Asuhan Keperawatan Dengan Respiratory Di

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATAN DENGAN RDS
(RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME)
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Matakuliah Keperawatan
Kegawatdaruraatan
Dosen Pembimbing :Suyamto,A.Kep.MPH

Disusun Oleh :
Ira Kartika Sari

(2220111911)

Jeane Stean Christy

(2220111912)

Lia Oktaviani

(2220111913)

Linangkung Feri Cahyaning Tyas


(2220111914)

Mayura Tri Murtisari

(2220111915)

Meiliana Prawitaningrum

(2220111916)

AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO
YOGYAKARTA
September , 2013

A. DEFINISI
Respiratory Distress Syndrome atau RDS adalah suatu keadaan dimana bayi
mengalami kegawatan pernafasan yang diakibatkan kurang atau tidak adanya surfaktan
dalam paru-paru (Nelson, 2000).
Respiratory Distress Syndrome atau RDS Adalah gangguan pernafasan yang
sering terjadi pada bayi premature dengan tanda-tanda takipnue (>60 x/mnt), retraksi

dada, sianosis pada udara kamar, yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam
kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik. Tanda-tanda klinik sesuai dengan besarnya
bayi, berat penyakit, adanya infeksi dan ada tidaknya shunting darah melalui PDA (Stark
1986).
Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila didapatkan
sesak nafas berat (dyspnea ), frekuensi nafas meningkat (tachypnea ), sianosis yang
menetap dengan terapi oksigen, penurunan daya pengembangan paru,adanya gambaran
infiltrat alveolar yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular,
perdarahan, edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi.
Sindrom gawat napas (RDS) (juga dikenal sebagai idiopathic respiratory distress
syndrome) adalah sekumpulan temuan klinis, radiologis, dan histologis yang terjadi
terutama akibat ketidakmaturan paru dengan unit pernapasan yang kecil dan sulit
mengembang dan tidak menyisakan udara diantara usaha napas. Istilah-istilah Hyaline
Membrane Disease (HMD) sering kali digunakan saling bertukar dengan RDS (Bobak,
2005).
Respiratory Distress Syndrome adalah penyakit yang disebabkan oleh
ketidakmaturan dari sel tipe II dan ketidakmampuan sel tersebut untuk menghasilkan
surfaktan yang memadai. (Dot Stables, 2005)
B. ETIOLOGI
RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya produksi

surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, makin muda
usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS. Ada 4 faktor penting
penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal
diabetes, seksio sesaria.. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi

surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara,
sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan
daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas. Gejala tersebut
biasanya muncul segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.
RDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur. Sindrom ini dapat
terjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar paru, sehingga tindakan disesuaikan
dengan penyebab sindrom ini. Kelainan dalam paru yang menunjukan sindrom ini adalah
pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH).
C. PATOFISIOLOGI
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan
oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang
sempurna kerana dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna.
Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi
kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan
paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting

intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan
asidosis respiratorik.
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein ,
lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap
mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan berwarna
kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang
tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga
udara bahagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli
sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus
alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini.
Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma
dan keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial dan epithelial sel jalan
pernafasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari
darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah
lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah

lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami
sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering
berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD).
D. MANIFESTASI KLINIS

Menurut Martin, 1999 manifestasi klinis antara lain :
1. Kesulitan dalam memulai respirasi normal
2. Dengkingan (grunting) pada saat ekspirasi, diamati pada saat bayi tidak dalam
keadaan menangis (disebabkan oleh penutupan glotis) merupakan tanda/indikasi
awal penyakit, berkurangnya dengkingan mungkin merupakan tanda pertama
perbaikan.
3. Refraksi sternum dan interkosta
4. Nafas cuping hidung
5. Sianosis pada udara kamar
6. Respiarasi cepat atau kadang lambat jika sakit parah
7. Auskultasi; udara yang masuk berkurang
8. Edema ekstremitas
9. Pada foto rontgen ditemukan retikulogranular, gambaran bulat-bulat kecil dengan
corakan bronkogram udara.
Kelainan-kelainan fisiologis:
1. Daya

