Mendamaikan Multikulturalime dan teori Etnisit

Mendamaikan Multikulturalime dan Etnisitas: Peran Pendidikan
Kewarganegaraan melalui Pendekatan Multikultural
Candra C, S.Pd dan Yuliadhani, S,Pd
Abstrak
Indonesia merupakan salah satu negara yang multicultural terbesar di
dunia. Pernyataan ini dapat dibenarkan ketika kita membuktikan
kondisi sosiokultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas.
Namun keragaman ini akan menjadi persoalan dan akan membuka
ruang terjadinya berbagai persoalan terutama yang berkaitan dengan
masalah integrasi bangsa. Kekisruhan etnik yang merebak di banyak
tempat di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan
bagian dari krisis multi dimensi yang dihadapi oleh negara dan bangsa
Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Kekisruhan etnik tersebut
telah menggugah kesadaran baru diantara komponen bangsa Indonesia
bahwa kebanggaan akan kehidupan berbangsa satu di atas kebhinekaan
adalah sebuah bayang-bayang semu. Terjadinya konflik yang benuansa
SARA pada beberapa daerah di Indonesia, dari banyak studi yang
dilakukan salah satu penyebabnya adalah, akibat dari lemahnya
pemahaman dan pemaknaan tentang konsep multikultural Bhineka
Tunggal Ika Indonesia. Konflik akan muncul apabila tidak ada
distribusi nilai yang adil kepada masyarakat. Untuk mengatasi hal

tersebut, peran pendidikan kewarganegaraan sedang dipertaruhkan.
Salah satu strategi yang epektif untuk mengatasi hal tersebut dengan
melalui pendidikan berbasis multikultural. Melalui pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaran yang menggunakan pendekatan
multikultural atau multietnik maka diharapkan mampu membentuk
warga negara yang memahami akan nilai demokrasi, pluralitas,
humanisme yang sangat dibutuhkan dalam masyarakat yang
multikultural
Kata Kunci: PKn, Pendekatan Multikulturalisme, Multietnik,
Etnisitas
A. Pendahuluan
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan salah satu bidang kajian
dalam konteks pendidikan nasional yang memiliki peran strategis bagi pembentukan
karakter bangsa (nation and character building) di tengah heterogenitas masyarakat
Indonesia. Realitas pluralitas dan heterogenitas tesebut tergambar dalam prinsip
berbhineka, tetapi integrasi dalam kesatuan. Untuk itu, PKn menemukan
momentumnya menjadi topik sentral dalam membangun negara bangsa Indonesia.
Dengan demikian, Masyarakat multikultural Indoensia tidak bisa dibangun secara

taken for granted atau trial and error, sebaliknya harus diupayakan secara

sistematis, programatis, integrated dan berkesinambungan. Salah satu strategi yang
bisa dilakukan dalam konteks tersebut adalah melalui pendidikan kewarganegaraan.
Pendidikan kewarganegaraan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah pendidikan
kewarganegaraan dalam arti luas (citizenship education) yang memiliki perspektif
kewarganegaraan dunia abad ke-21 yang terkenal dengan sebutan kewarganegaraan
multidimensi yang salah satu cirinya memiliki karakteristik multikultural (Cogan,
1998:116).
Berdasarkan pemikiran tersebut, dapat dimaknai bahwa pendidikan
kewarganegaraan merupakan salah satu ujung tombak bagi pembentukan generasi
muda sebagai warga negara yang baik. Hal tersebut senada dengan pendapat Kerr
dalam (Winataputra dan Budimansyah, 2007:4) yang menyatakan bahwa:
Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the
preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and,
in particular, the role of education (through schooling, teaching, and learning)
in that preparatory process atau, “citizenship or civics education.
Dari pengertian tersebut, tergambar bahwa PKn memiliki peran dalam
membina warga negara Indonesia agar menjadi masyarakat yang memahami tugas dan
tanggung jawabnya sebagai warga negara terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara
dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memegang perinsip Bhineka
Tungga Ika. Untuk itu, PKn memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya

mengembangkan masyarakat multikultural. Hal ini sebagaimana tertuang dalam
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang
menyatakan bahwa:
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan nama mata pelajaran wajib
untuk kurikulum pendidikan dasar dan menengah dan matakuliah wajib
untuk kurikulum pendidikan tinggi (Pasal 37 UU Sisdiknas Nomor 20
Tahun 2003)
Selain itu, dalam Undang-Undang Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003
secara prinsip telah termaktub di pasal (4), di mana dijelaskan bahwa “pendidikan
diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi nilainilai Hak Asasi Manusia (HAM), nilai-nilai keagamaan dan kultural”. Berdasarkan
konsepsi tersebut, PKn berbasis pendekatan multikultural merupakan salah satu
instrumen dalam konteks pendidikan nasional dalam memprogramkan secara kurikuler
PKn sebagai wadah dalam membina warga negara agar menjadi baik dan cerdas.

