerintah Daerah, kedua dari sisi lembaga internasional, dan ketiga dari
sisi lembaga non-pemerintah yang biasanya bersikap kritis. Jika kita dapat
memadukan dan mendayagunakan ketiga kekuatan itu akan banyak yang dapat kita
78 Menarik
Judul Buku
Pelajaran dari
50 TAHUN PERJALANAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA DI INDONESIA
perbuat dan kita capai. Tampaknya ketiga kekuatan itu sekarang masih berjalan
sendiri-sendiri menurut gaya masing-masing.
Lintasan perjalanan pekerjaan dan karir itulah yang memberikan pengalaman
yang dicatat di dalam kepala dan hati penulis. Tulisan ini merupakan sebagian kecil
saja yang penulis anggap penting dan relevan untuk disampaikan dalam rangkaian
tulisan tentang perencanaan dalam arti yang luas.
4.2
PENGENDALIAN PERKEMBANGAN KOTA
Satu hal yang paling menonjol dalam pengamatan selama lintasan pengalaman di
atas adalah bahwa berbagai produk perencanaan yang sudah disepakati, ditetapkan,
dan dijadikan Perda tampaknya banyak yang tidak terwujud sebagaimana mestinya.
Para perencana sudah membuang waktu dan tenaga untuk menyiapkannya dengan
berhati-hati tetapi dalam pelaksanaannya banyak terjadi penyimpangan. Ada lokasi
yang seharusnya menjadi jalur hijau ternyata berkembang menjadi kawasan
perumahan. Ada yang direncanakan sebagai kawasan hunian kemudian berkembang
menjadi kawasan komersial. Ada jalur-jalur yang sudah lama direncanakan untuk
trase jalan utama tetapi dalam beberapa tahun sudah dipenuhi dengan bangunan
besar dan kecil.
Ada rencana untuk membangun pusat transportasi, fasilitas olahraga, pusat
perdagangan, sentra primer, sentra sekunder, dan lain lain, tetapi rencana itu tak
kunjung dilaksanakan. Ada kebijakan untuk menangani permukiman kumuh tetapi
jumlah dan luas permukiman kumuh terus bertambah. Ada kebijakan untuk
mengembangkan sistem angkutan umum tetapi jumlah kendaraan pribadi
berkembang jauh lebih pesat lagi dan pembangunan prasarana yang menunjang
kendaraan pribadi jauh lebih pesat. Banyak kebijakan dan rencana yang bagus dan
sangat dibutuhkan oleh masyarakat, tetapi yang terjadi di lapangan jauh berbeda.
Mengapa hal itu dapat terjadi?
Perlu diakui bahwa kita sering tidak konsisten mematuhi kesepakatan dan peraturan
yang telah ditetapkan bersama. Perubahan dan penyesuaian sering dianggap sebagai
sesuatu yang wajar dan normal. Biasanya perubahan diusulkan dengan alasan untuk
menyesuaikan dengan perkembangan terkini. Jika yang berubah adalah detail kecil
pada tingkat mikro dan perubahannya adalah untuk kepentingan masyarakat luas,
barangkali itu tidak menjadi soal. Tetapi jika yang diubah-ubah adalah suatu bagian
strategis pada RTRW tentunya kita harus sangat berhati-hati. Beberapa pihak
mengubah ketentuan dan rencana yang telah ditetapkan. Kadang-kadang ini
dilakukan justru oleh mereka yang seharusnya mengawal pelaksanaan rencana kota.
Memang di dunia ini tidak ada sesuatu yang mutlak abadi. Kehidupan selalu
berkembang dan kota juga terus berkembang. Bahwa kota memerlukan dinamika
dan perubahan, itu pasti, tetapi tidak berarti bahwa semua unsur lalu boleh diubah
seenaknya untuk kepentingan suatu pihak tanpa memperhatikan kepentingan
masyarakat luas dan keberlanjutan perkembangan kota dalam jangka panjang.
Pertama, perlu dicermati apakah manfaat dan kerugian perubahan itu untuk
perseorangan atau masyarakat luas dan apakah penilaian itu sudah dilakukan secara
Suhadi Perencanaan
Hadiwinoto, Mengawal
danBerdasar
Mengamankan
Kota
Suprayoga Hadi, Pemikiran
di Indonesia
CatatanRencana
Tahun 2004
79
objektif. Kedua, ia harus diproses sesuai dengan ketentuan dan digarap secara
transparan. Ketiga, harus dilaporkan kepada atasan dan secara berkala dilaporkan
kepada Dewan. Perubahan atas ketetapan Peraturan Daerah harus mendapat
persetujuan Dewan.
Sejalan dengan pengetatan proses penyesuaian rencana perlu diperkuat mekanisme
pengawasan dan pengendalian di lapangan. Sebetulnya berbagai pelanggaran
bukannya tidak diketahui dan tidak diberi peringatan awal, tetapi banyak yang
prosesnya tidak dilanjutkan atau dituntaskan. Pengawasan internal perlu diperkuat
agar proses pengamatan, temuan pelanggaran, peringatan, dan penindakan
berlangsung dengan baik. Peran serta masyarakat untuk peduli dengan
lingkungannya dan turut mengawasi jika ada pelanggaran perlu digalakkan.
Sayangnya sebagian masyarakat sudah mulai apatis karena beberapa laporan yang
disampaikan kepada instansi yang berwenang tidak mendapat tanggapan
sebagaimana mestinya. Pemantauan pemrosesan keluhan, pengaduan, masukan, dan
usul-usul masyarakat masih memerlukan penguatan.
Kita lihat bahwa sistem pengawasan di berbagai sektor dan di berbagai tingkat saat
ini masih lemah. Bidang ini tampaknya belum menjadi prioritas perbaikan, padahal
berbagai upaya peningkatan kualitas perencanaan tidak akan membawa manfaat jika
pengawasan dan pengendalian tetap lemah seperti sekarang.
4.3
PELAKSANAAN PROGRAM PEMBANGUNAN
Jika dicermati berapa banyak dari rencana kota yang telah dapat diwujudkan akan
jelas terlihat bahwa banyak prasarana dan sarana yang telah direncanakan ternyata
belum dapat dilaksanakan. Banyak kawasan yang seharusnya sudah dikembangkan
ternyata belum terwujud, dan banyak yang seharusnya ditunda pengembangannya
ternyata sudah jauh berkembang sebelum waktunya. Pada akhir tahun 1960-an
dalam Rencana Induk Jakarta 1965-1985 telah tercantum rencana mass rapid transit
(MRT). Pada waktu itu Singapura belum menetapkan rencana pembangunan MRT
dalam rencana kotanya, tetapi beberapa tahun kemudian Singapura sudah
menetapkan dan melaksanakan jalur MRT, sementara di Jakarta sampai saat ini
rencanya masih terkatung-katung dan belum jelas kapan akan dilaksanakan.
Penyebaran sentra-sentra kurang selaras dengan kebutuhan. Sentra yang terbangun
lebih banyak mengikuti tersedianya tanah yang sudah dimiliki oleh developer dan
tidak terlalu mengikuti perhitungan dan strategi yang rasional. Untuk kawasan
strategis yang sangat perlu diremajakan di pusat kota yang mempunyai nilai lahan
sangat tinggi, pemerinah tidak proaktif mengadakan pembebasan lahan dan
menjalankan land banking dengan alasan tidak ada dana. Jelas bahwa penyiapan
lahan untuk peremajaan kawasan di pusat kota tidak akan merugi, tetapi untuk
mudahnya Pemda menyerahkannya kepada pengembang swasta tanpa arahan yang
jelas. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu badan yang kuat seperti Urban Renewal
Authority di berbagai negara sebagai alat untuk mengarahkan pengembangan secara
aktif.
80 Menarik
Judul Buku
Pelajaran dari
50 TAHUN PERJALANAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA DI INDONESIA
Suatu Rencana Induk, Rencana Struktur, RUTR, dan RTRW yang menargetkan
ruang dengan seluruh prasarana dan sarananya, seharusnya menjadi pemicu
(trigger) bagi rencana pembangunan dan pembiayaan tahunan. Kedua sisi ini sering
tidak terhubung dengan jelas, entah karena lupa atau karena tidak ingin terlalu
pusing. Dengan tidak terhubungnya kedua sisi ini rencana kota lebih sering
berfungsi sebagai daftar harapan atau daftar impian yang tidak jelas kapan akan
dapat diwujudkan, padahal rencana kota itu seharusnya menjadi daftar komitmen
yang disepakati untuk dicapai. Untuk prasarana makro mungkin pada awalnya
belum dapat dengan tegas disebutkan tahunnya, tetapi setidaknya perlu
digambarkan pada tahap mana prasarana itu diharapkan terwujud. Tanpa gambaran
besar ini pihak swasta akan ragu menanamkan modalnya dan masyarakat juga tidak
dapat mengharapkan perbaikan nasibnya.
Rencana jangka panjang, jangka menengah, dan rencana tahunan perlu diperjelas
kaitannya dan diteliti kesinambungan programnya. Secara normatif hal ini sudah
ditegaskan, tetapi dalam pelaksanaannya tidaklah semudah itu. Perlu diperkuat pula
sinergi lintas sektor pada tahap yang bersangkutan. Keterkaitan, kesinambungan dan
sinergi ini sulit dikembangkan jika pembahasan anggaran lebih terpusat pada tawar
menawar jumlah anggaran yang diperebutkan oleh masing-masing sektor. Tidak
banyak waktu tersedia untuk bahasan peningkatan sinergi dan capaian jangka
menengah serta jangka panjang. Masalah krusial jangka pendek selalu menyita
waktu pembahasan, dan ini mencerminkan tingkat pemikiran yang ‘short-sighted.’
Diperlukan gerakan yang mendorong birokrat dan masyarakat untuk lebih
meluangkan waktu bagi pemikiran jangka menengah dan jangka panjang.
Sementara itu rencana tahunan tidak boleh terfokus hanya pada proyek-proyek yang
populer dan ‘sexy’, perlu juga menggarap proyek yang mendesak (urgent) yang
tidak begitu populer tetapi sangat dibutuhkan untuk kehidupan kota. Komunikasi
perencanaan perlu dibuka lebih luas bersama masyarakat sehingga terbangun
pemahaman dan dukungan luas. Saat ini proses itu berlangsung sunyi-sepi sendiri
karena perbincangan luas dianggap membuang waktu dan merepotkan saja.
Demikian pula komunikasi dan kerjasama regional dengan Pemda di sekitarnya
perlu lebih dikembangkan karena banyak masalah yang tidak akan dapat
diselesaikan dalam batas administrasi daerah masing-masing.
Upaya pengembangan kerjasama besar seperti Jabodetabek lebih sering merupakan
formalitas dan belum secara efektif mempengaruhi arah perkembangan yang
diingini. Kerjasama besar sering diwarnai kekhawatiran daerah yang kecil bahwa
kebijakan pembangunannya akan didominasi oleh daerah induk yang jauh lebih
besar. Ini terjadi jika pendekatan kewenangan dan kekuasaan lebih menonjol
dibandingkan upaya membangun saling pengertian tentang masalah dan manfaat
bersama. Daerah induk yang lebih besar perlu lebih rajin bertandang dan menyulam
konsensus tentang potensi spesifik yang nyata dan tidak terlalu mengandalkan
statement politik yang samar dan meragukan. Agar dapat diterima dan didukung
oleh berbagai daerah terkait kerjasama itu harus didasarkan pada kesetaraan
antaranggota.
Suhadi Perencanaan
Hadiwinoto, Mengawal
danBerdasar
Mengamankan
Kota
Suprayoga Hadi, Pemikiran
di Indonesia
CatatanRencana
Tahun 2004
81
4.4
PERAN SERTA MASYARAKAT
Arus reformasi pada tahun 1998 membawa perubahan besar pada tatanan kehidupan
dan pembangunan di Indonesia termasuk sistem perencanaannya. Sejalan dengan
arus demokratisasi dan desentraliasi maka pada penataan ruang kota juga terjadi
beberapa perubahan. Penetapan rencana yang semula bernuansa top-down dengan
kecepatan penuh melaksanakan kebijakan dan keputusan pemerintah, kemudian
beralih kepada proses yang lebih terbuka, demokratis, dan partisipatif, namun
perubahan ini tidak sepenuhnya berjalan lancar, karena birokrasi pemerintah masih
terbiasa dengan proses yang serba cepat dan mudah, dan belum akrab dengan proses
partisipatif yang lebih panjang dan rumit.
