Demokratisasi Myanmar dan Tantangan Tant

Demokratisasi Myanmar dan Tantangan-Tantangan Pemerintahan Demokratis
Pasca Pemilu 2015
Arita Gloria Zulkifli (1306460961)

Abstract
The general election is likely to mark another key step in the process of national transition
from decades of military rule and is a form of democratization. Election in 2015 marks a historic
result when The National League for Democracy (NLD) won the majority. November 8th 2015’s
elections is an important point in Myanmar's transition from authoritarian rule. Although it has not
much experience in running the elections, Myanmar has gone on an orderly and peaceful elections.
The victory of NLD brought joy to most of Myanmar citizens as its always been their wish to be
commanded under the democracy governance. It also ne of the most promising developments in the
history of Myanmar, but there is still a long road ahead before the political future of the nation is
secure and consolidated. Therefore, there a lot of challenges and ofcourse there are much works to
be done in the NLD administration. This paper tries to explain a little about Myanmar under the
military regime, the democracy movements, civil administration, 2015 election, and therefore to the
main point of the paper that is the challenges of NLD’s administration post 2015’s election

Keywords : general election, democratization, NLD, challenges.

Bab 1. Pendahuluan

Jalan menuju reformasi di Myanmar tidaklah berjalan lancar, setelah setengah abad dibawah
pemerintahan militer, proses reformasi yang dijalani oleh Myanmar disebut sebagai 'peran sipil
terlama di dunia'1. Myanmar merupakan salah satu negara yang berada di kawasan Asia Tenggara,
1

https://www.chathamhouse.org/sites/files/chathamhouse/field/field_document/20150226Myanmar.pdf diakses pada 14
Mei 2016 pukul 22:50 WIB.

!1

yang setelah puluhan tahun dikuasai oleh rezim militer. Pemerintah Junta Militer Myanmar mulai
berkuasa sejak tahun 1962 melalui kudeta militer dan hingga kini masih secara tidak langsung, tetap
berkuasa sebagai pemerintahan yang cenderung anti-demokrasi. Myanmar saat ini tengah
melakukan proses menuju transisi demokrasi, yang disinyalir berlangsung karena tekanan dari
dalam maupun dari luar negeri.
Pemilu 8 November adalah titik penting dalam transisi Myanmar dari pemerintahan otoriter.
Meskipun memiliki pengalaman yang tidak banyak dalam menjalankan pemilu, Myanmar berhasil
menggelar pemilu yang tertib dan damai. National League for Democracy (NLD) memenangkan
pemilu tersebut. NLD perlu menggunakan masa transisi empat bulan sebelum berkuasa pada akhir
Maret 2016 dengan bijaksana, yakni dengan mendidentifikas dan mempelajari tantantgan-tantangan

dan mempersiapkan diri untuk memimpin Myanmar. NLD menang dengan mendapatkan hampir 80
persen kursi, hal ini berarti Partai Aung San Suu Kyi ini memiliki suara mayoritas di kedua kamar
legislatif. Hal ini akan memberikan kontrol hukum dan kekuatan untuk memilih presiden. Union
Solidarity and Development Party (USDP) kalah, seperti yang dialami oleh kebanyakan partai yang
mewakili kelompok etnis minoritas2 .
Pemilihan Umum 2015 memberikan kesempatan penting bagi kelompok etnis Myanmar
untuk memberikan suara politik dan memberdayakan mereka untuk mengejar aspirasi mereka,
dengan benar-benar bebas dan adil. Setelah puluhan tahun perang sipil dan dikuasai oleh
pemerintahan militer, proses reformasi menuju kebebasan politik yang lebih besar dan perdamaian
etnis telah dimulai pada masa pemerintahan Presiden Thein Sein, yang diasumsikan dimulai pada
Maret 2011. Dengan wacana-wacana perdamaian, pemilu 2015 merepresentasikan kesempatan
untuk mewakili keragaman etno-politik Myanmar dan kebutuhan politik serta aspirasi rakyatnya.
Mendekati hari pemilu, seakan banyak peringatan dari sejarah masa lalu. Sebab, pada era
demokrasi sebelumnya, Myanmar selama tahun 1950 juga dilatar belakangi dengan konflik
bersenjata dan dominasi partai nasional besar, serta mendapat dukungan besar dari Burman
(Bamar), dan seakan mengorbankan representasi etnis minoritas. Pemilu 2015 merupakan sebuah
pengulangan pengalaman bahwa hal tersebut hanya akan sedikit meyakinkan orang-orang NonBurma, bahwa politik parlemen adalah jalan untuk mereka mencapai aspirasi mereka. Namun, pada
pemilu 2015, ternyata semakin banyak partai yang berpartisipasi dalam pemilihan; 59 dari 91 partai
politik terdaftar untuk mengambil bagian dalam pemilu 2015 yang mewakili etnis atau agama
minoritas.

