Konsep Kontrak Sosial Syuro dan Politik
Konsep Kontrak Sosial, Syuro, dan Politik Luar Negeri
Oleh : Maulana Luqman Firdaus / 35.2014.5.1.0799
Pendahuluan
Pada masa ini ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang perpolitikan lebih banyak
mengacu pada para pemikir barat. Liberalisme merupakan salah satu faham yang sangat
menampakkan pandangan masyarakat dunia pada masa ini. Salah satu produk yang dihasilkan
oleh Liberalisme ialah Hak Asasi Manusia. Selain itu ada pula sistem demokrasi yang dihasilkan
oleh para pemikir barat. Dengan dikuasainya keadaan dan khususnya ilmu-ilmu yang dipelajari
yang mengacu dari para pemikir barat, mengahasilkan pandangan orang yang sebelumnya atau
bahkan tidak mengacu ke barat menjadi ikut terbawa oleh faham-faham dan pemikiranpemikiran mereka.
Hal tersebut dikarenakan, kurangnya masyarakat mengetahui hasil-hasil dari para pemikir
Islam. Pada hakikatnya, seperti sistem politik, pemerintahan dan lainnya telah banyak diketahui
dan bahkan berhasil direalisasikan oleh para pemikir Islam pada abad-abad sebelumnya. Hal
tersebut tentunya sesuai dengan syariat Islam. Namun, pada praktek sekarang hasil-hasil dari
para pemikir Islam kurang menjadi acuan, hal inilah yang menjadi kekhawatiran pada saat ini.
Alhasil, banyak dari pemikir masa kini, khususnya pemikir Islam memiliki pemikiran bahwa
Islam masih kekurangan perihal konsep Negara, Politik maupun Diplomasi. Dalam pembahasan
ini, penulis akan menghadirkan bagaimana konsep perihal kontrak sosial, syuro dengan politik
luar negeri yang akan dikaji dari sudut pandang Barat maupun Islam. Pembahasan ini diharapkan
menjadi sebuah dorongan pada kita agar dapat lebih mengacu pada pandangan Islam dan mulai
meminimalisir pandangan barat.
[1]
Kontrak Sosial : Khilafah dalam Islam
Teori kontrak sosial merupakan salah satu teori dari terbentuknya negara. Teori kontrak
sosial ini berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiran para filsof abad pencerahan
(enlightenment), diantaranya Thomas Hobbes, Jhon Locke dan J.J. Rousseau. Tiga tokoh inilah
yang diakui sebagai penggagas dari teori kontrak sosial. Teori kontrak sosial merupakan teori
yang menyatakan bahwa terbentuknya negara itu disebabkan oleh adanya keinginan masyarakat
untuk membuat kontrak sosial. Jadi, sumber kewenangan berasal dari masyarakat itu sendiri.
Dalam sistem ini, kekuasaan negara terbagi menjadi tiga: legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Konsep ini dikenal dengan trias politica. Trias politica menganggap bahwa kekuasankekuasaan tersebut sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Ide pemisahan ini, menurut Montesqieu,
dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik yang tidak akan terwujud, kecuali jika
terdapat keamanan masyarakat di dalam negeri. Ia berpendapat bahwa seseorang cenderung akan
mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat apabila kekuasa itu terpusat di
tangannya. Karena itu, harus ada pemisahan kekuasaan. Dengan demikian, hubungan antara
rakyat dan penguasa dalam sistem sekular adalah: rakyat sebagai musta’jir (majikan) dan
penguasa sebagai ajir (pekerja). Layaknya akad (transaksi) ijârah, si ajir (yaitu penguasa)
memperoleh upah (ujrah) atas pekerjaannya (yang tertuang dalam GBHN); memiliki jam kerja;
memiliki hari-hari libur, cuti, dan sejenisnya.
