Demokrasi VS Warisan Budaya literasi
Demokrasi VS Warisan Budaya
Disusun oleh:
1. Faaiz Makmun M
(041012194)
2. Ridwan Said Widodo
(041012266)
3. Firstyawan Ari Cahya
(041012003)
4. Oky Setyo Purnomo
(041012295)
5. Farid Afyudin
(041012183)
6. Danu Fathakul
(041012130)
7. Rangga Ananta
(041012218)
8. Brilyan Rizki Darmawan
(041012071)
PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2010
Demokrasi VS Warisan Budaya
Disusun oleh:
1. Faaiz Makmun M
(041012194)
2. Ridwan Said Widodo
(041012266)
3. Firstyawan Ari Cahya
(041012003)
4. Oky Setyo Purnomo
(041012295)
5. Farid Afyudin
(041012183)
6. Danu Fathakul
(041012130)
7. Rangga Ananta
(041012218)
8. Brilyan Rizki Darmawan
(041012071)
PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2010
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahiwabarokatuh
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji syukur kehadirat Allah SWT
yang senantiasa melimpahkan Rahmat dan Hidayahnya, sehingga kami selaku
penulis dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah dengan judul “Demokrasi
VS Warisan Budaya”, guna memperoleh nilai dan pengetahuan yang mendalam
dari Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Airlangga Surabaya pada tahun 2011.
Dengan terselesaikannya Makalah ini, kami mengucapkan terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Allah SWT, atas limpahan karunia dan hidayahnya sehingga
kita selaku penulis dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan
Makalah ini.
2. dr. H. Erwin Satosa, Sp.A, M.Kes
selaku Dekan
Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
3. Titih Huriah, M.Kep, Sp.Kom selaku dosen pembimbing atas
bimbingan, arahan dan koreksinya selama penyusunan dan penulisan
Karya Tulis Ilmiah.
4. teman teman Manajemen yang mau memberikan spirit, unity and pride
bagi kelompok kami.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah Pancasila dan
kewarganegaraan ini masih banyak kekurangan, sehingga diharapkan kritik, saran
dan koreksi yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini
Akhir kata, penulis mengharapkan agar makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan terutama ilmu
kewaraganegaraan.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahiwabarokatuh
Surabaya, Oktober 2010
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................
i
KATA PENGANTAR.....................................................................................ii/iii
DAFTAR ISI....................................................................................................iv/v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………….
3
1.3 Batasan Masalah.........................................................................
3
1.4 Tujuan Penulisan.........................................................................
3
1.5 Manfaat Penelitian......................................................................
4
2.1 Demokrasi....................................................................................
1
2.1.1 Demokrasi Pancasila.......................................................
3
2.1.2 Feodalisme......................................................................
3
2.1.3 Imperialisme...................................................................
3
2.1.4 Monarkhi.........................................................................
4
2.2 Keistimewaan Yogyakarta...........................................................
1
2.2.1 Sejarah Keistimewaan.....................................................
3
2.2.2 Sejarah Gubernur Yogyakarta.........................................
3
2.3 RUU Keistimewaan Yogyakarta..................................................
3
2.3.1 Isi.....................................................................................
4
2.3.2 Kutipan wawancara dengan narasumber........................
9
BAB II
2.3.3 Sejarah perjalanan RUU Yogyakarta..............................
9
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan......................................................................................
9
3.2 Saran ..........................................................................................
9
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….... VI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbicara mengenai demokrasi adalah memburaskan (memperbincangkan)
tentang kekuasaan, atau lebih tepatnya pengelolaan kekuasaan secara beradab.
Ia adalah sistem manajemen kekuasaan yang dilandasi oleh nilai-nilai dan
etika serta peradaban yang menghargai martabat manusia. Pelaku utama
demokrasi adalah kita semua, setiap orang yang selama ini selalu
diatasnamakan namun tak pernah ikut menentukan. Menjaga proses
demokratisasi adalah memahami secara benar hak-hak yang kita miliki,
menjaga hak-hak itu agar siapapun menghormatinya, melawan siapapun yang
berusaha melanggar hak-hak itu. Demokrasi pada dasarnya adalah aturan
orang (people rule), dan di dalam sistem politik yang demokratis warga
mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur
pemerintahan di dunia publik. Sedang demokrasi adalah keputusan
berdasarkan suara terbanyak. Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencitacitakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme dan
anti-imperialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis. Kasus yang
masih hangat dalam pikiran kita baru baru ini adalah, pemilihan sultan
Hamengkubuwono IX. Apakah pemilihan sultan tersebut berlandaskan
democracy atau democrazy. Berdasarkan keterangan di atas, seharusnya
pemilihan sultan itu harus dipilih dengan pemilu dari rakyat. Karena itu
merupakan sebuah demokrasi yang berdasarkan undang undang dasar dan
ketetapan MPR. Namun dilain pihak kita bangsa Indonesia yang merupakan
Negara kesatuan dan terdiri dari bermacam-macam kesultanan dan kerajaan
pada zaman dahulu semestinya memberikan hak istimewa untuk Yogyakarta
yang memang pada awalnya bersedia untuk masuk kedalam Negara Kesatuan
republic Indonesia ini.
1.2 Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dengan demokrasi dan warisan budaya?
Mengapa jogja disebut daerah istimewa?
Apa dampak dari keistimewaan jogja pada pemerintahan di Indonesia?
1.3 Batasan masalah
Sesuai dengan rumusan yang telah dipaparkan, maka batasan yang
diberlakukan adalah sebatas permasalahan yang terjadi antara dua pihak yaitu
Pemerintah Indonesia dengan Kesultanan Yogyakarta pada system pemilihan
Gubernurnya . Bahasan tidak mencakup setiap permasalahan demokrasi pada
umumnya, hanya sebatas yang dipaparkan di atas.
1.4 Tujuan Penulisan
Dalam penulisan makalah dengan tema Indonesia Democracy or
Democrazy, tidak lepas dari tujuan yang diharapkan antara lain :
Untuk mendapatkan informasi perihal Demokrasi Pancasila.
Memperoleh deskripsi tentang system monarki kesultanan yang dijalankan
oleh Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mendapatkan gambaran perihal bagaimana kita menyikapi permasalahan
itu..
1.5 Manfaat Penelitian
Ada pula manfaat yang kami harapkan dalam penulisan makalah pancasila
dan kewarganegaraan ini adalah untuk memberikan informasi secara khusus
kepada masyarakat tentang permasalahan yang sedang mencuat perihal
demokrasi pancasila di Indonesia, memberi tambahan pengetahuan kepada
kami perihal system monarki yang masih bercokol di Indonesia, memberikan
informasi kepada masyarakat secara umum tentang bagaimana titik tengah
dari masalah yang kita dapati.
BAB 2
2.1 Demokrasi
2.1.1 Demokrasi pancasila
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang mengutamakan
musyawarah mufakat tanpa oposisi dalam doktrin Manipol USDEK
disebut pula sebagai demokrasi terpimpin merupakan demokrasi yang
berada dibawah komando Pemimpin Besar Revolusi kemudian dalam
doktrin repelita yang berada dibawah pimpinan komando Bapak
Pembangunan arah rencana pembangunan daripada suara terbanyak dalam
setiap usaha pemecahan masalah atau pengambilan keputusan, terutama
dalam lembaga-lembaga negara.
Istilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di
Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap
sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum
demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan
dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18,
bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara.
Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti
rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat
diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi
menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini
menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator
perkembangan politik suatu negara
Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi berdasarkan
Pancasila, masih dalam taraf perkembangan dan mengenai sifat-sifat dan
ciri-cirinya terdapat berbagai tafsiran serta pandangan. Tetapi yang tidak
dapat disangkal ialah bahwa beberapa nilai pokok dari demokrasi
konstitusionil cukup jelas tersirat di dalam Undang Undang Dasar 1945.
Selain dari itu Undang-Undang Dasar kita menyebut secara eksplisit 2
prinsip yang menjiwai naskah itu dan yang dicantumkan dalam penjelasan
mengenai Sistem Pemerintahan Negara, yaitu:
1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum
(Rechstaat).
Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan
kekuasaan belaka (Machstaat).
2. Sistem Konstitusionil
Pemerintahan berdasarkan atas Sistem Konstitusi (Hukum Dasar), tidak
bersifat Absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Berdasarkan 2
istilah Rechstaat dan sistem konstitusi, maka jelaslah bahwa demokrasi
yang menjadi dasar dari Undang-Undang Dasar 1945, ialah demokrasi
konstitusionil. Di samping itu corak khas demokrasiIndonesia, yaitu
kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan perwakilana, dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar.
Dalam
bukunya,
Kewarganegaraan,
Pendidikan
Idris
Israil
Pembelajaran
(2005:52-53)
dan
Penyebaran
menyebutkan
ciri-ciri
demokrasi Indonesia sebagai berikut:
1. Kedaulatan ada di tangan rakyat.
2. Selalu berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong.
3. Cara pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk
mencapai mufakat.
4. Tidak kenal adanya partai pemerintahan dan partai oposisi.
5. Diakui adanya keselarasan antara hak dan kewajiban.
6. Menghargai hak asasi manusia.
7. Ketidaksetujuan terhadap kebijaksanaan pemerintah dinyatakan
dan disalurkan melalui wakil-wakil rakyat. Tidak menghendaki
adanya demonstrasi dan pemogokan karena merugikan semua
pihak.
8. Tidak menganut sistem monopartai.
9. Pemilu dilaksanakan secara luber.
10. Mengandung sistem mengambang.
11. Tidak kenal adanya diktator mayoritas dan tirani minoritas.
12. Mendahulukan kepentingan rakyat atau kepentingan umum.
SISTEM PEMERINTAHAN DEMOKRASI PANCASILA
Landasan formil dari periode Republik Indonesia III ialah Pancasila, UUD
45 serta Ketetapan-ketetapan MPRS. Sedangkan sistem pemerintahan
demokrasi Pancasila menurut prinsip-prinsip yang terkandung di dalam
Batang Tubuh UUD 1945 berdasarkan tujuh sendi pokok, yaitu sebagai
berikut:
1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan hukum
Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechsstaat), tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka (Machsstaat). Hal ini mengandung arti bahwa baik
pemerintah maupun lembaga-lembaga negara lainnya dalam melaksanakan
tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan tindakannya bagi rakyat
harus ada landasan hukumnya. Persamaan kedudukan dalam hukum bagi
semua warga negara harus tercermin di dalamnya.
