Peran dan Signifikansi Migrant CARE seba

Tugas Makalah Kelompok Mata Kuliah Masyarakat Transnasional
Nama

: Tiara Maharanie

(1206210856)

Peran dan Signifikansi Migrant CARE sebagai NGO Pembela HAM Buruh
Migran Indonesia yang Bekerja pada Ranah Domestik di Malaysia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Peningkatan arus globalisasi yang terjadi pada saat ini mempengaruhi seluruh aspek
kehidupan manusia baik dari aspek sosial, politik, budaya, ekonomi hingga lingkungan.
Globalisasi telah mendorong berbagai perubahan yang terjadi, selain itu, globalisasi juga
mendorong munculnya fenomena baru atau mendorong signifikansi fenomena tertentu yang
sebelumnya diabaikan. Salah satu fenomena tersebut yaitu semakin meningkatnya arus
perpindahan manusia lintas-batas negara yang dilakukan atas motif ekonomi untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Salah satu contoh fenomena ini dapat dilihat dari banyaknya buruh migran yang
datang ke Malaysia dari berbagai negara. Salah satu pemasok buruh migran terbesar ke

Malaysia yaitu Indonesia. Berdasarkan data dari Malaysian Ministry of Human Resources
diketahui bahwa terdapat 2.109.954 buruh migran yang saat ini bekerja di Malaysia dan
sebanyak 50 persen dari pekerja tersebut berasal dari Indonesia (IOM, 2010). Besarnya
jumlah buruh migran dari Indonesia ketimbang negara lain ini didukung oleh faktor geografis
dimana wilayah Indonesia dan Malaysia berbatasan langsung sehingga secara geografis
kedua negara ini sangat berdekatan (IOM, 2010). Hal ini dapat dilihat dalam tabel berikut:

(Sumber: IOM, 2010)
Namun, dengan banyaknya jumlah buruh migran Indonesia di Malaysia, hal ini
menimbulkan permasalahan baru yaitu munculnya berbagai kasus pelanggaran HAM
1

terhadap buruh migran Indonesia. Berdasarkan data yang disampaikan oleh NGO di
Malaysia, pada tahun 2006-2007, terdapat 1.050 pelanggaran HAM terhadap buruh migran
Indonesia di Malaysia yang berhasil didokumentasikan (Le Fevre, 2007). Kemudian, pada
tahun 2011, NGO Migrant CARE dari Indonesia melaporkan bahwa terdapat 17 pekerja
migran Indonesia di Malaysia yang dijatuhi hukuman mati dan 348 lainnya memiliki
kemungkinan yang cukup besar untuk dikenai hukuman mati. Selain itu, Migrant CARE di
tahun yang sama juga mencatat bahwa terdapat 14.074 buruh migran Indonesia yang tidak
mendapatkan gaji, 3.070 buruh migran mengalami kekerasan fisik, 1.234 buruh migran

mengalami kekerasan seksual dan 1.203 buruh migran meninggal dunia (The Jakarta Post,
2011).
Banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi inilah yang mendorong munculnya NGONGO baik di Malaysia maupun di Indonesia sendiri yang berupaya untuk mengadvokasi
permasalahan ini. Dari berbagai macam NGO tersebut, makalah ini akan memfokuskan pada
peran NGO Migrant CARE dalam mengadvokasi pelanggaran HAM buruh migran Indonesia
yang bekerja pada ranah domestik di Malaysia. Hal ini menjadi menarik karena Migrant
CARE merupakan NGO yang memiliki link langsung di Malaysia dan juga terhubung dengan
jaringan NGO lain di tingkat internasional. Hal ini mempermudah Migrant CARE untuk
bekerja dalam arena kebijakan maupun pada grassroot level (Ford & Susilo, 2010).
1.2 Pertanyaan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka makalah ini berusaha menjawab
pertanyaan: “Bagaimana peran dan signifikansi Migrant CARE sebagai NGO yang
membela hak-hak buruh migran Indonesia yang bekerja pada ranah domestik di
Malaysia?”
1.3 Kerangka Teori
Makalah ini akan menggunakan tulisan Forsythe yang berjudul “Human Rights in
International Relations” sebagai kerangka teori untuk melakukan analisis terhadap peran dan
signifikansi peran NGO, yang dalam hal ini adalah Migrant CARE, dalam isu perlindungan
HAM buruh migran Indonesia di Malaysia.


