Ketika Sumber Air Tak Lagi Dekat
SUARA PEMBARUAN AGRARIA Edisi : XXI / Januari - Maret 2017 Memasung Kaki Ketika Sumber Air Tak Rakerwil KPA Wilayah Gunarti, Berjuang
Melawan Korporasi Lagi Dekat Jawa Timur Demi Kelestarian Ibu
hal ... 6 hal ... 8 hal ... 15 hal ... 23 BumiKetika Sumber Air Tak Lagi Dekat
Daftar Isi Laporan Utama Selamatkan Karst, Selamatkan Mata Air Rakyat
2 Memasung Kaki Melawan Korporasi
6 Opini Ketika Sumber Air Tak Lagi Dekat
8 Dunia Dalam KPA Wilayah Bali Selenggarakan Konsolidasi Wilayah
13 Rakerwil KPA Wilayah Jawa Timur
15 Peta Jalan Mencapai Kedaulatan dan Kemandirian Petani
17 Dinamika Konflik Air di Baros
19 Kisah Pilu Transmigran Konawe Selatan
21 Profil Gunarti, Berjuang Demi Kelestarian Ibu Bumi
23 Buletin Suara Pembaruan Agraria diterbitkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
atas dukungan dari Ford Fondation (FF). Namun demikian buletin ini bukanlah merupakan gambaran sikap FF terhadap perwujudan Pembaruan Agraria di Indonesia. Redaksi menerima tulisan berupa liputan, opini, resensi buku. Redaksi berhak mengedit tulisan sepanjang tidak mengubah isi dan makna tulisan. Tulisan yang dimuat menjadi milik redaksi. Tulisan dapat dikirim via email ke alamat [email protected] atau dikirim via pos ke alamat redaksi.
SUARA PEMBARUAN AGRARIA Tiada Demokrasi Tanpa REFORMA AGRARIA Sejati Edisi : XVI / Sept - Des 2015
Salam Agraria!
Penanggung Jawab:
Tanggal 22 Maret selalu diperingati sebagai hari air Dewi Kartika seduania. Air adalah sumber agraria untuk kebutuhan
Pemimpin Redaksi:
seluruh rakyat, namun kasus-kasus perampasan air Benni Wijaya dalam bentuk privatisasi, monopoli, dan komersialisasi sumber dan layanan air, pencemaran, hingga perusakan
Dewan Redaksi:
ekosistem penunjang keberlangsungan sumber air Yahya Zakaria, Syamsudin, masih terus terjadi. Padahal hak atas air telah ditetapkan
Roni Septian, Ferri Widodo sebagai hak asasi manusia bersama dengan sanitasi
Layout:
melalui resolusi PBB pada bulan Juli tahun 2010. Pada Ayubi edsi ini SPA akan mengangkat air sebagai tema utama.
Alamat Redaksi:
Tema ini diangkat juga karena bertepatan dengan sedang Kompleks Liga Mas Indah disusunnya Naskah Akademik dan Rancangan Undang
Jl Pancoran Indah 1, Undang Air guna menggantikan UU No.7 Tahun 2004
Blok E3 No. 1, Pancoran, yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi lewat Putusan Jakarta Selatan 12760
No.85/PUU-XI/2013 oleh Kementerian Pekerjaan Umum Telp 021-7984540 dan Perumahan Rakyat.
Fax 021-7993834 Email: [email protected]
Di rubrik Dunia Dalam, kami memberitakan sejumlah
Website:
kegiatan-kegiatan di KPA wilayah Bali, Jawa Timur yang baru saja selesai melakukan konsolidasi dan Rakerwil. www. kpa.or.id Pada rubrik Dinamika, kami mengangkat kasus konflik air yang terjadi di Baros. Selain itu kami juga
SUARA
mengetengahkan kisah pilu para transmigran di Konawe PEMBARUAN AGRARIA Edisi : XXI / Januari - Maret 2017 Selatan yang lahan garapannya dirampas oleh Korporasi. Memasung Kaki Ketika Sumber Air Tak Rakerwil KPA Wilayah Gunarti, Berjuang Melawan Korporasi Lagi Dekat Jawa Timur Demi Kelestarian Ibu hal ... 6 hal ... 8 hal ... 15 hal ... 23 Bumi Dalam edisi kali ini kami juga mengangkat profil Gunarti, yang merupakan salah satu diantara sembilan kartini Kendeng. Yu Gunarti merupakan sosok perempuan Indonesia yang tidak pernah lelah berjuang untuk menjaga kelestarian bumi pertiwi agar tetap bisa diwariskan kepada anak cucu kita kelak. Gunarti sendiri sebenarnya enggan disebut sebagai kartini. Menurutnya, apa yang dilakukan hanyalah melanjutkan tradisi leluhur untuk menjaga ibu bumi agar tetap lestari.
Ketika Sumber Air Tak Lagi
Selamat membaca!
Dekat
Jalankan Reforma Agraria Sejati!!!
Laporan Utama Selamatkan Karst,
Selamatkan Mata Air Rakyat
ada tanggal 22 Maret 2017, bertepatan dengan hari air sedunia, beberapa organisasi masyarakat sipil mengeluarkan pernyataan sikap
P
mendukung setiap perjuangan rakyat dalam melawan upaya-upaya yang mengancam hak asasi manusia atas air. Organisasi masyarakat sipil tersebut menganggap bahwa selama ini tidak ada upaya yang serius dari pemerintah dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat terkait air. Kasus-kasus perampasan air dalam bentuk privatisasi, monopoli, dan komersialisasi sumber dan layanan air, pencemaran, hingga perusakan ekosistem penunjang keberlangsungan sumber air masih terus terjadi. Padahal hak atas air telah ditetapkan sebagai hak asasi manusia bersama dengan sanitasi melalui resolusi PBB pada bulan Juli tahun 2010.
Indonesia, sebagai negara yang turut menandatangani resolusi Majelis Umum PBB tersebut, selama ini juga belum secara konsisten menjalankan kewajiban HAM dalam bentuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak atas air warganya. Pola pembangunan pemerintah yang bertumpu pada cara pandang pertumbuhan sebagai satu-satunya cara untuk mengerangkan ekonomi menjadi sebab terjadinya pelanggaran Hak Atas Air. Atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, pemerintah telah mengutamakan investasi dibanding kewajibannya untuk menjalankan amanat konstitusi dan norma internasional terkait hak atas air. Sebagai sebuah hak asasi, air dan sumber air haruslah dipahami sebagai sebuah esensi dari kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan.
