B. Sistem Hukum dunia dan sistem
B. Sistem Hukum
Dalam struktur sistem hukum didirikan atas tiga elemen yang mandiri
(Achmad Ali, 1988: 24), yaitu :
1.
Keseluruhan aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan asas-asas yang dirumuskan
2.
ke dalam sistem pengertian.
Instellingen, atau organisasi atau pejabat pelaksana hukum yang
3.
keseluruhannya merupakan elemen operasional sistem hukum.
Beslissingen en handelingen, yaitu keputusan atau tindakan konkret para
pejabat hukum atau masyarakat.
Mengukur hukum harus diletakkan pada delapan asas principle of legality,
yaitu :
1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan.
2. Peraturan yang telah dibuat harus diumumkan.
3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut.
4. Peraturan harus dibuat pada rumusan yang dapat dimengerti.
5. Peraturan tidak boleh dibuat yang bertentangan dengan peraturan lain.
6. Peraturan tidak boleh dibuat melebihi apa yang dapat dilakukan.
7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk mengubah peraturan.
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan
pelaksanaannya setiap hari.
1.
Pengertian Sistem Hukum dan Unsur-Unsurnya
Kata “sistem” berarti suatu kesatuan atau kebulatan yang terdiri atas
bagian-bagian, dimana bagian yang satu dengan bagian yang lainnya saling
berkaitan satu sama lainnya, tidak boleh bertentangan.
Sistem hukum menurut Sudikno Mertokusumo, adalah suatu kesatuan utuh
dari tatanan-tatanan yang terdiri atas bagian-bagian atau unsur-unsur yang satu
sama lain saling berhubungan dan kait-mengkait secara erat.
Laurance M. Friedman (Achmad Ali, 2001: 7-8) membagi unsur-unsur
sistem hukum pada 3 jenis , yaitu :
a. Substance (substansi hukum), yaitu hakikat dari isi yang dikandung
dalam peraturan perundang-undangan.
b. Structure (struktur hukum), yaitu tingkatan hukum, pelaksana hukum,
peradilan, lembaga-lembaga hukum, dan pembuat hukum. Struktur
hukum terdiri dari tiga elemen yaitu :
1) Beteknis-system, yaitu keseluruhan aturan yang dirumuskan ke
dalam sistem pengertian.
2) Instellingen, yaitu lembaga hukum dan ejabat pelaksana hukum.
3) Beslissingen en handelingen, yaitu putusan konkret dari pejabat
hukum maupun masyarakat.
c. Legal culture (kultur hukum), yaitu bagian-bagian dari kultur pada
umumnya.
2.
Sistem Hukum di Dunia
Secara umum, sistem hukum di dunia terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Sistem hukum Common Law, yang dianut oleh negara-negara AngloSakson, seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan sebagian besar
b.
negara persemakmuran lainnya.
Sistem hukum Civil Law, yang dianut oleh negara-negara Eropa
daratan, seperti Belanda, Perancis, termasuk Indonesia (konkordansi
dari Belanda).
Sistem hukum diatas memiliki persamaan dan perbedaan, persamaannya
adalah keduanya tetap mengenal pembagian kekuasaan dari semua lembaga
negara sebagaimana dimaksud pada teori pemisahan kekuasaan. Perbedaannya
adalah :
a. Pada sistem hukum common law, pada umumnya didominasi hukum
tidak tertulis melalui putusan hakim, sedangkan pada sistem hukum
Eropa Kontinental didominasi hukum tertulis.
b. Pada sistem hukum common law, tidak ada pemisahan yang jelas
antara hukum public dan hukum privat. Sedangkan pada sistem hukum
Eropa Kontinental ada pemisahan yang jelas antara hukum public dan
hukum privat.
3. Subsistem Peradilan
Berdasarkan pada dua jenis sitem hukum yang ada di dunia seperti
dikemukan diatas, makas sistem peradila pun terdiri pula atas dua jenis
yang mengikuti sistem hukumnya, yaitu sebagai berikut.
a. Sistem Peradilan “Common Law”
Pada sistem peradilan ini, menganut sistem peradilan juri, di mana
hakim bertindak sebagai pejabat yang memeriksa dan memutuskan
hukumnya, sementara juri memeriksa peristiwa atau kasusnya
kemudian menentukan bersalah –tidaknya terdakwa. Di sini hakim
diikat oleh suatu asas stare decisis, artinya putusan hakim terdahulu
b.
mengikat hakim-hakim lain untuk mengikutinya pada perkara sejenis.
Sistem Peradilan “Eropa Kontinental”
Sistem Eropa Kontinental tidak mengenal sistem juri, tugas dan
tanggung jawab hakim di sini adalah memeriksa langsung materi
perkaranya, menentukan bersalah-tidaknya terdakwa, kemudian
sekaligus menerapkan hukumnya. Metode berpikir hakim di sistem
hukum ini merupakan deduktif, yaitu berpikir dari yang umum ke
yang khusus.
4. Bentuk Penyelesaian Sengketa dalam Masyarakat
Bentuk penyelesaian sengketa yang ada di dunia terdiri atas dua jenis,
yaitu :
a. Penyelesaian ligitasi, yaitu penyelesaian sengketa melalui jalur
hukum yaitu pengadilan
b. Penyelesaian nonligitasi, ada 4 jenis yaitu ;
a) Perdamaian, yaitu penyelesaian sengketa yang dilakukan
sendiri oleh pihak-pihak yang bersengketa.
b) Mediasi, yaitu penyelesaian sengketa para pihak dengan
menggunakan jasa pihak ketiga (tidak formal) mediator,
tetapi
mediator
tidak
memutuskan,
hanya
sebagai
perantara.
c) Konsiliasi, yaitu penyelesaian sengketa para pihak dengan
menggunakan pihak ketiga yang ditunjuk oleh MA, tetapi
tidak mandiri, dan juga tidak memutuskan sengketa para
pihak.
d) Arbitrasi, yaitu penyelesaian sengketa para pihak dengan
menggunakan pihak ketiga yang ditunjuk secara formal
dan memberikan putusan pada pihak yang bersengketa.
BAB VII
ALIRAN-ALIRAN TEORI DALAM ILMU HUKUM
Beberapa pakar ilmu pengetahuan memberi pengertian tentang
teori sebagai berikut.
1. Fred N. Kerlinger, menguraikan teori adalah sekumpulan konstruksi
(kosep, definisi, dan dalil) yang saling terkait yang menghadirkan
suatu pandangan secara sistematis tentang fenomena dengan
menetapkan hubungan di antara variabel, dengan maksud menjelaskan
dan meramalkan fenomena.
2. Kartini Kartono (1990: 2) menulis bahwa teori adalah suatu prinsip
umum yang dirumuskan untuk menerangkan sekelompok gejala yang
saling berkaitan.
Berbagai
pertanyaan
tentang
hakikat
hukum
misalnya, memunculkan jawaban dan teori para juris yang
didasarkan pada aliran pemikiran yang mereka anut.
Aliran-aliran teori pemikiran tersebut, oleh kalangan juris
banyak yang menyebutnya dengan “teori hukum”. Salah
satunya
adalah
Satjipto
Rahardjo
(1986:
224)
yang
menyatakan, sebagai berikut.
“Teori Hukum boleh disebut sebagai kelanjutan dari
usaha mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam
urutan
yang
kehadiran
demikian
teori
itu
itulah,
secara
kita
jelas.
merekonstruksikan
Pada
saat
orang
mempelajari hukum positif, maka ia sepanjang waktu
berhadapan
pada
peraturan-peraturan
hukum
dengan
segala cabang kegiatan dan permasalahannya, seperti
pada keabsahannya, penafsirannya, dan sebagainya.”
Adapun aliran-aliran teori dalam kepustakaan ilmu
hukum sesuai perkembangan, mencatat beberapa aliran
teori hukum.
A. Aliran Hukum Alam
Aliran Hukum Alam menyebut “hukum itu langsung
bersumber dari Tuhan bersifat Universal dan abadi, serta
antara hukum moral tidak boleh dipisahkan”. Aliran ini
dipelopori oleh Plato, Aristoteles, (murid Plato) dan Zeno
(Pendiri Aliran Stoic).
Thomas Aquinas membagi hukum alam menjadi
empat komponen, yaitu sebagai berikut.
a. Lex aeterna, yaitu rencana pemerintah sebagaimana
dibuat oleh raja.
b. Lex naturalis, yaitu sebagian dari lex aeterna yang
dapat ditangkap manusia melalui akal pikiran yang
dianugerahkan oleh Tuhan kepadanya.
c. Lex divina, yaitu pelengkap asas-asas yang ada pada
lex aeterna.
d. Lex humana, yaitu penyesuaian hukum dengan dalildalil akal.
1. Ajaran hukum alam di Yunani
a. Plato, memandang bahwa hukum alam adalah nilainilai ideal yang terwujud dalam keadilan yang
harmoni, sebagaimana diperlihatkan oleh alam yang
serba harmonis dan yang mengaturnya adalah rasio
alam dan hukum yang abadi.
b. Aristoteles, memandang hukum alam dianggapnya
sebagai hukum yang sewajarnya menurut kodrat.
Aristoteles membagi keadilan menjadi dua jenis,
yaitu
keadilan
memberikan
distributif
kepada
setiap
yaitu
keadilan
orang
sesuai
yang
jatah
jasanya, yang kedua adalah keadilan komutatif yaitu
keadilan yang memberikan jatah sama banyaknya
tanpa melihat jasanya.
c. Kaum Stoa, pembagian menurut kamu Stoa adalah
hukum alam yang bersifat mutlak dan hukum alam
yang bersifat relatif.