B. Urgensi Pendekatan Multikultural dalam Pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan
Ada tiga istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk menggambarkan
masyarakat yang terdiri dari agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda, yakni
pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural). ketiga
ekspresi itu sesungguhnya tidak merepresentasikan hal yang sama, walaupun

semuanya mengacu kepada adanya “ketidaktunggalan”. Konsep pluralitas
mengandaikan adanya “hal-hal yang lebih dari satu” (many); keragaman menunjukkan
bahwa keberadaan yang “lebih dari satu” itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak
dapat disamakan (Azra, 2006).
Pada abad ke-20, kemajemukan menjadi syarat demokrasi. Serba tunggal,
misalnya, satu ideologi, satu partai politik, satu calon pemimpin, dianggap sebagai
bentuk pemaksaan dari negara. Dibandingkan dua konsep terdahulu, multikulturalisme
sebenarnya relatif baru. Sekitar 1970-an gerakan multikultural muncul pertama kali di
Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya
(Suparlan, 2005). Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas,
keragaman, dan multikultural. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima
kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya,
etnik, jender, bahasa, ataupun agama.
Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih
dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala
perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik (Sarjadi dan Rinakit,
2006). Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap
keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak
cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan
sama oleh negara. Di sinilah konsep multikulturalisme memberikan kontribusi nyata

terhadap agenda demokratisasi dan nondiskriminasi. perhatian yang besar terhadap
equalitas (persamaan) dan nondiskriminasi kaum minoritas telah menghubungkan
multikulturalisme dengan demokrasi. Bukankah sisi terpenting dari nilai demokrasi
adalah keharusan memperlakukan berbagai kelompok atau individu yang berbeda
tanpa diskriminasi?
Sebagai alternatif atas penolakan terhadap diskriminasi, multikulturalisme
memberikan nilai positif terhadap keragaman kultural. Konsekuensi lebih lanjut adalah
kesediaan untuk memberikan apresiasi konstruktif terhadap segala bentuk tradisi
budaya dan juga termasuk didalamnya agama. Untuk itu, dalam kontek membangun
tatanan masyarakat dan tatanan sosial yang kokoh, nilai-nilai kearifan yang dalam hal
ini kearifan sosial dan kearifan budaya dapat dijadikan sebagai tali pengikat dalam
upaya bersosialisasi dan berinteraksi antar individu dengan individu, individu dengan
kelompok dan kelompok dengan kelompok. Dengan nilai kearifan sosial dan kearifan
budaya, akan berusaha mengeliminir berbagai perselihan dan konflik budaya yang
kurang kondusif. Tatanan kehidupan sosial masyarakat yang multikultural akan
terwujud dalam perilaku yang saling menghormati, menghargai perbedaan
keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan dan menjaga satu dengan lainnya

dalam prinsip-prinsip perbedaan tersebut. Untuk itu, harus berusaha untuk
mengeliminir atau menghilangkan hal yang selalu menjadi emberio atau mendasari

terjadinya konflik, yaitu ”(1) prasangka historis, (2) diskriminasi, dan (3) perasaan
superioritas in-group feeling yang berlebihan dengan menganggap inferior pihak yang
lain (out-group)”. (Puwasito, Andrik, 2003:147).
Apabila ketiga hal tersebut tidak mampu dieliminir individu maupun kelompok,
maka konflik dan benturan antar individu atau kelompok yang disebabkan oleh
perbedaan kepentingan, keinginan, visi, keyakinan dan tradisi, politik, idiologi, agama
akan menjadi sesuatu legal dan lumrah dalam interaksi sosial, karena keringnya nilainilai kemanusiaan (humanis), keringnya niai-nilai kearifan sosial, keringnya nilai-nilai
kearifan budaya dan keringnya nilai-nilai kearifan moral dalam relasi antar sesama
manusia baik secara individu maupun kelompok. Jadi pada tahap ini, komitmen pada
nilai-nilai tersebut tidak dapat dipandang hanya ”berkaitan dengan eksklusivisne
personal dan sosial saja atau dengan superioritas kultural saja, tetapi lebih jauh lagi
dengan persoalan kemanusiaan (humanness), komitmen dan kohesi kemanusiaan
termasuk di dalamnya melalui toleransi, saling menghormati hak-hak personal dan
komunal.
Ketika manusia berhadapan dengan simbol-simbol, nilai-nilai, doktrin-doktrin,
prinsip-prinsip dan pola tingkah laku, sesungguhnya mengungkapkan dan sekaligus
mengidealisasikan komitmen kepada kemanusiaan, baik personal maupun komunal
dan kebudayaan yang dihasilkannya. Hal ini sejalan dengan pandangan Blum,
multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan, dan penilaian atas
budaya seseorang , dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis

orang lain. la meliputi penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain, bukan
dalam arti menyetujui seluruh aspek atas kebudayaan-kebudayaan tersebut, melainkan
mecoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu mengekspresikan nilai bagi anggotaangotanya sendiri. (Blum, 2001:16).
Mengacu pada pandangan dan konsep yang dikemukakan di atas, konsep
multikulturalisme mempunyai relevansi makna dan fungsi yang tepat. Konsep
multikulturalisme menjadi penting untuk dikembangkan dan diinternalisasikan dalam
proses transformasi nilai-nilai masyarakat dan bangsa yang beragam ini. Sebab prinsipprinsip dasar multikulturalisme mengakui dan menghargai keberagaman kelompok
masyarakat seperti etnis, ras, budaya, gender, strata sosial, agama, perbedaan
kepentingan, keinginan, visi, keyakinan dan tradisi yang akan sangat membantu bagi
terwujudnya perubahan format perilaku sosial yang kondusif dan sangat menjanjikan
ditengah kehidupan masyarakat dan bangsa yang majemuk. Sarana terbaik dan strategis
yang digunakan untuk membangun dan mensosialisasikan konsep multikulturalisme
agar melahirkan perilaku sosial kondusif, ”kearifan sosial”, ”kearifan budaya” dan
“kearifan moral” atau akhlak adalah melalui “pendidikan multikultural”. Dimana
pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman etnik dan budaya dari
masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan stavenragen:

Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal
peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their will,
to the interest of the state and the dominandt society. While many people…had

to discard their own cultures, langues, religions and traditions, and adapt to
the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through
national institutions, incluiding the educational and legal system.
(Stavenhagen, 1996: 15)
Dalam literatur penelitian Internasional telah banyak disimpulkan tentang
kekuatan pendidikan multikultural dapat menekan konflik etnik pada sebuah
masyarakat yang berbduaya plural (cultural pluralism). Hawkins (1972) menunjukkan
bahwa pendidikan multikultural sangat epektif untuk meningkatkan kesadaran
terhadap persamaan derajat (equality), demokratis, toleransi dan rasionalitas antar
budaya. Hawkins juga menyimpulkan dengan rancangan kurikulum pendidikan
multikultural yang baik, maka kekuatan purbasangka dan diskriminasi etnik dapat
ditekan secara maksimal. Pendidikan multikultural dilaporkan juga sangat epektif
sebagai alat pengakomodasi “dominasi kekuasaan” salah satu etnik atau budaya
(Banks, 1973; Harding, 1974 dalam Suparlan, 2005)
Selain itu, studi yang dilakukan oleh Nurul Zuhria tahun 2011, dengan
melakukan penelitian tentang pengembangan model pendidikan kewarganegaraan
multikultural berbasis kearifan lokal, menghasilkan beberapa hal diantaranya adalah
model pendidikan kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal dapat
meningkatkan kompotensi kewarganegaan multikultural mahasiswa di lingkungan
perguruan tinggi. Keefektipan model pendidikan kewarganegaraan multikultural

berbasis kearifan lokal untuk meningkatkan kompotensi kewarganegaraan
multikultural mahasiswa tergantung pada penggunaan desain, metode, dan sintak
pembelajaran inkuiri sosial secara benar dan kontekstual dalam proses perkuliahan
Pendidikan Kewarganegaraan.
Dari berbagai studi yang dilakukan tersebut, maka urgensi pendekatan
multikultural dalam pembelajaran PKn menjadi sebuah keniscayaan untuk dilakukan
secara sungguh dan komprehensif melalui sebuah program kurikuler di sekolah dan
perguruan tinggi. Melalui pendekatan pembelajaran multikultural dalam pendidikan
kewarganegaraan, yang tidak hanya menanamkan pemahaman lebih benar tentang
demokrasi, HAM, pluralitas, respek dan toleransi diantara berbagai komunitas, tetapi
juga pengalaman berdemokrasi keadaban dan multikultural. Maka dengan
Pembelajaran PKn berbasis multikultural diharapkan dapat mendukung pengembangan
demokratis yang tengah tumbuh di tengah masyarakat Indonesia yang multi etnis, suku
bangsa, budaya, agama untuk menuju masyarakat madani Indonesia atau Indonesia
baru yang dicita-citakan yang mampu membentuk warga negara yang memiliki
kesadaran demokratis.

