PL5202 Kelembagaan dan Pembiayaan. pdf

Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan ITB

PL5202 Kelembagaan dan Pembiayaan

MODEL KELEMBAGAAN KERJASAMA PENGEMBANGAN
DAN PENGELOLAAN PARIWISATA METROPOLITAN
CIREBON RAYA
Muhammad Ikhwan [25415024], Gunawan [25415033], Inda Wulandari [25415081]
Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Program Studi Perencanaan Kota, SAPPK, ITB

1. PENDAHULUAN
Perkembangan kota/wilayah menjadi kawasan metropolitan tentunya selain menjadi suatu
potensi, muncul juga permasalahan perkotaan yang semakin kompleks. Kota-kota yang tumbuh
dan berkembang dengan jumlah penduduk yang semakin besar dan wilayah yang makin luas
tentunya membutuhkan layanan yang semakin besar dan jangkauan yang luas. Hal ini
kemudian menjadi permasalahan karena kota memiliki keterbatasan sumber daya dalam
menyediakan layanan bagi kebutuhan penduduk di kawasan metropolitan. Maka muncul
berbagai persoalan perkotaan metropolitan seperti akses terhadap air bersih, ekonomi informal,
permasalahan kualitas lingkungan, sanitasi yang buruk pada kawasan permukiman kumuh dan
liar. Dalam menyelesaikan permasalahan ini tidak dapat dilakukan sendiri oleh kota/wilayah
masing-masing, karena permasalahan yang muncul adalah permasalahan lintas wilayah

administrasi.
Metropolitan merupakan suatu sistem yang terbentuk dari beberapa wilayah administrasi
secara keseluruhan ataupun sebagian, menjadi suatu kawasan yang memiliki hubungan
fungsional dari berbagai aspek seperti ekonomi, tenaga kerja, prasarana dan sarana.
Pembangunan dan pengembangan Metropolitan Cirebon Raya, sebagaimana ditetapkan di
dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No 12 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Pembangunan dan Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jawa Barat,
mendorong diperlukannya kerjasama, baik antar pemerintah daerah maupun dengan berbagai
pihak (swasta maupun masyarakat) pada kawasan metropolitan. Akan tetapi, pembangunan
dan pengembangan Kawasan Metropolitan Cirebon Raya yang akan baru dikembangkan saat
ini belum memiliki model kerjasama antar kota/kabupaten di Kawasan Metropolitan Cirebon
Raya. Perencanaan Kawasan Metropolitan Cirebon saat ini berada di bawah kewenangan
Provinsi Jawa Barat, namun dalam pelaksanaan pembangunan dan pengembangan Kawasan
Metropolitan Cirebon Raya harus dilakukan secara sinergis dengan melibatkan berbagai pihak
terkait kota dan kabupaten. Untuk itu perlu, diindentifikasi bentuk kerjasama antar daerah di
Kawasan Metropolitan Cirebon Raya dengan mempertimbangkan berbagai stakeholder yang
terlibat langsung pada berbagai sektor kegiatan ekonomi, khususnya sektor pariwisata yang
merupakan salah satu tema pengembagan Metropolitan Cirebon Raya.

1


Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan ITB

2. MODEL KERJASAMA KELEMBAGAAN
Model kerjasama kelembagaan akan dijelaskan sesuai dengan teori kerjasama yang ada ke
dalam dua bagian, yaitu sebagai berikut.
2.1 Bentuk Kelembagaan Ideal Kawasan Metropolitan
Bentuk kelembagaan kawasan metropolitan pada umumnya sama dengan bentuk kelembagaan
kerjasama antar daerah pada suatu kawasan tertentu. Dalam pembentukannya, terdapat
beberapa indikator-indikator yang digunakan. Indikator pembanding kondisi ideal kelembagaan
metropolitan untuk menentukan model kelembagaan seharusnya juga memperhatikan beberapa
kriteria umum, yakni (Ari, 2006:45-48):
a. Institutional commitment (komitmen lembaga), yaitu tanggung jawab lembaga sebagai
sebuah badan publik untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Adanya struktur
pertanggung jawaban dan sistem akuntabilitas yang jelas merupakan salah satu indikator
untuk menilai kriteria ini dapat berjalan dengan baik.
b. Capability (kapabilitas lembaga), yaitu kemampuan lembaga dalam mengatasi persoalan
yang timbul serta kemampuan seluruh pihak penyelenggara dalam memahami dan
berusaha menyelesaikan persoalan yang dihadapi tersebut. Capability dapat diukur
melalui keefektifan dan keefisienan dari setiap pelaksanaan tugas lembaga.