Dalam Islam, kedaulatan ada di tangan Allah Swt, bukanlah di tangan rakyat maupun
penguasa. Ini sesuai dengan firman Allah Swt: (Lihat: QS al-Ahzab [33]: 36). Sedangkan
kekuasaan berada di tangan rakyat (kaum Muslim). Alasannya, karena kaum Muslimlah yang
memilih dan menentukan khalifah, tentu saja setelah para kandidat khalifah memenuhi
ketentuan-ketentuan syarat-syarat berdasarkan syariat. Maka, bersepakat bahwasannya jalan
untuk pencapaian kursi keimamahan ialah dengan cara melalui pemilihan dan kemufakatan 1,
artinya bukan melalui wasiat atau penunjukkan.
Apabila hasil pemilihan menghasilkan suara terbanyak pada seorang khalifah, maka
rakyat (kaum Muslim) akan membaiatnya. Jadi, secara syar‘i, hubungan antara rakyat (kaum
1 Rais, Dhiyauddin, Teori Politik Islam, hal. 166, (Jakarta : Gema Insani; 2001).
[2]
Muslim) dan penguasa dalam sistem Islam diekspresikan dalam bentuk akad baiat. Sementara
itu, rakyat dalam sistem Islam, wajib menaati perintah (keputusan) Khalifah, kecuali Khalifah
memerintahkan perkara yang temasuk maksiat. Lebih dari itu, kuatnya kedudukan Khalifah
ditegaskan dengan larangan untuk berlaku bughat (membangkang) terhadap Khalifah dan
aparatnya. Dengan demikian, Islam tidak mengenal istilah kontrak sosial, pembatasan masa
jabatan kepala negara, trias politica, kedaulatan rakyat, dan ide-ide demokrasi lainnya.
Konsep Syuro atau Demokrasi
Syura memilih landasan yuridis syar’i Islam, tidak ada perbedaan pendapat tentang
masalah legalitas syuro, sebab hakekat syuro itu mengungkapkan pendapat kepada yang diberi
nasehat diminta atau tidak diminta. Dengan demikian, syura dalam Islam ditetapkan oleh Allah
sebagai sifat bagi orang-orang mukmin. Syura adalah suatu lembaga atau manajemen kekuasaan
lengkap dengan ketua dan anggota-anggotanya punya hak otonom dalam segala urusan luar dan
dalam negeri yang tidak boleh diintervensi kedaulatan penguasa baik dari aturan manajemen atau
perencanaannya. Muhammad Abduh juga berpendapat bahwa musyawarah dalam ayat ini bukan
sekedar dianjurkan, tetapi merupakan kewajiban yang ditujukan terutama kepada kepala negara
untuk menjamin bahwa musywarah dijalankan dengan semestinya dalam urusan-urusan
pemerintahan2.
Melalui musyawarah, setiap masalah yang menyangkut kepentingan umum dan
kepentingan rakyatnya dapat ditemukan suatu jalan keluar yang sebaik-baiknya setelah semua
pihak mengemukakan pendapat dan pikiran mereka yang wajib didengar oleh pemegang
kekuasaan negara supaya ia dalam membuat suatu keputusan dapat mencerminkan
pertimbangan-pertimbangan yang objektif dan bijaksana untuk kepentingan umum.
Meskipun demikian, musyawarah berbeda dengan demokrasi liberal yang berpegang
pada rumus setengah plus satu atau suara mayoritas yang lebih dari setengah yang berakhir
dengan kemenangan bagi sebelah pihak dan kekalahan di pihak lain. Dalam musyawarah, yang
dipentingkan adalah jiwa persaudaraan yang dilandasi keimanan kepada Allah, sehingga yang
2 Kamali, Muhammad Hashim. Kebebasan Berpendapat Dalam Islam, Hal. 63, (Bandung: Mizan, 1994).
[3]
menjadi tujuan musyawarah bukan untuk mencapai kemenangan bagi suatu pihak akan tapi
untuk kepentingan atau kemasalahatan umum atau rakyat. Inilah kriteria pengambilan keputusan.
