DETERMINAN MAKROEKONOMI DARI NON PERFORM

DETERMINAN MAKROEKONOMI DARI NON PERFORMING LOAN :
ANALISIS REGRESI DATA PANEL

WILDAN SHOHABI
115020115111005

Abstrak: Makalah ini meneliti hubungan dan pengaruh kondisi makroekonomi
(pertumbuhan ekonomi, tingkat bunga pinjaman, tingkat pengangguran, dan
tingkat inflasi) terhadap resiko kredit di 8 negara Asia yaitu Indonesia, Malaysia,
Filipina, Thailand, Singapura, Jepang, Korea Selatan, dan China. Menggunakan
analisis regresi data panel dengan metode EGLS cross-section SUR, penulis
menemukan bahwa uji F-statistik menunjukkan signifikansi pada α = 1% dengan
adjusted R-squared sebesar 0,85. Uji t-statistik masing-masing variabel juga
menunjukkan signifikansi pada α = 1%, kecuali pada variabel pertumbuhan
ekonomi yang signifikan pada α = 10%. Koefisien regresi menunjukkan bahwa
pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi memiliki hubungan negatif dengan
resiko kredit. Sedangkan, tingkat bunga pinjaman dan tingkat pengangguran
berhubungan positif dengan resiko kredit. Hasil ini membuktikan bahwa kondisi
makroekonomi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap resiko kredit
perbankan.


1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Krisis keuangan tahun 2007-2008, yang dikenal sebagai krisis keuangan
global dan krisis keuangan tahun 2008, dianggap oleh banyak ekonom sebagai
krisis keuangan terburuk sejak Depresi Besar 1930-an. Krisis tersebut
mengakibatkan ancaman kehancuran total dari lembaga-lembaga keuangan
besar, pemberian dana talangan kepada bank (bail-out) oleh pemerintah, dan
kemerosotan di pasar saham di seluruh dunia. Fase aktif krisis ini berupa krisis
likuiditas yang terjadi pada 7 Agustus 2007, dimana BNP Paribas menolak
penarikan uang oleh tiga lembaga hedge fund yang disebut sebagai "likuiditas
yang menguap total".
Pecahnya housing bubble di Amerika Serikat, yang mencapai puncaknya
pada tahun 2006, menyebabkan nilai surat berharga yang terkait dengan harga
real estate menurun, dan merusak lembaga keuangan global. Krisis keuangan
tersebut dipicu oleh interaksi kompleks dari kebijakan yang mendorong
kepemilikan rumah, dengan cara menyediakan akses terhadap dana pinjaman
yang lebih mudah bagi peminjam sub-primer, paket hipotik yang "overvaluated"
dengan berdasarkan pada teori bahwa harga perumahan akan terus meningkat
(praktek perdagangan yang patut dipertanyakan pembeli dan penjual). Gambar 1
di bawah menunjukkan posisi pinjaman sub-primer di Amerika Serikat, dimana

terjadi

peningkatan

drastis

pada

periode

2004-2006

yang

disebabkan

overvaluation pada nilai hipotik.

Gambar 1 Pinjaman Sub-primer dan Kepemilikan Rumah di AS


1

Praktek pinjaman sub-primer ini merupakan sebuah struktur kompensasi yang
memprioritaskan aliran jangka pendek daripada nilainya dalam jangka panjang,
yang disertai dengan kurangnya kepemilikan modal yang memadai dari bank dan
perusahaan asuransi dalam mendukung komitmen keuangan yang mereka buat.
Pertanyaan seputar solvabilitas bank, ketersediaan kredit yang menurun dan
rusaknya kepercayaan investor berdampak pada pasar saham secara global, di
mana nilai surat berharga anjlok selama tahun 2008 dan awal 2009.
Perekonomian di seluruh dunia melambat selama periode ini akibat adanya
pengetatan kredit, demikian halnya dengan perdagangan internasional yang
mengalami penurunan. Pemerintah dan bank sentral di beberapa negara
merespon dengan memberikan stimulus fiskal yang belum pernah terjadi
sebelumnya, melakukan kebijakan moneter ekspansif dan memberlakukan
institutional bailout.
Banyak masukan mengenai penyebab krisis keuangan, dengan berbagai
pertimbangan yang diberikan oleh para ahli. Laporan Senat AS Levin-Coburn
menegaskan bahwa krisis ini merupakan hasil dari "produk keuangan yang
kompleks dan berisiko tinggi; konflik kepentingan yang tak terungkap; kegagalan
dari para regulator, lembaga pemeringkat kredit, dan kegagalan pasar itu sendiri

