TATA CARA SHALAT NABI BERSANDAR SUNNAH TERPILIH

TATA CARA SHALAT NABI BERSANDAR SUNNAH TERPILIH

*MEMET KURNIA*

NIAT

Pengertian niat dari segi bahasa adalah maksud. Sementara menurut istilah syara adalah

bermaksud melakukan ibadah dengan tujuan pendekatan diri kepada Allah swt., seluruh perbuatan ibadah dilakukan menuju Allah semata bukan sesuatu yang lain.

Dengan makna lain niat disebut pula ikhlas. Dan ikhlas memiliki arti pemurnian seluruh perbuatan hanya tertuju kepada Allah swt., sebagaimana Al- qur‟an menyebutkan :

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus. (QS. Al-Bayyinah : 5)

Dan sabda Rasulullah saw :

Sesungguhnya seluruh perbuatan tergantung pada niatnya (HR. Aimmah As-sittah)

Imam Almawardi menyebutkan bahwa niat dalam pendapat mayoritas ulama adalah ikhlas.

Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-asqalani mengemukakan “ Sesungguhnya niat kembali kepada ikhlas dan ikhlas adalah sesuatu yang satu untuk yang Satu tiada sekutu bangi-Nya. Imam Baidlawi menyebutkan niat adalah maksud yang terarah dari seluruh perbuatan yang dilakukan hanya untuk menuju Ridha Allah dan mematuhi semua hukum-Nya.

Imam Abdur-Rahman Al-Jaziri mengatakan bahwa umat islam harus memahami makna niat dengan sesungguhnya dan harus mengetahui juga bahwasannya apabila orang bermaksud melakukan shalat dengan tujuan sesuatu dari perkara-perkara duniawi maka sesungguhnya shalanya termasuk pada katagori bathal.

Tempatnya Niat Adalah Hati

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berpendapat bahwa niat adalah bermaksud atau berencana melakukan perbuatan dan tempatnya niat adalah hati, tidak ada kaitan sama sekali niat dengan pengucapan lisan. Karena hal tersebut tidak dijelaskan sedikit pun baik dari Nabi maupun dari para Shahabat bahwa niat harus dengan pengucapan.

Rasulullah tidak mengajarkan untuk memulai shalat harus dengan pengucapan niat, sebagaimana sabdanya :

Berkata Abu Hurairah : Bahwasannya Rasulullah saw apabila beliau mendirikan shalat maka beliau bertakbir sambil berdiri ( H.R Mutafaq „alaih).

Dalam hadits qauliyah disebutkan :

Rasulullah bersabda kepada orang yang salah dalam melaksanakan shalatnya, apabila kamu melaksanakan shalat maka bertakbirlah ( H.R mutafaq alaih) .

Imam Asy-Syairazi mengatakan bahwa ada sebagian dari ashab kami (pengikut madzhab Imam Syafi‟i) yang berkata : “ bahwa harus berniat dengan hati dan mengucapkannya dengan lisan”

ungkapan tersebut bukanlah apa-apa, karena sesungguhnya niat adalah sesuatu yang dimaksudkan dengan hati tidak perlu pengucapan.

Imam Nawawi memperjelas pernyataan di atas dengan mengutip perkataan Pengarang kitab Al-Hawi ( Imam Mawardi), bahwa yang mengatakan “berniat dengan hati dan mengucapkan dengan lisan” adalah perkataan Abu Abdillah Az-Zubairi, yang tidak merasa cukup dalam

meniatkan sesuatu apabila tidak terkumpul antara maksud hati dan pengucapan lisan, dengan alasan bers andar pada ungkapan Imam syafi‟i dalam bab Hajji sebagai berikut :

Dalam pandangan Abu Abdillah Al-Zubairi kata (dengan pengucapan) yang dimaksud adalah pengucapan niat, sementara dalam pandangan mayoritas ulama (pengikut Madzhab Imam

Syafi‟I lainnya) menyatakan bahwa ungkapan Abu Abdillah tersebut adalah salah karena yang dimaksud Imam Syafi‟i dalam

adalah pengucapan takbiratul ihram bukan pengucapan niat.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mempertanyakan tentang pengucapan niat di atas, bagaimana mungkin Imam Syafi‟i mensunnahkan suatu perkara yang tidak dilakukan Nabi Muhammad saw

dalam satu shalat pun, begitu pula tidak ada seorang pun dari para khalifah dan para shahabatnya ?

Kedudukan Niat Dalam Shalat

Para pengikut madzhab Syafi‟i berselisih pendapat tentang penetapan niat, apakah masuk dalam katagori fardlu atau syarat. Kebanyakan mereka menyebutkan bahwa niat adalah merupakan fardlu dari fardlu-fardlu shalat dan termasuk rukun dari rukun-rukun shalat, seperti takbiratul ihram, membaca al-fatihah, ruku dan sebaginya. Dan menurut golongan lain (masih pengikut Para pengikut madzhab Syafi‟i berselisih pendapat tentang penetapan niat, apakah masuk dalam katagori fardlu atau syarat. Kebanyakan mereka menyebutkan bahwa niat adalah merupakan fardlu dari fardlu-fardlu shalat dan termasuk rukun dari rukun-rukun shalat, seperti takbiratul ihram, membaca al-fatihah, ruku dan sebaginya. Dan menurut golongan lain (masih pengikut

Imam Al-Ghazali berpendapat tentang niat, bahwasannya niat lebih menyerupai pada syarat, dalam persepsi Al-Ghazali niat itu dianggap terus menerus secara hukumnya sampai akhir shalat. Maka niat lebih menyerupai wudlu dan menghadap qiblat, hal ini dipandang pendapat yang kuat.

TAKBIRATUL IHRAM

Tidak sah shalat kecuali diawali dengan takbiratul ihram (yakni dengan pengucapannya) baik dalam shalat fardlu maupun dalam shalat sunat. Takbiratul ihram dalam pandangan Imam Syafi‟i dan mayoritas ulama adalah merupakan rukun dari rukun-rukun shalat. Adapun menurut pendapat Abu Hanifah takbiratul ihram merupakan syarat bukan dari bagian / rukun shalat.

Lafadh takbratul ihram adalah

Mengenai pernyataan takbiratul ihram di atas kebanyakan haditsnya diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud dsb.

Imam Sy afi‟i mengatakan dalam kitab Al-Um bahwasannya Imam harus mengeraskan dan menjelaskan suaranya tatkala membaca takbiratul ihram tapi tidak boleh memanjangkan dan merubahnya.

Adapun hadits yang menerangkan hal terebut di atas diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Hakim dalam shahehnya dan Adz-Dzahabi menyepakatinya. Imam Nawawi berkata, bahwa pendapat di atas merupakan madzhab yang benar dan sebagai pilihan madzhab Asy- syafi‟i.

Dalam mengangkat tangan tatkala takbiratul ihram hadits nabi menjelaskan :

Bahwasannya Nabi mengangkat kedua tangannya terkadang bersamaan dengan mengucapkan takbir (HR. Bukhari dan An-Nasai)

Dan terkadang Nabi mengangkat tangan setelah takbir. (HR. Bukhari dan An-Nasai)

Dan terkadang Nabi mengangkat tangan sebelum takbir.(HR. Bukhari dan Abu Daud)

Batasan mengangkat tangan Nabi mengajarkan sebagaimana sabdanya

Bahwasannnya Nabi Muhammad saw mengangkat kedua tangan dan menjadikan keduanya sejajar dengan kedua pundak (HR. Bukhari, Abu Daud, An-Nasai dan lainnya)

Adapun cara pengangkatan kedua tangan sejajar dengan kedua pundak ini merupakan pendapat yang diambil oleh madzhab Imam Malik, Imam Syafi‟i, Imam Ahmad menurut riwayat imam

Ahmad yang paling masyhur.