Sementara Demokrasi, merupakan hukum manusia, hukum bangsa yang telah mencapai
tingkat matang hingga mampu menentukan hukum bagi dirinya sendiri. Demokrasi adalah sistem
pemerintahan yang bersandar pada mayoritas. Penetapan dan pembuatan peraturan dan undang
undang di lakukan oleh wakil wakil rakyat berdasarkan suara mayoritas. Munculnya bentukbentuk pemerintahah demokrasi sekarang ini belum terlalu lama. Di Inggris baru sekitar tiga
abad lalu, sementara di Perancis baru muncul setelah revolusi sedangkan di Amerika setelah
masa kemerdekaan. Tetapi dari sekian banyak pandangan yang berlaku terdapat dua aliaran yang
paling penting, yaitu demokrasi konstitutional dengan demokrasi yang pada hakikatnya
mendasarkan dirinya atas komunisme3. Bila dua sistem pemerintahan ini dibandingkan, maka
akan dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Umat (rakyat) dalam suatu sistem demokrasi dapat didefinisikan sebagai
sekumpulan manusia yang menempati suatu wilayah tertentu, dimana setiap individu di
dalamnya berkumpul dikarenakan kesadaran untuk hidup bersama, dan diantara faktor yang
membantu terbentuknya umat adalah adanya kesatuan ras dan bahasa [Mabadi Nizham al-Hukm
fi al-Islam hlm. 489]. Sedangkan dalam sistem Islam, definisi umat sangatlah berbeda dengan
apa yang disebutkan sebelumnya, karena dalam mendefinisikan umat, Islam tidaklah terbatas
pada faktor kesatuan wilayah, ras, dan bahasa. Namun, umat dalam Islam memiliki definisi yang
lebih luas karena akidah islamiyah-lah yang menjadi tali pengikat antara setiap individu muslim
tanpa membeda-bedakan wilayah, ras, dan bahasa. Dengan demikian, meski kaum muslimin
memiliki beraneka ragam dalam hal ras, bahasa, dan wilayah, mereka semua adalah satu umat,
satu kesatuan dalam pandangan Islam.
Kedua, Sistem demokrasi hanya berusaha untuk merealisasikan berbagai tujuan yang
bersifat materil demi mengangkat martabat bangsa dari segi ekonomi, politik, dan militer. Sistem
ini tidaklah memperhatikan aspek ruhiyah. Berbeda tentunya dengan sistem Islam, dia tetap
memperhatikan faktor-faktor tersebut tanpa mengenyampingkan aspek ruhiyah diniyah, bahkan
3
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Hal. 105, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utam; 2014).
[4]
aspek inilah yang menjadi dasar dan tujuan dalam sistem Islam.Dalam sistem Islam, aspek
ruhiyah menjadi prioritas tujuan dan kemaslahatan manusia yang terkait dengan dunia mereka
ikut beriringan di belakangnya.
Maka, tidak ada celah untuk menyamakan antara sistem yang dibentuk dan diridhai Allah
untuk seluruh hamba-Nya dengan sebuah sistem dari manusia yang datang untuk menutup
kekurangan, namun masih mengandung kekurangan, dan berusaha untuk mengurai
permasalahan, namun dia sendiri merupakan masalah yang membutuhkan solusi.
Politik Luar Negeri dengan Kemaslahatan Ummat di Islam
Politik Luar Negeri akan menentukan seberapa banyak sebuah negara akan mempunyai
banyak kawan atau lawan. Ketika negara-negara dunia bekerjasama atau berperang, maka
realitas-realitas yang terjadi di negara-negara dunia itu dibahas di dalam Hubungan Internasional,
bagaimana negara A menaganut sebuah ideologi untuk bekerjasama dengan negara-negara lain
dan tentunya ideologi itu mempengaruhi hubungan-hubungan antar negara-negara dunia.
Hubungan Internasional mempelajari dan membahas kasus-kasus dan fenomena-fenomena yang
terjadi di antara negara yang memiliki ideologi yang sama maupun yang berbeda.
