Harapan Menikah Lagi Pada Wanita Bercerai

(1)

HARAPAN MENIKAH LAGI PADA WANITA BERCERAI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

DEBBY ISABELLA 071301026

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Harapan Menikah Lagi Pada Wanita Bercerai

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Agustus 2011

DEBBY ISABELLA 071301026


(3)

Harapan Menikah Lagi Pada Wanita Bercerai Debby Isabella dan Rodiatul Hasanah Siregar, M.Si

ABSTRAK

Dalam menanggapi perubahan hidup setelah perceraian, wanita perlu mengembangkan suatu harapan untuk perubahan hidup yang lebih bermakna dan positif. Snyder (2000) mengemukakan harapan sebagai sesuatu yang dapat dibentuk dan dapat digunakan sebagai langkah untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Salah satu harapan yang dapat dikembangkan oleh wanita bercerai adalah harapan untuk menikah lagi sehingga dengan menikah lagi dapat mengarahkan wanita bercerai mendapatkan makna hidup yang lebih positif.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran harapan menikah lagi pada wanita bercerai. Gambaran pembentukan harapan menikah lagi dapat dilihat melalui komponen-komponen harapan yang dikemukakan oleh Snyder, yaitu goal, pathway thinking, dan agency thinking.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan responden sebanyak tiga orang. Prosedur pengambilan responden dalam penelitian ini menggunakan theory-based/operational construct sampling. Penelitian dilakukan di kota Medan. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam dan observasi sebagai metode pendukung.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden 1 dan 3 memiliki harapan menikah lagi yang tinggi karena mereka mampu mengembangkan pathway thinking dan agency thinking yang tinggi bahkan mampu memikirkan jalur alternatif saat menjumpai hambatan. Sementara responden 2 hanya memiliki agency thinking yang tinggi namun pathway thinking yang rendah karena dia memiliki rasa keyakinan untuk bisa menikah lagi namun tidak memikirkan usaha-usaha yang harus dilakukan untuk bisa menikah lagi. Ketiga responden menetapkan goal untuk mendapatkan pendamping hidup lagi yang dapat memberikan kebahagiaan. Pada responden 2 dan responden 3 yang memiliki anak yang masih kecil, berharap menikah lagi juga untuk memberikan sosok ayah untuk anaknya. Dukungan sosial, kepercayaan religius, dan kontrol yang dimiliki responden membantu mereka dalam mengembangkan harapan untuk menikah lagi.


(4)

Hope of Remarriage for Divorced Women Debby Isabella dan Rodiatul Hasanah Siregar, M.Si

ABSTRACT

In adjusting the changes in life after divorce, women need to develop hope for getting changes to a meaningful and positive life. Snyder (2000) states that hope can be builded and can be used as a way to better changes. One kind of hope can be developed by divorced women are hope of remarriage which can direct individual to get more positive and meaningful life.

The research aims to see the description of hope of remarriage for divorced women. The description of hope of remarriage can be seen through components of hope developed by Snyder, such as goal, pathway thinking, and agency thinking.

The research uses qualitative method and takes three participant. The procedure of selecting the participant based on theory-based/operational construct sampling. The research takes place in Medan. Data is yielded by using depth interview and observation as additional method.

The result of research shows that the first participant and third participant have high hope of remarriage because they can develop high both pathway thinking and agency thinking even they can also develop another pathway when they see impediment. But second participant only has high agency thinking but low pathway thinking because she has only personal agency to reach the goal but she could not think about pathways to reach the goal. All participant make a clear goal such as get a new spouse for giving happiness. The second participant and third participant who have child from previous marriage, also hope of remarriage to give a new father for her child. The social support, religious belief, and control perceived to participants help them in developing their hope of remarriage.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat-Nya maka penulis dapat menjalani tahap demi tahap penyusunan skripsi yang berjudul Harapan Menikah Lagi Pada Wanita Bercerai hingga selesai tepat pada waktunya. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU Medan.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis juga mendapat banyak bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Si., psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU,

beserta Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Psikologi USU.

2. Ibu Rodiatul Hasanah Siregar, M.Si., psikolog, selaku dosen pembimbing penulis. Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas kesabaran Ibu dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas segala bimbingan, masukan, kritikan, dan dukungan moril yang telah Ibu berikan kepada penulis.

3. Seluruh dosen di Fakultas Psikologi yang telah memberikan ilmu, wawasan dan pengetahuan yang sangat berharga kepada penulis dan seluruh staf administrasi yang bersedia membantu penulis dalam pengurusan administrasi dan menyediakan segala keperluan selama perkuliahan, khususnya dalam penelitian ini.


(6)

4. Kedua orangtua penulis (papa Djohan dan mama Go Cin Yen) serta abang penulis satu-satunya (Tomy), yang telah memberikan perhatian, semangat, dorongan, dan dengan sabar menunggu hingga penulis menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas dukungan, motivasi, dan saran-saran yang telah diberikan kepada penulis selama ini, khususnya pada masa-masa penyusunan skripsi ini.

5. Teman terbaik penulis (Juanda Saturnus, Aggie Lawer, Satria, Silvia Sumbogo, Reny, Daris, Effendi, Christina) yang telah setia menemani di saat suka maupun duka, memberikan perhatian dan dukungan kepada penulis. Terima kasih atas waktu berharga yang telah kita lewati bersama.

6. Ketiga responden dalam penelitian ini. Terima kasih karena telah bersedia meluangkan waktu untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Terima kasih atas keterbukaan diri kakak-kakak untuk bercerita mengenai salah satu bagian dari pengalaman hidup anda. Tetaplah semangat menjalani hidup anda.

7. Teman-teman dalam organisasi buddhis KMB-USU yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu per satu, terima kasih atas pengalaman, kebersamaan, dan waktu berharga yang penulis dapatkan selama di dalam organisasi.

8. Teman-teman psikologi (Fiyud, Dewi, Trisa, Liana, Vivilia), teman-teman angkatan 2007, serta kakak-kakak senior angkatan 2006, terima kasih atas segala perhatian, doa, dukungan dan motivasi dalam membantu penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini serta kebersamaan kita dalam suka dan duka selama ini.


(7)

9. Terima kasih kepada semua orang yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu. Bantuan yang telah diberikan sangat berharga bagi penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis terbuka untuk menerima semua saran dan kritik demi tercapainya penulisan yang lebih baik lagi. Akhir kata, penulis berharap kiranya skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak.

Medan, Agustus 2011 Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II LANDASAN TEORI ... 12

A. Harapan ... 12

1. Definisi Harapan ... 12

2. Komponen Harapan ... 14

a. Goal ... 14

b. Pathway Thinking ... 15

c. Agency Thinking ... 15

d. Kombinasi Pathway Thinking dan Agency Thinking ... 16


(9)

B. Perceraian ... 21

1. Definisi Perceraian ... 21

2. Penyebab Perceraian ... 22

3. Dampak Perceraian ... 25

C. Pernikahan Lagi (Remarriage) ... 27

1. Keberhasilan dan Kepuasan Pernikahan Lagi ... 28

2. Dampak Pernikahan Lagi ... 29

D. Gambaran Harapan Menikah Lagi Pada Wanita Bercerai ... 30

E. Kerangka Berpikir ... 32

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

A. Pendekatan Kualitatif ... 32

B. Responden Penelitian ... 33

1. Karakteristik Responden ... 33

2. Jumlah Responden ... 33

3. Prosedur Pengambilan Responden ... 34

4. Lokasi Penelitian ... 34

C. Metode Pengambilan Data ... 34

D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 35

1. Alat Perekam (Tape Recorder) ... 36

2. Pedoman Wawancara ... 36

E. Kredibilitas Penelitian ... 37

F. Prosedur Penelitian ... 38

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 38

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 39

3. Tahap Pencatatan Data ... 40

4. Prosedur Analisa Data ... 40


(10)

1. Riwayat Responden ... 43

2. Hasil Observasi ... 44

3. Analisa Data ... 49

4. Pembahasan ... 61

B. Deskripsi Data II ... 63

1. Riwayat Responden ... 63

2. Hasil Observasi ... 63

3. Analisa Data ... 70

4. Pembahasan ... 81

C. Deskripsi Data III ... 83

1. Riwayat Responden ... 83

2. Hasil Observasi ... 83

3. Analisa Data ... 87

4. Pembahasan ... 97

D. Analisa Antar Responden ... 98

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 104

A. Kesimpulan ... 104

B. Saran ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 108 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Tempat dan Waktu Wawancara ... 43

Tabel 2. Gambaran Harapan Menikah Lagi Pada Responden 1 ... 61

Tabel 3. Gambaran Harapan Menikah Lagi Pada Responden 2 ... 80

Tabel 4. Gambaran Harapan Menikah Lagi Pada Responden 3 ... 96

Tabel 5. Analisa Identitas Diri Ketiga Responden ... 99


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Verbatim

Responden 1 Wawancara 1 Responden 1 Wawancara 2 Responden 1 Wawancara 3 Responden 2 Wawancara 1 Responden 2 Wawancara 2 Responden 2 Wawancara 3 Responden 3 Wawancara 1 Responden 3 Wawancara 2

Lampiran 2. INFORMED CONSENT Lampiran 3. Pedoman Wawancara


(13)

Harapan Menikah Lagi Pada Wanita Bercerai Debby Isabella dan Rodiatul Hasanah Siregar, M.Si

ABSTRAK

Dalam menanggapi perubahan hidup setelah perceraian, wanita perlu mengembangkan suatu harapan untuk perubahan hidup yang lebih bermakna dan positif. Snyder (2000) mengemukakan harapan sebagai sesuatu yang dapat dibentuk dan dapat digunakan sebagai langkah untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Salah satu harapan yang dapat dikembangkan oleh wanita bercerai adalah harapan untuk menikah lagi sehingga dengan menikah lagi dapat mengarahkan wanita bercerai mendapatkan makna hidup yang lebih positif.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran harapan menikah lagi pada wanita bercerai. Gambaran pembentukan harapan menikah lagi dapat dilihat melalui komponen-komponen harapan yang dikemukakan oleh Snyder, yaitu goal, pathway thinking, dan agency thinking.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan responden sebanyak tiga orang. Prosedur pengambilan responden dalam penelitian ini menggunakan theory-based/operational construct sampling. Penelitian dilakukan di kota Medan. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam dan observasi sebagai metode pendukung.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden 1 dan 3 memiliki harapan menikah lagi yang tinggi karena mereka mampu mengembangkan pathway thinking dan agency thinking yang tinggi bahkan mampu memikirkan jalur alternatif saat menjumpai hambatan. Sementara responden 2 hanya memiliki agency thinking yang tinggi namun pathway thinking yang rendah karena dia memiliki rasa keyakinan untuk bisa menikah lagi namun tidak memikirkan usaha-usaha yang harus dilakukan untuk bisa menikah lagi. Ketiga responden menetapkan goal untuk mendapatkan pendamping hidup lagi yang dapat memberikan kebahagiaan. Pada responden 2 dan responden 3 yang memiliki anak yang masih kecil, berharap menikah lagi juga untuk memberikan sosok ayah untuk anaknya. Dukungan sosial, kepercayaan religius, dan kontrol yang dimiliki responden membantu mereka dalam mengembangkan harapan untuk menikah lagi.