C. Mendamaikan Multikulturalime dan Etnisitas: Peran Pendidikan
Kewarganegaraan melalui Pendekatan Multietnik
Sebagaimana yang dikemukakan diatas, merupakan kenyataan yang sulit

diingkari bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari sejumlah besar kelompok etnis,
budaya, agama, sehingga secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural”. Tetapi pada pihak lain, realitas “multikultural” tersebut berhadapan dengan
kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali “kebudayaan nasional Indonesia”
yang dapat menjadi ”integrating force” yang mengikat seluruh keragaman etnisitas
tersebut.
Isu multikulturalisme di Indonesia muncul karena kondisi-kondisi berkut ini:
Pertama, dsentralisasi mendorong ditingkatkannya batas-batas identitas kebudayaan di
Indonesia, baik identitas etnik, agama maapun golongan. Integrasi sosial dan nasional
mendaat tantangan besar dari perubahan yang terjadi. Kedua, desentralisasi politik
(otonomi daerah) masa kini sangat kurang memperhatikan aspek kebudayaan yang
majemuk di Indonesia, dan bahkan para politisi sangat kurang memperhatikan dimensi
kebudayaan. Keputusan untuk melaksanakan desenntralisasi lebih pada keputusan
politik oleh para elit politik partai ketimbang mempertimbangkan dimensi kebudayaan
yang sesungguhnya sangat mendasar dan penting. Ketiga, ketika batas-batas
kebudayan itu semakin nyata dan tajam, dan orientasi primordialisme mulai memicu
konflik yang tajam antar etnik, agama, dan golongan, dan gejala ini dikhawatirkan
mengancam integrasi bangsa. (Saifuddin, 2006:137)
Dari perspektif politik Indonesia, berakhirnya sentralisme kekuasaan Orde Baru
yang memaksakan “mono-kulturalisme”, keseragaman, memunculkan reaksi balik,
yang bukan tidak mungkin mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi

kebudayaan Indonesia yang pada hakekatnya multi-kultural. Berbarengan dengan
proses otonomasi dan desentralisasi kekuasan pemerintah, terjadi pula peningkatan
gejala “provinsialisme” yang hampir tumpang tindih dengan “etnisitas”. Dimana
etnisitas instrumental yang berasal dari keterpinggiran material, dan etnisitas simbolis
didasarkan pada kecemasan untuk memelihara suatu identitas kultural yang melahirkan
motif bagi pembentukan negara. Kecenderungan ini, jika tidak terkendali dapat
menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural tetapi juga disintegrasi politik.
(Oommen, 2009: 60)
Dalam konteks ini, multikulturalisme dapat pula dipahami sebagai
“kepercayaan” kepada normalitas dan penerimaan keragaman. Pandangan dunia
multikulturalisme seperti ini dapat dipandang sebagai titik tolak dan fondasi bagi
kewarganegaraan yang berkeadaban. Di sini, multi-kulturalisme dapat dipandang
sebagai landasan budaya(cultural basis) bagi kewargaan, kewarganegaraan, dan
pendidikan. Multi-kulturalisme sebagai landasan budaya, terkait erat dengan
pencapaian civility (keadaban) yang esensial bagi demokrasi yang berkeadaban
(democratic civilitiy). Dalam upaya penumbuhan dan pengembangan democratic
civilitiy, maka civil society dan pendidikan menduduki peran yang sangat instrumental.