c. Koordinatif, yaitu lembaga harus bisa merumuskan persoalan-persoalan yang ada secara
baik, menentukan prioritas dan mensinergikan penyelesaiannya, sehingga tidak terjadi
tumpang tindih. Koordinasi lembaga ini dapat diukur melalui indikator pembagian tugas
dan wewenang yang jelas.
d. Accessibility (aksesibilitas lembaga), yaitu lembaga yang ada harus dapat diakses dengan
mudah oleh semua pihak yang berkepentingan terhadap persoalan yang dihadapi. Dalam
hal penyediaan public service, lembaga tersebut juga harus dapat mengakomodasi setiap
kepentingan masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik.
e. Authority (otoritas lembaga), yaitu wewenang untuk melakukan dan menentukan
kebijakan. Dalam pelaksanaan di lapangan, wewenang yang diberikan harus jelas. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari penyelesaian yang sia-sia di dalam mewujudkan suatu
alternatif yang ternyata tidak dapat diwujudkan.
2.2 Model Kerjasama
Kawasan Metropolitan yang terdiri dari beberapa kota/kabupaten yang memiliki hubungan
fungsional tentunya memiliki keterkaitan ataupun ketergantungan antar satu wilayah dengan
wilayah lainnya. Selain itu setiap kota/kabupaten juga memiliki kepentingan pembangunan
wilayah dalam meingkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakatnya. Namun setiap
pembangunan kota/kabupaten yang ada didalam suatu Kawasan Metropolitan akan
memberikan dampak pada wilayah lainnya. Dalam mewujudkan pembangunan di Kawasan
Metropolitan perlu adanya kerjasama antar kota/kabupaten sehingga pembangunan tersebut

dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan di Kawasan Metropolitan. Bentuk-bentuk
kerjasama menurut Taylor dalam Tarigan (2009) ada lima model yaitu :

2

Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan ITB

a. Handshake Agreement. yang dicirikan oleh tidak adanya dokumen perjanjian kerjasama
yang formal. Kerjasama model ini didasarkan pada komitmen dan kepercayaan secara
politis antar daerah yang terkait. Biasanya, bentuk kerjasama seperti ini dapat berjalan
pada daerah-daerah yang secara historis memang sudah sering bekerja sama dalam
berbagai bidang. Bentuk kerjasama ini cukup efisien dan lebih fleksibel dalam
pelaksanaannya karena tidak ada kewajiban yang mengikat bagi masing-masing
pemerintah daerah. Meski begitu, kelemahan model ini adalah potensi munculnya
kesalah-pahaman, terutama pada masalah-masalah teknis, dan sustainibility kerja sama
yang rendah, terutama apabila terjadi pergantian kepemimpinan daerah. Oleh karena itu,
bentuk kerjasama ini sangat jarang ditemukan pada isu-isu strategis.
b. Fee for service contracts (service agreements). Sistem ini, pada dasarnya adalah satu
daerah “menjual” satu bentuk pelayanan publik pada daerah lain. Misalnya air bersih,
listrik, dan sebagainya, dengan sistem kompensasi (harga) dan jangka waktu yang

disepakati bersama. Keunggulan sistem ini adalah bisa diwujudkan dalam waktu yang
relatif cepat. Selain itu, daerah yang menjadi “pembeli” tidak perlu mengeluarkan biaya
awal (start-up cost ) dalam penyediaan pelayanan. Akan tetapi, biasanya cukup sulit untuk
menentukan harga yang disepakati kedua daerah.
c. Joint Agreements (pengusahaan bersama) Model ini, pada dasarnya mensyaratkan adanya
partisipasi atau keterlibatan dari daerah-daerah yang terlibat dalam penyediaan atau
pengelolaan pelayanan publik. Pemerintah-pemerintah daerah berbagi kepemilikan
kontrol, dan tanggung jawab terhadap program. Sistem ini biasanya tidak memerlukan
perubahan struktur kepemerintahan daerah (menggunakan struktur yang sudah ada).
Kelemahannya, dokumen perjanjian (agreement) yang dihasilkan biasanya sangat rumit
dan kompleks karena harus mengakomodasi sistem birokrasi dari pemda-pemda yang
bersangkutan.
d. Jointly-formed authorities (Pembentukan otoritas bersama). Di Indonesia, sistem ini lebih
populer dengan sebutan Sekretariat Bersama. Pemda-pemda yang bersangkutan setuju
untuk mendelegasikan kendali, pengelolaan dan tanggung jawab terhadap satu badan
yang dibentuk bersama dan biasanya terdiri dari perwakilan dari pemda-pemda yang
terkait. Badan ini bisa juga diisi oleh kaum profesional yang dikontrak bersama oleh
pemda-pemda yang bersangkutan. Badan ini memiliki kewenangan yang cukup untuk
mengeksekusi kebijakan-kebijakan yang terkait dengan bidang pelayanan publik yang
diurusnya, termasuk biasanya otonom secara politis. Kelemahannya, pemda-pemda