Mengenai penyimpanan kedua tangan setelah takbiratul ihram

Bahwasannya Nabi menyimpan tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri dan terkadang menyimpan tangan kanan di atas pergelangan tangan kiri dan terkadang menyimpan tangan kanan di atas lengan tangan kiri (HR. Abu Daud, An-Nasai dan lainnya dengan sanad yang shahih)

Dan bahwasannya Nabi terkadang mengepalkan tangan kanannya di atas tangan kiri (HR. An-Nasai dan lainnya dengan sanad yang shahih)

Dan Nabi menyimpan kedua tangannya di atas dada (HR. Abu Daud, Ibnu Huzaimah dan menghasankan At-Tirmidzi terhadap hadits ini)

Berdasarkan keterangan hadits-hadits di atas mengenai penyimpanan tangan setelah takbiratul ihram Nabi Muhammad saw memberikan contoh beberapa cara, pertama, bahwa Nabi menyimpan tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri, hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud, kedua An-Nasai dan yang lainnya dengan sanad yang shahih. An-Nasai dan yang lainnya meriwayatkan bahwa terkadang Nabi mengepalkan tangan kanan pada tangan kiri. Riwayat Abu daud, Ibnu Huzaimah dan Ahmad dan menghasankan At-Tirmidzi terhadap hadits ini, Bahwa Nabi suka menyimpan kedua tangannya di atas dada.

Adapun hadits yang menerangakan tentang menyimpan kedua tangan di bawah pusar, menurut Imam Ahmad hadits tersebut dla‟if, Imam Bukhari memandang masih dalam pertimbangan, Menurut Imam Nawawi hadits tersebut dla‟if secara sepakat dan Imam Syaukani berkomentar Adapun hadits yang menerangakan tentang menyimpan kedua tangan di bawah pusar, menurut Imam Ahmad hadits tersebut dla‟if, Imam Bukhari memandang masih dalam pertimbangan, Menurut Imam Nawawi hadits tersebut dla‟if secara sepakat dan Imam Syaukani berkomentar

Nabi Muhammad melarang mengangkat pandangan ke langit di dalam shalat (H.R Ahmad, Muslim dan An-Nasai)

BACAAN SETELAH TAKBIRATUL IHRAM

Setelah melakukan takbiratul ihram Nabi mengajarkan rangkaian doa-doa yang sering dikenal dengan doa istiftah atau doa iftitah, adapun redaksi doa setelah takbiratul ihram ini bermacam- macam yang diajarkan Nabi, sebagaimana yang tertulis di bawah ini

1. Ya Allah jauhkanlah antara aku dan kesalahanku sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah bersihkanlah aku dari semua kesalahan ku sebagaimana dibersihkannya pakaian putih dari kotoran. Ya Allah cucilah aku dari semua kesalahan dengan air, salju dan embun. ( H.R Mutafaq alaih)

2. Ku hadapkan wajahku semata kepada Dzat yang telah menciptakan langit dan bumi dengan penuh kelembutan dan ketundukan dan bukanlah aku dari golongan orang-orang kafir, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan seru sekalian alam, tidak ada sekutu bagi-Nya dan begitulah aku diperintah dan aku termasuk dari orang-arang

yang berserah diri.

3. Maha Suci Engkau ya Allah dan dengan puji-Mu, keberkahan Asma-Mu dan Maha Tinggi Kebesaran-Mu dan tiada tuhan selain Engkau (H.R Muslim)

4.Allah Maha Besar Kebesaran-Nya, dan segala puji bagi Allah yang teramat banyak dan Maha Suci Allah sepanjang pagi dan sore hari. (H.R Muslim dan Abu „Awanah)

5. Segala puji bagi Allah puji yang banyak, baik dan penuh keberkahan didalamnya (H.R Muslim dan Abu „Awanah).

BACAAN AL-FATIHAH

Imam Syafi‟i berkata : wajib membaca surat al-fatihah bagi yang shalat munfarid (sendiri) atau menjadi imam untuk setiap raka‟at dan tidak ada gantinya selain surat al-fatihah. Dan beliau juga mengatakan : wajib secara pasti dan sepakat kebanyakan ulama bagi ma‟mum membaca surat Al- Fatihah pada saat imam mensirkan (pelan) bacaannya, adapun pada saat imam mengeraskan bacaannya ada dua pendapat, antara yang mengharuskan dan melarang membaca Al-Fatihah.

Mayoritas pengikut madzhab syafi‟i seperti Imam Bukhari, Imam Syaukani dan lainnya memilih mengharuskan membaca al-fatihah disaat imam mengeraskan bacaannya, dengan sandaran hadits Nabi

Tidak sah shalat bagi yang tidak membaca surat Al-Fatihah. ( H.R Mutafaq alaih )

Selain hadits tersebut masih banyak hadits yang senada, diantaranya

Sabda Nabi saw : janganlah kamu melakukan apa-apa (wahai ma‟mum) kecuali membaca Al- Fatihah (H.R Bukhari dan lainnya)

Berbeda dengan pendapat Imam Malik dan sebagian pengikutnya, Imam Ahmad dan sebagian pengikutnya, Imam Abdullah bin Mubarak, Imam Ishaq bin Rahawaih mereka berpendapat : Apabila Imam membaca dengan mengeraskan suaranya maka ma‟mum harus diam tidak boleh membaca apapun dan apabila imam membaca dengan sir (pelan) maka ma‟mum membaca al- fatihan yang terdengar oleh dirinya sendiri. Mereka beralasan dengan firman Allah swt.

Apabila dibacakan Al- qur‟an maka kalian harus mendengarkannya dan berdiamlah kalian pasti kalian akan dikasihani (Al- A‟raf : 204)

Imam Ahmad menyebutkan secara ijma ulama bahwasannya ayat di atas turun berkenaan dengan masalah shalat, dengan dukungan sabda Rasul saw

Luruskanlah barisan-barisan kalian dan angkatlah imam salah seorang diantara kalian,apabila imam takbir maka kalian takbir dan jika imam membaca Al- qur‟an maka diamlah kalian (H.R

Muslim, Abu Daud dan Ibnu Majah).

Dari Abu Hurairah RA, sesungguhnaya Rasulullah suatu saat baru saja selesai dari melaksanakan shalat yang di dalamnya beliau men geraskan bacaan qur‟annya. Beliau bertanya : apakah ada salah seorang diantara kalian yang membaca qur‟an bersamaku barusan ? maka berkata seorang lelaki, benar Ya Rasulullah saya orangnya, Beliau bersabda : dengan bacaanku apakah mungkin aku harus mengacaukan bacaan Al- qur‟an?

Semenjak peristiwa tersebut orang-orang tidak membaca al- qur‟an disaat nabi mengeraskan bacaannya dalam shalat, mereka cukup mendengarkan bacaan Rasulullah.

