Implementasi Kebijakan Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes)

Implementasi Kebijakan Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes)
Salamatul Afiyah
ABSTRAK
Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat,
martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan
merata, baik materiil maupun spiritual. Pembangunan ketenagakerjaan mengatur terpenuhi hak-hak
dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang
bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Tenaga
kerja sebagai bagian dari pelaku proses produksi barang dan jasa , mempunyai peran yang tidak
kalah pentingnya dengan peran dengan faktor produksi lainnya (dana permodalan, alat produksi,
dan sebagainya). Untuk itu keberadaan tenaga kerja harus memperoleh pelindungan baik
perlindungan ekonomis, perlindungan sosial maupun perlindungan teknis. Di mana salah satu
bentuk perlindungan adalah Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes) yang menjadi
bagian dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Pemeliharaan dan pengembangan tenaga
kerja sangat penting,karena bila ditinjau dari Produktivitas tanpa peran tenaga kerja maka faktor
produksi lainnya tidak akan punya arti apa-apa. Pelaksanaan Kebijakan Hiperkes bagi suatu
perusahaan sangat menguntungkan, karena tujuan akhir dari Hiperkes adalah terpeliharanya
kesehatan dan pencegahan penyakit akibat kerja yang berpengaruh terhadap peningkatan
produktivitas. Meningkatnya status kesehatan yang seoptimal mungkin bagi setiap pekerja, akan
berpengaruh terhadap meningkatnya produktivitas. Tidak adanya absenteisme (atau rendahnya

angka absenteisme) dan meningkatnya status kesehatan pekerja akan meningkatkan efisiensi,
yang bermuara terhadap peningkatan keuntungan perusahaan. Implementasi Kebijakan Higiene
Perusahaan Kesehatan Kerja (Hiperkes) pada kenyataannya belum berjalan sebagaimana yang
diharapkan, masih banyak perusahaan yang belum memperhatikan faktor-faktor penyebab penyakit
dalam lingkungan kerja dan pengukuran lingkungan kerja, agar pekerja dan masyarakat sekitar
perusahaan terhindar dari bahaya akibat kerja serta dimungkinkan mengecap derajat kesehatan
setinggi-tingginya. Untuk itu dalam Implementasi Kebijakan Higiene Perusahaan Kesehatan kerja
perlu memperhatikan faktor kritis atau variabel dalam menerapkan kebijakan publik: komunikasi
(communication), sumber daya (resources), disposisi atau sikap (dispositions or attitudes) struktur
birokrasi (bureaucratic structure).

Kata kunci : perlindungan, produktivitas, penyakit kerja, faktor lingkungan, implementasi

ISU TEKNOLOGI STT MANDALA VOL.11 NO.1 JULI 2016 – ISSN 1979-4819

89

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagaimana amanat Undang-Undang

Nomor
:
13 Tahun
2003
bahwa
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai
bagian integral dari pembangunan nasional
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam
rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan
harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja
serta mewujudkan masyarakat sejahtera,
adil, makmur, dan merata, baik materiil
maupun
spiritual.

Pembangunan
ketenagakerjaan harus diatur sedemikian
rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan
perlindungan yang mendasar bagi tenaga
kerja dan pekerja/buruh serta pada saat
yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi
yang kondusif bagi pengembangan dunia
usaha.
Pembangunan
ketenagakerjaan
mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan.
Keterkaitan itu tidak hanya dengan
kepentingan tenaga kerja selama, sebelum
dan sesudah masa kerja tetapi juga
keterkaitan dengan kepentingan pengusaha,
pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu,
diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan
komprehensif,
antara
lain

mencakup
pengembangan sumber daya manusia,
peningkatan produktivitas dan daya saing
tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan
kesempatan kerja, pelayanan penempatan
tenaga kerja, dan pembinaan hubungan
industrial. Tenaga kerja sebagai bagian dari
pelaku proses produksi barang dan jasa ,
mempunyai peran yang tidak kalah
pentingnya dengan peran dengan faktor
produksi lainnya (dana permodalan, alat
produksi, dan sebagainya). Untuk itu
keberadaan tenaga kerja harus memperoleh
pelindungan baik perlindungan ekonomis,
perlindungan sosial maupun perlindungan
teknis. Di mana yang salah satunya
berkaitan dengan higiene perusahaan dan
kesehatan kerja (Hiperkes) yang menjadi
bagian dari Keselamatan dan Kesehatan
Kerja

(K3).
Pemeliharaan
dan
pengembangan tenaga kerja sangat penting,
karena bila ditinjau dari Produktivitas tanpa

peran tenaga kerja maka faktor produksi
lainnya tidak akan punya arti apa-apa.
Penyelenggaraan Hiperkes bagi suatu
perusahaan adalah sangat menguntungkan,
karena tujuan akhir dari Hiperkes ialah
terpeliharanya kesehatan dan pencegahan
penyakit akibat kerja yang berpengaruh
terhadap peningkatan produktivitas. Hal ini
dimungkinkan karena tenaga kerja yang
sehat tidak mengidap penyakit dan terhindar
dari kecelakaan akibat kerja maka berarti
tidak adanya absenteisme para pekerja.
Selain itu, dengan meningkatnya status
kesehatan yang seoptimal mungkin bagi

setiap pekerja, sudah barang tentu akan
berpengaruh
terhadap
meningkatnya
produktivitas. Tidak adanya absenteisme
(atau rendanya angka absenteisme) dan
meningkatnya status kesehatan pekerja ini
jelas akan meningkatkan efisiensi, yang
bermuara terhadap peningkatan keuntungan
perusahaan.
Higiene Perusahaan dan Kesehatan
Kerja (Hiperkes) perlu dipahami oleh seluruh
elemen masyarakat sekitar perusahaan dan
masyarakat umum yang menjadi konsumen
dari hasil-hasil produksi perusahaan, di
antaranya melalui pengenalan, evaluasi,
pengendalian dan melakukan tindakan
perbaikan yang mungkin dapat dilakukan.
Produktivitas merupakan kemampuan
seseorang untuk menggunakan seluruh

kemampuannya atau mewujudkan potensi
guna mewujudkan kreativitas. Dengan
demikian produktivitas adalah hubungan
antara hasil (output) yang diperoleh dengan
sumber daya yang digunakan (input) untuk
menghasilkannya. Peningkatan produktivitas
yang paling baik adalah dengan dilakukan
bersama-sama oleh pekerja dan pengusaha
yang didasarkan oleh rasa saling percaya,
hubungan industrial yang dijiwai oleh
semangat persaudaraan akan menciptakan
suasana kerja yang harmonis, aman, penuh
gairah dan disiplin tinggi. Kesemuanya ini
akan mendorong produktivitas kerja dan
pada
gilirannya
akan
meningkatkan
pendapatan para pekerja.
Pemerintah menetapkan Kebijakan yang

mengatur pelaksanaan Higiene Perusahaan
dan Kesehatan Kerja (Hiperkes) di
perusahaan
dalam
bentuk
peraturan
perundang-undangan.
Sehubungan
hal

ISU TEKNOLOGI STT MANDALA VOL.11 NO.1 JULI 2016 – ISSN 1979-4819

90

tersebut agar Kebijakan Hiperkes dapat
mencapai
tujuannya,
maka
harus
diimplementasikan secara optimal.

