Kehidupan Multikultural Orang pandawa Semarang

Kehidupan Multikultural Orang Semarang
Oleh:
Drs. D.P. Budi Susetyo, MSi
Drs. Edy Widiyatmadi, MSi
Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang

Pendahuluan
Indonesia adalah negara multikultur, multi etnis, dan multiagama. Bruner dan
Koentjaraningrat (dalam Warnaen, 2001) mencatat bahwa di Indonesia terdapat
sekitar 300 suku bangsa dengan identitas kebudayaannya sendiri-sendiri. Indonesia
juga memiliki keragaman agama yang dianut oleh masyarakat. Keragaman (budaya,
etnis, agama) masyarakat ini dapat menjadi anugerah jika dikelola dengan baik,
namun kegagalan dalam mengelolanya akan dapat menimbulkan musibah
kemanusiaan. Keragaman masyarakat Indonesia ini menyebabkan dinamika
kehidupan bersama yang bersifat majemuk.
Implikasi positif dari kemajemukan dalam masyarakat sering digambarkan
dengan konsep pluralisme dan multikulturalisme. Pluralisme menunjuk pada kerangka
hubungan antarkelompok yang saling menghormati dan bekerjasama tanpa konflik
(Suaedy, 2007). Adapun multikulturalisme merupakan paham yang dikenalkan untuk
mewujudkan kehidupan masyarakat majemuk yang harmonis, karena paham ini
menghargai perbedaan dalam kesederajatan (Suparlan, 2002). Untuk konteks

Indonesia, konsep multikulturalisme rasanya lebih mewakili gambaran tentang
implikasi positif yang diharapkan dari realitas kemajemukan masyarakatnya.
Multikulturalisme

dan

implementasinya

dalam

bentuk

hidup

secara

multikultural merupakan ranah perilaku yang perlu dimiliki oleh setiap orang yang
hidup di dalam masyarakat majemuk seperti di Indonesia ini. Menurut Widiyatmadi
(2005) karena kita hidup di Indonesia yang multikultural ini maka kita perlu
menghayati dan menyadari secara riil realitas pluralistik masyarakat kita untuk

kemudian mengganjurnya dalam langkah-langkah bertindak dalam konteks pluralitas
tersebut.
Perjalanan Indonesia menerapkan multikulturalisme bukan merupakan
persoalan mudah. Ancaman separatisme, perpecahan dan konflik antarkelompok
merupakan penanda bahwa hidup secara multikultural belum sepenuhnya dijalankan

1

Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Psikologi Multikulturalisme,
di Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus, 9 Mei 2011

dalam bingkai bangsa Indonesia yang plural. Pendidikan multikultural merupakan
cara yang disarankan untuk ditempuh dalam mengembangkan multikulturalisme di
Indonesia. Pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola
kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari
transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian
dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan (Asy’arie, 2004).
Susetyo (2004) mengatakan bahwa peran pemerintah / penguasa nampaknya
memiliki posisi sentral dalam penerapan multikulturalisme. Pemerintah perlu secara
konsisten menjalankan fungsi fasilitasi, layaknya konduktor dalam sebuah orkestra,

sehingga kesetaraan, perasaan berharga, pengakuan dan kebebasan dapat dirasakan
oleh semua kelompok. Pemerintahan yang otoriter, fasis merupakan ancaman serius
bagi aplikasi multikultiralisme pada masyarakat majemuk.
Indonesia juga perlu belajar dari bangsa-bangsa lain yang telah menerapkan
paham multikulturalisme dalam mengelola kemajemukan bangsanya. Di Amerika
Serikat dikenal prinsip blind color perspective yang menanamkan nilai moral baru
yang anti diskriminasi warna kulit (Judd dkk, 1995). Pemerintah Kanada menerapkan
kebijakan multikulturalisme

untuk menghapuskan sikap diskriminatif dan

kecemburuan budaya. Di Australia pandangan awal sebagian besar bersifat
asimilasionis, tetapi akhirnya mengarah ke pandangan integrasionis; dan di tahun
1978, kebijakan tentang multikulturalisme secara formal dicanangkan. Di Swis
kebijakan multikultural secara eksplisit ditetapkan pada tahun 1975 dengan tujuan
kesamaan, kebebasan memilih dan kemitraan. Penerapan multikulturalisme pada
negara-negara tersebut memerlukan proses, pergelutan yang panjang dan kemauan
yang kuat dari semua komponen bangsa.
Di Indonesia, implementasi multikulturalisme kiranya masih dalam proses
perjalanan yang panjang. Banyak hambatan yang masih meranjau, terutama resistensi

yang laten. Multikulturalisme di berbagai wilayah Indonesia sosoknya masih kabur.
Bila pun multikuluralitas sering dilansir di berbagai forum, sebagian besar masih
sebatas wacana dan kurang terimplementasikan secara nyata-hayati, konsisten dan
berkesinambungan. Diperlukan kepedulian yang serius dari berbagai pihak untuk
mengupayakan cara-cara yang lebih operasional dalam mendukung langkah-langkah
pengimplementasian multikulturalisme tersebut.
Semarang merupakan suatu potret masyarakat

multikultural, karena

keanekaragaman etnis, agama, budaya relatif mampu dikelola secara multikultural
2

yang dilambari spirit unity in diversity dalam kehidupan sehari-hari. Bagi siapapun,
karakter masyarakat kota Semarang yang multukultural itu dapat dijadikan sarana
bercermin untuk mengembangkan keterampilan hidup secara multikultural.

Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi unsur-unsur yang berperan baik
sebagai penunjang maupun ‘pengancam’ dalam praktek hidup multikultural

masyarakat Semarang serta mengintegrasikan kedalam hubungan-hubungan antar
unsur sebagai dasar untuk memahami pola kehidupan multikultural di Semarang.
Adapun manfaat penelitian ini, diharapkan secara teoritis akan memperkaya
khasanah pengetahuan khususnya tentang pola kehidupan multikultural khususnya
pada masyarakat Semarang. Secara praktis hasil penelitian ini dapat menjadi
pegangan dan dasar yang lebih kontekstual untuk memahami kehidupan multikultural
di Semarang. Temuan penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk mengembangan
model-model pendidikan multikultural dalam masyarakat khususnya di dunia
pendidikan.

Telaah Teori Psikologi Multikultural
Kehidupan multikultural suatu masyarakat berakar dari tumbuhnya kesadaran
multikultural yang menunjuk pada kondisi kesiapan mental untuk berperilaku dalam
kehidupan bersama yang menempatkan bermaknanya perbedaan secara unik pada
tiap orang Perbedaan adalah identitas terpenting dan paling otentik tiap manusia.
Kesadaran ini ditopang oleh pengetahuan (kognisi), perasaan (afeksi) serta disposisi
perilaku yang berakar kuat pada keyakinan multikulturalisme; yakni suatu keyakinan
yang mengakui dan menghargai perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual
maupun secara kultural (Parsudi, 2002).
Masyarakat multikultural adalah masyarakat majemuk yang menghargai

pluralisme dan memungkinkan keberagaman tetap lestari. Masyarakat multikultural
menerima integrasi sebagai cara-cara untuk menghadapi keberagaman budaya.
Multikulturalisme

bermaksud menciptakan

suatu

konteks

sosiopolitik

yang

memungkinkan individu dapat mengekspresikan identitasnya secara sehat dan secara
timbal balik mengembangkan sikap-sikap antarkelompok yang positif. Sebaliknya
masyarakat majemuk yang bukan multikultural adalah suatu masyarakat yang
memungkinkan upaya pemerintah untuk menghomogenkan populasi (melalui

3


asimilasi), memecah-mecah mereka (melalui separasi) atau mensegmentasikan
mereka (melalui marjinalisasi dan segregasi) (Berry dkk, 1999)
Kesadaran multikultural merupakan domain perilaku yang menentukan corak
perilaku seseorang ketika hidup dalam masyarakat multikultural. Dalam teori
Lapangan dari Kurt Lewin (dalam Shaw dan Costanzo, 1982, Sarwono,

1999)

dijelaskan tentang apa yang terjadi dalam jiwa seseorang sehingga terjadi persepsi dan
perilaku yang bersifat menyeluruh. Menurut Kurt Lewin, perilaku (behavior)
merupakan fungsi keadaan pribadi (personality) dan lingkungan (enviroment), yang
dirumuskan menjadi B = f (P,E). Faktor-faktor dari luar pribadi maupun dari dalam
pribadi terpetakan dalam lapangan kesadaran seseorang. Lapangan kesadaran ini
digambarkan oleh Lewin sebagai lapangan yang terbagi-bagi dalam wilayah (region).
Tiap wilayah mewakili sesuatu dari dalam diri sendiri dan dari luar dirinya. Dalam
konteks kehidupan multikultural, maka setiap individu yang hidup dalam masyarakat
multikultural merekam tentang identitas dirinya yang berbeda dengan orang lain, dan
menyadari berbagai perbedaan yang ada dalam lingkungan hidupnya. Kesadaran akan
berbagai perbedaan kultural ini akan mengisi wilayah-wilayah dalam lapangan

kesadaran seseorang, menentukan dinamika kesadaran multikultural seseorang
berkaitan dengan konflik-konflik karena berbagai perbedaan, upaya-upaya yang
dilakukan menjalin kerjasama, menumbuhkan sikap toleran karena perbedaan.
Kehidupan multikultural suatu masyarakat terkait dengan hubungan
interaksional antarkelompok dalam masyarakat heterogen. Dalam konteks relasi yang
demikian maka kualitas kehidupan multukultural suatu masyarakat juga terkait pada
bagaimana kemampuan masyarakat mengatasi berbagai stereotip dan prasangka yang
berkembang, kemampuan menjalin kontak antar kelompok yang berkualitas dan
kesetaraaan akan identitas sosial setiap kelompok yang hidup bersama.
Fenomena stereotip dan prasangka selalu mewarnai setiap hubungan
antarkelompok, dari taraf yang wajar sampai pada taraf yang memicu kualitas
hubungan yang paling buruk. Dalam penelitian Susetyo (2002) tentang stereotip etnis
Cina dan Jawa di Semarang serta Susetyo dan Hardiyarso (2003) tentang stereotip
agama, maka stereotip muncul dalam bentuk penilaian positif dan negatif terhadap
kelompok lain. Menurut Myers (1993) evaluasi negatif yang menandai prasangka
dapat berasal dari asosiasi-asosiasi yang bersifat emosional, dari kebutuhan untuk
membenarkan perilaku ataupun dari keyakinan negatif yang disebut dengan stereotip.
Mengacu pada Susetyo (2002) hadirnya stereotip dalam relasi antar kelompok
4