2. Indonesia menganut sistem konstitusional
Pemerintah berdasarkan sistem konstitusional (hukum dasar) dan tidak
bersifat absolutisme (kekuasaan yang mutlak tidak terbatas). Sistem
konstitusional
ini
lebih
menegaskan
bahwa
pemerintah
dalam
melaksanakan tugasnya dikendalikan atau dibatasi oleh ketentuan
konstitusi, di samping oleh ketentuan-ketentuan hukum lainnya yang
merupakan pokok konstitusional, seperti TAP MPR dan Undang-undang.
3. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pemegang kekuasaan
negara yang tertinggi
Seperti telah disebutkan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 pada halaman
terdahulu, bahwa (kekuasaan negara tertinggi) ada di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Dengan demikian, MPR adalah lembaga
negara tertinggi sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Sebagai
pemegang kekuasaan negara yang tertinggi MPR mempunyai tugas pokok,
yaitu:
a. Menetapkan UUD;
b. Menetapkan GBHN; dan
c. Memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden
Wewenang MPR, yaitu:
a. Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga
negara lain, seperti penetapan GBHN yang pelaksanaannya ditugaskan
kepada Presiden;
b.
Meminta
pertanggungjawaban
presiden/mandataris
mengenai
pelaksanaan GBHN;
c. Melaksanakan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden dan
Wakil Presiden;
d. Mencabut mandat dan memberhentikan presiden dalam masa jabatannya
apabila presiden/mandataris sungguh-sungguh melanggar haluan negara
dan UUD;
e. Mengubah undang-undang.
4. Presiden adalah penyelenggaraan pemerintah yang tertinggi di bawah
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Di bawah MPR, presiden ialah penyelenggara pemerintah negara tertinggi.
Presiden selain diangkat oleh majelis juga harus tunduk dan bertanggung
jawab kepada majelis. Presiden adalah Mandataris MPR yang wajib
menjalankan putusan-putusan MPR.
5. Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi DPR mengawasi
pelaksanaan mandat (kekuasaan pemerintah) yang dipegang oleh presiden
dan DPR harus saling bekerja sama dalam pembentukan undang-undang
termasuk APBN. Untuk mengesahkan undang-undang, presiden harus
mendapat persetujuan dari DPR. Hak DPR di bidang legislative ialah hak
inisiatif, hak amandemen, dan hak budget.
Hak DPR di bidang pengawasan meliputi:
a. Hak tanya/bertanya kepada pemerintah;
b. Hak interpelasi, yaitu meminta penjelasan atau keterangan kepada
pemerintah;
c. Hak Mosi (percaya/tidak percaya) kepada pemerintah;
d. Hak Angket, yaitu hak untuk menyelidiki sesuatu hal;
e. Hak Petisi, yaitu hak mengajukan usul/saran kepada pemerintah.
6. Menteri Negara adalah pembantu presiden, Menteri Negara tidak
bertanggung jawab kepada DPR
Presiden memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan
menteri negara. Menteri ini tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi
kepada presiden. Berdasarkan hal tersebut, berarti sistem kabinet kita
adalah kabinet kepresidenan/presidensil.
Kedudukan Menteri Negara bertanggung jawab kepada presiden, tetapi
mereka bukan pegawai tinggi biasa, menteri ini menjalankan kekuasaan
pemerintah dalam prakteknya berada di bawah koordinasi presiden.
7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas
Kepala Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi ia bukan
diktator, artinya kekuasaan tidak tak terbatas. Ia harus memperhatikan
sungguh-sungguh suara DPR. Kedudukan DPR kuat karena tidak dapat
dibubarkan oleh presiden dan semua anggota DPR merangkap menjadi
anggota MPR. DPR sejajar dengan presiden.
2.1.2 Feodalisme
Feodalisme adalah struktur pendelegasian kekuasaan sosiopolitik
yang dijalankan kalangan bangsawan/monarki untuk mengendalikan
berbagai wilayah yang diklaimnya melalui kerja sama dengan pemimpinpemimpin lokal sebagai mitra. Dalam pengertian yang asli, struktur ini
disematkan oleh sejarawan pada sistem politik di Eropa pada Abad
Pertengahan, yang menempatkan kalangan kesatria dan kelas bangsawan
lainnya (vassal) sebagai penguasa kawasan atau hak tertentu (disebut fief
atau, dalam bahasa Latin, feodum) yang ditunjuk oleh monarki (biasanya
raja atau lord).
Istilah feodalisme sendiri dipakai sejak abad ke-17 dan oleh
pelakunya sendiri tidak pernah dipakai. Semenjak tahun 1960-an, para
sejarawan memperluas penggunaan istilah ini dengan memasukkan pula
aspek kehidupan sosial para pekerja lahan di lahan yang dikuasai oleh tuan
tanah, sehingga muncul istilah "masyarakat feodal". Karena penggunaan
istilah feodalisme semakin lama semakin berkonotasi negatif, oleh para
pengkritiknya istilah ini sekarang dianggap tidak membantu memperjelas
keadaan dan dianjurkan untuk tidak dipakai tanpa kualifikasi yang jelas.
2.1.3 Imperialisme
Imperialisme ialah politik untuk menguasai (dengan paksaan)
seluruh dunia untuk kepentingan diri sendiri yang dibentuk sebagai
imperiumnya. "Menguasai" disini tidak perlu berarti merebut dengan
kekuatan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan ekonomi, kultur,
agama dan ideologi, asal saja dengan paksaan. Imperium disini tidak perlu
berarti suatu gabungan dari jajahan-jajahan, tetapi dapat berupa daerahdaerah pengaruh, asal saja untuk kepentingan diri sendiri. Apakah beda
antara imperialisme dan kolonialisme ? Imperialisme ialah politik yang
dijalankan mengenai seluruh imperium. Kolonialisme ialah politik yang
dijalankan mengenai suatu koloni, sesuatu bagian dari imperium jika
imperium itu merupakan gabungan jajahan-jajahan.
2.1.4 Monarkhi
Monarki, berasal dari bahasa Yunani monos yang berarti satu, dan
archein yang berarti pemerintah. Monarki merupakan sejenis pemerintahan
yang dipimpin oleh seorang penguasa monarki. Monarki atau sistem
pemerintahan kerajaan adalah sistem tertua di dunia. Pada awal kurun ke19, terdapat lebih 900 tahta kerajaan di dunia, tetapi menurun menjadi 240
dalam abad ke-20. Sedangkan pada dekade kedelapan abad ke-20, hanya
40 takhta saja yang masih ada. Dari jumlah tersebut, hanya empat negara
mempunyai penguasamonarki yang mutlak dan selebihnya terbatas kepada
sistem konstitusi.
2.2 Keistimewaan Yogyakarta
2.2.1 Sejarah keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di
Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara
bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi
khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum
kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman,
sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan
vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan
mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis),
India
Timur/EIC
(Kerajaan
Inggris),
Hindia
Belanda
(Kerajaan
Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran
Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende
Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini
membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk
mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah
pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang
kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri
Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai
sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah Negara.
2.2.2 sejarah gubernur yogyakarta
No
Foto
Nama
Dari
Sampai
Keterangan
.
Masa jabatan
seumur
ISKS
1
hidup,
17
1.
Hamengkubuwon
Oktober198 pegawai
Agustus1945
o IX
8
negara
dengan NIP
010000001.
2.
KGPAA Paku
1
Alam VIII
Oktober 198 Oktober199 Gubernur,
8
3
8
Wakil
melaksanaka
n tugas
Gubernur
dalam
jabatan
Penjabat
Gubernur,
Masa jabatan
seumur
hidup,
pegawai
negara
dengan NIP
010064150.
ISKS
3
Masa jabatan
3.
Hamengkubuwon Oktober 199 2003
pertama.
oX
8
ISKS
Masa jabatan
4.
Hamengkubuwon 2003
2008
kedua.
oX
ISKS
5.
Hamengkubuwon 2008
oX
Perpanjangan
2011
masa jabatan
kedua.
Sultan HB IX hanya sepuluh tahun memangku kembali
sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Pada 1988, Beliau
wafat di Amerika Serikat saat berobat. Sultan Hamengku Buwono
IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia
antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Yogyakarta terlama antara
1940-1988. Pemerintah Pusat tidak mengangkat Sultan Hamengku
Buwono X (HB X) sebagai Gubernur Definitif melainkan
menunjuk Sri Paduka Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil
Kepala Daerah Istimewa, sebagai Penjabat Gubernur/Kepala
Daerah Istimewa.
Pada saat reformasi, tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum
pengunduran diri presiden terdahulu (former president) Presiden
Soeharto, Sultan HB X bersama-sama dengan Sri Paduka PA VIII
mengeluarkan sebuah maklumat yang pada pokoknya berisi
"ajakan kepada masyarakat untuk mendukung gerakan reformasi
damai, mengajak ABRI (TNI/Polri) untuk melindungi rakyat dan
gerakan reformasi, untuk menjaga persatuan dan kesatuan, dan
mengajak masyarakat untuk berdoa bagi Negara dan Bangsa".
Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat dalam acara
yang disebut Pisowanan Agung. Beberapa bulan setelahnya beliau
menderita sakit dan meninggal pada tahun yang sama. Sri Paduka
Paku Alam VIII tercatat sebagai wakil Gubernur terlama (19451998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta
Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).
2.3 RUU keistimewaan yogyakarta
2.3.1
Isi
Penyusunan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta (1945-1946)
Untuk merumuskan susunan dan kedudukan daerah Yogyakarta, BP
KNID juga menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU
Pokok Pemerintahan Yogyakarta sampai awal 1946. RUU ini tidak
kunjung selesai karena perbedaan yang tajam antara BP KNID, yang
menghendaki Yogyakarta menjadi daerah biasa seperti daerah lain, dengan
kedua penguasa monarki, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah
istimewa. Akhirnya RUU yang terdiri dari 10 Bab tersebut dapat
diselesaikan. Dan isi dari RUU tersebut berisi tentang :
1.
Kedudukan Yogyakarta
2.
Kekuasaan Pemerintahan
3.
Kedudukan kedua raja
4.
Parlemen Lokal (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten,
dan Dewan Kalurahan)
5.
Pemilihan Parlemen
6.
Keuangan
7.
Dewan Pertimbangan
8.