Para perencana juga belum sepenuhnya dapat menyesuaikan pada perkembangan
baru, masih terikat pada berbagai prosedur dan ketentuan lama yang bergaya topdown dan sentralistik. Perlu diadakan penelitian, saat ini sudah berapa persen proses
perencanaan yang sudah lebih transparan dan partisipatif, berapa persen yang
substansinya sudah mengikuti paradigma baru yang lebih merakyat dengan prinsip
keadilan dan pemerataan yang lebih kuat. Masih banyak kebijakan, peraturan, dan
panduan lama yang harus diubah dan disesuaikan dengan pola baru. Tampaknya
proses ini akan berlangsung lama karena orang cenderung tetap bertahan pada cara
lama yang sudah sangat ‘familiar’, yang terbiasa digarapnya dengan mudah. Orang
tidak suka jika ‘comfort zone’-nya diganggu.
Diperlukan dorongan formal kedinasan dan tekanan sosial kemasyarakatan untuk
mempercepat proses ini agar tidak berkepanjangan terlalu lama. Dalam hal ini
sangat diperlukan peran pimpinan yang selalu membimbing dan mendorong
jajarannya. Pertanyaannya adalah apakah pimpinan yang dinamis seperti itu cukup
banyak tersedia? Pola pembinaan aparatur selama 40 tahun Orde Baru telah
membentuk jajaran kaku yang sulit berkembang dalam dinamika baru. Belum jelas
apakah reformasi birokrasi sudah akan mencantumkan berbagai perubahan ini
dalam agendanya. Tampaknya masuknya api semangat baru masih belum sempat
mengobarkan dengan signifikan berbagai perubahan yang diperlukan.
Sementara itu masyarakat yang sudah melek reformasi dan demokratisasi
mempunyai banyak harapan baru tentang transparansi dan partisipasi masyarakat.
Jika harapan-harapan itu tidak dapat ditanggapi oleh para perencana dan jajaran
birokrasi, akan tumbuh friksi-friksi yang berujung pada konflik sosial-politik.
Belakangan ini, di masyarakat banyak, berkembang pertanyaan, sanggahan, dan
protes atas penetapan RTRW dan beberapa rencana operasional. Situasi ini sebagian
besar disebabkan oleh kurang berkembangnya komunikasi antara pemerintah daerah
dan masyarakat, dan sebagian lagi oleh kualitas perencanaan yang masih belum
dapat menyerap aspirasi masyarakat.
Berbagai ketentuan tentang dengar pendapat pada kenyataannya masih jauh dari
harapan. Cobalah diteliti berapa banyak perencanaan lingkungan yang benar-benar
melakukan proses dengar pendapat. Kadang-kadang untuk rencana besar ada dengar
pendapat tetapi biasanya itu juga hanya merupakan formalitas. Bayangkan, suatu
masalah besar dan kompleks seperti RTRW hanya disajikan dengan singkat dan
peserta diminta menyatakan pendapatnya pada saat itu juga. Untuk rencana yang
82 Menarik
Judul Buku
Pelajaran dari
50 TAHUN PERJALANAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA DI INDONESIA
begitu luas dan kompleks seharusnya disediakan waktu pembahasan yang cukup
dalam beberapa tahap secara langsung atau melalui perwakilan profesi. Diperlukan
bahasan yang mendalam pada tiap sektor, dan selanjutnya dicoba memadukan
permasalahan lintas sektor.
Di samping para perencana dan birokrat perlu memahami proses dan kaidah baru
perencanaan setelah reformasi, para mahasiswa sajak dini juga perlu memahami
proses perencanaan yang baik dan benar. Perlu dipahami bahwa pada akhirnya yang
akan merasakan manfaat, dampak, dan masalah yang diakibatkan oleh rencana tata
ruang adalah masyarakat, karena itu mereka patut didengar aspirasinya. Proses
penyerapan pendapat dan konsultasi untuk mendorong pada perbaikan kualitas
hidup mereka dan warga kota pada umumnya perlu dilatih dalam kerja nyata di
lapangan agar mereka dapat menghayati bagaimana kenyataan kehidupan dan
proses penataan ruang yang sesungguhnya.
Sering dilupakan bahwa masyarakat kita terdiri dari beberapa lapisan, dan
masyarakat terbanyak ada di lapisan bawah. Lapisan ini sering terabaikan,
aspirasinya tidak didengar, ruang kehidupannya terpinggirkan, keberadaannya
dianggap sebagai beban dalam penataan ruang. Jika masyarakat biasa dan para ahli
saja kurang dapat berpartisipasi dalam penataan kota apalagi masyarakat bawah
yang dianggap tidak tahu apa-apa dan tidak punya apa-apa. Perlu dilakukan upaya
khusus untuk ‘mendengar’ kelompok ini karena biasanya mereka merupakan ‘the
silent majority.’ Perlu digarap pengembangan komunitas atau ‘community
development’ dimana warga komunitas diajak untuk berorganisasi dan berlatih
menyampaikan pendapat dan aspirasinya dengan baik dan efektif.
4.5
RUANG KEHIDUPAN
Dalam penataan ruang, perencana tidak hanya membentuk pola fisik ruang dengan
bangunan, prasarana dan sarananya; yang dibangun adalah ruang kehidupan tempat
masyarakat dari berbagai lapisan, dengan beragam profesi, beragam kebutuhan dan
pola hidupnya menjalankan kehidupannya sehari-hari yang diharapkan dapat
berlangsung dengan lancar dan harmonis dalam masyarakat yang adil dan beradab.
Diatur bukan hanya alokasi jumlah, luas, dan penempatan dari berbagai unsur kota
melainkan secara langsung atau tidak langsung menata kualitas kehidupan kota.
Ruang-ruang kota, dalam proses dan perwujudannya, harus memungkinkan
masyarakat mengembangkan kehidupan yang dinamis, harmonis, dan bermartabat.
Kualitas ini sering luput dari perencanaan karena perencana lebih berfokus pada
aspek penataan fisiknya saja.
Saat ini kualitas ruang kota masih belum cukup terolah karena kita masih berfokus
pada jumlah, luas, dan penempatannya. Kita belum secara intensif menggarap agar
ruang-ruang kota itu benar-benar memuaskan kebutuhan masyarakat lahir batin,
memenuhi kebutuhan estetika, etika, dan logika yang sehat. Pemenuhan kebutuhan
itu tidak harus mahal dan canggih. Kita banyak melihat contoh dari berbagai negara
yang dengan penanganan sederhana tetapi kreatif terbentuk ruang-ruang yang
nyaman dan efektif. Keterbatasan anggaran sering dijadikan alasan mengapa kita
tidak menyentuh bidang ini, padahal yang lebih dibutuhkan sebenarnya adalah
Suhadi Perencanaan
Hadiwinoto, Mengawal
danBerdasar
Mengamankan
Kota
Suprayoga Hadi, Pemikiran
di Indonesia
CatatanRencana
Tahun 2004
83
kepekaan, kreativitas, dan inovasi. Anggaran ber-miliar atau ber-triliun rupiah tidak
banyak berarti jika tidak disertai kepekaan, kreativitas, dan inovasi.
Upaya ini tidak dapat disebarkan hanya dengan tulisan dan pidato. Perlu disajikan
contoh-contoh nyata yang dapat dilihat dan dinikmati. Pemda bersama dengan
masyarakat kreatif perlu menyempatkan diri membangun contoh-contoh itu di
berbagai lokasi dengan didukung komunikasi yang intensif. Pastinya, perubahan ini
tidak akan terjadi dengan sendirinya secara kebetulan. Jika kita ingin mengubah
sesuatu, kita memang harus bekerja keras merintis pola baru itu. Tidak cukup kita
hanya mengharap dan berkhotbah. Kita perlu menghimpun teman-teman yang
sepaham untuk menggerakkan perubahan itu. Jika Pemda cukup responsif tentunya
akan sangat membantu, jika tidak kita perlu mencari saluran-saluran lain.
Masukan seperti tersebut di atas sering dilihat sebagai masukan teoritis dan utopis,
terlalu sulit untuk dilaksanakan, padahal masukan itu sebetulnya merupakan hasil
pengamatan panjang dari praktek di berbagai kota dan berbagai negara dengan
memperhatikan realita di negara kita sendiri. Skema-skema itu sebetulnya lebih
mudah dilaksanakan daripada skema biasa yang tampaknya mudah tetapi
sebenarnya jauh dari kenyataan. Di sini yang diperlukan adalah kepekaan
menangkap situasi dan ketajaman memilih prioritas dimana menempatkan investasi
pembangunan. Hal yang paling mudah adalah melanjutkan ‘business as usual,’
yang lebih menantang adalah garapan inovasi baru yang mengandalkan kepekaan
dan kreativitas.
Potensi yang paling menonjol adalah garapan pada ruang umum (public space)
berupa jalur jalan dan ruang terbuka hijau. Menggarap keseluruhan potensi itu
mungkin terlalu berat, tetapi merintis perbaikan pada beberapa lokasi prioritas akan
membangkitkan semangat untuk mengembangkannya lebih lanjut dengan
menyertakan dukungan masyarakat dan dunia usaha. Potensi ini tidak hanya
terdapat di kawasan elit dan jalur utama, tetapi juga di perkampungan dan lokasi tak
terduga di permukiman kumuh. Gerakan ini tidak mutlak membutuhkan anggaran
berlipatganda, tetapi lebih memerlukan realokasi anggaran dan kajian prioritas
penanganan.
Pertanyaan lain yang sudah lama belum terjawab dengan baik adalah bagaimana
menerjemahkan kegiatan formal dan informal dalam penataan ruang. Kegiatan
informal tidak selalu harus mengganggu keindahan kota dan keserasian fungsifungsi lainnya. Dalam jumlah yang terkendali dengan pengaturan yang baik
keberadaan sektor informal itu dapat membantu memenuhi kebutuhan masyarakat
akan pelayanan tertentu, dapat menghidupkan suasana yang ‘mati,’ dan memberi
peluang kesempatan kerja pada masyarakat lapisan bawah. Di sini yang diperlukan
adalah pengaturan dan pengendalian yang baik disertai beberapa bimbingan etika
dan estetika.
Kesulitan biasa muncul pada pengaturan dan pengendalian, terutama pada lokasi
yang menguntungkan. Lokasi-lokasi itu sangat menggiurkan dan mengundang lebih
banyak lagi pelaku sektor informal sehingga terjadi pengumpulan yang berlebihan;
yang mengganggu fungsi-fungsi lainnya. Biasanya dana-dana yang beredar di lokasi
ini sangat besar dan cukup menggiurkan juga bagi mereka yang seharusnya
84 Menarik
Judul Buku
Pelajaran dari
50 TAHUN PERJALANAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA DI INDONESIA
mengendalikan jumlah dan lokasinya. Tampaknya masih belum terbangun
mekanisme yang ampuh yang dapat menjamin bahwa pengawas tidak terlibat dalam
transaksi alokasi ruang yang semakin mahal. Barangkali faktor transparansi dan
penyertaan kontrol sosial dapat mengatasinya.
Ruang kehidupan masyarakat berpenghasilan menengah keatas biasanya dapat
memenuhi kebutuhannya dan memelihara kualitas ruang kehidupannya. Bahkan di
beberapa kawasan berpenghasilan tinggi mereka dapat meningkatkan standar
kualitas ruang mencapai standar internasional. Hal yang diperlukan di sini adalah
bimbingan agar perkembangan lingkungan itu tetap dapat harmonis dan terintegrasi
dengan kawasan lainnya. Jika lingkungan itu menjadi sangat eksklusif dan terpisah
dari kelompok masyarakat lainnya aka terjadi friksi dan konflik sosial yang sulit
diatasi. Di sini dibutuhkan kepekaan perencana dan penguasa dalam memperhatikan
faktor-faktor sosial politik.