2

http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-east-asia/burma-myanmar/b147-the-myanmar-elections-resultsand-implications.pdf diakses pada 14 Mei 2016 pukul 23:02 WIB.

!2

Setelah pemilu, Myanmar maupun negara luar berharap bahwa para jenderal akan dengan
damai menyerahkan peran sentral mereka dalam pemerintahan Myanmar dan bahwa negara itu
dapat membuat transisi bersejarah untuk demokrasi. Namun harapan tersebut mungkin terlalu
optimis. Militer terus memegang kekuasaan besar, sebab, NLD tidak memiliki pengalaman
mengelola birokrasi yang besar dan kompleks, dan korupsi yang marak.
Kemenangan NLD adalah salah satu perkembangan yang paling menjanjikan dalam sejarah
Myanmar, namun masih ada jalan panjang di depan sebelum masa depan politik bangsa adalah
aman. Oleh sebab itu, banyak tugas yang harus dilakukan pemerintahan NLD dalam memimpin
Myanmar.

Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang yang telah dipaparkan, penulis berargumen bahwa meskipun
pemilu telah diadakan kembali di tahun 2015 dan dimenangkan oleh Partai NLD, tentunya rezim
demokratis yang baru memimpin ini tidak akan dengan mudah dapat menjalankan pemerintahannya

di Myanmar. Oleh sebab itu, penulis merumuskan sebuah pertanyaan, yaitu :
“Apakah tantangan-tantangan yang akan dihadapi Myanmar dibawah pemerintahan
demokratis pasca pemilu 2015?”

Kerangka Pemikiran
A. Demokratisasi
Demokrasi dan Myanmar merupakan dua hal yang tidak pernah terpisahkan. Hal ini
disebabkan oleh masyarakat Myanmar yang selalu menginginkan demokrasi. Demokrasi sering
dianggap sebagai jalan keluar bagi negara-negara yang menerapkan sistem pemerintahan yang antidemokrasi baik itu komunis, fasis dan juga kediktatoran militer. Dalam menulis makalah ini,
penulis merujuk pada teori demokratisasi yang dipaparkan oleh Laurence Whitehead dan Robert
Dahl untuk melihat demokratisasi yang terjadi di Myanmar hingga hari ini.
Laurence Whitehead memandang demokratisasi sebagai sebuah proses panjang yang
ujungnya tidak dapat diprediksi3. Demokratisasi ini terjadi di negara-negara Dunia Ketiga dan

3

Whitehead, Laurence. Democratization: Theory and Experience. (New York: Oxford University Press, 2002) hal. 27

!3


memiliki perbedaan dengan demokratisasi yang terjadi di negara-negara Dunia Pertama/Barat.
Walaupun secara umum, demokratisasi dianggap sebagai proses transisi dan perubahan dari negara
otoriter menjadi negara yang demokratis. Whitehead sendiri merasa bahwa demokratisasi adalah
sebuah konsep yang rumit, dimana tujuan akhirnya adalah demokrasi, sebab konsep ini sangatlah
dinamis.
Demokratisasi yang terjadi di negara-negara Dunia Ketiga terdapat lebih dari satu titik awal,
lebih dari satu kemungkinan rute, serta terdapat pengaruh dari berbagai konteks internasional/
nasional dalam peoses demokratisasi. Maka dari itu prediksi terhadap hasil/ tahap selanjutnya dari
demokratisasi menjadi tidak pasti, maka dari itu butuh dilakukan studi komparatif demokratisasi
gelombang ketiga secara empiris.
Menurut Robert Dahl, ada dua dimensi yang saling berkaitan. Dimensi yang pertama, harus
tersedianya ruang persaingan terbuka untuk mendapat semua kedudukan dan kekuasaan politik.
Kedua, pada saat yang bersamaan harus tersedia juga ruang aktivitas yang cukup dengan jaminan
yang memadai bagi seluruh warga negara. Selain itu, Dahl berpendapat bahwa demokrasi politik
merupakan respon Pemerintah terhadap preferensi yang dipilih oleh warga negaranya, Dahl
menekankan demokrasi politik pada tiga hal yaitu: kompetisi, partisipasi dan kebebasan politik.
Yang pada kesimpulannya adalah intisari dari demokrasi dapat diukur dari pemilihan yang bersifat
umum bebas dan setara.