dalam mengendalikan ekses dari Wall Street (wikipedia). Pada saat yang sama,
hal ini menarik para ekonom untuk meneliti kembali mengenai faktor-faktor yang
dapat menjadi pemicu krisis perbankan (De Grauwe, 2008 dalam Castro 2012).
Studi Demirguç-Kunt dan Detragiache (1998) dan Llewellyn (2002) menyebutkan
bahwa faktor ekonomi makro dipandang memainkan peran penting dalam krisis
perbankan. Lebih spesifik lagi, kedua studi menyatakan bahwa dampak
memburuknya kondisi ekonomi, di mana pertumbuhan rendah atau negatif,
dengan tingkat pengangguran yang tinggi, suku bunga tinggi dan inflasi yang
tinggi, akan membuka peluang lebih besar bagi krisis perbankan.
Dampak buruk krisis finansial yang dipicu kredit bermasalah terhadap
perekonomian di Amerika Serikat yang mempengaruhi perekonomian banyak
negara di dunia, ternyata di Indonesia dan beberapa negara Asia lain dampaknya
tidak separah negara di Amerika dan Eropa. Gambar 2 di bawah ini adalah grafik
kredit bermasalah (NPL) yang terjadi di beberapa negara di Asia. Terlihat bahwa
pada saat terjadi krisis finansial di Amerika Serikat pada tahun 2007-2008, di
negara tersebut tidak ikut mengalami guncangan pada tingkat NPL-nya, masih
stabil dan cukup rendah. Tingkat NPL tinggi terjadi pada saat pasca krisis 1997.

2


Gambar 2. NPL di Beberapa Negara Asia

Terutama untuk Indonesia, kebijakan-kebijakan market friendly yang
digulirkan menyebabkan daya tahan ekonominya yang jauh lebih baik dari
negara-negara lain di dunia saat itu. Namun di sisi lain, Indonesia juga berpotensi
mengalami capital flight yang lebih besar dari para deposan bank karena tidak
adanya sistem penjaminan penuh (full guarantee) di Indonesia seperti yang sudah
diterapkan di Australia, Singapura, Malaysia, Thailand, Hong Kong, Taiwan dan
Korea, di samping Uni Eropa.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam krisis finansial 2007-2008 terlihat bahwa perbankan mengalami
masalah likuiditas dan / atau kebangkrutan yang disebabkan oleh peningkatan
kredit yang bermasalah atau nonperforming loan dalam neraca. Hal ini
menjadikan resiko kredit menjadi penting untuk diperhatikan, terkait kontribusinya
terhadap krisis finansial. Beberapa penelitian telah memusatkan perhatian dalam
hal ini dan menyimpulkan bahwa keadaan ekonomi makro merupakan faktor yang
penting sebagai determinan risiko kredit.
Dalam makalah ini, akan meneliti hubungan antara kondisi ekonomi makro
dengan resiko kredit perbankan di 5 negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipina,
Thailand, dan Singapura) plus three (Jepang, Korea Selatan, dan China).

Kedelapan negara merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup
pesat, dimana Jepang, Korea Selatan, dan China adalah pelopor kemajuan

3

ekonomi di Asia Timur, sementara negara lainnya merupakan 5 negara yang
paling dominan di Asia Tenggara.
Permasalahan yang akan diteliti dalam makalah ini antara lain:
1. Apakah terdapat hubungan antara resiko kredit (nonperforming loan) dengan
pertumbuhan ekonomi, tingkat bunga pinjaman, tingkat pengangguran, dan
tingkat inflasi di delapan negara yang diteliti?
2. Bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi, tingkat bunga pinjaman, tingkat
pengangguran, dan tingkat inflasi terhadap resiko kredit?
1.3. Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah yang diuraikan di atas, penelitian ini
dilakukan untuk:
1. Mengetahui hubungan antara resiko kredit (nonperforming loan) dengan
pertumbuhan ekonomi, tingkat bunga pinjaman, tingkat pengangguran, dan
tingkat inflasi di delapan negara.
2. Mengetahui pengaruh pertumbuhan ekonomi, tingkat bunga pinjaman, tingkat