Menanggapi dua pendapat tersebut di atas, Ibnu Taimiyah menengahinya dengan berpendapat bahw a, para ulama salaf baik dari golongan shahabat maupun tabi‟in diantara mereka ada yang membaca al- qur‟an dan sebagian yang lain ada yang tidak membaca Al-qur‟an di belakang imam.

Jumhur ulama berpendapat membaca Al- qur‟an di belakang imam hukumnya berbeda atara imam membacanya dengan keras dan yang sir (pelan), ma‟mum membaca di kala imam membaca

bacaannya sir (pelan) dan tidak membaca di saat imam mengeraskan suaranya,.pendapat tersebut menurut ibnu Taimiah merupakan pengambilan hukum yang paling adil (moderat), sebab Allah telah berfirman :

Apabila di bacakan qur ‟an maka dengarkanlah dan diamlah kalian, pasti kalian akan dikasihani. ( Al- „araf : 204).

Maka apabila imam membaca dengan bacaan keras maka dengarkanlah dan apabila imam sir (pelan) dal am bacaannya maka ma‟mum membaca Al-Fatihah, sesungguhnya bahwa membaca lebih baik daripada diam, apabila tidak ada yang dapat didengar. TA‟AWUDZ SEBELUM AL-FATIHAH

Bahwasannya Nabi saw selalu memohon perlidungan kepada Allah swt dengan mengucapkan :”Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaithan yang terkutuk, yakni dari kegilaan,

kesombongan dan sihir syaithan. (H.R Abu Daud, Ibnu Majah, Daraquthni dan menshahihkan Al- Hakim, Ibnu Hibban dan Adz-Dzahabi)

Dan Nabi saw terkadang menambah kata dalam ta‟awudz dengan ucapan :”aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui dari godaan syaithan yang terkutuk, yakni dari

kegilaan, kesombungan dan sihir syaithan. (H.R Abu Daud, At-Turmudzi dengan sanad yang shahih).

Imam Ahmad berkata hadits di atas merupakan dalil isti‟adzah, dan dilakukan isti‟adah dalam shalat setelah takbiratul ihram, menurut faham Adh-Dhahiri isti‟adzah dibaca setelah bertawajjuh dengan do‟a-do‟a, karena sesungguhnya hal tersebut merupakan ta‟awudznya bacaan al-fatihah yaitu sebelum membaca surat al-fatihah

Berkenaan dengan hal ini Al- Qur‟an pula mengajarkan

Apabila kamu hendak membaca Al- qur”an maka mintalah perlindungan kepada Allah dari godaan syaithan yang terkutuk ( An-Nahl : 98 )

Menurut pandangan Jumhur Ulama makna ayat di atas, bahwa apabila kamu bermaksud membaca al- qur‟an maka mintalah perlindungan, makna tersebut merupakan makna yang cocok dan mudah difahami.

Imam Nawawi berkesimpulan tentang ta‟awudz, sesungguhnya ta‟awud disyari‟atkan dalam raka‟at awal dan dibaca setelah do‟a iftitah. Hal tersebut merupakan pendapat Imam Syafi‟i dan Jumhur Ulama.

Imam Syafi‟i mengemukakan pendapatnya dalam kitab Al-Um serta diikuti oleh ashabnya (pengikut madzhab syafi‟iyah) bahwa, isi dari ta‟awuzd mencakup segala sesuatu hal dalam permohonan perlindungan, tetapi yang paling utama ta‟awudz dengan mengucapkan

BACAAN BASMALAH DALAM AL- FATIHAH

Diriwayatkan dari Nuaim Al-Mujmir dia ber kata : Aku shalat berma‟mun kepada Abu Hurairah, dia membaca “basmalah” ( sebagian hadits tidak dimuat). Dan Abu Hurairah berkata setelah salam :

Demi Dzat yang diriku dalam genggaman-Nya, sesungguhnya aku adalah orang yang paling sama Shalatnya diantara kalian dengan Rasulullah saw. (Hadits ini dikeluarkan oleh An-Nasai dan Ibnu Khazimah dan teleh menshahihkan pada hadits ini Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim).

Dan berkata Al-Hakim bahwa hadits tersbut memenuhi persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim. Al-Baihaqqi berpendapat bahwa hadits tersebut memiliki isnad yang shahih dan pendukung. Abu Bakar Al-Khathib mengatakan bahwa hadits itu kedudukannya kuat dan shahih tidak ada jalan sedikit pun untuk melemahkan hadits tersebut.

Diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwasannya dia ditanya tentang cara bacaan Al-Fatihah Rasulullah saw, Ummu Salamah berkata : bahwa cara Rasulullah Al-Fatihah dengan memotong- motong bacaan satu ayat – satu ayat, lalu Ummu slamah mencontohkannya :

( H.R Imam Ahmad dan Abu Daud ).

Diriwayatkan dari Qatadah berkata : bahwasannya An-Nas ditanya tentang bagaimana bacaan Al- fatihah Nabi saw, Anas berkata : Bahwa bacaan fatihah Nabi itu dipanjangkan, kemudian An-Nas membaca seperti yang dibacakan Rasulullah

( H.R Bukhari)

Hadits-hadits di atas merupakan landasan (dalil) tentang di syari‟atkannya membaca “basmalah” dalam surat Al-Fatihah dan sesungguhnya Rasulullah saw membaca dengan panjang ( santai ) baik dalam “basmalah” atau yang lainnya. Dan sebagian berpendapat bahwa hadits di atas menjadi landasan (dalil) tentang disunahkannya membaca “basmalah” dengan suara keras dalam shalat. Karena sesungguhnya bukti bacaan yang bersandar pada cara-cara yang disampaikan An-Nas, menjadikan satu kepastian bahwa An-Nas mendengar bacaan fatihah Rasulullah, karena tidak mungkin terdengar kalau seandainya bacaan itu tidak keras.

Diriwayatkan dari „Aisyah RA bahwasannya ia berkata : Bahwa Rasulullah memulai shalatnya

dengan takbir dan selanjutnya membaca “Al-hamdulillahi Rabbil‟alamin. (dikeluarkan oleh

Muslim).

Ash- Shan‟ani berkata : hadits diatas telah dijawab, bahwa maksud „Aisyah dengan Alhamdu lillahi rabbil‟alamin adalah surat alhamdulillahi rabbil‟alamin sendiri bukan lafadhnya, sesungguhnya al- fatihah dinamai juga surat alhamdulillahi rabbil‟alamin sebagimana telah tersebut dalam Shahih Bukhari.

Imam Bukhari menyebutkan dalam bab Fadlail Al- Qur‟an, diriwayatkan dari Abu Sa‟id bin Mu‟alla

Sesungguhnya Nabi saw bersabda kepada Abu Sa‟id bin Mu‟alla : Tidak kah penting aku ajarkan padamu surat yang paling utama dalam Al- Qur‟an ? (hadits ini dipotong matan yang lainnya) Nabi bersabda : Alhamdullullahi Rabbil‟alamin, surat ini disebut pula tujuh ayat yang sering dibaca.

Diriwayatkan dari Anas ra : Sesungguhnya Nabi, Abu Bakar, Umar, mereka membuka shalatnya dengan Alhamdulillahi Rabbil,alamin ( H.R Mutafaq Alaih ).

Imam Syaf i‟i berkata : Adapun ma‟na hadits tersebut sesungguhnya Nabi, Abu Bakar, Umar bahwa mereka membuka bacaannya dengan Alhamdulillahi rabbil‟alamin mengandung ma‟na

mereka memulainya dengan membaca surat fatihah sebelum surat yang lainnya dan bukan ma‟nanya bahwa mereka tidak membaca “basmalah”.