Kasus-kasus dan potensi perampasan air, secara nyata terus terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Privatisasi layanan air publik di Jakarta yang telah diputuskan oleh pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai bentuk pengingkaran kewajiban negara dalam memenuhi hak atas warga Jakarta. Kasus lain seperti semakin berkembangnya investasi Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), oleh perusahaan asing maupun dalam negeri seperti Aqua di Sukabumi maupun Mayora di Banten telah dan akan membuat dan rakyat kehilangan sumber airnya. Begitu pula pencemaran sumber air oleh perusahaan seperti di Tumpang Pitu, Ciujung, Mojokerto, dsb.
Laporan Utama
telah menjadikan rakyat tidak memiliki akses air secara layak dan membuat kesehatan mereka terganggu. Rencana investasi industri semen di Pegunungan Karst Kendeng merupakan salah satu contoh paling kasat mata untuk menunjukkan bahwa pemerintah Republik Indonesia selama ini telah mengesampingkan hak asasi manusia atas air demi kepentingan industri. Pemerintah Pusat melalui Kementerian-kementerian seperti BUMN, ESDM, hingga lembaga seperti BKPM, maupun Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, selama ini terus ngotot untuk memastikan pabrik semen dapat segera beroperasi di Rembang. Putusan MA yang telah menetapkan keharusan pencabutan ijin, bahkan telah dibelokkan dan diselewengkan demi menjamin keberlanjutan usaha.
Rusaknya Karst Mengancam Sumber Mata Air Karst berasal dari kata bahasa Slavia yaitu krs artinya batu, memperlihatkan bentang alam pada batugamping yang khas. Karst mulai menghangat sejak tahun 1997, saat itu ada seminar international tentang konservasi alam. Rudy Suhendar menyatakan hal tersebut dalam presentasinya dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Geologi Indonesia di Jakarta tanggal 15 November 2016.
Gema seminar itu sampai ke Indonesia, dan tahun 1999 dikeluarkan pedoman pengelolaan kawasan karst yang menjadi pembahasan, di antaranya adalah Karst Gunung Sewu, Karst Gombong, Karst Maros, Karst Kendari, Karst NTT. Kementerian ESDM yang diberi tanggung jawab untuk mengelola kawasan karst, namun pemerintah provinsi yang diberi wewenang untuk mengajukan kawasan karst tersebut. Pada tahun 2000, beberapa gubernur di Indonesia melakukan penyelidikan dan penetapan klasifikasi kawasan karst; I, II, III. Kemudian tahun 2012 dikeluarkan Permen Nomor 17 yang isinya mengakomodir klasifikasi I. Pengelolaan kawasan kars
109 Mata air rusak
49 Goa dan 4 sungai bawah tanah terancam rusak 58.368 ha lahan pertanian terancam kekuarangan air Laporan Utama
bertujuan mengoptimalkan pemanfaatan kawasan karst, guna menunjang pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Permasalahan yang terjadi di masyarakat saat ini adalah pergesekan masalah antara pemanfaatan dan perlindungan karst. Eko Haryono, Ketua Program Studi Geografi dan Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada, karst selalu berasosiasi dengan sumber air. Sekalipun tampak kering di atasnya, di lereng bukit karst pasti terdapat mata air dengan debit luar biasa. ”Air dari karst ini memasok kebutuhan air penduduk dunia sekitar 25 persen,” ujar Eko dikutip dari situs mongabay. Lebih lanjut Eko mengatakan, sekitar 9,5% dari total luas karst di Indonesia, 154.000 kilometer, rusak. Persoalan utama pengelolaan karst, katanya, muncul dari konsekuensi desentralisasi kewenangan, terutama kewenangan perizinan pertambangan batu gamping. Desentralisasi kewenangan itu, katanya, menjadikan peraturan-peraturan pengelolaan karst pemerintah pusat tak berjalan efektif. Meskipun sudah ada peraturan terkait penetapan karst, dalam implementasi sering berlawanan dengan kebijakan politis kepala daerah yang memegang kewenangan pengelolaan.
“Begitu banyak pengajuan surat izin pertambangan batu gamping di Jawa, juga berkontribusi terhadap kerusakan karst. Sifat industri berbasis batu gamping, cenderung mendekatkan pasar dengan bahan baku menyebabkan investor saling berlomba investasi tambang hingga kerusakan karst banyak di Jawa,” katanya.
Setidaknya, 20% dari luas 1.228.538,5 hektar karst di Jawa, mengalami kerusakan. Kerusakan terjadi menyebar di sejumlah kawasan di Jawa, terbesar Jawa Timur, diikuti Jawa Barat lalu Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Secara keseluruhan, kawasan karst di Jawa mampu menyerap karbon atmosfer sebesar 291.110,7 ton karbon per tahun atau setara dengan 1,16 juta ton CO2/ tahun. Besaran ini belum termasuk serapan karbon melalui fotosintesis.
Korporasi merusak karst Berdasarkan penelitian, jika investasi PT. Semen Indonesia diteruskan akan mengakibatkan fenomena terjadinya perampasan air dan hak atas air warga sekitar. Sebab, kerusakan akibat pertambangan yang akan dilakukan PT Semen Indonesia di kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih Pegunungan Kendeng seluas 131,55 hektare berdasar ijin akan memunculkan potensi hilangnya air 4.054.500 m 3
. Selain itu, data (PDAM, 2013) juga menujukkan bahwa kebutuhan air untuk masyarakat di 14 Kecamatan Kabupaten Rembang dengan estimasi memenuhi kebutuhan 607.188 jiwa, sebagian besar juga disuplai dari CAT Watuputih. Maka pemerintah dengan segala instrumennya sudah seharusnya bertugas melindungi kawasan-kawasan konservasi seperti CAT Watuputih.
Di Kawasan Karst Lhoknga – Aceh. Pertambangan semen PT Semen Andalas Indonesia (yang kemudian diambil alih oleh Lafarge Cement Indonesia dan sekarang PT Holcim Indonesia) yang selama 35 tahun ini terus mengeruk dan menghancurkan kawasan karst Lhoknga serta menguasai sumber air masyarakat, tetap mengundang perlawanan dari masyarakat. Terutama ketika masyarakat, khususnya perempuan mengalami kesulitan untuk mengakses air bersih guna memenuhi kebutuhan keluarga.