Bab 2. Pembahasan

Pemerintahan Rezim Militer Myanmar
Militer Myanmar yang dikenal sebagai Tatmadaw adalah institusi yang paling berkuasa di
Myanmar, Tatmadaw masih memiliki kekuasaan di pemerintahan. Militer Myanmar berhak atas 25
persen dari kursi parlemen di Myanmar, sesuai amanat konstitusi 20084 . Mereka masih menjabat di
beberapa kursi kabinet, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertahanan, dan
Kementerian Urusan Perbatasan dengan rekomendasi dari Panglima Tatmadaw5. Konstitusi 2008

4

Than, Maung Maung Tin. Myanmar Security Outlook: Tatmadaw Under Stress? http://www.nids.go.jp/english/
publication/joint_research/series13/pdf/04.pdf diakses 19 April 2016 pukul 02.08 WIB.
5

Konstitusi Myanmar 2008, http://www.burmalibrary.org/docs5/Myanmar_Constitution-2008-en.pdf hal 87.

!4

selain itu juga independensi militer Myanmar dan wewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusannya, terutama masalah anggaran, yang tidak terjangkau pemerintahan sipil.
Konstitusi 2008 menjamin National Defense and Security Council (NDSC) yang terdiri dari

presiden, wakil presiden, dua juru bicara parlemen beserta panglima dan deputinya, menteri
pertahanan, dalam negeri, perbatasan dan luar negeri, untuk menegakkan darurat militer bila
presiden mendeklarasikan negara dalam keadaan darurat. Selain itu. NDSC berwenang dalam
membubarkan parlemen dan memerintah secara langsung, bila negara dalam keadaan darurat.6 .
Militer Myanmar diberikan wewenang untuk memveto setiap upaya perubahan konstitusi7.
Selain itu, militer Myanmar juga menguasai kementerian dalam negeri dimana secara tersirat militer
Myanmar memiliki pengaruh yang besar baik dalam provinsi maupun negara bagian Myanmar. Hal
ini karena kepala administrasi wilayah melapor ke kementerian dalam negeri. Akibatnya, bila ada
upaya instabilitas di suatu wilayah, militer bisa bergerak cepat.
Militer Myanmar tidak terlihat sebagai kelompok yang berpartisipasi langsung pada
pemerintahan. Mereka selalu terlihat seakan seperti setuju saja dengan reformasi politik yang
dilakukan. Hal ini terbukti dengan berjalan mulusnya reformasi yang dilakukan oleh Thein Sein.
Namun, mereka cukup keras dalam mempertahankan kedudukan mereka, terutama di Parlemen.
Mereka telah menolak upaya untuk mengurangi jumlah kursi mereka di Parlemen.
Pada rezim militer, hubungan bilateral Myanmar dengan negara-negara lain tidak berjalan
dengan baik. Sebagai contoh, Amerika Serikat menjatuhkan sanksi awal pada Myanmar setelah
penumpasan militer 1988, dengan melarang ekspor jasa keuangan dan membekukan aset lembaga
tertentu.

Gerakan Pro-Demokrasi Myanmar

Pada tahun 1988, kendali pemerintahan diserahkan kepada Jenderal Saw Maung. Hal ini
disebabkan oleh Ne Win yang mengundurkan diri dari kepemimpinannya dan terjadi demonstrasi

6

Nehru, Vikram. Myanmar’s Military Keeps Firm Grip on Democratic Transition. http://carnegieendowment.org/
2015/06/02/myanmar-s-military-keeps-firm-grip-on-democratic-transition/i9pl diakses pada 17 Mei 2016 pukul 12:53
WIB.
7

http://www.biicl.org/documents/466_symposium_paper__andrew_mcleod_constitutional_transitions_and_the_role_of_the_military_nov_2014_english.pdf?showdocument=1
diakses pada 17 Mei 2016 pukul 12:58 WIB.