A. Peran dan Aktivitas yang Dijalankan NGO

2

Dalam tulisannya, Forsythe (2000, 166-172), menjelaskan empat prosedur peran dan
aktivitas yang dijalankan NGO dalam upaya untuk memberikan dukungan dan
mengupayakan perubahan terhadap isu yang diperjuangkan. Prosedur peran tersebut terdiri
dari:
1. Mengumpulkan informasi yang dibutuhkan
NGO berusaha untuk mengumpulkan seluruh data dan informasi terkait isu yang
diperjuangkan termasuk data dan informasi yang dianggap kurang penting oleh entitas
lain. Selain itu, NGO juga memiliki kemampuan untuk mengumpulkan jenis
informasi dan data yang sulit diakses oleh pihak lain. Data dan informasi tersebut
harus diolah dengan baik oleh NGO sehingga informasi tersebut dapat disebarluaskan
secara akurat.
2. Melakukan persuasi terhadap otoritas publik
Persuasi dilakukan untuk mengupayakan perubahan terhadap standar HAM yang telah
ada dan menerapkan perubahan tersebut. Aktivitas ini disebut dengan lobbying.
Namun, karena sifatnya yang non-politik, NGO cenderung menggunakan kata
‘edukasi’ terhadap aktivitas tersebut. Salah satu bentuk persuasi yang dilakukan NGO

yaitu melalui kampanye.
3. Mempublikasikan informasi yang di dapat untuk edukasi jangka panjang
Dalam aktivitasnya, NGO tidak mengharapkan perubahan langsung. Tujuan NGO
yaitu untuk mempengaruhi proses jangka pendek agar dapat memiliki pengaruh yang
bersifat jangka panjang. Dengan publikasi informasi yang dilakukannya, NGO
berupaya untuk menarik perhatian masyarakat terhadap isu yang diangkat dan
menyuarakan pentingnya perubahan kepada pemerintah, seperti perubahan terhadap
kebijakan pemerintah.
4. Menyediakan bantuan langsung
NGO juga memberikan bantuan langsung kepada civil society yang diperjuangkan.
Bantuan ini dapat berbentuk judicial lobbying dimana NGO memberikan bantuan
legal kepada civil society yang menjadi korban baik melalui saran dan edukasi terkait
permasalahan hukum hingga melakukan lobi di tingkat pengadilan.
B. Signifikansi Peran dan Pengaruh Aktivitas NGO
Meskipun sulit untuk melakukan justifikasi terhadap keberhasilan peran dan aktivitas
NGO dalam upaya untuk melakukan perubahan terhadap suatu kondisi, Forsythe dalam

3

tulisannya memformulasikan empat tingkat keberhasilan NGO (Forsythe, 2000) yang terdiri

dari:
1. Sukses untuk meletakkan agenda atau subjek tertentu sebagai bahan diskusi
2. Sukses untuk memicu terjadinya diskusi yang mendalam
3. Sukses untuk memicu perubahan prosedural atau institusional
4. Sukses dalam menghasilkan perubahan substantif pada kebijakan yang dapat
memperbaiki atau mengatasi permasalahan yang ada.
Tingkatan tersebut memperlihatkan sejauh mana signifikansi peran dan kesuksesan
aktivitas NGO dalam mengadvokasi isu tertentu. Pada dasarnya, banyak cara yang dapat
digunakan untuk menjadi indikator kesuksesan aktivitas NGO, namun semua hal ini
tergantung pada konteks kasus. Sehingga, yang terpenting dalam hal ini yaitu melihat
aktivitas NGO yang mampu membuka ruang dan kemungkinan untuk perubahan yang lebih
baik di masa yang akan datang.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan NGO di Indonesia
Non-Governmental Organisation atau NGO di Indonesia biasa disebut sebagai LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat) atau LPSM (Lembaga Pengembangan Swadaya
Masyarakat). Perkembangan organisasi masyarakat di Indonesia telah terjadi sejak sebelum
Indonesia merdeka, dimana menurut Sakai (2002, 161-162), hal ini terlihat dari adanya
organisasi masyarakat yang berlandaskan nilai agama dan edukasi seperti pesantren, lumbung

desa, dan sabak (sistem pengawasan irigasi di Bali). Meski demikian, akar organisasional
NGO Indonesia modern yang berlaku saat ini berawal dari abad ke-19 yaitu saat modernisasi
dimulai. Modernisasi memfasilitasi kelompok-kelompok elit-menengah untuk belajar dari
Barat dan mulai aktif memperjuangkan perubahan sosial dan kultural akibat kolonisasi.
Pergerakan masyarakat pun dimulai oleh berbagai organisasi yang datang bersamaan dengan
nilai nasionalisme seperti Budi Utomo (1908), Sarekat Islam (1909), Muhammadiyah (1912)
dan Nahdlatul Ulama (1926).
Peningkatan pesat atas perkembangan NGO di Indonesia sendiri terjadi pada masa
Orde Baru, yaitu sekitar tahun 1970-an. Menurut Sakai, hal ini dipicu atas empat hal.
Pertama, adanya peningkatan kemiskinan di wilayah rural dan urban. Kedua, adanya
perubahan lingkungan politik saat itu, yang pada awalnya pemerintah Soeharto cukup ketat
terhadap aktivitas masyarakat seperti halnya yang dilakukan NGO, namun mulai memudar
4