pengangguran, dan tingkat inflasi terhadap resiko kredit.
Selanjutnya, makalah ini disusun sebagai berikut: Bagian 2 berisi tinjauan
literatur dan penelitian terdahulu. Metode penelitian dibahas dalam bagian 3,
kemudian diikuti dengan hasil dan pembahasan pada bagian 4 serta kesimpulan
di bagian akhir.
2. Tinjauan Literatur dan Penelitian Terdahulu
Peranan bank sebagai lembaga intermediasi sangat penting di dalam
perekonomian,

terkait

proses pengalihan

dana

yang

dihimpun

kepada


sektor-sektor produktif yang dapat memicu pertumbuhan ekonomi. Industri
perbankan memiliki fungsi yang sangat penting dalam sistem keuangan negara
dan

perekonomian

secara

keseluruhan,

sehingga

untuk

mengurangi

kemungkinan ketidakstabilan keuangan, beberapa negara telah memperkenalkan
kerangka regulasi kehati-hatian kerja, menjadikan perbankan sebagai salah satu
industri dengan regulasi paling ketat. Regulasi yang ketat ini terutama dalam hal

penyaluran dana, dan dilakukan sebagai bentuk usaha preventif terhadap resiko
yang ditimbulkan akibat kredit yang bermasalah.
Kredit bermasalah (NPL) secara langsung berkaitan dengan kinerja
keuangan bank dan merupakan faktor yang berkontribusi terhadap risiko kredit
dari sistem perbankan. Peningkatan NPL suatu bank menunjukkan tingginya

4

kemungkinan adanya sejumlah besar kredit yang gagal bayar. Hal ini pada
gilirannya akan mempengaruhi kekayaan bersih dan juga mengurangi nilai aset
suatu bank. Sejarah membuktikan bahwa kegagalan bank sebagian besar terkait
langsung dengan manajemen yang buruk dari risiko kredit (Thiagarajan et al.,
2011 dalam Mileris, 2012). Manajer risiko kredit suatu bank mungkin tertarik untuk
memahami dua hal yang berkontribusi terhadap risiko portofolio (Rosen dan
Saunders, 2010) yaitu


Posisi : instrumen individu, rekanan, dan sub-portofolio.




Faktor resiko : berbagai faktor sistematis atau istimewa yang mempengaruhi
kerugian portofolio (misalnya faktor risiko pasar seperti suku bunga, nilai
tukar, volatilitas saham dll, faktor makroekonomi, geografis, atau industri yang
mempengaruhi pasar atau risiko kredit)
Risiko kredit dari masing-masing individu didefinisikan sebagai risiko

kerugian akibat kegagalan peminjam untuk memenuhi kewajiban pembayaran
mereka (Mileris, 2012). Dalam penelitian ini, akan dibahas mengenai kondisi
makroekonomi yang meliputi pertumbuhan ekonomi, suku bunga pinjaman,
tingkat inflasi, dan tingkat pengangguran yang dapat mempengaruhi resiko kredit.
Beberapa studi terdahulu antara lain oleh Sinkey dan Greenwalt (1991) yang
melakukan penelitian di negara Amerika Serikat antara periode 1984-1987 untuk
mengidentifikasi penyebab kredit bermasalah. Menurut mereka, tingginya tingkat
suku bunga, dana yang volatil, dan pinjaman tiga tahun sebelumnya adalah faktor
yang memiliki hubungan positif dengan kredit bermasalah di sektor perbankan
Amerika. Selanjutnya kondisi perekonomian yang buruk juga merupakan
penyebab kredit bermasalah di sektor perbankan Amerika.
Sementara penelitian di Spanyol dilakukan oleh Salas dan Saurina (2006)
untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menjelaskan variasi dalam kredit

bermasalah menggunakan data tahun 1984-2003. Menurut mereka faktor yang
menentukan kredit bermasalah adalah tingginya tingkat suku bunga, kondisi
pertumbuhan PDB, dan kredit lunak. Penelitian lain yang dilakukan di Inggris oleh
Hoggarth, Sorensen dan Zicchino (2005) ketika menggunakan periode waktu
kuartalan antara 1988:1-2004:2 menemukan bahwa inflasi dan suku bunga
memiliki hubungan positif dengan kredit bermasalah. Kemudian Bofondi dan
Ropele (2011) melakukan studi di Italia dengan mengambil data kuartalan selama
periode 1990-2010, menemukan bahwa kredit bermasalah berhubungan positif
dengan tingkat pengangguran, tingkat pinjaman dan berhubungan negatif dengan