memiliki kontrol yang lemah terhadap bidang yang diurus oleh badan tersebut.
e. Regional Bodies. Sistem ini bermaksud membentuk satu badan bersama yang menangani
isu-isu umum yang lebih besar dari isu lokal satu daerah atau isu-isu kewilayahan.
Seringkali, badan ini bersifat netral dan secara umum tidak memiliki otoritas yang cukup
untuk mampu bergerak pada tataran implementasi langsung di tingkat lokal. Lebih jauh,
apabila isu yang dibahas ternyata merugikan satu daerah, badan ini bisa dianggap
kontradiktif dengan pemerintahan lokal. Di Indonesia, peranan badan ini sebenarnya bisa
dijalankan oleh Pemerintah Provinsi.

3

Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan ITB

3. MODEL KERJASAMA KELEMBAGAAN METROPOLITAN CIREBON
RAYA
Metropolitan Cirebon Raya sebagai suatu kawasan metropolitan baru dengan berbagai sektor
unggulan sebagai basisnya, membutuhkan adanya suatu kerjasam antar pemerintah maupun
pemerintah dengan pihak swasta dan masyarakat. Sektor pariwisata merupakan salah satu tema
pengembangan utama pada kawasan Metropolitan Cirebon Raya sehingga perlu mendapatkan
perhatian dalam pengelolaannya. Mertopolitan Cirebon Raya memiliki potensi yang sangat

besar pada sektor pariwisata, khususnya pariwisata budaya dan sejarah. Hal ini dikarenakan
banyaknya situs serta benda-benda dan budaya peninggalan masa lalu yang masih cukup
dilestarikan hingga saat ini.
Dalam pengembangan sektor pariwisata di Metropolitan Cirebon Raya, pemerintah tidak
berjalan sendiri karena adanya suatu lembaga, dapat disebut sebagai lembaga adat, yakni pihak
keraton yang turut mengelola berbagai objek wisata di Metropolitan Cirebon Raya. Selain itu,
terdapat berbagai keterlibatan oleh pihak-pihak lain, seperti pihak swasta, lembaga nonpemerintahan, lembaga swadaya masyarakat, maupun masyarkat secara individu ataupun
komunitas yang berbau pariwisata. Oleh karena itu, akan dilakukan analisa terhadap
kemungkinan bentuk kelembagaan kerjasama pariwisata di Metropolitan Cirebon Raya melalui
analisis stakeholder. Diharapkan dengan analisis ini, dapat memberikan bentuk model
kerjasama pariwisata yang tepat untuk pengembangan kawasan Metropolitan Cirebon Raya
pada sektor pariwisata.
3.1 Kajian Model Kerjasama
Kajian model kerjasama dilakukan dengan analisis stakeholder dengan mencoba memetakan
aktor-aktor yang terlibat serta besaran pengaruhnya terhadap sektor pariwisata di kawasan
Metropolitan Cirebon Raya.
Prinsip-prinsip Kerjasama
Kerjasama pada hakekatnya mengindikasikan adanya dua pihak atau lebih yang menjalin
hubungan dan berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan bersama. Disini terlihat adanya tiga
unsur pokok yang selalu melekat pada suatu kerjasama yaitu unsur dua pihak atau lebih, unsur