Bagian lain yang sangat memerlukan perhatian adalah permukiman masyarakat
berpenghasilan rendah yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat perkotaan.
Banyak di antara mereka yang tidak dapat menjangkau rumah yang layak yang
memenuhi berbagai standar dan peraturan bangunan perkotaan, dan tidak sesuai
dengan rencana kota yang sah. Banyak di antara mereka yang tidak mampu
membeli atau menyewa lahan-lahan yang sah sesuai dengan zoning dan pemilikan
tanah. Banyak di antara mereka yang terpaksa menghuni rumah kumuh di bantaran
sungai, di tepi rel kereta api, di kawasan banjir, atau di samping tempat
pembuangan sampah. Apakah mereka harus dikriminalisasi karena tidak mampu
memenuhi peraturan yang berlaku?
Suatu kota memang harus mempunyai peraturan yang ditaati oleh seluruh warga
kotanya, tetapi masalah seperti ini harus dapat diselesaikan dengan bijak melalui
penanganan yang rasional dan realistik. Kota tidak boleh meng-alien-nasikan warga
miskin. Kota untuk semua dan prinsip ini harus konsekuen ditegakkan. Masyarakat
miskin tidak boleh dianggap sebagai beban. Mereka adalah juga tenaga produktif
yang memungkinkan kegiatan pembangunan dan pemeliharaan kota berlangsung
dengan lancar. Dalam Negara Kesatuan berdasar Pencasila arus migrasi masuk ke
dalam kota tidak boleh dilarang. Arus ini dapat dikurangi dengan pemerataan
pembangunan di berbagai daerah, tetapi melarang kelompok warga tertentu masuk
ke kota adalah bertentangan dengan peri kemanusiaan dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Masyarakat miskin diakui hak hidupnya di dalam kota dan harus dicarikan
penyelesaian yang baik dalam ruang kehidupan dan permukimannya. Masyarakat
dan para mahasiswa perlu memahami realita dan masalahnya serta berpikir tentang
upaya penyelesaiannya. Mereka jangan hanya disuguhi gambaran indah masyarakat
negara maju yang sudah mapan. Ini bukan semata-mata masalah teknis fisik
melainkan lebih merupakan masalah ekonomi dan sosial budaya. Begitu juga untuk
para birokrat, alat yang perlu dipakai tidak hanya pemberlakuan hukum formal yang
baku, tetapi harus disertai bimbingan, pembinaan, bantuan, dan pendampingan yang
efektif. Kita tidak cukup hanya berdoa dan mengharap agar masalah itu dapat segera
Suhadi Perencanaan
Hadiwinoto, Mengawal
danBerdasar
Mengamankan
Kota
Suprayoga Hadi, Pemikiran
di Indonesia
CatatanRencana
Tahun 2004
85
diselesaikan. Harus digarap langkah-langkah positif untuk menyelesaikan masalah
itu dengan terukur.
Beberapa upaya perbaikan permukiman kumuh atau slum area telah diupayakan
melalui program perbaikan kampung, tetapi tampaknya pemerintah masih
menghindar dari penanganan permukiman squatter yang menempati lahan tanpa
hak di tepian sungai dan sebagainya. Penanganan masalah squatter tidak berarti
harus melegalisasi seluruh pelanggaran, tetapi lebih merupakan upaya bersama
bagaimana masalah itu dapat diselesaikan secara adil dan rasional. Penanganan
program ini jelas tidak sederhana dan tidak semudah mengatakannya, tetapi mau
tidak mau program ini harus digarap jika kita tidak ingin membiarkannya berlarutlarut dan suatu ketika menjadi bom waktu yang memicu konflik sosial. Penanganan
masalah squatter tidak bisa diselesaikan dengan model penertiban dan penggusuran
saja tetapi perlu digarap bersamaan dengan solusi yang realistik dan terjangkau.
Sementara itu program perbaikan kampung yang dimulai 42 tahun yang lalu perlu
dikembangkan garapannya tidak terbatas pada perbaikan prasarana dan sarana
umum tetapi perlu memperhatikan penanganan yang lebih holistik. Penerapan
konsep Tribina atau Tridaya yang dimulai 25 tahun yang lalu membawa angin
segar, tetapi itupun harus ditingkatkan dengan pemikiran-pemikiran baru, jangan
selalu statis dengan business as usual. Beberapa negara tetangga telah
mengembangkan community development sebagai mekanisme penyelesaian
sengketa tanah antara pemilik dan penghuni. Ada juga penerapan pola-pola
‘membangun tanpa menggusur.’ konsep-konsep itu sudah sering dibahas di
Indonesia, tetapi tidak kunjung dicoba pelaksanaannya.
Setelah melalu krisis moneter yang mencekam pada tahun 1969 dan perubahan
politik yang membingungkan, banyak pelaku dan perencana pembangunan yang
masih dalam situasi psikologi terpuruk, terpaku pada situasi tidak berdaya, dan
kehilangan semangat kerja. Banyak yang bersikap lebih baik aman tidak terjerat
aturan baru, daripada kreatif tetapi harus sulit menghadapi dakwaan penyimpangan.
Saat ini yang diperlukan adalah api semangat baru untuk keluar dari kebekuan.
Tugas pimpinan adalah menyalakan api itu, memberi semangat, membimbing, dan
memfasilitasi proses pembaharuan. Tidak hanya diperlukan peraturan baru yang
lebih menertibkan proses yang amburadul, tetapi diperlukan juga aturan yang
merangsang kreativitas dan kemajuan, tentu saja dengan memperhatikan mekanisme
pengamanan yang diperlukan.
4.6
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA
Hal-hal yang berkenaan dengan kebutuhan fisik seperti permukiman, prasarana
jalan, fasilitas umum, air minum, persampahan, sanitasi, pengendalian pencemaran,
dan sebagainya biasanya mendapat banyak perhatian. Topik ini begitu sering
dibahas dalam berbagai seminar dan diskusi, serta diulas di berbagai media cetak
dan elektronik. Topik ini banyak dibahas karena langsung dirasakan secara fisik dan
terlihat secara visual. Hal yang bersifat fisik dan kasat mata memang lebih mudah
ditangkap dan diperbincangkan masyarakat. Penataan ruang lebih banyak ditangkap
sebagai pengaturan ruang fisik, padahal ruang itu adalah ruang kehidupan tempat
86 Menarik
Judul Buku
Pelajaran dari
50 TAHUN PERJALANAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA DI INDONESIA
masyarakat juga melangsungkan kegiatan ekonomi dan sosial budaya. Jika berbagai
prasarana dan sarana fisik adalah raganya, maka nilai-nilai sosial budaya adalah
jiwanya, dan ekonomi adalah energi yang dikelola dan dimanfaatkan dalam
menjalankan kehidupan.
Hal-hal yang berkenaan dengan kegiatan ekonomi seperti pusat perdagangan dan
perkantoran, kawasan industri, dan sektor informal juga mendapat banyak perhatian
karena dirasakan langsung terkait dengan kemakmuran, kesempatan kerja, dan
penanggulangan kemiskinan. Meskipun demikian masih banyak terjemahan
kebijakan ekonomi kota yang belum sepenuhnya tergarap dalam penataan ruang
kota. Salah satu isu yang belum tergarap dengan jelas adalah bagaimana
menyandingkan sektor informal dengan sektor formal dalam ruang kota, bagaimana
mengatur dan megendalikannya dengan tepat, di satu sisi membuka kesempatan
pada sektor informal untuk eksis dan berkembang, di sisi lain menjaga agar dapat
tetap tertata dalam jumlah dan posisi yang harmonis dalam ruang kota. Konsepkonsep pertumbuhan dan pemerataan yang baik juga belum terwujud sepenuhnya
dalam kota.
Bagaimana ruang kota melayani dengan baik kebutuhan interaksi sosial dan
kehidupan budaya belum banyak diperbincangkan. Kebutuhan ini tidak dapat
dijawab hanya dengan menyediakan sekian hektar lahan pada lokasi tertentu untuk
fasilitas sosial. Angka jumlah dan luas itu harus diterjemahkan dengan baik dan
benar agar dapat melayani dan mengantar masyarakat meningkatkan kualitas
hidupnya. Setelah selesai dibangun berbagai sarana itu harus dikelola dan
digunakan sebaik-baiknya agar dapat membawa manfaat nyata bagi masyarakat.
Tujuan dan strategi pembangunan bidang sosial budaya secara utuh sering belum
terserap sepenuhnya dalam penataan ruang kota. Yang sudah tertampung adalah
ukuran jumlah dan luas, tetapi ruh pengembangan sosial budaya itu belum
menjiwainya. Dalam tahap perencanaan aspek sosial budaya kurang mendapat
perhatian, dalam tahap pelaksanaan kurang mendapat anggaran, dan dalam tahap
pemanfaatan kurang didukung manajemen yang efektif.
Masyarakat mendambakan kota yang aman dan tenteram, yang memungkinkan
warga mengembangkan kehidupan yang harmonis dan sejahtera. Disamping aman
dari gangguan alam, bencana, kecelakaan, dan gangguan fisik lainnya, juga aman
dari kegiatan yang mungkin mengganggu satu sama lain. Masyarakat mendambakan
interaksi sosial yang rukun dan dinamis dilandasi keadilan dan kesetaraan.
Masyarakat mengharapkan kehidupan budaya yang dapat terus mengangkat harkat
kemanusiaan, yang terus meningkatkan kualitas hidupnya. Harapan tersebut harus
dapat dilayani oleh ruang kota. Urusan kehidupan kota bukan hanya merupakan
persoalan dakwah, pendidikan, dan peraturan perundangan. Ini juga dipengaruhi
oleh penataan ruang karena adanya pengaruh timbal balik antara ruang dan
kehidupan manusia. Apakah harapan-harapan itu sudah menjiwai dan diterjemahkan
dengan baik dalam penataan ruang kota?
Seluruh ruang kota, baik yang outdoor maupun indoor, yang public (milik umum)
atau pribadi, yang besar maupun yang kecil seharusnya dapat menyumbang pada
kehidupan sosial budaya yang dinamis dan semarak. Saat ini banyak ruang publik
Suhadi Perencanaan
Hadiwinoto, Mengawal
danBerdasar
Mengamankan
Kota
Suprayoga Hadi, Pemikiran
di Indonesia
CatatanRencana
Tahun 2004
87
yang diserbu dan disita oleh kegiatan komersial. Ruang visual juga banyak
didominasi oleh berbagai iklan raksasa yang berteriak di segala penjuru. Memang
kegiatan perdagangan dan iklan media ruang luar merupakan sumber pendapatan
yang sangat besar bagi Pemda, tetapi seharusnya dikembangkan pengendalian yang
lebih efektif. Berbagai ketentuan yang ada seharusnya juga dapat mencegah
penggerogotan ruang terbuka oleh bangunan yang didirikan dengan atau tanpa izin
membangun. Pelanggaran batas koefisien dasar bangunan dan koefisien lantai
bangunan jelas menambah beban yang harus dipikul oleh ruang kota. Kita sudah
terlalu permissive membiarkan pencurian dan gangguan terhadap ruang kehidupan
sosial budaya yang seharusnya menyumbang bagi peningkatan kualitas hidup
masyarakat.
Sementara itu ruang publik yang sudah ada banyak yang masih steril dari suasana
kehidupan yang positif. Banyak ruang publik yang masih ‘kering’ sekedar sebagai
ruang kosong atau tempat berlalu lalang. Ruang publik dapat diisi dengan berbagai
karya seni, dapat digunakan untuk menyajikan patung dan lukisan, dapat diisi oleh
seseorang memperagakan pantomim, atau memainkan suling yang dapat
menghidupkan suasana. Jumlah dan penampilannya harus dijaga agar tidak berubah
menjadi ‘pasar’ yang hiruk pikuk. Sering terjadi di banyak kota kita bahwa awal
yang baik itu kemudian disusul dengan perkembangan tak terkendali yang
didominasi tujuan komersial. Pada negara lain keberadaan seseorang yang duduk
memainkan cello atau gitar klasik tanpa meminta-minta, keberadaan karya seni di
ruang terbuka sangat membantu terbangunnya suasana kehidupan yang akrab dan
bergairah.