Di bagian lain Pulau Jawa, dari Pacitan (Jawa Timur), Wonogiri (Jawa Tengah) hingga Gunung Kidul (Yogyakarta) membentang
Laporan Utama
kawasan pegunungan, dikenal sebagai Pegunungan Sewu. Di kawasan inipun kini, PT. Ultratech Mining Indonesia (UMI) berencana menambang karst.
Jika kondisi masih diteruskan dan tidak ada komitmen dari pemerintah, kerusakan karst akan semakin bertambah parah. Dewi Kartika, Sekjend KPA mengatakan bahwa harus ada penghentian kegiatan usaha oleh korporasi yang berdampak merusak lingkungan dan ekosistem karst. Tidak hanya merusak lingkungan, keberadaan korporasi tersebut juga mengakibatkan konflik agraria dan perampasan lahan masyarakat. “Sebelum datangnya korporasi tambang, masyrakat sudah terlebih dahulu mengelola kawasan- kawasan tersebut dengan kearifan lokal yang mereka miliki. Mereka mempunyai budaya bertani yang ramah lingkungan. Ketika korporasi datang, mereka menghancurkan semuanya”. Tegas Dewi Kartika RUU Air untuk menjamin hak rakyat atas air dan perlindungan kawasan karst Pemerintah Pusat, bersama dengan DPR, saat ini sedang memproses pembuatan RUU Air. Organisasi masyarakat sipil mensinyalir RUU ini lebih fokus menjamin keberlangsungan kontrak dan ijin eksploitasi air dan wilayah kawasan konservasi air oleh badan usaha baik BUMN maupun swasta. Pemerintah telah mengabaikan konservasi sebagai bagian penting dari keberlanjutan ketersediaan air. Belum terlihat usaha pemerintah secara serius untuk melakukan perlindungan terhadap ekosistem air yang berarti juga usaha perlindungan terhadap hak atas air. Dengan demikian,
Pemerintah telah mengabaikan gugatan Constitutional Review dan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059- 060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/ PUU-III/2005, bertanggal 19 Juli 2005 dan Keputusan Nomor 85/PUU-XI/2013 yang menegaskan bahwa air adalah hak publik (res commune), yaitu suatu hak yang dimiliki oleh masyarakat, perempuan dan laki-laki, secara bersama-sama.
Koalisi masyarakat sipil untuk penyelamatan kawasan karst pada peringatan hari Air Internasional 22 Maret ini, menyatakan bahwa (1). Negara untuk segera membahas dan m e n g e s a h k a n RUU Air dengan m e m a s t i k a n j a m i n a n p e m e n u h a n hak atas air dan p e r l i n d u n g a n terhadap sumber daya air, termasuk kawasan karst. (2). Menolak setiap bentuk eksploitasi sumber daya alam yang merusak ekosistem sumber air komunitas. (3). Menuntut Pemerintah untuk menghentikan pertambangan semen di kawasan karst di Kutai Timur, Kutai Kartanegara, Maros, Trenggalek, Karawang, Aceh, dan secara khusus rencana investasi perluasan industri semen di Kupang dan Pegunungan Kendeng. (4). Menuntut kepada Pemerintah menghentikan kriminalisasi terhadap rakyat yang sedang berjuang melindungi ekosistem air dan sumber airnya. (5). Mendukung setiap perjuangan rakyat, perempuan dan laki- laki, dalam mempertahankan hak atas air dalam arti air sebagai ruang penghidupan maupun sumber penghidupan, baik untuk produksi ekonomi maupun reproduksi sistem sosial budaya.
Harus ada penghentian kegiatan usaha oleh korporasi yang berdampak merusak lingkungan dan ekosistem karst. Tidak hanya merusak lingkungan, keberadaan korporasi tersebut juga mengakibatkan konflik agraria dan perampasan lahan masyarakat. Laporan Utama
Memasung Kaki Melawan Korporasi Aksi pasung semen terus berlanjut, dukungan terus berdatangan
emasung kaki dengan semen terbukti ampuh menarik perhatian khalayak umum. Melalui bagian tubuhnya yang dipasung semen,
M
memperlihatkan secara simbolik bahwa dengan berdirinya pabrik semen di Pegunungan Kendeng berarti akan menghentikan kegiatan (memasung) mereka selama ini sebagai seorang petani. Karena dengan berdirinya pabrik semen akan merusak ekosistem pertanian di daerah tersebut.
Hari ini aksi cor semen tersebut masih berlanjut. Memasuki hari kesepuluh, Rabu (22/3/2017) aksi cor kaki oleh berbagai kalangan masyarakat sebagai bentuk dukungan terhadap perjuangan sedulur sikep kembali dilanjutkan. Setelah kemarin, Selasa (21/3) sempat terhenti untuk mengenang Ibu Patmi (48) yang gugur dalam berjuang menolak keberadaan industri pabrik semen di Rembang. Hari ini aksi dipasung semen jilid II kembali dilanjutkan di depan Istana Negara. Tidak seperti biasa, pada kesempatan kali ini beberapa pimpinan organisasi masyarakat sipil pun ikut ambil bagian dalam melakukan aksi cor kaki di depan istana sebagai dukungan dan peghormatan untuk sedulur sikep Kendang dan Ibu Patmi yang gugur dalam perjuangannya. Beberapa pimpinan organisasi yang ikut dalam aksi cor kaki ini yakni, Sekjen KPA, Dewi Kartika, Willy (LBH Bandung), Merah (JATAM), Yati (KontraS), Algif (LBH Jakarta), Sastro (SPRI), dan Luthfi (SPMN).