!5

besar-besaran yang terjadi pada tanggal 8 Agustus 1988 oleh pelajar, biksu dan warga sipil yang
memakan banyak korban jiwa.
Setelah mengambil alih kendali Pemerintahan, Saw Maung mendirikan rezim militer baru
yaitu State Law and Order Restoration Council (SLORC). Dimana SLORC pada masa itu
menjanjikan kehidupan politik yang lebih baik daripada masa pemerintahan sebelumya oleh Ne

Win, kebaikan kehidupan politik ini adalah salah satunya dengan membuat sebuah kebijakan baru
dimana diperbolehkan adanya sistem multipartai pada pemilu yang diselenggarakan pada tahun
1990. Pada tahun 1988 tiga orang oposisi Pemerintah yaitu Aung Gyi, Tin U dan Aung San Suu Kyi
mendirikan partai National League for Democracy (NLD) dan mengikuti Pemilu. Tujuan utama dari
didirikannya partai NLD adalah adanya adanya keinginan untuk menjadikan Myanmar demokratis.
NLD memiliki banyak pendukung dari etnis Burma, dan gerakan-gerakan yang menuntut
demokrasi memberikan kemenangan bagi NLD pada pemilu tahun 1990. NLD memenangkan 80%
suara atau sekitar 392 kursi dari total 489 kursi yang tersedia di Pemerintahan8. Namun, rezim
militer menolak hasil Pemilu ini serta menganggap Pemilu yang digelar itu tidak sah. Hal ini
menimbulkan protes besar dari masyarakat Myanmar khususnya pendukung NLD. Proses
demokrasi seakan berjalan lambat di Myanmar. Selain itu, pemerintah tetap melakukan upaya untuk
memperkecil dan memperlemah kekuatan-kekuatan yang menjadi lawan politik dari pemerintah
militer, seperti yang dialami oleh para pendukung dari NLD yang ditangkap dan dipenjarakan tanpa
alasan yang jelas.
Pada zaman itu, terlihat bahwa Myanmar mulai mawas kembali akan keinginannya untuk
menjadi demokratis kembali. Sebab, pemerintahan militer pada zaman itu sangat keras, kerusuhan
terjadi dimana-mana, dan banyak kepentingan masyarakat tidak dapat terpenuhi. Oleh sebab itu,
NLD menerima banyak dukungan dengan harapan dapat menggulingkan pemerintahan militer pada
saat itu.


8

http://www.networkmyanmar.org/uncategorised/the-1990-elections-in-burma diakses pada 17 Mei 2016 pukul 1:11
WIB.

!6

Pemerintahan Sipil Pasca Pemilu 2010
Perjuangan masyarakat Myanmar untuk bisa secara utuh menerapkan demokrasi tidak
mudah dan tentunya memakan waktu yang cukup lama yang juga disertai oleh tumpah darah dan
memakan banyak korban. Semangat dan kehadiran dari demokrasi dapat terlihat pada masyarakat
yang menciptakannya dan pada prinsip-prinsip hidup yang mereka pegang, sebab demokrasi
merupakan produk langsung dari seluruh warganya, tidak ada satu pun masyarakat demokrasi yang
mencapai kesempurnaan tanpa mengubah cita-citanya menjadi kenyataan9 .
Dengan dilaksanakannya pemilihan umum di Myanmar merupakan salah satu jalan untuk
merubah kepemimpinan yang ada, hal tersebut tentunya memberikan peluang terhadap kelompok
oposisi yang ada di Myanmar untuk ikut berkompetisi secara adil dalam sistem politik demokrasi
melalui mekanisme pemilu, kemungkinan tersebut dapat terjadi pada pemilihan umum di Myanmar
yang menggunakan sistem multi-partai.
Junta militer pada tahun 2011 secara resmi dibubarkan dan parlemen sipil dibentuk, dimana