Perubahan
9.
Aturan Peralihan
10.
Aturan Tambahan
2.3.2
Kutipan Wawancara dengan narasumber
Viva.news, Sabtu (18/12). Gamawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri.
RUU Keistimewaan Yogyakarta. Kesimpulannya pemerintah tetap
dengan konsep Gubernur DIY dipilih, bukan ditetapkan?!
Ya, dipilih. Dari pemerintah itu sudah final. Nanti bagaimananya di DPR kita lihat
lagilah. Tapi pemerintah memilih alternatif tersebut tentu sudah siap dengan
argumen, dasar hukum, dan telah melalui pertimbangan yang sangat matang.
Apa alasan utama pemerintah?
Konstitusi, bukan pendapat pribadi Mendagri ataupun kemauan Presiden.
Konstitusi mengakui keistimewaan Yogyakarta, tapi juga harus taat kepada
konstitusi. Tidak satu kata atau kalimat pun dalam UUD 1945 yang menyatakan
bahwa keistimewaan itu harus diwujudkan dalam bentuk penetapan Sultan dan
Pakualam sebagai gubernur dan wakil gubernur. Pengangkatan gubernur harus
mengacu kepada Pasal 18 UUD 1945 itu, yaitu gubernur, bupati, dan walikota
dipilih secara demokratis. Tidak ada pengecualian ataupun penjelasan lain dalam
konstitusi. Soal Yogya pemerintah sudah tegaskan, Sultan dan Pakualam tetap
diakui sebagai pemimpin tertinggi di daerah itu, tetapi gubernur sebagai kepala
pemerintahan diangkat sesuai amanat konstitusi.
Tapi kan ada yang menafsirkan lain?
Ya, silahkan saja. Tapi landasan pemerintah jelas. Ada satu ayat lagi
dalam Pasal 28 UUD 1945, yakni semua warga negara berhak ikut serta dalam
pemerintahan. Artinya, setiap warganegara berhak menjadi pejabat pemerintah,
jadi bupati, walikota, gubernur, bahkan presiden. Kalau Presiden menetapkan
Sultan menjadi gubernur, berarti sudah menghilangkan hak warga negara yang
lain untuk menjadi gubernur di DI Yogyakarta. Menghilangkan hak warga negara
untuk ikut serta dalam pemerintahan kan melanggar konstitusi.
TEMPO Interaktif, Jakarta - Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar
merasa yakin banyak orang belum memahami substansi draft RUUK DIY. Bila
mereka telah membaca, kata Patrialis, mereka akan paham bahwa pemerintah
menempatkan keistimewaan Yogya pada posisi yang istimewa.
"Banyak orang belum mendapat info secara genuine," kata Patrialis saat ditanya
soal hasil sidang DPRD DIY di Gedung DPR, Jakarta Selasa 14 Desember 2010.
Menurut Patrialis banyak orang menyikapi rencana draft RUUK DIY hanya
melihat dari kulit lalu berkomentar. "Komentarnya juga kebanyakan provokasi.
Pemerintah justru memberi keistimewaan yang berdasarkan sistem kukuh dan
kuat," kata dia.
Lalu, apa saja keistimewaan dalam isi draft RUUK DIY? Inilah beberapa
keistimewaan yang diungkapkan Patrialis:
a. Sultan Hamengkubuwono dan Paku Alam bertahta, walaupun tidak menjadi
gubernur dan wakil gubernur, mereka akan tetap jadi orang nomor satu dan kedua
di Yogya.
b. Pemerintah Daerah yang terpilih harus meminta persetujuan apapun ke Sultan
terkait pemerintahan. Bahkan DPRD dalam menyusun anggaran pun harus
meminta persetujuan Sultan.
c. Kalau Sultan dan Paku Alam mencalonkan diri sebagai gubernur dan wakil
gubernur, maka pencalonan itu bersifat perorangan, tanpa melalui partai politik.
d. Jika Sultan dan Paku Alam mencalonkan diri, maka kerabat Keraton lainnya
tidak boleh mencalonkan diri.
e. Jika hanya satu-satunya calon, maka DPRD tidak akan lagi melakukan
pemilihan terhadap Sultan dan Paku Alam: Mereka langsung dikukuhkan menjadi
gubernur dan wakil gubernur.
f. Jika tidak terpilih jadi gubernur dan wakil gubernur, posisi Sultan dan Paku
Alam adalah gubernur utama dan wakil gubernur utama. Posisi ini berada di atas
gubernur/kepala daerah. Apapun kebijakan kepala daerah harus meminta
persetujuan pada gubernur utama (Sultan) dan wakil gubernur utama (Paku Alam)
2.3.3
Sejarah perjalanan RUU yogyakarta
Untuk merumuskan susunan dan kedudukan daerah Yogyakarta, BP KNID juga
menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU Pokok Pemerintahan
Yogyakarta sampai awal 1946. RUU ini tidak kunjung selesai karena perbedaan
yang tajam antara BP KNID, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah biasa
seperti daerah lain, dengan kedua penguasa monarki, yang menghendaki
Yogyakarta menjadi daerah istimewa.
1. Sambil menunggu UU yang mengatur susunan Daerah yang bersifat
Istimewa sebagaimana pasal 18 UUD, maka Sultan HB IX dan Sri Paduka
PA VIII dengan persetujuan BP DPR DIY (Dewan Daerah) pada 18
Mei 1946 mengeluarkan Maklumat No. 18 yang mengatur kekuasaan
legeslatif dan eksekutif . Maklumat ini adalah realisasi dari keputusan
sidang KNI Daerah Yogyakarta pada 24 April 1946. Setelah menyetujui
rencana maklumat itu, KNID membubarkan diri dan digantikan oleh
Dewan Daerah yang dibentuk berdasarkan rencana maklumat. Dalam
sidangnya yang pertama DPR DIY mengesahkan rencana maklumat No 18
yang sebelumnya telah disetujui dalam sidang KNI Daerah Yogyakarta
tersebut.
Dalam maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta digunakan
menandai bersatunya dua monarki Kesultanan dan Pakualaman dalam sebuah
Daerah Istimewa. Persatuan ditunjukkan dengan hanya ada sebuah Parlemen lokal
untuk DIY dan Ibu Kota Yogyakarta (gabungan Kabupaten Kota Kasultanan dan
Kabupaten Kota Paku Alaman) bukan dua buah (satu untuk Kesultanan dan
satunya untuk Paku Alaman). Tidak dipungkiri juga terdapat perbedaan pendapat
antara KNID dengan Monarki yang tercermin dengan adanya dua tanggal
pengumuman maklumat yaitu tanggal 13 dan 18 Mei 1946. Selain itu juga
nampak dari materi maklumat dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan,
sebanyak tiga bab tidak ditampung, yaitu Bab 1 tentang Kedudukan DIY, Bab 6
tentang Keuangan, dan Bab 7 tentang Dewan Pertimbangan.
Penyelenggaraan Pemerintahan DIY (1946-1948)
Maklumat No. 18 tersebut menetapkan bahwa kekuasaan legislatif dipegang
oleh DPRD (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan
Kalurahan) sesuai dengan tingkatan pemerintahan masing-masing. Kekuasaan
eksekutif dipangku secara bersama-sama oleh Dewan Pemerintah Daerah dan
Kepala Daerah (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, Bupati Kota Kasultanan
dan Bupati Kota, Bupati Pamong Praja Kabupaten) sesuai dengan tingkatannya.
Pemerintahan yang dianut adalah collegial bestuur atau direktorium karena badan
eksekutif tidak berada di tangan satu orang melainkan banyak orang. Alasan yang
digunakan waktu itu adalah untuk persatuan dan menampung kepentingan dari
berbagai pihak. Dewan Pemerintah ini dipilih dari dan oleh DPRD serta
bertanggung jawab kepada DPRD.
Pemda Kota Yogyakarta (1947-1950)
Wilayah DIY dan kabupaten di lingkungannya pasca
dibentuknya Haminte-Kota Yogyakarta tahun 1947
Pada 1947 Pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 17
Tahun 1947 tentang PembentukanHaminte-Kota
Yogyakarta atas usulan Dewan Kota Yogyakarta. Ini tidak mengherankan sebab
sejak 5 Januari 1946 Yogyakarta menjadi Ibukota Indonesia. Dalam UU tersebut
Kota Yogyakarta dikeluarkan dari DIY dan mempunyai hubungan langsung
dengan Pemerintah Pusat. Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari Sultan
HB IX. Sebagai penyelesaian, maka pada 22 Juli 1947 Mr. Soedarisman
Poerwokoesoemo diangkat menjadi Walikota Haminte-Kota Yogyakarta dengan
tiga SK sekaligus yaitu dari Presiden, Mendagri, dan Sultan HB IX, menggantikan
M. Enoch (Walikota Yogyakarta pertama) yang turut pergi mengungsi
mendampingi Presiden karena terjadi Agresi Militer Belanda I.
UU Pemerintahan Daerah 1948 (1948-1949)
Pada tahun 1948, Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah dengan
mengeluarkan UU No. 22/1948 tentang UU Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam
UU tersebut diatur susunan dan kedudukan Daerah Istimewa baik dalam
diktum maupun penjelasannya. Walaupun demikian, pemerintah pusat belum
sempat mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan daerah karena harus
menghadapi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 yang menghajar
Ibukota Yogyakarta. Pemerintahan DIY-pun ikut menjadi lumpuh. Sultan HB IX
dan Sri Paduka PA VIII meletakkan jabatan sebagai Kepala Daerah Istimewa
sebagai protes kepada Belanda. Pasca Serangan umum 1 Maret 1949, Yogyakarta
dijadikan Daerah Militer Istimewa dengan Gubernur Militer Sri Paduka Paku
Alam VIII. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1950.
Landasan Hukum Pembentukan DIY (1950-1951)
Setelah pengakuan kedaulatan sebagai hasil KMB, Indonesia memasuki babakan
sejarah yang baru. Negara Republik Indonesia yang beribukota di Yogyakarta
sejak 1946, hanyalah sebuah negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS)
yang berkedudukan di Jakarta sampai 17 Agustus 1950.