Adapun dalam riwayat Muslim ada tambahan

Riwayat ini menyebutkan jelas tidak menyebutkan sama sekali “basmalah” baik diawal maupun diakhir fatihah.

Riwayat Muslim di atas yang menjadi landasan ulama-ulama Maliki dimana “ basmalah” bukan bagian dari Al-Fatihah.

Mengenai maksud hadits ini dimungkinkan Nabi, Abu Bakar, umar tidak membaca “basmalah” nya tidak dengan jahar (keras) di awal AL-Fatihah maupun diawal surat sesudahnya, jadi bukan

maksud hadits diatas men tiadakan “basmalah” secara mutlak. Karena ada riwayat lain menyebutkan yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, An-Nasai dan Ibnu Huzaimah,

Bahwa mereka membaca “basmlah” dengan sirr (pelan) tidak dikeraskan.

Permasalahan di atas memperjelas bahwa dalil- dalil yang berpendapat “basmalah” bukan bagian dalam fatihah kedudukannya tidak kuat, sekarang tinggal tersisa perbedaan pendapat antara yang mengeraskan (jahar) dan yang membaca pelan (sirr), secara global perbedaan ini mudah sekali Karena Nabi saw sendiri terkadang menjaharkan dan kadang pula mensirrkan bacaan “basmalah”

Ibnu Taimiah menanggapi perbedaan di atas dengan berkata : Masalah qunut Shalat subuh dan witir, membaca keras basmalah, shifat ta‟awudz dan lain sebagainya. Sesungguhnya para ulama sepakat bahwa orang yang membaca basmalah dengan jahar (keras) sah shalatnya, orang yang membaca basmalah dengan sirr ( pelan ) sah shalatnya, orang yang qunut dalam shalat subuh sah shalatnya, orang tidak qunut dalam shalat subuh sah shalatnya, begitu pula qunut dalam shalat witir.

BASMALAH BAGIAN DARI AL- FATIHAH

Keberada an “Basmallah” merupakan bagian ayat dari Al-Fatihah, hal ini ditegaskan karena Madzhab Maliki berpendapat bahwa “Basmalah” bukan merupakan ayat Al-Fatihah. Rasyid Ridha

berpendapat :

Adapun bukti bahwa „Basmalah‟ merupakan ayat dari surat Al-Fatihah berlandaskan alasan yang paling kuat tentang penetapan basmalah bagian dari Al-Fatihah yakni dengan ditulisnya

„Basmalah‟ dalam kitab induk yang resmi yang telah membagikan naskah-naskahnya Khalifah ke tiga Utsman Bin Affan ke daerah-daerah dengan pemikiran (inisiatif) para shahabat, dan telah sepakat seluruh umat akan inisiatif parashahabat itu, dan begitu pula seluruh mushhaf-mushhaf yang telah beredar sampai hari ini.

BACAAN SETELAH AL-FATIHAH : Nabi Muhammad saw membaca surat lain setelah membaca surat Al-Fatihah, kadang Nabi memanjangkan surat setelah Al-Fatihah kadang pula memendekkan suratnya, tergantung beberapa hal, diantaranya karena sakit, perjalanan, batuk atau tangisan bayi., sebagaimana Anas meriwayatkan

Anas bin Malik berkata : Suatu hari Nabi meringankan (mempercepat) shalat subuh, Rasul ditanya : Kenapa engkau mempercepat shalat ? Rasul menjawab : aku mendengar tangisan bayi, aku mengira ibunya shalat bersama kami, maka aku bermaksud meringankan kekhawatir ibunya (H.R Imam Ahmad dengan sanad yang shahih).

Dalam hadits lain Nabi saw bersabda : Sesungguhnya aku mau memasuki dalam shalat dan aku bermaksud memanjangkan shalatnya, maka aku mendengar tangisan bayi, maka aku ringankan shalatku karena aku mengetahui kegundahan seorang ibu yang mendengar tangisan anaknya (H.R Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa Nabi saw setelah membaca al-fatihah membaca suratnya suka menyatukan antara surat nadhair dari surat-surat mufashshal, buktinya nabi membaca surat (Ar-Rahman) dan (An-Najmu) dalam satu rakaat, surat (Iqtarabat) dan (al-Haqqah) dalam satu Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa Nabi saw setelah membaca al-fatihah membaca suratnya suka menyatukan antara surat nadhair dari surat-surat mufashshal, buktinya nabi membaca surat (Ar-Rahman) dan (An-Najmu) dalam satu rakaat, surat (Iqtarabat) dan (al-Haqqah) dalam satu

Dan diriwayatkan dari Abu Qatadah, ia berkata : Rasulullah shalat bersama kami, beliau membaca dalam shalat dhuhur dan „ashar dalam dua rakaat pertama membaca surat fatihah dan dua surat lain dan kami mendengar terkadang beliau hanya membaca ayat, beliau melamakan rakaat pertama, dan beliau hanya membaca surat fatihah pada dua rakaat terakhir. (H.R Mutafaq alaih).

HUKUM MEMBACA KERAS DAN PELAN DALAM SHALAT LIMA WAKTU DAN SHALAT LAINNYA

Imam Nawawi berkata : Adapun hukum yang berkenaan dengan masalah di atas, bahwa sunat hukumnya membaca Al-fatihah dan surat lainnya dengan jahar (keras) dalam dua rakaat Shubuh, Maghrib, Isya dan shalat J um‟at dan mensirrkan bacaan (pelan) dalam shalat Dhuhur, Ashar, rakaat ketiga Maghrib, rakaat ketiga dan keempat Isya. Hal tersebut berlandaskan ijma kaum muslimin dan hadits-hadits yang shahih dan jelas.

Aturan tersebut berlaku untuk imam, adapun untuk yang shalat sendiri madzhab kami dan jumhur ulama mensunnatkan jahar ( keras ) baca annya, untuk ma‟mum umat sepakat bahwa sunat hukumnya dengan bacaan sirr (pelan) dan makr uh bagi ma‟mum membaca jahar (keras) baik terdengar atau tidak bacaan imam.

Berkata Pengarang ktab Al-Hawi (Imam Al-Mawardi) : Batasan bacaan jahar (keras) adalah suara dapat didengar oleh orang disekitarnya, dan batasan sirr (pelan) adalah hanya dapat didengar oleh dirinya sendiri. Dalil makruh bagi ma‟mum membaca jahar (keras) bersandar pada hadit yang diriwayatkan Umar bin hushain.

Sesungguhnya Rasulullah suatu saat melakukan shalat dhuhur, ada seorang lelaki membaca (sabbihis ma rabbikal‟ala) di belakangnya, setelah selesai dari shalat Rasulullah bertanya : siapa

diantara kalian tadi yang membaca ? berkata seseorang : saya, Rasulullah bersabda : aku menyangka sesungguhnya sebagian dari kalian dapat mengacaukan aku dengan adanya bacaan itu. (H.R Muslim).