Implementasi kebijakan Hiperkes perlu
mendapat perhatian, karena implementasi
kebijakan dapat mempengaruhi tercapainya
tujuan Kebijakan Hiperkes.
Dasar Hukum Kesehatan Kerja
1. Undang-Undang No 1 Tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja pasal 3
(tiga) dan pasal 8 (delapan).
2. Peraturan Menteri Perburuhan no 7
Tahun 1964 tentang Syarat-Syarat
Kesehatan,
Kebersihan
serta
Penerangan di Tempat Kerja.
3. Permenaker No 2 Tahun 1980 tentang
Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja
dalam Penyelenggaraan Keselamatan
Kerja.
4. Permenaker No 1 Tahun 1981 tentang
Kewajiban Melapor Penyakit Akibat

Kerja.
5. Permenaker No 3 Tahun 1983 tentang
Pelayanan Kesehatan Kerja.
6. Permenaker No 1 Tahun 1998 tentang
Penyelenggaraan
Pemeliharaan
Kesehatan Bagi Tenaga Kerja dengan
Manfaat Lebih Baik dari Paket Jaminan
Pemeliharaan
Kesehatan
Dasar
Jamsostek.
7. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No
333 Tahun 1989 tentang Diagnosa dan
Pelaporan Penyakit Akibat Kerja.
8. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No
1 Tahun 1979 tentang Pengadaan
Kantin dan Ruang Makan.
9. Surat Edaran Dirjen Binawas tentang
Perusahaan Katering Yang Mengelola

Makanan Bagi Tenaga Kerja.

proses produksi barang dan jasa yaitu
pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh
agar lebih memahami , mengerti dan timbul
kesadaran akan pentingnya kebijakan
Hiperkes.

1.2. Batasan Masalah
Pentingnya Implementasi Kebijakan
Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja
(Hiperkes) sebagai bagian dari Perlindungan
Tenaga Kerja sesuai Peraturan Perundangundangan yang berlaku.

II. KERANGKA TEORI
2.1. Sejarah Higiene Perusahaan
Pada Tingkat Dunia Perkembangan
Higiene
Industri
atau
Perusahaan
diperkirakan ada sejak adanya hubungan
antara pekerjaan dengan penggajian.
Abad ke-16 mulai ada petunjuk yang
lebih jelas tentang gambaran penyakitpenyakit yang diderita oleh para tenaga kerja
tambang di mana kebanyakan penyakit yang
diderita para tenaga kerja adalah penyakit
saluran pernapasan yang penyebabnya
diduga sebagai akibat terjadinya pemajanan
terhadap debu dan batu-batuan yang
ditambang.
Abad ke-17, Berdadinne Ramzz yang
oleh beberapa penulis dianggap sebagai
Bapak Hiperkes (Higiene Perusahaan dan
Kesehatan
Kerja)
telah
memperjelas
persoalan
bahwa
pekerjaan
dapat
menimbulkan penyakit yang disebut sebagai
penyakit akibat kerja dan juga tentang caracara menegakkan diagnosa penyakit akibat
kerja.
Pertengahan abad 18, dengan terjadinya
revolusi di Inggris, di mana pada saat itu
mulai ditemukan cara-cara berproduksi baru,
yaitu ditemukan mesin-mesin baru untuk
industri tekstil.
Pada tingkat nasional, di Indonesia
perkembangan higiene industri di Indonesia
tidak diketahui secara pasti kapan tepatnya.
Perkembangan higiene industri di Indonesia
yang
sesungguhnya
baru
dirasakan
beberapa tahun setelah merdeka yaitu pada
saat munculnya undang-undang kerja dan
undang-undang kecelakaan. Pokok-pokok
tentang higiene industri dan kesehatan kerja
telah dimuat dalam undang-undang tersebut,
meskipun belum dapat dilaksanakan saat itu.

1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan
yang
berjudul
Implementasi Kebijakan Higiene Perusahaan
dan Kesehatan Kerja (Hiperkes) ini adalah
memberikan
pengetahuan
kepada
masyarakat umum khususnya para pelaku

2.2. Pengertian Hiperkes
Undang-Undang
tentang
ketentuan
pokok mengenai Tenaga Kerja, bahwa
Hiperkes yaitu lapangan kesehatan yang
ditujukan
kepada
pemeliharaanpemeliharaan dan mempertinggi derajat

ISU TEKNOLOGI STT MANDALA VOL.11 NO.1 JULI 2016 – ISSN 1979-4819

91

kesehatan tenaga kerja, dilakukan dengan
mengatur
pemberian
pengobatan,
perawatan tenaga kerja yang sakit,
mengatur persediaan tempat, cara-cara dan
syarat yang memenuhi norma-norma
hiperkes untuk mencegah penyakit baik
sebagai akibat pekerjaan, maupun penyakit
umum serta menetapkan syarat-syarat
kesehatan bagi tenaga kerja.
Soeripto (1992), bahwa Pengertian dari
Higiene
Perusahaan
sendiri
adalah
spesialisasi dalam ilmu higiene beserta
prakteknya yang dengan mengadakan
penilaian kepada faktor-faktor penyebab
penyakit kualitatif & kuantitatif dalam
lingkungan kerja dan perusahaan melalui
pengukuran yang hasilnya dipergunakan
untuk dasar tindakan korektif kepada
lingkungan tersebut serta lebih lanjut
pencegahan agar pekerja dan masyarakat
sekitar suatu perusahaan terhindar dari
akibat bahaya kerja serta dimungkinkan
mengecap derajat kesehatan yang setinggitingginya.
Sedangkan Kesehatan Kerja sendiri
mempunyai pengertian spesialisasi dalam
ilmu
kesehatan/kedokteran
beserta
prakteknya yang bertujuan agar tenaga kerja
memperoleh
derajat
kesehatan
yang
setinggi-tingginya, baik fisik atau mental
maupun sosial, dengan usaha-usaha
preventif & kuratif terhadap penyakitpenyakit/gangguan-gangguan
kesehatan
yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan
lingkungan kerja serta terhadap penyakitpenyakit umum.
Menurut Suma’mur (1976), Higiene
Perusahaan adalah spesialisasi dalam ilmu
higiene beserta prakteknya yang dengan
mengadakan penilaian kepada faktor-faktor
penyebab penyakit kualitatif dan kuantitatif
dalam lingkungan kerja dan perusahaan
melalui
pengukuran
yang
hasilnya
dipergunakan untuk dasar tindakan korektif
kepada lingkungan tersebut serta bila perlu
pencegahan, agar pekerja dan masyarakat
sekitar suatu perusahaan terhindar dari
bahaya akibat kerja serta dimungkinkan
mengecap derajat kesehatan setinggitingginya.
Kesehatan kerja adalah spesialisasi
dalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta
prakteknya
yang
bertujuan,
agar

pekerja/masyarakat memperoleh derajat
kesehatan setinggi-tingginya, baik fisik, atau
mental, maupun sosial, dengan usaha-usaha
preventif dan kuratif, terhadap penyakitpenyakit/gangguan-gangguan
kesehatan
yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan
lingkungan kerja, serta terhadap penyakitpenyakit umum. Jenis sifat-sifat kesehatan
kerja yaitu ; sasaran adalah manusia dan
bersifat medis.
Hiperkes merupakan penggabungan
dari Higiene Perusahaan dan Kesehatan
Kerja. Di mana pengertian Higiene
perusahaan adalah spesialisasi dalam ilmu
higiene beserta prakteknya yang lingkup
dedikasinya adalah : mengenali, mengukur,
dan melakukan penilaian (evaluasi) terhadap
faktor penyebab gangguan kesehatan atau
penyakit dalam lingkungan kerja dan
perusahaan. Dengan menerapkan Higiene
Perusahaan dan Kesehatan Kerja, maka
tenaga
kerja
dapat
dilindungi
dan
masyarakat sekitar suatu perusahaan
terhindar dari bahaya faktor lingkungan yang
mungkin diakibatkan oleh beroperasinya
suatu perusahaan. Sasarannya adalah
lingkungan kerja dan Bersifat teknisteknologis.
Sedangkan Kesehatan Kerja adalah
spesialisasi
dalam
ilmu
kesehatan/kedokteran beserta prakteknya
yang bertujuan agar pekerja/masyarakat
pekerja memperoleh derajat kesehatan
sebaik-baiknya (dalam hal dimungkinkan;
bila tidak, cukup derajat kesehatan yang
optimal), fisik, mental, emosional, maupun
sosial, dengan upaya promotif, preventif,
kuratif,
dan
rehabilitatif
terhadap
penyakit/gangguan
kesehatan
yang
diakibatkan
oleh
pekerjaan
dan/atau
lingkungan kerja, serta terhadap penyakit
pada umumnya. Sifat-sifat kesehatan kerja
Sasarannya adalah manusia dan Bersifat
medis/kesehatan.
Makna yang perlu kita pahami, bahwa
Penggabungan higiene perusahaan dan
kesehatan kerja (Hiperkes) dalam satu
kesatuan upaya berarti tergalangnya sinergi
dari dua disiplin ilmu medis dan ilmu teknik
dengan serasi, sehingga terbuka peluang
kedua golongan profesi dan keahlian yang
sangat berlainan itu berbaur dan bekerja
sama dan merupakan syarat mutlak untuk