Pembentukan DIY (1950)
Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di
lingkungannya tahun 1950
DIY secara formal dibentuk dengan UU No. 3 Tahun
1950 (BN 1950 No. 3) yang diubah denganUU No. 19
Tahun 1950 (BN 1950 No. 48). Kedua UU tersebut diberlakukan mulai 15
Agustus1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950 (BN 1950 No. 58). UU 3/1950
tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sangatlah singkat (hanya 7
pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi). UU tersebut hanya
mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan, serta
aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah
perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi DIY. Status
keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah
diatur dalam UU 22/1948 (lihat periode II di atas). Dalam UU 3/1950 disebutkan
secara tegas Yogyakarta adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat Propinsi bukan
sebuah Propinsi. Walaupun nomenklaturnya mirip, namun saat itu mengandung
konsekuensi hukum dan politik yang amat berbeda terutama dalam hal kepala
daerah dan wakil kepala daerahnya (lihat UU 22/1948 di atas). Walau begitu DIY
bukan pula sebuah monarki konstitusional.
Pembentukan Kabupaten dan Kota (1950-1951)
Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1951
Pembagian DIY menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur
dengan UU No. 15 Tahun 1950 (BN 1950 No. 44) dan UU No. 16 Tahun 1950
(BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP No.
32 Tahun 1950 (BN 1950 No. 59). Menurut undang-undang tersebut DIY dibagi
menjadi kabupaten-kabupaten Bantul (beribukota Bantul),Sleman (beribukota
Sleman), Gunung Kidul (beribukota Wonosari), Kulon Progo (beribukota
Sentolo), Adikarto (beribukota Wates), dan Kota Besar Yogyakarta. Untuk alasan
efisiensi, pada tahun 1951, kabupaten Adikarto yang beribukota Wates digabung
dengan kabupaten Kulon Progo yang beribukota Sentolo menjadi Kabupaten
Kulon Progo dengan ibu kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini ditetapkan
oleh UU Nomor 18 Tahun 1951 (LN 1951 No. 101). Semua UU mengenai
pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk
berdasarkan UU 22/1948.
Era Otonomi Daerah Seluas-luasnya (1957-1965)
Implementasi UUDS 1950 (1957-1965)
Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur dengan
UU No 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini diterbitkan
untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 UUDS 1950. Pengaturan
Daerah Istimewa terdapat baik dalam diktum maupun penjelasannya
. Secara garis besar tidak terjadi perubahan yang mencolok tentang pengaturan
pemerintahan di Yogyakarta saat itu dengan peraturan sebelumnya (UU 22/1948)
[16]
. Pada masa pemberlakuan UU ini terjadi "Masalah Pamong Praja" yang
melibatkan benturan keras antara korps pamong praja sebagai
'metamorfosis' abdidalem kepatihan yang sejak semula menjadi tulang punggung
birokrasi DIY dengan Dewan Pemerintah Daerah yang memiliki dukungan DPRD
DIY yang sedang dikuasai oleh PKI yang menghendaki hapusnya pamong praja.
Penyatuan Wilayah (1957-1958)
Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1957
Demi kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan mosi Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6/1952 tertanggal 24 September
1952, daerah-daerah enclave Imogiri(milik Kasunanan), Kota Gede (juga milik
Kasunanan), dan Ngawen (milik Mangkunagaran) dilepaskan dari Provinsi Jawa
Tengah dan kabupaten-kabupaten yang bersangkutan kemudian dimasukkan ke
dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten-kabupaten yang
wilayahnya melingkari daerah-daerah enclave tersebut. Penyatuan enclaveenclave ini ditetapkan oleh UU Drt No. 5 Tahun 1957 (LN 1957 No. 5) yang
kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU No. 14 Tahun 1958 (LN 1958 No. 33,
TLN 1562).
Pasca Dekrit Presiden (1959-1965)
Sambil menunggu UU pemerintahan daerah yang baru setelah Dekrit Presiden 5
Juli 1959, Presiden mengeluarkan PenPres No 6 Tahun 1959 sebagai penyesuaian
UU 1/1957 terhadap UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Pengaturan Daerah
Istimewa dalam peraturan ini juga tidak banyak berbeda. Selain itu Sultan HB IX
mulai aktif kembali dalam politik Nasional, praktis kepemimpinan sehari-hari
DIY di pegang oleh Sri Paduka PA VIII.
Pengaturan DIY Pada Masa Pergolakan (1965-1974)
Tanggal 1 September 1965, sebulan sebelum terjadi G30S/PKI, Pemerintah
mengeluarkan UU No. 18 tahun 1965 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini
Yogyakarta dijadikan sebuah Provinsi (sebelumnya adalah Daerah Istimewa
Setingkat Provinsi [lihat periode III di atas]). Dalam UU ini pula seluruh
“swapraja” yang masih ada baik secara de facto maupun de jure yang menjadi
bagian dari daerah lain yang lebih besar dihapuskan. Dengan demikian
Yogyakarta menjadi satu-satunya daerah bekas swapraja yang diakui oleh Pusat.
UU ini juga mengisyaratkan penghapusan status istimewa baik
bagi Aceh maupun Yogyakarta di kemudian hari . Mulai dengan keluarnya UU
No 18/1965 dan UU pemerintahan daerah selanjutnya, keistimewaan Yogyakarta
semakin hari semakin kabur.
Pengaturan DIY Pada Masa Orde Baru (1974-1998)
Tahun 1973, Sultan HB IX diangkat menjadi Wakil Presiden Indonesia. Otomatis
beliau tidak bisa aktif dalam mengurusi DIY. Oleh karena itu pemerintahan
sehari-hari dijalankan oleh Sri Paduka PA VIII. Kebijakan tentang status
Yogyakarta diteruskan oleh Pemerintah Pusat dengan UU No. 5 Tahun 1974
tentang Pemerintah Daerah (LN 1974 No 38; TLN 3037). Di sini Provinsi D.I.
Yogyakarta diatur secara khusus di aturan peralihan. Dengan UU ini, susunan dan
tata pemerintahan DIY praktis menjadi sama dengan daerah-daerah lain di
Indonesia. Satu-satunya perbedaan adalah Kepala Daerah Istimewa dan Wakil
Kepala Daerah Istimewa, beberapa urusan Agraria dan beberapa pegawai Pemda
yang merangkap menjadi Abdi Dalem Keprajan (lihat periode I dan III di atas).
Sultan HB IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah
Istimewa setelah berhenti sebagai wakil presiden pada tahun 1978. Melihat
keistimewaan yang semakin kabur, DPRD DIY periode 1977-1982 menyatakan
pendapat dan kehendaknya bahwa sifat dan kedudukan istimewa DIY perlu
dilestarikan terus sampai masa mendatang sesuai dengan UUD 1945 dan isi serta
maksud UU 3/1950. Putusan DPRD ini tertuang dalam Keputusan DPR DIY No.
4/k/DPRD/1980.
Penyelenggaraan Pemerintahan DIY Pada Masa Peralihan (1998sekarang[2008])
Meninggalnya Sri Paduka PA VIII menimbulkan masalah bagi
Pemerintahan Provinsi DIY dalam hal kepemimpinan. Terjadi perdebatan antara
Pemerintah Pusat, DPRD Provinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro Paku
Alaman, serta masyarakat. Keadaan ini sebenarnya disebabkan oleh kekosongan
hukum yang ditimbulkan UU No. 5/1974 yang hanya mengatur jabatan Gubernur
dan Wakil Gubernur Provinsi DIY saat dijabat oleh Sultan HB IX dan Sri Paduka
PA VIII, dan tidak mengatur masalah suksesinya. Atas desakan rakyat, Sultan HB
X ditetapkan sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat
untuk masa jabatan 1998-2003.
Karena suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan bertahta
menjadi Pangeran Adipati Paku Alam tidak berjalan mulus, maka Sultan HB X
tidak didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa. Pada
tahun 1999 Sri Paduka Paku Alam IX naik tahta, namun beliau belum menjabat
sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa.
Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi I (1999-2004)
Untuk menanggulangi masalah tersebut, Pemerintah Pusat dalam UU No. 22/1999
tentang Pemerintahan Daerah (LN 1999 No 60; TLN 3839) mengatur masalah
suksesi bagi kepemimpinan di Provinsi DIY. Sedangkan masalah birokrasi dan
tata pemerintahan Provinsi DIY adalah sama dengan provinsi-provinsi lainnya .
Pada tahun 2000, MPR RI melakukan perubahan kedua UUD 1945. Pada
perubahan ini, status daerah istimewa diperjelas dalam pasal 18B. Dalam pasal ini
keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang.
Pengusulan RUU Keistimewaan (2002)
Pihak Provinsi DIY pernah mengajukan usul UU Keistimewaan Yogyakarta untuk
menjalankan aturan pasal 18B konstitusi pada 2002. Namun usul tersebut tidak
mendapat tanggapan positif bila dibandingkan dengan Prov NAD dan
Prov Papua dengan dikembalikan lagi ke daerah. Kedua provinsi tersebut telah
menerima otonomi khusus masing-masing dengan UU No 18/2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh (LN
2001 No.114; TLN 4134) dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Papua (LN 2001 No 135; TLN 4151).
Pro Kontra Suksesi Gubernur II (2003)
Ketika masa jabatan Sultan HB X berakhir di tahun 2003, kejadian di tahun 1998
terulang kembali. DPRD Prov DI Yogyakarta menginginkan pemilihan Gubernur
sesuai UU 22/1999. Namun kebanyakan masyarakat menghendaki agar Sultan HB
X dan Sri Paduka PA IX ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur.
Sekali lagi Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX diangkat menjadi Gubernur dan
Wakil Gubernur dengan masa jabatan 2003-2008.
Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi II (2004-sekarang[2008])
Tahun 2004, masalah keistimewaan kembali bergolak. Dalam UU No 32/2004
tentang Pemerintahan Daerah (LN 2004 No 125; TLN 4437), status keistimewaan
Provinsi DIY tetap diakui, namun diisyaratkan akan diatur secara khusus seperti
provinsi-provinsi: NAD, DKI Jakarta, dan Papua. Namun sebelum UU yang
mengatur status keistimewaan Provinsi DIY diterbitkan, seluruh pelaksanaan
pemerintahan mengacu pada UU tersebut. Sama seperti daerah provinsi yang lain,
kecuali Aceh dan Papua, Pemerintahan Provinsi DIY dibagi menjadi Dinas,
Badan, Kantor, Rumah Sakit, serta Sekretariat PemProv dan DPRD. Pada 2006
sekali lagi Provinsi DIY mengajukan usul namun sekali lagi pula usul itu
dikembalikan seperti usulan empat tahun sebelumnya.
