BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peran-peran Guru Wanita Berkeluarga - Gambaran Stres Kerja Guru Wanita Berkeluarga di SD Yayasan Perguruan Al-Azhar Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Peran-peran Guru Wanita Berkeluarga

  Guru adalah salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar mengajar, yang berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan (Soetjipto & Kosasi, 2009). Menurut Napitupulu (dikutip dari Triwahyuni, 2008) guru dalam arti sempit adalah seseorang yang menamatkan pelajarannya pada suatu lembaga pendidikan guru, sedangkan dalam arti luas guru merupakan orang dewasa yang memiliki tanggung jawab mengarahkan tingkah laku anak didik ke tujuan yang baik.

  Depdiknas (2004) mengemukakan bahwa guru adalah salah satu tenaga pendidik yang memiliki tugas utama menjadi agen pembelajaran yang memotivasi, memfasilitasi, mendidik, membimbing dan melatih peserta didik sehingga menjadi manusia berkualitas yang mengaktualisasikan potensi kemanusiaannya secara optimum, pada jalur pendidikan formal jenjang pendidikan dasar dan menengah, termasuk pendidikan anak usia dini formal.

  Pernyataan tersebut didukung oleh Syah (dikutip dari Triwahyuni, 2008) bahwa guru merupakan tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar, dalam arti mengembangkan ranah cipta, rasa, dan karsa siswa sebagai implementasi konsep ideal mendidik.

  Indriyani (2009) mengemukakan bahwa secara umum, disesuaikan dengan keadaan sosial budaya yang tumbuh dan berkembang di Indonesia selama ini dapat disimpulkan bahwa ada tiga tugas utama guru wanita berkeluarga, yaitu:

  1. Sebagai istri, supaya dapat mendampingi suami sebagai kekasih dan sahabat untuk bersama membimbing keluarga yang bahagia.

  2. Sebagai ibu rumah tangga, supaya mempunyai tempat aman dan teratur bagi seluruh anggota keluarga.

  3. Sebagai pendidik, untuk pembina generasi muda supaya anak-anak dibekali kekuatan rohani maupun jasmani yang berguna bagi nusa dan bangsa.

  Triwahyuni (2008) menyatakan bahwa seorang guru wanita yang telah menikah apalagi yang telah memiliki anak akan memiliki peran yang ganda.

  Berikut dijelaskan beberapa peran ganda guru wanita tersebut.

A. Peran di dalam keluarga

  1) Istri Menurut Frieze peran sebagai istri timbul pada saat seorang wanita secara hukum meresmikan hubungannya dengan seorang pria melalui pernikahan. Sebagai seorang istri, ia memperhatikan keadaan fisik, emosi, menampung keluh kesah suami. Secara tradisional, peran wanita sebagai istri mendahului peran wanita yang lain.

  2) Ibu Menurut Suwondo peran sebagai ibu adalah unik karena hanya wanita yang memiliki fungsi biologis yang memberikan kehidupan pada anak (mengandung dan melahirkan). Sebagai seorang ibu, wanita adalah pemegang tanggung jawab yang utama untuk memberikan perhatian fisik dan emosional pada anak. Selain itu, ia juga bertanggungjawab untuk membekali kekuatan rohani dan jasmani kepada anak-anaknya dalam menghadapi segala tantangan jaman.

  Tanggung jawab terhadap pengasuhan dan sosialisasi anak balita serta perasaan pada pentingnya tanggung jawab tersebut adalah sumber kepuasan dan harga diri pada wanita terutama pada saat anak masih balita.

B. Peran dalam pekerjaan sebagai guru

  Sehubungan dengan fungsinya sebagai pengajar, pendidik, dan pembimbing, maka diperlukan adanya berbagai peranan pada diri guru.

  Peranan guru ini menggambarkan pola tingkah laku yang diharapkan dalam berbagai interaksinya, baik dengan siswa, sesama guru, maupun dengan staf yang lain. Secara rinci peranan guru dalam kegiatan belajar mengajar, secara singkat dapat disebutkan sebagai berikut (Sardiman, 2004) :

  1) Informator Sebagai pelaksana cara mengajar informatif, laboratorium, studi lapangan dan sumber informasi kegiatan akademik maupun umum.

  2) Organisator Guru sebagai organisator, pengelola kegiatan akademik, silabus, workshop , jadwal pelajaran dan lain-lain.

  3) Motivator Guru harus dapat merangsang dan memberikan dorongan serta

  reinforcement untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan

  aktivitas dan kreativitas, sehingga akan terjadi dinamika di dalam proses belajar mengajar.

  4) Pengarah atau Director Dalam hal ini guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.

  5) Inisiator Dalam hal ini guru sebagai pencetus ide-ide dalam proses belajar.

  Tentunya ide-ide itu merupakan ide-ide kreatif yang dapat dicontoh oleh anak didiknya.

  6) Transmitter Dalam kegiatan belajar guru juga akan bertindak selaku penyebar kebijaksanaan pendidikan dan pengetahuan.