ISU TEKNOLOGI STT MANDALA VOL.11 NO.1 JULI 2016 – ISSN 1979-4819

92

keberhasilan
penyelenggaraan
Higiene
Perusahaan
Dan
Kesehatan
Kerja
(Hiperkes).
Berdasarkan
pengertian-pengertian
tersebut,
maka
Hiperkes
adalah
penggabungan dua disiplin ilmu yang
berbeda yaitu medis dan teknis yang
mempunyai tujuan yang sama yaitu
menciptakan tenaga kerja yang sehat dan
produktif. Faktor yang mempengaruhi sehat
dan produktivitas yaitu
1. Beban kerja (fisik, mental, sosial)
2. Beban tambahan dari lingkungan (fisik,
kimia, biologis, fisiologis, psikologi)
3. Kapasitas kerja berupa keterampilan,
kesegaran jasmani, kesehatan tingkat
gizi, jenis kelamin, umur, ukuran tubuh.
2.3. Hakikat dan Tujuan Hiperkes
1. Hakikat Hiperkes
a. Sebagai alat untuk mencapai
derajat kesehatan tenaga kerja
yang setinggi-tingginya, baik buruh,
petani, nelayan, pegawai negeri,
atau pekerja-pekerja bebas, dengan
demikian
dimaksudkan
untuk
kesejahteraan tenaga kerja
b. Sebagai alat untuk meningkatkan
produksi,
yang
berlandaskan
kepada meningginya efisiensi dan
daya produktivitas faktor manusia
dalam produksi. Oleh karena
hakikat tersebut selalu sesuai
dengan
maksud
dan
tujuan
pembangunan di dalam suatu
negara maka Higiene Perusahaan
dan Kesehatan Kerja selalu harus
diikut
sertakan
dalam
pembangunan tersebut.
2. Tujuan Hiperkes
a. Meningkatkan derajat kesehatan
karyawan setinggi-tingginya melalui
pencegahan dan penanggulangan
penyakit dan kecelakaan akibat
kerja serta pemeliharaan dan
peningkatan kesehatan dan gizi
karyawan.
b. Meningkatkan
produktivitas
karyawan dengan memberantas
kelelahan
kerja,meningkatkan
kegairahan kerja dan memberikan
perlindungan kepada karyawan dan

masyarakat sekitarnya terhadap
bahaya-bahaya
yang
mungkin
ditimbulkan oleh perusahaan.
3. Ruang Lingkup Hiperkes
a. Kesehatan kuratif
b. Kesehatan preventif
c. Pengamanan bahaya oleh proses
produksi
d. Penyesuaian alat dan tenaga kerja
Ruang lingkup kegiatan atau
aktivitas higiene industri, mencakup
kegiatan mengantisipasi, mengenal,
mengevaluasi, dan mengendalikan.
1) Mengantisipasi
Antisipasi merupakan
kegiatan
untuk memprediksi potensi bahaya
dan risiko di tempat kerja. Tahap
awal
dalam
melakukan atau
penerapan
higiene
industri/perusahaan di tempat kerja.
Adapun tujuan dari antisipasi
adalah :
a) Mengetahui potensi bahaya
dan risiko lebih dini sebelum
muncul menjadi bahaya dan
risiko yang nyata.
b) Mempersiapkan tindakan yang
perlu sebelum suatu proses
dijalankan atau suatu area
dimasuki.
c) Meminimalisasi kemungkinan
risiko yang terjadi pada saat
suatu proses dijalankan atau
suatu area dimasuki.
2) Mengenal
Mengenal
atau
rekognisi
merupakan serangkaian kegiatan
untuk mengenali suatu bahaya lebih
detil dan lebih komprehensif dengan
menggunakan
metode
yang
sistematis sehingga dihasilkan hasil
yang
objektif
dan
bisa
dipertanggung- jawabkan. Dalam
rekognisi
ini
kita
melakukan
pengenalan dan pengukuran untuk
mendapatkan informasi tentang
konsentrasi, dosis, ukuran (partikel),
jenis, kandungan atau struktur, dan
sifat.
Adapun
tujuan
dari
pengenalan,yaitu :

ISU TEKNOLOGI STT MANDALA VOL.11 NO.1 JULI 2016 – ISSN 1979-4819

93

a) Mengetahui karakteristik suatu
bahaya secara detil (sifat,
kandungan, efek, severity, pola
pajanan, besaran).
b) Mengetahui sumber bahaya
dan area yang berisiko.
c) Mengetahui
pekerja
yang
berisiko.
3) Mengevaluasi
Pada
tahap
penilaian/evaluasi
lingkungan, dilakukan pengukuran,
pengambilan sampel dan analisis di
laboratorium.
Melalui
penilaian
lingkungan dapat ditentukan kondisi
lingkungan kerja secara kuantitatif
dan terinci, serta membandingkan
hasil pengukuran dan standar yang
berlaku, sehingga dapat ditentukan
perlu atau tidaknya teknologi
pengendalian, ada atau tidaknya
korelasi kasus kecelakaan dan
penyakit akibat kerja dengan
lingkungannya, serta sekaligus
merupakan dokumen data di tempat
kerja. Tujuan dari pengukuran
dalam evaluasi, yaitu :
a) Untuk
mengetahui
tingkat
risiko.
b) Untuk mengetahui pajanan
pada pekerja.
c) Untuk memenuhi peraturan
(legal aspek).
d) Untuk mengevaluasi program
pengendalian
yang
sudah
dilaksanakan.
e) Untuk memastikan apakah
suatu
area
aman
untuk
dimasuki pekerja.
f) Mengetahui jenis dan besaran
hazard secara lebih spesifik.
4) Pengendalian
Pengendalian
faktor-faktor
lingkungan
kerja
dimaksudkan
untuk
menciptakan
atau
memelihara lingkungan kerja agar
tetap sehat dan aman atau
memenuhi persyaratan kesehatan
dan norma keselamatan, sehingga
tenaga kerja terbebas dari ancaman
gangguan
kesehatan
dan
keamanan atau tenaga kerja tidak
menderita penyakit akibat kerja dan
tidak mendapat kecelakaan kerja.