tetap menunjuk mantan birokrat militer dan perdana menteri Thein Sein sebagai presiden. Banyak
pejabat tinggi di pemerintahan baru-termasuk presiden, dua wakil presiden, dan pembicara dari
rumah-rumah yang lebih rendah dan tinggi parlemen-adalah mantan perwira militer, yang mengarah
kepada kekhawatiran bahwa pada kelanjutannya militer akan tetap mendominasi.
Administrasi Thein Sein menunjukkan adanya periode reformasi dan memperlihatkan
kembalinya keterlibatan internasional. Pemerintahannya dipelopori serangkaian reformasi, termasuk
amnesti bagi sebagian besar tahanan politik, relaksasi sensor, pembentukan Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia, dan upaya menuju perdamaian dengan kelompok pemberontak etnis10. Pada bulan
April 2012, pihak Aung San Suu Kyi setuju untuk bersaing di pemilu sela yang digelar untuk
mengisi kekosongan antara pemilihan umum; NLD didominasi, menang empat puluh empat dari
empat puluh enam kursi. Sebagai hasil dari reformasi ini, kekuatan global mulai membangun
hubungan dengan Myanmar. Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, dan Jepang menjatuhkan
beberapa sanksi ekonomi, dan perusahaan-perusahaan multinasional mulai menunjukkan minat
dalam investasi di negara ini11.

9

Richard M. Ketchum, Demokrasi Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Penguin Book, 2006) hal. 9.

10 Amnesty

International’s 2014–2015 report (PDF) on Myanmar discusses the country’s ongoing political, legal, and
economic reforms.
11

https://www.chathamhouse.org/sites/files/chathamhouse/field/field_document/20150226Myanmar.pdf diakses pada
18 Mei 2016 pukul 1:23 WIB.

!7

Namun, meskipun Thein Sein sudah mulai mengurangi peran militer pada masa
administrasinya, militer masih tetap memainkan peran dalam pemerintahan Myanmar mengingat
militer memiliki jatah kursi sebanyak 25 persen di parlemen, yang membuat mereka dapat memveto
setiap kebijakan yang dinilai merugikan mereka atau menganggu stabilitas negara.

Pemilu 2015
Pemilu 2015 kemarin adalah pertama kalinya lagi diadakan pemilu sejak 1990, ketika
oposisi memenangkan kemenangan besar. Saat itu, junta militer hanya mengabaikan hasil dan
dipenjara pemimpin dan aktivis NLD. Selain itu, pemilu adalah bagian penting dari rencana militer
untuk melakukan transisi dari kekuasaan militer langsung ke kontrol tidak langsung. Pada saat yang
sama, militer tetap ingin melemahkan oposisi. Bahkan dengan semua pemeriksaan konstitusional
untuk mempertahankan kontrol utama mereka, hal ini dikarenakan oleh pengalaman militer pada
tahun 1990 silam ketika NLD yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, terlalu banyak ancaman bagi
militer12.
Pemilihan umum ini umumnya dilakukan dengan sangat baik. Apabila pemilu sebelumnya
tertutup dan tidak dapat dipantau oleh badan pengawasan pemilu, pemilu 2015 dapat diawasi oleh
badan pengawasan pemilu. Masa kampanye sendiri hampir seluruhnya damai. Masalah utama yang
dapat diidentifikasi pemantau badan pengawasan pemilu adalah defisitnya demokrasi dalam
kerangka konstitusional, mengingat diberlakukannya pencabutan hak-hak setengah juta Muslim
Rohingya dan pemungutan suara tidak transparan di beberapa daerah etnis di partai politik13.
NLD memenangkan pemilu dengan telak. Dengan mendapatkan 135 kursi (60 persen dari
seluruh kursi) di majelis tinggi 224 kursi. USDP hanya memperoleh 12 kursi, hanya dua lebih dari
etnis Partai Nasional Arakan14. NLD memenangkan 255 kursi (58 persen dari semua kursi), dan
USDP hanya menang 30, dengan pihak etnis mengambil sisanya. Jumlah suara tinggi: sedikit lebih
dari 80 persen pemilih yang terdaftar, lebih dari 32 juta orang, memberikan suara mereka.