merupakan konsekuensi fenomena misperception, baik karena adanya kecenderungan
manusia untuk melakukan kesalahan-kesalahan atribusi, terbatasnya kesempatan
kontak, adanya pengalaman masa lalu yang membangun kesan stereotipik suatu
kelompok terhadap kelompok lain. Stereotip merupakan unsur fundamental yang
mampu menggambarkan intensitas prasangka dan kualitas relasi antaretnis.
Salah satu permasalahan dalam relasi antar kelompok adalah adanya hambatan
yang bersifat fisik untuk terjadinya kontak antar kelompok. Fenomena tersebut
menurut pandangan teori hipotesis kontak (dalam Leyens dkk, 1994) menciptakan
suatu kegagalan mengenal kelompok lain akibat ketidaktahuan ataupun tidak adanya
informasi yang akurat (faulty ignorance), memicu berkembangnya stereotip dan
prasangka dalam intensitas yang menguat. Adanya situasi kontak akan membuka
kesempatan untuk mengklarifikasi kesalahan persepsi dan belajar kembali dengan
informasi baru. Namun diperlukan kontak yang berkualitas, dimana mengacu pada
pendapat Cook (dalam Leyens dkk, 1994) diperlukan kontak yang menekankan
kedudukan yang sederajat, tidak mengungkit-ungkit citra negatif masing-masing
kelompok, terjadi interdepensi hubungan yang bermutu yaitu adanya kerjasama untuk
mencapai tujuan bersama, situasi kontak yang mengarah pada pengenalan sebagai
individu dan bukan pada pengenalan individu sebagai anggota suatu kelompok.
Identitas individu dalam interaksi sosial merupakan hal yang fundamental
dalam setiap interaksi sosial. Identitas individu yang ditampilkan setiap interaksi

sosial disebut dengan identitas sosial, yaitu bagian dari konsep diri individu yang
terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota suatu kelompok sosial, dimana
didalamnya mencakup nilai-nilai dan emosi-emosi penting yang melekat dalam diri
individu sebagai anggotanya (Taylor dan Moghaddam, 1994)
Menurut Hogg dan Abram (1988) di dalam masyarakat sendiri secara hirarkis
terstruktur kategori-kategori sosial yang merupakan penggolongan orang menurut
negara, ras, klas sosial, pekerjaan, jenis kelamin, etnis, agama dan lain sebagainya. Di
dalam masing-masing kategori sosial tersebut melekat suatu kekuatan, status dan
martabat yang pada akhirnya memunculkan suatu struktur sosial yang khas dalam
masyarakat, yaitu suatu struktur yang menentukan kekuatan dan status hubungan
antarindividu dan antarkelompok.
Taylor

&

Moghaddam

(1994)

mengemukakan


bahwa

aplikasi

multikulturalisme dalam masyarakat majemuk memfasilitasi terciptanya pengakuan

5

dan kebebasan untuk menggunakan simbol-simbol etnisnya: bahasa, budaya dan hal
ini akan membuatnya lebih percaya diri dan merasa tidak terancam (secure).

Metode Penelitian
Maka metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
metode penelitian deskriptif dan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Objek penelitian adalah kehidupan multikultural masyarakat
Semarang.

Untuk

mendapatkan

gambaran

tentang

kehidupan

multikultural

masyarakat Semarang maka ditetapkan Subjek penelitian adalah 1) Warga Semarang
yang memiliki pengalaman hidup multikultural. 2) Peristiwa-peristiwa yang
merupakan manifestasi kehidupan multikultural di Semarang. 3) Bangunan, kawasan
di Semarang yang merupakan karya cipta manusia dimana didalamnya melekat
makna-makna multikultural. Teknik penentuan subjek penelitian dilakukan secara
dengan purposive sampling dan teknik pengambilan sampel bola salju (snowball
sampling). Metode analisis dengan analisis deskriptif dan analisis fenomenologi.
Metode

pengumpulan

data

dengan

1)

Dokumentasi:

untuk

mendokumentasikan data sekunder yang relevan, 2) Observasi: dengan melakukan
pengamatan

langsung

terhadap

unsur-unsur

multikultural

di

lapangan,

3)

Wawancara: terhadap warga Semarang yang memiliki pengalaman multikultural. 4)
Focus Group Discussion 5)

Kuesioner untuk mengungkap tentang prasangka,

stereotip, jarak sosial.

Hasil Penelitian
1. Sekilas Tentang Kota Semarang
Semarang memiliki jumlah penduduk 1.389.421 jiwa (data tahun 2004).
Komposisi keberagaman suku bangsa dapat diperinci sebagai berikut: suku Jawa
(93,24 %), Cina (4,33 %), Sunda, Priangan (0,71 %), Batak, Tapanuli (0,25 %),
Madura (0,15 %), Minang (0,05 %), Betawi (0,07%), Arab (0,09 %), lainnya (1,1 %)

2. Semarang Kota Multikultural
Sebagai kota multikultural, Semarang dihuni warga dengan beragam suku
bangsa, agama. Sejumlah kawasan yang kental dengan karakter multikultural seperti
di distrik Pecinan, Pekojan, Kauman. Setidakknya terdapat tiga budaya utama yang
berpengaruh kuat yaitu Jawa, Cina dan Islam.
3. Titik Perjumpaan Kehidupan Multikultural