Ada beberapa bentuk pengendalian
atau pengontrolan di tempat kerja
yang dapat dilakukan , yaitu :
a) Eliminasi : merupakan upaya
menghilangkan bahaya dari
sumbernya serta menghentikan
semua kegiatan pekerja di
daerah
yang
berpotensi
bahaya.
b) Substitusi : Modifikasi proses
untuk mengurangi penyebaran
debu
atau
asap,
dan
mengurangi
bahaya,
Pengendalian
bahaya
kesehatan
kerja
dengan
mengubah beberapa peralatan
proses
untuk
mengurangi
bahaya, mengubah kondisi fisik
bahan baku yang diterima
untuk diproses lebih lanjut agar
dapat menghilangkan potensi
bahayanya.
c) Isolasi : Menghapus sumber
paparan
bahaya
dari
lingkungan pekerja dengan
menempatkannya di tempat
lain atau menjauhkan lokasi
kerja yang berbahaya dari
pekerja
lainnya,
dan
sentralisasi kontrol kamar.
d) Engineering
control
:
Pengendalian bahaya dengan
melakukan modifikasi pada
faktor lingkungan kerja selain
pekerja.
e) Administrasi
control:
Pengendalian bahaya dengan
melakukan modifikasi pada
interaksi
pekerja
dengan
lingkungan kerja.
f) APD (Alat Pelindung Diri) :
langkah terakhir dari hierarki
pengendalian.
4. Ruang Lingkup Kesehatan Kerja
a. Penyelenggaraan
Pelayanan
Kesehatan Kerja.
1) Sarana dan Prasarana.
2) Tenaga (dokter pemeriksa
kesehatan tenaga kerja, dokter
Perusahaan dan paramedis
Perusahaan).

ISU TEKNOLOGI STT MANDALA VOL.11 NO.1 JULI 2016 – ISSN 1979-4819

94

3) Organisasi
(pimpinan
Unit
Pelayanan Kesehatan Kerja,
pengesahan penyelenggaraan
Pelayanan Kesehatan Kerja).
b. Pelaksanaan
Pemeriksaan
Kesehatan Tenaga Kerja.
1) Awal (Sebelum Tenaga Kerja
diterima
untuk
melakukan
pekerjaan).
2) Berkala (sekali dalam setahun
atau lebih).
3) Khusus
(secara
khusus
terhadap tenaga kerja tertentu
berdasarkan tingkat risiko yang
diterima).
4) Purna Bakti (dilakukan tiga
bulan
sebelum
memasuki
masa pensiun).
c. Pelaksanaan P3K (petugas, kotak
P3K dan Isi Kotak P3K).
d. Pelaksanaan Gizi Kerja.
1) Kantin (50-200 tenaga kerja
wajib
menyediakan
ruang
makan, lebih dari 200 tenaga
kerja wajib menyediakan kantin
Perusahaan).
2) Katering pengelola makanan
bagi Tenaga Kerja.
3) Pemeriksaan gizi dan makanan
bagi Tenaga Kerja.
4) Pengelola
dan
Petugas
Katering.
e. Pelaksanaan Pemeriksaan SyaratSyarat Ergonomi.
1) Prinsip Ergonomi:
a) Antropometrik dan sikap
tubuh dalam bekerja.
b) Efisiensi Kerja.
c) Organisasi
Kerja
dan
Desain Tempat Kerja
d) Faktor Manusia dalam
Ergonomi.
2) Beban Kerja :
a) Mengangkat dan
Mengangkut.
b) Kelelahan.
c) Pengendalian Lingkungan
Kerja.
f. Pelaksanaan
Pelaporan
(Pelayanan
Kesehatan
Kerja,
Pemeriksaan Kesehatan Tenaga
Kerja dan Penyakit Akibat Kerja)

III. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
3.1. Implementasi kebijakan Publik
Implementasi kebijakan publik adalah
suatu tindakan yang mengarahkan kebijakan
publik pada suatu akibat, yang sifatnya
menyelesaikan
atau
melengkapi
dan
menyediakan sarana untuk melaksanakan
sesuatu, sehingga dapat memberikan hasil
yang baik dan praktis serta menyediakan
atau melengkapi dalam pelaksanaannya.
Kebijakan
publik
yang
diimplementasikan
dapat
berbentuk
peraturan
perundang-undangan
yang
dirumuskan
oleh
pemerintah
pusat,
keputusan dan peraturan yang dirumuskan
oleh
pemerintah
provinsi
maupun
pemerintah
kabupaten/kota.
Hal
ini
sebagaimana pendapat Mazmanian dan
Paul A Sabatie (dalam Abdul Wahab,
Analisis Kebijakan, 2004:68), bahwa:
”Implementasi adalah pelaksanaan
keputusan kebijakan dasar, yang
biasanya dalam bentuk undang-undang,
namun dapat pula berbentuk perintahperintah atau keputusan-keputusan
eksekutif legislatif yang penting atau
keputusan badan peradilan”.
Implementasi kebijakan merupakan
tahapan yang sangat penting dalam
keseluruhan proses kebijakan, hal ini
dikarenakan
implementasi
dapat
mempengaruhi apakah suatu kebijakan
menyentuh kepentingan publik dan apakah
kebijakan itu dapat diterima oleh publik.
Begitu pentingnya kebijakan publik, maka
kebijakan publik perlu dipahami secara
mendalam. Sebagaimana pendapat Djadja
Saefullah dalam buku Tachjan (2006:ix),
bahwa ”studi kebijakan publik tersebut dapat
dipahami dari dua perspektif, yakni:
Pertama,
perspektif
politik,
kebijakan
publik
di
dalamnya
perumusan, implementasi, maupun
evaluasinya
pada
hakikatnya
merupakan
pertarungan
berbagai
kepentingan
berbagai
kepentingan
publik di dalam mengalokasikan dan
mengelola sumber daya (resoureces)
sesuai dengan visi, harapan dan
prioritas yang ingin diwujudkan.
Kedua, perspektif administratif,
bahwa kebijakan publik merupakan

ISU TEKNOLOGI STT MANDALA VOL.11 NO.1 JULI 2016 – ISSN 1979-4819

95

ihwal keterkaitan dengan sistem,
prosedur, dan mekanisme, serta
kemampuan para pejabat publik (official
officer) di dalam menerjemahkan dan
menerapkan kebijakan publik, sehingga
visi dan harapan yang diinginkan
dicapai dapat diwujudkan didalam
realitas. Memahami kebijakan publik
dari kedua perspektif tersebut secara
seimbang
dan menyeluruh akan
membantu kita lebih mengerti dan
maklum mengapa suatu kebijakan
publik tersebut meski telah dirumuskan
dengan
baik
namun
dalam
implementasinya sulit terwujudkan”.
Pada bagian lain Tachjan (2006:63)
menjelaskan,
bahwa
”Implementasi
kebijakan publik, di samping dapat dipahami
sebagai salah satu aktivitas dari administrasi
publik sebagai institusi (birokrasi) dalam
proses kebijakan publik, dapat dipahami pula
sebagai salah satu lapangan studi
administrasi publik sebagai ilmu”.
Dari pandangan tersebut mengarahkan,
bahwa implementasi kebijakan publik
memerlukan pemahaman yang seimbang
dari perspektif politik dan perspektif
administratif. Hal ini mengingat proses
kebijakan
publik
semenjak
tahapan
perumusan, implementasi, sampai evaluasi
bersinggungan dengan tataran politik
maupun tataran administratif. Menyangkut
sistem, prosedur, dan mekanisme, serta
kemampuan para pejabat publik (official
officer) dalam mewujudkan visi, harapan dan
prioritas yang ingin diwujudkan.
Definisi implementasi lebih detail dapat
kita lihat pendapat Edwards III (1980: 1),
“ policy implementation is the
stage of policy making between the
establishment of a policy …and the
concequences of the policy for the
people whom it affects (implementasi
kebijakan adalah tahapan antara
pembuatan
kebijakan
dengan
penegakan kebijakan….dan sebagai
konsekuensinya bahwa suatu kebijakan
itu dapat mempengaruhi masyarakat) “.
Implementasi kebijakan merupakan
tahapan kegiatan yang rumit dan kompleks
karena dipengaruhi oleh banyak faktor. Budi
Winarno (2002 :125-126 ) menjelaskan:

“bahwa
studi
implementasi
kebijakan adalah krusial bagi public
administration dan publik policy. Dalam
pengkajian implementasi kebijakan,
Edwards mulai dengan mengajukan dua
buah pertanyaan, yakni: Prakondisiprakondisi
apa
yang
diperlukan
sehingga suatu implementasi kebijakan
itu berhasil? Dan hambatan-hambatan
utama apa yang mengakibatkan suatu
implementasi gagal? Edward berusaha
menjawab dua buah pertanyaan penting
ini dengan membicarakan empat faktor
atau
variabel
tersebut
adalah
komunikasi,
sumber-sumber,
kecenderungan–kecenderungan
atau
tingkah laku dan struktur birokrasi ”.
Lebih
lanjut
Winarno
(2002:126)
menjelaskan :
“bahwa Edwards III membahas tiga
hal penting dalam proses komunikasi
yakni
transmisi,
konsistensi
dan
kejelasan (clarity) . Sumber-sumber
meliputi staf ,informasi, wewenang dan
informasi.
Kecenderungan

kecenderungan meliputi : Sikap dan
tingkah laku atau perspektif para
pelaksana
dan
dampak
yang
ditimbulkan. Struktur Birokrasi meliputi :
struktur Organisasi dan Fragmentasi”.
3.2. Model-Model Implementasi Kebijakan
Dalam tahap implementasi kebijakan
terdapat beberapa model implementasi yang
diperkenalkan oleh para ahli politik dan
kebijakan publik, di antaranya :
Edwards
III
(1980:9)
mengemukakan: ” In our approach to
the study of policy implementation, we
begin in the abstract and ask : What are
the precondition for successful policy
implementation? What are primary
obstacles
to
successful
policy
implementation?”. Yang dapat diartikan,
bahwa dalam pendekatan kami untuk
mempelajari implementasi kebijakan,
kita mulai dalam abstrak dan bertanya:
Apa prasyarat untuk pelaksanaan
kebijakan yang berhasil? Apa hambatan
utama untuk pelaksanaan kebijakan
sukses?.

ISU TEKNOLOGI STT MANDALA VOL.11 NO.1 JULI 2016 – ISSN 1979-4819

96

Untuk menjawab pertan
anyaan tersebut
telah
menawarkan
va
variabel-variabel
sebagaimana
dijelaskan
Edwards
III
(1980:10) :”…"...four critica
tical factors or
variabels in implementing
g public policy:
communication, resources,
s, d
dispositions or
attitudes and bureaucraticc st
structure".Yang
dapat diartikan, bahwa ada
da empat faktor
kritis atau variabels dalam
am menerapkan
kebijakan publik: komunikasi,
si, sumber daya,
disposisi atau sikap dan strukt
ktur birokrasi.
Model implementasi kebi
bijakan tersebut,
bila dikaitkan dengan inte
nteraksi elemen
sistem kebijakan : (1) Sistem p
politik (institusi,
proses dan perilaku); (2)
2) Kondisi dan
kekuatan, (3) Kebijakan itu
u se
sendiri , maka
teori Edwards III dipandang
ng lebih cocok
untuk berinteraksi dengan in
institusi, proses
dan perilaku, yaitu : institusi
usi digambarkan
dengan
struktur
birokr
krasi,
proses
menggambarkan komunikasi
si dan sumber
daya serta perilaku menggam
gambarkan sikap
pelaksana atau disposisi.
3.3. Faktor- faktor Implementasi
si Kebijakan
Sebagaimana penegasa
san Edwards III
(1980:10), bahwa :"...four crit
critical factors or
variabels in implementing
g public policy:
s, d
dispositions or
communication, resources,
structure" (ada
attitudes and bureaucraticc st
empat faktor kritis atau vvariabel dalam
blik: komunikasi,
menerapkan kebijakan publik
atau sikap dan
sumber daya, disposisi ata
odel Edwards III
struktur birokrasi), maka mod
ikut :
dapat diuraikan sebagai beriku

ntasi kebijakan
Gambar 1 Model implementa
Edwards IIII
3.3.1 Komunikasi
sehari-hari baik
Dalam kehidupan se
un organisasi,
secara individu maupun
eranan penting.
komunikasi memegang per

Tidak
adanya
a
komunikasi
akan
mengakibatkan pa
para pelaku kegiatan sulit
mengetahui
bag
agaimana
menjalankan
kegiatannya.,
ka
karena
tidak
adanya
penyampaian infor
formasi dari satu pihak ke
pihak lain. De
emikian pula apabila
implementasi kebija
bijakan ingin efektif, maka
mereka yang ber
ertanggung jawab harus
mengomunikasikan
an kepada para pelaksana
dengan tepat. K
Komunikasi yang tidak
lancar antara pem
embuat kebijakan dengan
implementator,
d
dapat
mengakibatkan
terjadinya distorsi
rsi yang menimbulkan
rintangan implemen
entasi kebijakan .
Winarno (200
002 : 126) menjelaskan :
“bahwa secara umu
mum Edwards membahas
tiga hal penting da
dalam proses komunikasi
yakni transmisi, ko
konsistensi dan kejelasan
(clarity)”.
Edwardss III (1980 : 10-12)
menjelaskan : Communication : for
implementation
tion to be effective, those
whose responsi
onsibility it is to implement
to decision mu
must know what they are
supposed to
o d
do. Orders to implement
policies must
st be transmitted to the
appropriate pe
personel, and they must
be
clear,
r,
accurate,
and
consistent,…”.D
”.Dapat diartikan, bahwa
Komunikasi:
untuk
implementasi
menjadi
efe
efektif,
mereka
yang
bertanggung jjawab itu adalah untuk
menerapkan keputusan harus tahu
apa yang seha
harusnya mereka lakukan.
Perintah
u
untuk
melaksanakan
kebijakan haru
arus dikirimkan ke pribadi
yang tepat, da
dan mereka harus akurat,
jelas, dan konsi
nsisten, ...".
Teori
terse
sebut
menggambarkan,
komunikasi dalam
m implementasi kebijakan
publik adalah ko
komunikasi yang terjalin
antara formulator
or dengan implementator
kebijakan maupu
pun komunikasi antara
implementator kebi
bijakan dengan sasaran.
Lebih lanjutt Edwards III (1980:37)
menegaskan , bahw
hwa :
“Tiga hall yyang harus diperhatikan
pada komunik
nikasi kebijakan, yaitu :
proses transm
smisi (transmission), yaitu
proses penyam
ampaian pesan , di mana
dirancang
d
dengan
baik,pemilihan
saluran dan me
media disesuaikan dengan

ISU TEKNOLOGI STT MANDALA VOL.11 NO.1 JULI 2016 – ISSN 1979-4819

97

kelompok sasaran, memperhatikan
kemampuan
komunikasi,
memperhitungkan
kemungkinan
adanya gangguan (noice)
serta
dirancang adanya umpan balik.
Kejelasan (clarity), berkaitan dengan
tingkat
pemahaman
pelaksana
kebijakan
mengenai
substansi
kebijakan, sehingga mempengaruhi
tingkat
kejelasan
pesan
yang
disampaikan.
Konsistensi
(consistency), di mana tidak terjadi
kontradiksi
dari
pesan
yang
disampaikan,
serta
penyampaian
kebijakan yang terus menerus sampai
tujuan implementasi dapat dicapai”.
3.3.2 Sumber Daya
Sumber Daya merupakan faktor
kedua yang mempengaruhi implementasi
kebijakan. Tersedianya sumber daya yang
memadai baik secara kuantitas maupun
kualitas akan mendukung implementasi
kebijakan yang efektif. Sumber-sumber di
sini meliputi staf yang memadai, keahlian/
kemampuan untuk melaksanakan tugas,
kewenangan untuk melaksanakan tugas dan
fasilitas yang diperlukan untuk implementasi
kebijakan. Sebagaimana disebutkan lanjut
Budi Winarno (2002:26) menjelaskan:
“...Sumber-sumber meliputi staf , informasi,
wewenang dan informasi...”.
Edwards
III
(1980
:
10-12)
menjelaskan : Resources : …if the
personnel responsible for carrying out
policies lack the resources to do an effective
job, implementation will not be effective,
important resources include staff of the
proper size and with the necessary expertise
…”
Faktor sumber daya, Faktor sumber
daya mempunyai peranan penting dalam
implementasi
kebijakan,
karena
bagaimanapun jelas dan konsistennya
ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan
suatu kebijakan, jika para personil yang
bertanggung jawab mengimplementasikan
kebijakan kurang mempunyai sumbersumber untuk melakukan pekerjaan secara
efektif, maka implementasi kebijakan
tersebut tidak akan bisa efektif.