kembang

paru-paru


berkurang

hingga

mencapai

seperlima

sampai

sepersepuluh nilai normal.
2. Daerah paru-paru yang tidak mengalami perfusi luas mencapai 50-60%
3. Aliran darah kapiler pulmonal kurang
4. Ventilasi alveolus berkurang dan usaha nafas meningkat
5. Volume paru-paru berkurang
Perubahan-perubahan ini menyebabkan hipoksemia, seringkali hiperkarbia dan jika
mengalami hipoksemia berat menimbulakan asidosis.

E. KOMPLIKASI

Menurut Nelson, 2000 komplikasi yang dapat terjadi adalah :
1. Acidosis, baik respiratorik atau metabolik
2. Displasia bronchopulmonal
3. Apnoe
4. Merupakan penyabab kematian utama BBL dengan angka 30 % dari semua
kematian neonatus oleh RDS atau komplikasinya.
F. PENATALAKSANAAN
Peran Perawat Terhadap RDS
Setiap bayi dengan gangguan pernafasan memerlukan penangan secara umum berupa :

1. Pemberian oksigen dengan aliran sedang.
2. Bila frekuensi pernafasan kurang dari 30 kali per menit, harus diobservasi ketat. Bila
kurang dari 20 kali per menit setiap saat resusitasi bayi dengan menggunakan balon
sungkup (Alat Balon-Sungkup Alat kantong-sungkup terdiri atas sebuah kantong yang
terhubungkan dengan sebuah sungkup).

3. Bila apnu :
 Stimulasi bayi untuk bernafas dengan menggosok-gosok punggung bayi selama
10 detik.


 Bila belum mulai bernafas resusitasi bayi dengan menggunakan balon dan
sungkup.

4. Indikasi penggunaan balon dan sungkup adalah apnu atau megap-megap, frekuensi
jantung kurang dari 100 kali per menit dan sianosis sentral persisten walaupun diberi
aliran oksigen bebas 100%. Periksa kadar glukosa darah bila kurang dari 45 g/dl, segera
terapi sebagai hipoglikemi.

5. Bila didapatkan tanda-tanda lainya misalnya: kesulitan minum, BBLR, tada-tanda kejang,
sepsis dan lain-lain, usahakan menentukan penyebab gangguan nafas ini sambil
meneruskan pemberian oksigennya.

Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen lanjut sesuai dengan
kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas. Menajemen spesifik atau
menajemen lanjut :

1. Gangguan nafas ringan
Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas ringan pada waktu lahir tanpa
gejala-gejala lain disebut “Transient Tacypnea of the Newborn” (TTN). Terutama terjadi
setelah bedah sesar. Biasanya kondisi tersebut akan membaik dan sembuh sendiri tanpa

pengobatan. Meskipun demikian, pada beberapa kasus. Gangguan napas ringan merupakan
tanda awal dari infeksi sistemik.

2. Gangguan nafas sedang
Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter nasal, bila masih sesak dapat
diberikan o2 4-5 liter/menit dengan sungkup. Bayi jangan diberi minum.

3. Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan gentamisin) untuk terapi
kemungkinan besar sepsis.

 Suhu aksiler 39˚C
 Air ketuban bercampur mekonium
 Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau ketuban pecah dini (>
18 jam).
Bila suhu aksiler 34- 36,5 ˚C atau 37,5-39˚C. tangani untuk masalah suhu abnormal dan
nilai ulang setelah 2 jam. Bila suhu masih belum stabil atau gangguan nafas belum ada
perbaikan, berikan antibiotika untuk terapi kemungkinan besar seposis. Jika suhu normal,
teruskan amati bayi.
Apabila suhu kembali abnormal ulangi tahapan tersebut diatas. Bila tidak ada tanda-tanda
kearah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam

Apabila bayi tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda perburukan setelah 2 jam,
terapi untuk kemungkinan besar sepsis. Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan
kurangai terapi o2secara bertahap . Pasang pipa lambung, berikan ASI peras setiap 2 jam. Jika
tidak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan memakai salah satu cara pemberian minum

Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Bila bayi kembali
tampak kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari, minumbaik dan tak ada alasan bayi
tatap tinggal di Rumah Sakit bayi dapat dipulangkan.