Disusun oleh:
1. Faaiz Makmun M
(041012194)
2. Ridwan Said Widodo
(041012266)
3. Firstyawan Ari Cahya
(041012003)
4. Oky Setyo Purnomo
(041012295)
5. Farid Afyudin
(041012183)
6. Danu Fathakul
(041012130)
7. Rangga Ananta
(041012218)
8. Brilyan Rizki Darmawan
(041012071)
PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2010
Demokrasi VS Warisan Budaya
Disusun oleh:
1. Faaiz Makmun M
(041012194)
2. Ridwan Said Widodo
(041012266)
3. Firstyawan Ari Cahya
(041012003)
4. Oky Setyo Purnomo
(041012295)
5. Farid Afyudin
(041012183)
6. Danu Fathakul
(041012130)
7. Rangga Ananta
(041012218)
8. Brilyan Rizki Darmawan
(041012071)
PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2010
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahiwabarokatuh
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji syukur kehadirat Allah SWT
yang senantiasa melimpahkan Rahmat dan Hidayahnya, sehingga kami selaku
penulis dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah dengan judul “Demokrasi
VS Warisan Budaya”, guna memperoleh nilai dan pengetahuan yang mendalam
dari Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Airlangga Surabaya pada tahun 2011.
Dengan terselesaikannya Makalah ini, kami mengucapkan terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Allah SWT, atas limpahan karunia dan hidayahnya sehingga
kita selaku penulis dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan
Makalah ini.
2. dr. H. Erwin Satosa, Sp.A, M.Kes
selaku Dekan
Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
3. Titih Huriah, M.Kep, Sp.Kom selaku dosen pembimbing atas
bimbingan, arahan dan koreksinya selama penyusunan dan penulisan
Karya Tulis Ilmiah.
4. teman teman Manajemen yang mau memberikan spirit, unity and pride
bagi kelompok kami.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah Pancasila dan
kewarganegaraan ini masih banyak kekurangan, sehingga diharapkan kritik, saran
dan koreksi yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini
Akhir kata, penulis mengharapkan agar makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan terutama ilmu
kewaraganegaraan.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahiwabarokatuh
Surabaya, Oktober 2010
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................
i
KATA PENGANTAR.....................................................................................ii/iii
DAFTAR ISI....................................................................................................iv/v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………….
3
1.3 Batasan Masalah.........................................................................
3
1.4 Tujuan Penulisan.........................................................................
3
1.5 Manfaat Penelitian......................................................................
4
2.1 Demokrasi....................................................................................
1
2.1.1 Demokrasi Pancasila.......................................................
3
2.1.2 Feodalisme......................................................................
3
2.1.3 Imperialisme...................................................................
3
2.1.4 Monarkhi.........................................................................
4
2.2 Keistimewaan Yogyakarta...........................................................
1
2.2.1 Sejarah Keistimewaan.....................................................
3
2.2.2 Sejarah Gubernur Yogyakarta.........................................
3
2.3 RUU Keistimewaan Yogyakarta..................................................
3
2.3.1 Isi.....................................................................................
4
2.3.2 Kutipan wawancara dengan narasumber........................
9
BAB II
2.3.3 Sejarah perjalanan RUU Yogyakarta..............................
9
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan......................................................................................
9
3.2 Saran ..........................................................................................
9
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….... VI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbicara mengenai demokrasi adalah memburaskan (memperbincangkan)
tentang kekuasaan, atau lebih tepatnya pengelolaan kekuasaan secara beradab.
Ia adalah sistem manajemen kekuasaan yang dilandasi oleh nilai-nilai dan
etika serta peradaban yang menghargai martabat manusia. Pelaku utama
demokrasi adalah kita semua, setiap orang yang selama ini selalu
diatasnamakan namun tak pernah ikut menentukan. Menjaga proses
demokratisasi adalah memahami secara benar hak-hak yang kita miliki,
menjaga hak-hak itu agar siapapun menghormatinya, melawan siapapun yang
berusaha melanggar hak-hak itu. Demokrasi pada dasarnya adalah aturan
orang (people rule), dan di dalam sistem politik yang demokratis warga
mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur
pemerintahan di dunia publik. Sedang demokrasi adalah keputusan
berdasarkan suara terbanyak. Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencitacitakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme dan
anti-imperialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis. Kasus yang
masih hangat dalam pikiran kita baru baru ini adalah, pemilihan sultan
Hamengkubuwono IX. Apakah pemilihan sultan tersebut berlandaskan
democracy atau democrazy. Berdasarkan keterangan di atas, seharusnya
pemilihan sultan itu harus dipilih dengan pemilu dari rakyat. Karena itu
merupakan sebuah demokrasi yang berdasarkan undang undang dasar dan
ketetapan MPR. Namun dilain pihak kita bangsa Indonesia yang merupakan
Negara kesatuan dan terdiri dari bermacam-macam kesultanan dan kerajaan
pada zaman dahulu semestinya memberikan hak istimewa untuk Yogyakarta
yang memang pada awalnya bersedia untuk masuk kedalam Negara Kesatuan
republic Indonesia ini.
1.2 Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dengan demokrasi dan warisan budaya?
Mengapa jogja disebut daerah istimewa?
Apa dampak dari keistimewaan jogja pada pemerintahan di Indonesia?
1.3 Batasan masalah
Sesuai dengan rumusan yang telah dipaparkan, maka batasan yang
diberlakukan adalah sebatas permasalahan yang terjadi antara dua pihak yaitu
Pemerintah Indonesia dengan Kesultanan Yogyakarta pada system pemilihan
Gubernurnya . Bahasan tidak mencakup setiap permasalahan demokrasi pada
umumnya, hanya sebatas yang dipaparkan di atas.
1.4 Tujuan Penulisan
Dalam penulisan makalah dengan tema Indonesia Democracy or
Democrazy, tidak lepas dari tujuan yang diharapkan antara lain :
Untuk mendapatkan informasi perihal Demokrasi Pancasila.
Memperoleh deskripsi tentang system monarki kesultanan yang dijalankan
oleh Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mendapatkan gambaran perihal bagaimana kita menyikapi permasalahan
itu..
1.5 Manfaat Penelitian
Ada pula manfaat yang kami harapkan dalam penulisan makalah pancasila
dan kewarganegaraan ini adalah untuk memberikan informasi secara khusus
kepada masyarakat tentang permasalahan yang sedang mencuat perihal
demokrasi pancasila di Indonesia, memberi tambahan pengetahuan kepada
kami perihal system monarki yang masih bercokol di Indonesia, memberikan
informasi kepada masyarakat secara umum tentang bagaimana titik tengah
dari masalah yang kita dapati.
BAB 2
2.1 Demokrasi
2.1.1 Demokrasi pancasila
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang mengutamakan
musyawarah mufakat tanpa oposisi dalam doktrin Manipol USDEK
disebut pula sebagai demokrasi terpimpin merupakan demokrasi yang
berada dibawah komando Pemimpin Besar Revolusi kemudian dalam
doktrin repelita yang berada dibawah pimpinan komando Bapak
Pembangunan arah rencana pembangunan daripada suara terbanyak dalam
setiap usaha pemecahan masalah atau pengambilan keputusan, terutama
dalam lembaga-lembaga negara.
Istilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di
Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap
sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum
demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan
dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18,
bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara.
Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti
rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat
diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi
menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini
menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator
perkembangan politik suatu negara
Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi berdasarkan
Pancasila, masih dalam taraf perkembangan dan mengenai sifat-sifat dan
ciri-cirinya terdapat berbagai tafsiran serta pandangan. Tetapi yang tidak
dapat disangkal ialah bahwa beberapa nilai pokok dari demokrasi
konstitusionil cukup jelas tersirat di dalam Undang Undang Dasar 1945.
Selain dari itu Undang-Undang Dasar kita menyebut secara eksplisit 2
prinsip yang menjiwai naskah itu dan yang dicantumkan dalam penjelasan
mengenai Sistem Pemerintahan Negara, yaitu:
1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum
(Rechstaat).
Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan
kekuasaan belaka (Machstaat).
2. Sistem Konstitusionil
Pemerintahan berdasarkan atas Sistem Konstitusi (Hukum Dasar), tidak
bersifat Absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Berdasarkan 2
istilah Rechstaat dan sistem konstitusi, maka jelaslah bahwa demokrasi
yang menjadi dasar dari Undang-Undang Dasar 1945, ialah demokrasi
konstitusionil. Di samping itu corak khas demokrasiIndonesia, yaitu
kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan perwakilana, dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar.
Dalam
bukunya,
Kewarganegaraan,
Pendidikan
Idris
Israil
Pembelajaran
(2005:52-53)
dan
Penyebaran
menyebutkan
ciri-ciri
demokrasi Indonesia sebagai berikut:
1. Kedaulatan ada di tangan rakyat.
2. Selalu berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong.
3. Cara pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk
mencapai mufakat.
4. Tidak kenal adanya partai pemerintahan dan partai oposisi.
5. Diakui adanya keselarasan antara hak dan kewajiban.
6. Menghargai hak asasi manusia.
7. Ketidaksetujuan terhadap kebijaksanaan pemerintah dinyatakan
dan disalurkan melalui wakil-wakil rakyat. Tidak menghendaki
adanya demonstrasi dan pemogokan karena merugikan semua
pihak.
8. Tidak menganut sistem monopartai.
9. Pemilu dilaksanakan secara luber.
10. Mengandung sistem mengambang.
11. Tidak kenal adanya diktator mayoritas dan tirani minoritas.
12. Mendahulukan kepentingan rakyat atau kepentingan umum.
SISTEM PEMERINTAHAN DEMOKRASI PANCASILA
Landasan formil dari periode Republik Indonesia III ialah Pancasila, UUD
45 serta Ketetapan-ketetapan MPRS. Sedangkan sistem pemerintahan
demokrasi Pancasila menurut prinsip-prinsip yang terkandung di dalam
Batang Tubuh UUD 1945 berdasarkan tujuh sendi pokok, yaitu sebagai
berikut:
1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan hukum
Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechsstaat), tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka (Machsstaat). Hal ini mengandung arti bahwa baik
pemerintah maupun lembaga-lembaga negara lainnya dalam melaksanakan
tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan tindakannya bagi rakyat
harus ada landasan hukumnya. Persamaan kedudukan dalam hukum bagi
semua warga negara harus tercermin di dalamnya.