2. Ajaran hukum alam di Romawi
a. Dipelopori oleh Cicero, bahwa hukum yang benar itu
rasio kodrat, sesuatu hukum yang abadi dan tidak
dapat berubah-ubah.
b. Gaius, menekankan ajarannya terhadap hukum alam
sebagai hukum yang berlaku pada semua bangsa
bersamaan bagi semua manusia.
B. Aliran Hukum Positivisme dan Utilitarinisme
Aliran positivis mengatakan, bahwa kaidah hukum itu hanya
bersumber dari kekuasaan negara yang tertinggi, dan sumber itu hanyalah
hukum positif yang terpisah dari kaidah sosial, bebas dari pengaruh
politik, ekonomi, sosial dan budaya. Aliran ini dipelopori oleh John
Austin yang sering disebut sebagai “Bapak Ilmu Hukum Inggris”, serta
Hans Kelsen yang terkenal dengan teori hukum murni. Teori “Hukum
Murni” Hans Kelsen menyatakan bahwa “Hukum adalah ilmu normatif
yang murni dan tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi,
sejarah, dan etika”.
Hart (Dias, 1976: 451) salah seorang pengikut aliran positivis,
memandang bahwa pada dasarnya positivis itu mengandung berbagai arti,
yaitu sebagai berikut.
1. Hukum merupakan perintah yang berisi perintah.
2. Analisis atas konsep-konsep hukum adalah yang mempunyai nilai
untuk dilakukan.
3. Keputusan-keputusan dapa dideduksikan secara logis dari peraturanperaturan yang sudah ada, tanpa harus menunjuk pada tujuan-tujuan
sosial.
4. Penghukuman secara moral tidak boleh ditegakkan dan dipertahankan
oleh penalaran rasional.
5. Hukum yang diundangkan atau ditetapkan, harus senantiasa
dipisahkan dari faktor yang diluar hukum yang seharusnya diciptakan.
C. Aliran Historis
Aliran Historis atau Aliran Sejarah mengatakan, bahwa “hukum itu
tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan sejarah, dan semua
bangsa di dunia mempunyai jiwa bangsa (Volkgeys)”. Aliran ini dipelopori
oleh Friedrich Carl Von Savigni (1779- 1861), seorang ahli hukum
Jerman.
D. Aliran Sosiologis
Aliran Sosiologis pada prinsipnya mengatakan bahwa hukum itu
adalah apa yang menjadi kenyataan dalam masyarakat, bagaimana secara
fakta hukum diterima, tumbuh dan berlaku dalam masyarakat. Aliran ini
dipelopori oleh Roscou Pound (Juris dari Amerika Serikat), Eugen
Echrlich, Emil Durkheim, dan Mark Weber.
Teori Max Weber adalah teori perkembangan hukum, yang
menganggap bahwa perkembangan hukum itu senantiasa selaras dengan
perkembangan masyarakatnya.
E. Aliran Antropologi
Aliran Antropologi mengatakan, bahwa hukum itu adalah kaidah
tidak tertulis yang hidup dan tumbuh secara nyata dalam masyarakat
seiring dengan perkembangan kebudayaan. Salah satu pemikiran
antropologi seperti ditulis oleh Satjipto Rahardjo (1986: 250), bahwa
pemikiran antropologi modern yang cukup menarik perhatian para ahli
hukum adalah adanya aliran kultural-fungsional.
F. Aliran Realis
Aliran Realis mengatakan, bahwa hukum itu apa yang dibuat oleh
hakim melalui putusannya, dan hakim lebih layak disebut membuat
hukum dari pada menemukan hukum. Aliran Realis ini dipelopori oleh
Karl Lle wellyn (1893-1962), Jerome Frank (1841-1935), dan Hakim
Ajgung Amerika Serikat Oliver Wendell Holmes (1841-1935).
1. Aliran realis di Amerika Serikat
Aliran ini menganggap hukum itu adalah semua yang dihasilkan
oleh pengadilan sebagai suatu realitas dalam masyarakat.
Esensi ajaran Jerome Frank yang juga tergolong sebagai penganut
ajaran realis Amerika Serikat, penulis simpulkan lima aspek (Achmad
Ali, 1996: 309) sebagai berikut.
a. Memotivasi hakim untuk melakukan reformasi terhadap hukum
untuk kepentingan keadilan.
b. Hukum tidak mungkin dipisahkan dengan putusan pengadilan.
c. Hukum tidak dapat disamakan dengan aturan-aturan yang tetap.
d. Putusan hakim tidak diturunkan secara otomatis dari peraturan
tetap.
e. Putusan pengadilan bergantung pada berbagai faktor, seperti pada
kaidah hukum dan faktor nonhukum.
G. Hukum Progresif
Satjipto Raharjo dalam bukunya “Penegak Hukum Progresif”
(2010) Mengembangkan “Teori Progresif” dalam membahas konsep dan
implementasi hukum yang memerdekakan secara global. Menurut Satjipto
Raharjo pula, pada aspek lain penegakan hukum progresif warga
masyarakat amat berperan dalam membangun hukum untuk mencapai
tujuan asasinya.
Berdasarkan pemikiran yang dikemukakan Satjipto Rahardjo dari
berbagai pemikiran dalam tulisannya, maka dapat disimpulkan ciri-ciri
hukum progresif, yaitu :
a. Hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan pembebas, yaitu
membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas, dan teori hukum yang
legalistik-positivistik.
b. Hukum progresif lebih mengutamakan tujuan daripada prosedur.
c. Hukum progresif menjunjung tinggi moralitas sebagai akar kehidupan
masyarakat.
Juga dapat disimpulkan tentang asumsi pentingnya konsep hukum
progresif dalam menata atau mereformasi pembentukan dan
pelaksanaan hukum di tengah masyarakat yang terus berubah, karena
hal-hal berikut ini.
a. Hukum adalah untuk manusia, bukan sekedar untuk hukum itu
sendiri.
b. Hukum bukanlah institusi yang absolut, otonom, dan final.
c. Hukum progresif pada dasarnya hukum yang prokeadilan,
prorakyat, sekaligus antidsikriminasi dan antianarki.
d. Inti konsep hukum progresif terletak pada aspek moral.
BAB VIII
PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM
A. Pengertian Penemuan Hukum
Penemuan Hukum merupakan salah satu wadah yang dapat
digunakan oleh hakim untuk mengisi kekosongan hukum, atau
menafsirkan suatu kaidah peraturan perundang-undangan yang tidak atau
kurang jelas.
1. Pengertian dalam arti sempit
Pengertian penemuan hukum dalam arti sempit, adalah “Jika
peraturannya sudah ada dan sudah jelas, dimana hakim tinggal
menerapkan saja” (Achmad Ali, 1988:81).
Penafsiran itu sendiri merupakan salah satu metode dalam
penemuan hukum. Penemuan hukum dalam arti sempit, dibedakan pula
atas penemuan hukum perdata, penemuan hukum dalam perkara pidana,
dan penemuan hukum dalam perkara tata usaha Negara, dengan
menggunakan metode sumbsumptie.
Proses penerapan metode sumbsumptie, pertama-tama melihat
terlebih dahulu gejala-gejala penyakitnya, kemudian mendiagnosis
penyakit apa yang diderita pasien pasien berdasarkan gejala-gejalanya tadi,
selanjutnya menentukan jenis obatnya.
2. Pengertian dalam arti luas
Penemuan Hukum dalam arti luas, adalah posisi hakim bukan lagi
sekedar menerapkan peraturan hukum yang sudah jelas dengan
mengocokannya pada kasus yang ditangani, melainkan sudah lebih luas.
B. Sejarah Penemuan Hukum
Penggunaan istilah “Penemuan hukum” memang mengandung arti
luas, karena selain pembentukan hukum, juga hukum yang sebenarnya
telah ada dan tinggal ditemukan hasil penemuan Hukum disebut doktrin,
tidak langsung menjadi hukum tetapi hanya memilii kekuatan mengikat
seperti putusan.
Penemuan hukum yang diharapkan dapat dilakukan oleh hakim,
selain
menfasirkan
ketertinggalan
hukum
ketentuan
dalam
undang-undang.
sejarah
hukum,
Kelemahan
dan
terutama
pada
pengkodifikasian hukum dan kaitannya dengan penemuan hukum.
Kepustakaan Ilmu Hukum mencatatnya ada tiga fase, sebagai berikut.
1. Fase Sebelum Tahun 1800
Pada Fase tahun 1800 sama sekali belum ada hukum tertulis dalam
bentuk Undang-undang atau kaidah hukum yang mengatur masyarakat.
Ketika itu sebagian besar “Hukum tidak tertulis atau hukum kebiasan”
yang ternyata kurang menjamin kepastian hukum.
Pada Fase ini, pembuat dan pelaksana hukum berada pada satu
orang, yaitu raja. Apa yang diucapkan oleh raja, itulah hukum. Siapa
yang melanggar hukum (ucapan raja), maka raja sendirilah yang
menghukumnya. Fase ini biasa didebut dengan “pra-kodifikasi” dan
hakim pada fase ini belum ada, karena raja sekaligus bertindak sebagai
hakim.