Sedangkan Politik Luar Negeri muncul karena hubungan-hubungan tersebut, negara
bertindak dengan bekerjasama dengan negara lain tanpa campur tangan negara-negara dunia
yang berkuasa baik di dunia maupun di Organisasi Internasional. Politik Luar Negeri lebih
sempit kajiannya dibandingkan dengan Hubungan Internasional. Kita melihat cara dan
pergerakan negara itu, sistem apa yang dibangun dalam kerjasama tersebut. Politik Luar Negeri
itu dapat dilihat melalui sudut pandang Realisme maupun Liberalisme, bagaimana realisme
memahami/melihat/menilai/ menyimpulkan hubungan antar dua negara. Misal: Indonesia dengan
Singapura, apa yang dipahami oleh realis dan liberalis.
Dalam Islam kepentingan politik luar negeri merupakan guna tercapainya kemaslahatan
bersama antara masyarakat beserta pemerintah. Islam menyatakan kesejahteraan akan lahir
manakala terjadi sinergisitas antara kepentingan dunia dan akhirat. Dalam hal ini, Negara
mempunyai kewajiban pokok untuk memenuhi kebutuhan warga negaranya yang meliputi
[5]
pemenuhan kebutuhan dasar (Basic Need) dan menjamin tercapainya pelaksanaan nilai-nilai
spiritual. Islam memiliki seperangkat tujuan dan nilai yang mengatur seluruh aspek kehidupan,
termasuk didalamnya aspek sosial, ekonomi dan politik. Dalam hal ini, selain sebagai ajaran
normatif, Islam juga berfungsi sebagai pandangan hidup (World View) bagi segenap para
penganutnya. Dari hal ini, tentu saja Islam juga memiliki konsep ketatanegaraan yang berfungsi
untuk merealisasikan kesejahteran yang sinergis antara kepentingan duniawi dan ukhrowi. Maka,
hakikat politik luar negeri dalam Islam ialah pencapaian kemaslahatan bagi rakyatnya, dimana
pemimpin membimbing warga negaranya untuk mencapai kebahagiaan (al-Sa’adah) sebagai
tujuan Negara.
[6]
Referensi :
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2014).
Kamali, Muhammad Hashim. Kebebasan Berpendapat Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1994).
Rais, Dhiyauddin, Teori Politik Islam, (Jakarta : Gema Insani; 2001).
[7]
Oleh : Maulana Luqman Firdaus / 35.2014.5.1.0799
Pendahuluan
Pada masa ini ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang perpolitikan lebih banyak
mengacu pada para pemikir barat. Liberalisme merupakan salah satu faham yang sangat
menampakkan pandangan masyarakat dunia pada masa ini. Salah satu produk yang dihasilkan
oleh Liberalisme ialah Hak Asasi Manusia. Selain itu ada pula sistem demokrasi yang dihasilkan
oleh para pemikir barat. Dengan dikuasainya keadaan dan khususnya ilmu-ilmu yang dipelajari
yang mengacu dari para pemikir barat, mengahasilkan pandangan orang yang sebelumnya atau
bahkan tidak mengacu ke barat menjadi ikut terbawa oleh faham-faham dan pemikiranpemikiran mereka.
Hal tersebut dikarenakan, kurangnya masyarakat mengetahui hasil-hasil dari para pemikir
Islam. Pada hakikatnya, seperti sistem politik, pemerintahan dan lainnya telah banyak diketahui
dan bahkan berhasil direalisasikan oleh para pemikir Islam pada abad-abad sebelumnya. Hal
tersebut tentunya sesuai dengan syariat Islam. Namun, pada praktek sekarang hasil-hasil dari
para pemikir Islam kurang menjadi acuan, hal inilah yang menjadi kekhawatiran pada saat ini.
Alhasil, banyak dari pemikir masa kini, khususnya pemikir Islam memiliki pemikiran bahwa
Islam masih kekurangan perihal konsep Negara, Politik maupun Diplomasi. Dalam pembahasan
ini, penulis akan menghadirkan bagaimana konsep perihal kontrak sosial, syuro dengan politik
luar negeri yang akan dikaji dari sudut pandang Barat maupun Islam. Pembahasan ini diharapkan
menjadi sebuah dorongan pada kita agar dapat lebih mengacu pada pandangan Islam dan mulai
meminimalisir pandangan barat.