Tidak hanya itu, di hari berikutnya, berbagai macam organisasi masyarakat masih terus berdatangan, ada organisasi mahasiswa seperti SMI, LMND, dan organisasi
Laporan Utama
mahasiswa dari berbagai kampus juga turut terlibat dalam aksi cor semen ini. Sebelumnya, beberapa dukungan untuk sedulur sikep juga telah berdatangan dari berbagai penjuru tanah air, Jambi, Lampung, Jogja, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur hingga Sulawesi. Alasan mereka memberi dukungan bahwa apa yang dilakukan oleh sedulur sikep dalam mempertahankan tanah dan air mereka khususnya wilayah pegunungan Kendeng dari eksploitasi industri semen merupakan simbol dari perlawanan anak bangsa untuk menyelematkan bangsa ini dari kerakusan pemilik kuasa modal dalam mengekspolitasi kekakayaan sumber- sumber agraria Negeri ini. Sudah berbagai cara dilakukan oleh sedulur Kendeng dalam mencari keadilan di Negeri ini, melakukan gugatan hingga gugatan mereka dimenangkan oleh Mahkamah Agung (MA), melakukan aksi jalan kaki dari Rembang ke Semarang, melakukan aksi cor kaki dalam aksi dipasung semen jilid 1 awal tahun lalu hingga menemui Presiden Jokowi. Perjuangan mereka pun bukanlah perjuangan yang singkat. Terhitung sudah bertahun-tahun para sedulur sikep melakukan perlawanan menolak keberadaan industry pabrik semen di wilayah pegunungan kendeng. Namun sampai saat ini tidak ada sikap yang tegas dari Jokowi selalu Presiden Republik Indonesia untuk menghentikan rencana operasi pabrik semen di Rembang. Saling melempar tanggung jawab hingga mengangkangi peradilan tertinggi. Sepertinya mereka memang lebih suka memfasilitasi kepentingan investasi modal dari pada memikirkan nasib rakyatnya yang berjuang antara hidup dan mati. Aksi dipasung semen jilid II adalah bukti dari kekecewaan rakyat terhadap pemimpin bangsa ini yang tak kunjung mengambil sikap tegas menjalankan aspirasi rakyatnya. Bisa dilihat, hingga hari ke-7 aksi pasung jilid II tidak ada tanda-tanda dari Istana untuk menemui para sedulur sikep. Kepergian Ibu Patmi tidak akan menyurutkan langkah perjuangan sedulur sikep. Malah kejadian ini akan terus melipatkangandakan kekuatan untuk menolak keberadaan industri pabrik semen di Rembang demi menyelamatkan wilayah pegunungan Kendeng dari eksploitasi indsutri semen seperti cita-cita Ibu Patmi dan sedulur sikep untuk menjaga kelestarian wilayah pegunungan Kendeng. Opini
Ketika Sumber Air Tak Lagi Dekat
“Sekarang sumber air su dekat”
alimat diatas kurang lebih artinya “sekarang sumber air sudah dekat”. Diambil dari sebuah iklan produk air minum kemasan yang
K
sering tayang di beberapa televisi nasional beberapa waktu lalu. Dalam iklan tersebut digambarkan kegembiraan seorang anak seorang anak sambil berucap dengan khas tutur bahasa Nusa Tenggara Timur (NTT). Sekilas, iklan ini menyampaikan pesan bahwa betapa sulitnya sebagian warga Indonesia, terutama yang berada di wilayah NTT dan sekitarnya mengakses air bersih dikarenakan beberapa faktor alam. Namun menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2012 seperti dilansir beritatagar.id mencatat, Indonesia menduduki peringkat terburuk dalam pelayanan ketersediaan air bersih dan layak konsumsi se-Asia Tenggara. Hingga 2016, baru 29 persen masyarakat Indonesia yang dapat mengakses air bersih melalui perpipaan, jauh di bawah target pemerintah hingga 2019, yaitu sebesar 60 persen. Hal ini tentu sangat berkebalikan dengan fakta melimpahnya sumber daya air yang dimiliki oleh Negara ini.
Data BPBD NTT tahun 2014 mencatat terdapat sedikitnya 170 desa di 17 kabupaten dari 22 kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami krisis air bersih. Mengakibatkan 38.879 orang, atu 4.325 keluarga menderita krisis air bersih. Krisis air bersih menjadi
Dok : Istimewa
Opini
persoalan utama di NTT yang hingga saat ini belum teratasi. Kejadian tersebut terus terjadi secara berulang yang berdampak langsung kepada masyarakat yang berada di provinsi tersebut. Mitos bahwa Nusa Tenggara mempunyai keterbatasan terhadap ketersediaan air sebenarnya tidak semuanya benar. Misalnya, pengalaman di Labuan Bajo. Ibu kota Kabupaten Manggarai Barat mempunyai mata air Wae Mowol mempunyai debit sebesar 16 liter/detik yang dialirkan ke Kawasan Kota Labuan Bajo yang berjarak kurang lebih + 17 KM. Selain 6 sumber mata air di atas, masih terdapat sumber air yang berada di sekitar kawasan pemukiman Campa, pemukiman Raba, bagian utara pemukiman Lancang, sekitar Sungai Boepasaru, pemukiman Waekesambi, ditambah kawasan misi (Seminari dan Susteran) serta Wae Kemiri yang digunakan oleh penduduk sekitar kota Labuan Bajo. Fakta berlimpanya ketersediaan air tersebut dalam prakteknya tetap tidak mampu mencukupi kebutuhan penduduk di NTT, khususnya Labuan Bajo. Hampir sepanjang tahun penduduk mengalami krisis air bersih. Air menjadi barang yang sangat sulit dan mahal untuk bisa diakses sebagian besar penduduk. Bukan hanya akses terhadap air bersih, masyarakat juga dibatasi untuk melaut dengan dalih area zonasi untuk kepentingan konservasi. Kawasan pantai pun tidak luput dari kegiatan privatisasi untuk pengadaan pembangunan hotel dan fasilitas pariwisata lainnya. Tindakan ini mengakibatkan masyarakat yang sebagian besar nelayan tidak mampu lagi mengakses pantai.
Hasil penelitian yang dilakukan Sunspirit, ARC dan KPA di Labuan Bajo bahwa letak geografis bukanlah penyebab utama fenomena kelangkaan air tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan Sunspirit, ARC, dan KPA di Labuan Bajo menemukan jika kelangkaan air bersih juga disebabkan praktek korupsi dalam pengelolaan dana anggaran untuk penyediaan air bersih. Seperti diketahui sejak 2004- 2010 dana yang sudah dihabiskan untuk pembangunan fasilitas air minum bersih sebesar 15 Milyar. Pada tahun 2011 untuk proyek yang sama dialokasikan 8 Milyar lebih. Belum lagi ditambah dengan dana sejumlah tiga puluh milyar lebih untuk proyek water treatment Wae Mese yang targetnya bisa menjawabi semua kebutuhan warga Labuan Bajo. (Sunspirit, ARC, dan KPA, 2016).