6

Di Semarang dijumpai beberapa kawasan, aktivitas yang menjadi titik
perjumpaan untuk memfasilitasi berlangsungnya kehidupan multikultural seperti yang
berlangsung di kelenteng-kelenteng, Waroeng Semawis, Pasar Gang Baru, kawasan
multietnik Pekojan.
4. Pengalaman Hidup Multikultural
Penelitian ini mewancarai enam subjek yang memiliki pengalaman
multikultural yang berkesan dan kuat, sehingga mereka mampu bercerita dan berbagi
pengalaman dengan cara yang berkesan pula.
5. Kehidupan Multikultural di Sekolah
Dengan dilakukan FGD terhadap 10 siswa SMA, 8 mahasiswa maka diperoleh
gambaran tentang kehidupan multikultural di sekolah.
6. Kehidupan Multikultural Kos
Ada 5 subjek mahasiswa yang diwawancarai terkait dengan pengalaman
multikultural di kos. Ketika berinteraksi dengan berbagai etnis di kos subjek menjadi
menyadari perbedaan, mengembangkan sikap toleransi dan menghargai satu sama
lain, lebih bisa membaur dengan orang yang berbeda.
7. Pacaran Beda Etnis
Dari

pengalaman

pacaran

beda

etnis

subjek

belajar

untuk

tidak

mempermasalahkan status keturunannya yang berbeda. Namun hambatannya
terkadang lebih karena penolakan ataupun ketikdaksetujuan dari keluarga.
8. Stereotip, Prasangka dan Jarak Sosial
Penelitian tentang stereotip dan prasangka etnis dilakukan terhadap Subjek
mahasiswa Jawa dan Subjek mahasiswa Cina untuk mendapatkan gambaran tentang
kualitas relasi antaretnis Cina dan Jawa di Semarang. Jarak sosial adalah seberapa
dekat atau intim subjek dapat melakukan aktivitas sosial bersama target, melibatkan
subjek kalangan mahasiswa Jawa dan Cina di beberapa perguruan tinggi di Semarang.

Perspektif Psikologi Kehidupan Multikultural Orang Semarang
Pembahasan dapat bertitik pangkal pada orang Jawa dan Cina di Semarang
yang memiliki pola relasi multikultural yang khas. Mengacu pada Subjek Y, di
kalangan orang Jawa Semarang dapat dibedakan antara orang Semarang asli dan
orang Jawa golongan pendatang. Yang membedakan membedakan mereka adalah
orientasi budaya yang dianut. Orang Semarang asli lebih mengadopsi berbagai budaya
7

secara campuran seperti budaya pesisir, Islam, Arab, Cina, Kejawen. Golongan Jawa
pendatang biasanya berorientasi pada budaya asal mereka. Namun yang menonjol
adalah mereka yang berorientasi pada budaya Jawa Solo ataupun Yogya yang
dianggap memiliki nilai budaya yang tinggi. Dalam tataran pergaulan sosial orang
Semarang asli merasa memiliki tingkatan yang lebih rendah dalam nilai-nilai dan
budaya dibanding orang Jawa yang berorientasi pada budaya kraton atau berorientasi
priyayi. Di kalangan orang Cina dapat dibedakan antara Cina totok atau singkek yang
berorientasi pada budaya asli Cina dan Cina peranakan yang berorientasi pada budaya
Barat. Disamping itu ada juga Cina Islam, yang menurut subjek Fa mengalami
penurunan derajat sosial paling rendah dimata orang Cina sendiri karena menjadi
Islam.
Mengacu pada teori identitas sosial bahwa pada setiap kategori sosial melekat
suatu kekuatan, status dan martabat yang pada akhirnya memunculkan suatu struktur
sosial yang khas dalam masyarakat, yaitu suatu struktur sosial yang menentukan
kekuatan dan status hubungan antar individu dan antarkelompok. Demikian pula
dengan kelompok-kelompok sosial yang ada di Semarang baik Jawa, Cina maupun
yang lain melakukan proses pembandingan sosial yang dipandang sebagai cara untuk
menentukan posisi dan status identitas sosialnya.
Berpijak pada pemahaman tersebut peneliti melihat bahwa masing-masing
kelompok yang ada sudah mengetahui citranya masing-masing dibanding kelompok
lain. Selalu ada upaya untuk memiliki identitas sosial yang positif serta berusaha
mempertahankannya. Di kalangan Cina peranakan yang merasa memiliki citra sosial
tingkat atas akan menjaga citra tersebut dengan lebih banyak menjalin relasi dengan
kalangan yang dipandang setingkat, misalnya para pejabat, kalangan ningrat, priyayi
dan menjaga jarak dengan golongan yang lebih rendah. Golongan Cina yang didikan
Barat ini bersikap sebagai ndoro yang akan sungguh-sungguh akan menjaga jarak
dengan pembantunya di rumah. Dalam hal perjodohanpun tetap dijaga agar memiliki
jodoh yang setingkat. Kemudian muncul istilah ‘perawan gedongan’, gadisnya mahal
maka yang melamar harus kaya.
Kalangan Cina totok lebih membaur termasuk dengan kalangan pribumi. Hal
tersebut karena mereka merasa memiliki status sosial yang tidak jauh berbeda karena
di daerah asalnya mereka juga berasal dari desa dengan ketrampilan pekerja kasar.
Ketika mereka membaur dengan pribumi tidak memperburuk citranya, namun justru
mendapat manfaat fungsional yang lain misalnya untuk kepentingan usaha / bisnisnya
8