  7) Fasilitator Guru memberikan fasilitas dan kemudahan dalam proses belajar mengajar, misalnya dengan menciptakan suasana kegiatan belajar yang sedemikian rupa, serasi dengan perkembangan siswa, sehingga interaksi belajar mengajar akan berlangsung secara efek.

  8) Mediator Guru sebagai penengah dalam kegiatan belajar siswa serta sebagai penyedia media. Bagaimana cara memakai dan mengorganisasi.

  9) Evaluator Guru memiliki otoritas memberikan penilaian terhadap anak didik.

  Evaluasi yang dimaksud adalah evaluasi dalam menjatuhkan nilai atau kriteria keberhasilan.

2.2. Stres Kerja

2.2.1. Defenisi

  Berbagai tekanan-tekanan yang dialami dalam pekerjaan dan keluarga akan menimbulkan suatu peristiwa-peristiwa yang merupakan luapan dari emosi yaitu stres kerja. Davis dan Newstrom (dikutip dari Wirakristama, 2011) menyatakan stres kerja sebagai bentuk kondisi yang mempengaruhi emosi, pikiran, dan kondisi fisik seseorang.

  Stres kerja adalah suatu respon adaptif, dihubungkan oleh karakteristik dan atau proses psikologi individu yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan eksternal, situasi atau peristiwa yang menempatkan tuntutan psikologis dan atau fisik khusus pada seseorang (Ivancevich & Matteson dalam Indriyani, 2009).

  Menurut Robbins (2003) stres kerja adalah suatu kondisi yang dinamis dalam mana seseorang individu dihadapkan pada suatu peluang, tuntutan, atau sumber daya yang terkait dengan apa yang dihasratkan individu tersebut dan yang hasilnya dipandang tidak pasti dan penting. Stres lebih sering dikaitkan dengan tuntutan (demand) dan sumber daya (resources). Tuntutan merupakan tanggung jawab, tekanan, kewajiban, dan bahkan ketidakpastian yang dihadapi para individu di tempat kerja. Sumber daya adalah hal-hal (atau benda-benda) yang berada dalam kendali seorang individu yang dapat digunakan untuk memenuhi tuntutan.

  Definisi lain dikemukakan oleh Luthans (2006) yang menyatakan bahwa stress kerja merupakan suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri, yang dipengaruhi oleh perbedaan individual atau proses psikologis, yakni suatu konsekuensi dari setiap tindakan ekstern (lingkungan), situasi atau peristiwa yang terlalu banyak menuntut hal-hal di luar batas kemampuan fisik dan psikologis individu.

  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stress kerja merupakan suatu tanggapan (respon) penyesuaian, baik fisik, psikologis maupun behavioral terhadap situasi kerja, baik yang menyangkut pekerjaan itu sendiri maupun lingkungan kerja (Murtiningrum, 2005).

2.2.2. Stres Wanita Bekerja

  Ada beberapa macam stres yang dihadapi oleh wanita (Hendrix, Spencer & Gibson dalam Wirakristama, 2011), yaitu: 1.

  Wanita pekerja dipengaruhi oleh sumber stres yang biasanya dihadapi oleh laki-laki seperti beban kerja yang berlebihan, overskills, under

  utilization skills , kebosanan kerja, hubungan dengan pasangan dan anak, dan masalah keuangan.

  2. Sumber stres yang kedua ini bersifat unik dan berasal dari pekerjaannya atau di luar pekerjaan, yang berasal dari pekerjaan misalnya kebosanan, rendahnya tingkat kekuasaan, permintaan tinggi dalam pekerjaan pekerjaan dan sedikitnya promosi yang diberikan perusahaan.

2.2.3. Sumber-sumber Stres Kerja

  Menurut Robbins (2003) tingkat stres pada tiap orang akan menimbulkan dampak yang berbeda. Sehingga ada beberapa faktor penentu yang mempengaruhi tingkat stres seseorang. Faktor tersebut adalah :

  1. Faktor Lingkungan Selain mempengaruhi desain struktur sebuah organisasi, ketidakpastian lingkungan juga mempengaruhi tingkat stres.

  Ketidakpastian menyebabkan meningkatnya tingkat stres yang dialami karyawan. Ketidakpastian ekonomi, ketidakpastian politik, dan ketidakpastian teknologi sangat berpengaruh pada eksistensi karyawan dalam bekerja. Tingkat ekonomi yang tidak menentu dapat menimbulkan perampingan pegawai dan PHK, sedangkan ketidakpastian politik menimbulkan keadaan yang tidak stabil bagi negara, dan inovasi teknologi akan membuat ketrampilan dan pengalaman seseorang akan menjadi usang dalam waktu yang pendek sehingga menimbulkan stres.

  Dengan ketiga faktor lingkungan tersebut karyawan akan dengan mudah mengalami stres.

  2. Faktor Organisasional Faktor lain yang berpengaruh pada tingkat stres karyawan adalah faktor organisasional. Ada beberapa hal yang dapat dikategorikan sebagai penyebab stres kerja dalam lingkup organisasional, yaitu tuntutan tugas, tuntutan peran, tuntutan antar pribadi, struktur organisasi dan kepemimpinan organisasi.