Tidak hanya di NTT, krisis air justru juga terjadi di Pulau Jawa. Sukabumi, walaupun berada di wilayah yang kaya akan sumber mata air, tidak menjadikan penduduknya yang ada di sini aman dengan ketersediaan air bersih. Salah satu kabupaten di Jawa Barat ini kerap dilanda krisis air bersih. Dikutip dari antaranews.com pada pertengahan Oktober 2015, sebanyak 40 desa yang tersebar di 23 kecamatan di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, dilanda bencana krisi air bersih yang merupakan dampak dari kemarau panjang. Bulan Februari 2016, kondisi yang sama dialami oleh penduduk di 12 Desa Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi. Dari 12 desa ini, 2 desa diantaranya merupakan langganan banjir. (headlinejabar.com, 25 Februari 2016). Penduduk tersebut tidak hanya mengalami kekeringan air ketika kemarau datang, akan tetapi termasuk di musim penghujan. Krisis air ini sebagai imbas dari eksploitasi perusahaan air minum di Kabupaten Sukabumi yang telah berlangsung sejak tahun 1980-an. Diambil dari rilis LBH Opini
Keadilan Sukabumi Raya (LBH-KSR), tercatat setidaknya hingga tahun 2006 saja ada sekitar 35 perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang beroperasi di kawasan Gunung Salak Kabupaten Sukabumi. Kekayaan agraria yang dimiliki oleh Sukabumi terutama air membuat para perusahaan air minum mulai dari skala kecil hingga besar baik nasional maupun global berlomba-lomba untuk melakukan investasi di salah satu wilayah di tanah pasundan ini. Bukan untuk Hajat Hidup Orang Banyak Sepanjang tahun 2017, kiita disuguhi konflik agraria pertambangan yang terjadi di wilayah pegunungan Kendeng yang melintasi beberapa kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Konflik ini berawal dari rencana pembangunan pabrik semen PT. Semen Indonesia di Kabupaten Rembang yang merupakan rangkaian dari wilayah pegunungan Kendeng bagian utara. Protes berdatangan karena wilayah yang hendak ditambang oleh salah satu badan usaha Negara yang bergerak di bidang produksi semen tersebut merupakan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih yang telah ditetapkan Presiden melalui Keputusan Presiden RI Nomor 26/2011 sebagai salah satu CAT yang dilindungi. Aktivitas penambangan pabrik diprediksi akan merusak area Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih di Pegunungan Kendeng yang menopang kebutuhan air bagi sekitar 153.402 petani Rembang. Di tengah-tengah hiruk pikuk konflik Rembang, warga Cadas Sari – Baros di Kabupaten Pandeglang dan Serang, Banteng juga tengah bergelut melawan invasi perusahaan air minum PT. Tirta Fresindo salah satu anak perusahaan Mayora Group. Enam orang warga Cadas Sari – Baros diamankan saat melakukan aksi unjuk rasa menolak keberadaan perusahaan air minum tersebut. Konflik ini berawal dari tahun 2012 dan berlanjut hingga sekarang. Keberadaan perusaaan air minum dikhawatirkan akan berimbas buruk kepada kehidupan penduduk. Pasalnya, wilayah ini merupakan sentral kawasan lahan pangan yang berkelanjutan yang menjadi penopang kehidupan penduduk yang mayoritas berprofesi sebagai petani. Apalagi kawasan Cadasari merupakan kawasan lindung geologi yang ditetapkan melalui Perda Kabupaten Pandeglang No.3/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pandeglang.
Sementara dalam konteks kebijakan, kondisi semakin buruk. Air sebagai hak dasar warga Negara yang merupakan barang publik digerus keberadaannya. Januari tahun ini, Kementrian Pekerjaan Umun dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menyerahkan naskah akademik Rancangan Undang-undang Sumber Daya Air (RUU SDA) kepada komisi V DPR sebagai ganti UU No. 7 tahun 2014 tentang Sumber Daya Air yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) lewat Putusan No.85/ PUU-XI/2013. RUU ini ditengarai kembali menghidupkan semangat privatisasi air yang dulu sempat diakomodir UU No. 7 tahun 2004 sebelum akhirnya dibatalkan oleh MK karna desakan dari masyarakat sipil karna dianggap bertentangan dengan konstitusi Negara. Kekhawatiran ini bukan tanpa sebab, pasalnya RUU SDA merupakan salah satu UU yang disusun melalui pinjaman program Bank Dunia (Water Resources Sector Adjustment Loan) sebesar US$ 300 juta. UU ini juga didasari atas cara pandang baru terhadap air, yaitu air sebagai barang ekonomi yang mendorong terjadinya komersialisasi,
Opini
komodifikasi dan privatisasi air. Sebagai turunan, tentu saja air sebagai barang ekonomi menjadi landasan utama dalam menyusun UU Sumberdaya Air tersebut.
Sengkarut tentang pengelolaan air seharusnya tidak terjadi apabila pemerintah sebagai pelaksana amanat konstitusi mampu menjalankan mandate dengan baik. Konstitusi kita dalam Pasal 33 UUD 1945 secara jelas mengamanatkan bahwa air sebagai salah satu kekayaan agraria nasional haruslah diambil penguasaannya oleh Negara untuk didistribusikan sebesar- besarnya bagi kepentingan hajat hidup orang banyak. Artinya sebagai kebutuhan asasi dan orang banyak air tidak boleh dikuasai oleh segelintir atau sekelompok orang. Amanat ini semakin dipertegas dengan lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang lahir 15 tahu setelah kemerdekaan Indonesia. Sebagai payung hukum pengelolaan kekayaan agraria nasional, UUPA dengan jelas memandatkan bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan hidup orang banyak, terutama tanah, air, dan segala yang terkandung di dalamnya dikuasai Negara untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.
Sayangnya, apa yang dimandatkan konstitusi di atas dalam prakteknya tidak pernah terjadi. Peraturan kebijakan pengelolaan air tidak pernah benar-benar mengakomodir kepentingan hajat hidup orang banyak. Derasnya arus liberalisme semakin menjauhkan semangat pengelolaan kekayaan air nasional dari amanat konstitusi. Rakyat harus rela menjadi kelas kedua oleh Negara untuk prioritas penyediaan air bersih, karna air tidak diperuntukkan Negara untuk kepentingan hajat hidup orang banyak. Akan tetapi untuk kepentingan bisnis dan investasi.