2. Indonesia menganut sistem konstitusional
Pemerintah berdasarkan sistem konstitusional (hukum dasar) dan tidak
bersifat absolutisme (kekuasaan yang mutlak tidak terbatas). Sistem
konstitusional
ini
lebih
menegaskan
bahwa
pemerintah
dalam
melaksanakan tugasnya dikendalikan atau dibatasi oleh ketentuan
konstitusi, di samping oleh ketentuan-ketentuan hukum lainnya yang
merupakan pokok konstitusional, seperti TAP MPR dan Undang-undang.
3. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pemegang kekuasaan
negara yang tertinggi
Seperti telah disebutkan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 pada halaman
terdahulu, bahwa (kekuasaan negara tertinggi) ada di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Dengan demikian, MPR adalah lembaga
negara tertinggi sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Sebagai
pemegang kekuasaan negara yang tertinggi MPR mempunyai tugas pokok,
yaitu:
a. Menetapkan UUD;
b. Menetapkan GBHN; dan
c. Memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden
Wewenang MPR, yaitu:
a. Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga
negara lain, seperti penetapan GBHN yang pelaksanaannya ditugaskan
kepada Presiden;
b.
Meminta
pertanggungjawaban
presiden/mandataris
mengenai
pelaksanaan GBHN;
c. Melaksanakan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden dan
Wakil Presiden;
d. Mencabut mandat dan memberhentikan presiden dalam masa jabatannya
apabila presiden/mandataris sungguh-sungguh melanggar haluan negara
dan UUD;
e. Mengubah undang-undang.
4. Presiden adalah penyelenggaraan pemerintah yang tertinggi di bawah
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Di bawah MPR, presiden ialah penyelenggara pemerintah negara tertinggi.
Presiden selain diangkat oleh majelis juga harus tunduk dan bertanggung
jawab kepada majelis. Presiden adalah Mandataris MPR yang wajib
menjalankan putusan-putusan MPR.
5. Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi DPR mengawasi
pelaksanaan mandat (kekuasaan pemerintah) yang dipegang oleh presiden
dan DPR harus saling bekerja sama dalam pembentukan undang-undang
termasuk APBN. Untuk mengesahkan undang-undang, presiden harus
mendapat persetujuan dari DPR. Hak DPR di bidang legislative ialah hak
inisiatif, hak amandemen, dan hak budget.
Hak DPR di bidang pengawasan meliputi:
a. Hak tanya/bertanya kepada pemerintah;
b. Hak interpelasi, yaitu meminta penjelasan atau keterangan kepada
pemerintah;
c. Hak Mosi (percaya/tidak percaya) kepada pemerintah;
d. Hak Angket, yaitu hak untuk menyelidiki sesuatu hal;
e. Hak Petisi, yaitu hak mengajukan usul/saran kepada pemerintah.
6. Menteri Negara adalah pembantu presiden, Menteri Negara tidak
bertanggung jawab kepada DPR
Presiden memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan
menteri negara. Menteri ini tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi
kepada presiden. Berdasarkan hal tersebut, berarti sistem kabinet kita
adalah kabinet kepresidenan/presidensil.
Kedudukan Menteri Negara bertanggung jawab kepada presiden, tetapi
mereka bukan pegawai tinggi biasa, menteri ini menjalankan kekuasaan
pemerintah dalam prakteknya berada di bawah koordinasi presiden.
7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas
Kepala Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi ia bukan
diktator, artinya kekuasaan tidak tak terbatas. Ia harus memperhatikan
sungguh-sungguh suara DPR. Kedudukan DPR kuat karena tidak dapat
dibubarkan oleh presiden dan semua anggota DPR merangkap menjadi
anggota MPR. DPR sejajar dengan presiden.
2.1.2 Feodalisme
Feodalisme adalah struktur pendelegasian kekuasaan sosiopolitik
yang dijalankan kalangan bangsawan/monarki untuk mengendalikan
berbagai wilayah yang diklaimnya melalui kerja sama dengan pemimpinpemimpin lokal sebagai mitra. Dalam pengertian yang asli, struktur ini
disematkan oleh sejarawan pada sistem politik di Eropa pada Abad
Pertengahan, yang menempatkan kalangan kesatria dan kelas bangsawan
lainnya (vassal) sebagai penguasa kawasan atau hak tertentu (disebut fief
atau, dalam bahasa Latin, feodum) yang ditunjuk oleh monarki (biasanya
raja atau lord).
Istilah feodalisme sendiri dipakai sejak abad ke-17 dan oleh
pelakunya sendiri tidak pernah dipakai. Semenjak tahun 1960-an, para
sejarawan memperluas penggunaan istilah ini dengan memasukkan pula
aspek kehidupan sosial para pekerja lahan di lahan yang dikuasai oleh tuan
tanah, sehingga muncul istilah "masyarakat feodal". Karena penggunaan
istilah feodalisme semakin lama semakin berkonotasi negatif, oleh para
pengkritiknya istilah ini sekarang dianggap tidak membantu memperjelas
keadaan dan dianjurkan untuk tidak dipakai tanpa kualifikasi yang jelas.
2.1.3 Imperialisme
Imperialisme ialah politik untuk menguasai (dengan paksaan)
seluruh dunia untuk kepentingan diri sendiri yang dibentuk sebagai
imperiumnya. "Menguasai" disini tidak perlu berarti merebut dengan
kekuatan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan ekonomi, kultur,
agama dan ideologi, asal saja dengan paksaan. Imperium disini tidak perlu
berarti suatu gabungan dari jajahan-jajahan, tetapi dapat berupa daerahdaerah pengaruh, asal saja untuk kepentingan diri sendiri. Apakah beda
antara imperialisme dan kolonialisme ? Imperialisme ialah politik yang
dijalankan mengenai seluruh imperium. Kolonialisme ialah politik yang
dijalankan mengenai suatu koloni, sesuatu bagian dari imperium jika
imperium itu merupakan gabungan jajahan-jajahan.
2.1.4 Monarkhi
Monarki, berasal dari bahasa Yunani monos yang berarti satu, dan
archein yang berarti pemerintah. Monarki merupakan sejenis pemerintahan
yang dipimpin oleh seorang penguasa monarki. Monarki atau sistem
pemerintahan kerajaan adalah sistem tertua di dunia. Pada awal kurun ke19, terdapat lebih 900 tahta kerajaan di dunia, tetapi menurun menjadi 240
dalam abad ke-20. Sedangkan pada dekade kedelapan abad ke-20, hanya
40 takhta saja yang masih ada. Dari jumlah tersebut, hanya empat negara
mempunyai penguasamonarki yang mutlak dan selebihnya terbatas kepada
sistem konstitusi.
2.2 Keistimewaan Yogyakarta
2.2.1 Sejarah keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di
Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara
bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi
khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum
kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman,
sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan
vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan
mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis),
India
Timur/EIC
(Kerajaan
Inggris),
Hindia
Belanda
(Kerajaan
Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran
Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende
Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini
membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk
mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah
pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang
kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri
Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai
sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah Negara.
2.2.2 sejarah gubernur yogyakarta
No
Foto
Nama
Dari
Sampai
Keterangan
.
Masa jabatan
seumur
ISKS
1
hidup,
17
1.
Hamengkubuwon
Oktober198 pegawai
Agustus1945
o IX
8
negara
dengan NIP
010000001.
2.
KGPAA Paku
1
Alam VIII
Oktober 198 Oktober199 Gubernur,
8
3
8
Wakil
melaksanaka
n tugas
Gubernur
dalam
jabatan
Penjabat
Gubernur,
Masa jabatan
seumur
hidup,
pegawai
negara
dengan NIP
010064150.
ISKS
3
Masa jabatan
3.
Hamengkubuwon Oktober 199 2003
pertama.
oX
8
ISKS
Masa jabatan
4.
Hamengkubuwon 2003
2008
kedua.
oX
ISKS
5.
Hamengkubuwon 2008
oX
Perpanjangan
2011
masa jabatan
kedua.
Sultan HB IX hanya sepuluh tahun memangku kembali
sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Pada 1988, Beliau
wafat di Amerika Serikat saat berobat. Sultan Hamengku Buwono
IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia
antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Yogyakarta terlama antara
1940-1988. Pemerintah Pusat tidak mengangkat Sultan Hamengku
Buwono X (HB X) sebagai Gubernur Definitif melainkan
menunjuk Sri Paduka Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil
Kepala Daerah Istimewa, sebagai Penjabat Gubernur/Kepala
Daerah Istimewa.
Pada saat reformasi, tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum
pengunduran diri presiden terdahulu (former president) Presiden
Soeharto, Sultan HB X bersama-sama dengan Sri Paduka PA VIII
mengeluarkan sebuah maklumat yang pada pokoknya berisi
"ajakan kepada masyarakat untuk mendukung gerakan reformasi
damai, mengajak ABRI (TNI/Polri) untuk melindungi rakyat dan
gerakan reformasi, untuk menjaga persatuan dan kesatuan, dan
mengajak masyarakat untuk berdoa bagi Negara dan Bangsa".
Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat dalam acara
yang disebut Pisowanan Agung. Beberapa bulan setelahnya beliau
menderita sakit dan meninggal pada tahun yang sama. Sri Paduka
Paku Alam VIII tercatat sebagai wakil Gubernur terlama (19451998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta
Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).
2.3 RUU keistimewaan yogyakarta
2.3.1
Isi
Penyusunan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta (1945-1946)
Untuk merumuskan susunan dan kedudukan daerah Yogyakarta, BP
KNID juga menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU
Pokok Pemerintahan Yogyakarta sampai awal 1946. RUU ini tidak
kunjung selesai karena perbedaan yang tajam antara BP KNID, yang
menghendaki Yogyakarta menjadi daerah biasa seperti daerah lain, dengan
kedua penguasa monarki, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah
istimewa. Akhirnya RUU yang terdiri dari 10 Bab tersebut dapat
diselesaikan. Dan isi dari RUU tersebut berisi tentang :
1.
Kedudukan Yogyakarta
2.
Kekuasaan Pemerintahan
3.
Kedudukan kedua raja
4.
Parlemen Lokal (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten,
dan Dewan Kalurahan)
5.
Pemilihan Parlemen
6.
Keuangan
7.
Dewan Pertimbangan
8.
Perubahan
9.
Aturan Peralihan
10.