pada tahun 1970-an. Ketiga, munculnya kelompok-kelompok strategis yang mulai aktif
menyuarakan idenya. Sebagian besar dari mereka merupakan masyarakat menengah-keatas,
dimana menurut Sakai juga banyak memiliki relasi personal dengan elit pemerintah sehingga
memungkinkan terjadinya negosiasi dan pengaruh terhadap pemerintah. Keempat, adanya
dukungan teknis dan finansial dari komunitas internasional yang menstimulasi formasi NGO
sebagai pihak penerima (Sakai, 2002, 163).

Lebih lanjut, meski jumlah NGO diperkirakan telah mencapai angka belasan ribu di
Indonesia, namun organisasi yang telah tercatat dalam data resmi masih terbatas. Hal ini
terlihat pada perkiraan total NGO pada pertengahan 1990-an yaitu sekitar 7.000 – 12.000,
namun yang tercatat hanya sekitar 10% sampai 20% dari seluruhnya. Menurut Kementerian
Dalam Negeri, pada tahun 1985 terdapat 1.810 NGO, 3.251 NGO pada 1989, dan 7.000 pada
pertengahan 1990-an (Sakai, 2002, 165). Hal ini kemudian memperlihatkan bahwa
pertumbuhan aktivitas NGO di Indonesia memang terus mengalami peningkatan tiap
tahunnya.
Perubahan lingkungan politik dari Orde Baru kearah Reformasi kemudian
memberikan ruang gerak yang semakin terbuka bagi aktivitas NGO. Meski masih terdapat
tantangan bagi NGO dalam mempengaruhi birokrasi, serta masih lemahnya implementasi
hukum dan regulasi terkait isu tertentu, namun keterlibatan civil society—termasuk NGO—
menjadi salah satu karakteristik utama dalam proses demokratisasi di Indonesia. Dari
beragam bidang permasalahan yang ada, isu buruh migran merupakan salah satu yang paling
menyita perhatian NGO dan civil society secara luas di Indonesia. Hal ini mengingat bahwa
terdapat beragam permasalahan kompleks yang terjadi pada isu tersebut sehingga memicu
banyaknya NGO-NGO baru yang fokus pada permasalahan buruh migran, salah satunya
Migrant CARE. (Sylvia Yazid, 2008, 1-2).
2.2 Pelanggaran HAM terhadap Buruh Migran Indonesia di Malaysia
Banyaknya buruh migran Indonesia yang bekerja sebagai PRT di Malaysia berimbas

pada semakin banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi. Berdasarkan data dari Australian
Institute for Criminology, sebanyak 56% pekerja domestik Indonesia mengalami eksploitasi
dan sebagian besar terjadi di Malaysia, seperti yang dapat dilihat pada diagram berikut:

5

Eksploitasi Terhadap Pekerja Domestik Indonesia

6.00% 4.00% 1.00%

Malaysia
Indonesia

Timur Tengah
Singapore
89.00%

(Sumber: Andrevski & Lyneham, 2014)
Pelanggaran HAM yang terjadi terhadap buruh migran yang bekerja di ranah
domestik di Malaysia terjadi dalam berbagai bentuk. Pelanggaran tersebut mulai dari tidak

mendapatkan gaji, jam kerja yang melebihi batas, tidak mendapat waktu libur mingguan,
kondisi kehidupan yang buruk, pekerjaan yang tidak aman, tugas yang tidak berhubungan
dengan pekerjaan domestik dan larangan untuk pindah kerja. Selain itu, terdapat pula
eksploitasi dalam bentuk kekerasan psikologis dan mental kekerasan fisik, kekerasan seksual
hingga perdagangan manusia (Andrevski & Lyneham, 2014).
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, buruh migran Indonesia yang bekerja di
ranah domestik di Malaysia tersebut mengalami kesulitan untuk melakukan pergerakkan
seperti pindah kerja. Sangat sedikit kasus yang memperlihatkan bahwa buruh migran tersebut
dapat melakukan pergerakkan sesuai dengan keinginannya. Perpindahan tersebut sering kali
baru terjadi apabila majikannya menjual buruh migran tersebut kepada pihak lain. Meskipun
demikian, hal ini juga termasuk pelanggaran terhadap HAM karena perpindahan tersebut baru
dapat terjadi melalui perdagangan. Dalam hal ini, dua jenis pelanggaran HAM terjadi secara
bersamaan dimana buruh migran tidak memiliki kebebasan untuk pindah pekerjaan dan
terjadinya perdagangan manusia yang merupakan jenis pelanggaran HAM berat. Persentase
terkait kebebasan untuk melakukan pergerakan di antara pekerja migran domestik Indonesia
di Malaysia dapat dilihat dalam diagram berikut:

6

(Sumber: Andrevski & Lyneham, 2014)

Kemudian, berbagai jenis pelanggaran HAM lainnya juga cukup sering terjadi.
Sebanyak 86% buruh migran Indonesia yang bekerja di ranah domestik di Malaysia
mengalami kekerasan psikologis dan mental. Selain itu, 63% mengalami kekerasan fisik dan
16% mengalami kekerasan seksual hingga pemerkosaan. Kemudian, dilaporkan pula bahwa
sebayak 63% mengalami pencabutan hak untuk makan dan minum yang mengakibatkan
mereka mengalami kelaparan, 85% tidak mendapatkan gaji sama sekali, dan 94% mengalami
jam kerja yang berlebihan seperti bekerja lebih dari 8 jam per hari hingga harus selalu siaga
selama 24 jam. Selanjutnya, dapat dilihat pula bahwa 63% mengalami kesulitan untuk
mengakses jasa kesehatan, 39% harus hidup dalam kondisi yang tidak layak dan tidak sehat,
serta 38% mengalami perdagangan manusia (Andrevski & Lyneham, 2014). Pelanggaran
tersebut dapat dilihat dalam diagram berikut:

(Sumber: Andrevski & Lyneham, 2014)
Contoh kasus terkait beberapa pelanggaran HAM tersebut yaitu kasus Siti Hajar,
Nirmala Bonat, Kunarsih, dan Komariyah. Siti Hajar mengalami kekerasan fisik dimana
selama 34 bulan bekerja, Siti Hajar dipukuli secara berulang dengan menggunakan tongkat
dan disiram dengan air panas oleh majikannya (Irin News, 2009). Sedangkan Nirmala Bonat
mengalami penyiksaan selama lima bulan dengan penyiksaan seperti di siram dengan air
7


panas, dipukuli dengan berbagai objek hingga ditekankannya setrika panas ke punggung dan
dada Nirmala Bonat (Le Fevre, 2007). Kemudian, penyiksaan kepada Kunarsih dan
Komariyah merupakan penyiksaan yang berakhir dengan kematian dari kedua buruh migran
tersebut. Kunarsih meninggal setelah empat bulan bekerja dimana Ia mengalami pemukulan
dengan benda tumpul hingga meninggal (Le Fevre, 2007). Sedangkan Komariyah meninggal
setelah tiga tahun bekerja karena kelaparan dan mengalami penyiksaan fisik (Channel News
Asia, 2014).
2.3 Peran Migrant CARE sebagai NGO yang Membela HAM Buruh Migran Indonesia
di Malaysia
Saat ini, terdapat lebih dari 100 NGO di Indonesia yang menangani permasalahan
terkait buruh migran (Le Fevre, 2007). Salah satu NGO tersebut yaitu Indonesian Association
for Migrant Workers’ Sovereignty atau yang lebih dikenal sebagai Migrant CARE yang
muncul sejak 22 Juni 2004 (Yazid, 2012). Migrant CARE merupakan NGO yang fokus untuk
mendorong perubahan kebijakan dengan menggunakan kampanye melalui media dan
mengadakan dialog dengan pemerintah (Le Fevre, 2007). Meskipun NGO ini masih termasuk
baru, namun NGO ini telah mendapatkan reputasi di tingkat nasional dan internasional. Hal
ini dibuktikan dengan pernyataan Ford dalam tulisannya yang mengatakan bahwa Migrant
CARE “has taken on much of the advovacy promile formerly held by Kopbumi” (Yazid,
2012). Dalam menjalankan tugasnya, Migrant CARE menjalankan empat strategi utama yang
terdiri dari konseling, advokasi, penelitian dan edukasi. Selain itu, Migrant CARE juga
memiliki dua program yang ingin segera diwujudkan yaitu membangun kerja sama untuk
advokasi pekerja migran di Asia Tenggara dan memberikan respon secara cepat
(Humantrafficking.org).
Dalam menjalankan aktivitasnya, jaringan merupakan hal yang terpenting bagi NGO.
Semakin luasnya jaringan NGO tersebut maka akan semakin mempermudah pelaksanaan
aktivitas NGO itu sendiri. Dalam aktivitasnya, Migrant CARE memperlihatkan
keberhasilannya dalam membangun jaringan dengan berbagai pihak bagi dengan sesama
NGO di tingkat nasional, regional dan internasional; dengan pemerintah Indonesia dan negara
yang bersangkutan; dan masyarakat sipil. Hal ini terlihat dalam program penguatan kerja
sama dan advokasi terhadap buruh migran di kawasan Asia Tenggara yaitu dalam aktivitas
pengembangan jaringan nasional dan melakukan pertemuan rutin dengan gerakan buruh
migran lainnya di kawasan Asia Tenggara (Humantrafficking.org). Kemudian, dapat pula
dilihat dalam kerjasama Migrant CARE dengan NGO-NGO lainnya di Indonesia seperti
8