2. Fase Pertengahan Abad ke-18
Pada fase ini sudah mulai dikenal hukum tertulis yang dimotivasi
oleh lahirnya teori yang dikemukakan oleh Montesquieu dengan
teorinya “Trias Politika” tentang “pemisahan kekuasaan” dalam
bukunya “Esprit des Lois” (Azhary, 1986: 37). Teori ini mengatakan,
ada tiga paham kekuasaan Negara yang harus dipisahkan, yaitu sebagai
berikut:
a. Kekuasaan Legislatif, yaitu kekuasaan membuat Undang-undang.
b. Kekuasaan Eksekutif, yaitu kekuasaan menyelenggarakan Undangundang.
c. Kekuasaan Yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mengadili.
Atas dasar teori Montesquieu, kemudian timbul pula pemikiran
untuk membuat kodifikasi hukum, yaitu pembentukan hukum tertulis
secara sistematis, lengkap, dan jelas. Munculnya kodifikasi ini juga
menimbulkan adanya aliran baru bernama aliran legisme, yang tidak
mengakui adanya hukum tidak tertulis.
3. Fase Abad ke-19 (awal abad ke-19)
Sejak awal abad ke-19, timbullah sebagai hasil perenungan, bahwa
ternyata dikodifikasi huikum itu belumlah lengkap, karena hukum
(undang-undang) semakin tertinggal perkembangan masyarakat. Untuk
mengantipasi ketertinggalan undang-undang yang dikodifikasi, diawali
dengan lahirnya dua aliran di Jerman yang lebih lunak dari aliran
legisma, yaitu Mazhab freirechtschule (Sudikno Mertokusumo, 1993:
10).
Pandangan Mazhab historis menyatakan, bahwa undang-undang itu
tidak lengkap dan selain undang-undang masih ada sumber hukum
lain, yaitu kebiasaan. Menurut Von Savigny, hukum mesti berdasarkan
system asas-asas hukum dan pengertian dasar ditujukan pada setiap
peristiwa
dan
dapat
diterapkan
kaidah
yang
cocok
(begriffsjurisprudence). Agra juga menilai, bahwa hakim memang
bebas dalam memberlakukan atau menerapkan undang-undang, tetapi
ia tetap bergerak dalam sistem hukum yang tertutup.
C. Dasar Hukum Penemuan Hukum di Indonesia
Secara umum, dasar penemuan hukum di Indonesia selain karena
adanya asas universal, juga tersirat dalam perundang-undangan, sebagai
berikut.
1. Asas curia novit, yaitu “Hakim dianggap mengetahui hukum”,
sehingga hakim tidak boleh menolak sesuatu perkara yang diajukan
kepadanya dengan alasan peraturan kurang jelas atau tidak ada
peraturannya. Suatu peristiwa atau perkara hukum yang kemungkinan
belum ada ketentuannya, atau peraturannya ada tetapi kurang jelas,
hakim
tetap
wajib
memeriksa
perkara
tersebut
sekaligus
memutuskannya.
2. Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, mengatur bahwa “Hakim
sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.
Ketentuan ini menuntun hakim, agar dalam menjatuhkan putusannya
wajib memperhatikan dan memaknai nilai-nilai hukum, seperti
perasaaan
hukum
dan
kesadaran
hukum
masyarakat
dalam
menjatuhkan putusan.
Undang-undang itu mempunyai nilai-nilai dan semangat yang bukan
sekedar sejumlah deretan kata-kata dan kalimat, melainkan harus
direfleksikan sebagai sarana untuk memajukan masyarakat sesuai
dengan sistem nilai yang diaturnya. Untuk itulah, hakim wajib
menafsirkan ketentuan undang-undang dan menyesuaikannya dengan
kondisi dan kebutuhan masyarakat.
Hakim dalam menjatuhkan putusan wajib memperhatikan dan
menghormati nilai-nilai hukum yang dianut oleh warga masyarakat.
Hakim jangan hanya menjadi “terompet undang-undang” dan kaku
menerapkan undang-undang, karena undang-undang mempunyai
semangat dan nilai tersendiri yang harus dilaksanakan dan ditegakan.
Misalnya, ketentuan yang tidak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat
dan nilai-nilai yang dianutnya, sedpat mungkin tidak diterapkan.
3. Untuk mengisi kekosongan perundang-undangan atau hukum tertulis.
Untuk itu, suatu perkara yang tidak ada peraturannya, hakim tetap
wajib
memeriksa
dan
memutuskan
perkara
tersebut
dengan
menggunakan metode analogi terhadap suatu peraturan yang mirip
dengan perkara yang diperiksa (khusus dalam perkara perdata,
sedangkan dalam perkara pidana tidak dibenarkan menggunakan
metode analogi).
Dasar dan alasan pemikiran untuk melakukan penemuan hukum oleh
hakim adalah sebagai berikut:
1. Karena peraturannya tidak ada, tetapi esensi perkara sama atau
mirip dengan suatu peraturan lain yang dapat diterapkan pada
kasus tersebut.
2. Peraturannya memang ada, tetapi kurang jelas sehingga hakim
perlu menafsirkan peraturan tersebut untuk diterapkan pada
perkara yang ditangani.
3. Peraturannya juga ada, tetapi peraturan itu sudah tidak sesuai lagi
dengan kondisi dan kebutuhan warga masyarakat, sehingga hakim
wajib menyesuaikannya dengan perkara yang sedang ditangani.
Dalam penemuan hukum, van Gerven (Sudikno Mertokusumo,
1993: 5) juga mengemukakan adanya dua aliran, yaitu aliran progresif dan
aliran konservatif. Para penganut aliran progresif berpendapat, bahwa
hukum dan peradilan merupakan alat untuk perubahan-perubhana social,
sedangkan aliran konnservatif berpendapat bahwa hukum dan peradilan
hanyalah untuk mencegah kemerosotan moral dan lain-lain.
Dalam proses pelaksanaan penemuan hukum, keputakaan ilmu
hukum menentukan, bahwa hak melakukan tugas dan menurut dialakukan
dalam tiga tahapan Sudikno Mertokusumo 1993: 91-92) sebagai berikut.
1. Tahap konstartir, yaitu hakim menyatakan benar terjadi peristiwa
konkret.
2. Tahap kualifikasi, yaitu hakim mengkualifikasi peristiwanya, termasuk
hubungan yang menyebabkan perbuatan tersebut terjadi.
3. Tahap konstituir, yaitu hakim menetapkan hukumnya terhadap
peristiwa yang diperiksa.
D. Perkembangan Penemuan Hukum
Aliran-aliran perkembangan antara tugas hakim dengan eksistensi
Undang-undang dikenal dalam tiga aliran (Achmad Ali, 1996: 143-153),
sebagai berikut:
1. Aliran pra-kodifikasi hukum (sebelum tahun 1818), belum dikenal
adanya hukum tertulis atau kodifikasi hukum, dan hukum yang berlaku
adalah hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan, sehingga penemuan
hukum, hukum juga belum ada.
2. Aliran legis, menganggap undang-undang itu sudah lengkap, diluar
undang-undang bukanlah hukum. Aliran ini memandang hakim
sebagai pelaksana undang-undang belaka. Sama sekali tidak dikenal
hukum sebagai akibat undang-undang dianggap sudah lenyap,
sehingga tidak pelu ditafsirkan.
3. Aliran penemuan hukum oleh hakim, menganggap hukum atau
undang-undang itu tidak lengkap, sehingga perlu diantisipasi dengan
penemuan hukum oleh hakim.
Dalam perkembangan dan upaya hakim untuk melakukan
penemuan hukum, terlebih pada efektivitas tugas hakim dengan
keberadaan undang-undang, kepustakaan ilmu hukum membaginya dalam
beberapa aliran (Achmad Ali, 1996: 153-154), sebagai berikut:
1. Aliran begriffs-yurisprudenz menganggap, bahwa hakim dapat
melakukan penemuan hukum dengan penafsiran, tetapi penafsiran
yang dilakukan masih terikat pada bunyi undang-undang. Aliran ini
melihat hukum sebagai satu sistem atau satu kesatuan tertutup
secara umum menguasai semua tingkah laku manusia. Pengertian
hukum bukanlah sebagai sarana, melainkan sebagai tujuan,
sehingga ajaran hukum menjadi ajaran tentang pengertian
(begriffsyurisprudens)
atau
permintaan
pengertian
yang
mengkultuskan rasio dan logika. Dengan demikian, kendati hakim
bebas dari ikatan undang-undang, tetapi harus bekerja dalam
sistem hukum yang tertutup.
2. Aliran freierechtschule (aliran hukum bebas), merupakan cara
penemuan hukum yang member kebebasan pada hakim melalui
metode “konstruksi hukum”. Hakim diberi kebebasan dalam
menemukan hukum, dalam arti hakim bukan sekedar menerapkan
undang-undang saja, melainkan juga memperluas dan membentuk
hukum melalui putusannya.
3. Aliran soziologische-rechtshule yaitu hakim dalam menemukan
hukum senantiasa memperhatikan kenyataan nilai-nilai hukum
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Hakim diharapkan
dalam menafsirkan undang-undang senantiasa menyesuaikannya
dengan nilai hukum dan kultur hukum yang dianut oleh warga
masyarakat. Aliran ini juga tidak menyetujui apabila hakim hanya
menjadi terompet undang-undang. Namun, pemberian kebebasan
bagi hakim tidak disetujuinya, karena kemungkinan hakim dapat
sewenang-wenang menafsirkan undang-undang.