12

http://burmacampaign.org.uk/media/Burma’s-2015-Elections-and-the-2008-Constitution.pdf diakses pada 18 Mei
2016 pukul 1:35 WIB.
13

http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-east-asia/burma-myanmar/b147-the-myanmar-elections-resultsand-implications.pdf diakses pada 18 Mei 2016 pukul 1:56 WIB.
14

https://www.foreignaffairs.com/articles/asia/2015-12-01/democracy-myanmar diakses pada 18 Mei 2016 pukul 2:03
WIB.

!8

Tantangan-Tantangan Pemerintah Demokratis NLD
Aung San Suu Kyi dan NLD mencoba untuk mengubah konstitusi 2008 selama
pemerintahan Presiden Thein Sein, karena ada dalam konstitusi tersebut tertuang secara khusus
bahwa Suu Kyi tidak dapat menjadi presiden. Suu Kyi merasa bahwa konstitusi tersebut hal yang
konyol, karena konstitusi ditulis untuk memastikan pengaruh militer dalam politik dan untuk
mencegahnya dari memimpin Myanmar. Kebanyakan orang yang memilih Aung San Suu Kyi dan
NLD memilih karena mereka ingin dia memimpin negeri ini. Jadi, bagi mereka yang memilih Aung
San Suu Kyi, itu belum tentu suatu masalah meskipun secara resmi ia bukanlah presiden, tetapi dia
akan mencoba untuk mengubah konstitusi sehingga ia bisa menjadi presiden baik secara de jure dan
de facto15.
NLD membawa harapan yang tinggi akan memberikan perubahan politik dan ekonomi yang
diperlukan. Tentunya tidak akan mudah memenuhi harapan masyarakat. Pertama, Suu Kyi akan
harus membangun hubungan kerja yang konstruktif dengan Komandan yang menjabat, yaitu Min
Aung Hlaing. Dimana Militer mempertahankan kekuasaan eksekutif yang cukup besar, dengan
kontrol dari pertahanan, dalam negeri dan urusan perbatasan kementerian. Sukses atau tidaknya
dalam segala hal dari proses perdamaian untuk reformasi kepolisian dan liberalisasi politik lebih
lanjut akan tergantung pada peningkatan korporasi dari angkatan bersenjata.
Namun, pada kenyataannya, dibalik kemenangan partainya, sebenarnya ada hal yang lebih
besa yang harus diperhatikan oleh NLD. Pemerintahan NLD baru akan menghadapi banyak
tantangan. Tantangan yang paling signifikan adalah bahwa pemerintahan NLD tidak semata-mata
akan langsugn mengendalikan semua sektor negara. Di antara anggota kabinet yang dicalonkan, ada
Menteri Dalam Negeri yang berkuasa, yang seperti menteri pertahanan dan perbatasan urusan, akan
menjadi perwira militer yang melayani, sehingga ia sebenarnya di bawah rantai komando militer
meskipun juga melaporkan ke kabinet dan presiden.
NLD harus menemukan cara untuk bekerja sama dengan militer, yang masih
mempertahankan kekuatan besar. Selain kehadirannya dijamin parlemen, tentara menunjuk salah
satu dari dua wakil presiden untuk memegang tiga kementerian yang kuat (perbatasan, urusan
pertahanan, dan rumah), Militer juga mendominasi lembaga negara dan birokrasi, dan prinsipnya

15

https://asianstudies.georgetown.edu/sites/asianstudies/files/files/upload/gjaa._2.2_fink.pdf diakses pada 18 Mei pukul
9:59 WIB.

