PROBLEMATIKA FATWA ULAMA DALAM MURABAHAH PERBANKAN SYARIAH

PROBLEMATIKA FATWA ULAMA DALAM MURABAHAH PERBANKAN SYARIAH

Abdul Mun’im

Institut Pesantren Sunan Drajat Lamongan, Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstract: Murabahah is one of the sale and purchase contracts, so all laws relating to the sale and purchase must be carried out, including the law that the goods sold are the property of the seller when the contract occurs. The accusation said that murabahah included buying and selling gharar, where if a buyer knew of gharar, he would not propose the purchase. General provisions in murabah} ah are prohibitions on cheating in murabahah, buying and selling murabahah is very necessary in explanations, may (tafriq al-safqah) divide the contract in murabahah, there may be requirements in murabahah. The murabahah contract that is in the bank after being examined contains 4 elements of the contract: First the contract is a binding contract between the bank and the buyer. Both contracts of sale and purchase between traders (suppliers) and banks. The three murabahah contracts between banks and customers are mostly made in installments, which results in increased prices and are called credit buying and selling (Taqsit). These four contracts contain a combination of various types of contracts in one contract.

Keywords: Murabahah, Akad, Gharar, Fatwa

Pendahuluan

Berangkat dari sebuah kejadian yang terjadi pada tahun 2006 yang lalu bahwa ada sebuah BUMN mengajukan pembiayaan dalam skema murabahah (jual beli) kepada dua Bank Syariah untuk membiayai pengadaan 100 unit kendaraan. Kedua bank syariah itu sepakat menyalurkan pembiayaan untuk 50 unit kendaraan. Suatu kali, BUMN (terkenal kaya) tersebut terlambat membayar, namun, secara sepihak, salah satu bank tiba-tiba menaikkan harga jual akad murabahah. Entah ingin mendenda BUMN tersebut atau memnag sengaja ingin menaikkan harganya. Sengketa ini tak kunjung selesai karena pihak bank enggan membawa kasus ini ke Badan Arbitrase Syariah Nasional yang disingkat barnas (sebuah lembaga yang diakui oleh negara sebagai penyelasai masalah sengketa dalam muamalat syareah) Padahal, kasus sengketa mengenai ekonomi syariah baru bisa dibawa ke lembaga abitrase kalau kedua pihak menyetujui. ”Pihak bank ini memilih menyelesaikannya melalui pengadilan umum karena bisa mendapatkan untung sekitar Rp 250 juta, dari kejadian in akan timbul sebuah pertanyaan "Apakah Akad ini sudah sesuai dengan akad yang disebut di dalam kitab- kitab fiqih". "Apakah praktek akad murabahah perbankan shari‘ah sudah mematuhi Berangkat dari sebuah kejadian yang terjadi pada tahun 2006 yang lalu bahwa ada sebuah BUMN mengajukan pembiayaan dalam skema murabahah (jual beli) kepada dua Bank Syariah untuk membiayai pengadaan 100 unit kendaraan. Kedua bank syariah itu sepakat menyalurkan pembiayaan untuk 50 unit kendaraan. Suatu kali, BUMN (terkenal kaya) tersebut terlambat membayar, namun, secara sepihak, salah satu bank tiba-tiba menaikkan harga jual akad murabahah. Entah ingin mendenda BUMN tersebut atau memnag sengaja ingin menaikkan harganya. Sengketa ini tak kunjung selesai karena pihak bank enggan membawa kasus ini ke Badan Arbitrase Syariah Nasional yang disingkat barnas (sebuah lembaga yang diakui oleh negara sebagai penyelasai masalah sengketa dalam muamalat syareah) Padahal, kasus sengketa mengenai ekonomi syariah baru bisa dibawa ke lembaga abitrase kalau kedua pihak menyetujui. ”Pihak bank ini memilih menyelesaikannya melalui pengadilan umum karena bisa mendapatkan untung sekitar Rp 250 juta, dari kejadian in akan timbul sebuah pertanyaan "Apakah Akad ini sudah sesuai dengan akad yang disebut di dalam kitab- kitab fiqih". "Apakah praktek akad murabahah perbankan shari‘ah sudah mematuhi

Maka untuk mengerti tentang Denda pada akad murabahah yang ditawarkan oleh perbankan, sudahkah sesuai dengan akad yang ada pada kitab fiqih, perlu adanya kajian tentang fiqih denda, pembolehannya, maupun keputusan para ulama’ terhadap denda tersebut, sehingga kita bisa menganalisis, apakah denda pada akad murabahah bisa merusak pembolehan akad tersebut.

Pengertian Murabahah

Akad murabahah adalah salah satu dari akad. Murabahah adalah salah satu dari akad yang bermakna khusus, artinya hubungan antara dua kehendak dari perkataan, atau suatu yang bisa menempati perkataan seperti aktifitas atau isyarat atau tulisan yang dianggap oleh shara' sebagai akad yangbermakna ikatan hubungan yang dapat

merealisasikan akad. 1 Murabahah adalah salah satu bentuk akad maka harus memenui rukun dari akad yaitu sighat (ijab dan qabul), kedua orang yang berakad, dan rukun

ketiga adalah mahal akad (barang atau alat tukar). Sighat adalah apa saja yang keluar dari seseorang baik berupa perkataan, perbuatan, tulisan dari salah satu orang yang berakad yang dimaksudkan untuk menimbulkan akad sehingga ijab-qabul dapat terealisasikan. Seperti seorang pembeli berkata: "Harga barang ini seratus, dan Aku menjual barang tersebut dengan harga seratus plus keuntungan setiap sepuluh satu dirham". Pembeli menjawabnya: "Saya terima akad tersebut".

Sighat boleh tidak hanya perkataan, tetapi segala sesuatu yang dapat atau bisa menempati perkataan. Seperti, tulisan atau isyarat bagi orang yang bisu, yang penting tidak membuat tulisan atau isyarat itu meragukan terjadinya akad.

Rukun kedua adalah al-Muta‘aqidayn yaitu kedua orang yang berakad, penjual adalah orang yang mempunyai barang yang akan dijual, sedangkan pembeli adalah orang yang akan mengambil barang tersebut dengan ditukarkan dengan harga dan tambahan keuntungan, maka disyaratkan bagi kedua orang tersebut tergolong ’ahliyat al-’ada’ (kepatutan seseorang untuk dapat menerima hak dan dapat mulai menerima kewajiban), karena akad ini membutuhkan pada keahlian dan kecerdasan.

Mahal-al-‘Aqd berupa barang atau harga persyaratan keduanya harus maujud/ada dan harus dapat diserahterimakan. Akad murabahah adalah salah satu dari mu‘amalat. Mu‘amalat adalah salah satu dari aktifitas yang diperbolehkan oleh shar‘i untuk mempermudah dan meringankan manusia dalam memenuhi kebutuhan hajat manusia, dan menghilangkan kesulitan dalam memenuhi hajatnya.

Akad murabahah salah satu dari jual beli. Al-Murabahah merupakan jual beli, tetapi jual bali dengan bentuk yang tertentu, di mana seorang pembeli menjual kembali barangnya pada orang lain dengan harga pertama ditambah dengan keuntungan yang diketahui. Karena itu murabahah berbeda dengan jual beli biasa (al-musawamah) jual beli tawar menawar antara kedua orang yang berakad.