4. Aliran sistem hukum terbuka menganggap, bahwa hukum sebagai
satu sistem, membuka diri dan menerima nilai-nilai yang ada diluar
hukum, dan dalam penemuan hukum oleh hakim senantiasa
berdasarkan pada kriteria “pemahaman intelektual atau rasio dan
logika” serta penilaian dengan menggunakan penalaran logis”.
Aliran ini mengajarkan, bahwa hukum sebagai suatu sistem
senantiasa saling berhubungan dan berkaitan antar subsistem yang
ada didalamnya. Hakim dalam melakukan penemuan hukum,
bekerja atas dasar penilaian yang hasilnya merupakan perluasan
atau sesuatu yang baru bagi masyarakat.
5. Aliran pemuan hukum heteronom dan otonom, penemuan hukum
ini dibahas tuntas oleh Sudikno Mertokusumo (1993: 7-10).
Penemuan hukum heteronom terjadi apabila hakim dalam
melakukan penemuan hukum sepenuhnya tunduk pada undangundang. Dengan demikian, hakim hanya sekedar mengkonstatir
atau menerapkan bunyi dan maksud ketentuan undang-undang
dengan peristiwa konkret yang diperiksanya. Penemuan hukum
otonom terjadi apabila hakim dalam menjatuhkan putusan,
dibimbing oleh pandangan-pandangan atau pikirannya sendiri.
E. Metode Penemuan Hukum
Metode penemuan hukum oleh hakim dapat dilakukan dalam dua bentuk,
sebagai berikut:
1. Interpretasi Hukum, yaitu penafsiran perkataan dalam Undang-undang,
tetapi tetap berpegang pada kata-kata/ bunyi peraturannya.
2. Konstruksi Hukum, yaitu penalaran logis untuk mengembangkan suatu
ketentuan dalam undang-undang yang tidak lagi berpegang pada katakatanya, tetapi tetap harus memperhatikan hukum sebagai suatu
sistem.
1. Metode Interpretasi Hukum
Metode interpretasi atau penafsiran hukum digunakan karena
apabila suatu peristiwa konkret tidak secara jelas dan tegas dianut
dalam suatu peraturan perundang-undangan. Berbagai jenis metode
interpretasi disiapkan dalam teori hukum, sehingga hakim bebas
memilih, mana yang paling cocok dengan peristiwa ysng sedang
ditanganinya. Jenis-jenis metode penemuan hukum melalui interpretasi
hukum adalah sebagai berikut:
a. Interpretasi subsumptif, yaitu hakim menerapkan teks atau katakata suatu ketentuan undang-undang terhadap kasus in-konkreto
(fakta kasus) tanpa menggunakan penalaran sama sekali dan hanya
sekedar menerapkan silogisme dari ketentuan
pasal undang-
undang, yaitu mencocokan fakta kasus dengan ketentuan undangundang.
b. Interpretasi gramatikal, yaitu menafsirkan kata-kata yang ada
dalam undang-undang sesuai dengan kaidah tata bahasa. Teks atau
kata-kata
dari
suatu
peraturan
perundang-undangan
dicari
maknanya yang oleh pembentuk undang-undang digunakan
sebagai symbol terhadap suatu peristiwa. Misalnya, ketentuan
Pasal 101 KUHPidana tentang hewan, yaitu binatang ternak yang
dipelihara.
c. Interpretasi ekstentif, yaitu penafsiran yang lebih luas dari pada
penafsiran gramatikal, karena memperluas makna dari ketentuan
khusus menjadi ketentuan umum sesuai dengan kaidah tata
bahasanya. Disini tujuananya menafsirkan kaidah tata bahasa,
karena menjadi jelas atau terlalu abstrak agar menjadi jelas dan
konkret, perlu diperluas maknanya. Misalnya, kata pencurian
barang dalam Pasal 362 KUHPidana, diperluas esensi makna
terhadap aliran listrik sebagai benda yang tidak berwujud.
d. Interpretasi sistematis yaitu menafsirkan Undang-undang sebagai
bagian dan keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan.
Misalnya, suatu peristiwa hukum yang tidak ada ketentuannya
dalam undang-undang, maka hakim harus mencari ketentuan lain
yang sesuai dan mirip dengan peristiwa konkret yang ditanganinya.
e. Intrepretasi sosiologis atau teologis, yaitu menafsirkan makna atau
substansi undang-undang untuk diselaraskan dengan kebutuhan
atau kepentingan warga masyarakat. Substansi yang ditekankan
pada metode ini terletak pada tujuan kemasyarakatan, sehingga
suatu peraturan perundangan-undangan yang sudah tidak sesuai
lagi dengan dinamika masyarakat dapat diabaikan oleh hakim, atau
ketentuan itu membahayakan kehidupan masyarakat secara luas.
f. Intrepretasi historis, dibagi atas dua jenis, yaitu sebagai berikut.
1) Penafsiran menurut sejarah undang-undang, mencari maksud
dari pembuat undang-undang saat diundangkannya sebagai
ukuran dalam menafsirkan suatu peristiwa hukum, dan
sumbernya dilihat pada catatan pembahasannya di Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).
2) Penafsiran menurut sejarah hukum, mencari makna yang
terkandung dari sejarah perkembangan hukum, seperti apa
tujuan hukum sehingga korupsi dilarang.
g. Intrepretasi komparatif, yaitu membandingkan antara berbagai
sistem hukum yang ada didunia, sehingga hakim bisa mengambil
putusan yang sesuai perkara yang ditanganinya. Metode ini banyak
digunakan dalam perjanjian internasional (hukum internasional).
h. Intrerpretasi restriktif, yaitu penafsiran yang sifatnya membatasi
suatu ketentuan undang-undang terhadap peristiwa konkret. Di sini
hakim membatasi perluasan berlakunya suatu undang-undang
terhadap peristiwa tertentu untuk melindungi kepentingan umum.
i. Interpretasi futurities, yaitu menjelaskan suatu undang-undang
yang berlaku sekarang (ius constitutum) dengan berpedoman pada
undang-undang yang akan diberlakukan (ius constituendum).
Misalnya, ketentuan ada dalam Rancangan Undang-Undang
(RUU) dijadikan dasar dalam menerapkan undang-undang yang
sekarang berlaku, karena tujuan ketentuannya dengan kebutuhan/
kepentingan masyarakat.
2. Metode Konstruksi Hukum
Seperti telah dikemukakan di awal, bahwa metode penemuan
hukum oleh hakim dapat dilakukan dengan cara konstruksi hukum,
yaitu penaralan logis untuk mengembangkan suatu ketentuan dalam
perundang-undang yang tidak lagi berpegang pada kata-kata, tetapi
tetap harus memperhatikan hukum sebagai suatu sistem. Adapun jenisjenis konstruksi hukum adalah sebagai berikut.
a. Analogi atau argumentum peranalogian, yaitu penemuan hukum
yang mencari esensi dari species ke genius,atau dari suatu
peristiwa khusus keperaturan yang bersifat umum. Inti dari
penemuan hukum ini adalah mempersamakan dengan cara
memperluas makna atau eksistensi suatu ketentuan undang-undang
yang khusus menjadi ketentuan umum, dan tidak lagi berpegang
pada bunyi ketentuannya, tetapi tetap menyatu dalam sistem
hukum. Penemuan hukum dengan cara analog lebih sering
digunakan dalam perkara perdata, tetapi tidak pada hukum pidana,
karena menimbulkan polemik oleh para ahli hukum.
Misalnya, Ketentuan Pasal 1576 KUHPerdata yang hanya
mengatur bahwa jual-beli tidak memutuskan sewa menyewa.
Disini, hakim pertama-tama mencari esensi jual-beli, yaitu
“peralihan hak”, sedangkan hibah dan wasiat juga esensinya
peralihan hak. Dengan demikian, substansi dari jual-beli sama
dengan “hibah dan wasiat” yaitu “peralihan hak”, sehingga hibah
dan wasiat juga tidak memutuskan hubungan hukum sewamenyewa.
b. Argumentum a’contrario, yaitu penalaran terhadap suatu penentuan
undang-undang pada peristiwa hukum tertentu, sehingga secara
a’concrario ketentuan,tersebut tidak boleh dibetrlakukan pada halhal lain atau kebalikannya (expressive unius est exclusion alterius,
the mention of obe is the ezclusion of another).
Misalnya, ketentuan iddah (waktu tunggu) bagi seorang janda
selama 130 hari, baru dibolehkan nikah atau kawin lagi dengan
pria diatur dalam Pasal 39 PP Nomor 9 Tahun 1975, tidak boleh
diberlakukan kebalikannya terhadap seorang duda.
c. Rechtsvervijnings (pengkonkretan hukum, tetapi ada juga yang
mengartikan penyempitan atau penghalusan hukum), yaitu
mengkonkretkan suatu ketentuan dalam undang-undang yang
asbrak atau terlalu luas cakupannya sehingga perlu dikonkretkan
oleh hakim.
Misalnya, ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata tentang maksud
“perbuatan melawan hukum” yang pengertiannya masih abstrak
dan hanya perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang.
d. Fiksi
hukum
(fictie),
yaitu
penemuan
hukum
dengan
menggambarkan suatu peristiwa kemudian menganggapnya ada,
sehingga peristiwa tersebut menjadi suatu fakta baru.
Konsekuensi dari penggunaan fiksi hukum karena adanya asas ini
dubio pro reo, bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum,
sehingga seseorang yang melanggar suatu ketentuan hukum tidak
boleh beralasan bahwa ketentuan hukum itu tidak diketahuinya.