  3. Faktor Individual Secara logika, setiap individu bekerja rata-rata 40-50 jam per minggu, sedangkan waktu yang digunakan mengurusi hal-hal diluar pekerjaan lebih dari 120 jam per minggu, sehingga akan besar kemungkinan segala macam urusan diluar pekerjaan mencampuri pekerjaan. Berbagai hal di luar pekerjaan yang mengganggu terutama adalah masalah keluarga, masalah ekonomi pribadi, serta kepribadian dan karakter yang melekat dalam diri seseorang.

  Sedangkan menurut Handoko (dikutip dari Wirakristama, 2011) faktor yang mempengaruhi stres kerja dapat digolongkan menjadi dua penyebab, yaitu:

  1. On The Job Adalah segala hal yang berhubungan dengan pekerjaan, yang dapat menimbulkan stres pada karyawan. Hal-hal yang bisa menimbulkan stres yang berasal dari beban pekerjaan antara lain : a.

  Beban kerja yang berlebihan.

  b.

  Tekanan atau desakan waktu. c.

  Kualitas supervisi yang jelek.

  d.

  Iklim politis yang tidak aman.

  e.

  Umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai.

  f.

  Wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggung jawab.

  g.

  Kemenduaan peran (role ambiguity).

  h.

  Frustasi. i.

  Konflik antar pribadi dan antar kelompok. j.

  Perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan. k.

  Berbagai bentuk perubahan.

  2. Off The Job Adalah permasalahan yang berasal dari luar organisasi yang menimbulkan stres pada karyawan. Permasalahan yang sering terjadi antara lain : a.

  Kekuatan finansial.

  b.

  Masalah yang bersangkutan dengan anak.

  c.

  Masalah fisik.

  d.

  Masalah perkawinan.

  e.

  Perubahan-perubahan yang terjadi di tempat tinggal.

  3. Masalah pribadi lain, misalnya kematian sanak sauda

  Menurut Tatik Suryani dkk (dikutip dari Wirakristama, 2011) secara umum terdapat empat faktor yang dapat menjadi sumber penyebab stres kerja, yakni lingkungan luar, organisasi, kelompok kerja serta faktor yang berasal dari dalam diri individu : a. Faktor lingkungan

  Lingkungan merupakan kondisi di luar organisasi yang akan berpengaruh terhadap organisasi maupun individu-individu yang ada di dalam organisasi. Lingkungan luar merupakan lingkungan makro seperti kondisi sosial, perkembangan teknologi, kondisi ekonomi, politik dan lain-lain.

  b. Kondisi organisasi Kondisi organisasi dapat menjadi potensi bagi terjadinya stres. Hal- hal yang berkaitan dengan kebijakan administrasi serta strategi organisasi, struktur dan desain organisasi, proses organisasional yang berlangsung di sebuah organisasi serta kondisi kerja, apabila tidak tepat akan berpengaruh terhadap terjadinya stres kerja.

  c. Faktor individu Sumber dari dalam diri individu yang turut memberi sumbangan timbulnya stres dapat digolongkan atas dua faktor, yaitu faktor demografik dan faktor kepribadian. Faktor demografik berupa jenis kelamin dan usia sedangkan faktor kepribadian berupa tipe kepribadianA. d. Kelompok kerja Kondisi kelompok kerja yang baik akan ditandai oleh adanya keterikatan yang tinggi, penerimaan sosial serta hubungan yang harmonis antar anggota kelompok kerja. Apabila kelompok kerja memiliki keterikatan yang rendah dan sering terjadi konflik akan berakibat pada timbulnya stres.

2.2.4. Gejala Stres Kerja

  Menurut Braham (dikutip dari Rosaputri, 2012) gejala stres dapat berupa tanda-tanda berikut ini:

  1. Fisik, yaitu sulit tidur atau tidur tidak teratur, sakit kepala, sulit buang air besar, adanya gangguan pencernaan, radang usus, kulit gatal-gatal, punggung terasa sakit, urat-urat pada bahu dan leher terasa tegang, keringat berlebihan, berubah selera makan, tekanan darah tinggi atau serangan jantung, kehilangan energi.

  2. Emosional, yaitu marah-marah, mudah tersinggung dan terlalu sensitif, gelisah dan cemas, suasana hati mudah berubah-ubah, sedih, mudah menangis dan depresi, gugup, agresif terhadap orang lain dan mudah bermusuhan serta mudah menyerang dan kelesuan mental.

  3. Intelektual, yaitu mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat menurun, sulit untuk berkonsentrasi, suka melamun berlebihan, pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja.

  4. Interpersonal, yaitu acuh dan mendiamkan orang lain, kepercayaan pada orang lain menurun, mudah mengingkari janji pada orang lain, senang mencari kesalahan orang lain atau menyerang dengan kata-kata, menutup diri secara berlebihan, dan mudah menyalahkan orang lain.

  Adapun Cooper & Straw (dikutip dari Wirakristama, 2011) mengemukakan gejala stres diantaranya:

  1. Fisik, yaitu nafas memburu, mulut dan kerongkongan kering, tangan lembab, rnerasa panas, otot-otot tegang, pencemaan terganggu, sembelit, letih yang tidak beralasan, sakit kepala, salah urat dan gelisah.