interaksi, dan unsur tujuan bersama. Jika salah satu dari ketiga unsur itu tidak termuat dalam
suatu objek yang dikaji, maka dapat dianggap bahwa pada objek tersebut tidak terdapat
kerjasama (Pamudji, 1985). Unsur dua pihak atau lebih biasanya menggambarkan suatu
himpunan dari kepentingan-kepentingan yang satu sama lain saling mempengaruhi sehingga
berinteraksi untuk mewujudkan suatu tujuan bersama. Jika hubungan atau interaksi itu tidak
ditujukan pada terpenuhinya kepentingan masing-masing pihak (kepentingan bersama), maka
hubungan-hubungan dimaksud bukanlah suatu kerjasama. Disini terlihat bahwa suatu interaksi,
sekalipun bersifat dinamis, tidak selalu berarti kerjasama. Atau suatu interaksi yang ditujukan
untuk memenuhi kepentingan salah satu pihak tetapi merugikan pihak-pihak lain, juga bukan
suatu kerjasama. Kerjasama senantiasa menempatkan pihak-pihak yang berinteraksi itu pada
posisi yang seimbang, serasi, dan selaras (Pamudji, 1985).

4

Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan ITB

Menurut Pamudji (1985), dalam kerangka kerjasama antardaerah ini harus dihindarkan gejala
egoisme regional dalam proses-proses penetapan bidangbidang yang dikerjasamakan.
Kesepakatan atas prinsip-prinsip kerjasama yang saling menguntungkan, kesepakatan objek
yang dikerjasamakan, serta cara penanganannya, susunan organisasi dan personalia dari

masing-masing pihak yang dilibatkan sebagai penangung jawab dalam proyek, kesepatan
tentang biaya, serta jangka waktu kerjasama sudah harus tertuang dalam peraturan bersama
yang disetujui masing-masing pihak. Secara teoritis, kerjasama dapat dipahami sebagai berikut.
Interaksi Kerjasama Antardaerah
Interaksi antara A dan B
B

Rugi
Tidak rugi/untung
Untung

Rugi
Konflik
Ketidak-adilan
Ketidak-adilan

A
Tidak rugi/untung
Ketidak-adilan
Harmoni

Ketidak-adilan

Untung
Ketidak-adilan
Ketidak-adilan
Kerjasama

Sumber : Tarigan, 2009

Selain beberapa prinsip di atas, agar berhasil melaksanakan kerjasama tersebut dibutuhkan
beberapa pendekatan prinsip, yaitu prinsip Umum “good governance” (lihat Edralin, 1997),
Prinsip Khusus, dan Prinsip Kerjasama Pembangunan Perkotaan yang dapat dilihat pada tabel
berikut.
Prinsip Kerjasama









Prinsip Umum
(Good Governance)
Transparansi. Pemerintahan Daerah
yang telah bersepakat untuk melakukan
kerjasama harus transparan dalam
memberikan berbagai data dan
informasi yang dibutuhkan dalam
rangka kerjasama tersebut, tanpa
ditutup-tutup.
Akuntabilitas. Pemerintah Daerah yang
telah bersepakat untuk melakukan
kerjasama harus bersedia untuk
mempertanggungjawabkan,
menyajikan, melaporkan, dan
mengungkapkan segala aktivitas dan
kegiatan yang terkait dengan kegiatan
kerjasama, termasuk kepada DPRD
sebagai wakil rakyat, atau kepada para
pengguna pelayanan publik.
Partisipatif. Dalam lingkup kerjasama
antar Pemerintah Daerah, prinsip
partisipasi harus digunakan dalam
bentuk konsultasi, dialog, dan negosiasi
dalam menentukan tujuan yang harus
dicapai, cara mencapainya dan
mengukur kinerjanya, termasuk cara
membagi kompensasi dan risiko.
Efisiensi. Dalam melaksanakan
kerjasama antar Pemerintah Daerah ini
harus dipertimbangkan nilai efisiensi
yaitu bagaimana menekan biaya untuk

Prinsip Khusus KAD
 Kerjasama tersebut
harus dibangun untuk
kepentingan umum
dan kepentingan
yang lebih luas
 Keterikatan yang
dijalin dalam
kerjasama tersebut
harus didasarkan atas
saling membutuhkan
 Keberadaan
kerjasama tersebut
harus saling
memperkuat pihakpihak yang terlibat
 Harus ada keterikatan
masing-masing pihak
terhadap perjanjian
yang telah disepakati
 Harus tertib dalam
pelaksanaan
kerjasama
sebagaimana telah
diputuskan
Kerjasama tidak
boleh bersifat politis
dan bernuansa KKN
7.