Dalam struktur sistem hukum didirikan atas tiga elemen yang mandiri
(Achmad Ali, 1988: 24), yaitu :
1.
Keseluruhan aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan asas-asas yang dirumuskan
2.
ke dalam sistem pengertian.
Instellingen, atau organisasi atau pejabat pelaksana hukum yang
3.
keseluruhannya merupakan elemen operasional sistem hukum.
Beslissingen en handelingen, yaitu keputusan atau tindakan konkret para
pejabat hukum atau masyarakat.
Mengukur hukum harus diletakkan pada delapan asas principle of legality,
yaitu :
1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan.
2. Peraturan yang telah dibuat harus diumumkan.
3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut.
4. Peraturan harus dibuat pada rumusan yang dapat dimengerti.
5. Peraturan tidak boleh dibuat yang bertentangan dengan peraturan lain.
6. Peraturan tidak boleh dibuat melebihi apa yang dapat dilakukan.
7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk mengubah peraturan.
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan
pelaksanaannya setiap hari.
1.
Pengertian Sistem Hukum dan Unsur-Unsurnya
Kata “sistem” berarti suatu kesatuan atau kebulatan yang terdiri atas
bagian-bagian, dimana bagian yang satu dengan bagian yang lainnya saling
berkaitan satu sama lainnya, tidak boleh bertentangan.
Sistem hukum menurut Sudikno Mertokusumo, adalah suatu kesatuan utuh
dari tatanan-tatanan yang terdiri atas bagian-bagian atau unsur-unsur yang satu
sama lain saling berhubungan dan kait-mengkait secara erat.
Laurance M. Friedman (Achmad Ali, 2001: 7-8) membagi unsur-unsur
sistem hukum pada 3 jenis , yaitu :
a. Substance (substansi hukum), yaitu hakikat dari isi yang dikandung
dalam peraturan perundang-undangan.
b. Structure (struktur hukum), yaitu tingkatan hukum, pelaksana hukum,
peradilan, lembaga-lembaga hukum, dan pembuat hukum. Struktur
hukum terdiri dari tiga elemen yaitu :
1) Beteknis-system, yaitu keseluruhan aturan yang dirumuskan ke
dalam sistem pengertian.
2) Instellingen, yaitu lembaga hukum dan ejabat pelaksana hukum.
3) Beslissingen en handelingen, yaitu putusan konkret dari pejabat
hukum maupun masyarakat.
c. Legal culture (kultur hukum), yaitu bagian-bagian dari kultur pada
umumnya.
2.
Sistem Hukum di Dunia
Secara umum, sistem hukum di dunia terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Sistem hukum Common Law, yang dianut oleh negara-negara AngloSakson, seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan sebagian besar
b.
negara persemakmuran lainnya.
Sistem hukum Civil Law, yang dianut oleh negara-negara Eropa
daratan, seperti Belanda, Perancis, termasuk Indonesia (konkordansi
dari Belanda).
Sistem hukum diatas memiliki persamaan dan perbedaan, persamaannya
adalah keduanya tetap mengenal pembagian kekuasaan dari semua lembaga
negara sebagaimana dimaksud pada teori pemisahan kekuasaan. Perbedaannya
adalah :
a. Pada sistem hukum common law, pada umumnya didominasi hukum
tidak tertulis melalui putusan hakim, sedangkan pada sistem hukum
Eropa Kontinental didominasi hukum tertulis.
b. Pada sistem hukum common law, tidak ada pemisahan yang jelas
antara hukum public dan hukum privat. Sedangkan pada sistem hukum
Eropa Kontinental ada pemisahan yang jelas antara hukum public dan
hukum privat.
3. Subsistem Peradilan
Berdasarkan pada dua jenis sitem hukum yang ada di dunia seperti
dikemukan diatas, makas sistem peradila pun terdiri pula atas dua jenis
yang mengikuti sistem hukumnya, yaitu sebagai berikut.
a. Sistem Peradilan “Common Law”
Pada sistem peradilan ini, menganut sistem peradilan juri, di mana
hakim bertindak sebagai pejabat yang memeriksa dan memutuskan
hukumnya, sementara juri memeriksa peristiwa atau kasusnya
kemudian menentukan bersalah –tidaknya terdakwa. Di sini hakim
diikat oleh suatu asas stare decisis, artinya putusan hakim terdahulu
b.
mengikat hakim-hakim lain untuk mengikutinya pada perkara sejenis.
Sistem Peradilan “Eropa Kontinental”
Sistem Eropa Kontinental tidak mengenal sistem juri, tugas dan
tanggung jawab hakim di sini adalah memeriksa langsung materi
perkaranya, menentukan bersalah-tidaknya terdakwa, kemudian
sekaligus menerapkan hukumnya. Metode berpikir hakim di sistem
hukum ini merupakan deduktif, yaitu berpikir dari yang umum ke
yang khusus.
4. Bentuk Penyelesaian Sengketa dalam Masyarakat
Bentuk penyelesaian sengketa yang ada di dunia terdiri atas dua jenis,
yaitu :
a. Penyelesaian ligitasi, yaitu penyelesaian sengketa melalui jalur
hukum yaitu pengadilan
b. Penyelesaian nonligitasi, ada 4 jenis yaitu ;
a) Perdamaian, yaitu penyelesaian sengketa yang dilakukan
sendiri oleh pihak-pihak yang bersengketa.
b) Mediasi, yaitu penyelesaian sengketa para pihak dengan
menggunakan jasa pihak ketiga (tidak formal) mediator,
tetapi
mediator
tidak
memutuskan,
hanya
sebagai
perantara.
c) Konsiliasi, yaitu penyelesaian sengketa para pihak dengan
menggunakan pihak ketiga yang ditunjuk oleh MA, tetapi
tidak mandiri, dan juga tidak memutuskan sengketa para
pihak.
d) Arbitrasi, yaitu penyelesaian sengketa para pihak dengan
menggunakan pihak ketiga yang ditunjuk secara formal
dan memberikan putusan pada pihak yang bersengketa.
BAB VII
ALIRAN-ALIRAN TEORI DALAM ILMU HUKUM
Beberapa pakar ilmu pengetahuan memberi pengertian tentang
teori sebagai berikut.
1. Fred N. Kerlinger, menguraikan teori adalah sekumpulan konstruksi
(kosep, definisi, dan dalil) yang saling terkait yang menghadirkan
suatu pandangan secara sistematis tentang fenomena dengan
menetapkan hubungan di antara variabel, dengan maksud menjelaskan
dan meramalkan fenomena.
2. Kartini Kartono (1990: 2) menulis bahwa teori adalah suatu prinsip
umum yang dirumuskan untuk menerangkan sekelompok gejala yang
saling berkaitan.
Berbagai
pertanyaan
tentang
hakikat
hukum
misalnya, memunculkan jawaban dan teori para juris yang
didasarkan pada aliran pemikiran yang mereka anut.
Aliran-aliran teori pemikiran tersebut, oleh kalangan juris
banyak yang menyebutnya dengan “teori hukum”. Salah
satunya
adalah
Satjipto
Rahardjo
(1986:
224)
yang
menyatakan, sebagai berikut.
“Teori Hukum boleh disebut sebagai kelanjutan dari
usaha mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam
urutan
yang
kehadiran
demikian
teori
itu
itulah,
secara
kita
jelas.
merekonstruksikan
Pada
saat
orang
mempelajari hukum positif, maka ia sepanjang waktu
berhadapan
pada
peraturan-peraturan
hukum
dengan
segala cabang kegiatan dan permasalahannya, seperti
pada keabsahannya, penafsirannya, dan sebagainya.”
Adapun aliran-aliran teori dalam kepustakaan ilmu
hukum sesuai perkembangan, mencatat beberapa aliran
teori hukum.
A. Aliran Hukum Alam
Aliran Hukum Alam menyebut “hukum itu langsung
bersumber dari Tuhan bersifat Universal dan abadi, serta
antara hukum moral tidak boleh dipisahkan”. Aliran ini
dipelopori oleh Plato, Aristoteles, (murid Plato) dan Zeno
(Pendiri Aliran Stoic).
Thomas Aquinas membagi hukum alam menjadi
empat komponen, yaitu sebagai berikut.
a. Lex aeterna, yaitu rencana pemerintah sebagaimana
dibuat oleh raja.
b. Lex naturalis, yaitu sebagian dari lex aeterna yang
dapat ditangkap manusia melalui akal pikiran yang
dianugerahkan oleh Tuhan kepadanya.
c. Lex divina, yaitu pelengkap asas-asas yang ada pada
lex aeterna.
d. Lex humana, yaitu penyesuaian hukum dengan dalildalil akal.
1. Ajaran hukum alam di Yunani
a. Plato, memandang bahwa hukum alam adalah nilainilai ideal yang terwujud dalam keadilan yang
harmoni, sebagaimana diperlihatkan oleh alam yang
serba harmonis dan yang mengaturnya adalah rasio
alam dan hukum yang abadi.
b. Aristoteles, memandang hukum alam dianggapnya
sebagai hukum yang sewajarnya menurut kodrat.
Aristoteles membagi keadilan menjadi dua jenis,
yaitu
keadilan
memberikan
distributif
kepada
setiap
yaitu
keadilan
orang
sesuai
yang
jatah
jasanya, yang kedua adalah keadilan komutatif yaitu
keadilan yang memberikan jatah sama banyaknya
tanpa melihat jasanya.
c. Kaum Stoa, pembagian menurut kamu Stoa adalah
hukum alam yang bersifat mutlak dan hukum alam
yang bersifat relatif.