  2. Perilaku, yaitu perasaan bingung, cemas dan sedih, jengkel, salah paham, tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, gelisah, gagal, tidak menarik, kehilangan semangat, sulit konsentrasi, sulit berfikir jemih, sulit membuat kcputusan, hilangnya kreatifitas, hilangnya gairah dalam penampilan dan hilangnya minat terhadap orang lain.

  3. Watak dan kepribadian, yaitu sikap hati-hati menjadi cermat yang berlebihan, cemas menjadi lekas panik, kurang percaya diri menjadi rawan, penjengkel menjadi meledak-ledak.

  Menurut Cox dan Gibson (dikutip dari Wirakristama, 2011) ada lima macam konsekuensi dari stres :

  1. Subyektif Meliputi kecemasan, agresif, acuh, kebosanan, depresi, keletihan, frustasi, kehilangan kesabaran, rendah diri, gugup, merasa kesepian.

  2. Perilaku Perilaku yang menunjukan gejala stres adalah mudah mendapatkan kecelakaan, kecanduan alkohol, penyalahgunaan obat-obatan, luapan emosional, makan atau merokok berlebihan, perilaku yang mengikuti kata hati, kecewa.

  3. Kognitif Akibat stres yang bersifat kognitif dapat menyebabkan ketidakmampuan mengambil keputusan yang jelas, daya konsentrasi rendah, kurang perhatian, sangat sensitif terhadap kritik, hambatan mental.

  4. Fisiologis Stres dapat menciptakan perubahan dalam metabolisme tubuh, kandungan glukosa darah meningkat, denyut jantung dan tekanan darah meningkat, mulut kering, berkeringat, bola mata melebar, tubuh panas dingin.

  5. Organisasi Akibat yang bersifat organisasi meliputi angka absen tinggi, pergantian karyawan (turn over), produktivitas rendah, terasing dari rekan sekerja, ketidakpuasan kerja, komitmen organisasi dan loyalitas berkurang.

2.2.5. Dampak Stres Kerja

  Stress akibat kerja merupakan kondisi yang muncul akibat interaksi

  seseorang dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya. Stress ditandai dengan perubahan pada diri seseorang yang memaksa mereka menyimpang dari fungsinya secara normal (Luthans, 2006). Memang tidak selamanya

  stress berdampak negatif pada penderitanya dan bahkan dapat pula berdampak positif. Semua itu tergantung pada kondisi psikologis dan sosial seorang guru, sehingga reaksi terhadap setiap kondisi stress sangat berbeda.

  Contoh dampak stress kerja yang bersifat positif antara lain adalah motivasi diri, rangsangan untuk bekerja keras dan timbulnya inspirasi untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik. Sedangkan dampak stress kerja yang bersifat negatif dapat digolongkan ke dalam kategori subyektif seperti kecemasan, acuh, agresif, bosan, depresi, gugup, dan terisolir. Kategori perilaku seperti penyalahgunaan obat/narkoba, reaksi meledak-ledak, merokok berlebihan, dan alkoholik. Kategori kognitif seperti ketidakmampuan mengambil keputusan secara jelas, sulit konsentrasi, peka kritik, dan rintangan mental. Kategori fisiologis dan kesehatan seperti meningkatnya kadar gula, denyut jantung, tekanan darah, tubuh panas dingin, meningkatnya kolesterol dan lain-lain. Kategori organisasi seperti ketidakpuasan kerja, menurunnya produktivitas dan keterasingan dengan rekan sekerja.

  Stres sebenarnya dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi positif dan sisi negatif. Stres yang dikondisikan sebagai sesuatu yang negatif disebut dengan distress, sedangkan stres yang memberikan dampak positif disebut eustress (Murtiningrum, 2005).

  Stres dipandang positif karena dengan adanya stres seorang karyawan bisa bekerja dengan lebih baik demi mencapai apa yang diinginkannya, misalnya seorang karyawan yang ingin naik jabatan menjadi manajer, maka ia akan dihadapkan pada beban pekerjaan yang memiliki tingkat stres yang lebih tinggi, sedangkan stres dari sisi negatif akan menimbulkan dampak yang negatif pula. Stres dapat memiliki dampak yang sangat negatif pada perilaku organisasi dan kesehatan seorang individu. Stres berhubungan secara positif dengan ketidakhadiran, berhentinya karyawan, penyakit jantung koroner dan infeksi yang disebabkan oleh virus (Frayne & Geringer dalam Indriyani, 2009).

  Stres merupakan bagian dari setiap kehidupan. Ada stress yang membawa kemajuan (eustress) dan stress yang membawa dampak buruk dan merugikan kita (distress). Eustress merupakan tingkat stress yang membawa kemajuan dan membawa dampak yang baik. Eustress dapat membuat Anda memiliki pengetahuan, pengalaman dan kebijaksanaan bertambah. Sehingga energi pikiran menjadi sangat terfokus dan terorganisir dalam bekerja (Rema, 2012).