!9

tetap tertanam dalam perekonomian. Selain itu, panglima angkatan bersenjata, salah satu posisi
yang paling kuat di negeri ini, tidak bertanggung jawab kepada otoritas sipil apapun.
NLD memiliki sedikit pengalaman menjalankan birokrasi apapun, apalagi yang besar,
kompleks, dan beragam etnis. Kebanyakan individu dalam kepemimpinan NLD adalah aktivis
demokrasi, dan bertahun-tahun telah menderita mendekam di dalam penjara. Namun, memang
beberapa dari mereka berpendidikan. Rezim baru harus bekerja keras untuk menghadapi para
pejabat yang saat ini di tempat, banyak dari mereka berutang posisi untuk militer. Disisi lain NLD
harus sadar bahwa pemerintahannya harus dengan serius mengatasi kasus korupsi. NLD harus
bekerja sama dengan militer. Meskipun banyak perwira militer berpangkat tinggi yang korupsi,
namun tidak semua militer adalah koruptor. Membangun hubungan kerja dengan stalwarts rezim
jujur, seperti Speaker saat majelis tinggi, Khin Aung Myint, yang telah disebut korupsi tantangan
terbesar yang dihadapi negara, akan menguntungkan kampanye antikorupsi NLD.
Ketdua, konstitusi 2008 militer yang disusun berisi sebuah susunan dari jaminan hak-hak
individu, tetapi juga membuat hak-hak individu ini secara seutuhnya tetap tunduk pada masalah
keamanan. Meskipun proses reformasi telah membuka pintu untuk kebebasan baru selama dua
tahun terakhir, mereka belum diabadikan dalam hukum. Tidak ada perlindungan hukum bagi hakhak individu. Ini adalah waktu untuk kedua parlemen dan eksekutif untuk memulai menghapuskan
pembatasan keamanan yang keras, dan memulai untuk menjunjung tinggi hak-hak individu yang
tidak terjamin secara penuh pada rezim militer.
Selain itu, NLD tidak boleh berasumsi bahwa pemerintahannya akan secara otomatis
memiliki kepercayaan dan dukungan dari semua masyarakat kebangsaan etnis. Pengalaman masa
lalu telah memperlihatkan bahwa terdapat banyak kecurigaan politik di antara banyak orang
minoritas. Bahkan setelah kemenangan telak NLD, terdapat keraguan apakah NLD (yang secara
luas dianggap sebagai partai mayoritas Burman (Bamar) benar-benar memahami keluhan etnis atau
siap untuk membuat reformasi politik dan konsesi yang diperlukan untuk mengakhiri konflik
internal di Myanmar16 .

16

https://www.tni.org/files/publication-downloads/bpb17_web_def.pdf diakses pada 19 Mei 2:48 WIB.

!10

Kesimpulan
Menurut Penulis, transisi Myanmar dari pemerintahan militer ke demokrasi masih jauh dari
selesai, dan keberhasilannya sampai saat ini dapat dikatakan masih rapuh. Mengingat adanya inersia
kronis dan isolasi setengah abad sebelumnya, telah ada kemajuan luar biasa sejak tahun 2011. Tapi,
tetap ada banyak tuga yang diperlukan untuk mengkonsolidasikan demokrasi, meningkatkan tata
kelola dan juga stabilitas. Demokratisasi di Myanmar telah dibuktikan dengan diberlakukannya
Pemilu sesuai dengan teori yang dipaparkan oleh Robert Dahl yaitu adanya pemilu yang bebas dan
setara. Pemilu tahun 2015 juga membuktikan dimensi yang dicetuskan oleh Dahl yaitu dengan
berlangsungnya persaingan terbuka untuk mendapatkan semua kedudukan dan kekuasaan politik
yang memadai bagi seluruh warga negara.
Teori Whitehead yang mengatakan bahwa “demokratisasi yang terjadi di negara-negara
Dunia Ketiga terdapat lebih dari satu titik awal, lebih dari satu kemungkinan rute, serta terdapat
pengaruh dari berbagai konteks internasional/ nasional dalam peoses demokratisasi” relevan dengan
fakta bahwa demokratiasi di Myanmar juga berdasarkan oleh represi baik langsung maupun tidak
langsung dari internasional (Amerika memberikan sanksi terhadap pemerintah Militer Myanmar).
Pemilu 2015 dimenangkan oleh Partai NLD, yaitu partai demokrasi yang dipimpin oleh
Aung San Suu Kyi, hal ini merupakan hal yang membahagiakan bagi masyarakat Myannmar.
Sebab, mayoritas masyarakat Vietnam memang menginginkan pemerintahan yang dibawah sipil
dan demokratis. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa meskipun NLD telah menang, masih banyak
tugas dan tantangan-tantangan yang harus dilakukan dan dihadapi oleh pemerintahan baru tersebut.
Menjawab pertanyaan makalah yang dirumuskan di atas, “Apakah tantangan-tantangan yang
akan dihadapi Myanmar dibawah pemerintahan demokratis pasca pemilu 2015?”, ada beberapa poin
yang dirangkum oleh penulis berdasarkan referensi-referensi yang menjadi rujukkan. Myanmar
yang selama ini dikuasai oleh militer, ketika harus bertransformasi menjadi negara yang dibawah
pemerintahan demokratis. Meskipun kemenangan adalah hal yang membahagiakan, namun ternyata
kemenangan itu harus satu paket dengan tantangan dan masalah-masalah yang nantinya akan
dihadapi. NLD harus memperiapkan diri juga karena NLD memiliki sedikit pengalaman
menjalankan birokrasi apapun, apalagi yang besar, kompleks, dan beragam etnis. Kebanyakan
individu dalam kepemimpinan NLD adalah aktivis demokrasi, dan bertahun-tahun telah menderita
mendekam di dalam penjara
Tantangan yang paling pasti yang akan dihadapi NLD adalah untuk menjalin hubungan yang
harmonis dengan militer di Myanmar. Sebab, militer Myanmar pada hakekatnya akan terus meng!11