Sumber Air yang Semakin Menjauh Melimpahnya ketersediaan air bukan berarti mejadi anugrah bagi masyarakat Sukabumi. Dalam waktu yang lama, kondisi ini justru menjadi malapateka. Kekayaan air yang cukup melimpah membuat ratusan industri berbondong-bondong mendatangai Kabupaten tersebut untuk menanamkan investasi di industri air minum. Masuknya ratusan perusahaan air minum telah berimbas kepada warga.
Mereka yang dulu biasa menggunakan
Dok : Istimewa Opini
air dari aliran dari pegunungan dan sumber mata air yang berada di sekitar pemukiman saat ini harus rela membaginya dengan para korporasi tadi. Bahkan tidak jarang kehadiran korporasi tersebut telah menghambat akses mereka terhadap ketersediaan air bersih. Pasalnya, kebanyakan korporasi menutup akses tersebut bagi masyatakat untuk kepentingan bisnis mereka. Seperti cerita Siti (42) yang dikutip dari salah satu artikel merdeka.com pada tahun 2013. Kehidupan salah satu warga Kampung Pojok, Desa Babakan Pari, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat tersebut drastis berubah setelah perusahaan air minum Aqua datang untuk berinvestasi di kampungnya. Siti mengeluhkan sejak berdiri pabrik Aqua di bawah rumahnya, air sumur di kediamannya mulai mengering. Kekeringan kian parah di musim kemarau. Kondisi yang dialami Siti jamak terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, meskipun mereka berada di daerah yang kaya akan sumber daya air. Hasil penelitian Direktorat Geologi bekerja sama dengan Bagian Lingkungan Hidup Kabupaten Sukabumi menemukan 37 mata air di dua kecamatan, yakni Cicurug dan Cidahu. Total debit air dari mata-mata air itu 1.335 liter per detik. Artinya dua kecamatan ini sangat kaya akan ketersediaan air.
Namun, hasil riset Amrta Institute for Water Literacy pada tahun 2012 justru menunjukkan fakta yang berbeda. eksploitasi air di Kabupaten Sukabumi telah membuat warga menderita. Sebagian besar miskin dan sulit memperoleh air bersih. Bahkan, di Kecamatan Cidahu, mayoritas penduduknya berada di sekitar perusahaan air kemasan kesulitan mengakses air bersih.
Maraknya eksploitasi sumber daya air yang dilakukan oleh perusahaan air minum nasional dan global telah melahirkan situasi yang sulit bagi masyarakat dalam upaya mengakses air bersih. Kenyataan ini berbanding lurus dengan perkembangan industri air minum dalam kemasan. Menurut data yang disampaikan MARS Indonesia, produksi air minum dalam kemasan (AMDK) di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 9,47 miliar liter, kemudian meningkat menjadi 10,19 miliar liter pada tahun 2009 dan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya, hingga menjadi 14,90 miliar liter pada tahun 2014. Artinya apa, eksploitasi sumber mata air yang dilakukan oleh para korporasi tersebut telah membuat penduduk kehilangan sumber mata air mereka. Dengan kondisi ini, penduduk pun harus terpaksa membeli kepada korporasi yang tadinya mencuri sumber-sumber mata air mereka. Trend ini sebagai dampak ketidakseriusan Negara dalam melaksanakan salah satu amanat konstitusi, yakni menyediakan air bersih untuk warga Negara. Sehingga tidak ada pilihan lain untuk rakyat selain membeli air bersih yang ditawarkan oleh korporasi-korporasi skala besar tersebut. Akhirnya, sebagai Negara yang berada di wilayah yang kaya akan sumber mata air dan curah hujan yang tinggi hampir sepanjang tahun. Bangsa ini harus menerima kenyataan pahit bahwa ketersediaan air bersih masih merupakan hal yang sulit untuk diakses. Pola kebijakan pro pasar yang dilahirkan elit Negara dengan melakukan privatisasi air membuat menjadikan sumber air semakin jauh dari jangkauan anak bangsa.
Dunia Dalam Dok : KPA
KPA Wilayah Bali Selenggarakan Konsolidasi Wilayah
PA Wilayah Bali menyelenggarakan konsolidasi wilayah pada tanggal 10 Februari 2017 lalu. Bertempat di ruang pertemuan Yayasan Wisnu, Kecamatan
K
Kerobokan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, kegiatan yang berlangung selama sehari ini mengusung tema, “Perkuat Organisasi dan Konsolidasi Tani Menuju Gerakan Reforma Agraria.” Setidaknya ada 25 perwakilan KPA wilayah yang hadir pada kesempatan ini. diantaranya perwakilan organisasi rakyat, organisasi masyarat sipil, dan pengurus KPA Wilayah Bali Periode 2014-2016. Hadir juga Sekjend KPA, Dewi Kartika Sekertariat dan beberapa peserta peninjau.
Agenda ini ditujukan untuk mengkonsolidasikan gerakan reforma agraria di Bali serta sekaligus pembentukan pengurus harian organisasi KPA wilayah Bali yang baru. Selain itu, konsolidasi ini juga sekaligus merencanakan implementasi gerakan reforma agraria ke depan sebagai tindak lanjut mandat Munas KPA ke-VII di berbagai wilayah, termasuk Bali.
Dalam kesempatan ini, Ni Made Indrawati kembali dipercaya menjadi kordinator KPA wilayah Bali di mana pada periode sebelumnya ia juga telah mengisi posisi yang sama. Namun begitu, kepercayaan ini sekaligus menjadi tantangan yang berat bagi Indra dalam membesarkan gerakan reforma agraria di Bali melalui KPA. Dinamika politik agraria nasional yang semakin komplit telah melahirkan berbagai ancaman dan peluang bagi gerakan RA ke depan. Dunia Dalam
Sebagai salah satu destinasi wisata yang unggul, Bali tidak luput dari ancaman investasi modal dalam praktek perampasan penguasaan dan akses rakyat terhadap sumber agraria untuk menyediakan berbagai fasilitas pendukung. Praktek perampasan dan penggusuran ini diperdiksi akan semakin membesar ke depan seiring dengan semakin marakya proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang akan dibangun di pulau Dewata ini. Sementara itu, dalam sisi kebijakan ada beberapa peluang yang bisa dimanfaatkan oleh gerakan tani di Bali dalam merebut kembali hak-hak atas tanah mereka. Salah satunya, program redistribusi dan sertifikasi tanah 9 juta hektar yang merupakan turunan dari kebijakan reforma agraria Jokowi-JK.