2.2.6. Manajemen Stres Kerja

  Sebenarnya seseorang merasa terganggu pikiran, perasaan, dan emosinya lebih banyak tergantung pada diri yang bersangkutan dan cara dia menghadapi situasi, fenomena atau kejadian tersebut. Epictetus menyatakan, seseorang merasa terganggu bukan karena sesuatu, melainkan karena cara pandang mereka tentang sesuatu tersebut. Secara sederhana, dapat dikatakan seseorang akan merasa tidak senang, tidak puas, atau terganggu keseimbangan batinnya apabila terdapat ketidaksesuaian antara kemampuan, keterampilan, sikap dan cara dimiliki atau dikuasai seseorang dengan tuntutan situasi yang dilihatnya. Ketidakserasian itu secara psikologis memunculkan kondisi lekas marah, lekas tersinggung dan mudah membuat kesalahan.

  Menurut Pamangsah (2008) Agar stress akibat kerja yang dialami oleh guru sekolah tidak berdampak negatif, perlu adanya upaya secara intensif untuk pengendaliannya dan akan lebih baik lagi jika dampak stres tersebut diubah menjadi bersifat positif, untuk itu diperlukan upaya-upaya tertentu baik secara individual maupun organisatoris.

  Upaya-upaya yang bersifat individual ini dapat dilakukan dengan membuat daftar kegiatan yang harus diselesaikan dalam menentukan urutannya berdasarkan skala prioritasnya, modifikasi perilaku, memilih filsafat hidup yang tepat, mengelola waktu secara baik. Khusus untuk waktu-waktu senggang sebaiknya dimanfaatkan untuk relaksasi atau latihan fisik yang bersifat rekreatif, seperti meditasi, jalan sehat, jogging, renang, lintas alam, bersepeda dan lain-lain.

  Upaya-upaya yang bersifat organisatoris sangat erat terkait dengan bidang pekerjaan yang ditekuni. Oleh karena itu, penempatan kerja sesuai dengan kemampuannya, menspesifikasi tujuan dan antisipasi hambatan, meningkatkan komunikasi organisasi secara efektif untuk membentuk persepsi yang sama terhadap tujuan pekerjaan, menghindari ketidakpastian peran, penciptaan iklim kerja yang sehat, restrukturisasi jabatan/pekerjaan dan training/upgrading pengembangan profesi merupakan upaya yang konstruktif untuk meminimalkan terjadinya stress kerja. Upaya-upaya lainnya adalah penyediaan fasilitas fisik, klinik mental dan bimbingan peningkatan tanggung jawab yang seluruhnya merupakan langkah positif bersifat organisatoris untuk menghindari terjadinya stress akibat kerja di lingkungan kerja guru sekolah.

  Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi stres menurut Yusuf (2005), yakni :

  1. Isi kalbu dengan nilai-nilai kebesaran-Nya, merupakan pilar utama mencapai keseimbangan batin. Oleh karena itu, berusaha seoptimal mungkin dan dengan sekuat tenaga untuk mencapai sesuatu adalah suatu keharusan, sedangkan keputusan, Tuhan yang menentukan.

  2.

  “Saya mampu melakukan sesuatu” (dengan seizin-Nya) merupakan suatu sikap mental positif. Dalam mencegah ketidakseimbangan batin, seseorang hendaklah berusaha untuk selalu berpikir positif dan menjauhkan diri dari pikiran negatif, dan ini merupakan pilar kedua dalam menangkal diri dari hal-hal yang akan menimbulkan stres dan ketidakseimbangan emosional lainnya.

  3. Selalu menjadi orang proaktif, merupakan cara ketiga. Bertindak proaktif berarti mengambil inisiatif lebih dulu dan bertanggung jawab agar perbuatan itu terjadi berlandaskan nilai-nilai yang berlaku. Seseorang akan terbatas dari rasa cemas, kecewa, sedih, curiga, shock,

  collaps , dan panik karena jiwa dan raganya, atau fisik dan mental berfungsi secara normal.

  4. Berpikir positif merupakan cara keempat untuk menghindari stres. Pola pikir positif yang digunakan dalam menyikapi suatu kondisi rawan yang datang pada seseorang akan menjauhkan yang bersangkutan dari tekanan, sehingga tidak terjadi jurang (gap) antara tuntutan situasi dan kemampuan seseorang mengatasi situasi itu.

  5. Menjadi penerima yang baik merupakan cara kelima yang dapat digunakan untuk menangkal stres. Menjadi penerima yang baik akan sangat membantu dalam pembentukan percaya diri, karena tindakan apa yang dilakukan selalu bersumber pada penerimaan kita pada sesuatu, dan upaya yang dilakukan selalu didasarkan tanggung jawab. Menjadi penerima yang baik akan mendorong prestasi yang lebih baik.

  6. Perbarui diri terus-menerus merupakan cara keenam untuk menangkal stres. Stres yang melanda diri setiap orang bersumber dari ketidakmampuannya mengatasi masalah atau tuntutan yang lebih tinggi dari kemampuannya. Oleh karena itu, memperbarui diri secara terus- menerus dengan belajar sepanjang hayat melebihi tuntutan tanggung jawab, kerja, bisnis, dan kehidupan perlu dilakukan, sehingga tekanan jiwa sebagai akibat kekurangan selalu dapat diatasi dengan baik.