Murabahah merupakan salah satu akad jual beli maka seluruh hukum yang berkaitan dengan jual beli wajib dijalani, termasuk dari hukum tersebut bahwa barang yang dijual adalah milik dari penjual ketika terjadinya akad, karena ada nas} yang

1 al-Janadi, Muhammad Shaikhan, ‘Aqd al-Murabahah Bain al-Fiqh wa al-Ta‘amul al-Masrafy (Kairo: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyah, 1986), 21.

melarang jual beli dengan suatu yang tidak dimiliki oleh penjual atau orang yang diwakilinya.

Akad murabahah berdasarkan pencarian keuntungan. Murabahah dilaksanakan dalam rangka mencari keuntungan yang diperbolehkan secara shar‘i, termasuk cara memperoleh keuntungan dengan cara perdagangan, dalam pemikiran fiqih tidak semua keuntungan adalah haram dan tidak semua tambahan itu adalah berbau riba yang diharamkan.

Pedoman dari keuntungan yang halal, seluruh keuntungan hasil dari kerja, atau hasil dari kerja atau penyerahan harta, atau keahlian seorang untuk mencari keuntungan maka hasilnya adalah halal, bukan dalam rangka memanfaatkan kebutuhan orang lain, atau menentang nusus al-shar‘i.

Murabahah adalah pencarian keuntungan yang halal didasarkan saling menerima dan memberi di antara kedua orang yang berakad. Para ulama’ berpendapat walaupun murabahah adalah merupakan akad jual beli yang semestinya diperbolehkan, tetapi sebagian mereka ada yang melarangnya baik larangan makruh maupun sampai ke derajat haram. Jadi secara garis besar ada dua pendapat dalam mu‘amalah murabahah, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan, pendapat-pendapat tersebut secara rinci sebagai berikut:

Pendapat yang membolehkan adalah pendapat dari Abdullah Bin Mas'ud, dan Sa‘id Bin Musayyib, dan Shuraih, dan ’Ibnu Sirin, 2 dari kalangan ulama’-ulama’

madhhab adalah al-Hanafiyah, al-Shafi‘iyah, sedangkan al-Malikiyah walaupun membolehkan akan tetapi beliau mengatakan Khilaf al-Aula (melakukan perkerjaan yang tidak diutamakan atau dianjurkan).

Pendapat yang mengatakan bahwa murabahah adalah makruh dari kalangan sahabat adalah Abdullah ’Ibnu Abbas menurut riwayat dari Sufyan al-Thauri beliau berkata bahwa jual beli murabahah adalah makruh, sedangkan riwayat dari ’Ibnu Hazmin bahwa ’Ibnu Abbas mengharamkannya dan dianggap itu adalah riba, sebagaimana Abdullah Bin Umar juga mengharamkannya. Pendapat dari kalangan al- Tabi‘in adalah Masruq dan al-Hasan beliau berdua memakruhkan murabahah. Pendapat yang mengharamkan adalah pendapatnya ‘Ikrimah, Sa’id Bin Jabir, ’Ata’ Bin Yasar,. Pendapat yang mengharamkan adalah pendapat riwayat dari Ishaq Bin Rahawayh. ’Ibnu

Hazmin al-Zahiry berpendapat tidak halal jual beli dalam bentuk ini. 3 Penyatuan pendapat pada kali ini tentunya bagaimana kita mengetahui alasan

pendapat yang mengatakan haram, lalu kita memberikan solusinya, karena hampir semua ulama’ telah menyepakati kebolehannya, dengan hujjah dalil seperti yang telah disebutkan, hanya sebagian ulama’ saja yang mengatakan keharamannya, sehingga dengan mengetahui alasannya, maka kalau kita bisa menghindar dari alasan tersebut bisa jadi hukum bisa berubah, karena tidak ada alasan untuk mengharamkannya.

Kalau dilihat dari pendapat yang mengharamkan bahwa ada tiga faktor penyebab keh}araman akad tersebut, tiga faktor tersebut yaitu:

a. Akad murabahah mengandung sebuah syarat yang tidak ada pada nas al- Qur’an .

2 'Ali Bin Ahmad Bin Sa'id Bin H}azm al-Andalusy, Al-Muhala bi al-'Athar (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), 9/17.

3 Ibid., 9/625.

b. Harga pada akad murabahah dianggap majhul (tidak jelas), padahal, kejelasan pada harga adalah syarat dari sahnya jual beli, sehingga tidak bisa dikatakan jual beli itu sah kalau tidak ada kejelasan terhadap harga, juga ketidakjelasan pada harga akan mengakibatkan perselisihan di kemudian hari, dan bisa menjadikan jual beli tersebut fasad.

c. Jual beli ini mengandung hal-hal gharar, sedangkan gharar adalah suatu yang dilarang dengan nas al-hadith.

Apakah benar murabahah adalah akad yang seperti mereka katakan maka akan kita bahas perkataan mereka sebagai berikut: Perkataan mereka bahwa jual beli murabahah adalah jual beli yang mengandung sebuah persyaratan yang tidak ada nas dari Shari', yaitu bahwa perkataan itu dianggap tidak berdasar yang tepat. Sesungguhnya syarat yang tidak boleh adalah syarat yang mengandung riba, dalam jual beli satu macam jenis dengan ada tambahan laba, maka inilah yang dih}aramkan pada beberapa nas, jual beli adalah jual beli, bukan riba jika tidak satu macam pada pertukarannya, dan tidak mungkin suatu yang halal berpindah ke

haram karena alasan tambahan pada salah satu jenis barang jual beli ketika terjadi. 4 Laba dalam jual beli murabahah adalah tambahan pada harga pertama bukanlah

sebuah syarat yang diharamkan oleh nusus Shari‘ dan bukan termasuk memakan harta orang lain dengan zalim, karena di sini adalah pertukaran bukan memakan secara

sepihak. 5 Persyaratan dalam sebuah akad itu adakalanya yang diperbolehkan adakalanya

yang tidak diperbolehkan dan para ulama’ berkata bahwa persyaratan dalam jual beli itu adakalanya suatu yang lazim pada akad, seperti: penyerahan barang atau harga, adakalanya juga persyaratan demi kemaslahatan akad jual beli. Kedua persyaratan ini adalah persyaratan yang diperbolehkan, sedangkan persyaratan yang tidak diperbolehkan adalah persyaratan tambahan yang tidak ada hubungannya dengan akad jual beli, atau tidak ada kemaslahatan sama sekali, seperti tidak boleh memanfaatkan barang. Sedangkan pada murabahah persayaratannya adalah persayaratan yang diperbolehkan, dan demi kemaslahatan akad jual beli. Beberapa nas yang membolehkan jual beli dengan syarat:

6 . َﻚ َﻟ ﺎ َﻤُﮭَﻓ ُﮫَﻨَﻤَﺛَو َﻚَﻠَﻤَﺟ ْﺬُﺧ َﻚِﻠَﻤَﺠِﺑ َﺐَھْذَ ِﻷ َﻚُﺘْﺴَﻛﺎَﻣ ﺎَﻤﱠﻧِإ ﻲِﻧاَﺮُﺗ ِهِﺮِﺧآ Sedangkan tuduhan bahwa harga pada murabahah adalah tidak jelas, adalah tidak

tepat, karena harga akan jelas setelah ada perhitungan yang tepat, karena laba di dalamnya adakalanya ditentukan langsung harganya setiap satu Dinar satu Dirham, adakalanya dengan prosentasi. Semuanya adalah menunjukkan kejelasan harga pada murabahah . Ataupun kalau tuduhan itu benar maka bisa dihilangkan dengan melalui

perhitungan, sehingga bukan termasuk ketidakjelasan yang dapat merusak akad. 7 Tuduhan yang mengatakan bahwa murabahah adalah termasuk jual beli gharar,

di mana kalau seorang pembeli tahu akan gharar, maka dia tidak akan mengajukan pembelian tersebut. Juga diduga mengandung suatu yang dianggap dapat menjadikan suatu akad tersebut tidak jelas antara ada akad, atau tidak ada akad, di mana itu akan

4 Muhammad Sheikh al-Janady, Bay' al-Murabah{ah, 62. 5 Ibid., 62.

6 Abu dawud, Sunan Abi Daud, dalam Shamsu al-Haq al-'Az}im, Muhammad Abadi, 'Aun al- Ma'bud Sharhi Sunan Abi Dawud (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1990)9/379/3042.

7 Ibid., 63.

membuat hukum Islam mengharamkannya. Perkataan demikian juga tidak bisa diterima. Karena tidak ada karakteristik bay' gharar, bahkan murabahah adalah akad jual beli yang mempunyai sifat khusus, dan jika tidak ada sifat tersebut maka tidak terjadi akad murabahah . Murabahah juga mensyaratkan bersih dari perkara-perkara gharar seperti qumar dan maysir, atau yang lainnya yang diharamkan oleh fiqih.

’Ibnu Hazmin juga berpendapat kalau jual beli tersebut tidak ada persyaratan yang disebut di atas, maka jual beli tersebut juga sah 8 . Ini berarti jual beli murabahah dapat

sah, jika klaim-klaim perkara yang diharamkan dibersihkan. Jadi menurut ’Ibnu Hazmin murabahah sah jika dalam akad murabahah tidak disyaratkan laba, maksudnya tidak ada persyaratan laba yang disyaratkan di situ. Kemudian seorang penjual menjelaskan pada pembeli harga barang tersebut secara terperinci dan jelas pada waktu akad.

Seorang penjual juga menerangkan laba yang diperoleh dari harga tersebut. 9 Ketentuan-ketentuan umum dalam murabah}ah adalah larangan menipu dalam

murabahah , jual beli murabahah sangat butuh pada penjelasan-penjelasan, boleh (tafriq al-safqah ) membagi-bagi akad dalam murabahah, boleh ada persyaratan-persyaratan

dalam murabahah 10 Kaidah dalam murabahah yaitu segala sesuatu yang tidak ada nashnya untuk

murabahah kembali ke ketentuan-ketentuan hukum jual-beli, Karena hukum jual beli adalah hukum sumber dari akad murabahah, di mana seluruh akad jual beli harus tunduk pada hukum fiqih jual beli.

Imam Shafi‘i berkata: Bay' tauliyah, bay' sharikah, dan bay' murabahah adalah termasuk jual beli, jadi murabahah menjadi halal kalau sesuai dengan hukum halal pada jual beli, dan menjadi haram kalau sesuai dengan apa yang diharamkan oleh hukum jual beli. Maksudnya apa saja yang berkaitan dengan hukum akad jual beli dalam Islam seperti hakikat jual beli adalah pertukaran harta dengan harta, dan rukun jual beli adalah sighat , dua orang yang berakad, dan komoditas baik barang maupun uang. Demikian

juga segala persyaratan jual beli adalah persyaratan murabahah. 11 Seluruh pendapat menunjukkan keabsahan pada akad dan ini memang pendapat

yang diunggulkan pada setiap madhhab mereka berpedoman bahwa jual beli sudah terjadi dengan harga dan keuntungan yang sudah diketahui, dan adanya penghilangan atau pengurangan pada sebagian harga tidaklah membatalkkan akad, pendapat yang tidak diunggulkan adalah jual beli itu menjadi batal dengan alasan ternyata harga dan

keuntungannya tidak bisa diketahui maka akad menjadi batal. 12

Murabahah Dalam Praktek Perbankan

Perbedaan antara murabahah fiqih dan praktek murabahah perbankan shari‘ah: Murabahah adalah akad jual beli antara bank dan nasabah di mana bank membeli barang yang diperlukan oleh nasabah dan kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin/keuntungan yang disepakati antara bank dan nasabah.

Pembayaran dalam transaksi murabahah dapat dilakukan secara cicilan/angsuran, sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Praktek akad ini diawali dengan

8 ’Ibn Hazm, Al-Muhalla, 9/63. 9 Muhammad Shekh al-Janadi, bay' al-Murabhah, 65.

10 Ibid., 160-169. 11 Muhammad Bin Idris Bin Shafi', al-‘um, 3/93.

12 Muhammad Shaikhan al-janadi, Al-Murabahah, 85.

permintaan nasabah, nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada bank, kemudian jika bank menerima permohonan tersebut, bank harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang, bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat, kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.

Denda bagi nasabah yang dengan sengaja menunggak pembayaran (hutang pokok dan atau margin), bank diperkenankan untuk memunggut denda tunggakan sebesar 5% pertahun dihitung dari besarnya angsuran yang tertunggak. Dan pendapatan atas denda ini bank mengalokasikan untuk dana-dana sosial. Pemberian denda tersebut dapat dicantumkan dalam akad pembiayaan murabahah.

Ganti rugi hanya boleh digunakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian dari pihak lain. Besarnya ganti rugi sesuai dengan nilai kerugian yang riil yang pasti dialami, dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi, karena adanya peluang yang hilang. Ganti rugi yang diterima diakui sebagai pendapatan bank dan tidak boleh dicantumkan dalam akad.

Praktek jual beli ini memang secara sepintas tidak sesuai dengan definisi murabahah , baik menurut perbankan shari‘ah, maupun definisi fiqih, hanya sesuai pada komponennya yang berupa harga pertama dan keuntungan yang diprosentasikan dari harga pertama, sedangkan permintaan dan perjanjian tidak ada dalam definisi fiqih, akan tetapi sebagian ulama’ telah memasukan permintaan akad murabahah termasuk dalam kategori jual beli murabahah, jadi murabahah itu adakalanya murabahah tanpa permintaan terlebih dahulu, sebagaimana murabahah pada literatur fiqih, dan yang kedua adalah murabah}ah yang dilakukan karena adanya pesanan atau permintaan pembelian yang disebut al-murabahah li ’amir bi al-shira’ atau al-murabahah li wa‘id bi al-shira’ .

