Kelompok 6 Sejarah Perkembangan Filologi

SEJARAH PERKEMBANGAN FILOLOGI
DI INDONESIA
Diajukan sebagai salah satu syarat kelengkapan tugas presentasi kelompok untuk
Mata Kuliah Filologi yang diampu oleh:
Dr. Dedi Supriadi, M.Hum.

Oleh Kelompok 6:
M. Aziz Hakim

(1145020076)

Ranny Buggy W.R. (1145020113)
Wahidatul Wafa

(1145020164)

Wika Kurnia

(1145020166)

KELAS VI - C


JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2017

Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam, atas segala limpahan
karunia-Nya yang tak pernah terputus dan pandang buluh, khususnya bagi kami
sehingga bisa menyelesaikan makalah ilmu filologi yang bertajuk, “Sejarah
Perkembangan Filologi di Indonesia” ini tepat pada waktunya. Shalawat serta
salam semoga selamanya tercurah pada junjungan alam Muhammad SAW, yang
telah menuntun manusia ke jalan kebenaran atas izin-Nya. Juga yang telah
menyampaikan perintah-Nya untuk manusia belajar dari mana saja dan di
antaranya belajar dari masa lalu. Karena masa lalu menyimpan banyak
pengetahuan yang layak untuk dijadikan pembelajaran di masa mendatang.
Filologi bukanlah ilmu yang baru tumbuh kemarin. Sebagai sebuah
metode, filologi telah ada bahkan sejak abad sebelum masehi. Filologi memiliki
track record yang cukup panjang hingga menjadi sebuah disiplin ilmu seperti saat

ini. Track record inilah yang kita sebut dengan sejarah perkembangan.
Di Indonesia ilmu ini juga dikenal di kalangan akademis dan pihak-pihak
tertentu yang memusatkan perhatian pada naskah-naskah kuno. Padahal Indonesia
bukan negara induk semang munculnya ilmu ini. oleh karena itu tentu ada kisah
tertentu hingga akhirnya Indonesia juga mengenal ilmu ini. Bahasan inilah yang
akan dibahas dalam makalah ini.
Perkembangan filologi di Indonesia tidak terlepas dari sejarah Indonesia di
masa lampau yang kebudayaannya sangat dipengaruhi kebudayaan etnis lain yang
masuk dan berkembang di Indonesia. Oleh karena itu makalah ini akan mengulas
perjalanan perkembangan filologi di Indonesia, mulai dari bagaimana awal mula
adanya naskah kuno nusantara, hingga berlanjut pada seperti apa kegiatan filologi
terhadap naskah nusantara tersebut hingga saat ini.
Dari sejarah kita belajar kearifan. Semoga makalah ini menjadi salah satu
pemancing perhatian untuk siapa saja yang tertarik dengan naskah-naskah kuno

1

dan ikut menguak kearifan yang tersimpan dalam naskah-naskah kuno tersebut
sehingga bisa memahami kebudayaan masyarakat yang ada pada masa tersebut.
Segala bentuk kritik dan masukan yang membangun sangat kami harapkan

demi perbaikan makalah ini. Semoga lebih bermanfaat.
Cibiru, Februari 2017
Tim Penulis

2

Daftar Isi
Kata Pengantar..........................................................................................................i
Daftar Isi.................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1.

Latar Belakang..........................................................................................1

1.2.

Rumusan Masalah.....................................................................................2

1.3.


Tujuan........................................................................................................2

BAB II ISI................................................................................................................3
2.1.

Khazanah Naskah dan Telaah Naskah Nusantara.....................................3

2.1.1.

Periode Pra-Abad 14 M......................................................................3

2.1.2.

Periode Abad 14-19 M.......................................................................4

2.1.3.

Periode Abad 19 M-Sekarang............................................................7

2.2.


Perkembangan Studi Filologis di Indonesia..............................................9

2.2.1.

Fase Awal: Inventarisasi dan Pencatatan Naskah...............................9

2.2.2.

Fase Lanjutan: Kajian Kebahasaan, Penerjemahan, Hingga Telaah

Filologis..........................................................................................................11
2.2.3.

Ilmu Filologi Saat Ini.......................................................................14

BAB III PENUTUP...............................................................................................15
Bibliografi..............................................................................................................17

3


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Indonesia adalah negara kaya yang gemah ripah loh jinawi. Ungkapan

tersebut merupakan sebuah semboyan yang menggambarkan negara Indonesia
yang kekayaannya berlimpah. Mulai dari pertambangan, perkebunan yang
beragam, buah-buahan produk lokal yang mendunia, pertanian, peternakan,
hingga perikanan yang melimpah ruah.
Di samping kekayaan alamnya yang melimpah, Indonesia juga
mewariskan kekayaan berharga lainnya. Sejarah perjalanan bangsa Indonesia
zaman dulu, sejak masa penyebaran agama Hindu-Budha, Islam, hingga mulai
masuknya penjajahan kolonial ke Indonesia ternyata meninggalkan peninggalan di
antaranya berupa manuskrip-manuskrip (naskah kuno) yang sampai hari ini
diminati para peneliti naskah tak hanya dari Indonesia namun para peneliti dari
luar negeri. Bahkan kegiatan meneliti manuskrip ini –dalam pengertian yang