BOLEHNYA IQTSHAR HANYA AL-FATIHAH

Imam Nawawi berkata : Madzhab kami menyatakan bahwa membaca surat setelah Al-Fatihah hukumnya sunat, seandainya hanya Al-Fatihah yang dibaca maka cukup bagi seseorang dalam shalatnya. Begitu pula berpendapat sama Imam Malik, Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Imam Ahmad dan keseluruhan ulama. Dalil yang menjadi dasar adalah hadits Nabi

Tidak sah shalat bagi seseorang yang tidak membaca surat ummil qur‟an (al-fatihah) (H.R Mutafaq alaih)

Maksud lebih jelas dari pengertian hadits tersebut menganggap cukup hanya dengan membaca Al- Fatihah.

Dari Abu Hurairah ra. berkata dalam setiap shalat Al-Fatihah selalu dibaca, maka bacaan yang diperdengarkan Rasulullah saw kepada kami, kami perdengarkan pula pada kalian dan bacaan yang Rasul lembutkan maka kami pun melembutkannya, dan apabila Rasul tidak menambah terhadap al- fatihah maka bacaan itupun cukup, dan apabila menambahnya maka lebih baik bagimu. (H.R Bukhari dan Muslim).

R U K U‟

Bahwasannya Rasulullah saw apabila telah selesai dari bacaan qur ‟an, beliau mengangkat kedua tangannya (sejajar dengan dua pundaknya sebagaimana dalam takbiratul ihram) dan bertakbir kemudian ruku‟ (H.R Bukhari Muslim)

Dan meletakkan dua telapak tangannya seperti mengepal di atas dua lututnya (H.R Bukhari, Abu Daud).

Bahwasannya Rasulullah saw tidak menengadahkan dan menundukkan kepalanya di kala ruku‟ (H.R Bukhari dan Abu Daud)

Dan Rasulallah bersabda : tidak sempurna shalat bagi orang yang tidak meluruskan tulang punggungnya didalam ruku‟ dan sujud. (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)

Bacaan yang dibaca Rasulullah disaat ruku‟

1. Subhana Rabbiayal „adhimi (H.R Muslim dan ashabussunan)

Dalam riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Daraquthni dan lainnya menambahkan „tiga kali‟. Dan dalam masalah ini Imam Syafi‟I berpendapat dalam kitab mukhtashar, subhana Rabbiyal‟adhimi tiga kali, hal itu merupakan batas sempurna yang minimal.

2. Terkadang Rasulullah membaca “subbuhun quddusun rabbul malaikati warruhi” (H.R Muslim dan Abu „Awanah).

3. Terkadang Rasulullah membaca “subhanakallahumma rabbana wa bihamdika

allahummaghfirli” (H.R Bukharai Muslim).

4. Terkadang Rasulullah membaca “ subhana dziljabarut walmalakuti walkibriya wal

„adhamah” Rasulullah khusus membaca bacaan tersebut saat ruku shalat malam (H.R Abu Daud dan An-Nasai dengan sanad yang sahih).

Dan bahwasannya Rasulullah saw melarang membaca Al- qur‟an disaat ruku‟ dan sujud (H.R Muslim dan Abu „Awanah)

Beberapa Ulama menyatakan bahwa larangan Nabi saw tersebut adalah larangan mutlak dan larangan tersebut menunjukkan keharaman membaca al- qur‟an disaat ruku‟ dan sujud.

(Zad Al- Ma’ad : 1 : 216 - Shifat shalat An-Nabi :134 - At-Ta’liq ‘ala bulugh al-Maram : 59).

I‟ITIDAL

Kemudian Rasulullah saw mengangkat kepalanya setelah ruku‟ sambil membaca “sami‟allahu liman hamidah ” dan mengankat kedua tangannya sejajar dengan bahu seperti dalam takbiratul ihram. (H.R Bukhari Muslim)

Dan bahwasannya Rasulullah saw apabila telah lurus berdiri maka membaca “ Rabbana wa lakalhandu” terkadang membaca “Rabbana lakalhamdu” terkadang membaca “Allahumma lakalhamdu” (H.R Bukhari Muslim) Dan terkadang membaca Allahumma Rabbana walakalhamdu (H.R Bukhari dan An-Nasai).

Dan terkadang Rasulullah membaca “Allahumma Rabbana lakalhamdu milassamawati wa mil alardli wa mil aa ma syi‟ta min syain ba‟du (H.R Muslim dan Ashabussunan kecuali At-Turnudzi).

Bahwasannya Rasulullah saw memerintahkan dengan berkata : sesungguhnya dijadikannya seorang imam adalah untuk diikuti , apabila imam takbir maka kalian harus takbir, apabila imam ruku‟ maka kalian harus ruku‟, apabila imam membaca “sami‟allahu liman hamidahu” maka kalian membaca

“Rabbana walakalhamdu” ( H.R Bukhari Muslim).

Dan terkadang pula Rasulullah membaca “ Allahumma Rabbana lakalhamdu, milassamawati wamilalardli wamil a maa syi‟ta min syain ba‟du, ahlutstsanai walmajdi ahaqqu maqalal‟abdu wakulluna laka „abdun la mani‟a lima a‟athaita wala mu‟thiya lima mana‟ta wala yan fa‟u dzal jaddi minkal jaddu. (H.R Muslim dan Ashabussunan kecuali At-Turmudzi)

PENYIMPANAN DUA TANGAN DI ATAS DA DA SAAT I‟ITIDAL

Imam Al-Bani berpendapat dan berksimpulan bahwa menyimpan dua tangan di atas dada saat I‟itidal tidak diterangkan dalam satu hadits pun dari hadits-hadits shalat, kalau memang hadits tersebut ada pasti sampai pada kami meskipun hanya dengan melalui satu jalan, Dan tidak

menyampakan satu orang pun dari ulama shalaf dan tidakmpula mereka mengerjakannya. Dan tidak menyebutkan pula satu orang pun dari para ahli hadits tentang hal tersebut, itulah yang aku ketahui.

Adapun yang berkaitan dengan Hadits :

Hadits tersebut di diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Ahmad dari Sahl bin sa‟ad, Adapun

ma‟na dari kalimat “ ” menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani bahwa kalimat

tersebut artinya adalah “dalam posisi berdiri”.(Fath Al-Bari : 2 : 464). Jadi I ‟i tidal termasuk dalam posisi berdiri yang dimasukan dalam maksud hadits di atas.

Abdullah bin Umar memandang hadits tadi dengan perbandingan dengan yang diriwayatkan Abu Bakar As-siddq ra,

“Ajarkan kepadaku do‟a, aku akan pakai berdo‟a dalam shalatku”

dalam pandangan Imam Bukhari ma‟nanya “ sebelum salam “ Al-Hafidh

Kalimat

Ibu Hajar memberi ma‟na “ setelah tasyahud “ Ibnu Daqiq Al-Abdi berkata “ barang kali ma‟na yang lebih utama berada disalah satu dua tempat yaitu antara sujud dan tasyahud, karena sesungguhnya kita diperintah memperbanyak do‟a di dua tempat tersebut.

SUJUD

Kemudian Rasulullah takbir dengan tidak mengangkat kedua tangannya terus bersujud (H.R. Bukhari)

Dan bahwasannya Rasulullah meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya kemudian kening dan hidungnya (H.R Ashhabussunan yang empat dan lainnya)

Dan bahwasannya Rasulullah bertumpu pada kedua telapak tangannya , membentangkan kedua telapak tangannya dan mengumpulkan jari-jari kedua telapak tangannya. (H.R Abu Daud dan Al-Hakim dan Adz-dzahabi menshahihkan dan menyetujuinya).