5

tingkat pertumbuhan produk domestik.
Penelitian di negara berkembang antara lain oleh Shu (2002) yang
melakukan penelitian pada data kuartal 1995:1-2002:2, kredit bermasalah
Hongkong memiliki hubungan negatif dengan pertumbuhan PDB, inflasi, dan
kenaikan harga properti. Tetapi memiliki hubungan yang positif dengan tingkat
suku bunga. Penelitian lain oleh Farhan dkk. (2012) menggunakan data kuesioner
dari 201 bankir yang terlibat dalam penilaian kredit pada 10 bank di Pakistan.
Dengan analisis korelasi dan regresi mereka menemukan kesesuaian persepsi
bahwa kredit bermasalah (NPL) sektor perbankan Pakistan memiliki hubungan
positif dengan tingkat suku bunga, krisis energi, pengangguran, inflasi, dan nilai
tukar sementara pertumbuhan PDB memiliki hubungan negatif yang signifikan
dengan kredit bermasalah dari perbankan Pakistan.
2.1. Determinan Ekonomi dan Hubungannya dengan Resiko Kredit
2.1.1. Pertumbuhan Ekonomi
Sebelumnya telah diuraikan penelitian terdahulu dengan bukti empiris yang
signifikan, bahwa terdapat hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dan
kredit bermasalah. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat
pertumbuhan ekonomi suatu daerah, maka aktifitas ekonomi yang terjadi juga
tinggi. Hal ini akan meningkatkan pendapatan yang meningkatkan kapasitas
keuangan peminjam dana, sehingga dapat mengembalikan pinjaman beserta
bunganya tepat waktu.
2.1.2. Tingkat Bunga Pinjaman
Tingkat bunga pinjaman adalah tingkat biaya yang harus diberikan oleh
peminjam kepada pemilik dana dan merupakan salah satu penentu utama dari
kredit bermasalah. Jika semakin tinggi biaya yang harus dibayar oleh peminjam
atas dana pinjaman, maka semakin berat bagi peminjam untuk mengembalikan
pinjaman sehingga meningkatkan resiko kredit bermasalah.
2.1.3. Tingkat Pengangguran
Penjelasan teoritis mengenai hubungan ini yakni bahwa peningkatan
pengangguran di negara berpengaruhi negatif terhadap pendapatan dari individuindividu dan akan meningkatkan beban utang mereka. Jelas bahwa ketika
seseorang kehilangan sumber pendapatan, bagaimana ia dapat mengembalikan
pinjamannya. Sama dengan peningkatan pengangguran dalam perekonomian

6

juga berpengaruh negatif terhadap permintaan produk - produk dari perusahaan perusahaan yang pada akhirnya mempengaruhi produksi / penjualan perusahaan.
Akibatnya mengarah pada penurunan pendapatan perusahaan dan melemahkan
kapasitas mengembalikan utang (Louzis dkk., 2010 dalam Farhan, 2012).
2.1.4. Tingkat Inflasi
Inflasi merupakan perubahan harga yang cenderung meningkat, tanpa
diimbangi perubahan daya beli masyarakat yang meningkat (Mishkin, 2004).
Menurut Nkusu (2011) inflasi bisa mempengaruhi kapasitas peminjam untuk
membayar pinjaman baik positif atau negatif. Inflasi yang lebih tinggi dapat
mengurangi nilai riil hutang, tetapi peningkatan inflasi juga dapat melemahkan
kemampuan peminjam untuk membayar pinjaman melalui pengurangan pada
pendapatan riilnya.
Metode Penelitian
3.1. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Variabel yang akan digunakan untuk analisis dalam studi ini adalah resiko
kredit, pertumbuhan ekonomi, tingkat bunga pinjaman, tingkat pengangguran, dan
tingkat inflasi. Definisi operasional dari masing-masing variabel adalah:
1. Resiko Kredit (NPL)
Resiko kredit dalam penelitian ini menggunakan rasio nonperforming loan
terhadap jumlah kredit bruto perbankan, dan dinyatakan dalam satuan persen.
2. Pertumbuhan ekonomi (GDP)
Pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini diproksi oleh nilai pertumbuhan
GDP, dan dinyatakan dalam satuan persen.
3. Tingkat bunga pinjaman (IR)
Tingkat bunga pinjaman dalam penelitian ini diproksi oleh lending interest rate,
dan dinyatakan dalam satuan persen.
4. Tingkat pengangguran (UR)
Tingkat pengangguran dalam penelitian ini merupakan rasio pengangguran
terhadap jumlah total angkatan kerja, dan dinyatakan dalam satuan persen.
5. Tingkat inflasi (INF)
Tingkat inflasi diproksi oleh inflation rate yang diukur menurut consumer price
index, dan dinyatakan dalam satuan persen.