  7. Tekun dan sabar dalam menghadapi tugas. Ketekunan dan kesabaran yang dilakukan seseorang dalam melaksanakan suatu tugas dan tanggung jawab akan mampu menepis munculnya ketakutan dan kesulitan. Setiap individu yang sabar, tekun, dan ulet dalam mengemban suatu tugas yang diberikan kepadanya akan menyebabkan yang bersangkutan tidak mudah putus asa dan tidak cepat menyerah.

  8. Olah raga dan olah napas secara teratur merupakan cara kedelapan menangkal ketidakseimbangan emosional. Kebugaran tubuh dan kesehatan fisik merupakan tangkal bermacam penyakit, termasuk stres kerja.

2.3. Mendidik Anak Usia Sekolah

2.3.1. Mendidik

  Pendidikan berasal dari kata “didik”, lalu kata ini mendapat awalan me- sehingga menjadi “mendidik”, artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991: 232).

  Dalam pengertian yang agak luas, pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Dalam pengertian yang luas dan representatif, pendidikan ialah

  the total process of developing human abilities and behaviour, drawing on almost all life’s experiences (Santrock, 2010).

  Ki Hajar Dewantoro memberikan pengertian mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

  Sementara itu, Langeveld (dikutip dari Purwanto, 2006) mengartikan mendidik adalah mempengaruhi anak dalam usaha membimbingnya supaya menjadi dewasa. Usaha membimbing adalah usaha yang disadari dan dilaksanakan dengan sengaja antara orang dewasa dan anak yang belum dewasa. Jika dianalisis lebih lanjut, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan adalah upaya orang dewasa untuk membawa dan mempengaruhi seorang anak didik dalam praktik pendidikan agar anak menjadi orang dewasa yang baik, sesuai dengan kaidah-kaidah dan norma- norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat itu.

  Mendidik merupakan suatu proses yang panjang, memerlukan waktu yang lama, dilakukan oleh orang yang telah dewasa. Pendidikan adalah suatu bentuk pergaulan antara anak dan orang dewasa yang dalam pergaulan itu ada pengaruh yang datang kepada anak, sehingga anak dapat berkembang ke arah yang diinginkan, yaitu ke arah kedewasaan dalam arti fisik maupun psikis atau ke arah kematangan, baik secara jasmani maupun rohani (Surya dkk, 2010).

2.3.2. Unsur-unsur Pendidikan

  Dikutip dalam Surya dkk (2010) bahwa unsur-unsur yang harus ada dalam proses pendidikan yaitu anak didik atau peserta didik, pendidik, tujuan pendidikan, materi dan alat pendidikan, serta lingkungan atau situasi pendidikan. Berikut ini dijelaskan secara singkat unsur-unsur tersebut :

  1. Anak Didik atau Peserta Didik

  Anak didik atau peserta didik yaitu anak yang akan diproses untuk menjadi dewasa, menjadi manusia yang memiliki kepribadian dan watak bangsa yang diharapkan, yaitu bangsa indonesia yang memiliki kepribadian dan akhlak mulia. Seperti tercantum dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, agar berhasil dalam membawa anak ke arah kedewasaan, tentunya pendidik atau orang dewasa harus memahami karakteristik anak, seperti berikut ini: a.

  Anak itu makhluk individu yang memiliki dunia tersendiri yang tidak boleh disamakan dengan dunia orang dewasa.

  b.

  Anak memiliki potensi untuk berkembang.

  c.

  Anak memiliki minat dan bakat yang berbeda dengan yang lainnya.

  2. Pendidik

  Pendidik yaitu orang dewasa yang berperan untuk mempengaruhi dan membawa anak didik ke arah manusia yang sempurna, yaitu insan

  

kamil. Oleh karena itu, pendidik harus memiliki hal-hal yang meliputi:

kewibawaan, kasih sayang, komitmen dan kejujuran.

  3. Tujuan Pendidikan

  Tujuan pendidikan pada era global ini telah bergeser ke dalam pengembangan dimensi manusia yang lebih dalam, pengembangan secara maksimal serta seimbang antara dimensi spiritual, sosial, emosional, intelektual dan fisikal yang sejatinya sesuai dan sejalan dengan tujuan pendidikan yang tertuang dalam UU RI No. 20 tahun 2003, yaitu menyiapkan warga negara yang baik, menjadi tenaga kerja yang terampil dan menjadi warga negara yang produktif serta memiliki kepribadian dan akhlak yang mulia. Untuk mencapai tujuan yang ideal itu, tentu diperlukan sinergisme kelima dimensi tersebut.

4. Materi dan Alat Pendidikan

  Agar materi dapat dipahami oleh anak didik maka tentu saja harus menggunakan alat atau metode dalam melakukan komunikasi antara pendidik dan anak didik. Menurut Suwarno (dikutip dari Surya dkk, 2010) alat-alat pendidikan dapat dibedakan dari bermacam-macam segi:

  a. Alat pendidikan yang positif dan negatif

  1) Positif, jika ditujukan agar anak mengerjakan sesuatu yang baik, seperti contoh yang baik, pembiasaan, perintah, pujian dan ganjaran.