Dan Rasulullah menjadikan kedua telapak tangannya sejajar dengan kedua bahunya (H.R Abu Daud dan At-Turmudzi wa shahhahahu).

Dan terkadang Rasulullah mejadikan kedua tangannya sejajar dengan kedua telinganya (H.R Abu Daud dan An-Nasai dengan sanad yang sahih).

Dan bahwasannya Rasulullah menghadapkan ujung jari-jari kakinya ke qiblat (H.R Bukhari dan Abu Daud)

Dan Rasulullah merenggangkan kedua tangannya dari kedua samping badannya. ( H.R Ibnu Huzaimah dengan sanad yang shahih)

Bacaan yang biasa digunakan Rasulullah saat sujud :

“Subhana Rabbiyal a‟ala” (Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi) H.R Ashhabussunan

Dalam riwayat Ahmad, Abu Daud , Ibnu Majah dan yang lainnya ada tambahan “tiga Kali”

Subbuhun Quddusun Rabbul malaikati warruhi (Maha suci Maha Suci Tuhan para Malaikat dan Jibril). H.R Muslim, Abu Daud dan Abu „Awanah

Subhanakallahumma Rabbana wa bihamdikallahummaghfirli (Maha Suci Engkau ya Tuhan kami, dengan puji-Mu ya Allah ampunilah aku) H.R Bukhari dan Muslim

Subhanallahumma wa bihamdika la ilaha illa anta (Maha Suci Engkau Ya Allah segalanya dengan puji-Mu, tiada Tuhan selain Engkau) H.R Muslim, Ahmad dan An-Nasai

Allahummaghfirli dzanbi kullahu, diqqahu wa jullahu wa awwalahu wa akhirahu wa

„alaniyatahu wa sirrahu (Ya Allah apunilah dari segala dosa-dosaku, baik yang kecil atau yang besar, baik yang telah lalu atau yang akan dating, baik yang terang-terangan aku perbuat atau yang sembunyi-sembunyi)

H.R Muslim dan Abu Daud

Larangan membaca Al- Qur‟an pada ruku‟ dan sujud

Dan bahwasannya Rasulullah melarang membaca Al- Qur‟an di dalam ruku dan sujud (H.R Muslim dan Abu „Awanah).

Beberapa Ulama berpendapat bahwa larangan di atas mencakup pada shalat fardlu dan sunat, dan larangn tersebut menujukkan pada haram melakukannya. Rasulullah memerintahkan supaya memperbanyak do‟a dalam dua rukun tersebut (ruku‟ dan sujud).

Mengenai keutamaan sujud

Rasulullah saw bersabda : “ Posisi paling dekat seorang hamba kepada Tuhannya yaitu saat dia bersujud, maka perbanyaklah do‟a (H.R Muslim, Abu Daud dan An-Nasai)

Dan diriwayatkan dari Abu Humaid As- Sa‟idi, sesungguhnya Rasulullah apabila sujud beliau merenggangkan antara dua kakinya (H.R Abu Daud dan Al-Baihaqi)

MENGANGKAT BADAN DARI SUJUD

Kemudian Rasulullah saw mengangkat kepalanya sambil takbir tetapi tidak menangkat kedua tangannya, kemudian duduk iftirasy, yakni membeberkan kaki kiri dan duduk di atasnya, dan kaki kanannya berdiri tegak.

(H.R Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dan rasulullah selalu menhadapkan jari-jari kakinya ke kiblat. (H.R An-Nasai)

Bacaan yang sering digunakan oleh Rasulullah ketika duduk di antara dua sujud :

“Rabbighfirli, Rabbighfirli” ( Tuhan ampunilah aku) HR. Abu Daud, An-Nasai dsn Ibnu Majah

Allahummghfirli warhamni wahdini wa‟aafini warzuqni (Ya Allah ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku, berilah aku rizqi) H.R Abu Daud, At-Turmudzi dan Ibnu Majah, itu adalah lafadh yang diriwayatkan Abu Daud,

Dan lafadh At-Tirmudzi “ allahummaghfirli wa ajirni, wa „aafini warzuqni wahdini” ( Ya Allah ampunilah aku, berilah aku pahala, sehatkanlah aku, berilah aku rizqi, tunju kkanlah aku” dan riwayat Ibnu Majah “warfa‟ani” (angkatlah derajatku) mengganti “ wahdini” (tunjukkanlah aku) . Dalam riwayat Al-Baihaqqi

“Rabbighfirli warhamni waajirni warfa‟ni warzuqni

wahdini (Tuhanku ampunilah aku, kasihanilah aku, berilah aku pahala, angkatlah derajatku, berilah aku rizqi, tunjukkanlah aku.

Kemudian Rasulullah takbir dan selanjutnya sujud untuk sejud yang kedua (H.R Bukhari dan Muslim)

Kemudian Rasulullah bangkit bertumpu pada bumi (tempat shalat) menuju rakaat yang kedua

( H.R Bukhari )

Riwayat Abu Ishaq dan Al- Baihaqqi dengan sanad yang shahih “sesungguhnya Rasulullah bertumpu pada kedua tangannya ketika mau berdiri.

. DUDUK IQ‟AA ANTARA DUA SUJUD

Menurut Imam Baihaqqi iq,aa adalah meletakkan ujung jari-jari kaki di atas bumi (tempat shalat), meletakkan keduan pinggul di atas dua tumit dan meletakkan kedua lutut di atas bumi (tempat shalat). Dan Thawus menetapkan dan berkata : kami bertanya kepada Ibnu Abbas tentang iq‟aa di atas dua kaki, Ibnu Abbas berkata bahwa iq‟aa merupakan sunnah (ajaran Nabi), kemudian Thawus berkata : kami memandang seseorang yang melakukan iq‟aa terlihat seolah-olah tidak sopan, Ibnu Abbas berkata : Iq‟aa adalah sunnah nabi kalian. Diriwayatkan oleh Muslim.

Adapun riwayat Al-Baihaqqi dari Ibnu Abbas, dan ia berkata :

Dari sebagian sunah shalat adalah menyentuh kedua pinggulmu pada dua tumitmu.

Al-Bahiqqi juga meriwayatkan dari Ibnu Umar

Sesungguhnya Ibnu Umar juga suka melakukan, apabila telah mengangkat kepalanya dari sujud pertama ia duduk di atas ujung jari-jarinya.

Dan Ibnu Umar mengatakan bahwa Iq‟aa merupakan sunah. Thawus meriwayatkan bahwa dirinya pun suka melakukan Iq‟aa dan ia melihat beberapa Abdullah yaitu Abdullah bin Abbas dan Abdullah bi n Zaubair, mereka juga suka melakukan iq‟aa.

Sungguh kebanyakan dari jajaran shabat dan thabi‟in dan yang lainnya suka melakukan sunah ini (iq‟aa). Iq‟aa yang dijelaskan di atas merupakan iq‟aa yang diperintah bukan iq‟aa yang dilarang.

Abu Ubaidah dan yang lainnya berkata tentang iq‟aa yang dilarang

Iq‟aa yang dilarang adalah menyimpan pada dua pinggulnya di atas bumi (tempat shalat), menegakkan kedua betisnya, menyimpan kedua tangannya di atas bumi (tempat shalat) seperti duduknya anjing.

DUDUK ISTIRAHAT

Imam Syafi‟i berpendapat dalam kitab Mukhtashar : “Apabila telah meluruskan dari duduk terus bangkit” Beliau berkata dalam kitab Al-Um : “ Langsung berdiri dari sujud”.