(14)

Hope of Remarriage for Divorced Women Debby Isabella dan Rodiatul Hasanah Siregar, M.Si

ABSTRACT

In adjusting the changes in life after divorce, women need to develop hope for getting changes to a meaningful and positive life. Snyder (2000) states that hope can be builded and can be used as a way to better changes. One kind of hope can be developed by divorced women are hope of remarriage which can direct individual to get more positive and meaningful life.

The research aims to see the description of hope of remarriage for divorced women. The description of hope of remarriage can be seen through components of hope developed by Snyder, such as goal, pathway thinking, and agency thinking.

The research uses qualitative method and takes three participant. The procedure of selecting the participant based on theory-based/operational construct sampling. The research takes place in Medan. Data is yielded by using depth interview and observation as additional method.

The result of research shows that the first participant and third participant have high hope of remarriage because they can develop high both pathway thinking and agency thinking even they can also develop another pathway when they see impediment. But second participant only has high agency thinking but low pathway thinking because she has only personal agency to reach the goal but she could not think about pathways to reach the goal. All participant make a clear goal such as get a new spouse for giving happiness. The second participant and third participant who have child from previous marriage, also hope of remarriage to give a new father for her child. The social support, religious belief, and control perceived to participants help them in developing their hope of remarriage.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

“Selama 10 tahun saya menjanda, tidak ada pikiran untuk menikah lagi, karena pengalaman yang tidak menyenangkan dengan perkawinan saya. Tapi anak sudah besar, saya memikirkan hidup tua nanti. Saya juga berpikiran kalo nanti anak perempuan saya menikah, saya ingin ada bapak yang menjadi walinya walaupun ayah kandungnya masih hidup ato sudah mati, kami tak menganggapnya lagi.”

(Komunikasi Personal, 10 Mei 2011)

Dari kutipan cerita di atas, dapat dilihat bahwa seorang wanita yang telah bercerai pada awalnya merasa takut untuk menikah lagi. Namun seiring dengan waktu, wanita bercerai ini memiliki keinginan untuk menikah lagi dengan tujuan untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak anaknya menikah.

Saat ini, perceraian memang tidak lagi dipandang sebagi sesuatu hal yang memalukan namun sudah menjadi hal yang biasa dalam masyarakat. Penelitian pada masyarakat Minangkabau yang didukung dengan data BPS (2002) bahkan menunjukkan bahwa kecenderungan gugatan cerai lebih banyak dilakukan oleh wanita di Sumatera Barat. Hal ini dapat disebabkan karena pasangan atau wanita yang melakukan gugatan cerai melihat perceraian sebagai solusi untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam pernikahan yang tidak dapat diatasi lagi oleh kedua pasangan. Meskipun demikian, perceraian seringkali diartikan sebagai


(16)

kegagalan yang dialami suatu keluarga (Holmes dan Rahe dalam DeGenova, 2008).

Suatu perceraian yang ditandai dengan adanya proses kehilangan secara tiba-tiba tentu menimbulkan konsekuensi-konsekuensi bagi kedua belah pihak. Di satu sisi, dengan bercerai individu dapat bebas dari tekanan, mengurangi konflik batin yang dialami selama pernikahan serta membuka kesempatan untuk membangun kehidupan baru yang lebih baik. Di sisi lain, perceraian juga menimbulkan konsekuensi berupa timbulnya masalah-masalah pasca perceraian seperti masalah ekonomi, masalah praktis kegiatan rumahtangga sehari-hari, masalah psikologis, masalah emosional, masalah sosial, masalah kesepian, masalah pembagian tanggung jawab pengasuhan anak, masalah seksual, dan masalah perubahan konsep diri (DeGenova, 2008).

Melihat pada konsekuensi-konsekuensi yang muncul dari perceraian, maka masalah utama yang perlu dihadapi setelah perceraian dapat berupa penyesuaian kembali (readjustment) dengan status hidup sendiri tanpa pasangan, atau yang disebut dengan duda atau janda. Dengan status baru sebagai janda apalagi yang memiliki anak, wanita harus berperan sebagai orangtua tunggal dan harus bisa mengatur ekonomi keluarga secara mandiri. Sebagai orangtua tunggal, wanita harus bisa berperan ganda yaitu sebagai ayah yang fungsinya mencari nafkah dan sebagai ibu yang berperan membesarkan dan mendidik anak. Hal ini dikarenakan bahwa kondisi keuangan wanita hampir selalu memburuk setelah perceraian, terutama jika dia memiliki anak (Rice dalam Matlin, 2008).


(17)

Selain itu, setelah perceraian individu akan mulai menyadari bahwa kini mereka hidup seorang diri dan kesepian (DeGenova, 2008). Hidup seorang diri, dalam arti, dulu semua hal dikerjakan dan dibahas bersama pasangan, namun setelah perceraian semua hal dikerjakan dan dipikirkan sendiri. Hal ini sesuai dengan penuturan salah seorang wanita bercerai yang mengungkapkan keinginannya untuk menikah lagi karena membutuhkan pasangan untuk menjalani hidup.

“Gue pasti pengen nikah lagi tapi dengan alasan yang tepat, gue pengen nikah lagi karena gue menyadari bahwa hidup ini terlalu berat untuk dijalani sendirian, gue pengen nikah lagi karena gue menyadari gue membutuhkan seseorang yang bisa saling mendukung dalam segi spiritual dan material, gue pengen nikah lagi karena gue butuh menyayangi seseorang dan butuh untuk disayangi, dan masih banyak lagi tapi yang jelas gak bisa ditentuin kapan waktunya, bisa cepet bisa juga lama, kalo soal waktu kan terserah sama Tuhan, yang penting gue tetap usaha kok.” (dari artike

Menikah lagi menjadi solusi yang dapat membantu individu untuk menyesuaikan diri, tidak hanya untuk mendapatkan teman yang bisa dipercaya dan diajak berbagi serta pasangan dalam hubungan seksual, tetapi menikah lagi juga dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi (A.D. Shapiro dalam DeGenova, 2008). Menikah lagi dapat mengarahkan individu pada penyesuaian diri yang lebih baik dan mendapatkan makna hidup yang lebih positif (Marks dan Lambert, Wang dan Amato dalam DeGenova, 2008).

Beberapa alasan yang mendorong individu untuk menikah lagi antara lain untuk mendapatkan cinta dan persahabatan, pemenuhan kebutuhan biologis, faktor kebutuhan ekonomi/keuangan, etika, moral, dan norma sosial, faktor


(18)

pemeliharaan atau pendidikan anak serta untuk memperoleh status sosial (Dariyo, 2002). Dari segi pemenuhan faktor biologis, menikah lagi dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyalurkan kebutuhan seksual secara sah dengan pasangan hidup yang baru apalagi untuk individu yang masih berada dalam usia reproduktif. Dengan menikah lagi, individu dapat memenuhi kebutuhan biologisnya dengan tetap memenuhi norma sosial. Seseorang juga memilih untuk menikah lagi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi baik untuk diri sendiri maupun untuk anak-anaknya. Selain itu, bagi individu yang memiliki anak dari pernikahan sebelumnya akan mendapatkan bantuan dalam mengurus, memelihara ataupun mendidik anak-anaknya dengan menikah lagi. Wanita bercerai yang memiliki status baru sebagai janda dapat mengurangi tekanan sosial yang dialaminya dengan menikah lagi dengan pasangan baru (Dariyo, 2002).

Menikah lagi sebagai solusi untuk menyesuaikan diri setelah perceraian dan segala manfaat atau hal yang dirasakan dengan menikah lagi menumbuhkan harapan individu untuk menikah lagi. Harapan muncul karena mereka menginginkan suatu perubahan yang lebih baik. Individu yang bercerai, tanpa melihat bagaimana perceraian yang dialaminya tentu memiliki harapan untuk bisa membangun pernikahan yang lebih baik dari sebelumnya. Harapan untuk menikah lagi juga dapat menjadi dasar untuk perubahan kehidupannya ke arah yang lebih baik. Berdasarkan teori harapan Snyder (1994), harapan adalah sesuatu yang dapat dibentuk dan dapat digunakan sebagai langkah untuk perubahan. Perubahan yang menguntungkan dapat mendorong individu mencapai hidup yang lebih baik.


(19)

Perubahan tersebut membutuhkan pembentukan dan pemeliharaan kekuatan pribadi dalam konteks hubungan yang suportif.

Snyder (2002) mengemukakan harapan sebagai sebuah pola pemikiran yang dipelajari, seperangkat kepercayaan dan pemikiran mencakup agentic thinking yaitu pemikiran mengenai tujuan: mengenai keberhasilan seseorang mencapai tujuan (misalnya ‘saya mencapai tujuan yang saya buat sendiri’), dan pathway thinking yaitu pemikiran mengenai kemampuan efektif seseorang untuk mengusahakan berbagai cara untuk mencapai tujuan (misalnya ‘saya dapat memikirkan banyak cara untuk mendapatkan apa yang saya inginkan’). Harapan juga merupakan kepercayaan seseorang terhadap kemampuannya untuk mencapai tujuan. Kepercayaan ini mengarah langsung pada perilaku hopeful, yang kemudian memperkuat pemikiran hopeful (Shorey, Snyder, dkk, 2002).

Setiap individu memiliki kemampuan untuk membentuk harapan karena mereka memiliki komponen dasar dalam kemampuan kognitif yang diperlukan untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan harapan. Parsons (dalam Hollander, 1981) menambahkan bahwa harapan berperan untuk mengarahkan tingkah laku dan mencakup dua aspek, yaitu tindakan antisipasi atau ramalan sederhana dan tuntutan seseorang terhadap orang lain untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Dalam hal ini, individu yang memiliki harapan menikah lagi akan mengembangkan usahanya untuk mencapai tujuannya yaitu untuk membangun pernikahan yang lebih baik daripada pernikahan sebelumnya. Usaha yang dilakukan dapat berupa membangun jalinan hubungan dengan orang lain atau melibatkan diri dalam jaringan sosial dengan orang lain.