  2) Negatif, jika tujuannya menjaga supaya anak didik jangan mengerjakan sesuatu yang buruk, misalnya larangan, celaan, peringatan, ancaman, dan hukuman.

  b. Alat pendidikan preventif dan korektif

  1) Preventif, jika maksudnya mencegah anak sebelum ia melakukan sesuatu perbuatan yang tidak baik, misalnya pembiasaan, perintah, pujian dan ganjaran.

  2) Korektif, jika maksudnya memperbaiki, karena anak telah melanggar ketertiban atau berbuat sesuatu yang buruk, misalnya celaan, ancaman dan hukuman.

c. Alat pendidikan yang sifatnya menyenangkan dan yang tidak menyenangkan

  1) Menyenangkan, yaitu yang menimbulkan perasaan senang pada anak-anak, misalnya ganjaran, pujian.

  2) Tidak menyenangkan, maksudnya yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan pada anak-anak, misalnya hukuman dan celaan. Hukuman dalam pendidikan dapat diterapkan yang bersifat mendidik, mempunyai nilai pendidikan yang bertujuan menghukum agar anak tidak mengulangi keadaan seperti itu lagi.

2.3.3. Karakteristik Anak Usia SD (Masa Akhir Kanak-kanak)

A. Ciri-ciri

  Anak yang berada di rentang usia Sekolah Dasar atau sering disebut masa akhir kanak-kanak adalah anak yang berada pada rentangan usia dini. Masa ini merupakan masa yang pendek tetapi merupakan masa yang sangat penting bagi kehidupan seseorang. Oleh karena itu, pada masa ini seluruh potensi yang dimiliki anak perlu didorong sehingga akan berkembang secara optimal.

  Periode akhir kanak-kanak ditandai masuknya anak ke kelas satu sekolah dasar. Batasan usia dimulai enam tahun sampai awal kematangan seksual yakni usia 12 atau 13 tahun. Ciri-ciri masa akhir kanak-kanak menurut Hurlock (2006) antara lain: 1)

  Masa sulit diatur, karena anak lebih banyak mengikuti aturan dari teman sebaya atau kelompok sosial. Kini anak tak mau menuruti perintah orang tua atau aturan keluarga. Anak kurang tanggung jawab dalam urusan rumah dan mengutamakan urusan temannya.

  2) Masa bertengkar, karena anak selalu bertengkar dengan anggota keluarga lainnya, tetangga atau teman sebayanya. Apalagi, ketika anak merasakan suasana di rumah yang tidak menyenangkan, inkonsisten disiplin, lemah atau otoriter.

  3) Masa usia sekolah, karena pada masa ini anak mulai masuk usia sekolah dasar. Anak selalu dimotivasi berprestasi dan membentuk kebiasaan baru dalam mencapai kesuksesan.

  4) Masa bermain, karena anak mulai membentuk permainan baru yang lebih luas dan banyaknya kegiatan bermain baru di sekolah dan kelompok main. Anak merasa bahagia jika mampu bermain secara berkelompok dan diterima kelompok.

  5) Masa kreativitas, karena anak selalu termotivasi menunjukkan kreativitas, seperti melukis, susunan balok, rumah-rumahan dan sebagainya. Jika anak tidak dapat menunjukkan kreativitas, maka anak dicemooh, dikritik, diejek, dihina, bodoh, dan tidak kreatif.

  Berikut beberapa perubahan psikologis, bahaya-bahaya fisik dan bahaya psikologis yang dialami pada masa akhir kanak-kanak yang dikemukakan oleh Pieter & Lubis (2010) :

B. Perubahan Psikologis Akhir Kanak-kanak

  1) Perubahan bicara dimana semakin luasnya cakrawala sosial serta komunikasi anak sebagai akibat dari perkembangan bicara anak.

  Sumber-sumber perbaikan bicara yaitu tingkat sosial ekonomi, motivasi belajar membaca, radio dan televisi, kemauan dalam memperbaiki salah ucap, dan adanya reward. 2)

  Perubahan emosi, dimana masa akhir kanak-kanak, anak telah mampu mengendalikan emosinya. Bentuk ungkapan emosi yang menyenangkan dilakukan anak dengan tertawa, mengejangkan tubuh dan berguling-guling. Adapun ungkapan emosi yang tak menyenangkan dilakukan dengan marah, cemas dan kecewa. 3)

  Perkembangan keterampilan, dimana saat memasuki akhir kanak- kanak, anak sudah memiliki keterampilan yang dipelajari masa prasekolah. Keterampilan anak dipengaruhi lingkungan sosial, kesempatan belajar keterampilan, bentuk postur tubuh dan minat.

  4) Perkembangan suara hati yang merupakan reaksi kekhawatiran anak yang terkondisi dalam situasi dan tindakan yang berkaitan dengan perbuatan dan hukuman. Adapun rasa bersalah adalah penilaian diri yang negatif dan terjadi saat dia mengakui bahwa perilakunya telah bertentangan dengan nilai moral yang wajib diikutinya. Sebaliknya, rasa malu merupakan reaksi emosional yang kurang menyenangkan terhadap penilaian negatif orang lain.