Dari sebagian pengikut madzhab S yafi‟i mengatakan bahwa masalah di atas terbagi dalam dua pendapat, pertama : Tidak ada duduk, hal ini bersandar hadits yang diriwayatkan oleh Wail bin Hujrin :

Sesunguhnya Nabi saw apabila mengangkat kepalanya dari sujud langsung meluruskan berdirinya sambil takbir (H.R Bazzar dalam Musnadnya)

Pendapat kedua, ada duduk, hal ini bersandar hadits yang diriwayatkan oleh Malik bin Huwairits :

Sesungguhnya, bahwasannya beliau dalam rakaat pertama dan ketiga tidak langsung bangkit berdiri sebelum menyempurnakan dudu duduk. (H.R Bukhari dan yang lainnya).

Abu Ishaq menengahi dengan berkata : Apabila kondisi lemah maka duduk, karena dalam kondisi lemah membutuhkan istirahat dan apabila kondosi kuat tidak perlu duduk langsung berdiri. Dan Abu Ishaq berkata : duduknya adalah duduk iftirasy.

Mayoritan ulama berpendapat : bahwa tidak disunatkan duduk tetapi apabila mengangkat kepala langsung berdiri. Telah meriwayatkan keterangan tersebut diantaranya : Ibnu Mundzir, Ibnu Mas‟ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Ziad, Malik, Ats-Tsauri, Para ahli fakir, ahmad dan Ishaq. Dan berkata ahmad bin hanbal : “Bahwa hadits yang menjelaskan tidak ada duduk istirahat lebih

banyak diriwayatkan.

TUMA‟NINAH DALAM SHALAT

Dari Abu Hurairah ra bahwasannya Nabi saw bersabda : apabila kamu bermaksud melakukan shalat maka sempurnakanlah wudlu kemudian menghadap qiblat selanjutnya takbirlah, kemudian baca Al- qur‟an yang mudah bagi kamu, kemudian rukulah kamu sampai tuma‟ninah dalam ruku, kemudian bangkit sampai kamu lurus dalam berdiri, kemudian sujudlah kalian sampai kalian tuma‟ninah dalam sujud, kemudian bangkit sampai kamu tuma‟ninah dalam duduk, kemudian sujudlah kamu Dari Abu Hurairah ra bahwasannya Nabi saw bersabda : apabila kamu bermaksud melakukan shalat maka sempurnakanlah wudlu kemudian menghadap qiblat selanjutnya takbirlah, kemudian baca Al- qur‟an yang mudah bagi kamu, kemudian rukulah kamu sampai tuma‟ninah dalam ruku, kemudian bangkit sampai kamu lurus dalam berdiri, kemudian sujudlah kalian sampai kalian tuma‟ninah dalam sujud, kemudian bangkit sampai kamu tuma‟ninah dalam duduk, kemudian sujudlah kamu

Ibnu Hajar berpendapat dalam kitab Fathul Bari : Hadits tersebut di atas menjadi dalil terhadap diwajibkannya tuma‟ninah dalam shalat termasuk diantara rukun-rukun shalat dan begitu pula

kebanyakan Ulama berpendapat seperti di atas. Adapun masyhurnya Ulama Hanafiyah menegaskan bahwasannya tuma‟ninah dalam shalat hukumnya sunat, dan banyak para pengaran kitab dari ulama

Hanafiyah berpendapat demikian, kecuali Ath-Thahawiyah seperti yang tegas dalam wajibnya tuma‟ninah menurut Hanafiyah.

Dari Hudaifah ra : dia melihat seseorang yang tidak menyempurnakan terhadap ruku dan sujudnya, maka berkata Hudzaifah : kamu tidak termasuk shalat, apabila kamu mati pasti kamu mati dalam keadaan tidak sesuai dengan fitrah yang telah memfitrahkan Allah swt fitrah tersebut kepada Nabi Muhammad saw ( HR. Bukhari, Ahmad, An –Nasai dan lainnya).

Dari Ibnu Mas‟ud ra bahwasannya Nabi Muhammad saw bersabda : apabila kamu ruku salah seorang di antara kamu maka ucapkan :

tiga kali maka sudah sempurna

rukunya dan hal yang demikian adalah termasuk kesempurnaan yang paling bahwah. (HR. At- Tirmidzi, Abu Daud dan ibnu Majah) Dan berkata At-Tirmidzi : adapun pengamalan yang sudah baku adalah pengamalan tersebut di atas menurut para Ulama.

DUDUK TASYAHUD

Dan bahwasannya Nabi saw apabila duduk dalam rakaat yang kedua, beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kakinya yang lain, apabila beliau duduk dalam rakaat akhir, beliau menonjolkan kaki kirinya, menegakkan kaki kanannya dan duduk di atas tempat shalatnya. ( H.R Bukhari dan Muslim ).

Mengenai keterangan hadits tersebut Imam Nawawi berpendapat : Madzhab kami mensunatkan duduk tasyahud awal dengan duduk iftirasy dan dalam tasyahud kedua (terakhir) dengan duduk tawarruk, dan apabila shalatnya dua rakaat maka duduknya tawarruk.

Imam Malik berpendapat bahwa duduk dalam kedua tasyahud dengan duduk tawarruk. Abu Hanifah dan Ats=Tsauri duduk dalam kedua tasyahud dengan duduk iftirasy. Imam Ahmad berpendapat bahwa apabila shalatnya dua rakaat maka duduknya iftirasy dan jika empat rakaat maka duduknya tawarruk.

Dan bahwasannya Nabi saw apabila duduk tasyahud, beliau menyimpan tangan kiri di atas lutut kirinya dan menyimpan tangan kanan di atas lutut kanannya (H.R Muslim)

Dan bahwasannya beliau merenggangkan telapak tangan kirinya dan menepalkan seluruh jari telapak tangan kanan dan memberi isyarat dengan jari sebelah ibu jarinya ke qiblat dan melirik deng an pandangannya kearah tangan kanannya (H.R Muslim, Abu „Awanah dan lainnya)

REDAKSI TASYAHUD YANG PALING SHAHIH

Seluruh kehormatan milik Allah dan seluruh rahmat yang baik, kesalamatan bagi engkau hai nabi, rahmat Allah dan berkah-Nya, keselamatan bagi kami dan bagi hamba-hamba Allah yang shalih, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. (H.R Bukhari dan Muslim da ri Ibnu Mas‟ud) Menurut kebanyakan ulama tasyahud di atas dikenal dengan “Tasyahud Ibnu Mas‟ud).

Kehormatan yang penuh berkah rahmat yang penuh kebaikan hanyalah milik Allah, keselamatan bagi engkau wahai nabi, keselamatan bagi kami dan bagi hamba-hamba Allah yang shalih, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah (H.R Muslim dari Ibnu Abbas) Menurut keanyakan ulama tasyahud di atas dikenal dengan Tasyahud Ibnu Abbas.

Kehormatan yang penuh kebaikan dan penuh rahmat hayalah milik Allah, kesalamatan bagi engkau wahai nabi, keselamatan bagi kami dan bagi hamba-hamba Allah yang shalih, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. (H.R Muslim dari Abu Musa Al- Asy‟ari) (Al-Adzkar An-nawawiyah : 51).