(20)

Harapan dapat meningkatkan timbulnya keinginan untuk bertahan mengatasi masalah yang dihadapi. Dalam hal ini, individu yang memiliki harapan menikah lagi dapat bertahan menghadapi masalah-masalah yang timbul pasca perceraian. Selain itu, individu yang memiliki harapan menikah lagi akan lebih merasakan emosi atau afek positif dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan setelah perceraian. Hal ini dikarenakan harapan selalu berkaitan dengan afek positif dan perceived control (Curry, Snyder dkk, 1997). Harapan juga berperan sebagai energi pada situasi yang penuh dengan tekanan dan merupakan salah satu cara yang efektif untuk menghadapai situasi tersebut.

Penelitian Guisinger, Cowan, & Schuldberg (dalam Santrock, 2003) menunjukkan bahwa wanita yang lebih muda, menikah lagi lebih cepat daripada wanita yang lebih tua, dan wanita tanpa anak yang bercerai sebelum usia 25 tahun, mempunyai tingkat pernikahan kembali yang lebih tinggi dibandingkan wanita yang punya anak. Selain itu, semakin banyak uang yang dimiliki laki-laki yang bercerai, semakin cenderung dia menikah lagi, tapi bagi wanita berlaku kebalikannya. Paparan di atas menunjukkan bahwa tingkat harapan wanita untuk menikah lagi dipengaruhi oleh faktor usia, anak, dan status ekonomi.

Walaupun harapan telah ada dalam diri individu, namun kadangkala hambatan-hambatan yang menghalangi pencapaian tujuan individu dapat mempengaruhi harapan yang terbentuk dalam diri individu. Tantangan-tantangan yang muncul dari pernikahan kedua dapat menjadi hambatan bagi harapan menikah lagi pada individu. Snyder (dalam Carr, 2004) menyatakan bahwa orang dewasa yang memiliki harapan tinggi, mampu berpikir optimis dan


(21)

mengembangkan kepercayaan bahwa mereka dapat beradaptasi terhadap tantangan dan mengatasi masalah. Sebaliknya, orang dengan harapan rendah ketika menghadapi hambatan, emosi mereka dapat diprediksikan berpindah dari harapan menjadi rasa marah, dari rasa marah menjadi putus asa, dan dari putus asa menjadi apathy.

Tantangan atau hambatan yang dapat mempengaruhi harapan individu untuk menikah lagi antara lain adanya ketakutan akan kegagalan seperti pada pernikahan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan kutipan cerita dari seorang wanita bercerai yang ingin menikah lagi yang mengungkapkan ketakutannya membayangkan bila dia menikah lagi.

“Kadang-kadang saya masih takut untuk berpikir menikah lagi. Ketakutan akan perceraian yang kedua mungkin saja membuat saya berpikir ulang kembali. Saya takut nantinya pasangan saya tidak dapat menjadi ayah tiri yang baik buat anak saya, atau apakah pernikahan saya nanti bahagia, direstui oleh keluarga dan masyarakat, ato dapat membahagiakan anak saya.”

(Komunikasi Personal 15 Mei 2011)

Individu yang berhasil mengatasi tantangan atau hambatan-hambatan ini dapat diprediksikan memiliki harapan yang tinggi untuk menikah lagi. Harapan mencerminkan kemampuan individu untuk merencanakan jalur untuk mencapai tujuan terutama merencanakan jalur-jalur lain ketika menjumpai hambatan dan untuk memotivasi individu tersebut untuk menggunakan jalur tersebut. Ketika individu memiliki harapan untuk menikah lagi maka individu akan berusaha memikirkan dan merencanakan usaha-usaha untuk mencapai tujuannya (dalam hal


(22)

ini untuk menikah lagi) dan serta-merta akan memotivasi diri sendiri untuk menjalankan usaha-usaha tersebut.

Selain itu, individu yang memiliki harapan menikah lagi lebih mungkin memanfaatkan dukungan sosial dari lingkungan dan keluarga untuk kehidupannya. Snyder (2002) mengatakan bahwa individu dengan tingkat harapan yang tinggi biasanya memiliki dukungan sosial ketika mereka mengalami kegagalan, sehingga mereka bisa mendapatkan feedback positif atau alternatif cara lain untuk mencapai tujuan mereka. Dukungan sosial juga memungkinkan untuk membantu menemukan tujuan lain apabila tujuan yang diinginkan memang sudah tidak mungkin tercapai.

Pemikiran hopeful mencerminkan keyakinan bahwa seseorang mampu mencari atau mengembangkan jalur menuju tujuan yang diinginkannya dan menjadi termotivasi untuk menggunakan jalur-jalur tersebut (dalam Snyder, Rand & Sigmon, 2002). Harapan juga mempengaruhi emosi dan well-being seseorang. Snyder menekankan konsep harapan sebagai proses pikiran atau kognitif, dan pemikiran mengenai keberhasilan pencapaian tujuan akan menghasilkan emosi. Persepsi mengenai keberhasilan mencapai tujuan akan menghasilkan emosi positif, sebaliknya emosi negatif dihasilkan dari persepsi seseorang mengenai ketidakberhasilan mencapai tujuan atau ketidakmampuannya melaksanakan jalur-jalur yang dikembangkannya dan mengatasi hambatan yang timbul dalam proses mencapai tujuan tersebut.


(23)

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun perumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana gambaran harapan menikah lagi pada wanita bercerai.

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran harapan menikah lagi pada wanita bercerai.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan kita dalam ilmu psikologi, terutama dalam bidang psikologi klinis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada kita mengenai gambaran pembentukan harapan sebagai bagian dari positive psychology.

2. Manfaat Praktis

• Memahami makna dari harapan menikah lagi untuk wanita bercerai. • Memahami pentingnya pembentukan harapan dalam diri individu. • Memahami dampak psikologis perceraian bagi wanita dewasa.

• Bagi keluarga dan masyarakat, dapat memberikan dukungan sosial kepada wanita bercerai untuk dapat menumbuhkan harapan menikah lagi dalam kehidupannya.


(24)

E. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

Berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat peneltian dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Berisikan tinjauan teoritis yang menjadi landasan dalam penelitan, yaitu teori mengenai harapan termasuk di dalamnya definisi harapan, komponen harapan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi harapan. Disertai teori mengenai perceraian dan pernikahan lagi (remarriage).

Bab III : Metode Penelitian

Berisikan mengenai metode penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif, karakteristik responden, metode pengambilan responden, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian, prosedur penelitian dan prosedur analisa data.

Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan

Berisikan deskripsi data meliputi riwayat responden, rangkuman hasil observasi, analisa data dan pembahasan masing-masing responden berdasarkan teori yang berkaitan, serta analisa antar responden.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Berisikan kesimpulan penelitian serta saran metodologis dan saran praktis untuk penelitian selanjutnya.


(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. HARAPAN 1. Definisi Harapan

Snyder (2000) menyatakan harapan adalah keseluruhan dari kemampuan yang dimiliki individu untuk menghasilkan jalur mencapai tujuan yang diinginkan, bersamaan dengan motivasi yang dimiliki untuk menggunakan jalur-jalur tersebut. Harapan didasarkan pada harapan positif dalam pencapaian tujuan.

Snyder, Irving, & Anderson (dalam Snyder, 2000) menyatakan harapan adalah keadaan termotivasi yang positif didasarkan pada hubungan interaktif antara agency (energi yang mengarah pada tujuan) dan pathway (rencana untuk mencapai tujuan).

Snyder, Harris, dkk (dalam Snyder, 2000) menjelaskan harapan sebagai sekumpulan kognitif yang didasarkan pada hubungan timbal-balik antara agency (penentu perilaku yang berorientasi tujuan) dan pathway (rencana untuk mencapai tujuan).

Snyder (dalam Carr, 2004) mengkonsepkan harapan ke dalam dua komponen, yaitu kemampuan untuk merencanakan jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan agency atau motivasi untuk menggunakan jalur tersebut. Harapan merupakan keseluruhan dari kedua komponen tersebut. Berdasarkan konsep ini, harapan akan menjadi lebih kuat jika harapan ini disertai dengan adanya tujuan yang bernilai yang memiliki kemungkinan untuk dapat dicapai,


(26)

bukan sesuatu yang mustahil dicapai. Pemikiran hopeful mencakup tiga komponen, yaitu goal, pathway thinking, dan agency thinking. Namun jika individu memiliki keyakinan untuk mencapai tujuannya, maka individu tidak memerlukan harapan. Sebaliknya, jika individu yakin bahwa ia tidak akan bisa maka ia akan menjadi hopeless. Berdasarkan konseptualisasi ini, emosi positif dan negatif merupakan hasil dari pemikiran hopeful atau hopeless yang memiliki tujuan.

Pada situasi adanya usaha untuk mencapai tujuan, perilaku hopeful akan ditentukan oleh interaksi dari hal berikut:

a. Seberapa bernilainya tujuan atau hasil yang ingin dicapai.

b. Pemikiran mengenai jalur untuk mencapai tujuan dan harapan yang berkaitan dengan seberapa efektif jalur/cara ini untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

c. Pemikiran mengenai pribadi dan seberapa efektif individu dalam mengikuti jalur untuk mencapai tujuan tersebut.

Teori harapan juga menekankan peran dari hambatan, stressor, dan emosi. Ketika menjumpai hambatan yang menghalangi pencapaian tujuan, individu menilai kondisi tersebut sebagai sumber stres. Berdasarkan postulat teori harapan, emosi positif dihasilkan dari persepsi mengenai keberhasilan pencapaian tujuan. Sebaliknya emosi negatif mencerminkan kegagalan pencapaian tujuan, baik yang mengalami hambatan ataupun tidak mengalami hambatan. Oleh karena itu, persepsi mengenai keberhasilan pencapaian tujuan akan mendorong munculnya


(27)

emosi positif dan negatif (Snyder & Sympson, dalam Snyder, 2000). Kemudian emosi ini bertindak sebagai reinforcing feedback.

2. Komponen Harapan

Menurut Snyder (2000), komponen-komponen yang terkandung dalam teori harapan yaitu:

a. Goal

Perilaku manusia adalah berorientasi dan memiliki arah tujuan. Goal atau tujuan adalah sasaran dari tahapan tindakan mental yang menghasilkan komponen kognitif. Tujuan menyediakan titik akhir dari tahapan perilaku mental individu. Tujuan harus cukup bernilai agar dapat mencapai pemikiran sadar.

Tujuan dapat berupa tujuan jangka pendek ataupun jangka panjang, namun tujuan harus cukup bernilai untuk mengaktifkan pemikiran yang disadari. Dengan kata lain, tujuan harus memiliki kemungkinan untuk dicapai tetapi juga mengandung beberapa ketidakpastian. Pada suatu akhir dari kontinum kepastian, kepastian yang absolut adalah tujuan dengan tingkat kemungkinan pencapaian 100%, tujuan seperti ini tidak memerlukan harapan. Harapan berkembang dengan baik pada kondisi tujuan yang memiliki tingkat kemungkinan pencapaian sedang (Averill dkk., dalam Snyder, 2000).