KontraS, HRWG, Solidaritas

Perempuan, INFID, Jala PRT dan NGO lainnya

(Humantrafficking.org). Kemudian, Migrant CARE juga melakukan kerja sama dengan
Human Rights Watch dan ILO (Humantrafficking.org, mfasia.org). Sehingga berdasarkan
kerja sama tersebut dapat dilihat bahwa Migrant CARE telah membangun jaringan dengan
NGO lainnya di tingkat nasional, regional hingga internasional. Kemudian, terkait
hubungannya dengan pemerintah, Migrant CARE memiliki kantor perwakilan di Kuala
Lumpur Malaysia (Yazid, 2012). Sedangkan terkait hubungannya dengan pemerintah
Indonesia, Migrant CARE berhubungan langsung dengan DPR RI, Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), dan Direktorat Perlindungan WNI dan
Badan Hukum Indonesia. Akan tetapi, hubungan Migrant CARE dengan BNP2TKI sendiri
masih berjalan dengan kurang harmonis. Kemudian, terkait hubungannya dengan masyarakat
sipil, selain mampu berhubungan langsung dengan Calon TKI, TKI dan keluarga TKI,
Migrant CARE juga menjalin hubungan yang sangat baik dengan media massa (Setyoningsih,
Fitriyah & Hermini, 2013).
Kemudian, berlanjut pada peran NGO yang disampaikan oleh Forsythe dalam
tulisannya pada tahun 2000, terdapat empat peran yang dijalankan oleh NGO. Tahapan
pertama yaitu mengumpulkan informasi. Dalam hal ini, Migrant CARE menjalankan
perannya dengan sangat baik. Hal ini terbukti dengan dokumentasi yang dilakukan oleh
Migrant CARE bersama dengan Human Rights Watch terkait dengan cara warga negara
Indonesia di rekrut untuk menjadi pekerja migran pada ranah domestik (mfasia.org). Selain
itu, Migrant CARE juga mengumpulkan informasi-informasi untuk melakukan kajian
mengenai keadilan global bagi buruh migran (Humantrafficking.org). Kajian ini sejalan
dengan fungsi penelitian yang dijalankan oleh Migrant CARE. Selain itu, informasi yang
dikumpulkan juga digunakan untuk menyusun laporan terkait kondisi buruh migran. Seluruh
informasi ini, dikumpulkan dari berbagai sumber dan diolah untuk dipublikasikan kepada
masyarakat sehingga dapat memberikan informasi yang akurat.
Kemudian, peran NGO berikutnya yang disampaikan oleh Forsythe dalam tulisannya
yaitu peran NGO dalam mempersuasi otoritas publik. Terkait hal ini, Migrant CARE terlihat
telah melakukan perannya dengan sangat baik. Secara normatif, Migrant CARE memang
memiliki misi untuk melakukan kampanye terhadap regulasi dan aturan terkait buruh migran
(Yazid, 2012). Tidak hanya berhenti pada misi normatif, misi ini pun direalisasikan oleh
Migrant CARE dalam berbagai jenis persuasi kepada otoritas publik yang dilakukan melalui
kampanye, kerja sama dengan media hingga dialog langsung dengan pemerintah. Selain itu,
Migrant CARE juga memiliki divisi khusus yang menangani masalah kebijakan terkait buruh
9