Hal tersebut dipertegas oleh Edwards
III (1980:11), bahwa :
”Faktor sumber daya ini juga
mempunyai peranan penting dalam
implementasi
kebijakan.
Karena
bagaimanapun jelas dan konsistennya
ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan
serta bagaimanapun akuratnya dalam
menyampaikan
ketentuan-ketentuan
atau aturan-aturan tersebut, jika para
pelaksana kebijakan yang bertanggung
jawab untuk melaksanakan kebijakan,
kurang mempunyai sumber-sumber
untuk melakukan pekerjaan secara
efektif, maka implementasi kebijakan
tersebut juga tidak akan bisa efektif”.
Lebih lanjut Edward III (1980:52)
menguraikan, bahwa:
”Hal ini dimaksudkan agar para
pelaksana tidak membuat kesalahan
dalam menginterpretasikan tentang
bagaimana melaksanakan kebijakan
tersebut. Informasi yang demikian ini
juga penting untuk menyadarkan orangorang yang terlibat di kewajibannya.
Kewenangan untuk menjamin atau
meyakinkan bahwa kebijakan yang
akan dilaksanakan adalah sesuai
dengan yang mereka kehendaki, dan
fasilitas merupakan sarana yang
digunakan
untung
mengoperasionalisasikan implementasi
suatu kebijakan yang meliputi antara
lain gedung, tanah, sarana dan supple
yang kesemuanya akan memberikan
pelayanan
dalam
implementasi
kebijakan. Kurang cukupnya sumbersumber ini berarti ketentuan atau
aturan-aturan (laws) tidak akan menjadi
kuat, pelayanan tidak akan diberikan,
dan
pengaturan-pengaturan
(regulations) yang beralasan tidak akan
dikembangkan.
3.3.3 Sikap Pelaksana
Suatu
kebijakan
akan
dapat
diimplementasikan secara efektif, apabila
didukung oleh sikap pelaksana yang baik
terhadap apa yang diinginkan oleh
pembuat kebijakan. Namun apabila sikap
pelaksana tidak mendukung ataupun

ISU TEKNOLOGI STT MANDALA VOL.11 NO.1 JULI 2016 – ISSN 1979-4819

98

berbeda dengan pembuat kebijakan, maka
implementasi kebijakan tidak efektif.
Winarno (2002: 26) menjelaskan :
“Kecenderungan-kecenderungan meliputi :
Sikap dan tingkah laku atau perspektif para
pelaksana ...”.
Edwards III (1980 : 10-12) menjelaskan
:Disposition : the disposition or attitudes of
implementor is the third critical factor in our
approach to the study of public policy
implementation. If implementation is to
proceed
effectively
not
only
must
implementers know what to do and have the
capability to do it”.
Disposisi ini diartikan sebagai sikap
para
pelaksana
untuk
mengimplementasikan kebijakan. Dalam
implementasi kebijakan, jika ingin berhasil
secara
efektif
dan
efisien,
para
implementor tidak hanya harus mengetahui
apa yang harus mereka lakukan dan
mempunyai
kemampuan
untuk
implementasi kebijakan tersebut, tetapi
mereka juga harus mempunyai kemauan
untuk mengimplementasikan kebijakan
tersebut.
3.3.4. Struktur Birokrasi
Faktor lain yang mempengaruhi
implementasi kebijakan adalah struktur
birokrasi. Birokrasi merupakan salah satu
badan yang menjadi pelaksana suatu
kebijakan. Yahya Muhaimin (Isman HP,
2001:33) mendefinisikan bahwa birokrasi
adalah “keseluruhan aparat pemerintah,
sipil maupun militer yang melakukan tugas
membantu pemerintah dan menerima gaji
dari pemerintah karena statusnya itu”.
Teori birokrasi dari Max Weber
dipercaya oleh sebagian ahli politik
pemerintahan sebagai salah satu teori
birokrasi di hampir setiap negara pada saat
ini. Gagasan-gagasan Weber tentang
birokrasi rasional dianut oleh hampir
sebagian besar pemerintahan, baik yang
demokratis maupun otoriter.
IV. PEMBAHASAN
4.1. Implementasi Kebijakan Hiperkes-KK
Implementasi kebijakan publik Hiperkes
adalah suatu tindakan yang mengarahkan
kebijakan kepada masyarakat di mana
dalam
hal
ini
pengusaha,
agar

melaksanakan
perintah
memberikan
perlindungan tenaga kerja khususnya
Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja.
Termasuk di dalamnya menjelaskan akibat
yang
ditimbulkan
apabila
tidak
melaksanakan, yang sifatnya menyelesaikan
atau melengkapi dan menyediakan sarana
perlindungan tenaga kerja di bidang
Hiperkes. Hal ini diharapkan dapat
memberikan hasil yang baik dengan
dipatuhinya kebijakan Hiperkes oleh para
pengusaha.
Implementasi yang dimaksud adalah
pelaksanaan
Peraturan
Perundangundangan yang menjadi dasar pelaksanaan
Hiperkes,
Kebijakan
Hiperkes
yang
diimplementasikan adalah yang menjadi
dasar antara lain : Undang-Undang No 1
Tahun 1970; Peraturan Menteri Perburuhan
no 7 Tahun 1964; Permenaker No 2 Tahun
1980; Permenaker No 1 Tahun 1981;
Permenaker No 3 Tahun 1983; Permenaker
No 1 Tahun 1998 ; Keputusan Menteri
Tenaga Kerja No 333 Tahun 1989 tentang
Diagnosa dan Pelaporan Penyakit Akibat
Kerja; Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja
No 1 Tahun 1979 tentang Pengadaan
Kantin dan Ruang Makan;Surat Edaran
Dirjen
Binawas
tentang
Perusahaan
Katering Yang Mengelola Makanan Bagi
Tenaga Kerja.
Implementasi
kebijakan
Hiperkes
merupakan tahapan yang sangat penting
dalam keseluruhan proses kebijakan, hal ini
dikarenakan
implementasi
dapat
mempengaruhi apakah suatu kebijakan
hiperkes menyentuh perlindungan tenaga
kerja dan apakah kebijakan itu dapat
diterima oleh para pengusaha. Begitu
pentingnya kebijakan Hiperkes, maka
kebijakan Hiperkes perlu dipahami secara
mendalam baik secara Normatif maupun
teknis.
Memahami Kebijakan Hiperkes, dapat
dipahami dari dua perspektif, yakni:
1. Perspektif politik, dalam perumusan ,
implementasi
maupun
evaluasi
kebijakan Hiperkes pada hakikatnya
merupakan hasil pembahasan para
pelaku proses produksi barang dan jasa
tingkat
pusat.
Perwakilan
unsur
Pemerintah, unsur pengusaha dan
unsur pekerja/buruh dengan berbagai