Lopez, Snyder & Pedrotti (2003) menyatakan bahwa tujuan dapat berupa approach-oriented in nature (misalnya sesuatu yang positif yang diharapkan untuk terjadi) atau preventative in nature (misalnya sesuatu yang negatif yang ingin dihentikan agar tidak terjadi lagi). Tujuan juga sangat beragam dilihat dari


(28)

tingkat kemungkinan untuk mencapainya. Bahkan suatu tujuan yang tampaknya tidak mungkin untuk dicapai pada waktunya akan dapat dicapai dengan perencanaan dan usaha yang lebih keras.

b. Pathway Thinking

Untuk dapat mencapai tujuan maka individu harus memandang dirinya sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan suatu jalur untuk mencapai tujuan. Proses ini yang dinamakan pathway thinking, yang menandakan kemampuan seseorang untuk mengembangkan suatu jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pathway thinking ditandai dengan pernyataan pesan internal seperti “Saya akan menemukan cara untuk menyelesaikannya!” (Snyder, Lapointe, Crowson, & Early dalam Lopez, Snyder & Pedrotti, 2003).

Pathway thinking mencakup pemikiran mengenai kemampuan untuk menghasilkan satu atau lebih cara yang berguna untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Beberapa jalur yang dihasilkan akan berguna ketika individu menghadapi hambatan, dan orang yang memiliki harapan yang tinggi merasa dirinya mampu menemukan beberapa jalur alternatif dan umumnya mereka sangat efektif dalam menghasilkan jalur alternatif (Irving, Snyder, & Crowson; Snyder, Harris, dkk., dalam Snyder, Rand & Sigmon, 2002).

c. Agency Thinking

Komponen motivasional pada teori harapan adalah agency, yaitu kapasitas untuk menggunakan suatu jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Agency


(29)

mencerminkan persepsi individu bahwa dia mampu mencapai tujuannya melalui jalur-jalur yang dipikirkannya, agency juga dapat mencerminkan penilaian individu mengenai kemampuannya bertahan ketika menghadapi hambatan dalam mencapai tujuannya. Orang yang memiliki harapan tinggi menggunakan self-talk seperti “Saya dapat melakukan ini” dan “Saya tidak akan berhenti sampai disini”.

Agentic thinking penting dalam semua pemikiran yang berorientasi pada tujuan, namun akan lebih berguna pada saat individu menghadapi hambatan. Ketika individu menghadapi hambatan, agency membantu individu menerapkan motivasi pada jalur alternatif terbaik (Irving, Snyder, & Crowson dalam Snyder, Rand & Sigmon, 2002).

Komponen agency dan pathway saling memperkuat satu sama lain sehingga satu sama lain saling mempengaruhi dan dipengaruhi secara berkelanjutan dalam proses pencapaian tujuan.

d. Kombinasi Pathway Thinking dan Agency Thinking

Menurut teori harapan, komponen pathway thinking dan agency thinking merupakan dua komponen yang diperlukan. Namun, jika salah satunya tidak tercapai, maka kemampuan untuk mempertahankan pencapaian tujuan tidak akan mencukupi. Komponen pathway thinking dan agency thinking merupakan komponen yang saling melengkapi, bersifat timbal balik, dan berkorelasi positif, tetapi bukan merupakan komponen yang sama.

Oleh sebab itu, teori harapan tersebut spesifik pada kemampuan untuk menghasilkan rencana untuk mencapai tujuan dan kepercayaan pada kemampuan


(30)

untuk mengimplementasikan tujuan tersebut. Individu yang memiliki kemampuan dalam agency thinking seharusnya disertakan juga dengan pathway thinking. Namun, beberapa individu tidak mengalami hal tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa tidak semua individu yang memiliki agency thinking akan memiliki pathway thinking. Jika individu memiliki keduanya, dapat dikatakan bahwa kedua individu tersebut memiliki harapan tinggi. Hal tersebut disebabkan karena salah satunya tidak cukup untuk membentuk harapan yang tinggi (Snyder, 1994).

Snyder (1994) membuat empat kategori mengenai kombinasi pathway thinking dan agency thinking. Kombinasi tersebut adalah pathway thinking dan agency thinking rendah, pathway thinking rendah dan agency thinking tinggi, pathway thinking tinggi dan agency thinking rendah, dan pathway thinking dan agency thinking tinggi.

Individu yang memiliki pathway thinking dan agency thinking rendah hanya memiliki sedikit keyakinan bahwa mereka akan meraih kesuksesan dalam mewujudkan tujuannya. Individu dengan karakteristik seperti ini terkadang juga memiliki masalah, yaitu tidak memiliki tujuan sama sekali. Harapan yang rendah memiliki dampak bagi keseluruhan kehidupan individu. Tanpa keinginan untuk bertindak dan perencanaan, individu dapat mengalami depresi. Perasaan depresi tersebut muncul karena individu berpikir bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan tujuan mereka. Selain itu, emosi negatif dapat semakin meningkat jika individu tidak memiliki kemampuan untuk mendefinisikan tujuan secara jelas.


(31)

Individu dengan agency thinking tinggi dan pathway thinking rendah memiliki keyakinan untuk meraih tujuan yang diinginkan. Namun, individu dengan karakteristik seperti ini memiliki masalah dalam berpikir mengenai cara yang paling berhasil untuk mencapai tujuannya. Jika individu berada terlalu lama dalam keadaan ini, maka individu tersebut dapat mengalami kemarahan atau frustasi. Selanjutnya individu tersebut akan kehilangan agency thinking-nya.

Individu dengan agency thinking rendah dan pathway thinking tinggi merupakan individu yang tidak memiliki energi mental yang cukup untuk mewujudkan rencana yang dimiliki. Individu yang berada dalam keadaan ini akan mengalami burnout. Banyak individu yang memiliki agency thinking rendah terlihat seperti mengerjakan sesuatu yang dapat membuat orang lain terkesan. Namun, individu tersebut sebenarnya tetap berada dalam tahap yang sama.

Individu yang memiliki agency thinking dan pathway thinking tinggi adalah individu yang menyimpan tujuan yang jelas dan memikirkan cara untuk meraih tujuan tersebut di dalam pikiran mereka. Mereka mudah berinteraksi dengan orang lain dan memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan hal-hal yang mereka inginkan. Mereka merupakan individu yang fokus terhadap tujuan serta bebas bergerak dari ide yang satu menuju yang lain untuk mewujudkan tujuan mereka. Individu yang memiliki harapan tinggi memiliki pikiran yang sangat aktif dan memiliki keyakinan bahwa terdapat berbagai pilihan yang tersedia untuk mencapai tujuan mereka.

Individu yang memiliki keduanya merupakan contoh individu yang memiliki harapan tinggi. Harapan yang tinggi menyebabkan individu memperoleh


(32)

berbagai keuntungan ketika menghadapi hal yang sulit. Dalam beberapa situasi kehidupan, langkah individu seringkali dirintangi oleh seseorang atau sesuatu. Namun, individu yang memiliki harapan tinggi dapat memikirkan jalan alternatif menuju tujuan dan langsung diterapkan pada jalan yang terlihat lebih efektif.

Kesimpulannya, harapan merupakan kombinasi antara mental agency thinking dan pathway thinking yang berfungsi untuk mencapai tujuan. Kedua komponen tersebut disebut mental karena harapan merupakan proses yang terjadi secara konstan dimana proses tersebut termasuk apa yang individu pikirkan tentang diri mereka sendiri yang memiliki kaitan dengan tujuan. Apa yang dipikirkan oleh individu tersebut dapat mempengaruhi perilaku yang nyata.

3. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Harapan

Weil (2000) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi harapan, yaitu dukungan sosial, kepercayaan religius, dan kontrol.

a. Dukungan Sosial

Harapan memiliki kaitan erat dengan dukungan sosial. Dalam penelitiannya mengenai pasien yang menderita penyakit kronis (Raleigh dalam Weil, 2000) mengatakan bahwa keluarga dan teman pada umumnya diidentifikasikan sebagai sumber harapan untuk penderita penyakit kronis dalam beberapa aktivitas seperti mengunjungi suatu tempat, mendengarkan, berbicara dan memberikan bantuan secara fisik. Herth (dalam Weil, 2000) mengidentifikasikan pertahanan hubungan peran keluarga sebagai sesuatu yang


(33)

penting bagi tingkat harapan dan coping. Sebaliknya, kurangnya ikatan sosial diatribusikan sebagai hasil kesehatan yang lebih buruk seperti peningkatan morbidity dan kematian awal. Individu mengekspresikan perasaan tidak berdaya ketika mereka tidak mampu berkomunikasi dengan orang lain.

b. Kepercayaan Religius

Kepercayaan religius dan spiritual telah diidentifikasikan sebagai sumber utama harapan dalam beberapa penelitian. Kepercayaan religius dijelaskan sebagai kepercayaan dan keyakinan seseorang pada hal positif atau menyadarkan individu pada kenyataan bahwa terdapat sesuatu atau tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya untuk situasi individu saat ini. Spiritual merupakan konsep yang lebih luas dan terfokus pada tujuan dan makna hidup serta keterkaitan dengan orang lain, alam, ataupun dengan Tuhan (Reed dalam Weil, 2000). Raleigh (dalam Weil, 2000) menyatakan bahwa kegiatan religius merupakan strategi kedua yang paling umum untuk mempertahankan harapan dan juga sebagai sumber dalam mendukung harapan pada pasien dengan penyakit kronis.

c. Kontrol

Mempertahankan kontrol merupakan salah satu bagian dari konsep harapan. Mempertahankan kontrol dapat dilakukan dengan cara tetap mencari informasi, menentukan nasib sendiri, dan kemandirian yang menimbulkan perasaan kuat pada harapan individu. Kemampuan individu akan kontrol juga


(34)

dipengaruhi self-efficacy (Venning, dkk dalam Weil, 2000) yang dapat meningkatkan persepsi individu terhadap kemampuannya akan kontrol.

Harapan dapat dikorelasikan dengan keinginan dalam kontrol, kemampuan untuk menentukan, menyiapkan diri untuk melakukan antisipasi terhadap stres, kepemimpinan, dan menghindari ketergantungan. Penelitian menunjukkan bahwa harapan memiliki hubungan yang positif dengan persepsi seseorang mengenai kontrol. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa individu yang memiliki sumber internal dalam kontrol memiliki harapan bahwa mereka dapat mengontrol nasib mereka sendiri. Sebaliknya, individu yang memiliki sumber kontrol eksternal berharap untuk dikontrol oleh kekuatan atau paksaan yang berasal dari luar dirinya.