paling sederhana- pertama kali dimulai oleh para sarjana Kolonial atau Eropa.
Sejak sebelum abad 14, Indonesia telah mengenal dunia tulisan. Budaya
ini ditularkan oleh kebudayaan Hindu dan Budha yang memang telah lebih dulu
mengenal dunia tulis menulis. Ini dibuktikan dengan ditemukannya manuskrip
dari abad sebelum abad 14 yang bercorak Hindu-Budha yang kental. Bahasa
Sanskerta dengan aksara Pallawa-nya banyak ditemukan dalam manuskrip, seperti
naskah kuno Undang-Undang Tanjung Tanah yang berasal dari abad 14. Ketika
agama Islam mulai masuk ke Indonesia, peninggalan serupa juga banyak
ditemukan. Manuskrip-manuskrip ini berisi tulisan atau salinan dari kitab suci AlQur’an, kitab-kitab keagamaan seperti fiqih, tafsir, tauhid, tasawuf. Selain itu juga
ditemukan kitab atau lembaran-lembaran naskah kuno yang berisi tentang
perdagangan, pengobatan, hukum, dll. Corak Islam terlihat dari bahasa Arab dan
tulisan Arab dalam manuskrip. Baik tulisan dengan bahasa Arab asli, ataupun
Arab-Melayu, Arab-Jawa, Arab Sunda, dsb. Pada abad 19 bangsa Kolonial
1

Belanda mulai masuk dan menjajah Indonesia. Kedatangan penjajah ke Indonesia
juga dibarengi dengan usaha penyebaran agama Kristen kepada pribumi. Salah
satu penyebaran agama kristen itu ditandai dengan usaha menyebarkan Alkitab
dengan bahasa pribumi agar bisa menarik perhatian. Dalam abad ini ditemukan
manuskrip berupa terjemahan bibel ke dalam bahasa Melayu, Jawa, dsb. Pada

masa modern, peninggalan-peninggalan manuskrip ini diteliti oleh para sarjana
dan peneliti.
Penelitian terhadap manuskrip ini lalu dikenal dengan istilah filologi. Para
filolog meneliti manuskrip (manuscript – MS atau dalam bentuk jamak MSS) dari
beberapa aspek seperti wujud penampakan manuskrip, aksara yang tertulis dalam
manuskrip, ataupun juga aspek isi atau makna yang terkandung dibalik aksara
yang dicoba pahami dalam manuskrip tersebut.
Atas dasar fakta di atas, menyingkap sejarah perkembangan filologi di
Indonesia menjadi menarik untuk dipelajari. Terlebih diketahui banyaknya
manuskrip peninggalan sejarah nusantara yang menarik minat para filolog untuk
selanjutnya diteliti.

1.2.

Rumusan Masalah
Dari kilas sejarah Indonesia di atas, kiranya penting mengulas dengan

lebih jelas mengenai sejarah perkembangan filologi di Indonesia. Sehingga timbul
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan khazanah naskah nusantara?

2. Bagaimana perkembangan filologi di Indonesia?

1.3.

Tujuan
Rumusan masalah di atas diambil sebagai penarikan benang merah dari

bahasan mengenai ilmu filologi dengan tujuan:

2

1. Mengetahui seperti apa perkembangan khazanah naskah nusantara yang
menjadi manuskrip yang diteliti filolog.
2. Mengetahui jalan perkembangan studi filologi terhadap manuskrip

nusantara di Indonesia.

3

BAB II

ISI

2.1.

Khazanah Naskah dan Telaah Naskah Nusantara
Berdasarkan kurun waktu dan juga dengan tujuan memudahkan

pembahasan, perkembangan pernaskahan nusantara dibagi ke dalam tiga periode,
yaitu periode sebelum abad 14 M, periode abad 14-19 M, dan periode abad 19 M
hingga sekarang.

2.1.1. Periode Pra-Abad 14 M
Indonesia sudah mengenal tradisi tulis sejak abad ke-4, yaitu sejak
ditemukannya prasasti Yupa di Kalimantan Timur 1. Tulisan sejak abad ini pada
umumnya ditulis di atas batu, logam yang berupa prasasti.
Indonesia termasuk salah satu negara yang telah mengalami beberapa kali
pergantian kebudayaan yang mendominasi hampir seluruh bagian wilayahnya,
terutama wilayah-wilayah yang menjadi daerah kekuasaan kerajaan-kerajaan
besar yang pernah ada, seperti kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Samudera Pasai,
Demak, dsb.

Berdiri sejak abad ke-7 M, kerajaan Sriwijaya segera menjadi pusat
kebudayaan agama Budha di Indonesia yang kekuasaannya tersebar bahkan
hingga ke wilayah Kambodja. Kerajaan Sriwijaya memiliki peradaban yang maju
di banyak bidang. Pengaruh agama Budha yang kuat tercermin tak hanya dalam
kehidupan sosial rakyatnya dan ritual peribadatannya, namun juga tercermin pada
bentuk bangunan, bahasa, hingga aksara yang digunakan. Sebelumnya, rakyat asli
Indonesia belum mengenal tulisan. Mereka lebih mengandalkan kebudayaan lisan
sejak zaman nenek moyang. Namun ketika kerajaan Sriwijaya berkuasa, bahasa
1 Dikutip dari Pendahuluan Proposal Acara Festival Naskah Nusantara 14-17 September
2015 dari laman http://festivalnaskahnusantara.perpusnas.go.id/ diakses pada 10-02-2017