Konflik Agraria di Bali
Meskipun tidak menyasar secara komprehensif masalah agraria yang terus berkutat di tanah air yakni ketimpangan penguasaan lahan. Namun, program ini harus tetap dimaknai sebagai peluang- peluang kecil bagi perjuangan reforma agraria. Oleh sebab itu, Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) sebagai salah satu implementasi dari redistribusi tanah harus mampu dimanfaatkan semaksimal mungkin. Tentu dalam hal ini, butuh sebuah gerakan yang solid dari seluruh organasasi tani dalam memanfaatkan momentum tersebut. Konsolidasi ini diharapkan mampu menjawab tantangan-tantangan tersebut melalui perencanaan yang matang dan penguatan organisasi rakyat secara menyeluruh sehingga mampu membalikkan tantangan-tantangan tadi menjadi peluang untuk memperluas gerakan reforma agraria, khususnya di Bali.
Pulau Bali yang selama ini dikenal sebagai Pulau Dewata dengan gemerlap pesona wisatanya hingga ke mancanegara ternyata masih menyimpan persoalan agraria yang hingga kini belum terselesaikan.
Konflik agraria tersebut diantaranya adalah konflik rakyat dengan PT. Margarana dan PT. Dharmajati dan Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Menurut data terakhir tercatat 3.084 jiwa, 500 Kepala Keluarga (KK) yang mengolah 624 Hektar Lahan Pertanian dengan jumlah Penduduk Sumber Klampok menurut data terakhir 3.084 jiwa, 500 Kepala Keluarga (KK) Awal, Penduduk tidak tetap 73 Kepala Keluarga (KK) dan Eks pengungsi Timor-Timor 107 KK.
Tahun Penggarapan lahan dimulai pada program transmigrasi dan tanam paksa kolonial sejak tahun 1922 dan pengungsi letusan Gunung Agung (1963) dan Konflik Timor-Timor (1999). Sengketa dan Konflik sejak jaman Kolonial (Transmigrasi 1922) dengan Negara merdeka utamanya dengan (PT. Margarana dan PT. Dharmajati, 1957), dan TAMAN Nasional Bali BARAT (TNBB 1991). Reklaiming Tahun 1992, serta Gugatan Gubernur Bali Kepada PT. Margarana (2008). Pemerintah harus melakukan kebijakan Agraria yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat dan menolak segala bentuk kebijakan pertanahan dan sumber Agraria lain yang tidak sejalan dengan prinsip, dan amanat UUPA No.
5 Tahun 1960 dan untuk khusus untuk konflik lahan di Bali, Pemprov harus segera mengambil sikap tegas untuk mengambil alih kasus ini agar ribuan Kepala Keluarga petani tidak menjadi korban karena kehilangan lahan dan mata pencahariannya.
Dunia Dalam Dok : KPA
Rakonwil KPA Wilayah Jawa Timur
PA Wilayah Jawa Timur baru saja melaksanakan Rapat Konsolidasi Wilayah (Rakonwil) pada 7-8 Februari yang lalu. Rakonwil tersebut
K
diadakan di Dusun Junggo, Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Dinginnya Kota Batu tidak menyurutkan langkah kawan-kawan dari KPA Wilayah Jawa Timur untuk menyelaraskan ritme gerakan dengan Sekertariat Nasional KPA di Jakarta.
Rakonwil ini ditujukan untuk merumuskan rencana kerja KPA Wilayah Jatim ke depan. Selain itu, rapat kerja ini juga untuk menindaklanjuti implementasi rekomendasi-rekomendasi Rapat Kerja Nasional (Rakernas) KPA yang diselenggarakan awal Desember tahun lalu agar apa yang diusung di wilayah mampu selaras secara nasional.
Kondisi geografis dan demografis dari Jawa Timur menjadi pertimbangan strategis dalam penyusunan program-program kerja dalam Rakonwil. Provinsi Jawa Timur mempunyai 229 pulau dengan luas wilayah daratan sebesar 47.130,15 Km2 dan lautan seluas 110.764,28 Km2. Jumlah penduduk Jawa Timur pada tahun 2007 sebanyak 36.895.571 jiwa dengan kepadatan 798/ Dunia Dalam
km2. Dari jumlah tersebut yang tinggal diperkotaan sebasar 40,65 %, sedangkan penduduk pedesaan sebesar 59,35%. Jumlah penduduk yang besar tersebut merupakan sumber daya manusia yang dapat menjadi subyek dan sekaligus obyek pembangunan.
Sebagian besar masyarakat Jawa Timur di sektor agrobisnis yang berbasis tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan dan kehutanan. Oleh karena itu sektor agribisnis mempunyai peluang besar untuk dikembangan di daerah ini. Pengembangan agrobisnis yang dimaksud tidak hanya pada pemanfaatan kelimpahan sumberdaya yang ada atau mengandalkan keunggulan komparatif sebagaimana yang telah berlangsung sekarang ini. Tetapi secara bertahap akan terus dikembangkan dari agrobisnis yang didorong oleh modal, kearah agrobisnis yang didorong oleh inovasi. Peran KPA untuk Mendorong Reforma
Agraria di Jatim
Konsorsium Pembaruan Agraria merupakan wadah/kumpulan organisasi baik Organisasi Rakyat maupun Lembaga Swadaya Masyarakat yang memperjuangkan pembaruan agraria. Dalam perjalanannya KPA merumuskan, dan berusaha untuk berubah dari organisasi konflik (sengketa) menjadi organisasi dengan basis kewilayahan. Perubahan orientasi ini, menjadikan peranan KPA di wilayah menjadi semakin tinggi. Peranan KPA Wilayah tersebut, harus segera diambil untuk mendinamisasikan gerakan agraria di wilayah – wilayah, terutama yang wilayah yang mempunyai basis-basis KPA. Sehingga Isu reforma agraria tidak hanya sekedar ada di lingkaran pelaku (aktivis) agraria serta pengambil kebijakan, namun juga menjadi isu yang ada di kalangan petani sebagai subjek dari RA tersebut. Petani harus mengambil porsi lebih dalam mendorong terselenggaranya Reforma Agraria dari bawah, yakni Reforma Agraria yang terselenggara atas tuntutan keadilan dari bawah. Saat ini, Reforma Agraria telah mampu menempati posisi strategis dalam konteks pengambilan kebijakan. Jokowi pun telah mencanangkan RA sebagai salah satu prioritas dalam program Nawacitanya sehingga menjadi peluang bagi perjuangan Reforma Agraria dalam bentuk kebijakan. Akan tetapi, hal tersebut tidak bisa dibiarkan berjalan begitu saja dengan mempercayai sepenuhnya kerja pemerintah dalam menjalankan visi besar ini. Oleh sebab itu, perlu sebuah gerakan tani yang kuat dan besar untuk menjaga berjalannya program ini agar tidak melenceng dari cita-cita awal Reforma Agria itu sendiri. Dalam konteks ini, penting para pelaku gerakan RA untuk terus memfokuskan membangun organisasi- organisasi tani melalui pembasisan dan penguatan yang berkesinambungan. Koordinator KPA Jawa Timur Adib Dian Mahmudi menekankan pentingnya konsolidasi diantara organisasi tani dan para pegiat reforma agraria agar lebih terarah perjuangannya. “Di Jawa Timur ini angka konflik agraria masih tergolong tinggi, sedangkan program reforma agraria tidak menyasar ke daerah-daerah konflik, hal ini menunjukkan komitmen dari pemerintah masih rendah untuk menyelesaikan konflik agraria dan mengembalikan lahan masyarakat”, ungkap Adib dengan tegas.