  5) Peranan disiplin dimana akan mempengaruhi sikap dan perilaku moral anak. Sebaiknya penerapan disiplin di keluarga bersifat bantuan dasar- dasar moral, ganjaran yang konsisten, jujur, adil, dan disesuaikan dengan perkembangan anak.

  6) Perkembangan sikap dan perilaku moral, dimana kini anak mulai memperhitungkan keadaan dengan moralitas. Relativisme moral berubah menjadi fleksibilitas moral. Misalnya, saat anak usia lima tahun menilai berbohong adalah sebagai perbuatan buruk. Ketika anak berusia di atas lima tahun, penilaian konsep berbohong mulai diperbolehkan untuk beberapa situasi. Konsep berbohong tidak lagi selalu dinilai buruk.

  7) Perkembangan sikap sosial terutama memasuki usia tujuh hingga delapan tahun, anak mulai kurang menaruh minat figur identifikasi pada orangtuanya. Kini, anak menaruh minat pada teman kelompoknya. Anak merasa terpukau jika dia mampu menyesuaikan diri menurut standar dan penampilan yang ditetapkan kelompoknya.

  8) Perkembangan minat, dimana pembentukan minat anak sangat dipengaruhi bentuk, intensitas, motivasi, prestasi, dan kemajuan perkembangan minat sebelumnya. Bentuk-bentuk minat anak secara umum yaitu minat penampilan diri dan pakaian, minat pada tubuh, minat pada julukan dan nama, minat agama, minat pada kesehatan, minat sekolah, minat pada seks atau minat pada simbol status.

C. Bahaya-bahaya Fisik Akhir Kanak-kanak

  1) Penyakit. Jenis penyakit yang paling banyak diderita anak periode akhir kanak-kanak yaitu salesma, gangguan pencernaan, penyakit dan keseimbangan tubuh, diabetes, dan kesulitan melakukan aktivitas.

  2) Bentuk tubuh yang tidak sesuai. Anak laki-laki yang berbentuk tubuh kewanitaan atau anak perempuan berbentuk tubuh kelelaki-lakian selalu dicemooh teman atau orang dewasa. Efeknya adalah memperburuk adaptasi sosial, terutama buat anak laki-laki. Sebaliknya, bentuk tubuh yang sesuai dengan seksnya akan membantu dalam penyesuaian diri yang lebih baik.

  3) Kecelakaan. Meskipun kecelakaan tidak memberikan trauma luka fisik yang mendalam, namun kondisi ini akan memberikan luka psikologis, seperti anak akan bertindak selalu hati-hati dan merasa takut.

  4) Ketidakmampuan fisik. Ketidakmampuan fisik bersumber dari akibat kecelakaan berat atau cacat fisik bawaan, sehingga dia menjadi perhatian khusus.

D. Bahaya-bahaya Psikologis Akhir Kanak-kanak

  1) Bahaya sosial. Bahaya yang ditimbulkannya yaitu anak yang ditolak atau diabaikan, kurangnya kesempatan belajar sosial dan dikucilkan.

  2) Bahaya emosi. Ketidakmatangan emosional anak ditunjukkan dari emosi yang kurang menyenangkan, seperti ekspresi emosi marah yang tinggi dan tidak terkontrol.

  3) Bahaya dalam berbicara. Bahaya yang ditimbulkan adalah apabila kosakata yang kurang sehingga anak sulit menyelesaikan tugas sekolah dan sulit dalam komunikasi, seperti kesalahan bicara, kesalahan tata bahasa, cacat bicara, gagap atau celat yang membuat anak bicara seperlunya.

  4) Bahaya dalam konsep diri. Bahaya yang ditimbulkannya yaitu anak yang memiliki konsep ketidakpuasan pada keadaan dirinya sendiri.

  Perlakuan orang tua yang tidak menyenangkan dan kurangnya dukungan lingkungan sosial yang menyebabkan anak selalu berprasangka buruk dan diskriminatif memperlakukan orang lain. 5)

  Bahaya hubungan keluarga. Bahaya yang ditimbulkan yaitu seringnya pertentangan antar anggota keluarga, rendahnya rasa empati pada anggota keluarga, sering melawan orang tua, melemahnya hubungan interpersonal antar keluarga, penyesuaian diri yang buruk dan perilaku agresi. 6)

  Bahaya kepribadian. Bahaya-bahaya kepribadian yang ditimbulkannya yaitu konsep diri yang buruk, ketidakmatangan kepribadian, sikap penolakan, perilaku egosentris, agresivitas dan perilaku regresi. 7)

  Bahaya sikap moral. Bahaya-bahaya yang ditimbulkan sikap moralitas anak yaitu jika perkembangan sikap moral yang berlandaskan konsep diri dari teman-temannya, media massa atau konsep orang dewasa, kegagalan untuk mengembangkan suara hati sebagai kontrol atau pengawasan terhadap perilakunya, penerapan disiplin yang inkonsisten yang dapat menyebabkan anak kurang percaya diri.