5











Prinsip Kerjasama Pembangunan
Perkotaan
efisiensi, yaitu upaya pemerintah
daerah melalui kerja sama untuk
menekan biaya guna memperoleh
suatu hasil tertentu atau
menggunakan biaya yang sama
tetapi dapat mencapai hasil yang
maksimal;
efektivitas, yaitu upaya pemerintah
daerah melalui kerja sama untuk
mendorong pemanfaatan sumber
daya para pihak secara optimal dan
bertanggungjawab untuk
kesejahteraan masyarakat;
sinergi, yaitu upaya untuk
terwujudnya harmoni antara
pemerintah, masyarakat dan swasta
untuk melakukan kerja sama demi
terwujudnya kesejahteraan
masyarakat;
saling menguntungkan, yaitu
pelaksanaan kerja sama harus dapat
memberikan keuntungan bagi
masing-masing pihak dan dapat
memberikan manfaat bagi
masyarakat;
kesepakatan bersama, yaitu
persetujuan para pihak untuk
melakukan kerja sama.

Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan ITB

Prinsip Umum
(Good Governance)
memperoleh suatu hasil tertentu, atau
bagaimana menggunakan biaya yang
sama tetapi dapat mencapai hasil yang
lebih tinggi.
 Efektivitas. Dalam melaksanakan
kerjasama antar Pemerintah Daerah ini
harus dipertimbangkan nilai efektivitas
yaitu selalu mengukur keberhasilan
dengan membandingkan target atau
tujuan yang telah ditetapkan dalam
kerjasama dengan hasil yang nyata
diperoleh.
 Konsensus. Dalam melaksanakan
kerjasama tersebut harus dicari titik
temu agar masing-masing pihak yang
terlibat dalam kerjasama tersebut dapat
menyetujui suatu keputusan. Atau
dengan kata lain, keputusan yang
sepihak tidak dapat diterima dalam
kerjasama tersebut.
 Saling menguntungkan dan
memajukan. Dalam kerjasama antar
Pemerintah Daerah harus dipegang
teguh prinsip saling menguntungkan
dan saling menghargai. Prinsip ini
harus menjadi pegangan dalam setiap
keputusan dan mekanisme kerjasama.

Prinsip Khusus KAD
 Kerjasama harus
dibangun diatas rasa
saling percaya, saling
menghargai, saling
memahami dan
manfaat yang dapat
diambil kedua belah
pihak.











Prinsip Kerjasama Pembangunan
Perkotaan
itikad baik, yaitu kemauan para
pihak untuk secara sungguhsungguh melaksanakan kerja sama;
mengutamakan kepentingan
nasional dan keutuhan wilayah
negara republik indonesia, yaitu
seluruh pelaksanaan kerja sama
daerah harus dapat memberikan
dampak positif terhadap upaya
mewujudkan kemakmuran,
kesejahteraan masyarakat dan
memperkokoh negara kesatuan
republik indonesia;
persamaan kedudukan, yaitu
persamaan dalam kesederajatan dan
kedudukan hukum bagi para pihak
yang melakukan kerja sama daerah;
transparan, yaitu proses keterbukaan
dalam kerja sama daerah;
keadilan, yaitu adanya persamaan
hak dan kewajiban serta perlakuan
para pihak dalam melaksanakan
kerja sama daerah.
kepastian hukum, yaitu kerja sama
yang dilakukan dapat mengikat
secara hukum bagi para pihak yang
melakukan kerja sama daerah.

Dari beberapa teori dapat disimpulkan bahwa dalam menjalankan Kelembagaan Metropolitan
harus menerapkan prinsip-prinsip kerjasama seperti Prinsip Umum (Good Governance),
Prinsip Khusus Kerjasama Antar Daerah (KAD), dan Prinsip Kerjasama Pembangunan
Perkotaan.
Analisis Stakeholder
Analisis stakeholder dilakukan dengan pendekatan deskriptif kualitatif yang digunakan untuk
menjelaskan stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan MCR, kepentingan (interest) dan
pengaruh (power) setiap stakeholder, dan menjelaskan peran stakeholder dalam mengakomodir
kepentingan masyarakat. Secara umum Stakeholder di bagi menjadi 3 yaitu Stakeholder Kunci,
Utama, dan Biasa.
 Stakeholder kunci : yang memiliki tingkat kepentingan dan/atau tingkat pengaruh besar
(bernilai 4 dan/atau 5).Stakeholder kunci akan menjadi penentu keberhasilan pelaksanaan
suatu Proyek/Kegiatan, dan harus dilibatkan dalam penyusunan rencana kegiatan/proyek.
 Stakeholder utama : dengan tingkat kepentingan dan pengaruh cukup (bernilai 3), perlu
(secara khusus) dilibatkan dalam proses penyusunan kegiatan
 Stakeholders biasa: pelibatannya secara sukarela (voluntary) melalui sosialisasi di
pengumuman/ wawaran/media massa