Murabahah yang kedua berbeda dengan yang pertama dalam prakteknya dalam beberapa hal sebagai berikut:

a. Barang pada murabahah yang ada pada literatur fiqih ada di tempat akad, dan tentunya dalam murabahah yang ada pada literatur perbankan barang tersebut tidak ada di tempat akad.

b. Akad yang terjadi pada murabahah yang ada pada literatur fiqih hanya satu kali pada tempat akad, sedangkan pada murabahah yang ada pada literatur perbankan terjadi dua fase, fase perjanjian, dan fase akad.

c. Perjanjian pada murabahah yang ada pada literatur perbankan terkadang mengikat wajib, padahal sebenarnya harga secara pasti belum diketahui, jika pihak perbankan belum memiliki dan tidak tahu beban biaya yang harus ditangung biaya perolehan, sedangkan harga pada murabahah yang ada pada literatur fiqih harga dapat diketahui di tempat akad.

d. Penjual pada murabahah yang ada pada literatur fiqih membeli sendiri barang tersebut tanpa ragu, apakah itu untuk dimanfaatkan, atau untuk diperdagangkan, dan ada waktu tenggang antara ketika penjual membelinya, dan menjualnya kembali, sedangkan pada murabahah pada perbankan, pihak perbankan tidak akan membelinya kecuali ada permintaan dari nasabah, dan ada perjanjian dari pihak nasabah untuk membeli barang tersebut, sehingga d. Penjual pada murabahah yang ada pada literatur fiqih membeli sendiri barang tersebut tanpa ragu, apakah itu untuk dimanfaatkan, atau untuk diperdagangkan, dan ada waktu tenggang antara ketika penjual membelinya, dan menjualnya kembali, sedangkan pada murabahah pada perbankan, pihak perbankan tidak akan membelinya kecuali ada permintaan dari nasabah, dan ada perjanjian dari pihak nasabah untuk membeli barang tersebut, sehingga

e. Pembayaran pada murabahah adakalanya angsuran dan tunai, sedangkan dalam murabahah yang ada pada literatur perbankan kebanyakan angsuran, artinya bank membeli barang tersebut dengan pembayaran tunai, untuk menjualnya dengan pembayaran angsuran.

f. Para ulama’ pada murabahah yang ada pada literatur fiqih berbeda pendapat antara apa yang bisa masuk pada harga pertama, dan tidak, sedangkan pada murabahah yang ada pada literatur perbankan perkaranya lebih mudah, karena seluruh beban perolehan menjadi harga pertama, sedang apa yang tidak masuk pada harga pertama dapat masuk ke dalam golongan keuntungan seperti biaya asuransi.

g. Pada murabahah yang ada pada literatur fiqih penjual dapat membebankan biaya pengobatan, perbaikan, kreasi, atau jahitan pada harga barang, sedangkan pada murabahah perbankan, perbankan tidak membebankan hal-hal apapun, perbankan hanya membeli barang, kemudian menjualnya kepada nasabah seketika itu.

h. Barang dalam murabahah fiqih terkadang bisa berkembang atau bertumbuh seperti pada ternak yang melahirkan, atau pada pohon yang tumbuh buahnya, sedangkan pada murabahah yang ada pada literatur perbankan, pihak perbankan membeli, sekaligus menjualnya pada nasabah, karena perbankan tidak ada tanggungan tentang hal tersebut.

i. Murabahah yang ada pada literatur fiqih jika dilakukan dengan tunai, maka keuntungannya adalah keuntungan kontan sesuai dengan resiko biaya usahanya dan waktunya, sedangkan keuntungan murabahah yang ada pada literatur perbankan yang muncul adalah keuntungan dikarenakan tenggang waktu. Jika perbankan menginginkan laba yang lebih dari selain itu, maka harga barang akan menjadi lebih tinggi lagi, dan jika dipraktekkan pada akad ini, maka akan lebih membebani nasabah, sedangkan nasabah tidak berasumsi pada bank kecuali hanya sebagai pembiaya saja, sedangkan peran pencari laba adalah peran nasabah nantinya.

Uraian di atas jelas-jelas menyatakan bahwa murabahah yang ada pada perbankan shari‘ah seperti yang disebut di atas adalah murabahah yang berbeda dengan yang ada pada literatur fiqih, hanya saja sama pada namanya saja. Oleh karena itu para ulama’

memberi tambahan li amir bi al-shira’, 13 atau li wa‘id bi al-shira’ atau bay‘ muwa‘adah. 14 Dalam literatur bahasa Indonesia disebut murabahah pesanan, selain

memang ada persamaan pada murabahah fiqih dalam mencari keuntungan, dan persamaan yang berkaitan dengan hukum rukun dan syarat jual beli.

Ulama’-ulama’ kontemporer terbagi menjadi dua, mereka berbeda pendapat tentang akad ini. Sebagian dari mereka ada yang membolehkan, sebagian ada yang

13 Ibrahim Fad}il al-Dabu, "al-Murabah}ah li 'amir bi al-Shira’, " makalah dalam Majalah Majma‘ al-Fiqh al-Islamy al-Tabi' Li Mu'tamar al-Islami bi Jeddah, http://www.ahlalhdeeth.com .

14 Bakar Bin Abdullah, " Murabahah li 'amir bi al-Shira' wa hadith – la tabi' ma laisa 'Indak", "makalah dalam Majalah Majma‘ al-Fiqh al-Islamy al-Tabi' Li Mu'tamar al-Islami bi Jeddah,

http://www.ahlalhdeeth.com.

mengh}aramkan, dan harus dihapus dari akad-akad yang diperbolehkan atau dijalankan pada bank-bank yang menjalankan prinsip shari‘ah. 15

Salah satu wakil dari ulama’-ulama’ yang tergolong membolehkan adalah Muhammad Shibir. Beliau berpendapat bahwa akad murabahah yang ada pada perbankan setelah diteliti mengandung 4 unsur akad: Pertama akad perjanjian yang mengikat wajib antara bank dan pembeli. Kedua akad jual beli antara pedagang (suplier) dan bank. Ketiga akad murabahah antara bank dan nasabah yang kebanyakan dilakukan dengan angsuran, di mana mengakibatkan harga bertambah dan dinamakan jual beli kredit (Taqsit}). Keempat akad ini memuat kombinasi berbagai macam akad

dalam satu akad. 16 Hukum unsur yang pertama: perikatan perjanjian wajib antara bank dan nasabah,

ulama’ berbeda pendapat dalam hal ini: al-Hanafiyah, dan al-Shafi‘iyah al-Hanabilah dan al-Malikiyah dalam satu riwayat bahwa sebuah perjanjian itu mengikat secara moral agama saja dan tidak mengikat secara hukum, hal itu dikarenakan perjanjian adalah

bagian dari tabarru', dan tabaru' tidak wajib mengikat sebagaimana hibah. 17 Pendapat yang kedua adalah pendapat dari Ibnu Shibrimah, Ishaq Bin Ra>hawaih,

al-Hasan al-Bas}ri dan salah satu dari pendapatnya al-Malikiyah bahwa perikatan perjanjian itu mengikat secara hukum. 18 Hal ini berdasar pada firman Allah:

٣( 19 ) َن ﻮ ُﻠ َﻌ ْﻔ َﺗ ﻻ ﺎ َﻣ ا ﻮ ُﻟ ﻮ ُﻘ َﺗ ْن َأ ِ ﱠﷲ َﺪ ْﻨ ِﻋ ﺎ ًﺘ ْﻘ َﻣ َﺮ ُﺒ َﻛ ( ٢ ) َنﻮُﻠَﻌْﻔَﺗ ﻻ ﺎَﻣ َنﻮُﻟﻮُﻘَﺗ َﻢِﻟ اﻮُﻨَﻣآ َﻦﯾِﺬﱠﻟا ﺎَﮭﱡﯾَأ ﺎَﯾ Dan hadith yang menerangkan tanda-tanda munafiq

Pendapat ketiga adalah pendapat sebagian al-Malikiyah yang berpendapat bahwa akad perjanjian itu mengikat wajib secara hukum, jika ada kaitannya dengan sebab, walaupun sebab tersebut adalah waktu, seperti: "Aku ingin mengawinimu", "Aku akan membeli barang itu", "Aku ingin bepergian dan pinjamilah Aku kendaraan", maka jika dijawab "Iya", wajiblah mengawini, atau membeli atau bepergian.