Pada lapangan kelurahan atau kecamatan pada waktu tertentu dapat diselenggarakan
kesenian rakyat yang memberi ruang pada kelompok masyarakat berkesenian dan
berkomunikasi. Pendopo kelurahan atau kecamatan dapat juga lebih ramah memberi
kesempatan pada warganya untuk berkesenian. Ia dapat mendekatkan masyarakat
pada pamongnya, menjembatani kesenjangan yang semakin jauh. Sanggar seni di
RT/RW dan pendidikan kesenian untuk anak-anak perlu digalakkan agar lebih
berkembang keseimbangan antara kehidupan fisik dan penguatan nilai-nilai.
Di samping kegiatan skala mikro seperti tersebut di atas, suatu kota perlu
mempunyai gedung kesenian, pusat kebudayaan, museum, galeri, dan sebagainya.
Pada beberapa kota, fasilitas itu tersedia tetapi isian kegiatannya belum optimal. Ini
sangat tergantung kemampuan manajemen untuk mengelola acara, membangun
suasana, dan berkomunikasi dengan publik. Jelas bahwa alokasi ruang kota masih
harus diikuti dengan pembangunan sarana yang tepat dan kemampuan mengelola
yang prima untuk membuatnya efektif berguna bagi masyarakatnya. Berbagai upaya
pengembangan kegiatan seni budaya perlu dilihat bukan hanya sebagai
pengembangan hiburan atau entertainment tetapi sebagai upaya mengolah dan
mempertajam kepekaan pada sistem nilai, mengajak masyarakat mengolah ‘rasa’ di
samping memikirkan sandang pangan dan kebutuhan fisik lainnya.
Jika masyarakat sudah peka mengolah rasa, memahami nilai kehidupan, dan sadar
akan masa depan yang diperjuangkan, ia akan lebih cermat mengelola
lingkungannya dan lebih peka dalam membangun kotanya. Kota akan didasari etika,
88 Menarik
Judul Buku
Pelajaran dari
50 TAHUN PERJALANAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA DI INDONESIA
estetika dan logika yang mantap. Kota yang terbangun akan mengandung ‘ruh’ dan
semangat hidup yang bergelora. Kita akan dapat mengenali dan merasakan kotakota mana yang mempunyai gelora kehidupan budaya dan kota mana yang sekedar
tumbuh seadanya saja. Kota yang berbudaya akan tampil cemerlang dengan
kehidupan yang dinamis, harmonis dan semangat tinggi, sementara kota-kota lain
tinggal biasa-biasa saja tanpa gairah kehidupan. Kehidupan budaya bukan hanya
milik orang kaya saja. Kita banyak melihat masyarakat sederhana yang akrab
dengan pemahaman dan kehidupan budaya, sementara ada juga masyarakat
berpenghasilan tinggi yang tidak peka memahami kehidupan budaya.
4.7
KEBERLANJUTAN FISIK, EKONOMI, DAN SOSIAL BUDAYA
Kita tentunya mengharapkan bahwa kota-kota kita tidak mati di tengah
perjalanannya, tidak susut, merosot, dan punah kehilangan roh-nya. Kita
mengharapkan perkembangan kota yang berkelanjutan. Perkembangan kota tidak
selalu harus diartikan identik dengan perluasan kota dan pertambahan jumlah
penduduk. Perkembangan kota yang berkelanjutan lebih dimaksud sebagai
peningkatan kualitas kehidupan masyarakatnya, baik secara fisik, ekonomi, maupun
sosial-budaya. Kota harus dapat menjawab berbagai tantangan baru tanpa
melupakan sejarah dan identitasnya. Tentu saja kota dapat berkembang dan berubah
sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakatnya, tetapi ia perlu menjaga
karakter dasarnya yang terwujud dalam berbagai unsur dan kehidupannya. Kota
juga perlu menjaga agar mesin ekonominya tetap berjalan lancar.
Suatu kota dapat hidup berkelanjutan jika ia dapat memelihara keberlanjutan fisik,
ekonomi, dan sosial budayanya. Tidak cukup ia hanya memperhatikan penataan
fisiknya saja. Ia harus secara simultan mengusahakan keberlanjutan ekonomi dan
sosial budaya kotanya. Tidak cukup ia hanya mengurus alokasi dan penempatan
ruang, sanitasi, transportasi, dan berbagai prasarana fisik. Ia harus berupaya agar
perkembangan ekonomi kotanya sehat dan berkelanjutan, dan ini harus secara tepat
diterjemahkan dalam penataan ruangnya serta koordinasi pencapaiannya. Ia harus
berupaya agar kehidupan sosial budaya berkembang harmonis dan dinamis, dan ini
harus didukung oleh ruang kota yang direncanakan disertai upaya pelaksanaan dan
pengelolaan yang efektif.
Setiap tahun kita lihat ada upaya untuk mencari dan menilai kota mana yang
terbaik. Seyogyanya penilaian atas pembangunan dan pengelolaan kota yang terbaik
selalu didasari keberhasilan mengembangkan ketiga bidang itu secara harmonis
yaitu: fisik, ekonomi, dan sosial budaya. Bupati dan Walikota perlu selalu
mengupayakan kemajuan dan keseimbangan ketiga bidang itu agar kota dan
kabupaten dapat berkembang berkelanjutan dengan baik. Penilaian yang ada
sekarang sering lebih berfokus pada aspek perkembangan fisik dan kurang cermat
mengukur keberhasilan di bidang ekonomi kota dan kehidupan sosial budayanya.
Ada tiga hal yang diperlukan untuk membangun keberlanjutan fisik, ekonomi, dan
sosial budaya ini. Pertama, bahwa perencanaan fisik, ekonomi, dan sosial budaya
perlu digarap seimbang dan perlu mendekatkan satu sama lain. Saat ini perencanaan
ketiga bidang tersebut terasa saling berjauhan dan kurang terintegrasi. Memang
Suhadi Perencanaan
Hadiwinoto, Mengawal
danBerdasar
Mengamankan
Kota
Suprayoga Hadi, Pemikiran
di Indonesia
CatatanRencana
Tahun 2004
89
dalam perencanaan fisik ada disebut aspek ekonomi dan sosial budaya yang harus
diperhatikan, tetapi proses itu belum sampai membangun strategi dan program
bersama bagaimana mewujudkan keberlanjutan fisik, ekonomi, dan sosial budaya
secara efektif dengan dukungan masing-masing bidang. Kotak dan sekat-sekat
birokrasi masih terlalu tebal untuk memungkinkan kerjasama dan kerja bersama
yang nyata.
Kedua, bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian adalah merupakan
bagian manajemen yang utuh dan tidak boleh terputus. Para perencana seyogyanya
tidak hanya cukup puas dengan produk perencanaan yang baik saja, tetapi perlu
juga direncanakan dan diperjuangkan, atau setidaknya memberi catatan, bagaimana
mengembangkan sistem pelaksanaan dan pengendalian untuk mengawal rencana
agar rencana itu dapat terlaksana dan tidak menyimpang atau raib ditengah jalan.
Para perencana yang bekerja di berbagai lembaga dan berbagai bidang perlu bekerja
keras dan berjuang agar rencana yang telah disepakati dan ditetapkan secara sah
dapat benar-benar terwujud. Perdebatan panjang mengenai proses dan materi
perencanaan tidak akan banyak berguna jika berbagai proses lanjutannya tidak
diamankan.
Ketiga, bahwa pembangunan itu bukan domainnya para ahli perencanaan dan para
pakar saja, melainkan merupakan kepentingan seluruh rakyat. Para ahli tidak dapat
beranggapan bahwa pemikirannya sudah pasti mewakili aspirasi seluruh rakyat.
Diperlukan lebih banyak komunikasi, baik secara langsung maupun melalui
organisasi dan lembaga perwakilan. Pada masa Orde Baru keinginan untuk
membangun dengan cepat sering mengabaikan proses komunikasi dan konsultasi
dengan masyarakat. Akibatnya masyarakat menjadi terasing dari proses
pembangunan, dan kadang-kadang tumbuh keberatan dan pertentangan yang
terpendam, yang sewaktu-waktu meletus sebagai konflik. Setelah reformasi dituntut
partisipasi masyarakat yang lebih luas, tetapi banyak pejabat dan perencana yang
tidak merasa nyaman dengan proses yang relatif lebih rumit ini karena mereka
sudah begitu terbiasa dengan proses yang mudah dan cepat. Reformasi perencanaan
perlu dikembangkan lebih nyata dan efektif.
Demikian tadi beberapa catatan sederhana dari pengamatan atas upaya perencanaan
perkembangan kota dan kebutuhan untuk mengawal dan mengamankannya. Semoga
catatan ini dapat bermanfaat.
90 Menarik
Judul Buku
Pelajaran dari
50 TAHUN PERJALANAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA DI INDONESIA
Mengawal dan Mengamankan
Rencana Kota
Suhadi Hadiwinoto
Anggota Dewan Pakar Badan Pelestarian Pusaka Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Para perencana banyak yang merasa puas jika menghasilkan rencana yang baik
berdasarkan data dan pertimbangan yang matang. Banyak yang beranggapan
bahwa rencana yang disiapkan oleh kelompok-kerjanya akan dengan mulus
menjadi kenyataan yang bermanfaat bagi masyarakat. Tidak banyak yang
menyadari bahwa rencana yang baik dan lurus bisa saja kemudian menjadi
berbelok dan meleset jauh, bahwa suatu program bisa menguap dan raib tak
kunjung datang. Para perencana sering begitu asyik dengan perencanaannya dan
kurang memperhatikan upaya membangun mekanisme untuk mengawal tindak
lanjutnya. Memang tidak semua kewenangan ada pada perencana, tetapi
setidaknya perlu diupayakan bahwa pada setiap rencana penataan ruang selalu
terkandung di dalamnya gambaran bagaimana rencana itu akan dikoordinasikan,
dilaksanakan, serta diawasi dan dikendalikan. Saat ini peningkatan kualitas
perencanaan sering disoroti tetapi penguatan koordinasi dan pengendalian kurang
dibangun dengan sungguh-sungguh. Di samping itu perlu pula dikembangkan
pemikiran perencanaan yang komprehensif, tidak terbatas pada aspek fisik saja
tetapi dengan sungguh-sungguh menerjemahkan strategi ekonomi dan sosial
budaya ke dalam penataan ruang.
Kata kunci: perencanaan-rencana, mekanisme
pengendalian, strategi ekonomi dan sosial budaya.
4.1
pengawalan,
koordinasi,
LINTASAN PENGAMATAN
Tulisan ini bukan suatu kajian ilmiah melalui penelitian yang terencana dengan
segala proses dan prosedur yang harus dilewati, melainkan lebih merupakan hasil
pengamatan dan pengalaman yang tercatat dalam benak penulis. Untuk kemudahan
menggali ingatan, pengalaman, dan pengamatan tersebut diurutkan sesuai dengan
lintasan kerja penulis.