2. Ajaran hukum alam di Romawi
a. Dipelopori oleh Cicero, bahwa hukum yang benar itu
rasio kodrat, sesuatu hukum yang abadi dan tidak
dapat berubah-ubah.
b. Gaius, menekankan ajarannya terhadap hukum alam
sebagai hukum yang berlaku pada semua bangsa
bersamaan bagi semua manusia.
B. Aliran Hukum Positivisme dan Utilitarinisme
Aliran positivis mengatakan, bahwa kaidah hukum itu hanya
bersumber dari kekuasaan negara yang tertinggi, dan sumber itu hanyalah
hukum positif yang terpisah dari kaidah sosial, bebas dari pengaruh
politik, ekonomi, sosial dan budaya. Aliran ini dipelopori oleh John
Austin yang sering disebut sebagai “Bapak Ilmu Hukum Inggris”, serta
Hans Kelsen yang terkenal dengan teori hukum murni. Teori “Hukum
Murni” Hans Kelsen menyatakan bahwa “Hukum adalah ilmu normatif
yang murni dan tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi,
sejarah, dan etika”.
Hart (Dias, 1976: 451) salah seorang pengikut aliran positivis,
memandang bahwa pada dasarnya positivis itu mengandung berbagai arti,
yaitu sebagai berikut.
1. Hukum merupakan perintah yang berisi perintah.
2. Analisis atas konsep-konsep hukum adalah yang mempunyai nilai
untuk dilakukan.
3. Keputusan-keputusan dapa dideduksikan secara logis dari peraturanperaturan yang sudah ada, tanpa harus menunjuk pada tujuan-tujuan
sosial.
4. Penghukuman secara moral tidak boleh ditegakkan dan dipertahankan
oleh penalaran rasional.
5. Hukum yang diundangkan atau ditetapkan, harus senantiasa
dipisahkan dari faktor yang diluar hukum yang seharusnya diciptakan.
C. Aliran Historis
Aliran Historis atau Aliran Sejarah mengatakan, bahwa “hukum itu
tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan sejarah, dan semua
bangsa di dunia mempunyai jiwa bangsa (Volkgeys)”. Aliran ini dipelopori
oleh Friedrich Carl Von Savigni (1779- 1861), seorang ahli hukum
Jerman.
D. Aliran Sosiologis
Aliran Sosiologis pada prinsipnya mengatakan bahwa hukum itu
adalah apa yang menjadi kenyataan dalam masyarakat, bagaimana secara
fakta hukum diterima, tumbuh dan berlaku dalam masyarakat. Aliran ini
dipelopori oleh Roscou Pound (Juris dari Amerika Serikat), Eugen
Echrlich, Emil Durkheim, dan Mark Weber.
Teori Max Weber adalah teori perkembangan hukum, yang
menganggap bahwa perkembangan hukum itu senantiasa selaras dengan
perkembangan masyarakatnya.
E. Aliran Antropologi
Aliran Antropologi mengatakan, bahwa hukum itu adalah kaidah
tidak tertulis yang hidup dan tumbuh secara nyata dalam masyarakat
seiring dengan perkembangan kebudayaan. Salah satu pemikiran
antropologi seperti ditulis oleh Satjipto Rahardjo (1986: 250), bahwa
pemikiran antropologi modern yang cukup menarik perhatian para ahli
hukum adalah adanya aliran kultural-fungsional.
F. Aliran Realis
Aliran Realis mengatakan, bahwa hukum itu apa yang dibuat oleh
hakim melalui putusannya, dan hakim lebih layak disebut membuat
hukum dari pada menemukan hukum. Aliran Realis ini dipelopori oleh
Karl Lle wellyn (1893-1962), Jerome Frank (1841-1935), dan Hakim
Ajgung Amerika Serikat Oliver Wendell Holmes (1841-1935).
1. Aliran realis di Amerika Serikat
Aliran ini menganggap hukum itu adalah semua yang dihasilkan
oleh pengadilan sebagai suatu realitas dalam masyarakat.
Esensi ajaran Jerome Frank yang juga tergolong sebagai penganut
ajaran realis Amerika Serikat, penulis simpulkan lima aspek (Achmad
Ali, 1996: 309) sebagai berikut.
a. Memotivasi hakim untuk melakukan reformasi terhadap hukum
untuk kepentingan keadilan.
b. Hukum tidak mungkin dipisahkan dengan putusan pengadilan.
c. Hukum tidak dapat disamakan dengan aturan-aturan yang tetap.
d. Putusan hakim tidak diturunkan secara otomatis dari peraturan
tetap.
e. Putusan pengadilan bergantung pada berbagai faktor, seperti pada
kaidah hukum dan faktor nonhukum.
G. Hukum Progresif
Satjipto Raharjo dalam bukunya “Penegak Hukum Progresif”
(2010) Mengembangkan “Teori Progresif” dalam membahas konsep dan
implementasi hukum yang memerdekakan secara global. Menurut Satjipto
Raharjo pula, pada aspek lain penegakan hukum progresif warga
masyarakat amat berperan dalam membangun hukum untuk mencapai
tujuan asasinya.
Berdasarkan pemikiran yang dikemukakan Satjipto Rahardjo dari
berbagai pemikiran dalam tulisannya, maka dapat disimpulkan ciri-ciri
hukum progresif, yaitu :
a. Hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan pembebas, yaitu
membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas, dan teori hukum yang
legalistik-positivistik.
b. Hukum progresif lebih mengutamakan tujuan daripada prosedur.
c. Hukum progresif menjunjung tinggi moralitas sebagai akar kehidupan
masyarakat.
Juga dapat disimpulkan tentang asumsi pentingnya konsep hukum
progresif dalam menata atau mereformasi pembentukan dan
pelaksanaan hukum di tengah masyarakat yang terus berubah, karena
hal-hal berikut ini.
a. Hukum adalah untuk manusia, bukan sekedar untuk hukum itu
sendiri.
b. Hukum bukanlah institusi yang absolut, otonom, dan final.
c. Hukum progresif pada dasarnya hukum yang prokeadilan,
prorakyat, sekaligus antidsikriminasi dan antianarki.
d. Inti konsep hukum progresif terletak pada aspek moral.
BAB VIII
PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM
A. Pengertian Penemuan Hukum
Penemuan Hukum merupakan salah satu wadah yang dapat
digunakan oleh hakim untuk mengisi kekosongan hukum, atau
menafsirkan suatu kaidah peraturan perundang-undangan yang tidak atau
kurang jelas.
1. Pengertian dalam arti sempit
Pengertian penemuan hukum dalam arti sempit, adalah “Jika
peraturannya sudah ada dan sudah jelas, dimana hakim tinggal
menerapkan saja” (Achmad Ali, 1988:81).
Penafsiran itu sendiri merupakan salah satu metode dalam
penemuan hukum. Penemuan hukum dalam arti sempit, dibedakan pula
atas penemuan hukum perdata, penemuan hukum dalam perkara pidana,
dan penemuan hukum dalam perkara tata usaha Negara, dengan
menggunakan metode sumbsumptie.
Proses penerapan metode sumbsumptie, pertama-tama melihat
terlebih dahulu gejala-gejala penyakitnya, kemudian mendiagnosis
penyakit apa yang diderita pasien pasien berdasarkan gejala-gejalanya tadi,
selanjutnya menentukan jenis obatnya.
2. Pengertian dalam arti luas
Penemuan Hukum dalam arti luas, adalah posisi hakim bukan lagi
sekedar menerapkan peraturan hukum yang sudah jelas dengan
mengocokannya pada kasus yang ditangani, melainkan sudah lebih luas.
B. Sejarah Penemuan Hukum
Penggunaan istilah “Penemuan hukum” memang mengandung arti
luas, karena selain pembentukan hukum, juga hukum yang sebenarnya
telah ada dan tinggal ditemukan hasil penemuan Hukum disebut doktrin,
tidak langsung menjadi hukum tetapi hanya memilii kekuatan mengikat
seperti putusan.
Penemuan hukum yang diharapkan dapat dilakukan oleh hakim,
selain
menfasirkan
ketertinggalan
hukum
ketentuan
dalam
undang-undang.
sejarah
hukum,
Kelemahan
dan
terutama
pada
pengkodifikasian hukum dan kaitannya dengan penemuan hukum.
Kepustakaan Ilmu Hukum mencatatnya ada tiga fase, sebagai berikut.
1. Fase Sebelum Tahun 1800
Pada Fase tahun 1800 sama sekali belum ada hukum tertulis dalam
bentuk Undang-undang atau kaidah hukum yang mengatur masyarakat.
Ketika itu sebagian besar “Hukum tidak tertulis atau hukum kebiasan”
yang ternyata kurang menjamin kepastian hukum.
Pada Fase ini, pembuat dan pelaksana hukum berada pada satu
orang, yaitu raja. Apa yang diucapkan oleh raja, itulah hukum. Siapa
yang melanggar hukum (ucapan raja), maka raja sendirilah yang
menghukumnya. Fase ini biasa didebut dengan “pra-kodifikasi” dan
hakim pada fase ini belum ada, karena raja sekaligus bertindak sebagai
hakim.