Ada persepsi dalam masyarakat yang secara taken for granted menerima bahwa
civil society selalu mendorong keadaban dan demokrasi. Padahal, terdapat
kecenderungan bahwa civil society terorganisasi berdasarkan distingsi sosial, budaya,
etnis dan agama sehingga cenderung ekslusif dan merasa paling benar
sendiri;akibatnya dapat kontra produktif yang tidak hanya terhadap multi-kulturalisme,
tetapi juga terhadap demokrasi. Karena itu, dalam civil society ini, perlu pengembangan
sikap inklusif, toleran, dan respek terhadap pluralitas. Pada saat yang sama juga harus
dikembangkan civil society yang mengatasi berbagai garis demarkasi tersebut, menjadi
organisasi yang melintasi batas-batas etnis, agama dan sosial, sehingga pada gilirannya
dapat mennjadi “social cultural capital” yang esensial bagi pengembangan dan
pemberdayaan civilitas dan demokrasi yang berkeadaban (Cf Hefner dalam Azumardi
Azra 2006: 156). Dalam konteks pengembangan civil society yang benar-benar
merupakan ”social and cultural capital” bagi keadaban dan demokrasi, pendidikan
merupakan salah satu sarana untuk mengusung hal tersebut. Pada dasarnya ”social and
cultural capital” sangat krusial dan instrumental bagi terwujudnya social and cultural
cohesiveness dan pada gilirannya, integrasi negara-bangsa. Sebaliknya, negara-bangsa
dan masyarakat akan mengalami disintegrasi jika tidak memiliki social and cultural
capital.
Dalam kerangka pengembangan social and cultural capital, diperlukan tidak
hanya peningkatan pengetahuan dan pemahaman tentang berbagai nilai sosial-budaya,
tetapi juga pengewanjatahan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan bersama,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Disinilah letak peran instrumental
pendidikan. Untuk pertumbuhan dan pengembangan social and cultural capital
melalui pendidikan, maka Pendidikan Kewarganegaran (civic education) menjadi
sebuah keharusan. Keadaban dan demokrasi, tak bisa dicapai secara trial and error
atau diperlakukan secara taken for granted; sebaliknya justru harus diprogramkan
secara konseptual dan komprehensif pada setiap jenjang pendidikan, dan pada setiap
lembaga pendidikan, baik formal, non-formal, maupun informal. Melalui PKn (civic
education) dapat ditumbuhkan tidak hanya pemahaman lebih benar tentang demokrasi,
HAM, pluralitas, dan respek dan toleransi diantara berbagai komunitas, tetapi juga
pengalaman demokrasi berkeadaban. (Azra Azyumardi, 2006). Hal tersebut, sejalan
dengan pandangan Winataputra bahwa pendidikan kewarganegaraan untuk Indonesia,
secara filosofik dan substantif-pedagogis andragogis, merupakan pendidikan untuk
memfasilitasi perkembangan pribadi peserta didik agar menjadi warga negara
Indonesia yang religius, berkeadaban, berjiwa persatuan Indonesia, demokratis dan
bertanggung jawab, dan berkeadilan, serta mampu hidup secara harmonis dalam
konteks multikulturalisme - Bhinneka Tunggal Ika. (Winataputra 2008: 31)
Pendidikan tidak lain merupakan proses membuat orang berbudaya dan
beradab. Pendidikan adalah kunci bagi pemecahan masalah-masalah sosial dan
melalui pendidikan masyarakat dapat direkonstruksi. Rekonstruksi berarti reformasi
budaya, dengan melalui pendidikan reformasi dapat dijalankan, terutama reformasi

budi pekerti, reformasi kebudayaan (keindonesiaan), dan reformasi nasionalisme
(NKRI). Sasaran puncak pendidikan ada di luar pendidikan, yaitu kebudayaan.
Disamping itu, nilai-nilai masyarakat “beradab” akan tetap bertahan meski dihujani
aneka ragam konflik atau ajang klaim-klaim yang saling bertentangan. (Tolstoy dalam
Tum Yoseph, 2006). Dengan demikian, pendidikan yang dinginkan masyarakat ialah
proses pendidikan yang bisa mempertahankan dan meningkatkan keselarasan hidup
dalam pergaulan manusia. Konsep sosialisasi pendidikan yang dapat diterapkan
adalah cara berhubungan antara individu atau antarkelompok atau individu dengan
kelompok yang menimbulkan bentuk hubungan tertentu. Sekolah dapat dijadikan
sarana pembauran multietnik. Guru harus membina siswa agar bisa memiliki
kebiasaan hidup yang harmonis, bersahabat, dan akrab dengan sesama teman dari
berbagai latar belakang etnik. Proses pembelajaran di kelas multietnik dapat
menghasilkan peradaban baru sesuai dengan harapan reformasi. Untuk ini, dapat
dipakai teori, model, strategi pengajaran multietnik sebagai sarana menjalankan
reformasi pendidikan dan kebudayaan (Wakhinudin, 2006).