Pertama, di Pemda DKI (1968), tempat penulis bekerja di Dinas Pekerjaan Umum,
Bagian Pengembangan Kota. Waktu itu, kantor masih sangat sederhana, tenaga
perencana juga masih terbatas, tetapi ada Pak Rio dan Pak Rais di sana. Gubernur
Suhadi Perencanaan
Hadiwinoto, Mengawal
danBerdasar
Mengamankan
Kota
Suprayoga Hadi, Pemikiran
di Indonesia
CatatanRencana
Tahun 2004
77
Ali Sadikin melakukan banyak perbaikan internal dan eksternal. Pada tahun 1969
Pemda DKI meluncurkan program perbaikan kampung, suatu konsep revolusioner
yang kemudian diterapkan di banyak kota lain, bahkan kemudian juga
dikembangkan di beberapa Negara Asia. Waktu itu 70 % permukiman di Jakarta
dalam kondisi sangat buruk dan tidak mungkin selesai ditangani dengan proses
konvensional. Pemda DKI memutuskan untuk membangun dan memperbaiki
prasarana dan sarana mengikuti kondisi setempat pada kampung yang sebetulnya
dahulu berkembang tanpa perencanaan yang baik. Ini merupakan langkah darurat
yang berani, sambil mencoba berangsur-angsur mendekatkannya pada pola
perkembangan makro yang seharusnya. Pada tahun 1971 Bagian Perkembangan
Kota DPU ditingkatkan statusnya menjadi Dinas Tata Kota. Pada tahun 1974 fungsi
pengawasan dipisahkan dari fungsi perencanaan dan dibentuklah Dinas Pengawasan
Pembangunan Kota terpisah dari Dinas Tata Kota. Beberapa lembaga lain juga
ditegaskan fungsi dan kedudukannya. Pola transportasi, sentra-sentra, kawasan
industri, utilitas dan fasilitas umum dicoba dibenahi. Demikian juga kantor-kantor
Pemda berangsur mendapat tempat yang lebih layak. Salah satu hal yang patut
dicatat adalah selalu diupayakan peningkatan berimbang antara makro-mikro, besar
kecil, formal-informal, fisik-nonfisik, dan sebagainya.
Kedua, masih di Pemda DKI (1985), penulis mendapat tugas untuk mengelola
Bidang Fisik dan Prasarana, di Bappeda. Waktu itu merupakan periode yang sangat
dinamis dan menarik karena berbagai inovasi dapat dikembangkan. Diupayakan
koordinasi yang lebih baik antara berbagai sektor prasarana melalui IUIDP
(Integrated Urban Infrastructure Development Project). Demikian juga dalam
perbaikan kampung diupayakan integrasi antara penataan fisik, pengembangan
komunitas, dan pengembangan ekonomi lokal melalui kegiatan usaha kecil
informal. Pada awalnya konsep Tribina itu ditentang, karena pada masa sebelumnya
upaya integrasi ketiga sektor itu memang masih belum lazim dikembangkan secara
terpadu.
Ketiga, di World Bank Jakarta (1990-2003), tempat penulis mengelola Metropolitan
Environmental Improvement Program, lalu masuk di Environment and Social
Impact Unit, kemudian di Urban Development Sector melanjutkan bidang kegiatan
di Pemda DKI dulu. Di sini berkembang kesempatan untuk berdialog dengan
banyak ahli dari berbagai negara, membahas masalah aktual di Indonesia. Kami
juga berkesempatan mendampingi kota-kota di Indonesia menggarap pembangunan
kotanya. Banyak lessons learned yang dapat diserap dari pendampingan itu yang
akan sangat berguna jika kita dapat memanfaatkannya dengan baik.
Keempat, tahap yang masih berjalan sejak 2004, penulis aktif di LSM dan menjadi
anggota Board of Expert di Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) yang
bertujuan membantu dan memperkuat pelestarian pusaka alam dan pusaka budaya,
serta di Forum Permukiman yang mendorong pembangunan permukiman
masyarakat berpenghasilan rendah. Menarik sekali jika kita melihat perkembangan
kota selama 40 tahun lebih dari 3 sudut pandang yang berbeda, pertama dari sisi
birokrasi Pemerintah Daerah, kedua dari sisi lembaga internasional, dan ketiga dari
sisi lembaga non-pemerintah yang biasanya bersikap kritis. Jika kita dapat
memadukan dan mendayagunakan ketiga kekuatan itu akan banyak yang dapat kita
78 Menarik
Judul Buku
Pelajaran dari
50 TAHUN PERJALANAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA DI INDONESIA
perbuat dan kita capai. Tampaknya ketiga kekuatan itu sekarang masih berjalan
sendiri-sendiri menurut gaya masing-masing.
Lintasan perjalanan pekerjaan dan karir itulah yang memberikan pengalaman
yang dicatat di dalam kepala dan hati penulis. Tulisan ini merupakan sebagian kecil
saja yang penulis anggap penting dan relevan untuk disampaikan dalam rangkaian
tulisan tentang perencanaan dalam arti yang luas.
4.2
PENGENDALIAN PERKEMBANGAN KOTA
Satu hal yang paling menonjol dalam pengamatan selama lintasan pengalaman di
atas adalah bahwa berbagai produk perencanaan yang sudah disepakati, ditetapkan,
dan dijadikan Perda tampaknya banyak yang tidak terwujud sebagaimana mestinya.
Para perencana sudah membuang waktu dan tenaga untuk menyiapkannya dengan
berhati-hati tetapi dalam pelaksanaannya banyak terjadi penyimpangan. Ada lokasi
yang seharusnya menjadi jalur hijau ternyata berkembang menjadi kawasan
perumahan. Ada yang direncanakan sebagai kawasan hunian kemudian berkembang
menjadi kawasan komersial. Ada jalur-jalur yang sudah lama direncanakan untuk
trase jalan utama tetapi dalam beberapa tahun sudah dipenuhi dengan bangunan
besar dan kecil.
Ada rencana untuk membangun pusat transportasi, fasilitas olahraga, pusat
perdagangan, sentra primer, sentra sekunder, dan lain lain, tetapi rencana itu tak
kunjung dilaksanakan. Ada kebijakan untuk menangani permukiman kumuh tetapi
jumlah dan luas permukiman kumuh terus bertambah. Ada kebijakan untuk
mengembangkan sistem angkutan umum tetapi jumlah kendaraan pribadi
berkembang jauh lebih pesat lagi dan pembangunan prasarana yang menunjang
kendaraan pribadi jauh lebih pesat. Banyak kebijakan dan rencana yang bagus dan
sangat dibutuhkan oleh masyarakat, tetapi yang terjadi di lapangan jauh berbeda.
Mengapa hal itu dapat terjadi?
Perlu diakui bahwa kita sering tidak konsisten mematuhi kesepakatan dan peraturan
yang telah ditetapkan bersama. Perubahan dan penyesuaian sering dianggap sebagai
sesuatu yang wajar dan normal. Biasanya perubahan diusulkan dengan alasan untuk
menyesuaikan dengan perkembangan terkini. Jika yang berubah adalah detail kecil
pada tingkat mikro dan perubahannya adalah untuk kepentingan masyarakat luas,
barangkali itu tidak menjadi soal. Tetapi jika yang diubah-ubah adalah suatu bagian
strategis pada RTRW tentunya kita harus sangat berhati-hati. Beberapa pihak
mengubah ketentuan dan rencana yang telah ditetapkan. Kadang-kadang ini
dilakukan justru oleh mereka yang seharusnya mengawal pelaksanaan rencana kota.
Memang di dunia ini tidak ada sesuatu yang mutlak abadi. Kehidupan selalu
berkembang dan kota juga terus berkembang. Bahwa kota memerlukan dinamika
dan perubahan, itu pasti, tetapi tidak berarti bahwa semua unsur lalu boleh diubah
seenaknya untuk kepentingan suatu pihak tanpa memperhatikan kepentingan
masyarakat luas dan keberlanjutan perkembangan kota dalam jangka panjang.
Pertama, perlu dicermati apakah manfaat dan kerugian perubahan itu untuk
perseorangan atau masyarakat luas dan apakah penilaian itu sudah dilakukan secara
Suhadi Perencanaan
Hadiwinoto, Mengawal
danBerdasar
Mengamankan
Kota
Suprayoga Hadi, Pemikiran
di Indonesia
CatatanRencana
Tahun 2004
79
objektif. Kedua, ia harus diproses sesuai dengan ketentuan dan digarap secara
transparan. Ketiga, harus dilaporkan kepada atasan dan secara berkala dilaporkan
kepada Dewan. Perubahan atas ketetapan Peraturan Daerah harus mendapat
persetujuan Dewan.
Sejalan dengan pengetatan proses penyesuaian rencana perlu diperkuat mekanisme
pengawasan dan pengendalian di lapangan. Sebetulnya berbagai pelanggaran
bukannya tidak diketahui dan tidak diberi peringatan awal, tetapi banyak yang
prosesnya tidak dilanjutkan atau dituntaskan. Pengawasan internal perlu diperkuat
agar proses pengamatan, temuan pelanggaran, peringatan, dan penindakan
berlangsung dengan baik. Peran serta masyarakat untuk peduli dengan
lingkungannya dan turut mengawasi jika ada pelanggaran perlu digalakkan.
Sayangnya sebagian masyarakat sudah mulai apatis karena beberapa laporan yang
disampaikan kepada instansi yang berwenang tidak mendapat tanggapan
sebagaimana mestinya. Pemantauan pemrosesan keluhan, pengaduan, masukan, dan
usul-usul masyarakat masih memerlukan penguatan.
Kita lihat bahwa sistem pengawasan di berbagai sektor dan di berbagai tingkat saat
ini masih lemah. Bidang ini tampaknya belum menjadi prioritas perbaikan, padahal
berbagai upaya peningkatan kualitas perencanaan tidak akan membawa manfaat jika
pengawasan dan pengendalian tetap lemah seperti sekarang.
4.3
PELAKSANAAN PROGRAM PEMBANGUNAN
Jika dicermati berapa banyak dari rencana kota yang telah dapat diwujudkan akan
jelas terlihat bahwa banyak prasarana dan sarana yang telah direncanakan ternyata
belum dapat dilaksanakan. Banyak kawasan yang seharusnya sudah dikembangkan
ternyata belum terwujud, dan banyak yang seharusnya ditunda pengembangannya
ternyata sudah jauh berkembang sebelum waktunya. Pada akhir tahun 1960-an
dalam Rencana Induk Jakarta 1965-1985 telah tercantum rencana mass rapid transit
(MRT). Pada waktu itu Singapura belum menetapkan rencana pembangunan MRT
dalam rencana kotanya, tetapi beberapa tahun kemudian Singapura sudah
menetapkan dan melaksanakan jalur MRT, sementara di Jakarta sampai saat ini
rencanya masih terkatung-katung dan belum jelas kapan akan dilaksanakan.
Penyebaran sentra-sentra kurang selaras dengan kebutuhan. Sentra yang terbangun
lebih banyak mengikuti tersedianya tanah yang sudah dimiliki oleh developer dan
tidak terlalu mengikuti perhitungan dan strategi yang rasional. Untuk kawasan
strategis yang sangat perlu diremajakan di pusat kota yang mempunyai nilai lahan
sangat tinggi, pemerinah tidak proaktif mengadakan pembebasan lahan dan
menjalankan land banking dengan alasan tidak ada dana. Jelas bahwa penyiapan
lahan untuk peremajaan kawasan di pusat kota tidak akan merugi, tetapi untuk
mudahnya Pemda menyerahkannya kepada pengembang swasta tanpa arahan yang
jelas. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu badan yang kuat seperti Urban Renewal
Authority di berbagai negara sebagai alat untuk mengarahkan pengembangan secara
aktif.
80 Menarik
Judul Buku
Pelajaran dari
50 TAHUN PERJALANAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA DI INDONESIA
Suatu Rencana Induk, Rencana Struktur, RUTR, dan RTRW yang menargetkan
ruang dengan seluruh prasarana dan sarananya, seharusnya menjadi pemicu
(trigger) bagi rencana pembangunan dan pembiayaan tahunan. Kedua sisi ini sering
tidak terhubung dengan jelas, entah karena lupa atau karena tidak ingin terlalu
pusing. Dengan tidak terhubungnya kedua sisi ini rencana kota lebih sering
berfungsi sebagai daftar harapan atau daftar impian yang tidak jelas kapan akan
dapat diwujudkan, padahal rencana kota itu seharusnya menjadi daftar komitmen
yang disepakati untuk dicapai. Untuk prasarana makro mungkin pada awalnya
belum dapat dengan tegas disebutkan tahunnya, tetapi setidaknya perlu
digambarkan pada tahap mana prasarana itu diharapkan terwujud. Tanpa gambaran
besar ini pihak swasta akan ragu menanamkan modalnya dan masyarakat juga tidak
dapat mengharapkan perbaikan nasibnya.