Aturan Tambahan
2.3.2
Kutipan Wawancara dengan narasumber
Viva.news, Sabtu (18/12). Gamawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri.
RUU Keistimewaan Yogyakarta. Kesimpulannya pemerintah tetap
dengan konsep Gubernur DIY dipilih, bukan ditetapkan?!
Ya, dipilih. Dari pemerintah itu sudah final. Nanti bagaimananya di DPR kita lihat
lagilah. Tapi pemerintah memilih alternatif tersebut tentu sudah siap dengan
argumen, dasar hukum, dan telah melalui pertimbangan yang sangat matang.
Apa alasan utama pemerintah?
Konstitusi, bukan pendapat pribadi Mendagri ataupun kemauan Presiden.
Konstitusi mengakui keistimewaan Yogyakarta, tapi juga harus taat kepada
konstitusi. Tidak satu kata atau kalimat pun dalam UUD 1945 yang menyatakan
bahwa keistimewaan itu harus diwujudkan dalam bentuk penetapan Sultan dan
Pakualam sebagai gubernur dan wakil gubernur. Pengangkatan gubernur harus
mengacu kepada Pasal 18 UUD 1945 itu, yaitu gubernur, bupati, dan walikota
dipilih secara demokratis. Tidak ada pengecualian ataupun penjelasan lain dalam
konstitusi. Soal Yogya pemerintah sudah tegaskan, Sultan dan Pakualam tetap
diakui sebagai pemimpin tertinggi di daerah itu, tetapi gubernur sebagai kepala
pemerintahan diangkat sesuai amanat konstitusi.
Tapi kan ada yang menafsirkan lain?
Ya, silahkan saja. Tapi landasan pemerintah jelas. Ada satu ayat lagi
dalam Pasal 28 UUD 1945, yakni semua warga negara berhak ikut serta dalam
pemerintahan. Artinya, setiap warganegara berhak menjadi pejabat pemerintah,
jadi bupati, walikota, gubernur, bahkan presiden. Kalau Presiden menetapkan
Sultan menjadi gubernur, berarti sudah menghilangkan hak warga negara yang
lain untuk menjadi gubernur di DI Yogyakarta. Menghilangkan hak warga negara
untuk ikut serta dalam pemerintahan kan melanggar konstitusi.
TEMPO Interaktif, Jakarta - Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar
merasa yakin banyak orang belum memahami substansi draft RUUK DIY. Bila
mereka telah membaca, kata Patrialis, mereka akan paham bahwa pemerintah
menempatkan keistimewaan Yogya pada posisi yang istimewa.
"Banyak orang belum mendapat info secara genuine," kata Patrialis saat ditanya
soal hasil sidang DPRD DIY di Gedung DPR, Jakarta Selasa 14 Desember 2010.
Menurut Patrialis banyak orang menyikapi rencana draft RUUK DIY hanya
melihat dari kulit lalu berkomentar. "Komentarnya juga kebanyakan provokasi.
Pemerintah justru memberi keistimewaan yang berdasarkan sistem kukuh dan
kuat," kata dia.
Lalu, apa saja keistimewaan dalam isi draft RUUK DIY? Inilah beberapa
keistimewaan yang diungkapkan Patrialis:
a. Sultan Hamengkubuwono dan Paku Alam bertahta, walaupun tidak menjadi
gubernur dan wakil gubernur, mereka akan tetap jadi orang nomor satu dan kedua
di Yogya.
b. Pemerintah Daerah yang terpilih harus meminta persetujuan apapun ke Sultan
terkait pemerintahan. Bahkan DPRD dalam menyusun anggaran pun harus
meminta persetujuan Sultan.
c. Kalau Sultan dan Paku Alam mencalonkan diri sebagai gubernur dan wakil
gubernur, maka pencalonan itu bersifat perorangan, tanpa melalui partai politik.
d. Jika Sultan dan Paku Alam mencalonkan diri, maka kerabat Keraton lainnya
tidak boleh mencalonkan diri.
e. Jika hanya satu-satunya calon, maka DPRD tidak akan lagi melakukan
pemilihan terhadap Sultan dan Paku Alam: Mereka langsung dikukuhkan menjadi
gubernur dan wakil gubernur.
f. Jika tidak terpilih jadi gubernur dan wakil gubernur, posisi Sultan dan Paku
Alam adalah gubernur utama dan wakil gubernur utama. Posisi ini berada di atas
gubernur/kepala daerah. Apapun kebijakan kepala daerah harus meminta
persetujuan pada gubernur utama (Sultan) dan wakil gubernur utama (Paku Alam)
2.3.3
Sejarah perjalanan RUU yogyakarta
Untuk merumuskan susunan dan kedudukan daerah Yogyakarta, BP KNID juga
menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU Pokok Pemerintahan
Yogyakarta sampai awal 1946. RUU ini tidak kunjung selesai karena perbedaan
yang tajam antara BP KNID, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah biasa
seperti daerah lain, dengan kedua penguasa monarki, yang menghendaki
Yogyakarta menjadi daerah istimewa.
1. Sambil menunggu UU yang mengatur susunan Daerah yang bersifat
Istimewa sebagaimana pasal 18 UUD, maka Sultan HB IX dan Sri Paduka
PA VIII dengan persetujuan BP DPR DIY (Dewan Daerah) pada 18
Mei 1946 mengeluarkan Maklumat No. 18 yang mengatur kekuasaan
legeslatif dan eksekutif . Maklumat ini adalah realisasi dari keputusan
sidang KNI Daerah Yogyakarta pada 24 April 1946. Setelah menyetujui
rencana maklumat itu, KNID membubarkan diri dan digantikan oleh
Dewan Daerah yang dibentuk berdasarkan rencana maklumat. Dalam
sidangnya yang pertama DPR DIY mengesahkan rencana maklumat No 18
yang sebelumnya telah disetujui dalam sidang KNI Daerah Yogyakarta
tersebut.
Dalam maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta digunakan
menandai bersatunya dua monarki Kesultanan dan Pakualaman dalam sebuah
Daerah Istimewa. Persatuan ditunjukkan dengan hanya ada sebuah Parlemen lokal
untuk DIY dan Ibu Kota Yogyakarta (gabungan Kabupaten Kota Kasultanan dan
Kabupaten Kota Paku Alaman) bukan dua buah (satu untuk Kesultanan dan
satunya untuk Paku Alaman). Tidak dipungkiri juga terdapat perbedaan pendapat
antara KNID dengan Monarki yang tercermin dengan adanya dua tanggal
pengumuman maklumat yaitu tanggal 13 dan 18 Mei 1946. Selain itu juga
nampak dari materi maklumat dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan,
sebanyak tiga bab tidak ditampung, yaitu Bab 1 tentang Kedudukan DIY, Bab 6
tentang Keuangan, dan Bab 7 tentang Dewan Pertimbangan.
Penyelenggaraan Pemerintahan DIY (1946-1948)
Maklumat No. 18 tersebut menetapkan bahwa kekuasaan legislatif dipegang
oleh DPRD (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan
Kalurahan) sesuai dengan tingkatan pemerintahan masing-masing. Kekuasaan
eksekutif dipangku secara bersama-sama oleh Dewan Pemerintah Daerah dan
Kepala Daerah (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, Bupati Kota Kasultanan
dan Bupati Kota, Bupati Pamong Praja Kabupaten) sesuai dengan tingkatannya.
Pemerintahan yang dianut adalah collegial bestuur atau direktorium karena badan
eksekutif tidak berada di tangan satu orang melainkan banyak orang. Alasan yang
digunakan waktu itu adalah untuk persatuan dan menampung kepentingan dari
berbagai pihak. Dewan Pemerintah ini dipilih dari dan oleh DPRD serta
bertanggung jawab kepada DPRD.
Pemda Kota Yogyakarta (1947-1950)
Wilayah DIY dan kabupaten di lingkungannya pasca
dibentuknya Haminte-Kota Yogyakarta tahun 1947
Pada 1947 Pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 17
Tahun 1947 tentang PembentukanHaminte-Kota
Yogyakarta atas usulan Dewan Kota Yogyakarta. Ini tidak mengherankan sebab
sejak 5 Januari 1946 Yogyakarta menjadi Ibukota Indonesia. Dalam UU tersebut
Kota Yogyakarta dikeluarkan dari DIY dan mempunyai hubungan langsung
dengan Pemerintah Pusat. Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari Sultan
HB IX. Sebagai penyelesaian, maka pada 22 Juli 1947 Mr. Soedarisman
Poerwokoesoemo diangkat menjadi Walikota Haminte-Kota Yogyakarta dengan
tiga SK sekaligus yaitu dari Presiden, Mendagri, dan Sultan HB IX, menggantikan
M. Enoch (Walikota Yogyakarta pertama) yang turut pergi mengungsi
mendampingi Presiden karena terjadi Agresi Militer Belanda I.
UU Pemerintahan Daerah 1948 (1948-1949)
Pada tahun 1948, Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah dengan
mengeluarkan UU No. 22/1948 tentang UU Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam
UU tersebut diatur susunan dan kedudukan Daerah Istimewa baik dalam
diktum maupun penjelasannya. Walaupun demikian, pemerintah pusat belum
sempat mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan daerah karena harus
menghadapi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 yang menghajar
Ibukota Yogyakarta. Pemerintahan DIY-pun ikut menjadi lumpuh. Sultan HB IX
dan Sri Paduka PA VIII meletakkan jabatan sebagai Kepala Daerah Istimewa
sebagai protes kepada Belanda. Pasca Serangan umum 1 Maret 1949, Yogyakarta
dijadikan Daerah Militer Istimewa dengan Gubernur Militer Sri Paduka Paku
Alam VIII. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1950.
Landasan Hukum Pembentukan DIY (1950-1951)
Setelah pengakuan kedaulatan sebagai hasil KMB, Indonesia memasuki babakan
sejarah yang baru. Negara Republik Indonesia yang beribukota di Yogyakarta
sejak 1946, hanyalah sebuah negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS)
yang berkedudukan di Jakarta sampai 17 Agustus 1950.