7

Tabel 1 Deskripsi Variabel
Variabel

Deskripsi

Prediksi
Hubungan

Dependen :
NPL

Risiko kredit yang diukur sebagai rasio antara kredit bank
bermasalah dengan pinjaman bruto, dalam persentase.

Independen:
GDP

Pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan pertumbuhan produk

-

domestik bruto tahunan, dalam persentase
IR

Tingkat suku bunga bank untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan jk.

+

pendek dan menengah sektor swasta, dalam persentase
UR

Tingkat pengangguran dari angkatan kerja total, dalam persentase

+

INF

Inflasi yang diukur dengan indeks harga kosumen, dalam persentase

+/-

Sumber: worldbank.org

3.2. Data
Keseluruhan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data
panel tahunan untuk negara Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura,
Jepang, Korea Selatan, dan China pada periode antara tahun 2000-2010. Data
sekunder rasio NPL, pertumbuhan GDP, lending interest rate, unemployment rate,
dan inflation consumer price semuanya tersaji dalam bentuk persentase. Data
diperoleh dari website Bank Dunia, dan beberapa penyesuaian dari website
www.tradingeconomics.com karena terdapat beberapa data pada tahun tertentu
yang tidak ada. Pengolahan data dan analisis dilakukan dengan menggunakan
program eviews 6.
3.3. Alat Analisis
Dalam studi ini akan digunakan analisis regresi berganda data panel,
Menurut Gujarati (2004), data panel pada dasarnya merupakan gabungan
antara data cross section (dimensi ruang) dan data time series (dimensi waktu).
Dengan kata lain, data panel merupakan data yang berisi individu-individu yang
sama dan diamati dalam kurun waktu yang tertentu. Secara umum data panel
dicirikan dengan jumlah individu-i (i=1, 2,….,n) dan periode waktu-t (t=1, 2,….., T).
Mengingat data panel merupakan gabungan dari time-series dan cross-section,
maka model dalam penelitian ini dapat ditulis dengan :

NPL = (α0+αi) + α1GDPit + α2IRit + α3URit + α4INFit + εit
i = 1, 2, ..., N ; t = 1, 2, ..., T

8

dimana :
N

= banyaknya observasi/negara

T

= banyaknya waktu

N×T

= banyaknya data panel

Baltagi (2005) menyatakan bahwa penggunaan data panel memberikan
banyak keuntungan, diantaranya sebagai berikut:
a.

Mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan metode ini estimasi
yang dilakukan dapat secara gamblang memasukkan unsur heterogenitas
individu.

b.

Dapat memaparkan data lebih informatif, mengurangi kolinearitas antar
variabel, meningkatkan derajat bebas, dan lebih efisien.

c.

Lebih tepat bagi studi yang bersifat dynamics of adjustment. Hal ini
disebabkan data panel berkaitan dengan observasi yang bersifat cross
section yang berulang, sehingga data panel mampu menangkap perubahan
yang bersifat dinamis.
Dalam analisis model data panel, dikenal tiga macam pendekatan yang terdiri

dari pendekatan pooled least square (PLS), pendekatan efek tetap (fixed effect),
pendekatan efek acak (random effect). Ketiga pendekatan yang dilakukan dalam
analisis panel data dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Pendekatan Pooled Least Squares (PLS)
Mengestimasi suatu model data panel dengan menggunakan metode Ordinary
Least Squares (OLS). Pendekatan PLS secara sederhana menggabungkan
(pooled) seluruh data time series dan cross section.
2. Pendekatan efek tetap (Fixed effect)
Salah satu kesulitan prosedur panel data adalah bahwa asumsi intersep dan
slope yang konsisten sulit terpenuhi. Untuk mengatasi hal tersebut, yang
dilakukan dalam panel data adalah dengan memasukkan variabel boneka
(dummy variable) untuk mengizinkan terjadinya perbedaan nilai parameter
yang berbeda-beda baik lintas unit (cross section) maupun antar waktu
(time-series). Pendekatan dengan memasukkan variabel boneka ini dikenal
dengan sebutan model efek tetap (fixed effect) atau Least Square Dummy
Variable (LSDV).
3. Pendekatan efek acak (Random effect)
Keputusan untuk memasukkan variabel boneka dalam model efek tetap (fixed