SHALAWAT KEPADA NABI SETELAH TASYAHUD

Dan bahwasannya Nabi saw bershalawat atas dirinya dalam tasyahud (H.R An-Nasai dan Abu „Awanah)

Rasulullah mengajarkan (memberikan contoh) kepada umatnya mengenai shalawat di atas. Dan Rasul memerintahkan bershalawat kepadanya setelah bersalam kepadanya.

Abu Mas‟ud meriwayatkan :

Telah menghadap seorang laki-laki dan duduk di hadapan Rasulullah dan kami berada di dekat beliau, laki-laki itu berkata : Ya Rasulullah adapun mengenai salam kepada mu kami telah mengetahuinya, hanya bagaimana kami barshalawat apabila kami bershalawat kepada mu di dalam shalat kami ? Maka Rasulullah diam, melihat hal seperti itu kami berharap lai-laki itu tidak bertanya lagi. Maka Rasulullah bersabda : Apabila kalian bershalawat kepada ku maka bacalah “ Allahumma shalli ala Muhammad wa ala ali Muhammad kama shallaita ala ibrahim wa ala ali ibrahim wa barik ala Muhammad nabiyyilummiyi kama barakta ala ibrahim wa ala ali ibrahim, innaka hamidum majid (H.R Ahmad dan ini adalah redaksi Ahmad)

Meriwayatkan juga Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Baihaqqi mereka menyatakan shahih terhadap hadits tersebut, begitu pula Ibnu Huzaimah dan Daraqutni. Tidak mengkhususkan hadits di atas untuk salah satu tasyahud, maka di dalam hadits ini terkandung dal il tentang disyari‟atkannya shalawat kepada Nabi dalam tasyahud awal.

Yang memegang pendapat di atas adalah madzhab Syafi‟I, sebagaimana telah menegaskan Imam Syafi‟I dalam kitab Al-Um, dalam pandangan ashab kami bahwa hadits di atas kedudukannya shahih, sebagaimana Imam Nawawi telah menegaskan dalam Al-Majmu dan diperjelas dalam Ar-Raudlah.

Redakasi Shalawat kepada Nabi menurut riwayat yang shahih, diantaranya :

Artinya : Ya Allah Anugrahkanlah rahmat kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana telah Engkau anuugerahkan rahmat kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha terpuji lagi Maha mulia, Ya Allah anugerahkanlah keberkahan kepada Muhammad dan keluarganya sebagaimana telah Engkau Annugerahkan rahmat kepada keluarga Ibrahim (Muttqfaq alaih)

Artinya : Ya Allah Anugerahkanlah rahmat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana telah Engkau anugerahkan rahmat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, Ya Allah anugerahkanlan keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana telah Engkau Anugerahkan keberkahan kepada Ibrahin dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia (Mutafaq alaih)

Artinya : Ya Allah anugerahkanlah rahmat kepada Muhammad dan isteri-isteri beserta keluarganya sebagimana telah Engkau anugerahkan rahmat kepada Ibrahim, dan anugerahkanlah keberkahan kepada Muhammad dan isteri-isteri dan keluarganya, sebagaimana telah Engkau anugerahkan keberkahan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Enkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia ( Mutafaq alaih).

PENAMBAHAN LAFADH SIYADAH DALAM KALIMAT MA‟TSURAH

Berkata Al-Hafidh Al-Gharabili : Al-Hafidh Ibnu Hajar ditanya tentang cara shalawat kepada Nabi saw di dalam shalat maupun diluar shalat. Apakah Nabi saw mensyaratkan di dalam shalawat kepadanya dengan menggunakan kalimat siyadah (Saidina) atau cukup menurut perkataan

‟ ? Dan mana diantara keduanya yang

Rasulullah dengan pengucapan „

lebih afdlal ? apakah dengan mengucapkan kalimat siyadah sebab siyadah merupakan sifat yang tetap bagi Rasulullah atau tidak menyebutkan lafadh siyadah karena tidak disebut dalam atsar ?

Ibnu Hajar menjawab : Mengikuti sesuai dengan bacaan Rasulullah itulah yang lebih kuat dan tidak bisa dinilai bahwa Rasulullah tidak membaca lafadh siyadah merupakan Rasulullah tawadlu dari pengucapan lafadh siyadah, kalau memang benar alasan tersebut merupakan anggapan yang paling kuat, pasti datang lafadh s iyadah itu dari para sahabat dan tabi‟in. Menurut Ibnu Hajar selanjutnya, kami tidak menemukan lafadh siyadah dibacakan oleh satu orang pun dari para sahabat maupun tabi‟in dan mereka tidak pernah meriwayatkannya. Dan dalam hal ini Imam Syafii

(semoga Allah meninggikan derajatnya) yang termasuk orang yang mengagumi Rasulullah saw menulis dalam khutbah kitabnya yang kitab tersebut menjadi pegangan para ahli madzhab Syafi ‟i.

Pada satu saat Al- Qadhi „Iyad pernah melakukan penela‟ahan dan menghitung bab yang berkaitan dengan tata cara shalawat kepada Nabi Muhammad saw dalam kitab „Asy-Syifa”. Dimana dalam kitab tersebut banyak terdapat hadits-hadits marfu‟ah dari golongan shahabat dan tabi‟in namun tidak ditemukan cara bershalawat dari seorang pun diantara mereka yang membaca dengan

lafadh , Memang benar seperti itu tapi ada satu riwayat yang menyebutkan kebiasaan Ibnu Mas‟ud dalam bershalawat sebagai berikut :

Dalam hadits di atas ada lafadh siyadah yang biasa di bacakan oleh Ibnu Mas‟ud, hadits tersebut dikeluarkan oleh Ibnu Majah namun keberadaan isnadnya lemah.

Masalah penambahan lafadh siyadah yang telah dibicarakan di kalangan Fuqaha, tidak ditemukan satu orang pun di antara mereka yang menggunakan lafadh ,

. Seandainya benar penambahan lafadh siyadah dianjurkan, maka para Fuqaha tidak ragu untuk melaksanakan dan tidak

akan melalaikannya. Seluruh kebaikan dalam agama terdapat dalam mengikuti aturan Rasulullah saw (ittiba‟).

Al-Bani mengatakan : Oleh karena itu Imam Nawawi berpendapat dalam kitab Ar-Raudhah juz I halaman 265 : yang paling sempurna dalam bershalawat kepada Nabi Muhammad dengan

mengucapkan dengan tidak menyebutkan lafadh siyadah di dalamnya.

MENSIRKAN (MEMBACA PELAN) BACAAN DUA TASYAHUD

Telah sepakat para Ulama dalam masalah mensirrkan bacaan dua tasyahud (tasyahud awal dan akhir) dan makruh hukumnya apabila dibaca jahar (keras), adapun yang menjadi landasan adalah

hadis Abdullah bin Mas‟ud

Sebagian dari sunnah adalah melembutkan bcaan tasyahud (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)

Hadits tersebut dinialai hadits hasan dan menurut Al-Hakim termasuk hasan shahih dan memenuhi persyaratan Bukhari dan Muslim. Menurut At-Tirmidzi membaca tasyahud dengan lembut adalah kesepakatan para Ulama. DOA SETELAH TASYAHUD AKHIR DAN SEBELUM SALAM

“Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada Mu dari siksa jahannam, dari siksa kubur, dari fitnah hidup dan mati, serta dari pembohong yang mengelabui ” (Mutafaq alaih)