Pembentukan DIY (1950)
Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di
lingkungannya tahun 1950
DIY secara formal dibentuk dengan UU No. 3 Tahun
1950 (BN 1950 No. 3) yang diubah denganUU No. 19
Tahun 1950 (BN 1950 No. 48). Kedua UU tersebut diberlakukan mulai 15
Agustus1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950 (BN 1950 No. 58). UU 3/1950
tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sangatlah singkat (hanya 7
pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi). UU tersebut hanya
mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan, serta
aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah
perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi DIY. Status
keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah
diatur dalam UU 22/1948 (lihat periode II di atas). Dalam UU 3/1950 disebutkan
secara tegas Yogyakarta adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat Propinsi bukan
sebuah Propinsi. Walaupun nomenklaturnya mirip, namun saat itu mengandung
konsekuensi hukum dan politik yang amat berbeda terutama dalam hal kepala
daerah dan wakil kepala daerahnya (lihat UU 22/1948 di atas). Walau begitu DIY
bukan pula sebuah monarki konstitusional.
Pembentukan Kabupaten dan Kota (1950-1951)
Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1951
Pembagian DIY menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur
dengan UU No. 15 Tahun 1950 (BN 1950 No. 44) dan UU No. 16 Tahun 1950
(BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP No.
32 Tahun 1950 (BN 1950 No. 59). Menurut undang-undang tersebut DIY dibagi
menjadi kabupaten-kabupaten Bantul (beribukota Bantul),Sleman (beribukota
Sleman), Gunung Kidul (beribukota Wonosari), Kulon Progo (beribukota
Sentolo), Adikarto (beribukota Wates), dan Kota Besar Yogyakarta. Untuk alasan
efisiensi, pada tahun 1951, kabupaten Adikarto yang beribukota Wates digabung
dengan kabupaten Kulon Progo yang beribukota Sentolo menjadi Kabupaten
Kulon Progo dengan ibu kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini ditetapkan
oleh UU Nomor 18 Tahun 1951 (LN 1951 No. 101). Semua UU mengenai
pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk
berdasarkan UU 22/1948.
Era Otonomi Daerah Seluas-luasnya (1957-1965)
Implementasi UUDS 1950 (1957-1965)
Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur dengan
UU No 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini diterbitkan
untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 UUDS 1950. Pengaturan
Daerah Istimewa terdapat baik dalam diktum maupun penjelasannya
. Secara garis besar tidak terjadi perubahan yang mencolok tentang pengaturan
pemerintahan di Yogyakarta saat itu dengan peraturan sebelumnya (UU 22/1948)
[16]
. Pada masa pemberlakuan UU ini terjadi "Masalah Pamong Praja" yang
melibatkan benturan keras antara korps pamong praja sebagai
'metamorfosis' abdidalem kepatihan yang sejak semula menjadi tulang punggung
birokrasi DIY dengan Dewan Pemerintah Daerah yang memiliki dukungan DPRD
DIY yang sedang dikuasai oleh PKI yang menghendaki hapusnya pamong praja.
Penyatuan Wilayah (1957-1958)
Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1957
Demi kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan mosi Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6/1952 tertanggal 24 September
1952, daerah-daerah enclave Imogiri(milik Kasunanan), Kota Gede (juga milik
Kasunanan), dan Ngawen (milik Mangkunagaran) dilepaskan dari Provinsi Jawa
Tengah dan kabupaten-kabupaten yang bersangkutan kemudian dimasukkan ke
dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten-kabupaten yang
wilayahnya melingkari daerah-daerah enclave tersebut. Penyatuan enclaveenclave ini ditetapkan oleh UU Drt No. 5 Tahun 1957 (LN 1957 No. 5) yang
kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU No. 14 Tahun 1958 (LN 1958 No. 33,
TLN 1562).
Pasca Dekrit Presiden (1959-1965)
Sambil menunggu UU pemerintahan daerah yang baru setelah Dekrit Presiden 5
Juli 1959, Presiden mengeluarkan PenPres No 6 Tahun 1959 sebagai penyesuaian
UU 1/1957 terhadap UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Pengaturan Daerah
Istimewa dalam peraturan ini juga tidak banyak berbeda. Selain itu Sultan HB IX
mulai aktif kembali dalam politik Nasional, praktis kepemimpinan sehari-hari
DIY di pegang oleh Sri Paduka PA VIII.
Pengaturan DIY Pada Masa Pergolakan (1965-1974)
Tanggal 1 September 1965, sebulan sebelum terjadi G30S/PKI, Pemerintah
mengeluarkan UU No. 18 tahun 1965 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini
Yogyakarta dijadikan sebuah Provinsi (sebelumnya adalah Daerah Istimewa
Setingkat Provinsi [lihat periode III di atas]). Dalam UU ini pula seluruh
“swapraja” yang masih ada baik secara de facto maupun de jure yang menjadi
bagian dari daerah lain yang lebih besar dihapuskan. Dengan demikian
Yogyakarta menjadi satu-satunya daerah bekas swapraja yang diakui oleh Pusat.
UU ini juga mengisyaratkan penghapusan status istimewa baik
bagi Aceh maupun Yogyakarta di kemudian hari . Mulai dengan keluarnya UU
No 18/1965 dan UU pemerintahan daerah selanjutnya, keistimewaan Yogyakarta
semakin hari semakin kabur.
Pengaturan DIY Pada Masa Orde Baru (1974-1998)
Tahun 1973, Sultan HB IX diangkat menjadi Wakil Presiden Indonesia. Otomatis
beliau tidak bisa aktif dalam mengurusi DIY. Oleh karena itu pemerintahan
sehari-hari dijalankan oleh Sri Paduka PA VIII. Kebijakan tentang status
Yogyakarta diteruskan oleh Pemerintah Pusat dengan UU No. 5 Tahun 1974
tentang Pemerintah Daerah (LN 1974 No 38; TLN 3037). Di sini Provinsi D.I.
Yogyakarta diatur secara khusus di aturan peralihan. Dengan UU ini, susunan dan
tata pemerintahan DIY praktis menjadi sama dengan daerah-daerah lain di
Indonesia. Satu-satunya perbedaan adalah Kepala Daerah Istimewa dan Wakil
Kepala Daerah Istimewa, beberapa urusan Agraria dan beberapa pegawai Pemda
yang merangkap menjadi Abdi Dalem Keprajan (lihat periode I dan III di atas).
Sultan HB IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah
Istimewa setelah berhenti sebagai wakil presiden pada tahun 1978. Melihat
keistimewaan yang semakin kabur, DPRD DIY periode 1977-1982 menyatakan
pendapat dan kehendaknya bahwa sifat dan kedudukan istimewa DIY perlu
dilestarikan terus sampai masa mendatang sesuai dengan UUD 1945 dan isi serta
maksud UU 3/1950. Putusan DPRD ini tertuang dalam Keputusan DPR DIY No.
4/k/DPRD/1980.
Penyelenggaraan Pemerintahan DIY Pada Masa Peralihan (1998sekarang[2008])
Meninggalnya Sri Paduka PA VIII menimbulkan masalah bagi
Pemerintahan Provinsi DIY dalam hal kepemimpinan. Terjadi perdebatan antara
Pemerintah Pusat, DPRD Provinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro Paku
Alaman, serta masyarakat. Keadaan ini sebenarnya disebabkan oleh kekosongan
hukum yang ditimbulkan UU No. 5/1974 yang hanya mengatur jabatan Gubernur
dan Wakil Gubernur Provinsi DIY saat dijabat oleh Sultan HB IX dan Sri Paduka
PA VIII, dan tidak mengatur masalah suksesinya. Atas desakan rakyat, Sultan HB
X ditetapkan sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat
untuk masa jabatan 1998-2003.
Karena suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan bertahta
menjadi Pangeran Adipati Paku Alam tidak berjalan mulus, maka Sultan HB X
tidak didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa. Pada
tahun 1999 Sri Paduka Paku Alam IX naik tahta, namun beliau belum menjabat
sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa.
Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi I (1999-2004)
Untuk menanggulangi masalah tersebut, Pemerintah Pusat dalam UU No. 22/1999
tentang Pemerintahan Daerah (LN 1999 No 60; TLN 3839) mengatur masalah
suksesi bagi kepemimpinan di Provinsi DIY. Sedangkan masalah birokrasi dan
tata pemerintahan Provinsi DIY adalah sama dengan provinsi-provinsi lainnya .
Pada tahun 2000, MPR RI melakukan perubahan kedua UUD 1945. Pada
perubahan ini, status daerah istimewa diperjelas dalam pasal 18B. Dalam pasal ini
keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang.
Pengusulan RUU Keistimewaan (2002)
Pihak Provinsi DIY pernah mengajukan usul UU Keistimewaan Yogyakarta untuk
menjalankan aturan pasal 18B konstitusi pada 2002. Namun usul tersebut tidak
mendapat tanggapan positif bila dibandingkan dengan Prov NAD dan
Prov Papua dengan dikembalikan lagi ke daerah. Kedua provinsi tersebut telah
menerima otonomi khusus masing-masing dengan UU No 18/2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh (LN
2001 No.114; TLN 4134) dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Papua (LN 2001 No 135; TLN 4151).
Pro Kontra Suksesi Gubernur II (2003)
Ketika masa jabatan Sultan HB X berakhir di tahun 2003, kejadian di tahun 1998
terulang kembali. DPRD Prov DI Yogyakarta menginginkan pemilihan Gubernur
sesuai UU 22/1999. Namun kebanyakan masyarakat menghendaki agar Sultan HB
X dan Sri Paduka PA IX ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur.
Sekali lagi Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX diangkat menjadi Gubernur dan
Wakil Gubernur dengan masa jabatan 2003-2008.
Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi II (2004-sekarang[2008])
Tahun 2004, masalah keistimewaan kembali bergolak. Dalam UU No 32/2004
tentang Pemerintahan Daerah (LN 2004 No 125; TLN 4437), status keistimewaan
Provinsi DIY tetap diakui, namun diisyaratkan akan diatur secara khusus seperti
provinsi-provinsi: NAD, DKI Jakarta, dan Papua. Namun sebelum UU yang
mengatur status keistimewaan Provinsi DIY diterbitkan, seluruh pelaksanaan
pemerintahan mengacu pada UU tersebut. Sama seperti daerah provinsi yang lain,
kecuali Aceh dan Papua, Pemerintahan Provinsi DIY dibagi menjadi Dinas,
Badan, Kantor, Rumah Sakit, serta Sekretariat PemProv dan DPRD. Pada 2006
sekali lagi Provinsi DIY mengajukan usul namun sekali lagi pula usul itu
dikembalikan seperti usulan empat tahun sebelumnya.