maupun untuk kepentingan relasi sosial yang lain. Dari kalangan Cina totok ini relasi
yang lebih intim dengan orang Jawa seperti perkawinan lebih mungkin berlangsung.
Seperti yang terjadi pada kakek Subjek G menikah dengan perempuan Jawa sebagai
istri ketiga agar bisa mendapatkan keturunan anak laki-laki. Di kalangan ini juga
biasanya bersikap lebih dekat dengan pembantu di rumah. Seperti yang dikatakan oleh
Subjek H mereka biasanya ngopeni para pembantunya sehingga krasan ikut bertahuntahun.
Modus Cina Islam untuk menaikkan citra identitas sosialnya yang terpuruk
juga cukup menarik. Menjadi Islam di kalangan orang Cina konon merupakan aib
besar bagi komunitas Cina. Itulah sebabnya mereka biasanya diberi sanksi sosial
dengan label-label negatif tertentu, bahkan derajatnya turun, ke-Cina-annya mungkin
dianggap hilang, dikucilkan, bisa saja diusir. Memiliki identitas sosial yang
sedemikian rendah merupakan pengalaman fenomenal yang menyesakkan dan selalu
ada upaya untuk lepas dari citra tersebut. Mengacu pada teori identitas sosial maka
upaya untuk menaikkan citra identitas sosial kelompok dapat dilakukan melalui
perubahan sosial yaitu dengan meningkatkan citra positif kelompok. Hal tersebut
diantaranya melalui pendekatan organisasi seperti PITI (Perhimpunan Islam Tionghoa
Indonesia) yang eksistensinya semakin diakui, publikasi informasi positif tentang
Cina Islam.
Upaya menaikkan citra indentitas sosial juga dapat dilakukan dengan
mobilitas sosial yaitu perpindahan individu dari kelompok yang lebih rendah ke lebih
tinggi. Hal ini terjadi di kalangan orang Jawa golongan bawah yang ikut atau bekerja
pada orang Cina. Mobilitas sosial yang dilakukan memang tidak dalam bentuk
perubahan total namun sifatnya lebih mengadopsi ataupun belajar dari kebiasaan
positif orang Cina. Banyak penjual makanan-makanan khas Cina seperti lumpia
adalah orang Jawa seperti terlihat di sepanjang Jl. Mataram (M.T. Haryono). Menurut
Subjek Y, mereka yang pinter ketika ikut tauke (bos Cina) akan bekerja loyal, mau
belajar cara hidup dan cara dagang bos. Setelah merasa cukup biasanya berani
merintis usaha sendiri dan jika sukses bisa menjadi juragan.
Jika bertitik tolak pada hasil penelitian tentang stereotip dan prasangka terlihat
bahwa relasi antara orang Cina dengan orang Jawa di Semarang pada dasarnya dapat
berlangsung dengan wajar. Dari kalangan orang Jawa memiliki pandangan positif
tentang etos kerja orang Cina rajin, pandai, suka bekerja keras, bukan tipe pemalas.
Namun untuk membangun relasi yang lebih akrab dan dekat nampak masih ada
9

hambatan karena adanya pandangan negatif di kalangan orang Jawa bahwa orang
Cina itu memiliki sifat tertutup terhadap orang bukan Cina. Demikian juga orang Cina
dianggap berorientasi pada materi. Mengacu pada pendapat Wasino (2006) hal ini
membuat relasi menjadi kurang klop karena orang Jawa itu lebih mengedepankan
noto roso sedangkan orang Cina lebih mengedepankan noto bondho.
Dari pihak orang Cina sendiri juga ditemukan pandangan positif terhadap
orang Jawa yaitu bahwa orang Jawa itu pada umumnya orang yang sopan, ramah,
baik. Hal ini sebenarnya merupakan sinyal positif untuk membangun relasi yang lebih
dekat dengan orang Jawa. Namun demikian untuk hal-hal yang berkaitan dengan
urusan bisnis ataupun dunia kerja, orang Cina pada umumnya kurang begitu
mempercayai kemampuan orang Jawa. Hal ini karena masih berkembangnya
pandangan negatif bahwa orang Jawa itu pemalas, kurang memiliki jiwa bisnis,
kurang perhitungan dalam bertindak.
Sehubungan dengan pola relasi tersebut diatas maka berdasarkan pengakuan
Subjek I yaitu orang Cina yang banyak bersahabat dengan orang Jawa, maka Subjek I
ketika bergaul dengan orang Jawa akan menghindari menampilkan sikap dan tindakan
yang kurang disenangi orang Jawa, yaitu dengan menghindari pembicaraan tentang
untung rugi, masalah perhitungan-perhitungan. Kalau dengan Cina khususnya dengan
orang yang baru dikenal, ia akan berbicara tentang keluasan relasinya dengan orangorang Cina. Pengalaman Subjek B (orang Jawa) ketika pertama kali datang ke
Semarang dan masuk dunia bisnis, maka ia merasa dipandang sebelah mata oleh
kolega bisnis orang Cina. Ia perlu usaha keras dan mencoba berbagai cara untuk
meyakinkan bahwa walaupun orang Jawa ia juga mampu berbisnis. Dalam hal ini ia
banyak melakukan pendekatan kekeluargaan, misalnya dengan mengirim makanan.
Dari data tentang jarak sosial yang mengungkap berbagai kemungkinan
aktivitas dua pihak dengan mempertimbangkan dimensi keintiman terlihat ada pola
yang khas dalam relasi multikultural antara orang Cina dan Jawa. Orang Cina pada
dasarnya mampu bergaul dengan orang Jawa dalam bentuk persahabatan, kehidupan
bertetangga baik di tempat tinggal maupun di kos-kosan (untuk mahasiswa).
Pergaulan di tempat kerja maupun di sekolah juga tidak ada persoalan. Namun
demikian untuk relasi yang lebih intim seperti pacaran, perkawinan dan hubungan
saudara ipar maka terjadi penolakan lebih kuat dibanding orang Jawa. Pada orang
Jawa yang sudah biasa berinteraksi dan mengenal orang Cina maka persahabatan,
hubungan bertetangga dan hubungan di tempat kerja ataupun sekolah relatif tidak
10