9

effect) tak dapat dipungkiri akan dapat menimbulkan konsekuensi (trade off).
Penambahan variabel boneka ini akan dapat mengurangi banyaknya derajat
kebebasan (degree of freedom) yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi
dari parameter yang diestimasi. Model panel data yang di dalamnya melibatkan
korelasi antar error term karena berubahnya waktu dan berbedanya observasi
dapat diatasi dengan pendekatan model komponen error (error component
model) atau disebut juga model efek acak (random effect).
Hasil dan Pembahasan
4.1. Pengujian Model
Dalam penelitian ini sebelum melakukan analisis regresi data panel,
pertama-tama akan dilakukan uji ketepatan model yang digunakan apakah pooled
least square, fixed effect, atau random effect.
4.1.1. Uji Chow
Uji Chow / likelihood ratio digunakan untuk menentukan apakah model yang
tepat digunakan pooled least square (PLS) ataukah fixed effect (FEM).
H0 = model yang lebih tepat adalah model PLS
Ha = model yang lebih tepat adalah model FEM

Tabel 2 Hasil Uji Chow
Effects Test
Cross-section F

Statistic
40.862255

d.f.

Prob.

(7,76)

0.0000

Pada tabel 1 di atas terlihat bahwa uji Chow yang dilakukan memperoleh prob-F
sebesar 0,0000. Sehingga H0 ditolak dengan demikian model yang lebih tepat
adalah menggunakan FEM.
4.1.2. Uji Hausman
Uji Hausman digunakan untuk menentukan apakah model yang lebih tepat
digunakan adalah random effect (REM) atau fixed effect (FEM).
H0 = model yang lebih tepat adalah model REM
Ha = model yang lebih tepat adalah model FEM

10

Tabel 3 Hasil Uji Hausman
Test Summary
Cross-section random

Chi-Sq. Statistic

Chi-Sq. d.f.

Prob.

23.680128

4

0.0001

Pada tabel 2 di atas terlihat bahwa uji Hausman yang dilakukan memperoleh
prob-F sebesar 0,0001. Sehingga H0 ditolak dengan demikian model yang lebih
tepat adalah menggunakan FEM.
4.2. Analisis
Dalam penelitian ini model menggunakan FEM dengan metode Estimated
Generalized Least Squares (EGLS) dengan pembobot cross-section SUR. Dalam
statistik, metode GLS adalah teknik untuk mengestimasi parameter yang tidak
diketahui dalam model regresi linier. GLS diterapkan ketika varians dari
pengamatan tidak sama (heteroskedastisitas), atau ketika ada tingkat tertentu
korelasi antara observasi (autokorelasi). Sehingga dalam kasus ini, dimana terjadi
heteroskedastisitas dan autokorelasi, OLS bisa secara statistik tidak efisien atau
bahkan memberikan kesimpulan menyesatkan. Pembobotan Cross-section SUR
ini digunakan karena metode ini memberikan estimasi yang layak sekaligus
mengoreksi heteroskedastisitas sekaligus autokorelasi pada data cross section
(eviews readme). Dengan demikian hasil estimasi model EGLS ini telah dikoreksi
dari masalah heteroskedastisitas dan autokorelasi.
Tabel 4 Hasil Estimasi FEM, Metode EGLS cross-section SUR
Variabel Independen

Variabel Dependen = NPL
Koefisien
Nilai t-stat
Probabilitas
-16.80690
-6.761403
0.0000
-0.121195
-1.710791
0.0912
3.455875
10.70923
0.0000
0.605376
3.117979
0.0026
-0.684456
-3.957109
0.0002