4

Melayu Kuno dan Sanskerta mulai dikenal dan digunakan oleh pihak kerajaan dan
rakyat. Lebih dari itu, Sriwijaya juga menjadi pusat pembelajaran agama Budha
dan bahasa Sanskerta yang terkenal hampir di seluruh kawasan Asia. 2 Sehingga
tidak mengherankan berbagai teks yang muncul pada masa kerajaan Sriwijaya ini
banyak dipengaruhi oleh agama Budha dengan bahasa Sanskerta dan ditulis
menggunakan aksara Pallawa.
Selain bahasa Sanskerta, bahasa Melayu Kuno, Jawa Kuno, dan Kawi juga
berkembang pesat pada masa ini. Namun bahasa Sanskerta masih menjadi salah
satu bahasa terpenting bagi kalangan cendekiawan dan agamawan baik di pusat
kerajaan di Sumatera, juga berkembang di Jawa dan Bali.
Ekspansi kerajaan Sriwijaya ke berbagai wilayah termasuk ke wilayah
pulau Jawa dan Bali juga meninggalkan jejak kebudayaannya. Hingga abad ke-10
M, pengaruh agama Hindu-Budha di pulau Jawa sangat kuat. Hal ini dibuktikan
dengan banyaknya ditemukan naskah sastra dan agama yang ditulis dengan
bahasa Jawa Kuno, Jawa Tengahan, dan juga bahasa Sanskerta yang ditulis di atas
daun lontar. Tradisi ini bahkan berlanjut hingga abad ke-15 M. Di pulau Bali,
yang naskah tertuanya diketahui berasal dari abad ke-16 atau awal abad ke-17
(Hinzler, 1993 dalam Fathurahman, 2015:42), tradisi menulis di atas lontar ini
juga masih berlanjut hingga masa modern.

2.1.2. Periode Abad 14-19 M
Sebelum dan menjelang memasuki abad ke-14, Islam mulai masuk ke
Indonesia. Agama ini salah satunya dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, India
yang datang ke kawasan Nusantara dengan niat awal untuk berdagang. Sambil
berdagang, para pendatang dari Gujarat ini juga menyebarkan agama Islam dan
segera berkembang dengan pesat.

2 Oman Fathurahman, Filologi Indonesia: Teori dan Metode, (Jakarta, Prenadamedia
Group, 2015), h.41

5

Fathurahman (2015:42) menerangkan bahwa salah satu perubahan penting
dalam sejarah dan tradisi tulis naskah Indonesia adalah pada abad 13 M ini Islam
dan kebudayaannya sudah mulai masuk dan tersebar di Indonesia, namun jejakjejak kebudayaan pra-Islam masih bisa ditemukan. Pada abad ke-14 penulisan
naskah Melayu dengan menggunakan aksara Jawa Kuno masih mendominasi.
Seperti naskah Undang-Undang Tanjung Tanah yang setelah diuji karbon
diketahui berasal dari antara tahun 1304 dan 1436 M. Naskah ini pertama kali
diuji oleh Voorhoeve (1941) dan Uli Kozok (2006). Di dalamnya, aksara yang
digunakan masih menggunakan aksara pasca-Pallawa atau aksara Malayu yang
ditulis di atas kertas lokal deluang. Ini membuktikan bahwa naskah ini tidak
berbau corak Islam meski hasil penelitian menunjukkan naskah tersebut berasal
dari abad ketika Islam mulai tersebar di pelosok Nusantara. Naskah tersebut juga
dapat dianggap sebagai salah satu dari sedikit naskah terakhir yang bercorak
Hindu-Budha, karena naskah-naskah yang muncul setelahnya lebih didominasi
oleh naskah-naskah yang bercorak Islam dengan menggunakan bahasa Arab dan
aksara Arab sebagai tulisannya, atau bahasa Jawa yang ditulis dengan aksara Arab
(Arab Melayu) dan mayoritas beralaskan kertas Eropa (Fathurahman, 2015:43).

Undang-Undang Tanjung Tanah (Sumber: Google)