[1]
Kontrak Sosial : Khilafah dalam Islam
Teori kontrak sosial merupakan salah satu teori dari terbentuknya negara. Teori kontrak
sosial ini berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiran para filsof abad pencerahan
(enlightenment), diantaranya Thomas Hobbes, Jhon Locke dan J.J. Rousseau. Tiga tokoh inilah
yang diakui sebagai penggagas dari teori kontrak sosial. Teori kontrak sosial merupakan teori
yang menyatakan bahwa terbentuknya negara itu disebabkan oleh adanya keinginan masyarakat
untuk membuat kontrak sosial. Jadi, sumber kewenangan berasal dari masyarakat itu sendiri.
Dalam sistem ini, kekuasaan negara terbagi menjadi tiga: legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Konsep ini dikenal dengan trias politica. Trias politica menganggap bahwa kekuasankekuasaan tersebut sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Ide pemisahan ini, menurut Montesqieu,
dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik yang tidak akan terwujud, kecuali jika
terdapat keamanan masyarakat di dalam negeri. Ia berpendapat bahwa seseorang cenderung akan
mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat apabila kekuasa itu terpusat di
tangannya. Karena itu, harus ada pemisahan kekuasaan. Dengan demikian, hubungan antara
rakyat dan penguasa dalam sistem sekular adalah: rakyat sebagai musta’jir (majikan) dan
penguasa sebagai ajir (pekerja). Layaknya akad (transaksi) ijârah, si ajir (yaitu penguasa)
memperoleh upah (ujrah) atas pekerjaannya (yang tertuang dalam GBHN); memiliki jam kerja;
memiliki hari-hari libur, cuti, dan sejenisnya.
Dalam Islam, kedaulatan ada di tangan Allah Swt, bukanlah di tangan rakyat maupun
penguasa. Ini sesuai dengan firman Allah Swt: (Lihat: QS al-Ahzab [33]: 36). Sedangkan
kekuasaan berada di tangan rakyat (kaum Muslim). Alasannya, karena kaum Muslimlah yang
memilih dan menentukan khalifah, tentu saja setelah para kandidat khalifah memenuhi
ketentuan-ketentuan syarat-syarat berdasarkan syariat. Maka, bersepakat bahwasannya jalan
untuk pencapaian kursi keimamahan ialah dengan cara melalui pemilihan dan kemufakatan 1,
artinya bukan melalui wasiat atau penunjukkan.
Apabila hasil pemilihan menghasilkan suara terbanyak pada seorang khalifah, maka
rakyat (kaum Muslim) akan membaiatnya. Jadi, secara syar‘i, hubungan antara rakyat (kaum
1 Rais, Dhiyauddin, Teori Politik Islam, hal. 166, (Jakarta : Gema Insani; 2001).
[2]
Muslim) dan penguasa dalam sistem Islam diekspresikan dalam bentuk akad baiat. Sementara
itu, rakyat dalam sistem Islam, wajib menaati perintah (keputusan) Khalifah, kecuali Khalifah
memerintahkan perkara yang temasuk maksiat. Lebih dari itu, kuatnya kedudukan Khalifah
ditegaskan dengan larangan untuk berlaku bughat (membangkang) terhadap Khalifah dan
aparatnya. Dengan demikian, Islam tidak mengenal istilah kontrak sosial, pembatasan masa
jabatan kepala negara, trias politica, kedaulatan rakyat, dan ide-ide demokrasi lainnya.
Konsep Syuro atau Demokrasi
Syura memilih landasan yuridis syar’i Islam, tidak ada perbedaan pendapat tentang
masalah legalitas syuro, sebab hakekat syuro itu mengungkapkan pendapat kepada yang diberi
nasehat diminta atau tidak diminta. Dengan demikian, syura dalam Islam ditetapkan oleh Allah
sebagai sifat bagi orang-orang mukmin. Syura adalah suatu lembaga atau manajemen kekuasaan
lengkap dengan ketua dan anggota-anggotanya punya hak otonom dalam segala urusan luar dan
dalam negeri yang tidak boleh diintervensi kedaulatan penguasa baik dari aturan manajemen atau
perencanaannya. Muhammad Abduh juga berpendapat bahwa musyawarah dalam ayat ini bukan
sekedar dianjurkan, tetapi merupakan kewajiban yang ditujukan terutama kepada kepala negara
untuk menjamin bahwa musywarah dijalankan dengan semestinya dalam urusan-urusan
pemerintahan2.