Konstanta (C)
Pertumbuhan Ekonomi (GDP)
Tingkat Bunga Pinjaman (IR)
Tingkat Pengangguran (UR)
Tingkat Inflasi, consumer price (INF)
Fixed effect (cross)
Indonesia
-24.75873
Malaysia
5.343103
Filipina
-5.169360
Thailand
5.374299
Singapura
1.203770
Jepang
11.18495
Korea Selatan
-2.837049
China
9.659016
Adjusted R2 = 0.853113
Standard error regresi = 0.969581
F-stat [prob.] = 46.94 [0.000000]
Uji White Heteroskedastisitas F-stat [prob]= 0.449778 [0.92]

11

Korelasi variabel independen < 0.75
DW-stat = 1.45

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa Probabilitas F-statistic menunjukkan
signifikansi pada α = 1%, artinya secara bersama-sama variabel independen
berpengaruh signifikan terhadap variabel NPL. Adjusted R-squared dari estimasi
adalah sebesar 85%, yang berarti bahwa keempat variabel independen mampu
menjelaskan 85% dari variabel dependen, sementara 15% lainnya dijelaskan oleh
variabel yang tidak diteliti dalam model. Dalam tabel juga terlihat bahwa model
dapat dikatakan telah lolos uji asumsi klasik. Uji White menunjukkan probabilitas
yang tinggi (tidak signifikan) yang berarti model telah homoskedastis. Sementara
itu, korelasi antarvariabel independen < 0,75 dapat dikatakan tidak terjadi
multikolinearitas. DW-stat pada angka 1,45 berada pada daerah tanpa
kesimpulan, sehingga dalam studi ini diasumsikan estimasi model telah bebas
dari autokorelasi.
Nilai t-statistik keempat variabel independen signifikan pada α = 1%, kecuali
variabel GDP yang signifikan pada α = 10%. Hal ini berarti bahwa ketiga variabel
independen selain GDP secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel
NPL pada tingkat kesalahan 1%. Sementara itu, variabel GDP berpengaruh
signifikan terhadap NPL pada tingkat kesalahan 10%.
Variabel pertumbuhan GDP ternyata memiliki koefisien sebesar -0,12 yang
berarti bahwa pertumbuhan GDP berhubungan negatif terhadap rasio NPL.
Sehingga apabila terjadi kenaikan pertumbuhan GDP sebesar 1 persen (asumsi
yang lain tetap) akan menurunkan rasio NPL sebesar 0,12 persen. Hal ini
mengindikasikan

bahwa peningkatan

pertumbuhan ekonomi akan

dapat

mengurangi resiko kredit perbankan, sesuai dengan penelitian terdahulu dan
deskripsi variabel. Ketika pertumbuhan ekonomi meningkat, berarti pendapatan
masyarakat juga akan meningkat sehingga akan menaikkan kapasitas peminjam
dana dalam mengembalikan dana pinjaman yang akan menurunkan angka kredit
bermasalah (NPL)
Variabel tingkat bunga pinjaman memiliki koefisien sebesar 3,46 yang berarti
bahwa tingkat bunga pinjaman berhubungan positif terhadap rasio NPL. Sehingga
apabila terjadi kenaikan tingkat bunga pinjaman sebesar 1 persen (asumsi yang
lain tetap) akan menaikkan rasio NPL sebesar 3,46 persen. Hal ini
mengindikasikan bahwa kenaikan tingkat bunga pinjaman akan mempertinggi
resiko kredit perbankan, sesuai dengan penelitian terdahulu dan deskripsi