Rencana jangka panjang, jangka menengah, dan rencana tahunan perlu diperjelas
kaitannya dan diteliti kesinambungan programnya. Secara normatif hal ini sudah
ditegaskan, tetapi dalam pelaksanaannya tidaklah semudah itu. Perlu diperkuat pula
sinergi lintas sektor pada tahap yang bersangkutan. Keterkaitan, kesinambungan dan
sinergi ini sulit dikembangkan jika pembahasan anggaran lebih terpusat pada tawar
menawar jumlah anggaran yang diperebutkan oleh masing-masing sektor. Tidak
banyak waktu tersedia untuk bahasan peningkatan sinergi dan capaian jangka
menengah serta jangka panjang. Masalah krusial jangka pendek selalu menyita
waktu pembahasan, dan ini mencerminkan tingkat pemikiran yang ‘short-sighted.’
Diperlukan gerakan yang mendorong birokrat dan masyarakat untuk lebih
meluangkan waktu bagi pemikiran jangka menengah dan jangka panjang.
Sementara itu rencana tahunan tidak boleh terfokus hanya pada proyek-proyek yang
populer dan ‘sexy’, perlu juga menggarap proyek yang mendesak (urgent) yang
tidak begitu populer tetapi sangat dibutuhkan untuk kehidupan kota. Komunikasi
perencanaan perlu dibuka lebih luas bersama masyarakat sehingga terbangun
pemahaman dan dukungan luas. Saat ini proses itu berlangsung sunyi-sepi sendiri
karena perbincangan luas dianggap membuang waktu dan merepotkan saja.
Demikian pula komunikasi dan kerjasama regional dengan Pemda di sekitarnya
perlu lebih dikembangkan karena banyak masalah yang tidak akan dapat
diselesaikan dalam batas administrasi daerah masing-masing.
Upaya pengembangan kerjasama besar seperti Jabodetabek lebih sering merupakan
formalitas dan belum secara efektif mempengaruhi arah perkembangan yang
diingini. Kerjasama besar sering diwarnai kekhawatiran daerah yang kecil bahwa
kebijakan pembangunannya akan didominasi oleh daerah induk yang jauh lebih
besar. Ini terjadi jika pendekatan kewenangan dan kekuasaan lebih menonjol
dibandingkan upaya membangun saling pengertian tentang masalah dan manfaat
bersama. Daerah induk yang lebih besar perlu lebih rajin bertandang dan menyulam
konsensus tentang potensi spesifik yang nyata dan tidak terlalu mengandalkan
statement politik yang samar dan meragukan. Agar dapat diterima dan didukung
oleh berbagai daerah terkait kerjasama itu harus didasarkan pada kesetaraan
antaranggota.
Suhadi Perencanaan
Hadiwinoto, Mengawal
danBerdasar
Mengamankan
Kota
Suprayoga Hadi, Pemikiran
di Indonesia
CatatanRencana
Tahun 2004
81
4.4
PERAN SERTA MASYARAKAT
Arus reformasi pada tahun 1998 membawa perubahan besar pada tatanan kehidupan
dan pembangunan di Indonesia termasuk sistem perencanaannya. Sejalan dengan
arus demokratisasi dan desentraliasi maka pada penataan ruang kota juga terjadi
beberapa perubahan. Penetapan rencana yang semula bernuansa top-down dengan
kecepatan penuh melaksanakan kebijakan dan keputusan pemerintah, kemudian
beralih kepada proses yang lebih terbuka, demokratis, dan partisipatif, namun
perubahan ini tidak sepenuhnya berjalan lancar, karena birokrasi pemerintah masih
terbiasa dengan proses yang serba cepat dan mudah, dan belum akrab dengan proses
partisipatif yang lebih panjang dan rumit.
Para perencana juga belum sepenuhnya dapat menyesuaikan pada perkembangan
baru, masih terikat pada berbagai prosedur dan ketentuan lama yang bergaya topdown dan sentralistik. Perlu diadakan penelitian, saat ini sudah berapa persen proses
perencanaan yang sudah lebih transparan dan partisipatif, berapa persen yang
substansinya sudah mengikuti paradigma baru yang lebih merakyat dengan prinsip
keadilan dan pemerataan yang lebih kuat. Masih banyak kebijakan, peraturan, dan
panduan lama yang harus diubah dan disesuaikan dengan pola baru. Tampaknya
proses ini akan berlangsung lama karena orang cenderung tetap bertahan pada cara
lama yang sudah sangat ‘familiar’, yang terbiasa digarapnya dengan mudah. Orang
tidak suka jika ‘comfort zone’-nya diganggu.
Diperlukan dorongan formal kedinasan dan tekanan sosial kemasyarakatan untuk
mempercepat proses ini agar tidak berkepanjangan terlalu lama. Dalam hal ini
sangat diperlukan peran pimpinan yang selalu membimbing dan mendorong
jajarannya. Pertanyaannya adalah apakah pimpinan yang dinamis seperti itu cukup
banyak tersedia? Pola pembinaan aparatur selama 40 tahun Orde Baru telah
membentuk jajaran kaku yang sulit berkembang dalam dinamika baru. Belum jelas
apakah reformasi birokrasi sudah akan mencantumkan berbagai perubahan ini
dalam agendanya. Tampaknya masuknya api semangat baru masih belum sempat
mengobarkan dengan signifikan berbagai perubahan yang diperlukan.
Sementara itu masyarakat yang sudah melek reformasi dan demokratisasi
mempunyai banyak harapan baru tentang transparansi dan partisipasi masyarakat.
Jika harapan-harapan itu tidak dapat ditanggapi oleh para perencana dan jajaran
birokrasi, akan tumbuh friksi-friksi yang berujung pada konflik sosial-politik.
Belakangan ini, di masyarakat banyak, berkembang pertanyaan, sanggahan, dan
protes atas penetapan RTRW dan beberapa rencana operasional. Situasi ini sebagian
besar disebabkan oleh kurang berkembangnya komunikasi antara pemerintah daerah
dan masyarakat, dan sebagian lagi oleh kualitas perencanaan yang masih belum
dapat menyerap aspirasi masyarakat.
Berbagai ketentuan tentang dengar pendapat pada kenyataannya masih jauh dari
harapan. Cobalah diteliti berapa banyak perencanaan lingkungan yang benar-benar
melakukan proses dengar pendapat. Kadang-kadang untuk rencana besar ada dengar
pendapat tetapi biasanya itu juga hanya merupakan formalitas. Bayangkan, suatu
masalah besar dan kompleks seperti RTRW hanya disajikan dengan singkat dan
peserta diminta menyatakan pendapatnya pada saat itu juga. Untuk rencana yang
82 Menarik
Judul Buku
Pelajaran dari
50 TAHUN PERJALANAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA DI INDONESIA
begitu luas dan kompleks seharusnya disediakan waktu pembahasan yang cukup
dalam beberapa tahap secara langsung atau melalui perwakilan profesi. Diperlukan
bahasan yang mendalam pada tiap sektor, dan selanjutnya dicoba memadukan
permasalahan lintas sektor.
Di samping para perencana dan birokrat perlu memahami proses dan kaidah baru
perencanaan setelah reformasi, para mahasiswa sajak dini juga perlu memahami
proses perencanaan yang baik dan benar. Perlu dipahami bahwa pada akhirnya yang
akan merasakan manfaat, dampak, dan masalah yang diakibatkan oleh rencana tata
ruang adalah masyarakat, karena itu mereka patut didengar aspirasinya. Proses
penyerapan pendapat dan konsultasi untuk mendorong pada perbaikan kualitas
hidup mereka dan warga kota pada umumnya perlu dilatih dalam kerja nyata di
lapangan agar mereka dapat menghayati bagaimana kenyataan kehidupan dan
proses penataan ruang yang sesungguhnya.
Sering dilupakan bahwa masyarakat kita terdiri dari beberapa lapisan, dan
masyarakat terbanyak ada di lapisan bawah. Lapisan ini sering terabaikan,
aspirasinya tidak didengar, ruang kehidupannya terpinggirkan, keberadaannya
dianggap sebagai beban dalam penataan ruang. Jika masyarakat biasa dan para ahli
saja kurang dapat berpartisipasi dalam penataan kota apalagi masyarakat bawah
yang dianggap tidak tahu apa-apa dan tidak punya apa-apa. Perlu dilakukan upaya
khusus untuk ‘mendengar’ kelompok ini karena biasanya mereka merupakan ‘the
silent majority.’ Perlu digarap pengembangan komunitas atau ‘community
development’ dimana warga komunitas diajak untuk berorganisasi dan berlatih
menyampaikan pendapat dan aspirasinya dengan baik dan efektif.
4.5
RUANG KEHIDUPAN
Dalam penataan ruang, perencana tidak hanya membentuk pola fisik ruang dengan
bangunan, prasarana dan sarananya; yang dibangun adalah ruang kehidupan tempat
masyarakat dari berbagai lapisan, dengan beragam profesi, beragam kebutuhan dan
pola hidupnya menjalankan kehidupannya sehari-hari yang diharapkan dapat
berlangsung dengan lancar dan harmonis dalam masyarakat yang adil dan beradab.
Diatur bukan hanya alokasi jumlah, luas, dan penempatan dari berbagai unsur kota
melainkan secara langsung atau tidak langsung menata kualitas kehidupan kota.
Ruang-ruang kota, dalam proses dan perwujudannya, harus memungkinkan
masyarakat mengembangkan kehidupan yang dinamis, harmonis, dan bermartabat.
Kualitas ini sering luput dari perencanaan karena perencana lebih berfokus pada
aspek penataan fisiknya saja.
Saat ini kualitas ruang kota masih belum cukup terolah karena kita masih berfokus
pada jumlah, luas, dan penempatannya. Kita belum secara intensif menggarap agar
ruang-ruang kota itu benar-benar memuaskan kebutuhan masyarakat lahir batin,
memenuhi kebutuhan estetika, etika, dan logika yang sehat. Pemenuhan kebutuhan
itu tidak harus mahal dan canggih. Kita banyak melihat contoh dari berbagai negara
yang dengan penanganan sederhana tetapi kreatif terbentuk ruang-ruang yang
nyaman dan efektif. Keterbatasan anggaran sering dijadikan alasan mengapa kita
tidak menyentuh bidang ini, padahal yang lebih dibutuhkan sebenarnya adalah
Suhadi Perencanaan
Hadiwinoto, Mengawal
danBerdasar
Mengamankan
Kota
Suprayoga Hadi, Pemikiran
di Indonesia
CatatanRencana
Tahun 2004
83
kepekaan, kreativitas, dan inovasi. Anggaran ber-miliar atau ber-triliun rupiah tidak
banyak berarti jika tidak disertai kepekaan, kreativitas, dan inovasi.
Upaya ini tidak dapat disebarkan hanya dengan tulisan dan pidato. Perlu disajikan
contoh-contoh nyata yang dapat dilihat dan dinikmati. Pemda bersama dengan
masyarakat kreatif perlu menyempatkan diri membangun contoh-contoh itu di
berbagai lokasi dengan didukung komunikasi yang intensif. Pastinya, perubahan ini
tidak akan terjadi dengan sendirinya secara kebetulan. Jika kita ingin mengubah
sesuatu, kita memang harus bekerja keras merintis pola baru itu. Tidak cukup kita
hanya mengharap dan berkhotbah. Kita perlu menghimpun teman-teman yang
sepaham untuk menggerakkan perubahan itu. Jika Pemda cukup responsif tentunya
akan sangat membantu, jika tidak kita perlu mencari saluran-saluran lain.
Masukan seperti tersebut di atas sering dilihat sebagai masukan teoritis dan utopis,
terlalu sulit untuk dilaksanakan, padahal masukan itu sebetulnya merupakan hasil
pengamatan panjang dari praktek di berbagai kota dan berbagai negara dengan
memperhatikan realita di negara kita sendiri. Skema-skema itu sebetulnya lebih
mudah dilaksanakan daripada skema biasa yang tampaknya mudah tetapi
sebenarnya jauh dari kenyataan. Di sini yang diperlukan adalah kepekaan
menangkap situasi dan ketajaman memilih prioritas dimana menempatkan investasi
pembangunan. Hal yang paling mudah adalah melanjutkan ‘business as usual,’
yang lebih menantang adalah garapan inovasi baru yang mengandalkan kepekaan
dan kreativitas.