hegemoni struktur pemerintahan Myanmar ataupun menguasai banyak sektor. Tantangan terbesar
NLD adalah bagaimana NLD harus menemukan cara untuk bekerja sama dengan militer.
Selain itu, NLD harus dapat secara perlahan-lahan merevisi konstitusi pada masa
pemerintahan militer terkait hak-hak individu. NLD yang memerintah dengan demokratis, harus
dapat mulai lebih lagi menjamin serta melindugi kebebasan dan hak-hak individu setiap warga
Myanmar tanpa dibatasi oleh aturan-aturan yang berlebihan yang diciptakan oleh rezim militer.
Pada nantinya, menurut penulis seberapa baik pemerintahan Au Sang Suu Kyi dapat bekerja sama
dengan tentara akan menentukan keberhasilan rezim nya.

!12

Referensi
Buku
Ketchum, Richard M. Demokrasi Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Penguin Book, 2006)
Whitehead, Laurence. Democratization: Theory and Experience. (New York: Oxford University
Press, 2002)
Internet
h t t p s : / / w w w. c h a t h a m h o u s e . o rg / s i t e s / f i l e s / c h a t h a m h o u s e / f i e l d / f i e l d _ d o c u m e n t /
20150226Myanmar.pdf diakses pada 14 Mei 2016 pukul 22:50 WIB.

http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-east-asia/burma-myanmar/b147-the-myanmarelections-results-and-implications.pdf diakses pada 14 Mei 2016 pukul 23:02 WIB.

Than, Maung Maung Tin. Myanmar Security Outlook: Tatmadaw Under Stress? http://
www.nids.go.jp/english/publication/joint_research/series13/pdf/04.pdf diakses 19 April 2016 pukul
02.08 WIB
Konstitusi Myanmar 2008, http://www.burmalibrary.org/docs5/Myanmar_Constitution-2008-en.pdf
hal 87.
Nehru, Vikram. Myanmar’s Military Keeps Firm Grip on Democratic Transition. http://
carnegieendowment.org/2015/06/02/myanmar-s-military-keeps-firm-grip-on-democratic-transition/
i9pl diakses pada 17 Mei 2016 pukul 12:53 WIB.
http://burmacampaign.org.uk/media/Burma’s-2015-Elections-and-the-2008-Constitution.pdf
http://www.biicl.org/documents/466_symposium_paper__andrew_mcleod_constitutional_transitions_and_the_role_of_the_military_nov_2014_english.pdf?
showdocument=1 diakses pada 17 Mei 2016 pukul 12:58 WIB.
http://burmacampaign.org.uk/media/Burma’s-2015-Elections-and-the-2008-Constitution.pdf
diakses pada 18 Mei 2016 pukul 1:35 WIB.

https://www.foreignaffairs.com/articles/asia/2015-12-01/democracy-myanmar diakses pada 18 Mei
2016 pukul 2:03 WIB.
https://asianstudies.georgetown.edu/sites/asianstudies/files/files/upload/gjaa._2.2_fink.pdf diakses
pada 18 Mei pukul 9:59 WIB
https://www.tni.org/files/publication-downloads/bpb17_web_def.pdf diakses pada 19 Mei 2:48
WIB.

!13