migran yang disebut Divisi Advokasi Kebijakan. Peran aktif Migrant CARE dapat dilihat
dalam seminar atau diskusi yang dilakukan dalam Pers Room DPR RI yang selalu dihadiri
Migrant CARE untuk mendesak DPR agar segera melakukan langkah konkret untuk
membahas berbagai RUU terkait ketenagakerjaan (Setyoningsih, Fitriyah & Hermini, 2013).
Selain pada tingkat nasional, Migrant CARE juga menjalankan peran persuasi otoritas publik
pada tingkat regional dimana Migrant CARE melakukan advokasi kepada sekertariat ASEAN
agar mempunyai agenda terkait permasalahan buruh migran (IOM, 2010).
Peran selanjutnya dari NGO yang disampaikan oleh Forsythe yaitu peran untuk
melakukan publikasi informasi untuk tujuan memberikan edukasi jangka panjang kepada
masyarakat. Peran NGO dalam hal ini juga dijalankan oleh Migrant CARE. Hal ini terlihat
dalam program pengembangan wacana keadilan global dari Migrant CARE pada poin
pertama dan ketiga. Poin pertama menyebutkan bahwa Migrant CARE melaksanakan
penyebaran isu keadilan global pada forum-forum nasional, regional dan internasional. Lalu
pada poin ketiga, Migrant CARE melaksanakan programnya untuk mempublikasikan dan
mendokumentasikan keadilan global dalam bentuk jurnal dan reportase (IOM, 2010). Selain
itu, Migrant CARE juga menjalankan aktivitas ini melalui pembuatan modul dan training
untuk mencegah perdagangan manusia yang disampaikan kepada masyarakat serta melalui
pembuatan dan mempublikasikan buku panduan untuk buruh migran (Humantrafficking.org).
Lebih lanjut, Migrant CARE juga mempublikasikan informasi melalui website resminya dan
menerbitkan Buletin Migrant CARE dan Newsletter Migrant CARE yang dipublikasikan
secara rutin setiap enam bulan (Setyoningsih, Fitriyah & Hermini, 2013).
Lalu, peran terakhir NGO yang disampaikan oleh Forsythe yaitu memberikan bantuan
langsung dalam berbagai bentuk, salah satunya dengan melakukan judicial lobbying. Peran
NGO ini dapat dikatakan sebagai peran yang dijalankan secara maksimal oleh Migrant
CARE. Hal ini terlihat dalam berbagai aktivitas yang dijalankan oleh Migrant CARE. Dalam
website Migrant CARE, disebutkan mengenai program penguatan kerja sama dan advokasi
terhadap buruh migran di kawasan Asia Tenggara dimana peran dalam memberikan bantuan
langsung dapat dilihat pada poin ketiga yaitu melakukan pembelaan terhadap buruh migran
yang bermasalah di kawasan Asia Tenggara secara bersama-sama (Humantrafficking.org).
Kemudian Migrant CARE juga menjalankan aktivitasnya dengan mengurusi kasus
perdagangan manusia dan menangani berbagai kasus buruh migran secara rutin
(Humantrafficking.org). Selain itu, salah satu misi Migrant CARE itu sendiri yaitu
melakukan advokasi kasus yang dihadapi oleh buruh migran (Yazid, 2012) yang

10

direalisasikan dengan membentuk Divisi Advokasi Kasus (Setyoningsih, Fitriyah & Hermini,
2013).
Menurut Setyoningsih, Fitriyah dan Hermini, disampaikan bahwa divisi ini fokus
pada upaya untuk melakukan penanganan kasus dan memberikan bantuan hukum dalam
bentuk pembelaan dan konsultasi hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan. Divisi ini
melaksanakan kegiatan pendampingan kepada calon TKI, TKI itu sendiri dan keluarga TKI.
Kasus yang ditangani Migrant CARE sebagian besar merupakan kasus yang dilaporkan
langsung oleh keluarga TKI atau TKI itu sendiri. Dalam aktivitasnya, Migrant CARE tidak
hanya memberi bantuan di negara dimana buruh migran itu berada namun juga bantuan untuk
memperoleh perlindungan dan bantuan hukum dari Direktorat Perlindungan WNI dan Badan
Hukum Indonesia dan BNP2TKI (Setyoningsih, Fitriyah & Hermini, 2013).
2.4 Signifikansi Peran/Pengaruh Migrant Care
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab I Kerangka Teori, terdapat empat
tahapan menurut Forsythe terkait signifikansi pengaruh NGO. Namun demikian, berdasarkan
studi literatur, hingga saat ini Migrant CARE secara individual sebagai NGO belum
mencapai pada empat tahap signifikansi menurut Forsythe. Meski telah banyak berbagai
aktivitas yang dijalankan oleh Migrant CARE terkait buruh migran, namun hal ini belum
sesuai dengan signifikansi tersebut. Hal ini berdasarkan berbagai fakta yang ada sebagai
berikut.
Pertama, Migrant CARE belum mencapai pada tahap satu, yaitu sukses untuk
meletakkan agenda atau subjek tertentu sebagai bahan diskusi. Hal ini dikarenakan
permasalahan mengenai buruh migran, khususnya buruh migran di Malaysia telah menyita
perhatian pemerintah dan publik bahkan sebelum Migrant CARE dibentuk pada 2004.
Diskusi dan penyusunan hukum terkait buruh migran Indonesia dan para TKI di Malaysia
telah sebelumnya dibahas oleh berbagai NGO seperti Solidaritas Perempuan ataupun
Kopbumi (gabungan dari berbagai NGO) sejak tahun 2002 (Yazid, 2010). Oleh karena itu,
argumen ini kemudian membawa pada poin signifikansi kedua, yaitu sukses untuk memicu
terjadinya diskusi yang mendalam—yang juga belum berhasil dilakukan oleh Migrant CARE
sendiri. Hal ini mengingat bahwa permasalahan buruh migran Indonesia di Malaysia telah
banyak dibahas oleh berbagai NGO dan pemerintah, tidak hanya atas dorongan oleh Migrant
CARE.
Menurut Yazid, peran Migrant CARE hingga saat ini masih sangat fokus pada
penanganan kasus mengenai buruh migran dan memberikan pernyataan publik
11