B. PERCERAIAN 1. Definisi Perceraian

DeGenova (2008: 415) menyatakan perceraian adalah metode yang sah secara hukum untuk mengakhiri suatu pernikahan. Secara hukum, setelah perceraian, kedua individu dapat menikah lagi dengan orang lain, benda-benda milik mereka dan harta akan dibagi rata dan jika anak dilibatkan dalam hal ini maka akan diputuskan hak asuh atau perwalian anak. Hal ini dapat menjadi sangat sulit dirundingkan walaupun jika kedua pihak menginginkan perceraian.

Amato & Emery (dalam Sigelman & Rider, 2003) menyatakan bahwa perceraian bukan hanya merupakan sebuah peristiwa dalam hidup, melainkan runtutan pengalaman yang menyebabkan stres bagi seluruh anggota keluarga,


(35)

yang dimulai dengan adanya konflik pernikahan sebelum perceraian dan melibatkan perubahan hidup yang kompleks ketika pernikahan tesebut berakhir dan orang-orang yang terlibat di dalamnya harus mengatur kembali hidup mereka.

2. Penyebab Perceraian

DeGenova (2008) menyatakan adanya faktor sosial dan demografi yang mempengaruhi peningkatan dan penurunan kemungkinan perceraian. Faktor-faktor tersebut dapat berupa usia pada saat menikah, agama, pekerjaan, pendapatan, pendidikan, suku bangsa, area geografis, dan perceraian orangtua.

Lowenstein (dalam DeGenova, 2008: 405) menyatakan penyebab perceraian dapat berupa kemandirian wanita, menikah di usia awal, faktor ekonomi, rendahnya intelektual, pendidikan, dan kemampuan sosial, hukum perceraian yang bebas, faktor seksual, konflik peran, penggunaan alkohol dan zat-zat terlarang, perilaku beresiko, perbedaan pendapat yang menyebabkan hubungan menjadi hambar, faktor agama, sikap terhadap perceraian, dan alasan lainnya.

Newman & Newman (2006) menyatakan empat variabel berkaitan dengan terjadinya perceraian, yaitu:

a. Usia pada saat menikah

Bramlett & Mosher (dalam Newman & Newman, 2006) menyatakan bahwa wanita yang menikah pada usia di bawah 18 tahun, 48% mengalami masalah pernikahan dalam kurun waktu 10 tahun pernikahan. Sebaliknya, wanita yang menikah pada usia 25 tahun atau lebih, hanya 24% yang mengalami masalah pernikahan dalam kurun waktu 10 tahun pernikahan.


(36)

Untuk pasangan yang menikah muda ataupun menikah pada usia tua, ketidakpuasan terhadap performansi peran berpengaruh pada ketidakstabilan pernikahan. Untuk pasangan muda, ketidakpuasan bersumber pada ketidaksetiaan seksual dan kecemburuan. Untuk pasangan yang lebih tua, ketidakpuasan bersumber pada konflik interpersonal, gaya dominasi, dan kurangnya ikatan (dalam Newman & Newman, 2006).

b. Tingkat sosioekonomi

Tingkat sosioekonomi mencakup pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Masing-masing dari komponen ini berkaitan dengan angka perceraian (White & Rogers dalam Newman & Newman, 2006). Individu yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi umumnya memiliki angka perceraian yang lebih rendah. Glick (dalam Newman & Newman, 2006) menunjukkan suatu efek Glick yaitu pria dan wanita yang dikeluarkan dari sekolah atau perguruan tinggi memiliki angka perceraian yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang menyelesaikan sekolah mereka. Glick menjelaskan pola ini sebagai bukti dari kurangnya kekonsistenan. Mereka yang tidak berkomitmen untuk menyelesaikan pendidikan mungkin juga kurang berkomitmen dalam mencari penyelesaian masalah yang muncul dalam pernikahan.

Selain itu, jumlah pendapatan keluarga juga berkaitan dengan kestabilan pernikahan dalam beberapa hal. Pendapatan yang tidak tetap lebih berkaitan dengan retaknya pernikahan dibandingkan pendapatan yang rendah dan menetap. Bagi pria, pendapatan yang tinggi dikaitkan dengan rendahnya angka perceraian.


(37)

Bagi wanita, ketika istri berkontribusi sebesar 50% sampai 60% dari jumlah pendapatan keluarga dan ketika mereka menunjukkan rendahnya kebahagiaan pernikahan maka perceraian lebih mungkin terjadi. Penjelasan ini menunjukkan bahwa ketika kedua pasangan memiliki sumber keuangan yang sama atau seimbang maka kurang ada kewajiban untuk bertahan dalam hubungan yang tidak membahagiakan (Rogers dalam Newman & Newman, 2006).

c. Perkembangan sosioemosional dari pasangan

Perkembangan sosioemosional dicerminkan melalui dimensi penerimaan diri (self-acceptance), otonomi, dan pengekspresian diri. Masalah komunikasi seringkali dikemukakan pria dan wanita sebagai penyebab perceraian. Pasangan yang memiliki karakteristik bermasalah dalam hubungan mereka selama periode sebelum pernikahan, yang sering tidak sependapat dan memiliki persepsi yang berbeda mengenai bagaimana menyelesaikan selisih pendapat lebih berkemungkinan untuk bercerai tiga tahun setelah pernikahan (Fowers, Montel, & Olson dalam Newman & Newman, 2006).

Kestabilan pernikahan bergantung pada kedua pasangan dalam mencapai identitas mereka masing-masing. Pencapaian ini membantu membangun keseimbangan kekuatan dan saling menghargai yang sangat penting dalam kedekatan emosional dan intelektual.


(38)

d. Sejarah perceraian dalam keluarga

Amato & Deboer (dalam Newman & Newman, 2006) menyatakan bahwa individu dari orangtua yang bercerai lebih mungkin akan bercerai dibandingkan individu dari keluarga yang harmonis. Ada banyak penjelasan untuk hal ini. Salah satu interpretasinya adalah bahwa dengan melihat orangtua mereka mengakhiri pernikahan mereka, maka anak akan memandang pernikahan bukan sebagai komitmen sepanjang hidup dan memiliki sikap yang positif terhadap perceraian sebagai strategi untuk menyelesaikan konflik pernikahan (Greenberg & Nay dalam Newman & Newman, 2006).

Penjelasan lainnya adalah anak yang memiliki orangtua tunggal (single parent) dan dari keluarga yang menikah lagi (remarried family) lebih berkemungkinan untuk menikah pada usia muda dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga utuh, sehingga meningkatkan kemungkinan perceraian. Penjelasan lainnya bahwa anak dari orangtua yang memiliki konflik pernikahan, akan mengalami afek negatif dan kemarahan orangtua. Hal ini akan menciptakan hubungan attachment yang tidak aman dan akan menghasilkan kemampuan hubungan yang rendah yang pada akhirnya akan sulit untuk membentuk dan mempertahankan hubungan intim dengan orang lain (Amato & Booth dalam Newman & Newman, 2006).

3. Dampak Perceraian

Ketika pernikahan berakhir, individu yang bercerai harus memulai kembali hidupnya dari awal. Namun perceraian seringkali menimbulkan dampak yang


(39)

besar dalam kehidupan individu, mengubah dunia mereka selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun (Craig, 2001).

Pada dua tahun pertama setelah perceraian, individu seringkali menunjukkan beragam tanda dari dampak emosional seperti kecemasan, depresi, dan kemarahan, serta rasa penolakan dan tidak kompeten (Hetherington & Camara dalam Craig, 2001).

Perceraian dihubungkan dengan rasa kehilangan seperti kehilangan sumber keuangan, dukungan emosional, peran pasangan dalam pernikahan dan sebagai orangtua, serta dukungan sosial (Demo, Fine, & Ganong dalam Newman & Newman, 2006). Kehilangan sumber pendapatan dapat berdampak pada kehilangan materi lainnya. Misalnya wanita yang bercerai dan anaknya mungkin harus pindah ke rumah yang lebih murah, menjual banyak harta milik mereka,dan meninggalkan komunitas dimana mereka sudah membangun jaringan teman dan dukungan sosial.

Kehidupan sosial dari pria dan wanita yang bercerai juga mengalami perubahan. Namun, dalam banyak kasus, teman-teman tetap memberi dukungan selama dua bulan setelah perceraian, namun persahabatan ini seringkali memudar seiring berjalannya waktu. Pada umumnya wanita lebih banyak kehilangan hubungan persahabatan dibandingkan dengan pria, yang selalu terlibat dalam kegiatan sosial teman-temannya yang telah menikah. Khususnya ibu yang tidak bekerja akan merasa terasing. Kehilangan kontak sosial dengan suami membuat wanita merasa terperangkap dalam dunia yang didominasi oleh anak-anak dan kehidupan merawat anak. Kesehatan fisik dan mental mereka juga mengalami


(40)

penurunan setelah bercerai. Individu yang bercerai lebih berkemungkinan meninggal pada usia muda, dikirim ke rumah sakit jiwa, berusaha melakukan bunuh diri, dan mengalami kecelakaan motor (Goetting dalam Craig, 2001).

C. PERNIKAHAN LAGI (REMARRIAGE)

Pada umumnya, ketika rasa sakit akibat perceraian mulai berkurang, kebanyakan individu menunjukkan resiliensi dan keinginan mereka untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam kehidupan sekali lagi. Menurut statistika, pada kenyataannya tidak peduli seberapa sulit pengalaman perceraian yang dialami, individu memiliki keinginan untuk mencoba pernikahan sekali lagi. Glick (dalam Craig, 2001) melaporkan bahwa 80% orang yang bercerai akan menikah lagi pada akhirnya. Rata-rata orang menikah lagi dalam kurun waktu empat tahun setelah bercerai, pria lebih cepat daripada wanita.

Papalia (2007) menyatakan bahwa angka perceraian yang tinggi bukanlah tanda bahwa individu tidak ingin menikah lagi. Namun, hal ini justru mencerminkan suatu keinginan untuk menikah lagi dengan bahagia dan keyakinan bahwa perceraian seperti suatu proses pembedahan yang menyakitkan dan traumatis namun diperlukan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

Menurut Bray, Coleman, Ganong & Fine (dalam Craig, 2001), individu menikah lagi dengan alasan cinta, masalah finansial, untuk mendapatkan bantuan dalam mengasuh anak, menghilangkan rasa kesepian, dan penerimaan sosial.