terjadi penolakan yang berarti. Untuk relasi yang lebih intim seperti pernikahan,
pacaran dan hubungan saudara ipar terjadi penolakan yang lebih kuat namun tidak
sekuat penolakan orang Cina. Namun pada orang Jawa yang kurang biasa bergaul dan
bertemu dengan orang Cina terjadi penolakan yang lebih kuat dibanding orang Jawa
yang biasa berinteraksi dan bertemu dengan orang Cina . Hal tersebut terjadi pada
semua aktivitas baik aktivitas antarpribadi, aktivitas di tempat tinggal dan aktivitas di
kampus.
Pada tataran praksis sehari-hari gambaran dari kecenderungan di atas
diantaranya tercermin dari informasi yang disampaikan Subjek I dan B bahwa dalam
hal perkawinan antara orang Jawa dan orang Cina maka penolakan lebih kuat terjadi
pada keluarga Cina. Di kalangan keluarga Cina masih berkembang pandangan negatif
jika memiliki menantu orang Jawa. Jika pihak Jawa adalah perempuan maka diyakini
suka menghabiskan harta mertuanya. Jika pihak Jawa adalah laki-laki maka biasanya
diragukan dalam kemampuan secara ekonomi untuk memenuhi kehidupan rumah
tangganya. Dari pihak keluarga Jawa biasanya relatif moderat. Mungkin saja di awal
terjadi penolakan. Misalnya dalam kasus pacaran Subjek An (pria Jawa) dengan gadis
Cina maka Ibunya pernah berkomentar:”Apa ora ana liyane (apa tidak ada gadis
lain)” ?

Namun ketika terlihat bahwa mereka berpacaran sungguh-sungguh dan

sudah sama-sama senang biasanya pandangan orangtua berubah. Sebagaimana
dikemukakan Subjek B bahwa orangtua pihak Jawa yang bijaksana biasanya akan
memberikan gambaran resiko-resiko yang akan dihadapi jika hubungan diteruskan.
Menurut B

orang Cina tidak mudah menerima orang bukan Cina untuk

diterima secara akrab dan lebih akrab lagi. Kebanyakan relasi yang dibangun lebih
bersifat fungsional misalnya dalam urusan bisnis. Kebanyakan akan diterima di toko
ataupun di luar rumah. Dari sedikit orang yang dapat diterima sebagai sahabat akrab
dan kemudian diajak makan di rumah, diperlihatkan foto-foto maka hal ini lebih
disebabkan faktor kecocokan pribadi. Kalau sudah seperti ini orang Cina biasanya
tidak perhitungan lagi.
Namun demikian bentuk relasi yang sifatnya lebih netral kiranya dapat
memfasilitasi berlangsungnya relasi multikultural yang intensif. Misalnya dalam
hubungan persahabatan, hidup bertetangga, aktivitas di sekolah ataupun pekerjaan,
kesenian. Seperti yang berlangsung dalam kehidupan di rumah kos, para Subjek
mengaku bahwa mereka mendapatkan pengalaman positif ketika harus hidup bersama
dengan teman-teman kos yang berasal dari berbagai etnis dan agama. Mereka pada
11

umumnya memiliki kesempatan mengenal lebih banyak sifat-sifat teman kos yang
berbeda-beda tersebut.

Mereka yang pada awalnya berprasangka, ketika

berkesempatan berinteraksi langsung dapat melakukan konfirmasi tentang mana yang
tepat dan kurang tepat. Pada umumnya Subjek dapat menyadari semua orang
memiliki sisi positif dan negatifnya masing-masing. Yang menarik dari ke lima
Subjek memiliki pendapat bahwa jika terjadi konflik ataupun ketidak sesuaian lebih
disebabkan oleh sifat-sifat pribadi, bukan masalah perbedaan etnis. Dalam teori
hipotesis kontak dikatakan bahwa adanya kesempatan kontak akan membuka
kesempatan untuk mengklarifikasi kesalahan persepsi dan belajar kembali dengan
informasi baru. Namun juga ditekankan terciptanya kondisi kontak yang berkualitas
yang mengedepankan kesederajatan, hubungan yang saling menghargai dan kontakkontak interpersonal.
Pembahasan berikut adalah untuk mengidentifikasi

faktor-faktor yang

menunjang terbentuknya kemampuan hidup multikultural. Berdasarkan pengakuan
pengalaman multikultural subjek maka kemampuan hidup secara multikultural
dipengaruhi oleh :
1. Pendidikan multikultural dalam keluarga.
Hal tersebut terutama terungkap dalam pengalaman Subjek Y, I dan B. Subjek
Y memiliki orang tua yang bergaul dengan siapa saja baik dari kalangan atas
maupun kalangan bawah. Keluarga Subjek I termasuk langka karena sebagai
keluarga Cina mau tinggal di kampung. Bapak Subjek I orang yang akrab dan
banyak bergaul dengan orang Jawa, mampu berbicara cara halus (krama) dalam
bahasa Jawa. Subjek B memiliki bapak yang diterima sebagai sahabat baik oleh
keluarga Cina dan sejak kecil Subjek terbiasa bergaul dengan anak-anak Cina.
2. Keluasan dalam pergaulan
Semua Subjek memiliki pergaulan yang luas atau setidaknya pergaulan yang
lebih terbuka. Pengalaman G, H sejak kecil termasuk anak Cina yang suka
blusukan dan tidak hanya bergaul dengan orang Cina saja. G bahkan bergaul
dengan anak Kauman, anak dari kalangan bawah, anak tentara. G mengaku bahwa
ia lebih banyak memiliki kawan Jawa daripada kawan Cina. H merasa berbeda
dengan adik adiknya yang sejak SD sudah disekolahkan ke Singapura. Ia punya
kesempatan blusukan sampai SMA sebelum akhirnya melanjutkan sekolah di
Amerika. Sampai sekarangpun H masih bergaul dengan siapa saja baik dari