6

Bahasa Arab masuk ke Nusantara dan mengalami lokalisasi atau
pribumisasi agar bisa menarik pengikut dan diterima masyarakat Nusantara.
Pengaruh dari akulturasi ini pada budaya tulis Nusantara di antaranya muncul
aksara Pegon, yaitu huruf Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Jawa,
bahasa Sunda, dan bahasa lainnya (modified Arabic’s Script).
Pesatnya penyebaran agama Islam di Nusantara juga menjadi salah satu
sebab pesatnya kebudayaan Islam yang di satu sisi membuat kebudayaan HinduBudha yang sebelumnya sempat berkuasa semakin tergeser. Begitu pun dalam
budaya tulis, penulisan menggunakan aksara Pallawa dengan bahasa Sanskerta
semakin jarang ditemukan. Produksi naskah pada abad ini lebih didominasi oleh
produksi naskah bercorak Islam.
Pada abad ke-16, tepatnya tahun 1511 M, Portugis datang dan mulai
menjajah Indonesia. Kedatangan Portugis ini juga membawa akulturasi
kebudayaan kepada Indonesia selain juga penyebaran agama Kristen di pulau
Jawa. Selain itu Portugis juga menyumbang beberapa pembendaharaan kata pada
bahasa Indonesia yang sekarang dikenal. Perlahan penulisan aksara dengan aksara
latin juga mulai menyebar. Kedatangan Portugis diikuti pelayaran Belanda yang
dipimpin oleh Cornelis de Houtman pada tahun 1595 yang mulanya bertujuan
mencari sumber rempah-rempah. Rombongan pelayaran ini tiba di Banten pada
tahun 1596.
Pada Abad ke-16 ada sebuah kebiasaan di antara bangsa Barat terutama
benua Eropa dan wilayah Laut Tengah di bidang perdagangan. Selain
perdagangan rempah-rempah, perdagangan naskah kuno atau manuskrip juga
dianggap membawa keuntungan yang besar (Reynold dan Wilson, 1975 dalam
Baried, 1985: 43)3. Mengetahui nusantara yang juga kaya akan warisan naskah
kuno membuat bangsa Kolonial juga tertarik untuk mengumpulkan naskah-naskah
kuno Nusantara. Para kolektor naskah akan membeli dari para pedagang yang
telah mengumpulkan naskah-naskah tersebut dari perorangan ataupun dari
3 Siti Baroroh Baried, dkk., Pengantar Teori Filologi (Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985)

7

lembaga-lembaga yang mengoleksi naskah-naskah kuno seperti pesantren atau
kuil. Naskah ini seterusnya berpindah tangan ke tangan kolektor Eropa dan terus
berpindah karena dijual atau dihadiahkan kepada seseorang atau lembaga lainnya
Seperti halnya koleksi naskah Nusantara yang dimiliki Thomas Erpenius –seorang
orientalis kenamaan dari Leiden- jatuh ke tangan perpustakaan Universitas
Oxford, dan juga koleksi naskah Nusantara yang sebelumnya dimiliki William
Laud –uskup besar Canterbury- dihadiahkan kepada perpustakaan Bodeian di
Oxford (Ricklefs, 1977 dalam Baried, 1985)4
Selain oleh para pedagang Barat, para penginjil juga mengambil bagian
dalam telaah naskah Nusantara. Seperti pada tahun 1629 yaitu kurang lebih tiga
puluh tahun setelah kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia, Jan Jacobz
Palenstein menerbitkan terjemahan Alkitab dalam bahasa Melayu dengan
penerjemahnya Albert Cornelisz Ruyl. Penginjil lain yang terkenal adalah Dr.
Melchior Leijdecker (1645-1701) yang menulis terjemahan Alkitab dalam bahasa
Melayu tinggi atas perintah dari dewan gereja Belanda. Namun belum sempat
karyanya rampung, ia meninggal, sehingga penyelesaian terjemahan Alkitab ini
dilanjutkan oleh penginjil lain bernama Petrus van den Vorm (1664-1731).
Selain Leijdecker, ada juga pendeta yang menaruh minat yang cukup besar
terhadap bahasa Melayu dan merupakan lulusan Teologi dari Universitas Leiden,
Francois Zalentijn (1666-1727). Dia pernah menyusun sebuah buku yang berjudul
Oud en Nieuw Oost-Indien, vervattende een nauukeurige en uitvoerige
verhandelinge van Nederlandse mogentheyd in die gewesten (1726). Di dalam
karangannya ini terdapat judul-judul karangan dalam naskah-naskah nusantara
yang dia ketahui. Karena kemahirannya berbahasa Melayu, selain buku tersebut,
ia juga menulis buku tata bahasa Melayu yang baik, dan juga kamus (Teeuw, 1975
dalam Baried, 1985)5. Selain itu, nama G.H. Werndly juga dikenal sebagai
penginjil yang menguasai bahasa Melayu. Pada tahun 1736 dia menyusun sebuah
buku yang berjudul Maleische Boekzaal yang didalamnya terdapat lampiran 69
4 Siti, Pengantar, hlm 43
5 Siti, Pengantar, hlm. 45

8

judul naskah Melayu. Pemahamannya akan naskah Nusantara dibuktikan dengan
adanya catatan ringkasan isi naskah beserta lampiran tersebut meskipun singkat.

2.1.3. Periode Abad 19 M-Sekarang
Pada abad ini kolonial sedang berkuasa di Indonesia. Mulanya bangsa
Belanda datang ke Indonesia hanya untuk mencari rempah-rempah. Namun
setelah Portugis hengkang, alih-alih menjadi sahabat baik bagi masyarakat.
Melihat Indonesia yang merupakan sumber rempah-rempah, Belanda malah
berniat untuk menguasai wilayah ini. Hingga akhirnya menjajah selama lebih dari
3,5 abad.
Lamanya