Melalui musyawarah, setiap masalah yang menyangkut kepentingan umum dan
kepentingan rakyatnya dapat ditemukan suatu jalan keluar yang sebaik-baiknya setelah semua
pihak mengemukakan pendapat dan pikiran mereka yang wajib didengar oleh pemegang
kekuasaan negara supaya ia dalam membuat suatu keputusan dapat mencerminkan
pertimbangan-pertimbangan yang objektif dan bijaksana untuk kepentingan umum.
Meskipun demikian, musyawarah berbeda dengan demokrasi liberal yang berpegang
pada rumus setengah plus satu atau suara mayoritas yang lebih dari setengah yang berakhir
dengan kemenangan bagi sebelah pihak dan kekalahan di pihak lain. Dalam musyawarah, yang
dipentingkan adalah jiwa persaudaraan yang dilandasi keimanan kepada Allah, sehingga yang
2 Kamali, Muhammad Hashim. Kebebasan Berpendapat Dalam Islam, Hal. 63, (Bandung: Mizan, 1994).
[3]
menjadi tujuan musyawarah bukan untuk mencapai kemenangan bagi suatu pihak akan tapi
untuk kepentingan atau kemasalahatan umum atau rakyat. Inilah kriteria pengambilan keputusan.
Sementara Demokrasi, merupakan hukum manusia, hukum bangsa yang telah mencapai
tingkat matang hingga mampu menentukan hukum bagi dirinya sendiri. Demokrasi adalah sistem
pemerintahan yang bersandar pada mayoritas. Penetapan dan pembuatan peraturan dan undang
undang di lakukan oleh wakil wakil rakyat berdasarkan suara mayoritas. Munculnya bentukbentuk pemerintahah demokrasi sekarang ini belum terlalu lama. Di Inggris baru sekitar tiga
abad lalu, sementara di Perancis baru muncul setelah revolusi sedangkan di Amerika setelah
masa kemerdekaan. Tetapi dari sekian banyak pandangan yang berlaku terdapat dua aliaran yang
paling penting, yaitu demokrasi konstitutional dengan demokrasi yang pada hakikatnya
mendasarkan dirinya atas komunisme3. Bila dua sistem pemerintahan ini dibandingkan, maka
akan dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Umat (rakyat) dalam suatu sistem demokrasi dapat didefinisikan sebagai
sekumpulan manusia yang menempati suatu wilayah tertentu, dimana setiap individu di
dalamnya berkumpul dikarenakan kesadaran untuk hidup bersama, dan diantara faktor yang
membantu terbentuknya umat adalah adanya kesatuan ras dan bahasa [Mabadi Nizham al-Hukm
fi al-Islam hlm. 489]. Sedangkan dalam sistem Islam, definisi umat sangatlah berbeda dengan
apa yang disebutkan sebelumnya, karena dalam mendefinisikan umat, Islam tidaklah terbatas
pada faktor kesatuan wilayah, ras, dan bahasa. Namun, umat dalam Islam memiliki definisi yang
lebih luas karena akidah islamiyah-lah yang menjadi tali pengikat antara setiap individu muslim
tanpa membeda-bedakan wilayah, ras, dan bahasa. Dengan demikian, meski kaum muslimin
memiliki beraneka ragam dalam hal ras, bahasa, dan wilayah, mereka semua adalah satu umat,
satu kesatuan dalam pandangan Islam.