melalui media. Migrant CARE belum secara signifikan memberikan perubahan pada level
pemerintah ada prosedural terkait masalah buruh migran di Malaysia. Hal ini terlihat
berdasarkan paparan sebelumnya bahwa Migrant CARE banyak menangani kasus dan
melakukan advokasi terkait buruh migran. Kalaupun terjadi perubahan, peran NGO
khususnya Migrant CARE terbatas pada peran lobbying elit pemerintah melalui pendekatan
personal (Yazid, 2010). Sebagai contoh, saat hukum No. 39/2004 dianggap tidak cukup
dalam menjaga hak para buruh migran Indonesia dan perlu di amandemen, Migrant CARE
melalui Wahyu Susilo hanya dapat melakukan lobi personal terhadap beberapa anggota
parlemen, seperti Muhaimin Iskandar dan Pramono Agung. Terlebih lagi, tidak ada jaminan
bahwa lobi personal ini akan sukses membawa agenda yang diajukan oleh Migrant CARE,
mengingat bahwa pengambilan keputusan bergantung pada suara mayoritas di DPR.
Lebih lanjut, peran Migrant CARE terhadap permasalahan terkait buruh migran
Indonesia di Malaysia juga masih terbatas dalam bentuk desakan dan kecaman.
Sebagai contoh, hal ini dilihat pada kasus saat muncul selembaran obral murah tenaga jasa
pembantu rumah tangga Indonesia di Malaysia pada 2012. Melalui Anis Hidayah selaku
direktur Eksekutif Migrant CARE, Ia menyatakan bahwa Migrant CARE dalam hal ini
mendesak pemerintah Malaysia untuk mengangkat kasus ini secara serius untuk kemudian
meminta maaf kepada Indonesia, khususnya para buruh migran. Selain itu, Ia juga melakukan
komunikasi kepada pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia agar
secepat mungkin mengusut permasalahan ini. Namun, hal ini tidak secara eksplisit bahwa
desakan Migrant CARE tersebut telah secara sukses membawa permasalahan sebagai bahan
diskusi. Hal ini dikarenakan, tanpa adanya desakan tersebut, pemerintah Indonesia melalui
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa juga telah menyatakan bahwa kasus ini perlu
diselesaikan secepatnya oleh kedua negara (VOAIndonesia, 2012).

12

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan paparan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa permasalahan
terkait buruh migran Indonesia di Malaysia merupakan isu yang sangat penting dan perlu
ditangani secara serius, baik oleh kedua negara yaitu Indonesia dan Malaysia, juga oleh civil
society termasuk NGO. Dalam hal ini, Migrant CARE sebagai salah satu NGO yang banyak
bekerja pada pembelaan HAM buruh migran Indonesia di Malaysia telah cukup banyak
melakukan aktivitas guna meminimalisir masalah yang ada, terlihat dari berbagai aktivitasnya
seperti mengumpulkan informasi, melakukan persuasi, mempublikasikan laporan, melakukan
advokasi dan bantuan langsung kepada buruh migran yang terlibat masalah di Malaysia.
Apabila dipertimbangkan berdasarkan teori yang disampaikan oleh Forsythe, maka Migrant
CARE dapat dikatakan telah berperan aktif dalam upayanya menyelesaikan masalah yang
menjadi fokusnya. Namun demikian, karena posisinya sebagai NGO—yaitu organisasi
penekan pemerintah dan gerakan masyarakat—peran Migrant CARE hingga saat ini belum
terlalu signifikan berdasarkan teori Forsythe. Hal ini dikarenakan keempat poin signifikansi
Forsythe apabila dilihat dari berbagai perspektif dan fakta yang ada, belum teraplikasikan
oleh Migrant CARE. Hingga saat ini, Migrant CARE masih sangat aktif pada penanganan
kasus langsung dan menyuarakan perjuangannya melalui media, namun belum mencapai
pada tahap perubahan besar pada pemerintah (prosedural atau institusional) maupun terhadap
masalah buruh migran sendiri. Oleh karena itu, diperlukan kerja yang lebih keras bagi
Migrant CARE untuk dapat menguatkan posisinya agar permasalahan mengenai buruh
migran Indonesia, khususnya yang bekerja di ranah domestik di Malaysia dapat mendapatkan
hak-haknya dan mendapatkan kehidupan yang layak, tentunya sesuai dengan hukum yang
berlaku di kedua negara.