bangsa

Kolonial

menjajah

juga

membawa

perubahan

kebudayaan yang signifikan. Kebudayaan Islam yang sebelumnya sudah kental di
masyarakat perlahan tersisih dan tertekan kehadirannya oleh kebudayaan Barat
yang dibawa penjajah. Kegiatan penyebaran agama Kristen juga semakin kuat.
Belanda banyak mengirimkan pendeta-pendeta ke hampir seluruh wilayah
Indonesia. Para pendeta ini berusaha menyebarkan Alkitab kepada pribumi.
Pada saat itu rakyat Indonesia masih sering menggunakan aksara Arab atau
pegon. Oleh karena itu, untuk menarik hati rakyat, para pendeta tersebut
mempelajari bahasa rakyat dan membuat Alkitab dalam bahasa pribumi agar
mudah dipahami. Untuk bisa memahami bahasa pribumi itu, mereka mempelajari
bahasanya dari manuskrip-manuskrip atau naskah kuno yang ada. Lalu kemudian
diaksarakan menggunakan aksara latin. Sebagian ada juga yang sampai membuat
kamus bahasa pribumi ke bahasa Belanda atau sebaliknya.
Semasa penjajahan, Belanda sempat mendirikan VOC. Sebuah badan yang
bergerak di bidang persekutuan dagang yang memiliki monopoli untuk
perdagangan di daerah Asia6. Badan ini juga sebenarnya merupakan jalan tengah
yang ditempuh Belanda untuk menangani persaingan tidak sehat antar perusahaan
6 Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), dikutip dari laman:
https://id.wikipedia.org/wiki/Vereenigde_Oostindische_Compagnie diakses pada 10-02-2017

9

yang berusaha menguasai perdagangan terutama ke Nusantara. Namun setelah
198 tahun berdiri, VOC mengalami penurunan dan akhirnya bangkrut dikarenakan
korupsi yang justru terjadi di badan internal sendiri. Melemahnya VOC ternyata
juga berdampak pada menurunnya minat mempelajari bahasa dan naskah
Nusantara. Melihat hal tersebut, usaha pengajaran dan penyebaran Alkitab
selanjutnya diteruskan oleh Zending dan Bijbelgenootschap. Namun karena
berbagai kendala, lembaga ini akhirnya mengutus penginjil bernama G. Bruckner
ke Jawa pada tahun 1814. Tugasnya ialah menyebarkan Alkitab kepada
masyarakat Jawa. Oleh karena itu ia mempelajari bahasa Jawa terutama dari
naskah-naskah Jawa. Karena kemahirannya, ia berhasil menerjemahkan dan
menyusun Alkitab yang ditulis dalam huruf Jawa.
Karena prestasinya ini sebuah lembaga penginjil Belanda yang bernama
Nederlandsche Bijbel Genootschap (NBG) berpendapat bahwa para Zending
(penginjil) yang dikirimkan ke Nusantara harus menguasai bahasanya. Sehingga
dibuatlah keputusan yang isinya keharusan melaksanakan studi singkat akademik
Penetapan keputusan ini mendapat respons positif dari Negara Belanda karena
keuntungan yang dihasilkan. Keuntungan tersebut berupa adanya lembaga yang
bisa memberikan pengajaran bahasa kepada para pegawai sipil Belanda di
Nusantara sehingga para kompeni (sebutan bagi tentara Belanda) bisa berbaur
dengan rakyat Nusantara. (Lubis, 2007)7.
Apa yang dilakukan NBG tentunya hanya pada penerjemahan naskahnaskah Nusantara ke dalam bahasa asing terutama bahasa Belanda tanpa
melakukan telaah secara filologis. Namun hal inilah yang justru mendorong minat
para sarjana dan filolog untuk memulai telaah teks atau studi secara filologis
terhadap naskah-naskah Nusantara yang melimpah.

7 Nabilah Lubis, Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi (Jakarta: Yayasan Media
Alo Indonesia, 2007), hlm.54-55

10

2.2.

Perkembangan Studi Filologis di Indonesia
Berdasarkan kegiatan yang dilakukan para sarjana Kolonial dan Eropa

secara filologis terhadap naskah Nusantara, studi filologis di Indonesia dibagi ke
dalam dua fase, fase awal yang berupa kegiatan inventarisasi dan pencatatan
naskah, lalu fase lanjutan yaitu kegiatan kajian kebahasaan, penerjemahan, hingga
studi filologis.

2.2.1. Fase Awal: Inventarisasi dan Pencatatan Naskah
Aktivitas awal studi naskah Indonesia ditandai dengan dimulainya
kegiatan inventarisasi dan pencatatan naskah sejak abad ke-17. Fathurahman
(2015) menegaskan bahwa pada fase awal ini kegiatan pengkajian naskah
memang belum terlalu menonjol. Seperti belum adanya kajian isi teks secara
mendalam, kajian linguistik dalam naskah, dan penerjemahan serta studi filologis.
Pegiat dalam fase ini pun masih terbatas pada sarjana-sarjana yang terutama
berasal dari Eropa.
Dr. Melchior Leijdecker (1645-1701), juga pernah menyusun daftar naskah
Nusantara bersama C. Mutter pada tahun 1696 di Batavia (nama lama kota
Jakarta). Daftar naskah ini disebut-sebut sebagai publikasi pertama dari usaha
pengumpulan dan pendokumentasian naskah-naskah Nusantara. Naskah-naskah
yang inventarisasikan merupakan koleksi dari seorang perwira asal Prancis, Isaac
de Saint-Martin yang telah meninggal pada bulan April di tahun yang sama,
sebulan menjelang diterbitkannya publikasi tersebut. Jumlah naskah dalam
koleksi ini mencapai 89 naskah, yang 60 naskah di antaranya berbahasa Melayu.
Setelah kegiatan inventarisasi tersebut, semakin bermunculan kegiatan
inventarisasi lainnya. Lebih lanjut, daftar naskah tersebut dibuat dalam bentuk
katalog yang isinya pun semakin lengkap. Karena semakin banyaknya yang
membuat daftar naskah, beberapa sarjana juga memodifikasi tulisan yang dibuat
berkaitan dengan naskah Nusantara. Tak hanya berbentuk daftar naskah atau