Ketika individu yang bercerai dan memiliki anak menikah lagi, mereka akan membentuk reconstituted families, yang dikenal juga sebagai stepfamilies


(41)

dan blended families. Keluarga semacam ini menghadirkan lebih banyak masalah penyesuaian peran untuk stepparents dan stepchildren dibandingkan dengan keluarga umum biasanya. Dengan sedikit persiapan untuk mengatasi peran mereka dan dengan adanya sedikit dukungan dari masyarakat di sekitar mereka, stepparents seringkali merasa bahwa untuk mencapai hubungan keluarga yang memuaskan lebih sulit daripada yang dibayangkan (Craig, 2001).

1. Keberhasilan dan Kepuasan Pernikahan Kembali

Dari satu sudut pandang, pernikahan kembali seharusnya lebih berhasil dibandingkan dengan pernikahan pertama. Orang yang menikah lagi lebih tua, lebih dewasa dan lebih berpengalaman, serta lebih termotivasi untuk mempertahankan pernikahan (DeGenova, 2008). Berdasarkan self-report dari pasangan yang menikah lagi, perbedaan kepuasan pernikahan atau kualitas dari hubungan pernikahan jarang ditemukan, dan walaupun ada, itu cenderung sedikit sekali (Ganong dan Coleman dalam DeGenova, 2008). Secara keseluruhan, penelitian menunjukkan bahwa pernikahan lagi sama bahagianya dengan pernikahan pertama, dengan sedikit perbedaan dalam kesejahteraan pasangan (Demo dan Acock; Ihinger-Tallman dan Pasley; Pasley dan Moorefield dalam DeGenova, 2008).

Selain itu, pasangan yang menikah lagi juga memandang pernikahan kedua lebih seimbang dalam hal mengurus rumahtangga dan mengasuh anak, lebih terbuka dan pragmatis, kurang romantis, dan lebih berkemungkinan menghadapi konflik (Hetherington dalam DeGenova, 2008).


(42)

Furstenberg (dalam Craig, 2001) menyatakan bahwa pernikahan kedua seringkali juga ditandai dengan adanya komunikasi yang lebih terbuka, penerimaan yang lebih besar terhadap konflik dan lebih percaya bahwa setiap masalah perbedaan pendapat dapat diselesaikan.

Walaupun resiko perceraian lebih besar pada pasangan yang menikah lagi, namun banyak yang justru membangun hubungan pernikahan yang kuat, positif, dan menciptakan suasana sebagai orangtua yang adaptif dan berfungsi dengan baik (Hetherington dan Stanley-Hagan dalam DeGenova, 2008).

2. Dampak Pernikahan Lagi

Perceraian dan pernikahan lagi seperti gaya hidup orang dewasa lainnya, mengarah pada hasil yang beragam. Umumnya memerlukan waktu tiga sampai lima tahun untuk mengembangkan keterikatan dan kenyamanan hubungan dalam keluarga seperti pada keluarga utuh (Ihinger-Tallman & Pasley dalam Craig, 2001).

Untuk beberapa pasangan, pernikahan lagi memberikan tantangan yang tidak dijumpai pada pernikahan pertama. Tantangan terbesar dapat berupa anak. Pasangan yang menikah lagi yang membawa anak dari pernikahan pertama lebih berkemungkinan untuk bercerai daripada pasangan yang tidak memiliki anak (Tzeng dan Mare dalam DeGenova, 2008).

Untuk orang dewasa, pernikahan lagi dapat mengurangi stres terutama untuk orangtua yang memiliki anak (Furstenberg dalam Craig, 2001). Pasangan yang mau berbagi tanggung jawab keuangan, tugas rumahtangga, keputusan


(43)

mengasuh anak, dan lain-lain dapat mengurangi beban individu yang bercerai. Pria yang menikah lagi mungkin harus menghadapi tekanan lainnya jika mereka diharapkan untuk memberikan dukungan finansial untuk dua rumahtangga. Dalam banyak hal, pernikahan kedua berbeda dengan pernikahan pertama. Pernikahan kedua melibatkan kumpulan keluarga yang lebih kompleks, misalnya anak angkat, mantan suami/isteri, mertua sebelumnya, yang mana dapat menimbulkan konflik (Craig, 2001).

D. GAMBARAN HARAPAN MENIKAH LAGI PADA WANITA BERCERAI

Pernikahan dipandang sebagai suatu transisi normal dari sharing antara diri individu dengan orangtua yang kemudian beralih ke pasangan. Ketika hubungan dengan pasangan tidak dapat lagi dipertahankan maka perceraian merupakan jalan terbaik (Woodward, Zabel, & Decosta dalam Snyder, 2000). Setelah bercerai, individu perlu menyesuaikan diri dengan status yang baru dan dengan proses hidup yang berubah.

Untuk wanita, pernikahan dipandang sebagai ‘karir’ yang sangat penting. Walaupun pria juga mengalami dampak dari perceraian, namun wanita lebih banyak mengalami dampak dari perceraian. Berkaitan dengan harapan, pernikahan dipandang sebagai tujuan yang penting bagi wanita. Oleh karena itu, ketika tujuan yang penting ini terhalang dan berakhir dengan perceraian, maka wanita akan merasa kehilangan arah dan gagal (Rodriguez & Snyder dalam Snyder, 2000).


(44)

Oleh karena itu, wanita bercerai perlu mengembangkan harapannya untuk suatu tujuan yang dinilai cukup penting untuk dicapai setelah bercerai. Harapan penting dibentuk karena harapan dapat mempengaruhi well-being seseorang. Snyder (1994) menyatakan bahwa harapan adalah sesuatu yang dapat dibentuk dan dapat digunakan sebagai langkah untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Untuk wanita bercerai, salah satu harapan yang dapat dikembangkannya adalah berupa harapan menikah lagi, dimana menikah lagi dapat mengarahkan individu pada penyesuaian diri yang lebih baik dan mendapatkan makna hidup yang lebih positif (DeGenova, 2008).

Dengan adanya harapan menikah lagi pada wanita bercerai, maka wanita bercerai memiliki tujuan bernilai dalam hidupnya untuk dicapai. Harapan yang terbentuk akan memunculkan pemikiran-pemikiran dan motivasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yang pada akhirnya dapat memberikan afek positif pada individu tersebut.


(45)

E. KERANGKA BERPIKIR

Perceraian

Konsekuensi-konsekuensi

Individu menyesuaikan diri

Muncul harapan baru

Harapan Menikah Lagi


(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur yang penting dalam penelitian ilmiah karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggung jawabkan hasilnya (Hadi, 2004). Metode penelitian menyangkut cara yang benar dalam pengumpulan data, analisis data dan pengambilan keputusan hasil penelitian. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif.

A. Pendekatan Kualitatif

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif, yang bertujuan untuk mendeskripsikan tema yang dianggap penting. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif untuk mendapat gambaran yang luas dan mendalam mengenai harapan menikah lagi pada wanita bercerai. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2002) dengan menggunakan pendekatan kualitatif, kita dapat memahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata merupakan penarikan kesimpulan sebab-akibat yang dipaksakan.

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2002) mendefinisikan “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara


(47)

holistik. Selanjutnya Taylor dan Bogdan (dalam Moleong, 2002) mengatakan bahwa penelitian kualitatif memberi kesempatan pada peneliti untuk dapat memahami cara responden menggambarkan dunia sekitarnya berdasarkan cara pola dan cara berpikir mereka. Peneliti berusaha masuk ke dunia konseptual subjek yang ditelitinya untuk menangkap apa (what) dan bagaimana (how) sesuatu terjadi. Dengan pendekatan kualitatif, peneliti berharap mendapatkan data yang lebih mendalam mengenai proses pembentukan harapan.

B. Responden Penelitian 1. Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini adalah wanita dewasa yang berstatus janda dan memiliki keinginan untuk menikah lagi.

2. Jumlah Responden

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2007), desain kualitatif memiliki sifat yang luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti mengenai jumlah sampel yang harus diambil dalam penelitian kualitatif. Jumlah responden sangat tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia.

Pada penelitian ini, jumlah responden yang digunakan adalah sebanyak tiga orang.


(48)

3. Prosedur Pengambilan Responden

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Responden dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai studi-studi sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian (Patton dalam Poerwandari, 2007). Prosedur pengambilan responden ini dilakukan agar responden benar-benar mewakili fenomena penelitian.

4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Medan. Pengambilan daerah penelitian tersebut dengan alasan kemudahan untuk mendapatkan responden penelitian, karena peneliti berdomisili di daerah tersebut.

C. Metode Pengambilan Data

Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode wawancara. Banister (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu, berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain.

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur yaitu wawancara yang pertanyaannya telah ditentukan terlebih dahulu dan berbentuk open-ended question (Gay dan Airasian, 2003). Berdasarkan tiga


(49)

pendekatan dasar yang dikemukakan Patton (dalam Poerwandari, 2007) maka penelitian ini menggunakan metode wawancara dengan pedoman umum. Artinya, dalam proses wawancara, peneliti dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan.

Jenis wawancara yang digunakan dalam wawancara adalah wawancara mendalam (in depth-interview). Banister (dalam Poerwandari, 2007) menjelaskan bahwa wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan pedoman wawancara, namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur. Pedoman wawancara berisi open-ended question yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2007).

Selain itu, penelitian ini juga menggunakan metode observasi sebagai metode pendukung untuk mengamati perilaku atau keadaan subjek penelitian ketika sesi wawancara sedang berlangsung. Tujuan dilakukannya observasi adalah sebagai crosscheck terhadap hal-hal yang diungkapkan oleh subjek penelitian secara verbal.

D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Pencatatan data selama penelitian penting sekali karena data dasar yang akan dianalisis berdasarkan kutipan hasil wawancara dan observasi. Oleh karena


(50)

itu, pencatatan data harus dilakukan dengan cara yang sebaik dan setepat mungkin. Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif cukup rumit, untuk itu diperlukan instrumen atau alat penelitian agar dapat membantu peneliti dalam pengumpulan data (Moleong, 2002). Alat bantu yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Alat Perekam (Tape Recorder)

Alat perekam digunakan untuk memudahkan peneliti untuk mengulang kembali hasil wawancara yang telah dilakukan. Dengan adanya hasil rekaman wawancara tersebut akan memudahkan peneliti apabila ada kemungkinan data yang kurang jelas sehingga peneliti dapat bertanya kembali kepada responden. Penggunaan alat perekam ini dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari responden. Selain itu penggunaan alat perekam memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang akan dikatakan oleh subjek, alat perekam dapat merekam nuansa suara dan bunyi aspek-aspek wawancara seperti tertawa, desahan, sarkasme secara tajam (Padget, 1998).

2. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau dinyatakan (Poerwandari, 2007). Pedoman wawancara bertujuan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian dan juga sebagai alat bantu untuk


(51)

mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisa data nantinya.

