STASE ILMU PENYAKIT PARU karya

STASE ILMU PENYAKIT PARU

TINJAUAN PUSTAKA

PNEUMOTORAKS

LISTIANA MASYITA DEWI, S.Ked
J500 06 0013

PEMBIMBING :

dr. Agus Suharto Basuki, Sp.P

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2011

TINJAUAN PUSTAKA

PNEUMOTORAKS


Oleh :
LISTIANA MASYITA DEWI, S.Ked
J 500 06 0013

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Pembimbing :
dr. Agus Suharto B., Sp.P

( ........................................... )

Dipresentasikan dihadapan :
dr. Agus Suharto B., Sp.P

( ........................................... )

Disahkan Ka Prodi Profesi :
dr. Hj. Yuni Prastyo K, M.MKes


( ........................................... )

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2011
DAFTAR ISI

Halaman Judul …………………………………………………………. i
Halaman Pengesahan ………………………………………………... ii
Daftar Isi ………………………………………………………………… iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................ 1
B. Tujuan Penulisan ........................................................ 2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi ........................................................................ 3
B. Klasifikasi ................................................................... 3
C. Penghitungan Luas Pneumotoraks …………………. 7
D. Gambaran Klinis .......................................................... 8
E. Pemeriksaan Fisik ....................................................... 9
F.

Pemeriksaan Penunjang ............................................. 10

G. Penatalaksanaan ........................................................ 12
H. Pengobatan Tambahan ............................................... 16
I.
BAB III

Rehabilitasi .................................................................. 16

KESIMPULAN .................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 18


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Paru-paru merupakan unsur elastis yang akan mengempis
seperti balon dan mengeluarkan semua udaranya melalui trakea
bila

tidak

ada

kekuatan

pengembangannya. Paru-paru

untuk

mempertahankan

sebenarnya mengapung dalam


rongga toraks, dikelilingi oleh suatu lapisan tipis cairan pleura
yang menjadi pelumas bagi gerakan paru-paru di dalam rongga.
Jadi pada keadaan normal rongga pleura berisi sedikit cairan
dengan tekanan negatif yang ringan

(1)

.

Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas
dalam rongga pleura. Dengan adanya udara dalam rongga pleura
tersebut, maka akan menimbulkan penekanan terhadap paru-paru
sehingga paru-paru tidak dapat mengembang dengan maksimal
sebagaimana biasanya ketika bernapas. Pneumotoraks dapat
terjadi baik secara spontan maupun traumatik. Pneumotoraks
spontan

itu


sendiri

dapat

bersifat

primer

dan

sekunder.

Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik dan
non iatrogenik (2).
Insidensi pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya
banyak yang tidak diketahui. Namun dari sejumlah penelitian yang
pernah dilakukan menunjukkan bahwa pneumotoraks lebih sering
terjadi pada penderita dewasa yang berumur sekitar 40 tahun.
Laki-laki lebih sering daripada wanita, dengan perbandingan 5 : 1
(2)


.
Sesuai perkembangan di bidang pulmonologi telah banyak

dikerjakan pendekatan baru berupa tindakan torakostomi disertai
video (VATS = video assisted thoracoscopy surgery), ternyata

memberikan banyak keuntungan pada pasien-pasien yang
mengalami pneumotoraks relaps dan dapat mengurangi lama
rawat inap di rumah sakit (2).
B. TUJUAN
Tujuan dari penulisan tinjauan pustaka (referat) ini adalah
untuk

mengetahui

definisi

dari


pneumotoraks,

serta

cara

menegakkan diagnosa pneumotoraks secara tepat sesuai jenis
dan

luasnya

pneumotoraks,

karena

berpengaruh pada penanganannya.

hal

tersebut


akan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau
gas di dalam pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena
(3)

.

B. Klasifikasi
Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu (2), (3) :
1. Pneumotoraks spontan
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba.
Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua
jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang

terjadi secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.

b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang

terjadi dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah
dimiliki sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru
obstruktik kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi
paru.
2. Pneumotoraks traumatik,
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma,
baik trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan
robeknya pleura, dinding dada maupun paru.
Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke
dalam dua jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks
yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada
dinding dada, barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang
terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks
jenis inipun masih dibedakan menjadi dua, yaitu :

1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat
tindakan medis karena kesalahan atau komplikasi dari
tindakan tersebut, misalnya pada parasentesis dada,
biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
Adalah

suatu

pneumotoraks

yang

sengaja

dilakukan dengan cara mengisikan udara ke dalam
rongga pleura. Biasanya tindakan ini dilakukan untuk
tujuan

pengobatan,

misalnya

pada

pengobatan

tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk
menilai permukaan paru.

Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu

(4)

:

1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas
terbuka pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan
dengan dunia luar. Tekanan di dalam rongga pleura awalnya
mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif
karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi
tersebut paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada
rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali
negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di
rongga pleura tetap negatif.
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax),
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara
rongga pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia
luar (terdapat luka terbuka pada dada). Dalam keadaan ini
tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada
pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan
tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan
oleh gerakan pernapasan (4).
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu
ekspirasi tekanan menjadi positif

(4)

. Selain itu, pada saat inspirasi

mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi
mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka
(sucking wound) (2).
3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang
positif dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di
pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara
masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan

selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu
ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar

(4)

.

Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin
tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul
dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering
menimbulkan gagal napas

(2).

Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka
pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu

(4)

:

1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada
sebagian kecil paru (< 50% volume paru).

2. Pneumotoraks

totalis,

yaitu

pneumotoraks

sebagian besar paru (> 50% volume paru).

yang

mengenai

C. Penghitungan Luas Pneumotoraks
Penghitungan luas pneumotoraks ini berguna terutama dalam
penentuan jenis kolaps, apakah bersifat parsialis ataukah totalis. Ada
beberapa cara yang bisa dipakai dalam menentukan luasnya kolaps
paru, antara lain :
1. Rasio antara volume paru yang tersisa dengan volume hemitoraks,
dimana masing-masing volume paru dan hemitoraks diukur
sebagai volume kubus (2).
Misalnya : diameter kubus rata-rata hemitoraks adalah 10cm dan
diameter kubus rata-rata paru-paru yang kolaps
adalah 8cm, maka rasio diameter kubus adalah :
83
______

103

512
=

________

= ± 50 %

1000

2. Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal,
ditambah dengan jarak terjauh antara celah pleura pada garis
horizontal, ditambah dengan jarak terdekat antara celah pleura
pada garis horizontal, kemudian dibagi tiga, dan dikalikan sepuluh
(2)

.

% luas pneumotoraks

=

A + B + C (cm)
x 10
3

__________________

3. Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps
dengan luas hemitoraks (4).

(L) hemitorak – (L) kolaps paru
(AxB) - (axb)
_______________
x 100 %
AxB

D. Gejala klinis
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering
muncul adalah (2), (4), (5) :
1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali
sesak dirasakan mendadak dan makin lama makin berat.
Penderita bernapas tersengal, pendek-pendek, dengan mulut
terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan
tajam pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih
nyeri pada gerak pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang
kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10%
pasien, biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.

Berat ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe
pneumotoraks tersebut, (2):
1. Pneumotoraks tertutup atau terbuka, sering tidak berat
2. Pneumotoraks

ventil

dengan

tekanan

positif

tinggi,

sering

dirasakan lebih berat
3. Berat ringannya pneumotoraks tergantung juga pada keadaan paru
yang lain serta ada tidaknya jalan napas.
4. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik bila sesak masih
ringan, tetapi bila penderita mengalami sesak napas berat, nadi
menjadi cepat dan kecil disebabkan pengisian yang kurang.
E. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan

(3), (4)

:

1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper
ekspansi dinding dada)
b.

Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya
tertinggal

c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau
melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang
sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan
tidak menggetar
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila
tekanan intrapleura tinggi

4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai
menghilang
b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni
negatif
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Röntgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto röntgen kasus
pneumotoraks antara lain (6):
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang
kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru.
Kadang-kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis,
akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa
radio opaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini
menunjukkan kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps paru
tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang
dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat,
spatium intercostals melebar, diafragma mendatar dan
tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan jantung atau
trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah
terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang
tinggi.
d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi
keadaan sebagai berikut (3):
1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam
pada tepi jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal
ini terjadi apabila pecahnya fistel mengarah mendekati

hilus, sehingga udara yang dihasilkan akan terjebak di
mediastinum.
2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga
hitam dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan
kelanjutan dari pneumomediastinum. Udara yang tadinya
terjebak di mediastinum lambat laun akan bergerak
menuju daerah yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di
sekitar leher terdapat banyak jaringan ikat yang mudah
ditembus oleh udara, sehingga bila jumlah udara yang
terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan
ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan
belakang.
3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka
akan tampak permukaan cairan sebagai garis datar di
atas diafragma

Foto Rö pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan
dengan anak panah merupakan bagian paru yang kolaps

2. Analisa Gas Darah
Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran
hipoksemi meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak
diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang berat secara
signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.
3. CT-scan thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara
emfisema bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara
dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan untuk membedakan
antara pneumotoraks spontan primer dan sekunder.

G. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk
mengeluarkan

udara

dari

rongga

pleura

dan

menurunkan

kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan
pneumotoraks adalah sebagai berikut :
1. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga
pleura telah menutup, maka udara yang berada didalam rongga
pleura tersebut akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan
meningkat apabila diberikan tambahan O 2. Observasi dilakukan
dalam beberapa hari dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam
pertama selama 2 hari

(2)

. Tindakan ini terutama ditujukan untuk

pneumotoraks tertutup dan terbuka

(4).

2. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus
pneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini
bertujuan untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat
hubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan cara

(2)

:

a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga
pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga
pleura akan berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar
melalui jarum tersebut (2), (4).
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke
dalam rongga pleura, kemudian infus set yang telah
dipotong pada pangkal saringan tetesan dimasukkan
ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat
dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar
dari ujung infus set yang berada di dalam botol

(4)

.

2) Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari
gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan
pada posisi yang tetap di dinding toraks sampai
menembus ke rongga pleura, jarum dicabut dan kanula
tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan
dengan

pipa

plastik

infus

set.

Pipa

infuse

ini

selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air.
Setelah

klem

penyumbat

dibuka,

akan

tampak

gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set
yang berada di dalam botol

(4)

.

3) Pipa water sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke
rongga pleura dengan perantaraan troakar atau

dengan bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar
dapat dilakukan melalui celah yang telah dibuat
dengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada linea
mid aksilaris atau pada linea aksilaris posterior. Selain
itu dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis mid
klavikula.
Setelah troakar masuk, maka toraks kateter
segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian
troakar dicabut, sehingga hanya kateter toraks yang
masih tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya ujung
kateter toraks yang ada di dada dan pipa kaca WSD
dihubungkan melalui pipa plastik lainnya. Posisi ujung
pipa kaca yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm
di bawah permukaan air supaya gelembung udara
dapat dengan

mudah keluar melalui perbedaan

tekanan tersebut (3), (4).
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila
tekanan intrapleura tetap positif. Penghisapan ini
dilakukan dengan memberi tekanan negatif sebesar
10-20 cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat
mengembang.

Apabila

paru

telah

mengembang

maksimal dan tekanan intra pleura sudah negatif
kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji
coba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau
ditekuk selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga
pleura kembali menjadi positif maka pipa belum bisa
dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien
dalam keadaan ekspirasi maksimal (2).

3. Torakoskopi
Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga
toraks dengan alat bantu torakoskop.
4. Torakotomi
5. Tindakan bedah (4)
a. Dengan

pembukaan

dinding

toraks

melalui

operasi,

kemudian dicari lubang yang menyebabkan pneumotoraks
kemudian dijahit
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura
yang menyebabkan paru tidak bias mengembang, maka
dapat dilakukan dekortikasi.
c. Dilakukan

resesksi

bila

terdapat

bagian

paru

yang

mengalami robekan atau terdapat fistel dari paru yang rusak
d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal
dibuang, kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain
di tempat fistel.

H. Pengobatan Tambahan
1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan
ditujukan terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB
paru

diberi OAT, terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran

napas diberi antibiotik dan bronkodilator

(4)

.

2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat

(4)

.

3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah
dapat dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi,
seperti emfisema (3).
I. Rehabilitasi(4)
1. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan
pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya.
2. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau
bersin terlalu keras.
3. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif,
berilah laksan ringan.
4. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan
batuk, sesak napas.

BAB III
KESIMPULAN
Pneumotoraks merupakan suatu keadaan dimana rongga pleura
terisi oleh udara, sehingga menyebabkan pendesakan terhadap jaringan
paru yang menimbulkan gangguan dalam pengembangannya terhadap
rongga dada saat proses respirasi. Oleh karena itu, pada pasien sering
mengeluhkan adanya sesak napas dan nyeri dada.
Berdasarkan penyebabnya, pneumotoraks dapat terjadi baik
secara spontan maupun traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri
dapat bersifat primer dan sekunder. Sedangkan pneumotoraks traumatik
dapat bersifat iatrogenik dan non iatrogenik. Dan menurut fistel yang
terbentuk, maka pneumotoraks dapat bersifat terbuka, tertutup dan ventil
(tension).
Dalam menentukan diagnosa pneumotoraks seringkali didasarkan
pada hasil foto röntgen berupa gambaran translusen tanpa adanya
corakan bronkovaskuler pada lapang paru yang terkena, disertai adanya
garis putih yang merupakan batas paru (colaps line). Dari hasil röntgen
juga dapat diketahui seberapa berat proses yang terjadi melalui luas area
paru yang terkena pendesakan serta kondisi jantung dan trakea.
Pada prinsipnya, penanganan pneumotoraks berupa observasi
dan pemberian O2 yang dilanjutkan dengan dekompresi. Untuk
pneumotoraks yang berat dapat dilakukan tindakan pembedahan.
Sedangkan untuk proses medikasi disesuaikan dengan penyakit yang
mendasarinya.

Tahap

rehabilitasi

pneumotoraks tidak terjadi lagi.

juga

perlu

diperhatikan

agar

DAFTAR PUSTAKA
1.

Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Edisi 9. Jakarta : EGC; 1997. p. 598.

2.

Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus,
Simadibrata. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 1063.

3.

Bowman, Jeffrey, Glenn. Pneumothorax, Tension and Traumatic.
Updated: 2010 May 27; cited 2011 January 10. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/827551

4.

Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya : Airlangga University Press; 2009. p. 162-179

5.

Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax
(Collapsed Lung). Cited : 2011 January 10. Available from :
http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm

6.

Malueka, Rusdy, Ghazali. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta :
Pustaka Cendekia Press; 2007. p. 56