2. Fase Pertengahan Abad ke-18
Pada fase ini sudah mulai dikenal hukum tertulis yang dimotivasi
oleh lahirnya teori yang dikemukakan oleh Montesquieu dengan
teorinya “Trias Politika” tentang “pemisahan kekuasaan” dalam
bukunya “Esprit des Lois” (Azhary, 1986: 37). Teori ini mengatakan,
ada tiga paham kekuasaan Negara yang harus dipisahkan, yaitu sebagai
berikut:
a. Kekuasaan Legislatif, yaitu kekuasaan membuat Undang-undang.
b. Kekuasaan Eksekutif, yaitu kekuasaan menyelenggarakan Undangundang.
c. Kekuasaan Yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mengadili.
Atas dasar teori Montesquieu, kemudian timbul pula pemikiran
untuk membuat kodifikasi hukum, yaitu pembentukan hukum tertulis
secara sistematis, lengkap, dan jelas. Munculnya kodifikasi ini juga
menimbulkan adanya aliran baru bernama aliran legisme, yang tidak
mengakui adanya hukum tidak tertulis.
3. Fase Abad ke-19 (awal abad ke-19)
Sejak awal abad ke-19, timbullah sebagai hasil perenungan, bahwa
ternyata dikodifikasi huikum itu belumlah lengkap, karena hukum
(undang-undang) semakin tertinggal perkembangan masyarakat. Untuk
mengantipasi ketertinggalan undang-undang yang dikodifikasi, diawali
dengan lahirnya dua aliran di Jerman yang lebih lunak dari aliran
legisma, yaitu Mazhab freirechtschule (Sudikno Mertokusumo, 1993:
10).
Pandangan Mazhab historis menyatakan, bahwa undang-undang itu
tidak lengkap dan selain undang-undang masih ada sumber hukum
lain, yaitu kebiasaan. Menurut Von Savigny, hukum mesti berdasarkan
system asas-asas hukum dan pengertian dasar ditujukan pada setiap
peristiwa
dan
dapat
diterapkan
kaidah
yang
cocok
(begriffsjurisprudence). Agra juga menilai, bahwa hakim memang
bebas dalam memberlakukan atau menerapkan undang-undang, tetapi
ia tetap bergerak dalam sistem hukum yang tertutup.
C. Dasar Hukum Penemuan Hukum di Indonesia
Secara umum, dasar penemuan hukum di Indonesia selain karena
adanya asas universal, juga tersirat dalam perundang-undangan, sebagai
berikut.
1. Asas curia novit, yaitu “Hakim dianggap mengetahui hukum”,
sehingga hakim tidak boleh menolak sesuatu perkara yang diajukan
kepadanya dengan alasan peraturan kurang jelas atau tidak ada
peraturannya. Suatu peristiwa atau perkara hukum yang kemungkinan
belum ada ketentuannya, atau peraturannya ada tetapi kurang jelas,
hakim
tetap
wajib
memeriksa
perkara
tersebut
sekaligus
memutuskannya.
2. Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, mengatur bahwa “Hakim
sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.
Ketentuan ini menuntun hakim, agar dalam menjatuhkan putusannya
wajib memperhatikan dan memaknai nilai-nilai hukum, seperti
perasaaan
hukum
dan
kesadaran
hukum
masyarakat
dalam
menjatuhkan putusan.
Undang-undang itu mempunyai nilai-nilai dan semangat yang bukan
sekedar sejumlah deretan kata-kata dan kalimat, melainkan harus
direfleksikan sebagai sarana untuk memajukan masyarakat sesuai
dengan sistem nilai yang diaturnya. Untuk itulah, hakim wajib
menafsirkan ketentuan undang-undang dan menyesuaikannya dengan
kondisi dan kebutuhan masyarakat.
Hakim dalam menjatuhkan putusan wajib memperhatikan dan
menghormati nilai-nilai hukum yang dianut oleh warga masyarakat.
Hakim jangan hanya menjadi “terompet undang-undang” dan kaku
menerapkan undang-undang, karena undang-undang mempunyai
semangat dan nilai tersendiri yang harus dilaksanakan dan ditegakan.
Misalnya, ketentuan yang tidak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat
dan nilai-nilai yang dianutnya, sedpat mungkin tidak diterapkan.
3. Untuk mengisi kekosongan perundang-undangan atau hukum tertulis.
Untuk itu, suatu perkara yang tidak ada peraturannya, hakim tetap
wajib
memeriksa
dan
memutuskan
perkara
tersebut
dengan
menggunakan metode analogi terhadap suatu peraturan yang mirip
dengan perkara yang diperiksa (khusus dalam perkara perdata,
sedangkan dalam perkara pidana tidak dibenarkan menggunakan
metode analogi).
Dasar dan alasan pemikiran untuk melakukan penemuan hukum oleh
hakim adalah sebagai berikut:
1. Karena peraturannya tidak ada, tetapi esensi perkara sama atau
mirip dengan suatu peraturan lain yang dapat diterapkan pada
kasus tersebut.
2. Peraturannya memang ada, tetapi kurang jelas sehingga hakim
perlu menafsirkan peraturan tersebut untuk diterapkan pada
perkara yang ditangani.
3. Peraturannya juga ada, tetapi peraturan itu sudah tidak sesuai lagi
dengan kondisi dan kebutuhan warga masyarakat, sehingga hakim
wajib menyesuaikannya dengan perkara yang sedang ditangani.
Dalam penemuan hukum, van Gerven (Sudikno Mertokusumo,
1993: 5) juga mengemukakan adanya dua aliran, yaitu aliran progresif dan
aliran konservatif. Para penganut aliran progresif berpendapat, bahwa
hukum dan peradilan merupakan alat untuk perubahan-perubhana social,
sedangkan aliran konnservatif berpendapat bahwa hukum dan peradilan
hanyalah untuk mencegah kemerosotan moral dan lain-lain.
Dalam proses pelaksanaan penemuan hukum, keputakaan ilmu
hukum menentukan, bahwa hak melakukan tugas dan menurut dialakukan
dalam tiga tahapan Sudikno Mertokusumo 1993: 91-92) sebagai berikut.
1. Tahap konstartir, yaitu hakim menyatakan benar terjadi peristiwa
konkret.
2. Tahap kualifikasi, yaitu hakim mengkualifikasi peristiwanya, termasuk
hubungan yang menyebabkan perbuatan tersebut terjadi.
3. Tahap konstituir, yaitu hakim menetapkan hukumnya terhadap
peristiwa yang diperiksa.
D. Perkembangan Penemuan Hukum
Aliran-aliran perkembangan antara tugas hakim dengan eksistensi
Undang-undang dikenal dalam tiga aliran (Achmad Ali, 1996: 143-153),
sebagai berikut:
1. Aliran pra-kodifikasi hukum (sebelum tahun 1818), belum dikenal
adanya hukum tertulis atau kodifikasi hukum, dan hukum yang berlaku
adalah hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan, sehingga penemuan
hukum, hukum juga belum ada.
2. Aliran legis, menganggap undang-undang itu sudah lengkap, diluar
undang-undang bukanlah hukum. Aliran ini memandang hakim
sebagai pelaksana undang-undang belaka. Sama sekali tidak dikenal
hukum sebagai akibat undang-undang dianggap sudah lenyap,
sehingga tidak pelu ditafsirkan.
3. Aliran penemuan hukum oleh hakim, menganggap hukum atau
undang-undang itu tidak lengkap, sehingga perlu diantisipasi dengan
penemuan hukum oleh hakim.
Dalam perkembangan dan upaya hakim untuk melakukan
penemuan hukum, terlebih pada efektivitas tugas hakim dengan
keberadaan undang-undang, kepustakaan ilmu hukum membaginya dalam
beberapa aliran (Achmad Ali, 1996: 153-154), sebagai berikut:
1. Aliran begriffs-yurisprudenz menganggap, bahwa hakim dapat
melakukan penemuan hukum dengan penafsiran, tetapi penafsiran
yang dilakukan masih terikat pada bunyi undang-undang. Aliran ini
melihat hukum sebagai satu sistem atau satu kesatuan tertutup
secara umum menguasai semua tingkah laku manusia. Pengertian
hukum bukanlah sebagai sarana, melainkan sebagai tujuan,
sehingga ajaran hukum menjadi ajaran tentang pengertian
(begriffsyurisprudens)
atau
permintaan
pengertian
yang
mengkultuskan rasio dan logika. Dengan demikian, kendati hakim
bebas dari ikatan undang-undang, tetapi harus bekerja dalam
sistem hukum yang tertutup.
2. Aliran freierechtschule (aliran hukum bebas), merupakan cara
penemuan hukum yang member kebebasan pada hakim melalui
metode “konstruksi hukum”. Hakim diberi kebebasan dalam
menemukan hukum, dalam arti hakim bukan sekedar menerapkan
undang-undang saja, melainkan juga memperluas dan membentuk
hukum melalui putusannya.
3. Aliran soziologische-rechtshule yaitu hakim dalam menemukan
hukum senantiasa memperhatikan kenyataan nilai-nilai hukum
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Hakim diharapkan
dalam menafsirkan undang-undang senantiasa menyesuaikannya
dengan nilai hukum dan kultur hukum yang dianut oleh warga
masyarakat. Aliran ini juga tidak menyetujui apabila hakim hanya
menjadi terompet undang-undang. Namun, pemberian kebebasan
bagi hakim tidak disetujuinya, karena kemungkinan hakim dapat
sewenang-wenang menafsirkan undang-undang.