Pedoman wawancara dibuat berdasarkan teori-teori yang dibahas dalam Bab II. Hal ini dilakukan agar peneliti mempunyai kerangka berpikir tentang hal-hal yang ingin ditanyakan dan tidak menyimpang dari kerangka teoritis yang ada.

E. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam bahasa kuantitatif: variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif. Menurut Poerwandari (2007), kredibilitas penelitian kualitatif juga terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah dan mendeksripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks.

Kredibilitas penelitian ini terletak pada keberhasilan penelitian dalam mengungkapkan gambaran harapan menikah lagi pada wanita bercerai. Peningkatan kredibilitas dilakukan dengan cara:

1. Memilih responden yang sesuai dengan karakteristik responden pada penelitian ini yaitu wanita dewasa berstatus janda yang memiliki keinginan untuk menikah lagi.


(52)

2. Membuat pedoman wawancara berdasarkan komponen-komponen harapan. Selain itu, peneliti juga menjaga standarisasi pedoman wawancara dengan melakukan professional judgement bersama dosen pembimbing.

3. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk mendapatkan data yang akurat. Pernyataan responden yang ambigu atau kurang jelas akan ditanyakan kembali (probing) saat wawancara atau pada pertemuan selanjutnya. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang akurat.

4. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses pengumpulan data, dan strategi analisisnya.

5. Menyertakan partner atau orang-orang yang dapat berperan sebagai pengkritik yang memberikan saran-saran dan pembelaan (‘devil’s advocate’) yang akan memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap analisis yang dilakukan peneliti.

6. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali (checking and rechecking) data untuk menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda.

F. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan dalam penelitian, yaitu:


(53)

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori-teori yang berhubungan dengan pernikahan lagi (remarriage) dan harapan (hope) pada wanita bercerai.

b. Menyusun pedoman wawancara

Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian, peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teori untuk menjadi pedoman dalam wawancara.

c. Persiapan untuk mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan informasi tentang calon responden penelitian dan memastikan calon responden memenuhi karakteristik responden yang telah ditentukan. Setelah mendapatkannya, lalu peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian.

d. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, peneliti membuat janji bertemu dengan responden dan berusaha membangun rapport yang baik dengan responden. Setelah itu, peneliti dan responden penelitian menentukan dan menyepakati waktu untuk pertemuan selanjutnya untuk melakukan wawancara penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti mulai mengambil data penelitian yaitu mulai menghubungi responden yang telah


(54)

bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Peneliti meminta kesediaan responden untuk diwawancarai melalui surat pernyataan yang telah disiapkan. Setiap kali melakukan wawancara, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara dengan responden.

Wawancara dilakukan berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat sebelumnya. Peneliti melakukan beberapa kali wawancara untuk mendapatkan hasil dan data yang maksimal. Semua data hasil wawancara direkam dengan alat perekam dengan persetujuan responden penelitian sebelumnya.

3. Tahap Pencatatan Data

Setelah proses wawancara selesai dilakukan dan hasil wawancara telah diperoleh, peneliti kemudian memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Selanjutnya, peneliti membuat koding sesuai dengan teori yang digunakan. Hasil koding akan membantu peneliti dalam menganalisa dan menginterpretasi data yang diperoleh dari masing-masing responden. Setelah koding selesai dilakukan, peneliti kemudian menganalisis dan membahas data yang diperoleh.

4. Prosedur Analisa Data

Data yang diperoleh dari pendekatan kualitatif adalah berupa kata-kata. Untuk itu kita perlu melakukan analisis data. Analisis data adalah proses merinci secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan ide seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan


(55)

ide itu (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2002). Untuk melakukan analisis berdasarkan data tersebut dibutuhkan kehati-hatian agar tidak menyimpang dari tujuan data penelitian. Menurut Poerwandari (2007) proses analisis data adalah sebagai berikut:

a. Organisasi data secara rapi, sistematis, dan selengkap mungkin untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisa yang dilakukan, serta menyimpan data dan analisa yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian.

b. Koding dan analisa, dilakukan dengan menyusun transkip verbatim atau catatan lapangan sehingga ada kolom kosong yang cukup besar di sebelah kanan dan kiri transkip untuk tempat kode-kode atau catatan tertentu, kemudian secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkip, lalu memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu.

c. Pengujian terhadap dugaan, berkaitan erat dengan upaya mencari kejelasan yang berbeda mengenai data yang sama. Peneliti harus mengikutsertakan berbagai perspektif untuk memungkinkan keluasan analitis serta memeriksa bias-bias yang tidak disadari.

d. Strategi analisa, proses analisa dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata subjek maupun konsep yang dipilih atau dikembangkan peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisa.


(56)

e. Interpretasi, yaitu upaya untuk memahami data secara lebih ekstensif dan mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasikan data melalui perspektif tersebut.

Proses analisa data yang dilakukan peneliti antara lain:

a. Mengorganisasi data berupa hasil verbatim yang diketik serapi mungkin agar selanjutnya dapat dikoding.

b. Koding dan analisa, dengan menyusun hasil verbatim dalam tabel yang terdapat kolom kosong di bagian kiri untuk menuliskan refleksi pertanyaan selanjutnya yang hendak diajukan, dan kolom kosong di bagian kanan untuk menuliskan analisa terdapat hasil wawancara kemudian secara urut melakukan penomoran pada baris-baris transkrip. Koding dilakukan seperti berikut (W.N.W.110611.2; baris 2-8) yang artinya wawancara kedua terhadap N berjenis kelamin wanita pada tanggal 11 Juni 2011 baris 2 sampai baris 8.

c. Pengujian terhadap dugaan dengan cara membuat pertanyaan tambahan yang timbul dari hasil wawancara sebelumnya yang kelihatan rancu dan bermakna ganda.

d. Strategi analisa dilakukan dengan cara melihat pada hasil wawancara yang menimbulkan konsep baru untuk dibahas selain dari teori yang telah ada. e. Peneliti melakukan interpretasi dengan memahami data verbatim secara

mendalam dan berpedoman pada teori-teori yang menjadi landasan penelitian serta teori lain yang berhubungan.


(57)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian mengenai harapan menikah lagi pada wanita bercerai. Dalam bab ini akan diuraikan riwayat masing-masing responden, hasil observasi, analisa data hasil wawancara, dan pembahasan terhadap data-data yang telah didapatkan tersebut.

Berikut dilampirkan tempat dan waktu wawancara ketiga responden pada penelitian ini:

Tabel 1. Tempat dan Waktu Wawancara

Hari/Tanggal Waktu Tempat

Responden 1

Jumat, 13 Mei 2011 Pukul 11.30 – 12.40 WIB

Pasar (kios responden) Rabu, 25 Mei 2011 Pukul 10.30 – 12.00 WIB

Jumat, 11 Juni 2011 Pukul 11.30 – 13.00 WIB Responden

2

Jumat, 10 Juni 2011 Pukul 16.30 – 18.35 WIB Toko sepatu tempat responden

bekerja Sabtu, 11 Juni 2011 Pukul 17.30 – 18.30 WIB

Selasa, 21 Juni 2011 Pukul 17.00 – 18. 15 WIB Responden

3

Selasa, 14 Juni 2011 Pukul 18.00 – 19.30 WIB

Tempat fitness Selasa, 28 Juni 2011 Pukul 18.20 – 19.35 WIB

A. DESKRIPSI DATA I 1. Riwayat Responden

Nama : T

Usia : 43 tahun


(58)

Pendidikan Terakhir : SMA Umur pada saat menikah : 22 tahun Lama pernikahan : 10 tahun

Jumlah anak : Memiliki 1 orang anak laki-laki Pekerjaan : Penjual bunga

2. Hasil Observasi a. Wawancara 1

Responden 1 adalah T, seorang penjual bunga di salah satu pasar besar di kota Medan. T adalah seorang wanita paruh baya, dengan tinggi 160 cm dan berat 65 kg, dengan rambut panjang sebahu. Pada hari pertama wawancara, T menyambut peneliti dengan senyum ramah dan mendengarkan perkenalan serta penjelasan peneliti dengan seksama.

Pada saat itu, pasar kelihatan sepi karena sudah siang hari. T mempersilahkan peneliti untuk masuk ke dalam kiosnya. Kios T tampak kecil, tidak tampak banyak barang atau peralatan di dalamnya. Hanya sebuah meja kayu yang sudah hampir lapuk dan beberapa macam bunga tersusun di atas meja, serta di samping meja terdapat tumpukan daun pisang untuk membungkus daun. Lalu T membentangkan sebuah karpet plastik sebagai alas duduk karena lantai kios langsung bersentuhan dengan tanah, sehingga T dan peneliti dapat duduk di sana dengan nyaman. T mempersilahkan peneliti untuk duduk dan tersenyum ketika berbicara. Pada saat itu, T memakai baju berlengan panjang warna coklat dengan


(59)

rok panjang sampai mata kaki berwarna biru, T juga memakai tas pinggang hitam. Rambut T disanggul ke atas.

Sebelum memulai wawancara, peneliti meminta izin kepada T untuk merekam wawancara siang itu. T tertawa mendengar permintaan peneliti tapi T mengizinkannya juga. Peneliti mengeluarkan alat rekaman dan meletakkan di atas karpet plastik di antara peneliti dan T. Peneliti takut suara T tidak terekam sepenuhnya maka peneliti memegang alat rekaman dan menyodorkan ke arah T setiap kali T berbicara. T tidak keberatan dengan hal tersebut.

Saat wawancara berlangsung, T bercerita dan menjawab pertanyaan peneliti dengan lancar sambil tersenyum. Namun pada awal wawancara, ketika bercerita mengenai kisah hidupnya, tampak beberapa kali mata T berkaca-kaca tetapi tidak sampai menitikkan air mata. T juga tampak menerawang, pandangan mata ke tempat lain ketika bercerita. Sesekali T mengubah posisi duduknya. Saat peneliti menanyakan pertanyaan, T terus menatap peneliti. Di tengah wawancara, ada pembeli yang datang membeli maka T permisi kepada peneliti untuk melayani pembeli. T membungkus bunga dengan cekatan. Setelah itu T kembali duduk dan meneruskan ceritanya.

Setelah sesi wawancara berakhir pada hari itu, peneliti berpamitan kepada T dan T tersenyum kepada peneliti. Peneliti menjelaskan kepada T bahwa beberapa hari kemudian peneliti mungkin akan menemui T lagi jika ada yang belum jelas ditanyakan. T mengizinkan peneliti datang kapan saja asalkan peneliti datang pada siang hari agar tidak mengganggu aktivitas T berjualan.