Pendapat keempat adalah pendapat yang paling mashhur dari al-Malikiyah, yang juga pendapatnya Ibnu Qasim bahwa perjanjian adalah mengikat wajib secara hukum, jika perjanjian itu berkaitan dengan sebab, dan perkara yang dijanjikan masuk pada perjanjian tersebut. Seorang berjanji membeli seorang budak jika dia ditolong dengan 1000 Dirham, maka jika ada yang berkata: "Aku akan menolongmu dengan 1000 Dirham ", maka wajib bagi seorang tersebut untuk membeli budak. Para ulama’ kontemporer mengunggulkan pendapat yang keempat, bahwa perjanjian itu mengikat wajib jika berhubungan dengan sebab yang masuk pada perjanjian itu. Dengan ini Majma' al-Fiqhi al-Islami memutuskan pada muktamarnya yang Kelima yang diadakan di Kuwait tanggal 10-15 Desember 1988, bahwa perjanjian itu adalah yang keluar dari orang yang memerintah atau orang yang diperintah mengikat wajib secara agama

15 Nejatullah al-Siddiqy, Issue in Islamic Banking, 139. dalam Abdullah Saeed, Menyoal Bank Shari'ah: Islamic Banking And Interest (Jakarta: Paramadina, 2006),147.

16 Muhammad ‘Uthman Shibir, Fiqh al-Mu‘amalat al-Mu'asirah,312. 17 Raud}at al-Talibin , 5/321. kashaf al-Kina', 3/323. al-Isaf al-Mardawi, 5/190, dalam Muhammad

‘Uthman Shibir, Fiqh al-Mu‘amalat al-Mu'aisrah, 310. 18 Ibnu Hazm, 8/28. Tahrir al-Kalam li al-Htab,154. Muhammad ‘Uthman Shibir, Fiqh al-

Mu‘amalat al-Mu'asirah , 310. 19 Al-Qur'an, 61(al-Saf):2-3.

20 Muhammad Bin Isma'il Bin Ibrabim al-Bukhary, S}ah}ih} al-Bukhary, 1/58/32. Muslim Bin Hajaj, Sahih Muslim, 2/46., al-Nasa’i, Sunan al-Nasa>'i, 15/220/4935., Al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi

(Makabah Shamela II), 9/221/2555 .

kecuali ada 'udhur, dan menjadi ikatan yang wajib secara hukum jika berkaitan dengan sebab, dan perkara yang dijanjikan masuk dalam beban yang dijanjikan, dan kewajiban itu adakalanya dengan cara melanjutkan perjanjian tersebut dengan melaksanakannya, atau dengan cara ganti rugi yang diakibatkan karena tidak adanya pelaksanaan

perjanjian tersebut. 21 Unsur Murabahah adalah unsur kedua adalah unsur jual beli, maka jelas

diperbolehkan sesuai dengan uraian landasan teori di atas. Unsur murabahah antara Bank dan Nasabah, adalah unsur yang ketiga yaitu murabahah yang dilakukan dengan tambahan harga yang disebabkan karena waktu, maka terjadi perbedaan antara ulama’ di sini:

Pendapat pertama: al-Hanafiyah, al-Malikiyah, al-Shafi‘iyah, al-Hanabilah bahwa boleh jual beli seperti ini termasuk dari ulama’ kontemporer yang memperbolehkan adalah Syeh Abdul Aziz Bin Baz dan Qardawi.

Pendapat yang kedua adalah pendapat dari kalangan Shi'ah seperti al-Qasimiyah, dan Imam Yahya dan termasuk pendapat dari Ibni Sirin dan Shuraih, Ibnu Hazmin al- Dahiri bahwa jual beli dengan tambahan harga karena waktu tidak boleh atau

haram. 22 Dari kalangan kontemporer Syeh Rafiq al-Mis}ri, Syeh Abd al-Rahman Abd al-Khaliq. 23 berdasar pada hadis:

25 ( َكَﺪْﻨِﻋ َﺲْﯿَﻟ ﺎَﻣ ُﻊْﯿَﺑ َﻻَو ٍﻊْﯿَﺑ ﻲِﻓ ِنﺎَط ْﺮَﺷ َﻻَو ٌﻊْﯿَﺑَو Alasan jual beli ini mengandung riba, karena adanya tambahan dalam harga yang

sebagai ganti tempo tidak tunai. Muhammad Shibir adalah pendapatnya Jumhhur Ulama’ yang membolehkan bay‘ taqsit . Sedangkan hadith yang menerangkan tentang ( ﻦﯿﺘﻌﯿﺒﻟ ) dengan riwayat (ﺎﻤﮭﺴﻛوأ) ا adalah riwayat yang da'if, karena dalam riwayatnya ada perawi Muhammad Bin Al- Qamah dan kalaupun itu dianggap sahih maka berarti hadith itu tertuju pada kenyataannya, tidak diamalkan pada dahir hadith. Karena kalau beramal dengan

dahi 26 rnya maka mengandung jual beli akad penipuan dan ketidakjelasan. Sedangkan kejadian sebagai kandungan hadith ini adalah seorang yang menghutangi pada rekannya

satu Dinar dalam dua roti dari gandum sampai satu bulan, kemudian ketika sudah waktunya tiba, maka dia meminta gandum, kemudian penghutang berkata: "Juallah satu

21 Muhammad Uthman Shibir, al-Muamalat al-Malyah al-Mu'asirah, 313. 22 Muhamad Bin Ali Bin Muhammad al-Shaukani, Nail al-Autar, 5/172.,Ibnu H}azmin, al-

Muhalla , 9/627. 23 Abd al-Rahman Abd al-Khaliq, al-Qaul al-Fasl fi bay' al-ajal, 31. makalah Rafiq al-Misri, bay'

al-Murabahah kama tajrihi al-Masarif al-Islamiyah , Majalah al-Ummah no: 16, 24. 24 Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, 9/323/3002.www.al-Islam.com., al-Hakim Muhammad Bin

Abdullah Bin Muhammad al-Hafid,al-Mustadrak li al-Sahihain, 5/397/2252., Ibnu Hibban, Sahih Ibn Hibban , 20/477/5064. www.al-sunnah.com.

25 Abi Dawud, Sunan Abi Dawud, 9/377/3041. www.al-Islam.com., al-Tirmidhi, Sunan al- Tirmidhi, 5/11/1155.www.al-Islam.com., al-Nasa'I, Sunan al-Nasa'I ,

14/180/4532, www.al- Islam.com.,al-Hakim Muhammad Bin Abdullah Bin Muhammad al-Hafid, al-Mustadrak li al-Sahihain, 5/289/2146. www.al-sunnah.com.