D. Simpulan
Ada dua istilah yang digunakan penulis dalam mengembangkan pemikiran
dalam makalah ini, yakni pendekatan multikultural dan multietnik yang sesungguhnya
memiliki substansi pembelajaran yang hendak menanamkan sebuah pendekatan
pendidikan dan pembelajaran yang menanamkan nilai kesetaraan, pluralitas, egaliter
dan humanism dan demokrasi. Dengan demikian, implementasi strategi pengajaran
multikultural atau multietnik di kelas hendaklah bertujuan pembentukan peradaban
bangsa Indonesia yang mulia. Sampai saat ini, pengajaran multietnik belum
dilegalisasikan
oleh
pemerintah. Pengajaran
Pendidikan Kewarganegaran
dilaksanakan dalam format restorasi (menjaga bahasa/budaya dari kepunahan) dan
bukan dalam format pluralisme (mengakui perbedaan bahasa). Dengan format
tersebut, pengajaran Pendidikan Kewarganegaraan lebih terkesan otoriter dan
cenderung mengabaikan fakta keragaman etnik di dalam kelas. Untuk itu, sudah
saatnya para guru menggunakan pendekatan mutltikultural atau multietnik dalam
proses pembelajaran. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai alternatif dalam
”mendamaikan” multikulturalisme dan etnisitas bangsa Indonesia yang pada
gilirannya mewujudkan bangsa yang memiliki peradaban. Bangsa yang beradab tentu
saja memiliki manusia yang berkarakter dan berbudi luhur yang tidak lain adalah tujuan
dan cita-cita pendidikan nasional. Disinilah letak urgensi pendidikan kewarganegaraan
melalui pendekatan multikultural atau multietnik.

Daftar Bacaaan
Azra, Azyumardi 2006. Reposisi Pandangan Mengenai Pancasila (dari Pluralisme Ke
Multukulturalisme). Jakarta: Prosiding Simposium Peringatan Hari Lahir
Pancasila.
Blum, L.A. (2001) “Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar-Ras:
Tiga Nilai yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multikultural”.
Dalam May, Larry, Shari Collins-Chobanian, and Kai Wong (Eds). Etika
Terapan I: Sebuah Pendekatan MultikulturalOommen.T.K, 2009.
Kewarganegaraan, Kebangsaan, & Etnisitas. Jakarta: Kreasi Wacana.
st

Cogan, J.J. dan Derricot, R. (1998).
Citizenship for the 21 Century: An
International Perspective on Education. London: Kogan Page.Saifuddin,
Fedyani Achmad, 2006. Reposisi Pandangan Mengenai Pancasila (dari
Pluralisme Ke Multukulturalisme). Jakarta: Prosiding Simposium Peringatan
Hari Lahir Pancasila.
Puwasito, Andrik, (2003), Komunikasi Multikultural, Surakarta, Muhammadiyah
Unuversity Press.
Saifuddin, Fedyani Achmad, (2006). Reposisi Pandangan Mengenai Pancasila (dari
Pluralisme Ke Multukulturalisme). Jakarta: Prosiding Simposium Peringatan
Hari Lahir Pancasila.
Sarjadi, S dan Sukardi Rinakit. (2006) Memahami Indonesia, Jakarta : Tim Kreatif
Grafindo Khazanah Ilmu.
Stavenhagen, R. (1996). “Education for Multicultural World” in Jasque Delors (et all)
(1996). Learning: The Treasure Within. Paris: UNESCO.
Suparlan, P. (2005). Sukubangsa dan Hubungan Antar Sukubangsa. Jakarta:
Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
Taum, Yoseph Yapi, (2006). “Masalah-masalah sosial dalam masyarakat multietnik.
Makalah Dialog Budaya Daerah "Merumuskan Kembali Wawasan
Kebangsaan Melalui Perspektif Budaya Lokal" yang diselenggarakan Balai
Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 18 – 19 April 2006 di Wisma
Kinasih Kaliurang.
UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003
Wakhinudin, S., (2006). “Pembentukan Peradaban Bangsa Melalui Pengajaran MultiEtnik dalam Era Reformasi” dalam Portal Informasi Pendidikan di Indonesia.
Didownload
tanggal
10
Juni
2011
dari
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/41/Wakhinuddin.htm.

Winataputra, U.S. dan Budimansyah, D. (2007) Civic Education: Konteks,
Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bandung: Program Studi
Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI.
Zuhria, Nurul. (2011). Model Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan
Multikultural Berbasis Kearifan Lokal (Studi di Perguruan Tinggi Kota
Bandung. Disertasi PPS UPI: tidak diterbitkan