13

DAFTAR PUSTAKA
Andrevski, H., & Lyneham, S. (2014). Experiences of Exploitation and Human Trafficking
Among a Sample of Indonesian Migrant Domestic Workers. Australian Institute of
Criminology.
Retrieved
21
April
2014,
from
http://aic.gov.au/media_library/publications/tandi_pdf/tandi471.pdf
Channel News Asia,. (2014). Malaysian couple to hang for starving Indonesian maid to death
Channel
NewsAsia.
Retrieved
3
May
2014,
from
http://www.channelnewsasia.com/news/asiapacific/malaysian-couple-tohang/1024102.html
Ford, M., & Susilo, W. (2010). Organising for migrant worker rights. Insideindonesia.org.
Retrieved 2 May 2014, from http://www.insideindonesia.org/feature-editions/organisingfor-migrant-worker-rights
Forsythe, D. (2000). Human rights in international relations (1st ed.). Cambridge [England]:
Cambridge University Press.
humantrafficking.org,. (n.d.). Migrant CARE Mission Statement. Retrieved 3 May 2014,
from
http://www.humantrafficking.org/uploads/publications/migrant_care_mission_statement.
pdf
International Organization for Migration,. (2010). Labor Migration from Indonesia. Jakarta:
IOM.
IRIN News Indonesia,. (2009). INDONESIA-MALAYSIA: Abuse case highlights need for
stricter
laws.
Retrieved
3
May
2014,
from
http://www.irinnews.org/report/85664/indonesia-malaysia-abuse-case-highlights-needfor-stricter-laws
Kaur, A. (2009). Labor Crossings in Southeast Asia: Linking Historical and Contemporary
Labor Migration. New Zealand Journal Of Asian Studies, 11(1), 276--303.
Le Fevre, J. (2007). Indonesian domestic workers in Malaysia - abuse rape deadly
beatings. photo-journ's newsblog by John Le Fevre. Retrieved 3 May 2014, from
http://photo-journ.com/death-of-maid-in-malaysia-highlights-endemic-foreign-workerabuse/#axzz30wYS9fqf
Migrant Forum In Asia,. (2012). Statement of Human Rights Watch and Migrant CARE Indonesia: Parliament Approves Migrant Workers Convention. Retrieved 3 May 2014,

14

from http://www.mfasia.org/home/447-statement-of-human-rights-watch-and-migrantcare-indonesia-parliament-approves-migrant-workers-convention
Refworld,. (2004). Refworld | Help Wanted: Abuses against Female Migrant Domestic
Workers in Indonesia and Malaysia. Retrieved 3 May 2014, from
http://www.refworld.org/docid/412ee7434.html
Refworld,. (2004). Refworld | Help Wanted: Abuses against Female Migrant Domestic
Workers in Indonesia and Malaysia. Retrieved 3 May 2014, from
http://www.refworld.org/docid/412ee7434.html
Setyoningsih, E., Fitriyah, & Hermini. (2013). Peran LSM Migrant CARE dalam Membantu
TKI Bermasalah di Arab Saudi Tahun 2009 dan 2010. Journal of Politic and
Government Studies, 2(1).
Shinichi Shigetomi. (2002). The State and NGOs: Perspective from Asia. Singapore
[Singapore]: Seng Lee Press Pte Ltd.
Thejakartapost.com,. (2011). ‘Govt fails migrant workers’. Retrieved 4 May 2014, from
http://www.thejakartapost.com/news/2011/12/20/govt-fails-migrant-workers.html
VOAIndonesia.com (2012). ‘Migrant CARE: Iklan ‘TKI on Sale’ Tidak Boleh Ditoleransi’.
Retrieved 10 May 2014, from http://www.voaindonesia.com/content/migrant-care-iklantki-on-sale-tidak-boleh-ditoleransi/1535294.html
Yazid, S. (2014). Activism Of Indonesian NGOs On the Issue Of Women Migrant Workers:
Engaging In National and International Cooperation (Undergraduate).
______. (2010). Responding to Democratisation and Globalisation: NGOs Influence on
Indonesia’s Policies on Labour Migration. Monash University.

15