ISU TEKNOLOGI STT MANDALA VOL.11 NO.1 JULI 2016 – ISSN 1979-4819

99

2.

kepentingan
masing-masing
unsur
sesuai dengan visi, harapan dan
prioritas
yang
ingin
diwujudkan
perlindungan tenaga kerja.
Perspektif
administratif,
bahwa
kebijakan publik Hiperkes merupakan
ihwal keterkaitan dengan sistem,
prosedur,
dan mekanisme,
serta
kemampuan para pejabat Instansi yang
bertanggung
jawab
di
bidang
ketenagakerjaan
tingkat
Kabupaten/Kota di dalam memahami
dan menerapkan kebijakan Hiperkes,
sehingga visi dan harapan Perlindungan
tenaga
kerja
khususnya
Higiene
Perusahaan dan Kesehatan Kerja yang
dapat diwujudkan di dalam realitas.
Memahami kebijakan Hiperkes dari
kedua perspektif tersebut secara
seimbang
dan
menyeluruh
akan
membantu kita lebih mengerti dan
maklum mengapa suatu kebijakan
ketenagakerjaan bidang Hiperkes meski
telah dirumuskan dengan baik namun
dalam
implementasinya
sulit
terwujudkan.

Aktivitas
Implementasi
kebijakan
Hiperkes
merupakan
tahapan
antara
pembuatan kebijakan Hiperkes dengan
penegakan penegakan hukum sebagai
konsekuensinya pelanggaran kebijakan
tersebut. Sehubungan hal tersebut, dapat
dipahami bahwa Implementasi kebijakan
Hiperkes menjadi tahapan kegiatan yang
rumit dan kompleks, karena dipengaruhi oleh
banyak
faktor.
Dalam
pemahaman
implementasi kebijakan Hiperkes, perlu
diawali
dengan
upaya
pemahaman
Prakondisi-prakondisi apa yang diperlukan
agar implementasi kebijakan Hiperkes
berhasil. Selain hal tersebut juga harus
dipahami adanya apa saja hambatanhambatan
yang
mengakibatkan
implementasi kebijakan Hiperkes gagal.
Sebagaimana pendapat Edward untuk
menjawab dua buah pertanyaan penting
tersebut, maka harus membahas dan
mempersiapkan empat faktor atau variabel ,
yaitu
:
komunikasi,
sumber-sumber,
kecenderungan–kecenderungan
atau
tingkah laku dan struktur birokrasi ”.

Dalam tahap implementasi kebijakan
Hiperkes, dapat menggunakan model yang
sesuai
dengan
memperhatikan
mempersiapkan prasyarat pelaksanaan dan
mengantisipasi
adanya
hambatan
pelaksanaan kebijakan. Model implementasi
kebijakan tersebut, bila dikaitkan dengan
interaksi elemen sistem kebijakan :
a. Sistem politik (institusi, proses dan
perilaku);
b. Kondisi dan kekuatan,
c. Kebijakan itu sendiri,
Implementasi
Kebijakan
Hiperkes
dipandang lebih cocok untuk berinteraksi
dengan institusi, proses dan perilaku, yaitu :
institusi digambarkan dengan struktur
birokrasi,
proses
menggambarkan
komunikasi dan sumber daya serta
perilaku
menggambarkan
sikap
pelaksana atau disposisi.
4.2. Komunikasi
Komunikasi
dalam
Implementasi
Kebijakan Hiperkes memegang peranan
penting, sebab tidak adanya komunikasi
akan mengakibatkan para petugas sulit
mengetahui
bagaimana
menjalankan
tugasnya.,
karena
tidak
adanya
penyampaian informasi dari satu pihak ke
pihak
lain.
Demikian
pula
apabila
implementasi kebijakan hiperkes ingin
efektif, maka mereka yang bertanggung
jawab harus mengomunikasikan kepada
para pelaksana dengan tepat. Komunikasi
yang tidak lancar antara pembuat kebijakan
dalam hal Kemenaker RI dengan Disnaker
Kabupaten/Kota sebagai implementator,
dapat mengakibatkan terjadinya distorsi
yang menimbulkan rintangan implementasi
kebijakan.
Komunikasi:
untuk
implementasi
kebijakan Hiperkes menjadi efektif, maka
instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan harus memahami apa yang
seharusnya mereka lakukan. Perintah untuk
melaksanakan kebijakan Hiperkes harus
diberikan ke pelaksana yang tepat sesuai
tugasnya, dan mereka harus akurat , jelas,
dan
konsisten
dalam
melaksanakan
tugasnya.
Teori
tersebut
menggambarkan,
komunikasi dalam implementasi kebijakan

ISU TEKNOLOGI STT MANDALA VOL.11 NO.1 JULI 2016 – ISSN 1979-4819

100

publik Hiperkes adalah komunikasi yang
terjalin antara Jajaran Kemenaker sebagai
formulator
dengan
jajaran
Disnaker
implementator
kebijakan
maupun
komunikasi
antara
Disnaker
sebagai
implementator kebijakan dengan pengusaha
sebagai sasaran.
Tiga hal yang harus diperhatikan pada
komunikasi Kebijakan Hiperkes , yaitu :
1. Proses transmisi (transmission), yaitu
proses
penyampaian
pesan
isi
Kebijakan
Hiperkes
yang
harus
dirancang dengan baik, pemilihan
saluran yang tepat dan media
disesuaikan dengan kelompok sasaran
yang sesuai kebijakan, memperhatikan
kemampuan
komunikasi,
memperhitungkan kemungkinan adanya
gangguan (noice) serta dirancang
adanya umpan balik.
2. Adanya Kejelasan (clarity) substansi
kebijakan
hiperkes
yang
akan
disampaikan. Hal ini berdampak pada
tingkat
pemahaman
pelaksana
kebijakan, sehingga mempengaruhi
tingkat
kejelasan
pesan
yang
disampaikan.
3. Adanya Konsistensi (consistency) , tidak
terjadi kontradiksi dari pesan kebijakan
Hiperkes yang disampaikan, serta
penyampaian kebijakan yang terus
menerus sampai tujuan Perlindungan
tenaga kerja dapat dicapai.
4.3. Sumber Daya
Sumber Daya implementasi kebijakan
adalah stafinstansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan. Tersedianya
sumber daya yang memadai baik secara
kuantitas maupun kualitas akan mendukung
implementasi kebijakan Hiperkes yang
efektif, staf yang dalam jumlah yang
memadai, memiliki kemampuan teknis
perlindungan
tenaga
kerja
untuk
melaksanakan tugas, kewenangan untuk
melaksanakan tugas dan fasilitas yang
diperlukan untuk implementasi kebijakan.
Staf instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten/Kota
dalam mempunyai peranan penting dalam
implementasi kebijakan Hiperkes, karena
bagaimanapun jelas dan konsistennya
ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan

suatu kebijakan Hiperkes, makaapabila para
personil
yang
bertanggung
jawab
mengimplementasikan kebijakan kurang
mempunyai
sumber-sumber
untuk
melakukan pekerjaan secara efektif, maka
implementasi kebijakan tersebut tidak akan
bisa efektif.
Penyampaian
Informasi
kebijakan
Hiperkes harus memperoleh perhatian. Hal
ini sangat penting diperhatikan agar para
pelaksana tidak membuat kesalahan dalam
menginterpretasikan tentang bagaimana
melaksanakan kebijakan Hiperkes. Informasi
yang demikian ini juga penting untuk
menyadarkan orang-orang yang terlibat
dikewajibannya.
Kewenangan
untuk
menjamin atau meyakinkan bahwa kebijakan
Hiperkes yang akan dilaksanakan adalah
sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, dan fasilitas
merupakan sarana yang digunakan untung
mengoperasionalisasikan
implementasi
suatu kebijakan yang meliputi antara lain
gedung, tanah, sarana dan supple yang
kesemuanya akan memberikan pelayanan
dalam implementasi kebijakan Hiperkes.
Kurang cukupnya sumber-sumber ini berarti
peraturan
perundang-undangan
yang
menjadi dasar hukum kebijakan Hiperkes
tidak akan menjadi kuat, pelayanan tidak
akan diberikan, dan pengaturan-pengaturan
(regulations) yang beralasan tidak akan
dikembangkan
4.4. Sikap Pelaksana
Kebijakan
Hiperke
akan
dapat
diimplementasikan secara efektif, apabila
didukung oleh sikap pelaksana yang baik
terhadap apa yang diinginkan oleh pembuat
kebijakan Hiperkes. Namun apabila sikap
pelaksana tidak mendukung ataupun berbeda
dengan
pembuat
kebijakan,
maka
implementasi kebijakan Hiperkes tidak efektif.
Sikap para pelaksana mempengaruhi
efektif
dan
efisiennya
implementasi
kebijakan Hiperkes. Sehubungan hal
tersebut, maka para implementor harus
mengetahui apa yang harus mereka lakukan
dan
mempunyai
kemampuan
untuk
implementasi kebijakan Hiperkes serta
mempunyai
kemauan
untuk
mengimplementasikan kebijakan Hiperkes.

ISU TEKNOLOGI STT MANDALA VOL.11 NO.1 JULI 2016 – ISSN 1979-4819

101

4.5. Struktur Birokrasi
Struktur Birokrasi merupakan salah satu
badan yang menjadi pelaksana suatu
kebijakan.
Instansi
Pemerintah
yang
bertanggung
jawab
di
bidang
ketenagakerjaan Kabupaten/Kota menjadi
pelaksana Kebijakan Hiperkes. Hal ini
dikarenakan
Merupakan
bagian
dari
keseluruhan aparat pemerintah yang
melakukan tugas membantu pemerintah dan
menerima gaji dari pemerintah karena
statusnya itu
Teori birokrasi dari Max Weber
dipercaya oleh sebagian ahli politik
pemerintahan sebagai salah satu teori
birokrasi di hampir setiap negara pada saat
ini. Gagasan-gagasan Weber tentang
birokrasi rasional dianut oleh hampir
sebagian besar pemerintahan, baik yang
demokratis maupun otoriter.
Faktor
lain
yang
mempengaruhi
implementasi kebijakan adalah struktur
birokrasi. Birokrasi merupakan salah satu
badan yang menjadi pelaksana suatu
kebijakan. Yahya Muhaimin (Isman HP,
2001:33) mendefinisikan bahwa birokrasi
adalah “keseluruhan aparat pemerintah, sipil
maupun militer yang melakukan tugas
membantu pemerintah dan menerima gaji
dari pemerintah karena statusnya itu”.
Teori birokrasi dari Max Weber
dipercaya oleh sebagian ahli politik
pemerintahan sebagai salah satu teori
birokrasi di hampir setiap negara pada saat
ini. Gagasan-gagasan Weber tentang
birokrasi rasional dianut oleh hampir
sebagian besar pemerintahan, baik yang
demokratis maupun otoriter.
Implementasi kebijakan Hiperkes yang
bersifat kompleks, menuntut adanya kerja
sama lintas sektoral dan lintas regional
antara lain dengan UPTP-UPTP. Balai K.3
Kemnaker RI, UPTD-UPTD Balai K.3,
Serikat Pekerja/Serikat Buruh maupun
Organisasi Pengusaha. Ketika struktur
birokrasi
tidak
kondusif
terhadap
implementasi kebijakan Hiperkes, maka hal
ini akan menyebabkan ketidakefektifan dan
menghambat jalanya pelaksanaan kebijakan
Hiperkes.
Sehubungan
hal
tersebut
memahami keberadaan struktur birokrasi
merupakan faktor yang penting untuk
mengkaji implementasi kebijakan Hiperkes.

Dalam Birokrasi ada Dua karakteristik
utama dari birokrasi yang harus diperhatikan
adalah Standard Operational Procedure
(SOP) dan fragmentasi.
1. Faktor
Standard
operational
procedure (SOP)
sangat
penting
diperhatikan,
karena
dengan
menggunakan SOP para pelaksana
yang bertugas dalam Implementasi
Kebijakan
Hiperkes
dapat
mengoptimalkan waktu yang tersedia
dan
dapat
berfungsi
untuk
menyeragamkan
tindakan-tindakan
pejabat
dalam
organisasi
yang
kompleks dan tersebar luas, sehingga
dapat menimbulkan fleksibilitas yang
besar dan kesamaan yang besar dalam
penerapan peraturan Hiperkes. Namun
demikian SOP dapat menjadi kendala
bagi implementasi kebijakan Hiperkes,
yang membutuhkan cara-cara kerja baru
atau tipe-tipe personil baru untuk
melaksanakan kebijakan Hiperkes.
2. Faktor
Fragmentasi
merupakan
penyebaran tanggung jawab kebijakan
Hiperkes kepada pihak-pihak lain yang
terkait, seperti Balai Keselamatan dan
Kesehatan
Kerja,
Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, Dinas Kesehatan
sehingga memerlukan koordinasi.
Fragmentasi
mengakibatkan
pandangan-pandangan yang sempit dari
banyak lembaga birokrasi. Hal ini akan
menimbulkan konsekuensi pokok yang
merugikan
bagi
keberhasilan
implementasi
kebijakan.
Berikut
hambatan-hambatan yang terjadi dalam
fragmentasi
birokrasi
berhubungan
dengan
implementasi
kebijakan
Hiperkes:
a. ”Pertama, tidak ada otoritas yang
kuat dalam implementasi kebijakan
Hiperkes
karena
terpecahnya
fungsi-fungsi lembaga atau badan
yang
berbeda-beda
dalam
penanganan Hiperkes dan masingmasing mempunyai yurisdiksi yang
terbatas
atas
suatu
bidang
Hiperkes, maka tugas-tugas yang
penting mungkin akan terlantarkan
dalam berbagai agenda birokrasi
yang menumpuk.

ISU TEKNOLOGI STT MANDALA VOL.11 NO.1 JULI 2016 – ISSN 1979-4819

102

b.

”Kedua, pandangan yang sempit
dari badan yang mungkin juga akan
menghambat perubahan. Jika suatu
badan mempunyai fleksibilitas yang
rendah dalam misi-misinya, maka
badan
itu
akan
berusaha
mempertahankan esensinya dan
besar
kemungkinan
akan
menentang
kebijakan-kebijakan
baru
yang
membutuhkan
perubahan”.

V. PENUTUP
5.1 Simpulan
Bahwa Kebijakan Higiene Perusahaan
dan Kesehatan Kerja (Hiperkes)sangat
penting bagi perlindungan tenaga kerja ,
dalam rangka mewujudkan peningkatan
derajat kesehatan karyawan setinggitingginya dan peningkatan produktivitas
karyawan.
Kebijakan Hiperkes sebagai dasar
pelaksanaan Hiperkes di perusahaan
ditetapkan
dalam
bentuk
Peraturan
perundang-undangan,
yang
harus
di
Implementasikan
oleh
instansi
yang
bertanggung
jawab
di
bidang
ketenagakerjaan.
Tahapan
Implementasi
kebijakan
Hiperkes harus memperoleh perhatian yang
serius. Hal ini dikarenakan Implementasi
merupakan tahapan krusial setelah suatu
kebijakan Hiperkes dirumuskan dan
imple