11

katalog tetapi juga berupa resensi yang di dalamnya memuat informasi mengenai
semua daftar naskah yang pernah disusun. Seperti karya Henri Chambert-Loir
misalnya, Catalogue des Catalogues de manuscripts Malaise yang diterbitkan
dalam jurnal Archipel 20, (1980): 45-69. Selain berisi daftar naskah, juga berisi
resensi atas semua daftar naskah dan katalog Melayu yang terbit sebelum tahun
1980.
Selain kelompok bahasa Melayu, ada pula kelompok naskah Jawa seperti
yang disusun oleh Willem van der Molen, A Catalogue of Catalogues of Javanese
MSS yang diterbitkan dalam jurnal Caraka No.4, (April 1984): 12-49. Katalog ini
dianggap yang paling akurat pada masanya yang memuat semua katalog naskah
Jawa dalam periode sebelum tahun 1980.
Sementara itu untuk koleksi naskah dan katalog semua bahasa di
Indonesia, di antaranya yang paling lengkap adalah yang ditulis oleh ChambertLoir & Fathurahman pada tahun 1999 dengan judul Khazanah Naskah: Panduan
Koleksi Naskah Indonesia Sedunia. Di dalamnya memuat hampir seribu daftar
naskah dan katalog yang pernah disusun sampai akhir tahun 1990an dan tidak
hanya dalam bahasa Melayu atau Jawa, tapi seluruh bahasa yang ada di Indonesia
mulai dari Aceh, Bali, Batak, Belanda, Bugis-Makassar-Mandar, Jawa dan Jawa
Kuno, Madura, Melayu, dsb hingga bahasa yang ada di Indonesia bagian timur. 8
Buku ini juga disertai dengan Indeks Lembaga Penyimpanan Naskah, Judul
Majalah Rujukan, dan Bibliografi semua daftar dan katalog naskah yang dirujuk.
Setelah terbitnya Khazanah Naskah tersebut, terbit juga sejumlah katalog
yang memuat judul-judul baru yang baru diketahui. Sejumlah katalog tersebut
ditulis oleh sarjana baik dalam maupun luar negeri.

8 Oman, Filologi, hlm.47

12

2.2.2. Fase Lanjutan: Kajian Kebahasaan, Penerjemahan, Hingga Telaah
Filologis
Kegiatan mengkaji dan menerjemahkan kandungan isi naskah bisa
terbilang baru, yaitu sejak abad 18 M 9. Kegiatan ini pun tidak dilakukan oleh
sarjana pribumi, melainkan oleh bangsa Eropa, terutama Belanda dan Inggris 10
yang awalnya hanya melakukan ekspansi politik dan perdagangan ke wilayah
Hindia Timur. Para sarjana tersebut di antaranya adalah tenaga misionaris dan
zending yang sebelumnya telah dibekali pengetahuan linguistik (kebahasaan) oleh
NBG. Pendidikan kebahasaan ini sangat penting bagi para misionaris untuk
memahami bahasa Melayu sebagai media dakwah mereka. Dengan bekal
kebahasaan yang dimiliki, mendorong para sarjana tersebut untuk mempelajari
bahasa yang terdapat dalam naskah-naskah Nusantara. Dengan sendirinya pula
pengkajian terhadap naskah ini berlanjut menjadi penerjemahan Alkitab ke dalam
bahasa Melayu. Hal ini menjadi kepentingan tersendiri bagi mereka untuk bisa
berkomunikasi langsung dengan pribumi dan bisa mengajarkan Alkitab dengan
mudah.
Selanjutnya pada abad 19, para ahli filolog Eropa mulai berupaya untuk
menyunting, membahas, serta menganalisis isinya. Namun penyunting pada masa
itu masih sedikit sehingga lebih diarahkan untuk menyunting bahasa Melayu dan
Jawa saja.
Hasil penyuntingan teks pun mulanya disajikan dalam huruf aslinya seperti
huruf Jawa dengan disertai pengantar singkat tanpa analisis isi seperti Ramayana
Kakawin oleh H. Kem (1900) dan

Syair Bidasari oleh van Hoevell (1843).

Selanjutnya muncul pula hasil suntingan naskah yang telah ditransliterasi ke
dalam huruf Latin, seperti karya R.Th.A. Friederick, Wrettasantjaja (1849),
Arjoena-Wiwaha (1850), dan Bomakawya (1850). Perkembangan selanjutnya,
muncul hasil suntingan naskah yang disertai dengan terjemahan bahasa asing,
terutama Belanda, seperti Sang Hyang Kamahayanikam (1910) oleh J. Kats.
9 Oman, Filologi, hlm.49
10 Siti, Pengantar, 46