26 Muhamad Bin Ali Bin Muhammad al-Shaukani, Nail al-Autar Sharhi Muntaqa al-Akhbar, 5/172.

rotimu yang harus Saya bayar sampai satu bulan." Jual beli seperti ini yang kedua masuk pada jual beli awal, maka itu, jadilah dua jual beli dalam satu akad jual beli, maka keduanya harus saling mengembalikan ke yang lebih sedikit, dan jika tidak maka

tambahannya adalah riba'. 27 Pada masalah ini tidak sah berpegang pada riwayat ini. Sedangkan riwayat yang

tanpa ada tambahan akhir itu, maka itu adalah riwayat yang sahih. Artinya itu tidak berarti pengh}araman jual beli dengan harga tambah karena tenggang waktu, dan hadith itu mempunyai arti bahwa seorang yang ingin berakad menggunakan dua harga tanpa ada maksud menentukan salah satu harga, hal ini memang pada akhirnya membuat pertikaian, dan ketidakjelasan. Sedangkan jika akad terjadi dengan salah satu harga dari dua harga tersebut maka akadnya tentunya sahih tanpa ada yang menentangnya. Shaukani berpendapat bahwa alasan pelarangan dua akad jual beli dalam satu akad, karena tidak adanya ketentuan harga secara pasti dalam satu akad jual beli dengan dua

harga. 28 Hadith yang mengatakan "(ﻊﯿﺑو ﻒﻠﺳ ﻦﻋ ﻲﮭﻨﻟا) larangan jual beli dan hutang", ini

juga tidak menunjukkan pada larangan jual beli dengan tambahan harga yang disebabkan tenggang waktu, karena yang dimaksud dengan salaf di situ adalah hutang. Sehingga larangan itu dalam bentuk salah satu dari kedua orang yang berakad kepada rekan yang menghutanginya beberapa Dirham atau Dinar untuk menyempurnakan akad seperti ini tidak ada pada akad jual beli murabahah. Sedangkan pelarangan pada dua syarat, maka ulama’ berbeda pendapat dalam menafisiri hadith tersebut, dan yang paling banyak menafsirinya sesuai makna hadith (ﺔﻌﯿﺑ ﻲﻓ ﻦﯿﺘﻌﯿﺑ ﻦﻋ ﻲﮭﻨﻟا) sebagaimana itu telah

dibahas di depan. 29 Pendapat yang mengatakan bahwa "Akad ini adalah menyerupai riba, karena

adanya tambahan harga disebabkan tenggang waktu", maka pendapat ini tidak bisa diterima 30 . Karena yang dimaksud dengan tambahan dalam jual beli riba adalah suatu

hal serupa, Dinar dengan dinar beserta tenggang waktu tertentu. Sesungguhnya dalam hal ini tambahan itu ada, dan secara hakikatnya ada, sedangkan tambahan dalam barang bukan merupakan riba', karena keduanya berbeda. Artinya dinar ditukar dengan barang bukan dengan dinar lagi plus tanbahan harga. Padahal jika terjadi tambahan pada dinar atas harga waktu kekinian, maka bukanlah termasuk riba, karena itu para fuqaha>’ memutuskan bahwa "Waktu itu dalam jual beli terkadang mempunyai harga tersendiri, seperti pada akad salam, di mana jual beli ini berbeda dengan waktu yang ada pada

hutang, maka tidak boleh pada hutang ada tambahan sebagai ganti dari waktu tunda. 31 Hukum unsur yang keempat bahwa telah terjadi kombinasi akad dalam satu akad.

Para ulama’ berbeda pendapat dalam hal ini. Pertama tidak boleh. Sedangkan pendapat kedua sebaliknya.

Pendapat pertama adalah pendapat dari al-Hanafiyah, al-Shafi‘iyah, al-Malikiyah, dan satu riwayat pada al-Hanabilah tidak boleh terjadinya beberapa akad pada satu akad kecuali pada satu masalah saja menurut al-Malkiyah dan al-Shafi‘iyah, yaitu kombinasi

akad bay‘ dan ’ijar. 32

27 Muhammad Uthman Shibir, al-Muamalat al-Malyah al-Mu'asirah, 315. 28 Muhammad al-Shaukani, Nail al-Autar Sharhi Muntaqa al-Akhbar, 5/172. 29 Muhammad Uthman Shibir, al-Muamalat al-malyah al-mu'as}irah, 314. 30 Ibid, 315.

31 al-Sayaghi, al-Raud Nadir, 3/526.dalam, Muhammad al-Shibili, 316 32 Ibnu Qudamah, al-Mughni, 316.

Dalil pelarangan tersebut

( ﻊﯿﺑ ﻲﻓ ﻦﯿطﺮﺷ ﻦﻋو , ﻊﯿﺑو ﻒﻠﺳ ﻦﻋ ﻰﮭﻧ ) Tafsir kedua dari hadith ini adalah "Saya menjual barang ini dengan harga 100

dibayar selama setahun, tetapi saya membelinya 80 tunai". Dalam hal ini memang dia telah mengumpulkan dua safqah tunai dan tunda dalam satu s}afqah dan barang yang satu, jual beli seperti ini adalah jual beli dirham kontan dengan tambahan lagi jika dibayar tunda, maka hukumnya dia tidak berhak kecuali dengan harga modal, jika dia

mengambilnya, berarti dia telah mengambil riba' 35 Seluruh hadith ini mempunyai makna pelarangan kombinasi akad atau beberapa

syarat akad dalam satu akad, dan mereka mengecualikan akad jual beli dan sewa menyewa, karena tidak ada saling menafikan akad di antara keduanya, walaupun ijarah tersebut pada barang yang dijual, seperti orang yang membeli baju dengan harga tertentu dan menjahit sebagiannya sebagai ganti dari baju, maka akad ini jual beli, dan sebagiannya akad ijarah yaitu menjahit.

Pendapat yang kedua adalah pendapat dari al-Ashhab dari al-Malikiyah dan Ibnu Taymiyah dari al-Hanabilah, pembolehan kombinasi akad dalam satu akad. Alasan

pokok, karena pada dasarnya "Akad itu boleh atau tidak terlarang". 36 Paling rajih menurut al-Shibili adalah pendapat yang nomer dua yaitu

pembolehan kombinasi akad dalam satu akad dengan dasar pada kaidah bahwa pada dasarnya akad itu boleh, sedangkan hadith yang dibuat pedoman oleh ulama’ tidak menunjukkan pelarangan kombinasi akad. Larangan yang dimaksud dalam hadith- hadith tersebut jual beli pada dua harga yang berbeda, karena waktu yang berbeda tanpa kejelasan salah satu dari keduanya.