(60)

b. Wawancara 2

Pada sesi wawancara kedua, saat peneliti datang ke kios T, tampak bahwa T sedang sibuk memotong lembaran daun pisang untuk dijadikan pembungkus bunga esok harinya. Hari itu adalah hari Rabu sehingga T agak sibuk mempersiapkan perlengkapan untuk esok hari dimana hari Kamis selalu ramai pembeli yang membeli bunga. Pada hari itu, T memakai baju berkerah bercorak hitam abu dengan celana yang panjangnya tiga perempat sedangkan rambutnya dikuncir kuda dan memakai bando merah.

T meminta peneliti untuk menunggu sebentar, karena T sedang sibuk dan kakak ipar T juga sedang sibuk membungkus perlengkapan bunga di dalam kios. T mengambilkan kursi dari kios sebelah untuk peneliti duduk sembari menunggu. Sambil menunggu, peneliti mengajak T mengobrol mengenai pekerjaannya sehari-hari sebagai penjual bunga. T tampak cekatan memotong lembaran daun pisang. Lima belas menit kemudian, kakak ipar T telah siap mengerjakan pekerjaannya. Lalu T menghentikan pekerjaannya memotong lembaran daun pisang dan mencuci tangannya dengan air perasan belimbing. T mengambil sapu dan membersihkan bagian dalam kiosnya, setelah itu T menggelar karpet plastik di atas tanah dan mempersilahkan peneliti masuk. Peneliti menanyakan kepada T apakah tidak memotong semua lembaran daun pisang dulu atau T bisa sambil memotong lembaran daun pisang sambil mengobrol dengan peneliti. T mengatakan tidak apa-apa karena pekerjaannya bisa dilanjutkan nanti.

Peneliti duduk di atas karpet plastik dan mengeluarkan alat rekaman. T duduk dalam posisi menghadap peneliti dan bersiap untuk diwawancarai. Peneliti


(61)

mulai menanyakan beberapa pertanyaan kepada T dan seperti wawancara sebelumnya T menjawab setiap pertanyaan peneliti dengan panjang lebar dan tersenyum. Wawancara kali ini, T lebih banyak menjawab pertanyaan dengan senyuman dan lebih banyak tertawa. Saat wawancara sedang berlangsung, ada pembeli yang datang maka T permisi kepada peneliti untuk melayani pembeli terlebih dahulu dan tiba-tiba hp T juga berdering maka peneliti mempersilahkan T untuk menjawab telepon terlebih dahulu. Pada saat wawancara, T banyak mengganti posisi kakinya saat duduk.

c. Wawancara 3

Pada sesi wawancara ketiga, saat peneliti datang, T sedang menikmati makan siangnya sendirian. T menyambut peneliti dengan ramah dan menawari makan siang kepada peneliti namun peneliti menolaknya dengan halus. Peneliti duduk di dalam kios sambil menunggu T siap menyantap makan siangnya. Siang itu, kios tampak sepi. Di sebelah kios T, tampak penjual sayur yang sedang memetik sayur tauge bersama anak perempuannya. T makan sambil mengobrol dengan penjual di sebelah kios. Siang itu, T memakai baju kuning dengan celana panjang jeans biru dan sebuah tas selempang hitam dilingkarkan di bahunya. Rambut responden dikuncir kuda dan memakai bando berwarna coklat.

Selesai makan, seperti biasa T menggelar karpet plastik sebagai alas duduk dan mempersilahkan peneliti duduk. Peneliti menjelaskan kedatangan peneliti lagi hari itu karena masih ada beberapa hal yang hendak ditanyakan dengan T. T


(62)

menanggapinya dengan tersenyum dan mempersilahkan peneliti untuk memulai wawancara.

T mengeluarkan alat rekaman dan kembali meminta izin untuk merekam wawancara siang itu. T menjawab pertanyaan peneliti dengan lancar dan panjang lebar seperti biasa. Ketika menjawab pertanyaan, T beberapa kali menggosok matanya, T duduk agak menyender ke meja dan beberapa kali mengubah posisi duduknya. Namun wawancara kali ini terdapat lebih banyak gangguan, hp T sering berdering dan setelah menerima telepon, T harus keluar kios untuk menemui orang lain. T meminta peneliti untuk menunggu sebentar di dalam kios. Beberapa menit kemudian, T kembali dan melanjutkan wawancara.

Namun beberapa saat kemudian, ada penjual lain mampir ke kios T dan mengajak T berbicara. Sambil tertawa, T meminta penjual tersebut untuk kembali lagi nanti karena T memiliki urusan dengan peneliti. Penjual lain tersebut tertawa dan berlalu. Wawancara pun kembali dilanjutkan. T tampak tidak terganggu dan tetap fokus menjawab pertanyaan peneliti dengan baik.

Setelah wawancara selesai dan peneliti mematikan alat rekaman, T kembali bercerita tentang kehidupannya dengan peneliti. Kali ini, T tampak duduk lebih santai dan menyender ke meja. T bahkan memberikan beberapa nasehat dan membagikan pengalaman hidupnya kepada peneliti. Beberapa penjual dari kios lain mampir dan turut serta dalam pembicaraan siang itu. Hingga tidak terasa hari semakan siang dan pasar semakin sepi. Peneliti pun berpamitan pulang kepada T.


(1)

Manusia. Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Santrock, J. W. (2003). Adolescense, Perkembangan Remaja Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga. Alih bahasa Dra Shinto B Adelar, M.Sc. Sherly Saragih, S.Psi.

Shorey, H. S., Snyder, C. R., dkk. (2002). Somewhere Over The Rainbow: Hope Theory Weathers Its First Decade. Psychological Inquiry 13(4): 322–331. Sigelman, C. K., & Rider, E. A. (2003). Life-Span Human Development, Fourth

Edition. USA: Thomson Wadsworth.

Snyder, C.R. (1994). The Psychology of Hope: You can get there from here. New York: The Free Press.

Snyder, C. R. (2000). Hypothesis: There is Hope. Dalam C. R. Snyder (Ed). Handbook of Hope: Theory, Measures, and Application (pp. 3-21). San Diego, CA: Academic Press.

Snyder, C. R. (2002). Hope theory: Rainbows in the mind. Psychological Inquiry 13(4): 249-275.

Snyder, C. R., Rand, K. L., & Sigmon, D. R. (2002). Hope Theory A Member of Positive Psychology Family. Dalam C. R. Snyder & S. J. Lopez (Eds). Handbook of Positive Psychology (pp. 257-276). New York: Oxford University Press.

Weil, C.M. (2000). Exploring Hope in Patients With End Stage Renal Disease on Chronic Hemodialysis. ANNA Journal, 27, 219-223.

2010.


(2)

Lampiran 1


(3)

INFORMED CONSENT

Pernyataan Pemberian Izin oleh Responden

Judul Penelitian : Harapan Untuk Menikah Kembali Pada Wanita Bercerai Peneliti : Debby Isabella

NIM : 071301026

Saya yang bertandatangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagai responden dalam penelitian mengenai harapan untuk menikah kembali pada wanita bercerai. Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya. Dengan demikian saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberikan informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Medan, Mei 2011


(4)

Lampiran 3

PEDOMAN WAWANCARA I. Riwayat Responden

1. Umur

2. Jenis Kelamin 3. Tempat Tinggal 4. Pendidikan terakhir 5. Umur pada saat menikah 6. Memiliki anak/tidak

7. Kegiatan sehari-hari/pekerjaan

II. Perceraian

1. Berapa usia anda pada saat bercerai?

2. Apa yang melatarbelakangi perceraian yang terjadi pada anda?

3. Bagaimana perasaan anda saat dihadapkan dengan keputusan bercerai? 4. Bagaimana anda memandang hidup anda setelah perceraian itu?

5. Bagaimana pandangan orang-orang terdekat anda mengenai perceraian anda? 6. Masalah-masalah apa saja yang harus anda hadapi setelah perceraian?

III. Harapan untuk menikah kembali A. Goal

1. Apa yang menjadi tujuan anda dengan menikah kembali? Mengapa anda ingin menikah kembali?

2. Seberapa pentingkah menikah kembali bagi anda?

3. Mengapa anda berpikir bahwa menikah kembali penting untuk anda?

4. Apakah anda berpikir bahwa anda memiliki kemungkinan besar bisa menikah kembali? Jika iya, mengapa? Jika tidak, mengapa?

5. Apakah anda menentukan target waktu untuk menikah kembali? Mengapa anda menentukan target tersebut?


(5)

B. Pathway Thinking

1. Bagaimana anda merencanakan usaha-usaha agar dapat menikah kembali? 2. Dapatkah anda jelaskan usaha-usaha yang telah anda pikirkan agar bisa

menikah kembali?

3. Apakah usaha tersebut muncul dari diri anda sendiri atau dari orang lain?

4. Sejauh ini, usaha apa saja yang telah anda lakukan dari usaha-usaha yang anda pikirkan itu?

5. Jika usaha yang anda rencanakan sebelumnya tidak berjalan dengan baik, apakah yang mungkin terjadi?

6. Bagaimana kemungkinan munculnya usaha atau rencana lain jika rencana awal anda tidak berjalan dengan baik atau ketika anda menjumpai hambatan?

7. Apakah anda dengan mudah mampu memikirkan usaha-usaha lain untuk menggantikan usaha anda yang gagal?

C. Agentic Thinking

1. Bisakah anda jelaskan bagaimana keyakinan anda bahwa anda bisa menikah kembali?

2. Bisakah anda jelaskan apa yang membuat anda berpikir bahwa anda bisa melakukan usaha-usaha yang telah anda rencanakan sebelumnya?

3. Apa yang membuat anda termotivasi/tidak termotivasi atau merasa mampu/tidak mampu untuk melakukan usaha-usaha yang telah anda rencanakan?

IV. Faktor-faktor yang mempengaruhi Harapan A. Dukungan Sosial

1. Bagaimana pandangan keluarga tentang keinginan anda untuk menikah kembali?


(6)

2. Bagaimana pandangan orang-orang di sekitar anda tentang keinginan anda untuk menikah kembali?

3. Dukungan seperti apa yang anda harapkan dari keluarga anda berkaitan dengan harapan anda menikah kembali? Dukungan apa yang anda terima sekarang? 4. Bisakah anda ceritakan orang-orang di lingkungan anda yang memberi

dukungan kepada anda untuk menikah kembali?

B. Kepercayaan Religius

1. Berkaitan dengan religiusitas, apakah anda melakukan suatu usaha religius untuk mencapai tujuan anda menikah kembali?

2. Usaha religius seperti apa yang anda lakukan?

3. Bagaimana anda memandang bahwa usaha religius ini dapat membantu anda untuk bisa menikah kembali?

C. Kontrol

1. Bagaimana anda melihat kemungkinan anda untuk menikah kembali, apakah sepenuhnya dalam kontrol anda atau dipengaruhi oleh orang lain?