Potensi yang paling menonjol adalah garapan pada ruang umum (public space)
berupa jalur jalan dan ruang terbuka hijau. Menggarap keseluruhan potensi itu
mungkin terlalu berat, tetapi merintis perbaikan pada beberapa lokasi prioritas akan
membangkitkan semangat untuk mengembangkannya lebih lanjut dengan
menyertakan dukungan masyarakat dan dunia usaha. Potensi ini tidak hanya
terdapat di kawasan elit dan jalur utama, tetapi juga di perkampungan dan lokasi tak
terduga di permukiman kumuh. Gerakan ini tidak mutlak membutuhkan anggaran
berlipatganda, tetapi lebih memerlukan realokasi anggaran dan kajian prioritas
penanganan.
Pertanyaan lain yang sudah lama belum terjawab dengan baik adalah bagaimana
menerjemahkan kegiatan formal dan informal dalam penataan ruang. Kegiatan
informal tidak selalu harus mengganggu keindahan kota dan keserasian fungsifungsi lainnya. Dalam jumlah yang terkendali dengan pengaturan yang baik
keberadaan sektor informal itu dapat membantu memenuhi kebutuhan masyarakat
akan pelayanan tertentu, dapat menghidupkan suasana yang ‘mati,’ dan memberi
peluang kesempatan kerja pada masyarakat lapisan bawah. Di sini yang diperlukan
adalah pengaturan dan pengendalian yang baik disertai beberapa bimbingan etika
dan estetika.
Kesulitan biasa muncul pada pengaturan dan pengendalian, terutama pada lokasi
yang menguntungkan. Lokasi-lokasi itu sangat menggiurkan dan mengundang lebih
banyak lagi pelaku sektor informal sehingga terjadi pengumpulan yang berlebihan;
yang mengganggu fungsi-fungsi lainnya. Biasanya dana-dana yang beredar di lokasi
ini sangat besar dan cukup menggiurkan juga bagi mereka yang seharusnya
84 Menarik
Judul Buku
Pelajaran dari
50 TAHUN PERJALANAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA DI INDONESIA
mengendalikan jumlah dan lokasinya. Tampaknya masih belum terbangun
mekanisme yang ampuh yang dapat menjamin bahwa pengawas tidak terlibat dalam
transaksi alokasi ruang yang semakin mahal. Barangkali faktor transparansi dan
penyertaan kontrol sosial dapat mengatasinya.
Ruang kehidupan masyarakat berpenghasilan menengah keatas biasanya dapat
memenuhi kebutuhannya dan memelihara kualitas ruang kehidupannya. Bahkan di
beberapa kawasan berpenghasilan tinggi mereka dapat meningkatkan standar
kualitas ruang mencapai standar internasional. Hal yang diperlukan di sini adalah
bimbingan agar perkembangan lingkungan itu tetap dapat harmonis dan terintegrasi
dengan kawasan lainnya. Jika lingkungan itu menjadi sangat eksklusif dan terpisah
dari kelompok masyarakat lainnya aka terjadi friksi dan konflik sosial yang sulit
diatasi. Di sini dibutuhkan kepekaan perencana dan penguasa dalam memperhatikan
faktor-faktor sosial politik.
Bagian lain yang sangat memerlukan perhatian adalah permukiman masyarakat
berpenghasilan rendah yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat perkotaan.
Banyak di antara mereka yang tidak dapat menjangkau rumah yang layak yang
memenuhi berbagai standar dan peraturan bangunan perkotaan, dan tidak sesuai
dengan rencana kota yang sah. Banyak di antara mereka yang tidak mampu
membeli atau menyewa lahan-lahan yang sah sesuai dengan zoning dan pemilikan
tanah. Banyak di antara mereka yang terpaksa menghuni rumah kumuh di bantaran
sungai, di tepi rel kereta api, di kawasan banjir, atau di samping tempat
pembuangan sampah. Apakah mereka harus dikriminalisasi karena tidak mampu
memenuhi peraturan yang berlaku?
Suatu kota memang harus mempunyai peraturan yang ditaati oleh seluruh warga
kotanya, tetapi masalah seperti ini harus dapat diselesaikan dengan bijak melalui
penanganan yang rasional dan realistik. Kota tidak boleh meng-alien-nasikan warga
miskin. Kota untuk semua dan prinsip ini harus konsekuen ditegakkan. Masyarakat
miskin tidak boleh dianggap sebagai beban. Mereka adalah juga tenaga produktif
yang memungkinkan kegiatan pembangunan dan pemeliharaan kota berlangsung
dengan lancar. Dalam Negara Kesatuan berdasar Pencasila arus migrasi masuk ke
dalam kota tidak boleh dilarang. Arus ini dapat dikurangi dengan pemerataan
pembangunan di berbagai daerah, tetapi melarang kelompok warga tertentu masuk
ke kota adalah bertentangan dengan peri kemanusiaan dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Masyarakat miskin diakui hak hidupnya di dalam kota dan harus dicarikan
penyelesaian yang baik dalam ruang kehidupan dan permukimannya. Masyarakat
dan para mahasiswa perlu memahami realita dan masalahnya serta berpikir tentang
upaya penyelesaiannya. Mereka jangan hanya disuguhi gambaran indah masyarakat
negara maju yang sudah mapan. Ini bukan semata-mata masalah teknis fisik
melainkan lebih merupakan masalah ekonomi dan sosial budaya. Begitu juga untuk
para birokrat, alat yang perlu dipakai tidak hanya pemberlakuan hukum formal yang
baku, tetapi harus disertai bimbingan, pembinaan, bantuan, dan pendampingan yang
efektif. Kita tidak cukup hanya berdoa dan mengharap agar masalah itu dapat segera
Suhadi Perencanaan
Hadiwinoto, Mengawal
danBerdasar
Mengamankan
Kota
Suprayoga Hadi, Pemikiran
di Indonesia
CatatanRencana
Tahun 2004
85
diselesaikan. Harus digarap langkah-langkah positif untuk menyelesaikan masalah
itu dengan terukur.
Beberapa upaya perbaikan permukiman kumuh atau slum area telah diupayakan
melalui program perbaikan kampung, tetapi tampaknya pemerintah masih
menghindar dari penanganan permukiman squatter yang menempati lahan tanpa
hak di tepian sungai dan sebagainya. Penanganan masalah squatter tidak berarti
harus melegalisasi seluruh pelanggaran, tetapi lebih merupakan upaya bersama
bagaimana masalah itu dapat diselesaikan secara adil dan rasional. Penanganan
program ini jelas tidak sederhana dan tidak semudah mengatakannya, tetapi mau
tidak mau program ini harus digarap jika kita tidak ingin membiarkannya berlarutlarut dan suatu ketika menjadi bom waktu yang memicu konflik sosial. Penanganan
masalah squatter tidak bisa diselesaikan dengan model penertiban dan penggusuran
saja tetapi perlu digarap bersamaan dengan solusi yang realistik dan terjangkau.
Sementara itu program perbaikan kampung yang dimulai 42 tahun yang lalu perlu
dikembangkan garapannya tidak terbatas pada perbaikan prasarana dan sarana
umum tetapi perlu memperhatikan penanganan yang lebih holistik. Penerapan
konsep Tribina atau Tridaya yang dimulai 25 tahun yang lalu membawa angin
segar, tetapi itupun harus ditingkatkan dengan pemikiran-pemikiran baru, jangan
selalu statis dengan business as usual. Beberapa negara tetangga telah
mengembangkan community development sebagai mekanisme penyelesaian
sengketa tanah antara pemilik dan penghuni. Ada juga penerapan pola-pola
‘membangun tanpa menggusur.’ konsep-konsep itu sudah sering dibahas di
Indonesia, tetapi tidak kunjung dicoba pelaksanaannya.
Setelah melalu krisis moneter yang mencekam pada tahun 1969 dan perubahan
politik yang membingungkan, banyak pelaku dan perencana pembangunan yang
masih dalam situasi psikologi terpuruk, terpaku pada situasi tidak berdaya, dan
kehilangan semangat kerja. Banyak yang bersikap lebih baik aman tidak terjerat
aturan baru, daripada kreatif tetapi harus sulit menghadapi dakwaan penyimpangan.
Saat ini yang diperlukan adalah api semangat baru untuk keluar dari kebekuan.
Tugas pimpinan adalah menyalakan api itu, memberi semangat, membimbing, dan
memfasilitasi proses pembaharuan. Tidak hanya diperlukan peraturan baru yang
lebih menertibkan proses yang amburadul, tetapi diperlukan juga aturan yang
merangsang kreativitas dan kemajuan, tentu saja dengan memperhatikan mekanisme
pengamanan yang diperlukan.
4.6
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA
Hal-hal yang berkenaan dengan kebutuhan fisik seperti permukiman, prasarana
jalan, fasilitas umum, air minum, persampahan, sanitasi, pengendalian pencemaran,
dan sebagainya biasanya mendapat banyak perhatian. Topik ini begitu sering
dibahas dalam berbagai seminar dan diskusi, serta diulas di berbagai media cetak
dan elektronik. Topik ini banyak dibahas karena langsung dirasakan secara fisik dan
terlihat secara visual. Hal yang bersifat fisik dan kasat mata memang lebih mudah
ditangkap dan diperbincangkan masyarakat. Penataan ruang lebih banyak ditangkap
sebagai pengaturan ruang fisik, padahal ruang itu adalah ruang kehidupan tempat
86 Menarik
Judul Buku
Pelajaran dari
50 TAHUN PERJALANAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA DI INDONESIA
masyarakat juga melangsungkan kegiatan ekonomi dan sosial budaya. Jika berbagai
prasarana dan sarana fisik adalah raganya, maka nilai-nilai sosial budaya adalah
jiwanya, dan ekonomi adalah energi yang dikelola dan dimanfaatkan dalam
menjalankan kehidupan.
Hal-hal yang berkenaan dengan kegiatan ekonomi seperti pusat perdagangan dan
perkantoran, kawasan industri, dan sektor informal juga mendapat banyak perhatian
karena dirasakan langsung terkait dengan kemakmuran, kesempatan kerja, dan
penanggulangan kemiskinan. Meskipun demikian masih banyak terjemahan
kebijakan ekonomi kota yang belum sepenuhnya tergarap dalam penataan ruang
kota. Salah satu isu yang belum tergarap dengan jelas adalah bagaimana
menyandingkan sektor informal dengan sektor formal dalam ruang kota, bagaimana
mengatur dan megendalikannya dengan tepat, di satu sisi membuka kesempatan
pada sektor informal untuk eksis dan berkembang, di sisi lain menjaga agar dapat
tetap tertata dalam jumlah dan posisi yang harmonis dalam ruang kota. Konsepkonsep pertumbuhan dan pemerataan yang baik juga belum terwujud sepenuhnya
dalam kota.
Bagaimana ruang kota melayani dengan baik kebutuhan interaksi sosial dan
kehidupan budaya belum banyak diperbincangkan. Kebutuhan ini tidak dapat
dijawab hanya dengan menyediakan sekian hektar lahan pada lokasi tertentu untuk
fasilitas sosial. Angka jumlah dan luas itu harus diterjemahkan dengan baik dan
benar agar dapat melayani dan mengantar masyarakat meningkatkan kualitas
hidupnya. Setelah selesai dibangun berbagai sarana itu harus dikelola dan
digunakan sebaik-baiknya agar dapat membawa manfaat nyata bagi masyarakat.
Tujuan dan strategi pembangunan bidang sosial budaya secara utuh sering belum
terserap sepenuhnya dalam penataan ruang kota. Yang sudah tertampung adalah
ukuran jumlah dan luas, tetapi ruh pengembangan sosial budaya itu belum
menjiwainya. Dalam tahap perencanaan aspek sosial budaya kurang mendapat
perhatian, dalam tahap pelaksanaan kurang mendapat anggaran, dan dalam tahap
pemanfaatan kurang didukung manajemen yang efektif.