4. Aliran sistem hukum terbuka menganggap, bahwa hukum sebagai
satu sistem, membuka diri dan menerima nilai-nilai yang ada diluar
hukum, dan dalam penemuan hukum oleh hakim senantiasa
berdasarkan pada kriteria “pemahaman intelektual atau rasio dan
logika” serta penilaian dengan menggunakan penalaran logis”.
Aliran ini mengajarkan, bahwa hukum sebagai suatu sistem
senantiasa saling berhubungan dan berkaitan antar subsistem yang
ada didalamnya. Hakim dalam melakukan penemuan hukum,
bekerja atas dasar penilaian yang hasilnya merupakan perluasan
atau sesuatu yang baru bagi masyarakat.
5. Aliran pemuan hukum heteronom dan otonom, penemuan hukum
ini dibahas tuntas oleh Sudikno Mertokusumo (1993: 7-10).
Penemuan hukum heteronom terjadi apabila hakim dalam
melakukan penemuan hukum sepenuhnya tunduk pada undangundang. Dengan demikian, hakim hanya sekedar mengkonstatir
atau menerapkan bunyi dan maksud ketentuan undang-undang
dengan peristiwa konkret yang diperiksanya. Penemuan hukum
otonom terjadi apabila hakim dalam menjatuhkan putusan,
dibimbing oleh pandangan-pandangan atau pikirannya sendiri.
E. Metode Penemuan Hukum
Metode penemuan hukum oleh hakim dapat dilakukan dalam dua bentuk,
sebagai berikut:
1. Interpretasi Hukum, yaitu penafsiran perkataan dalam Undang-undang,
tetapi tetap berpegang pada kata-kata/ bunyi peraturannya.
2. Konstruksi Hukum, yaitu penalaran logis untuk mengembangkan suatu
ketentuan dalam undang-undang yang tidak lagi berpegang pada katakatanya, tetapi tetap harus memperhatikan hukum sebagai suatu
sistem.
1. Metode Interpretasi Hukum
Metode interpretasi atau penafsiran hukum digunakan karena
apabila suatu peristiwa konkret tidak secara jelas dan tegas dianut
dalam suatu peraturan perundang-undangan. Berbagai jenis metode
interpretasi disiapkan dalam teori hukum, sehingga hakim bebas
memilih, mana yang paling cocok dengan peristiwa ysng sedang
ditanganinya. Jenis-jenis metode penemuan hukum melalui interpretasi
hukum adalah sebagai berikut:
a. Interpretasi subsumptif, yaitu hakim menerapkan teks atau katakata suatu ketentuan undang-undang terhadap kasus in-konkreto
(fakta kasus) tanpa menggunakan penalaran sama sekali dan hanya
sekedar menerapkan silogisme dari ketentuan
pasal undang-
undang, yaitu mencocokan fakta kasus dengan ketentuan undangundang.
b. Interpretasi gramatikal, yaitu menafsirkan kata-kata yang ada
dalam undang-undang sesuai dengan kaidah tata bahasa. Teks atau
kata-kata
dari
suatu
peraturan
perundang-undangan
dicari
maknanya yang oleh pembentuk undang-undang digunakan
sebagai symbol terhadap suatu peristiwa. Misalnya, ketentuan
Pasal 101 KUHPidana tentang hewan, yaitu binatang ternak yang
dipelihara.
c. Interpretasi ekstentif, yaitu penafsiran yang lebih luas dari pada
penafsiran gramatikal, karena memperluas makna dari ketentuan
khusus menjadi ketentuan umum sesuai dengan kaidah tata
bahasanya. Disini tujuananya menafsirkan kaidah tata bahasa,
karena menjadi jelas atau terlalu abstrak agar menjadi jelas dan
konkret, perlu diperluas maknanya. Misalnya, kata pencurian
barang dalam Pasal 362 KUHPidana, diperluas esensi makna
terhadap aliran listrik sebagai benda yang tidak berwujud.
d. Interpretasi sistematis yaitu menafsirkan Undang-undang sebagai
bagian dan keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan.
Misalnya, suatu peristiwa hukum yang tidak ada ketentuannya
dalam undang-undang, maka hakim harus mencari ketentuan lain
yang sesuai dan mirip dengan peristiwa konkret yang ditanganinya.
e. Intrepretasi sosiologis atau teologis, yaitu menafsirkan makna atau
substansi undang-undang untuk diselaraskan dengan kebutuhan
atau kepentingan warga masyarakat. Substansi yang ditekankan
pada metode ini terletak pada tujuan kemasyarakatan, sehingga
suatu peraturan perundangan-undangan yang sudah tidak sesuai
lagi dengan dinamika masyarakat dapat diabaikan oleh hakim, atau
ketentuan itu membahayakan kehidupan masyarakat secara luas.
f. Intrepretasi historis, dibagi atas dua jenis, yaitu sebagai berikut.
1) Penafsiran menurut sejarah undang-undang, mencari maksud
dari pembuat undang-undang saat diundangkannya sebagai
ukuran dalam menafsirkan suatu peristiwa hukum, dan
sumbernya dilihat pada catatan pembahasannya di Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).
2) Penafsiran menurut sejarah hukum, mencari makna yang
terkandung dari sejarah perkembangan hukum, seperti apa
tujuan hukum sehingga korupsi dilarang.
g. Intrepretasi komparatif, yaitu membandingkan antara berbagai
sistem hukum yang ada didunia, sehingga hakim bisa mengambil
putusan yang sesuai perkara yang ditanganinya. Metode ini banyak
digunakan dalam perjanjian internasional (hukum internasional).
h. Intrerpretasi restriktif, yaitu penafsiran yang sifatnya membatasi
suatu ketentuan undang-undang terhadap peristiwa konkret. Di sini
hakim membatasi perluasan berlakunya suatu undang-undang
terhadap peristiwa tertentu untuk melindungi kepentingan umum.
i. Interpretasi futurities, yaitu menjelaskan suatu undang-undang
yang berlaku sekarang (ius constitutum) dengan berpedoman pada
undang-undang yang akan diberlakukan (ius constituendum).
Misalnya, ketentuan ada dalam Rancangan Undang-Undang
(RUU) dijadikan dasar dalam menerapkan undang-undang yang
sekarang berlaku, karena tujuan ketentuannya dengan kebutuhan/
kepentingan masyarakat.
2. Metode Konstruksi Hukum
Seperti telah dikemukakan di awal, bahwa metode penemuan
hukum oleh hakim dapat dilakukan dengan cara konstruksi hukum,
yaitu penaralan logis untuk mengembangkan suatu ketentuan dalam
perundang-undang yang tidak lagi berpegang pada kata-kata, tetapi
tetap harus memperhatikan hukum sebagai suatu sistem. Adapun jenisjenis konstruksi hukum adalah sebagai berikut.
a. Analogi atau argumentum peranalogian, yaitu penemuan hukum
yang mencari esensi dari species ke genius,atau dari suatu
peristiwa khusus keperaturan yang bersifat umum. Inti dari
penemuan hukum ini adalah mempersamakan dengan cara
memperluas makna atau eksistensi suatu ketentuan undang-undang
yang khusus menjadi ketentuan umum, dan tidak lagi berpegang
pada bunyi ketentuannya, tetapi tetap menyatu dalam sistem
hukum. Penemuan hukum dengan cara analog lebih sering
digunakan dalam perkara perdata, tetapi tidak pada hukum pidana,
karena menimbulkan polemik oleh para ahli hukum.
Misalnya, Ketentuan Pasal 1576 KUHPerdata yang hanya
mengatur bahwa jual-beli tidak memutuskan sewa menyewa.
Disini, hakim pertama-tama mencari esensi jual-beli, yaitu
“peralihan hak”, sedangkan hibah dan wasiat juga esensinya
peralihan hak. Dengan demikian, substansi dari jual-beli sama
dengan “hibah dan wasiat” yaitu “peralihan hak”, sehingga hibah
dan wasiat juga tidak memutuskan hubungan hukum sewamenyewa.
b. Argumentum a’contrario, yaitu penalaran terhadap suatu penentuan
undang-undang pada peristiwa hukum tertentu, sehingga secara
a’concrario ketentuan,tersebut tidak boleh dibetrlakukan pada halhal lain atau kebalikannya (expressive unius est exclusion alterius,
the mention of obe is the ezclusion of another).
Misalnya, ketentuan iddah (waktu tunggu) bagi seorang janda
selama 130 hari, baru dibolehkan nikah atau kawin lagi dengan
pria diatur dalam Pasal 39 PP Nomor 9 Tahun 1975, tidak boleh
diberlakukan kebalikannya terhadap seorang duda.
c. Rechtsvervijnings (pengkonkretan hukum, tetapi ada juga yang
mengartikan penyempitan atau penghalusan hukum), yaitu
mengkonkretkan suatu ketentuan dalam undang-undang yang
asbrak atau terlalu luas cakupannya sehingga perlu dikonkretkan
oleh hakim.
Misalnya, ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata tentang maksud
“perbuatan melawan hukum” yang pengertiannya masih abstrak
dan hanya perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang.
d. Fiksi
hukum
(fictie),
yaitu
penemuan
hukum
dengan
menggambarkan suatu peristiwa kemudian menganggapnya ada,
sehingga peristiwa tersebut menjadi suatu fakta baru.
Konsekuensi dari penggunaan fiksi hukum karena adanya asas ini
dubio pro reo, bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum,
sehingga seseorang yang melanggar suatu ketentuan hukum tidak
boleh beralasan bahwa ketentuan hukum itu tidak diketahuinya.