12

kalangan atas maupun kalangan bawah, maupun bermacam agama dan etnis.
Subjek I sejak mahasiswa juga banyak bergaul dan punya teman dekat non-Cina.
3. Keluasan wawasan dan intelektualitas
Hal tersebut nampak kuat pada pemikiran-pemikiran H dalam menjelaskan
konsep dan pandangannya tentang bagaimana secara praksis menjalankan
kehidupan multikultural dalam masyarakat. Seperti ketika menjelaskan dasar
pemikirannya untuk merevitalisasi kawasan Pecinan lebih terbuka, ia mampu
menelaah dari sisi lain yang selama ini kurang dilihat atau diperhitungkan orang
seperti membuka Pecinan untuk umum. Ia menggunakan istilah membalik logika.
Kalau orang kebanyakan menolak karena takut nanti kawasan Pecinan dijadikan
sasaran pertama ketika terjadi kerusuhan, namun H justru berpikiran bahwa jika
Pecinan terbuka justru akan dilindungi oleh yang lain. Juga dasar pemikirannya
untuk ikut mendorong kemajuan golongan lain dalam rangka mencapai harmoni
secara keseluruhan. Ia mencoba mengimplementasikan pandangan seorang ahli
Konfusius yang mengatakan, “yang membesarkan kamu bukan kamu sendiri
tetapi orang lain. Kalau kamu mau memupuk tanaman jangan langsung di
tanamannya namun tanah di sekitar tanaman”.
4. Sikap mengedepankan nilai kemanusiaan dan universalitas
Hal tersebut nampak kuat ditemukan pada prinsip-prinsip yang dijalankan oleh
Subjek Y. Ia pribadi yang memiliki rasa sosial dan kemanusiaan yang tinggi.
Sejak kecil ia diajarkan orangtua dan kakek neneknya untuk bergaul dan
membantu siapa saja. Hal ini yang ia jalankan sampai sekarang. Ia bergaul dan
membantu siapa saja tanpa membeda-bedakan golongan. Orang-orang seperti Y
mampu melampaui orientasi berlebihan pada golongan (etnosentrisme) yang
seringkali menjerat orang ke dalam kotak-kotak.
5. Pengalaman kontak langsung
Subjek G mengaku bahwa keterbukaan sikapnya terhadap kehidupan
multikultural ketika kuliah di Yogya. Disana ia merasa tidak dibeda-bedakan,
dipanggil ‘Mas’. Saat itulah ia mulai terbuka untuk belajar kesenian Jawa. Subjek
punya tekad untuk berubah yaitu dengan meninggalkan ke-Cina-annya dan ingin
lebih menjadi orang Indonesia. Pengalaman kontak langsung mampu membuka
wawasan multikultural Subjek yang kos dengan kawan berbagai etnis dan agama,
juga sangat kentara sekali pada siswa yang sekolahnya menerima siswa beragam
etnis seperti di SMA Loyola.
13

Hal lain patut dicermati adalah dinamika kehidupan lintas distrik seperti
Pecinan, Kauman, Pekojan dan juga distrik kawasan Pemerintahan (baik Pemkot
Semarang maupun Gubernur Jawa Tengah).

Pengalaman Subjek G ketika kecil

adalah diejek oleh anak-anak Kauman:” “Balik kana neng Tiongkok” ketika bermain
distrik Islam tersebut. Hal tersebut memberikan kesan dan pengalaman negatif bahwa
kawasan Kauman tidak dapat menerima dirinya karena ia orang Cina. Demikian pula
ketika budayawan Djawahir Muhammad memprotes pemasangan lampion di jalanjalan utama Semarang pada waktu Semarang Pesona Asia menunjukkan bahwa orang
harus mengerti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di distrik tertentu. Secara
fisik penandanya jelas dapat dilihat pada distrik-distik tersebut. Kalau di Kauman
distrik Islam dengan cirinya adalah Masjid Agung Kauman. Pecinan memiliki
penanda bangunan fisik berupa kelenteng. Kawasan pemerintahan ditandai oleh
gedung-gedung pusat pemerintahan. Untuk membangun relasi yang lebih harmonis
lintas distrik memang diperlukan aturan main dan kepekaan tertentu tentang apa yang
boleh dan tidak boleh. Memang menjadi sulit dan kurang luwes jika jika hanya
berpijak pada aturan main itu dituangkan secara tertulis. Yang lebih penting
sebetulnya inisiatif ataupun kemauan baik masing-masing pihak untuk mengatasi dan
menghindari konflik.
Namun yang tidak kalah pentingnya adalah peran kepala daerah baik Walikota
maupun Gubernur sebagai fasilitator dan penengah diantara komunitas budaya yang
beragam. Kehadiran Walikota ataupun Gubernur dalam berbagai acara yang bernuasa
etnis ataupun agama seperti Dugderan, Festival Cheng Ho, Festival Pasar Jawi
merupakan salah satu tindakan strategis untuk menunjukkan sikap adil terhadap
semua kelompok. Hal tersebut juga dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap
keberadaan semua kelompok masyarakat dan budaya yang ada di Semarang. Gaya
kepemimpinan multikultural khas Semarang memiliki peran kunci untuk menjaga
keselarasan multikultural.
Fenomena kelenteng Sam Poo Kong sebagai rumah ibadah yang inklusif
merupakan salah satu fenomena multikultural khas Semarang. Menurut pendapat
peneliti ada sejumlah faktor yang mendorong kelenteng Sam Poo Kong menjadi
multikultural. Pertama adalah faktor historis kisah Laksamana Cheng Ho yang
menjadi semacam mitos yang mendorong kepada keyakinan yang kuat terutama sikap
multikultural dari Cheng Ho. Disamping itu komunitas Cina Semarang sekarang ini
memiliki kepentingan kuat untuk untuk menjalankan ritual budaya Cina yang juga
14

terkait dengan persoalan historis. Terkait dengan berbagai kepentingan tersebut maka
ada kata kunci yang mampu mencairkan yaitu kelenteng Sam Poo Kong merupakan
monumen hidup pluralisme keagamaan. Jadi fungsi kelenteng selain sebagai tempat
peribadatan bagi pemeluknya juga terbuka untuk objek wisata bernuansa relijius.
Modus yang terjadi pada kelenteng Sam Poo Kong tersebut menurut teori Lapangan
merupakan proses pencairan (permiabilitas) kawasan yang lebih membuka diri bagi
berlangsungnya kehidupan multikultural.

Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan tentang unsur-unsur multikultral dan
pola relasi multikultural masyarakat Semarang sebagai berikut:
1. Budaya Jawa, Islam dan Cina memiliki pengaruh dominan dalam kehidupan
multikultural kota Semarang.
2. Dinamika relasi multikultural diantara kelompok sosial yang ada ditentukan oleh
status sosial setiap kelompok. Beragam kelompok-kelompok sosial yang ada di
Semarang baik itu kelompok etnis, agama pada dasarnya memiliki status sosialnya
masing-masing, baik yang tinggi maupun rendah. Relasi lebih mudah berlangsung
diantara kelompok sosial yang memiliki status sosial yang setara. Relasi yang
terjadi antara kelompok sosial dengan status sosial yang berbeda dapat
berlangsung melalui mobilitas sosial.
3. Faktor yang menentukan kemampuan warga untuk hidup secara multikultural
adalah: pendidikan dalam keluarga, keluasan dalam pergaulan, keluasan wawasan
dan intelektualitas, sikap mengedepankan nilai kemanusiaan dan universalitas dan
pengalaman kontak langsung.
4. Kehidupan secara multikultural lebih mudah berlangsung pada aktivitas publik
seperti hubungan bertetangga, kerja, keagamaan, pendidikan, kesenian, pasar,
sekolah, tempat tinggal, kelenteng, acara kesenian dan kawasan publik lainnya.
Hambatan untuk menjalankan kehidupan multikultural lebih sulit berlangsung
pada aktivitas sosial dengan tingkat keintiman yang tinggi seperti pernikahan.
5. Diperlukan kemampuan kepemimpinan multikultural baik pada pimpinan daerah
seperti Gubernur dan Walikota beserta perangkatnya maupun para pemimpin
komunitas etnis, agama yang ada.

15

DAFTAR PUSTAKA
Ashmore, R.D. dkk. 2001. Social Identity, Intergroup Conflict, and Conflict
Reduction. New York: Oxford University Press
Asya’arie, M. 2004. Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa. Harian Kompas, 3
September 2004.
Baron, R.A., Byrne, D. & Suls, J.1989. Exploring Social Psychology. Boston: Allyn
and Bacon.
Berry, J.W. dkk. 1999. Psikologi Lintas Budaya. Riset dan Aplikasi. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Hogg, M.A. & Abram, D.1988. Social Identification: A Social Psychology of
Intergroup Relation and Group Processes. London: Routledge.
Judd, C.M. el al. 1995. Stereotype and Etnocentrism: Diverging Interethnic
Perception of Africa American and White American Youth. Journal of
Personality and Social Psychology. Vol. 69, 3,460-481.
Leyens, J.P., Yzerbyt, V & Schadron, G.1994. Stereotype and Social Cognition.
London: Sage Publications Ltd.
Myers, D.G.1993. Social Psychology. 4rd. ed. New York: McGraw-Hill.Inc.
Shaw, M. E & Costanzo, P.R. 1982. Theories of Social Psychology. Singapore:
McGraw-Hill. Inc.
Sarwono, S.W.1999. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial.
Jakarta: Balai Pustaka.
Suparlan, P.2002. Menuju Masyarakat Indonesia Yang Multikultural. Makalah.
Simposium Internasional Bali ke 3. JurnalAntropologi Indonesia. Denpasar 16
– 21 Juli 2002
Susetyo, D.P.B.2002. Stereotip dan Relasi Antar Etnis Cina dan Etnis Jawa Pada
Mahasiswa di Semarang. Tesis. Tidak diterbitkan. Depok: Program
Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
--------------------. 2004. Mengelola Perbedaan dalam Masyarakat Majemuk. Makalah.
Disampaikan dalam Seminar Aplikasi Multikultural Pada Masyarakat
Majemuk, Pusat Studi Etika Unika Soegijapranata Semarang – 5 Februari
2004
Susetyo, D.P.B dan Hardiyarso, S.2003. Stereotip Dalam Relasi Antaragama. Studi
Pada Mahasiswa Islam dan Kristiani di Universitas Katolik Soegijapranata
Semarang. Seri Kajian Ilmiah. Vol. 12 No. 3 Hal. 131-200.
Taylor, D.M. & Moghaddam, F.M.1994. Theories of Intergroup Relations. London:
Praeger.
Warnaen, S. 2001. Stereotip Etnis Dalam Masyarakat Multietnis. Yogyakarta:
Penerbit Mata Bangsa
Wasino. 2006. Wong Jawa dan Wong Cina. Liku-liku Hubungan Sosial antara Etnis
Tionghoa dengan Jawa di Solo tahun 1911 – 1998. Semarang: UPT UNNES
Press
Widiyatmadi,E, 2005. Hidup di Tengah Masyarakat Plural. Jurnal Ilmiah Psikologi
Manasa. Vol.1, No.1, April 2005, hal. 22-25.

16