Penjelasan ini dapat menyimpulkan bahwa jual beli murabahah li amir bi al- shira’ 37 adalah boleh. Pembolehan ini harus mengikuti ketentuan-ketentuan sebagai

berikut:

a. Barang yang akan dibeli secara murabahah benar-benar dimiliki oleh bank, dan masuk pada garansi jaminan bank sebelum akad kedua bersama nasabah.

b. Harga pada akad murabahah tidak boleh bertambah tatkala adanya ketidakmampuan untuk membayar.

c. Akad murabahah tidak dilakukan sebagai penghindar dari riba', yaitu pembeli menghendaki memperoleh uang, dan mengambil barang hanya sebagai alat untuk mencapai tujuannya, seperti pada jual beli al-‘inah, (jual beli dengan gambaran seorang pedagang menjual sesuatu kepada yang lainnya dengan harga tidak tunai, dan menyerahkannya kepada pembeli, kemudian penjual membeli sebelum menerima uangnya dengan kontan lebih sedikit dari harga

33 al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, 5/7/1152., al-Nasa'I, Sunan Al-Nasa'I, 14/214/4553. 34 Muhammad shamsu al-H}aq al-'Azim Abadi, 'Aun al-Ma'bud, 7/453. 35 Ibid., 7/453. 36 Ibnu Taymiyah, Nazariyat al-Aqd, 188. 37 Muhammad Uthman Shibir, al-Mu'amalat al-Maliyat al-Mu'as}irah, 317.

yang sudah ditentukan), jual beli al-tawarruq (yaitu seseorang membeli barang dengan tidak tunai kemudian menjual barang tersebut dengan tunai kepada selain penjual dengan harga yang lebih sedikit, supaya memperoleh dengan akad ini uangya), jual beli barang dengan harga yang lebih tinggi karena tenggang waktu dan menjual barang tersebut kepada pembeli atau kepada yang lainnya dengan harga yang lebih rendah.

Sami Hasan Mahmud dalam makalahnya yang berjudul bay‘ al-murabahah li amir bi al-'ashira' mengatakan bahwa murabahah ini adalah bentuk baru murabahah, diperbolehkan secara shar‘i, karena kebutuhan masyrakat pada akad ini untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, sehingga disebut murabahah modern, di mana hal tersebut membuka peluang bagi para mujtahid kontemporer untuk berijtihad di dalamnya, Sami Mahmud mengatakan bahwa mu‘amalah ini adalah bentuk perjanjian jual beli, di mana sebuah perjanjian diperbolehkan menurut hukum Islam dengan syarat jual beli yang di h}alalkan, sehingga akad ini sudah tidak perlu diragukan lagi

perolehannya. 38 Abdullah Saeed adalah salah satu ulama’ kontemporer yang menyoalkan

keabsahaan akad murabahah yang dipraktekkan pada perbankan shari‘ah. Beliau berpendapat bahwa akad ini tidak jauh beda dengan pembiayaan yang dilakukan oleh bank-bank konvesional, bahwa dalam akad murabahah ini kontrak jual-beli membawa sesuatu hubungan debitur-kreditur antara nasabah dan bank, pembeli setuju untuk membayar harga barang plus mark up secara angsuran, jumlah dan tanggal jatuh tempo angsuran ditentukan dalam kontrak. Begitu bank dan nasabah memasuki kontrak jual beli, maka harga jual menjadi tanggungan hutang nasabah kepada bank. Jadi, hubungan antara nasabah dan bank menjadi debitur-kreditur. Pendapat ini disetujui juga oleh Muhammad Nejatullah Sidiq, bahkan dia setuju kalau akad ini dihapus dari akad-akad

yang diperbolehkan dan dijalankan pada bank-bank shari'ah. 39 Kejanggalan tentang keabsahan murabahah yang dipraktekkan pada perbankan

Shari‘ah mengacu pada komponen murabahah sendiri, di mana para ulama’ selalu berbeda pendapat ada melarang dan ada yang membolehkan. Seperti adanya nilai waktu uang dalam murabahah. Banyak fuqaha’ ternama nampaknya menolak mengakui setiap peningkatan dalam pinjaman atau harga penjualan dapat dibenarkan dengan dasar waktu, karena, waktu itu sendiri bukanlah uang, atau obyek material yang menjadi kounter nilai dalam pinjaman, karena, mempercepat pembayaran pinjaman pada waktu kreditur mengalami kekurangan dalam jumlah pinjaman adalah riba'. Pandangan ini didasarkan pada kisah Zaid Bin Thabit, Abdullah Bin Umar, para ulama’ generasi awal menyamakan pengurangan berkaitan dengan waktu pinjaman dengan riba', Zaid bin Thabit berkata perolehan dari pengurangan itu tidak boleh diberikan kepada orang

lain. 40 Peran Bank Shari‘ah dalam hal ini dapat digambarkan lebih tepat dengan istilah

pembiaya, bukan penjual. Bank tidak memegang barang, tidak pula mengambil resiko atasnya. Kerja bank hampir semuanya terkait dengan penanganan dokumen-dokumen terkait. Kontrak penjualan adalah sekedar formalitas belaka. Permintaan untuk

38 Sami Hasan Mahmud, "Bay‘ al-murabahah li amir bi al-'ashira'", dalam Majalah Majma‘ al-Fiqh al-Islamy al-Tabi' li Mu'tamar al-Islami bi Jeddah, http://www.ahlalhdeeth.com.

39 Muhammad Nejatullah Siddiq, Issues ini Islamic Banking: selected papares, (lecister: Islamic Fondation, 1983). 139. dalam Abdullah Saed, Menyoal Bank Islam, 80.

40 Abdullah Saed, Menyoal Bank Islam, 80.

pembelian oleh nasabah dilengkapi dengan satu janji untuk membeli yang disertai dengan pembayaran uang muka untuk menjamin bahwa nasabah memang serius dalam permintaan pembeliannya dan bahwa ia akan mencukupkan pembayaran ketika bank menunjukkan kesiapannya untuk menyelesaikan kontrak jual-beli, begitu bank memberitahukan kepada nasabah bahwa barang telah siap diserahkan, atau bahwa dokumen-dokumen yang berkenaan dengan barang telah tiba. Kontrak penjualan akan segera diselesaikan setelah bank diberitahu oleh bank rekanannya bahwa eksportir telah siap mengirimkan barang, atau setelah dokumen terkait tiba di bank. Bank tidak perlu menunggu tibanya barang untuk diperiksa sebelum diserahkan kepada pembeli. Justru, kondisi barang tidak terlalu dipedulikan oleh bank, karena tanggung jawab pembelilah untuk mengecek spesifikasinya, sebelum penandatanganan kontrak yang nasabah menyatakan bahwa ia tidak memproses hukumkan bank atas cacat yang ada pada barang. Jika ada cacat dalam penanganan, maka cacat ini ditangani oleh perusahaan asuransi yang biaya asuransinya telah dimasukkan ke dalam total harga barang dan oleh karenanya, ditanggung oleh pembeli, karena kurir (perusahaan pengapalan atau lainnya) dianggap sebagai wakil bank dalam kaitannya dengan barang, maka pembeli dapat menyelesaikan semua masalah pengiriman dengan kurir tersebut, tanpa berurusan dengan bank lagi, lebih dari itu, Bank Shari'ah terkadang menghilangkan segala

kemungkinan untuk harus membayar biaya tak terduga dalam transaksi murabahah. 41 Uaraian di atas menunjukkan meskipun murabahah dipermukaaan tampak sebagai

kontrak jual-beli dalam fiqih, tapi dalam prakteknya murabahah adalah suatu praktek pembiayaan berdasarkan bunga tetap. Dengan melihat beberapa aspek ini, dan dengan menggunakan kaedah ( ا َﺮ َﺤﻟا ِﮫْﯿَﻠَﻋ َﺐِﻠُﻏ ُماﺮ َﺤَﻟا َو ُل َﻼ َﺤﻟا َﻊَﻤَﺘ ْﺟِا اَذِإ ُم ) jika terkumpul aspek keharaman dan aspek keh}alalan maka dimenangkan aspek keharaman. Artinya barang yang h}alal dih}aramkan, karena menjaga agar tidak jatuh kepada hal yang diharamkan. Maka Abdullah Saeed berpendapat bahwa murabahah yang dipraktekkan perbankan shari‘ah tidak termasuk akad yang disahkan menurut shari'ah.