6

Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan ITB

Peranan stakeholder dianalisis dengan menggunakan kerangka 4R (4Rs Framework) yang
dikembangkan oleh IIED (International Institute for Environment and Development) sebagai
alat untuk menilai peranan dan kekuatan stakeholder untuk meningkatkan kolaborasi
komunitas dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pendekatan ini akan mendefinisikan peranan
stakeholder yang berkaitan dengan:
 Rights (hak dan kewajiban yang dimiliki stakeholder),
 Responsibilities (tanggung-jawab yang dimiliki stakeholder),
 Revenue/Returns (hasil/manfaat yang akan didapatkan stakeholder), dan
 Relationship (hubungan antar stakeholder).
Kerangka 4R ini membantu dalam menunjukkan permasalahan (issues) penting terkait
keterlibatan para pihak dan mengidentifikasi poin-poin pengaruhnya terhadap suatu rencana
program atau kebijakan (Dubois, 1998). Fungsi dari stakeholer sendiri adalah sebagai :
 Identifikasi stakeholders kunci
 Klarifikasi kepentingan mereka
 Memahami persepsi mereka atas persoalan yang ada
 Mengkhususkan sumberdaya mereka (supportive dan destructive)
 Menggambarkan mandat mereka
Klasifikasi Kelompok Calon Stakeholders dalam Kegiatan Pembangunan adalah :
 Pemerintah: Pusat (K/L), Daerah (Provinsi, Kota/Kabupaten)
 Masyarakat: Asosiasi-Asosiasi Ahli, NGOs/LSM-LSM, CBOs, dan Tokoh Masyarakat
 Perguruan Tinggi
 Asosiasi Pengusaha Terkait (mis. Perbankan, REI, Gapensi, dll.)
 KADIN
Lembaga yang Berperan dalam Pengembangan dan Pengelolaan Wisata Budaya di
Metropolitan Cirebon Raya
Sektor
Pariwisata

Kota Cirebon
Kab. Cirebon
 Dinas Pemuda Olah  Dinas
Raga, Kebudayaan,
Kebudayaan,
dan Pariwisata
Pariwisata,
Pemuda dan
 BAPPEDA
Olahraga
 Perhimpunan Hotel
& Restauran (PHRI)  BAPPEDA
 Keraton
 Keraton
 Perguruan Tinggi

Sumber: Hasil analisis, 2016

7

Kab. Kuningan
 Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan
 BAPPEDA

Kab. Majalengka
 Dinas Pemuda
Olah Raga,
Kebudayaan, dan
Pariwisata
 BAPPEDA

Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan ITB

Peran Lembaga Pengembangan dan Pengelolaan Wisata Budaya di Metropolitan
Cirebon Raya
No
1

Instansi
Dinas Pemuda Olah Raga
Kebudayaan dan Pariwisata

2

BAPPEDA

3

PHRI

4

Keraton

5

Perguruan Tinggi

Peran
Penyusun kebijakan terkait pengembangan dan pengelolaan
pariwisata
Penyusun kebijakan terkait pengembangan dan pengelolaan
pariwisata
Persatuan lembaga wisata yang dapat menghadirkan investor
pada sektor pariwisata
Pengelola keraton dan objek wisata lainnya yang termasuk
kesatuan adat keraton
Pemberi masukan ilmiah, berupa kajian terkait pariwisata di
Metropolitan Cirebon Raya

Sumber : Hasil Analisis 2016

Berdasarkan daftar stakeholder yang terlibat pada sektor pariwisata di Metropolitan Cirebon
Raya, maka dilakukan pemetaan stakeholder tersebut. Pemetaan dilakukan berdasarkan tingkat
kepentingan program/kegiatan stakeholder dengan besaran pengaruh stakeholder terhadap
pengembangan dan pengelolaan pariwisata budaya di Metropolitan Cirebon Raya. Adapun
pemetaan stakeholder tersebut adalah sebagai berikut.
Pemetaan Stakeholder Kunci dan Utama
Pengaruh
Kurang Berpengaruh
Cukup Berpengaruh
Sangat Berpengaruh