4. Gangguan nafas berat
Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya. Bila dalam pengamatan ganguan
nafas memburuk atau timbul gejala sepsis lainnya. Terapi untuk kemungkinan kesar sepsis dan
tangani gangguan nafas sedang dan dan segera dirujuk di rumah sakit rujukan. Berikan ASI bila
bayi mampu mengisap. Bila tidak berikan ASI peras dengan menggunakan salah satu cara
alternatif pemberian minuman. Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada perbaikan
gangguan napas. Hentikan pemberian O2 jika frekuensi napas antara 30-60 kali/menit.
Penatalaksanaan medis:
Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:

1. Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder

2. Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan caiaran paru
3. Fenobarbital
4. Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen
Perawatan suportif awal bayi terutama penanganan hipoksia, hipotermia, sangat
mengurangi tingkat keparahan RDS :
1. Bayi

ditempatkan

didalam

inkubator

dengan

suhu

didalamnya

dipertahankan 35-36 C.
2. Kalori dan cairan diberikan glukosa 10 % dengan kecepatan 65-75
ml/kg/24 jam
3. Oksigen yang hangat dan dilembabkan dengan kadar yang cukup
4. Bayi dengan RDS yang berat dan apnoe memerlukan bantuan ventilasi
mekanis (pH arteri
60 kali permenit

Pengembangan

dada
2.

simetris.

3.
Irama pernapasan teratur 4.

Tidak ada retraksi dada saat
5.
bernapas
6.
Inspirasi

dalam

tidak

bernapas

tidak

otot

napas

Monitor pergerakan, kesimetrisan dada, retraksi
dada dan alat bantu pernafasan
Monitor adanya cuping hidung
Monitor pola nafas : bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, respirasi kusmaul, apnea
Monitor adanya lelemahan otot diafragma
Auskultasi suara nafas, catat area penurunan dan
ketidak adanya ventilasi dan bunyi nafas

ditemukan
Saat
memakai
tambahan
Bernapas mudah
Tidak ada suara napas
tambahan
3

Hipotermia
b.d
berada
di
lingkungan yang
dingin
Batasan
karakteristik :
Penurunan suhu
tu-buh di bawah
ren-tang normal
Pucat
Menggigil
Kulit dingin
Dasar
kuku
sianosis
Ppengisian
kapiler lambat

Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama …..x 24
1.
jam hipotermia tidak terjadi
dengan kriteria :
2.
Termoregulasi Neonatus
(0801) :
Suhu axila 36-37˚ C
RR : 30-60 X/menit

3.
4.
5.

Warna kulit merah muda
Tidak ada distress respirasi
Tidak menggigil
Bayi tidak gelisah
Bayi tidak letargi

Pengobatan Hipotermi (3800) :
Pindahkan bayi dari lingkungan yang dingin ke
dalam lingkungan / tempat yang hangat (didalam
inkubator atau lampu sorot)
Segera ganti pakaian bayi yang dingin dan basah
dengan pakaian yang hangat dan kering, berikan
selimut.
Monitor gejala dari hopotermia : fatigue, lemah,
apatis, perubahan warna kulit
Monitor status pernafasan
Monitor intake dan output

DAFTAR PUSTAKA

Bobak, Lowdermik. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta : EGC
Leifer, Gloria. 2007. Introduction to maternity & pediatric nursing. Saunders Elsevier : St. Louis
Missouri
Prwawirohardjo, Sarwano. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Mansjoer. (2002). Kapita selekta kedokteran. Edisi III. Jakarta: FKUI.: EGC.
Wong. Donna L. (2004). Pedoman klinis keperawatan pediatrik. Jakarta: EGC.
Kebidanan. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta, 2009