Uraian analisa para ulama’ di atas telah menunjukkan pada kita bahwa praktek akad murabahah yang dilaksanakan oleh perbankan shari‘ah memang diperbolehkan, akan tetapi pembolehannya harus mematuhi batas-batas yang sudah ditentukan, dan harus mengikuti ketentuan-ketentuan fiqih jual beli.

Sebagaimana akad jual beli dan mu‘amalah yang lainnya, yang di praktekkan perbankan sebisa mungkin harus menghindar dari penyamaan antara akad yang dipraktekkan di Bank Shari‘ah dan pembiayaan pada Bank Konvensional. Bahkan sebisa mungkin prakteknya nanti, misalkan dalam murabahah juga menggunakan pendapat al-fuqaha’ terdahulu dengan memberikan hak khiyar pada kedua belah pihak dan tidak mewajibkan secara hukum atas kelanjutan akad, sebagaimana pendapat fuqaha’ yang telah diuraikan di atas.

Pendapat yang tidak membolehkan yaitu al-Malikiyah, dan dari kalangan ulama’ kontemporer adalah Syeh Muhammad al-Uthaimin, Syeh Abdul Aziz Bin Baz. al- Malikiyah berpendapat itu termasuk jual beli al-‘inah yang dih}aramkan sedangkan menurut al-Uthaimin itu adalah termasuk h}ilah dari meminjam uang berbunga yang

dih}aramkan. 42

41 Abdullah Saed, Menyoal Bank Islam, 91. 42 Yusuf Bin Abdullah Shibili, Fiqh al-Muamalat al-Masrafiyah, 6/8.

Pendapat yang membolehkan adalah pendapat al-Shafi‘iyah, al-Hanafiyah, dan al-Hanabilah , jika fase perjanjian itu tidak mengikat secara hukum, tetapi jika perjanjian itu mengikat secara hukum, maka hukumnya h}aram.

Pendapat yang ketiga adalah pendapat dari Dewan Syari'ah Nasional dan pendapat hasil Mu‘tamar al-Masraf al-Islami di Dubai yaitu hukumnya boleh dan perjanjiannya mengikat secara hukum. Pendapat ini bertentangan dengan pendapat ulama’ madhhab empat. Karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat, kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.

Ini kalau dilihat dari nas ulama’ perjanjian tersebut, walaupun harus dilalui tetapi tidak mengikat wajib secara hukum, tetapi DSN menfatwakan perjanjian itu mengikat wajib, sedangkan fase kedua adalah fase murabahah sehingga hukumnya seperti hukum murabahah menurut fiqih yang di atas.

Perjanjian yang mengikat wajib itu memang difatwakan oleh Muktamar Bank Islam yang pertama, cuma pengambilan mereka tentang madhhab yang sebaiknya perlu dikritik. Pembolehan ini dengan berdasar pada madhhab Maliki dalam hal perjanjian yang mengikat wajib dan Shafi‘i dalam hal murabahah jadi terjadi talfiq yang tidak boleh menurut kedua madhhab tersebut. al-Malikiyah berpendapat bahwa perjanjian itu boleh wajib mangikat menurut moral dan hukum, sedangkan al-Shafi‘iyah, al- Hanafiyah , dan al-Hanabilah mengatakan bahwa perjanjian itu mengikat secara moral saja tidak mengikat secara hukum. Mereka, selain madhhab Maliki membolehkan praktek murabahah perbankan itu dengan syarat harus tidak mengikat wajib secara hukum, sedangkan pada madhhab Maliki jual beli murabahah yang dipraktekkan perbankan termasuk kategori bay‘ al-‘inah yang dilarang, akan tetapi menurut mereka perjanjian itu mengikat secara hukum jadi mereka mengambil pendapat jumhur pada hal murabahah , dan mengambil hal perjanjian yang mengikat wajib pada madhhab Maliki. Padahal keduanya saling melarang menurut pendapat yang membolehkannya. Di sinilah akan terjadi praktek talfiq yang dilarang karena semua madhhab sebenarnya melarangnya.

Dalam kajian fiqih klasik sebenarnya ada madhhab yang berpendapat bahwa pada dasarnya murabahah itu mengikat wajib antara penjual dan pembeli, pendapat ini memang berbeda dengan jumhur ulama’ pendapat ini adalah pendapatnya al-'Auza'i, akan tetapi karena pendapat ini tidak terkenal seperti madhhab empat ulama’-ulama’ kontemporer tidak ada yang membicarakannya.

Dokumen yang terkait

PENGETAHUAN TENTANG BAHAYA KARIES GIGI DENGAN SIKAP IBU HAMIL DALAM MENJAGA KESEHATAN GIGI DAN MULUT

0 0 5

PROPORSI PENERIMAAN ALAT KONTRASEPSI DALAM RAHIM PASCA PLASENTA: SUATU PENELITIAN SURVEI

0 0 5

HUBUNGAN PENGETAHUAN REMAJA PUTRI TENTANG VAKSINASI HPV DENGAN SIKAP DALAM PENCEGAHAN KANKER SERVIKS DI SMA NEGERI I DENPASAR TAHUN 2018

0 0 6

PERAN KOMUNITAS ONLINE ‘SUARA DISKO’ DALAM MEMBANGUN BRAND AWARENESS MUSIK TAHUN 80AN MELALUI INSTAGRAM THE ROLE OF ONLINE COMMUNITY ‘SUARA DISKO’ IN BUILD A BRAND AWARENESS THROUGH 80’S MUSIC INSTAGRAM

0 0 12

NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM KOMUNIKASI KEJHUNG MADURA DAN RELEVANSINYA BAGI PENANAMAN KARAKTER BERBASIS KEARIFAN LOKAL MADURA Sri Utami Victor Maruli T L.Tobing

0 0 8

View of SKALA LIKERT DALAM SELEKSI KARYAWAN BARU DENGAN METODE FUZZY TSUKAMOTO BERBASIS WEB (STUDI KASUS: PT TELKOM AKSES AREA SAMARINDA)

0 1 8

HUBUNGAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG MENSTRUASI DENGAN TINGKAT KECEMASAN DALAM MENGHADAPI MENARCHE PADA SISWI KELAS IV DAN V SDI DARUL HIKMAH KRIAN SIDOARJO

1 1 6

HUBUNGAN GAYA KEPEMIMPINAN DEMOKRATIS DENGAN KINERJA PERAWAT DALAM PENATALAKSANAAN STANDAR PRAKTIK PROFESSIONAL DI RUANG MAWAR MERAH KELAS II RSUD ASEMBAGUS KABUPATEN SITUBONDO

0 1 10

MANAJEMEN MEDIA RADAR SELATAN DALAM MENINGKATKAN JUMLAH PENGIKLAN

0 1 8

KONSERVASI TUMBUHAN OBAT KALIMANTAN TIMUR DALAM PERSPEKTIF KEHUTANAN DAN LINGKUNGAN HIDUP “PENGGALIAN, PEMANFAATAN DAN PEMANFAATAN BERKELANJUTAN” Suryanto1 , Ahmad Gadang Pamungkas2 , Teguh Muslim3

0 0 10