12

variabel. Tingkat bunga yang semakin tinggi berarti biaya/beban yang ditanggung
peminjam dana semakin berat. Dengan asumsi pendapatan peminjam dana tetap,
maka resiko kredit bermasalah juga akan meningkat.
Variabel tingkat pengangguran memiliki koefisien sebesar 0,61 yang berarti
bahwa tingkat pengangguran berhubungan positif terhadap rasio NPL. Sehingga
apabila terjadi kenaikan tingkat pengangguran sebesar 1 persen (asumsi yang
lain tetap) akan menaikkan rasio NPL sebesar 0,61 persen. Hal ini
mengindikasikan bahwa kenaikan tingkat pengangguran akan mempertinggi
resiko kredit perbankan, sesuai dengan penelitian terdahulu dan deskripsi
variabel. Kenaikan angka pengangguran berarti hilangnya pendapatan sebagian
masyarakat, dan apabila sebagian masyarakat tersebut adalah peminjam dana
maka akan dapat meningkatkan jumlah kredit perbankan yang bermasalah.
Variabel tingkat inflasi memiliki koefisien sebesar -0,68 yang berarti bahwa
tingkat inflasi berhubungan negatif terhadap rasio NPL. Sehingga apabila terjadi
kenaikan tingkat inflasi sebesar 1 persen (asumsi yang lain tetap) akan
menurunkan rasio NPL sebesar 0,68 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa
kenaikan tingkat inflasi akan menurunkan resiko kredit perbankan. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa penurunan pada nilai riil pinjaman akibat inflasi lebih
besar daripada efek inflasi terhadap penurunan pendapatan riil peminjam dana.
4. Kesimpulan
Setelah melakukan analisis dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan
bahwa pada negara dan periode pengamatan yang diobservasi, kondisi
makroekonomi suatu negara berhubungan dengan resiko kredit perbankan.
Pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi memiliki hubungan negatif dengan
resiko kredit. Sementara itu, tingkat bunga pinjaman dan tingkat pengangguran
berhubungan positif dengan resiko kredit. Penelitian ini juga mendukung
penelitian-penelitian sebelumnya bahwa kondisi makroekonomi suatu negara
akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap resiko kredit perbankan.

13

REFERENSI
Bofondi, M. and Ropele, T., 2011. "Macroeconomic determinants of bad loans:
evidence from Italian banks." Banca d'Italia Occasional Papers, no. 89.
Castro, Vitor, 2012. "Macroeconomic determinants of the credit risk in the banking
system:

The

case

of

the

GIPSI.”

NIPE

WP

11/

2012.

http://www.eeg.uminho.pt/economia/nipe
Farhan, Muhammad dkk., 2012. "Economic Determinants of Non-Performing
Loans: Perception of Pakistani Bankers." European Journal of Business and
Management ISSN 2222-1905 (Paper) ISSN 2222-2839 (Online) Vol 4,
No.19;
Hoggarth, Glenn; Sorensen, Steffen dan Zicchino, Lea, 2005. "Stress tests of UK
banks using a VAR approach." Bank of England Working Paper no. 282,
ISSN 1368-5562;
http://digilib.petra.ac.id/viewer.php?page=1&submit.x=0&submit.y=0&qual=high&f
name=/jiunkpe/s1/eakt/2008/jiunkpe-ns-s1-2008-32403130-8342-rasio_keua
ngan-chapter2.pdf diakses pada 3 April 2013;
http://en.wikipedia.org/wiki/Financial_crisis_of_2007%E2%80%932008

diakses

pada 5 April 2013;
http://en.wikipedia.org/wiki/Generalized_least_squares diakses pada 9 April 2013;
http://www.fordham.edu/economics/mcleod/EViews5_1PanelPooledData.pdf
diakses pada 7 April 2013;
http://www.indonesiarecovery.com/krisis-keuangan-global-2008/dampak-krisis-ind
onesia-dan-negara-tetangga.html diakses pada 4 April 2013;
Keeton, W. dan Morris, C.S., 1987. "Why do banks’ loan loses differ?" Federal
Reserve Bank of Kansas City, Economic Review, 3-21;
Llewellyn, David, 2002. "An Analysis of the Causes of Recent Banking Crises."
European Journal of Finance, 8, 152-175;
Rosen, Dan dan Saunders, David, 2010. "Risk factor contributions in portfolio
credit risk models." Journal of Banking & Finance, Volume 34, Issue 2,
February

2010,

Pages

336

-

349,

ISSN

0378

-

4266,

10.1016/j.jbankfin.2009.08.002. Diakses pada 7 April 2013;
Saurina Salas, Jesus and Salas-Fumás, Vicente, 2002. "Credit Risk in Two
Institutional Regimes: Spanish Commercial and Savings Banks." Journal of
Financial Services Research, Vol. 22, No. 3, December 2002. Available at
SSRN: http://ssrn.com/abstract=382966 diakses pada 7 April 2013;

14

Shu, C., 2002. "The Impact of macroeconomic environment on the asset quality of
Hong Kong’s banking sector." Hong Kong Monetary Authority Research
Memorandums;
Sinkey, Joseph F. ,Jr. , dan Greenawalt, M. , 1991. "Loan-loss experience and
risk-taking behavior at large commercial banks." Journal of Financial Services
Research, 5, 43-59, Jurnal ini dapat diakses melalui alamat situs
http://link.springer.com/article/10.1007%2FBF00127083#page-1

15