13

Memasuki abad 20 baru muncul hasil suntingan naskah yang disertai terjemahan
dalam bahasa Inggris dan Belanda, seperti Sejarah Melayu oleh Leyden (1821).
Memasuki abad 20 juga, pegiat-pegiat naskah dari kalangan pribumi mulai
bermunculan. Yang pertama kali merintis ialah Hoesein Djajaningrat dengan
karyanya Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (1913) dan
Poerbatjaraka dengan karyanya di antaranya Arjuna-Wiwaha (1926) (Baried 1994
dalam Fathurahman, 2015: 52). Karakter penelitian filologi pada masa ini lebih
menekankan pada teori filologi murni, seperti kritik teks dan penerjemahannya 11.
Penerapan kritik teks ini ternyata menghasilkan suntingan naskah yang lebih baik
dari sebelumnya.12
Fathurahman (2015:52) juga menerangkan bahwa setelah tahun 1965,
minat para sarjana pribumi untuk mengkaji naskah semakin besar. Pada masa ini
juga mulai terjalin mulai terjalin berbagai kerja sama penelitian antara perguruan
tinggi Indonesia dengan sejumlah institusi di luar negeri. Karakter penelitiannya
pun semakin beragam. Seperti yang diterangkan Lubis (2007:57) bahwa pada
abad 20 ini studi naskah Nusantara sudah mulai dirintis dengan analisa
berdasarkan ilmu sastra (Barat). Ilmu sastra atau teori sastra ini seperti analisa
struktur (teori strukturalisme), intertekstualisme, resepsi, beserta tokoh-tokohnya.
Seperti penelitian menggunakan teori strukturalisme atas Hikayat Sri Rama
(1979) oleh Achadiati Ikram, atau penggunaan pendekatan intertekstualisme atas
Tambo Minangkabau (1991) oleh Edwar Djamaris. Lalu yang menggunakan
pendekatan teori resepsi seperti Hikayat Iskandar Zulkarnain: Suntingan Teks dan
Analisis Resepsi oleh Soeratno (1988).
Selain itu, pengkajian naskah Nusantara tidak berhenti pada naskah sastra
saja, melainkan naskah keagamaan dan sejarah baik yang berbahasa Melayu
ataupun Arab Pegon. Seperti penelitian yang dilakukan Amir Fatah (1997) yang
meneliti

naskah

tasawuf

Melayu

al-Hikam

strukturalisme.
11 Oman, Filologi, hlm.52
12 Nabilah, Naskah, hlm.56

14

dengan

pendekatan

teori

Pendekatan lain yang juga telah berkembang dan digunakan dalam
penelitian filologi ialah pendekatan sejarah sosial-intelektual seperti penelitian
yang dilakukan oleh Oman Fathurahman terhadap sekelompok naskah tarekat
Syattariyah di Minangkabau (2003). Pendekatan yang sama juga digunakan oleh
Fakhriati (2007) yang melakukan penelitian atas sekelompok naskah tarekat
Syattariya di Aceh.
Pendekatan ini sepertinya memang menjauhi hakikat filologi yang pada
awalnya terbatas pada studi naskah. Namun perkembangan ini tetap mendapat
sambutan positif dari para peneliti karena penggunaan metode ini meskipun lebih
merambah pada pencarian makna dan fungsinya, namun pada akhirnya juga
mendukung pada usaha pemahaman serta penelusuran makna dan fungsi sastra
lama itu sendiri. Dan seperti yang dikatakan Robson (1988 dalam Fathurahman,
201513) bahwa inilah sesungguhnya tugas seorang filolog, menyajikan naskah
lama agar dapat dipahami dan dimanfaatkan khalayak luas.
Akibat pergeseran pemilihan metode analisis ini, berakibat pada
berubahnya cara pandang peneliti dalam menginterpretasi naskah lama. Perubahan
ini sering kali muncul dalam naskah salinan/turunan (arketipe/hiparketipe) dari
naskah aslinya (autograf). Namun demikian, kajian filologi terhadap naskahnaskah Nusantara telah mendorong berbagai kajian ilmiah yang hasilnya
dimanfaatkan pelbagai disiplin ilmu terutama ilmu humaniora dan ilmu sosial.
Sesungguhnya semua kegiatan tersebut telah memenuhi tujuan ilmu filologi, yaitu
melalui telaah naskah dapat membuka kebudayaan bangsa dan mengangkat nilainilai luhur yang terkandungnya.

2.2.3. Ilmu Filologi Saat Ini
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga berimplikasi pada
perkembangan studi naskah. Ketertarikan mengkaji naskah sebagai salah satu
penelitian ilmu pengetahuan ternyata juga menarik hati perguruan tinggi berbasis
13 Oman, Filologi, hlm.55

15

agama. Bukti dari ketertarikan itu adalah ditempatkannya filologi sebagai bagian
kurikulum di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), seperti Institut Agama Islam
Negeri (IAIN). Sebelumnya filologi hanya diberikan sebagai mata kuliah di
perguruan tinggi umum saja seperti UI, UGM, dan Unpad.14
Dengan dibukanya studi filologi di perguruan tinggi berbasis agama ini
membuka kecenderungan calon peneliti dalam memilih naskah keislaman, dan
mendiskusikan kandungannya secara lebih mendalam. Hal ini pula yang
mendorong Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dab Diklat, Kementrian
–saat itu Departemen- Agama RI mencanangkan program “Inventarisasi,
Pelestarian, Penelitian, dan Pemanfaatan Naskah Keagamaan Nusantara” pada
awal tahun 2000-an.
Perkembangan lainnya adalah dibukanya beasiswa filologi tingkat
Magister di Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah yang merupakan
beasiswa dari Puslitbang Lektur Keagamaan pada tahun 2009. Pada tahun 2010,
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Pendis) juga mengadakan beasiswa bagi
para dosen PTAI untuk mengambil program Doktoral pengkhususan Filologi di
Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) Depok.
Kesemua