Kedua, Sistem demokrasi hanya berusaha untuk merealisasikan berbagai tujuan yang
bersifat materil demi mengangkat martabat bangsa dari segi ekonomi, politik, dan militer. Sistem
ini tidaklah memperhatikan aspek ruhiyah. Berbeda tentunya dengan sistem Islam, dia tetap
memperhatikan faktor-faktor tersebut tanpa mengenyampingkan aspek ruhiyah diniyah, bahkan
3
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Hal. 105, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utam; 2014).
[4]
aspek inilah yang menjadi dasar dan tujuan dalam sistem Islam.Dalam sistem Islam, aspek
ruhiyah menjadi prioritas tujuan dan kemaslahatan manusia yang terkait dengan dunia mereka
ikut beriringan di belakangnya.
Maka, tidak ada celah untuk menyamakan antara sistem yang dibentuk dan diridhai Allah
untuk seluruh hamba-Nya dengan sebuah sistem dari manusia yang datang untuk menutup
kekurangan, namun masih mengandung kekurangan, dan berusaha untuk mengurai
permasalahan, namun dia sendiri merupakan masalah yang membutuhkan solusi.
Politik Luar Negeri dengan Kemaslahatan Ummat di Islam
Politik Luar Negeri akan menentukan seberapa banyak sebuah negara akan mempunyai
banyak kawan atau lawan. Ketika negara-negara dunia bekerjasama atau berperang, maka
realitas-realitas yang terjadi di negara-negara dunia itu dibahas di dalam Hubungan Internasional,
bagaimana negara A menaganut sebuah ideologi untuk bekerjasama dengan negara-negara lain
dan tentunya ideologi itu mempengaruhi hubungan-hubungan antar negara-negara dunia.
Hubungan Internasional mempelajari dan membahas kasus-kasus dan fenomena-fenomena yang
terjadi di antara negara yang memiliki ideologi yang sama maupun yang berbeda.
Sedangkan Politik Luar Negeri muncul karena hubungan-hubungan tersebut, negara
bertindak dengan bekerjasama dengan negara lain tanpa campur tangan negara-negara dunia
yang berkuasa baik di dunia maupun di Organisasi Internasional. Politik Luar Negeri lebih
sempit kajiannya dibandingkan dengan Hubungan Internasional. Kita melihat cara dan
pergerakan negara itu, sistem apa yang dibangun dalam kerjasama tersebut. Politik Luar Negeri
itu dapat dilihat melalui sudut pandang Realisme maupun Liberalisme, bagaimana realisme
memahami/melihat/menilai/ menyimpulkan hubungan antar dua negara. Misal: Indonesia dengan
Singapura, apa yang dipahami oleh realis dan liberalis.
Dalam Islam kepentingan politik luar negeri merupakan guna tercapainya kemaslahatan
bersama antara masyarakat beserta pemerintah. Islam menyatakan kesejahteraan akan lahir
manakala terjadi sinergisitas antara kepentingan dunia dan akhirat. Dalam hal ini, Negara
mempunyai kewajiban pokok untuk memenuhi kebutuhan warga negaranya yang meliputi
[5]
pemenuhan kebutuhan dasar (Basic Need) dan menjamin tercapainya pelaksanaan nilai-nilai
spiritual. Islam memiliki seperangkat tujuan dan nilai yang mengatur seluruh aspek kehidupan,
termasuk didalamnya aspek sosial, ekonomi dan politik. Dalam hal ini, selain sebagai ajaran
normatif, Islam juga berfungsi sebagai pandangan hidup (World View) bagi segenap para
penganutnya. Dari hal ini, tentu saja Islam juga memiliki konsep ketatanegaraan yang berfungsi
untuk merealisasikan kesejahteran yang sinergis antara kepentingan duniawi dan ukhrowi. Maka,
hakikat politik luar negeri dalam Islam ialah pencapaian kemaslahatan bagi rakyatnya, dimana
pemimpin membimbing warga negaranya untuk mencapai kebahagiaan (al-Sa’adah) sebagai
tujuan Negara.
[6]
Referensi :
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2014).
Kamali, Muhammad Hashim. Kebebasan Berpendapat Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1994).
Rais, Dhiyauddin, Teori Politik Islam, (Jakarta : Gema Insani; 2001).
[7]