Masyarakat mendambakan kota yang aman dan tenteram, yang memungkinkan
warga mengembangkan kehidupan yang harmonis dan sejahtera. Disamping aman
dari gangguan alam, bencana, kecelakaan, dan gangguan fisik lainnya, juga aman
dari kegiatan yang mungkin mengganggu satu sama lain. Masyarakat mendambakan
interaksi sosial yang rukun dan dinamis dilandasi keadilan dan kesetaraan.
Masyarakat mengharapkan kehidupan budaya yang dapat terus mengangkat harkat
kemanusiaan, yang terus meningkatkan kualitas hidupnya. Harapan tersebut harus
dapat dilayani oleh ruang kota. Urusan kehidupan kota bukan hanya merupakan
persoalan dakwah, pendidikan, dan peraturan perundangan. Ini juga dipengaruhi
oleh penataan ruang karena adanya pengaruh timbal balik antara ruang dan
kehidupan manusia. Apakah harapan-harapan itu sudah menjiwai dan diterjemahkan
dengan baik dalam penataan ruang kota?
Seluruh ruang kota, baik yang outdoor maupun indoor, yang public (milik umum)
atau pribadi, yang besar maupun yang kecil seharusnya dapat menyumbang pada
kehidupan sosial budaya yang dinamis dan semarak. Saat ini banyak ruang publik
Suhadi Perencanaan
Hadiwinoto, Mengawal
danBerdasar
Mengamankan
Kota
Suprayoga Hadi, Pemikiran
di Indonesia
CatatanRencana
Tahun 2004
87
yang diserbu dan disita oleh kegiatan komersial. Ruang visual juga banyak
didominasi oleh berbagai iklan raksasa yang berteriak di segala penjuru. Memang
kegiatan perdagangan dan iklan media ruang luar merupakan sumber pendapatan
yang sangat besar bagi Pemda, tetapi seharusnya dikembangkan pengendalian yang
lebih efektif. Berbagai ketentuan yang ada seharusnya juga dapat mencegah
penggerogotan ruang terbuka oleh bangunan yang didirikan dengan atau tanpa izin
membangun. Pelanggaran batas koefisien dasar bangunan dan koefisien lantai
bangunan jelas menambah beban yang harus dipikul oleh ruang kota. Kita sudah
terlalu permissive membiarkan pencurian dan gangguan terhadap ruang kehidupan
sosial budaya yang seharusnya menyumbang bagi peningkatan kualitas hidup
masyarakat.
Sementara itu ruang publik yang sudah ada banyak yang masih steril dari suasana
kehidupan yang positif. Banyak ruang publik yang masih ‘kering’ sekedar sebagai
ruang kosong atau tempat berlalu lalang. Ruang publik dapat diisi dengan berbagai
karya seni, dapat digunakan untuk menyajikan patung dan lukisan, dapat diisi oleh
seseorang memperagakan pantomim, atau memainkan suling yang dapat
menghidupkan suasana. Jumlah dan penampilannya harus dijaga agar tidak berubah
menjadi ‘pasar’ yang hiruk pikuk. Sering terjadi di banyak kota kita bahwa awal
yang baik itu kemudian disusul dengan perkembangan tak terkendali yang
didominasi tujuan komersial. Pada negara lain keberadaan seseorang yang duduk
memainkan cello atau gitar klasik tanpa meminta-minta, keberadaan karya seni di
ruang terbuka sangat membantu terbangunnya suasana kehidupan yang akrab dan
bergairah.
Pada lapangan kelurahan atau kecamatan pada waktu tertentu dapat diselenggarakan
kesenian rakyat yang memberi ruang pada kelompok masyarakat berkesenian dan
berkomunikasi. Pendopo kelurahan atau kecamatan dapat juga lebih ramah memberi
kesempatan pada warganya untuk berkesenian. Ia dapat mendekatkan masyarakat
pada pamongnya, menjembatani kesenjangan yang semakin jauh. Sanggar seni di
RT/RW dan pendidikan kesenian untuk anak-anak perlu digalakkan agar lebih
berkembang keseimbangan antara kehidupan fisik dan penguatan nilai-nilai.
Di samping kegiatan skala mikro seperti tersebut di atas, suatu kota perlu
mempunyai gedung kesenian, pusat kebudayaan, museum, galeri, dan sebagainya.
Pada beberapa kota, fasilitas itu tersedia tetapi isian kegiatannya belum optimal. Ini
sangat tergantung kemampuan manajemen untuk mengelola acara, membangun
suasana, dan berkomunikasi dengan publik. Jelas bahwa alokasi ruang kota masih
harus diikuti dengan pembangunan sarana yang tepat dan kemampuan mengelola
yang prima untuk membuatnya efektif berguna bagi masyarakatnya. Berbagai upaya
pengembangan kegiatan seni budaya perlu dilihat bukan hanya sebagai
pengembangan hiburan atau entertainment tetapi sebagai upaya mengolah dan
mempertajam kepekaan pada sistem nilai, mengajak masyarakat mengolah ‘rasa’ di
samping memikirkan sandang pangan dan kebutuhan fisik lainnya.
Jika masyarakat sudah peka mengolah rasa, memahami nilai kehidupan, dan sadar
akan masa depan yang diperjuangkan, ia akan lebih cermat mengelola
lingkungannya dan lebih peka dalam membangun kotanya. Kota akan didasari etika,
88 Menarik
Judul Buku
Pelajaran dari
50 TAHUN PERJALANAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA DI INDONESIA
estetika dan logika yang mantap. Kota yang terbangun akan mengandung ‘ruh’ dan
semangat hidup yang bergelora. Kita akan dapat mengenali dan merasakan kotakota mana yang mempunyai gelora kehidupan budaya dan kota mana yang sekedar
tumbuh seadanya saja. Kota yang berbudaya akan tampil cemerlang dengan
kehidupan yang dinamis, harmonis dan semangat tinggi, sementara kota-kota lain
tinggal biasa-biasa saja tanpa gairah kehidupan. Kehidupan budaya bukan hanya
milik orang kaya saja. Kita banyak melihat masyarakat sederhana yang akrab
dengan pemahaman dan kehidupan budaya, sementara ada juga masyarakat
berpenghasilan tinggi yang tidak peka memahami kehidupan budaya.
4.7
KEBERLANJUTAN FISIK, EKONOMI, DAN SOSIAL BUDAYA
Kita tentunya mengharapkan bahwa kota-kota kita tidak mati di tengah
perjalanannya, tidak susut, merosot, dan punah kehilangan roh-nya. Kita
mengharapkan perkembangan kota yang berkelanjutan. Perkembangan kota tidak
selalu harus diartikan identik dengan perluasan kota dan pertambahan jumlah
penduduk. Perkembangan kota yang berkelanjutan lebih dimaksud sebagai
peningkatan kualitas kehidupan masyarakatnya, baik secara fisik, ekonomi, maupun
sosial-budaya. Kota harus dapat menjawab berbagai tantangan baru tanpa
melupakan sejarah dan identitasnya. Tentu saja kota dapat berkembang dan berubah
sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakatnya, tetapi ia perlu menjaga
karakter dasarnya yang terwujud dalam berbagai unsur dan kehidupannya. Kota
juga perlu menjaga agar mesin ekonominya tetap berjalan lancar.
Suatu kota dapat hidup berkelanjutan jika ia dapat memelihara keberlanjutan fisik,
ekonomi, dan sosial budayanya. Tidak cukup ia hanya memperhatikan penataan
fisiknya saja. Ia harus secara simultan mengusahakan keberlanjutan ekonomi dan
sosial budaya kotanya. Tidak cukup ia hanya mengurus alokasi dan penempatan
ruang, sanitasi, transportasi, dan berbagai prasarana fisik. Ia harus berupaya agar
perkembangan ekonomi kotanya sehat dan berkelanjutan, dan ini harus secara tepat
diterjemahkan dalam penataan ruangnya serta koordinasi pencapaiannya. Ia harus
berupaya agar kehidupan sosial budaya berkembang harmonis dan dinamis, dan ini
harus didukung oleh ruang kota yang direncanakan disertai upaya pelaksanaan dan
pengelolaan yang efektif.
Setiap tahun kita lihat ada upaya untuk mencari dan menilai kota mana yang
terbaik. Seyogyanya penilaian atas pembangunan dan pengelolaan kota yang terbaik
selalu didasari keberhasilan mengembangkan ketiga bidang itu secara harmonis
yaitu: fisik, ekonomi, dan sosial budaya. Bupati dan Walikota perlu selalu
mengupayakan kemajuan dan keseimbangan ketiga bidang itu agar kota dan
kabupaten dapat berkembang berkelanjutan dengan baik. Penilaian yang ada
sekarang sering lebih berfokus pada aspek perkembangan fisik dan kurang cermat
mengukur keberhasilan di bidang ekonomi kota dan kehidupan sosial budayanya.
Ada tiga hal yang diperlukan untuk membangun keberlanjutan fisik, ekonomi, dan
sosial budaya ini. Pertama, bahwa perencanaan fisik, ekonomi, dan sosial budaya
perlu digarap seimbang dan perlu mendekatkan satu sama lain. Saat ini perencanaan
ketiga bidang tersebut terasa saling berjauhan dan kurang terintegrasi. Memang
Suhadi Perencanaan
Hadiwinoto, Mengawal
danBerdasar
Mengamankan
Kota
Suprayoga Hadi, Pemikiran
di Indonesia
CatatanRencana
Tahun 2004
89
dalam perencanaan fisik ada disebut aspek ekonomi dan sosial budaya yang harus
diperhatikan, tetapi proses itu belum sampai membangun strategi dan program
bersama bagaimana mewujudkan keberlanjutan fisik, ekonomi, dan sosial budaya
secara efektif dengan dukungan masing-masing bidang. Kotak dan sekat-sekat
birokrasi masih terlalu tebal untuk memungkinkan kerjasama dan kerja bersama
yang nyata.
Kedua, bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian adalah merupakan
bagian manajemen yang utuh dan tidak boleh terputus. Para perencana seyogyanya
tidak hanya cukup puas dengan produk perencanaan yang baik saja, tetapi perlu
juga direncanakan dan diperjuangkan, atau setidaknya memberi catatan, bagaimana
mengembangkan sistem pelaksanaan dan pengendalian untuk mengawal rencana
agar rencana itu dapat terlaksana dan tidak menyimpang atau raib ditengah jalan.
Para perencana yang bekerja di berbagai lembaga dan berbagai bidang perlu bekerja
keras dan berjuang agar rencana yang telah disepakati dan ditetapkan secara sah
dapat benar-benar terwujud. Perdebatan panjang mengenai proses dan materi
perencanaan tidak akan banyak berguna jika berbagai proses lanjutannya tidak
diamankan.
Ketiga, bahwa pembangunan itu bukan domainnya para ahli perencanaan dan para
pakar saja, melainkan merupakan kepentingan seluruh rakyat. Para ahli tidak dapat
beranggapan bahwa pemikirannya sudah pasti mewakili aspirasi seluruh rakyat.
Diperlukan lebih banyak komunikasi, baik secara langsung maupun melalui
organisasi dan lembaga perwakilan. Pada masa Orde Baru keinginan untuk
membangun dengan cepat sering mengabaikan proses komunikasi dan konsultasi
dengan masyarakat. Akibatnya masyarakat menjadi terasing dari proses
pembangunan, dan kadang-kadang tumbuh keberatan dan pertentangan yang
terpendam, yang sewaktu-waktu meletus sebagai konflik. Setelah reformasi dituntut
partisipasi masyarakat yang lebih luas, tetapi banyak pejabat dan perencana yang
tidak merasa nyaman dengan proses yang relatif lebih rumit ini karena mereka
sudah begitu terbiasa dengan proses yang mudah dan cepat. Reformasi perencanaan
perlu dikembangkan lebih nyata dan efektif.
Demikian tadi beberapa catatan sederhana dari pengamatan atas upaya perencanaan
perkembangan kota dan kebutuhan untuk mengawal dan mengamankannya. Semoga
catatan ini dapat bermanfaat.
90 Menarik
Judul Buku
Pelajaran dari
50 TAHUN PERJALANAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA DI INDONESIA