perkembangan

ini

menunjukkan

bahwa

filologi

bisa

diintegrasikan dengan multidisiplin ilmu mencakup penerapan kritik teks disertai
kajian mendalam atas konteks Islam lokal dan dengan penerapan berbagai teori,
seperti teori sastra yang berkembang mulai tahun 1970-an. Demikianlah,
perkembangan filologi sejak awal penggunaannya hingga saat ini yang
berkembang di Indonesia. Kita bisa melihat bahwa filologi tak hanya orientasi
pada naskah seperti penyuntingan, penerjemahan saja, melainkan juga
kontekstualisasi atas teks yang dikajinya.

14 Oman, Filologi, hlm.56

16

BAB III
PENUTUP
Dari pemaparan di atas tercapailah tujuan yang dimaksud dari pembahasan
makalah ini, di antaranya:
1. Pernaskahan di Indonesia mengalami perkembangan dan perubahan seiring
dengan perjalanan sejarahnya. Pada masa pra-abad 14, kebudayaan yang
berkembang adalah kebudayaan hasil akulturasi dari agama Hindu-Budha.
Akulturasi ini di antaranya terwujud pada tulisan tangan yang dipengaruhi
Hindu-Budha, dengan bahasa Sanskerta, Melayu Kuno, Jawa Kuno, juga
aksaranya aksara Pallawa, Jawa Kuno, Kawi dsb.
Sementara pada kisaran abad 14-19, telah terjadi akulturasi kebudayaan Islam
yang telah tersebar di Pulau Jawa dan sekitarnya. Kebudayaan ini baru. Bahasa
yang baru pula, yaitu bahasa Arab yang kemudian mengalami lokalisasi
menjadi aksara Jawi dan aksara Pegon.
Sementara pada kisaran abad 19 hingga saat ini, ditandai dengan akulturasi
budaya Barat yang dibawa penjajah. Penggunaan aksara latin dan tersebarnya
agama kristen juga merebak pada masa ini. Perhatian terhadap naskah-naskah
Nusantara juga semakin besar terutama oleh para misionaris dan zending
Belanda yang mempelajari bahasa Melayu untuk kepentingan dakwah hingga
melahirkan kamus dan terjemahan Alkitab.
2. Perkembangan Filologi di Indonesia di antaranya dimulai sejak masa kolonial
ini. Para sarjana kolonial dan Eropa mulanya hanya tertarik pada kebahasaan
saja. Mempelajari bahasa, aksara penduduk untuk bisa berkomunikasi dengan
mereka dalam rangka melanggengkan penjajahan. Kegiatan studi naskah ini
pun mulanya hanya berupa usaha pengumpulan naskah (inventarisasi) dan
pencatatan daftar naskah yang diketahui. Daftar naskah ini berkembang
menjadi katalog. Hingga fase selanjutnya, kegiatan ini menjadi lebih
mendalam. Usaha penerjemahan, penyalinan, penyuntingan naskah juga
17

dilakukan. Penyuntingan pun mendapatkan porsi lebih mendalam karena
adanya usaha pemahaman naskah asli yang akhirnya berubah sudut pandang
tergantung penyuntingnya. Penggunaan teori-teori sastra sebagai pendekatan
juga dilakukan dalam studi filologi selanjutnya, bahkan pendekatan yang lebih
jauh seperti pendekatan sejarah-intelektual juga digunakan. Selain itu, pegian
naskah yang mulanya hanya oleh sarjana Barat/Eropa, pada abad 20-an juga
melibatkan pegiat sarjana pribumi dalam penelitian pengkajian naskah.
Pertengahan abad 20, filologi semakin menyatu dengan perkembangan teori
sastra yang berkembang di perguruan tinggi. Bahkan tak hanya perguruan
tinggi umum, melainkan juga perguruan tinggi berbasis agama seperti IAIN
juga melirik studi ini dalam kurikulumnya. Inilah yang membuat filologi bisa
berintegrasi dengan multidisiplin ilmu. Yang mulanya hanya berorientasi pada
naskah asli, berkembang sesuai konteks yang membuat filologi menjadi salah
satu metode yang mengungkap makna dan fungsi naskah lama dengan lebih
mendalam.

18

Bibliografi
Buku:
Baried, Baroroh., dkk. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Versi
PDF.
Fathurahman, Oman. 2015. Filologi Indonesia: Teori dan Metode. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Lubis, Nabilah. 2007. Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta:
Penerbit Yayasan Media Alo Indonesia.

Internet:
Pendahuluan Proposal Acara Festival Naskah Nusantara 14-17 September 2015 dari
laman http://festivalnaskahnusantara.perpusnas.go.id/ diakses pada 10-02-2017
Vereenigde

Oostindische

Compagnie

(VOC),

dikutip

dari

laman:

https://id.wikipedia.org/wiki/Vereenigde_Oostindische_Compagnie diakses pada 1002-2017

19