Kepentingan Program / Kegiatan untuk Stakeholder
Kurang Penting
Cukup Penting
Sangat Penting
Perguruan tinggi
SKPD Kota / Kab
PHRI
Keraton

Sumber :Hasil Analisis 2016

Berdasarkan hasil pemetaan stakeholder dan peran masing-masing lembaga yang terlibat, dapat
disimpulkan bahwa:
 Stakeholder dengan tingkat kepentingan (interest) yang tinggi tetapi memiliki pengaruh
(power) yang rendah adalah stakeholder yang memiliki kapasitas yang rendah dalam
pencapaian tujuan, akan tetapi dapat menjadi berpengaruh dengan membentuk aliansi
dengan stakeholder lainnya
 Stakeholder dengan tingkat kepentingan (interest) dan pengaruh (power) yang tinggi.
Stakeholder ini harus lebih aktif dilibatkan secara penuh termasuk dalam mengevaluasi
strategi baru
 Stakeholder dengan tingkat kepentingan (interest) dan pengaruh (power) yang rendah.
Diperlukan sedikit dipertimbangkan untuk melibatkan stakeholder ini lebih jauh karena
kepentingan dan pengaruh yang dimiliki biasanya berubah seiring berjalannya waktu
 Stakeholder dengan tingkat kepentingan (interest) yang rendah tetapi memiliki pengaruh
(power) yang tinggi. Stakeholder ini dapat mendatangkan resiko sehingga keberadaannya
perlu dipantau dan dikelola dengan baik.

8

Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan ITB

Berdasarkan hasil analisis yang sudah dilakukan, dapat diketahui bahwa Keraton memiliki
tingkat pengaruh yang tinggi terhadap Pengelolaan lokasi wisata dan pemeliharaan aset-aset
budaya yang ada di kawasan Metropolitan Cirebon Raya, sedangkan SKPD yang memiliki
kepentingan tinggi terhadap pengembangan Wisata Budaya di Kawasan MCR tidak memiliki
pengaruh besar (saat ini) karena kepemilikan lokasi dan aset-aset wisata budaya masih di miliki
secara pribadi oleh keraton. Oleh karena itu, perlu adanya penyelarasan dan penghubungan
antara pihak pemerintah daerah dengan pihak keraton agar sektor pariwisata budaya di
Metropolitan Cirebon Raya dapat berkembang pesat dan berkelanjutan.
Konsep Model Kerjasama
Model kerjsama kelembagaan Metropolitan Cirebon Raya dapat dilakukan dengan model
kerjasama Jointly-formed authorities (Pembentukan otoritas bersama), yang merupakan sistem
Sekretariat Bersama. Setiap pemerintah daerah di Kawasan Metropolitan Cirebon Raya setuju
untuk mendelegasikan kendali, pengelolaan dan tanggung jawab terhadap satu badan yang
dibentuk bersama dan biasanya terdiri dari perwakilan dari kota/kabupaten di Kawasan
Metropolitan Cirebon Raya. Badan ini bisa juga diisi oleh kaum profesional yang dikontrak
bersama oleh pemerintah daerah yang bersangkutan. Badan kelembagaan ini memiliki
kewenangan yang cukup untuk mengeksekusi kebijakan-kebijakan yang terkait pembangunan
dan pengembangan kepariwisataan di Kawasan Metropolitan Cirebon Raya.
Stakeholder dalam Sekretariat Bersama Metropolitan Cirebon Raya merupakan kerjasama
antara pemerintah daerah (lembaga pemerintah khusus yang menaungi Metropolitan Cirebon
Raya) dengan pihak keraton melalui pembentukan lembaga khusus yang mengurusi sektor
pariwisata di Metropolitan Cirebon Raya. Lembaga tersebut bersifat teknis, setingkat UPDT,
yang berisikan SKPD terkait pariwisata, pihak Keraton, dan pihak masyarakat pariwisata.
Secara sederhana akan ditampilkan melalui bagan berikut ini.
Model Kerjasama Pengembangan dan Pengelolaan Wisata Budaya Metropolitan
Cirebon Raya
Lembaga Metropolitan
Cirebon Raya

Unit Pengembangan dan
Pengelolaan Pariwisata

SKPD Bidang
Pariwisata

Komunitas
Pariwisata

Keraton

Sumber: Hasil Analisis, 2016

Kerjasama pariwisata ini harus memenuhi prinsip kerjasama daerah, yaitu:

9

Masyarakat

Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan ITB







Efisiensi dan Efektivitas  efisiensi dan efektivitas pengembangan kawasan pariwisata
serta fasilitas pendukungnya
Sinergi  sinergisitas pengembangan kawasan pariwisata serta fasilitas pendukungnya
Saling menguntungkan  kerjasama yang dilakukan harus saling menguntungkan kedua
belah pihak sehingga tercapai tujuan kerjasama
Kesepakatan bersama  adanya kesepatakan kedua pihak yang bekerjasama
Kepastian hukum  kepastian hukum kerjasama

4. Kesimpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap kelembagaan kerjasama pengebangan dan
pengelolaan pariwisata di Metropolitan Cirebon Raya, dapat disimpulkan bahwa:
 Metropolitan Cirebon Raya merupakan kawasan metropolitan dengan tema
pengembangan pariwisata budaya, namun belum adanya konsep kerjasama serta
kelembagaan bersama mengurusi pariwisata secala menyeluruh dalam satu kawasan
metropolitan
 Terdapat empat aktor kunci dalam kerjasama pengembangan dan pengelolaan pariwisata
di Metropolitan Cirebon Raya, yaitu SKPD terkait bidang pariwisata, Keraton,
lembaga/komunitas pariwisata, dan masyarakat. Masing-masing aktor tersebut memili
pengaruh dan kepentingannya masing-masing.
 Model kelembagaan kerjasama dengan model Jointly-formed authorities menempatkan
empat aktor kunci dalam satu unit koordinasi baru yang dinaungi oleh lembaga utama
yang mengurusi Metropolitan Cirebon Raya. Setiap aktor tersebut dapat berkoordinasi
dalam satu unit kelembagaan khusus yang mengurusi pengembangan dan pengelolaan
pariwisata Metropolitan Cirebon Raya.
Rekomendasi yang diberikan adalah sebagai berikut.
 Pelaksanaan kerjasama tersebut harus sesuai dengan prinsip kerjasama sehingga dapat
tercipta keselarasan dan keberlanjutan program pengembanga dan pengelolaan pariwisata
Mertopolitan Cirebon Raya.
 Setelah membentuk lembaga kerjasama, perlu adanya penyusunan suatu rencana aksi
terkait dengan pengembangan dan pengelolaan pariwisata Metropolitan Cirebon Raya
yang terintegrasi dengan rencana masing-masing kota/kabupaten.

10

Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan ITB

REFERENSI
Ari, Muhammad. 2006. Kajian Penerapan Badan Pengelola Kawasan Perkotaan, Studi Kasus
Kawasan Jatinangor. Tugas Akhir, Jurusan Teknik Planologi, Institut Teknologi
Bandung, Bandung.
Bappeda Kutai Kartanegara. 2014. Perencanaan Kawasan Khusus Kerjasama AntarDaerah
Kabupaten Kutai Kartanegara-Kota Samarinda, Bappeda Kutai Kartanegara, Kutai
Kartanegara.
Pamudji, S., 1985, Kerja Sama Antar Daerah Dalam Rangka Pembinaan Wilayah Suatu
Tinjauan Dari Administrasi Negara, Jakarta: Institut Ilmu Pemerintahan
Studio Perencanaan dan Pengembangan Kota, 2016, Kajian Implikasi Fungsi dan Peran
Kota/Kabupaten Dalam Penyelenggaraan Metropolitan Cirebon raya, Program Studi
Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK, ITB. Bandung
Talitha, Delik. (2014), Inter-regional Cooperation Model of Transportation System Planningin
Greater Bandung Metropolitan, Model Kerjasama Antar Daerah DalamPerencanaan
Sistem Transportasi Wilayah Metropolitan Bandung Raya,Vol16 No 4, November
2014,194-208
Tarigan. 2009. Kerjasama Antar Daerah (KAD) untuk Peningkatan Penyelenggaraan
Pelayanan Publik dan Daya Saing Wilayah. Jakarta: Bappenas
Zahratul Jannah, Suhirman, Koordinasi Antar Organisasi Pemerintah Dalam
Pembangunan Kawasan Perbatasan Dengan Pendekatan Kesejahteraan10 Sekolah
Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan ITB (Studi Kasus: Kabupaten
Sanggau, Kalimantan Barat, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota ,SAPPK,
ITB, Bandung
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk
Teknis Tata Cara Kerjasama Daerah
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 12 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pembangunan
dan Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jawa Barat

11