Dunia Dalam Dok : KPA
Peta Jalan Mencapai Kedaulatan dan Kemandirian Petani Workshop KPA Wilayah Jambi
mplementasi berbagai peraturan perundangan di sektor perkebunan belum berorientasi penguatan kemandirian petani. Sebab dalam
I
berbagai regulasi masih membuka peluang bagi perusahaan untuk terus melanggengkan monopoli dan mengambil keuntungan lebih dari operasi perkebunan. Selain itu, minimnya pengawasan dari pemerintah terhadap praktik perusahaan perkebunan juga jadi masalah lain yang dampaknya merugikan petani. Padahal petani seharusnya menjadi prioritas penerima manfaat dari usaha perkebunan.
Menyikapi kondisi tersebut, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama KPA wilayah Jambi bekerja sama dengan Pemerintah Desa Tanjung Makmur menyelenggarakan workshop yang bertemakan “Peta Jalan Mencapai Kedaulatan dan Kemandirian Petani” yang dilaksanakan Jum’at (27/1) lalu.
Acara yang bertempat di Hotel Aston, kota Jambi, Provinsi Jambi ini juga dihadiri oleh beberapa pihak diantaranya, Pemerintah Daerah dalam hal ini diwakili oleh Dinas Perkebunan, Pemerintah Desa Tanjung Makmur, Dunia Dalam
Ketua Gapoktan, Ketua KUD Karya Kita, Ketua Koperasi Karya Mandiri, Perwakilan Ketua KTH, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda dan Organisasi Perempuan.
Undang-undang (UU) No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Permentan No. 98 tahun 2013, Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2013 dan PP No. 44 Tahun 1997 merupakan sebagian regulasi yang mengatur bahwa petani berikut usaha kecilnya atau koperasi seharusnya menjadi pihak dalam kemitraan perkebunan yang menjadi prioritas penerima manfaat.
Tak hanya itu, kemitraan dan pengelolaan perkebunan juga harus disandarkan pada nilai-nilai kesetaraan dan keadilan. Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2013 dan PP No. 44 Tahun 1997 memuat hal senada dimana definisi kemitraan adalah; “…kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan”.
Meski demikian, dalam praktiknya hal tersebut masih sulit terwujud. Petani terus menjadi pihak yang tidak diuntungkan dalam praktek perkebunan karna tidak memiliki posisi tawar dalam pengambilan keputusan, terutama soal rantai produksi.
Perusahaan dan pemerintah cenderung luput dalam memberikan perhatian pada persoalan tersebut, terutama melakukan usaha-usaha yang diorientasikan untuk memandirikan petani. Secara ideal, usaha besar, seperti perusahaan dan pemerintah seharusnya mampu memberikan kerangka dan peta jalan bagi petani dalam meraih kemandiriannya.
Untuk menjawab dan mencari solusi dari persoalan tersebut, KPA mengarahkan diskusi ini untuk membahas persoalan eks- perkebunan plasma dan kemitraan antara petani dan perusahaan dan merumuskan peta jalan kemandirian petani.
Frandodi Koordinator KPA wilayah Jambi mengungkapkan berbagai masalah dalam lingkup perkebunan di Jambi. “Selain konflik agraria, krisis di lapangan juga terkait dengan krisis ekologis, krisis pangan dan krisis hubungan produksi. Perubahan lanskap atas tanah yang sebelumnya merupakan kawasan dengan bioregion yang lengkap serta asal mula penggunaan tanah untuk berbagai tanaman, berubah menjadi lahan tanaman monokultur. Dengan begitu, lahan pertanian pangan menjadi hilang, dan kebutuhan pangan bergantung pada pasokan dari luar wilayah“. ungkap Dodi.
Kisah-kisah memilukan petani perkebunan saat ini kerap mewarnai media massa. Di Jambi, puluhan petani sawit diberitakan masuk rumah sakit jiwa, bahkan beberapa petani mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri akibat harga Tandan Buah Sawit (TBS) yang terjun bebas. Sudah saatnya HGU hanya diperuntukkan bagi koperasi bersama milik rakyat sesuai misi UUPA 1960. Sudah saatnya ada desain nasional bagi petani kita untuk membentuk badan usaha bersama milik petani dan badan usaha bersama milik desa, yang memiliki perkebunan dan pertanian modern. Dengan begitu, terjadi sebuah reforma agraria yang memberi jalan bagi pembangunan tanah, modal dan teknologi untuk petani kita menuju keadilan sosial dan kemakmuran.
Dinamika Dok : KPA
Konflik Air di Baros
i saat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sedang menyusun Naskah Akademik dan Rancangan Undang Undang Air guna
D
menggantikan UU No.7 Tahun 2004 yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi lewat Putusan No.85/PUU-XI/2013, di Baros, Serang, Banten meletus konflik yang diakibatkan oleh perampasan sumber air oleh PT Fresindo Jaya Mayora.
Konflik ini sesungguhnya sudah berlangsung sejak tahun 2013. Penolakan masyarakat sangat beralasan dan logis karena mempertimbangkan bahwa wilayah Cadas Sari Pandeglang – Suka Indah Kabupaten Serang merupakan wilayah strategis zona geologi kawasan lindung mata air, dimana berdasarkan kajian Amdal wilayah tersebut merupakan cekungan pertahanan air masyarakat Serang-Tangerang.