Kebijakan dan Strategi Pengelolaan SDA d

Kebijakan dan Strategi Pengelolaan SDA di Indonesia

1. PENDAHULUAN
Seluruh kehidupan di dunia tidak dapat terlepas dari air. Air menjadi prasyarat bagi
kelangsungan hidup setiap makhluk. Hak hidup setiap warga Negara harus mendapat
jaminan dan perlindungan Negara. Negara harus mampu mengatur bangsa dengan
kekuasaan yang telah diamanatkan di dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945
demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan amanat konstitusi tersebut, Negara mengamanatkan kepada pemerintah
melalui UU No.7 Tahun 2004 untuk mengatur dan menjamin kebutuhan dan
memberikan perlindungan hak setiap individu bangsa untuk mendapatkan air bagi
pemenuhan kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupan yang
sehat, bersih, dan produktif, termasuk pula memberikan perlindungan terhadap resiko
yang timbul akibat potensi dan daya air.
Air sangat berpengaruh terhadap krisis pangan, krisis kesehatan, kemiskinan dan daya
saing kawasan bahkan nasional.
Pendek kata, standar hidup kita tidak dapat
ditingkatkan dan dipertahankan tanpa air yang cukup baik dari segi kuantitas maupun
kualitas. Oleh karena itu, kebijakan pengelolaan sumber daya air (SDA) sebagai
bagian dari kebijakan pembangunan nasional harus mendapat perhatian yang lebih
serius.

Potensi air hujan tahunan yang dikaruniakan Tuhan bagi negeri ini menduduki urutan
terbesar kelima diantara negara-negara lain di dunia. Sekalipun demikian, gejala atau
tanda-tanda permasalahan air telah dapat kita rasakan di berbagai tempat, dan hal ini
menjadi kendala bagi kelangsungan pembangunan, dan perikehidupan. Jika hal ini
dibiarkan terus terjadi, boleh jadi akan memperburuk reputasi bangsa kita, serta
kelangsungan hidup bangsa dan negara kita.
Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan YME, saat ini Indonesia telah memiliki
panduan generik
di tingkat Nasional yang diharapkan dapat memandu arah
pengelolaan sumber daya air sekarang dan ke depan. Panduan ini telah dikukuhkan di
dalam Peraturan Presiden No.33 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Nasional Pengelolaan
Sumber Daya Air. Produk Peraturan Presiden tersebut merupakan hasil kerja Dewan
Sumber Daya Air Nasional yang beranggotakan sebanyak 44 orang terdiri atas 22
orang pimpinan kementerian/lembaga pemerintah, dan 22 orang dari unsur perwakilan
lembaga nonpemerintah yang berpengaruh ataupun berkepentingan dengan sumber
daya air.
Makalah ini bermaksud menyampaikan gagasan mengenai pokok pokok kebijakan
pengelolaan SDA di tingkat nasional dalam upaya memberikan solusi bagi masalah
masalah strategis dan aktual yang dihadapi bangsa Indonesia. Bagian awal makalah
dimulai dengan penjelasan mengenai metodologi perumusan kebijakan, dan pada bab


berikutnya mengungkapkan permasalahan pengelolaan SDA berikut tantangannya. Bab
selanjutnya menjelaskan mengenai pokok pokok kebijakan dan strategi pengelolaan
SDA, dan pada bab terakhir menjelaskan tentang tindak lanjut yang perlu dilakukan
dalam pelaksanaan kebijakan dan strategi pengelolaan SDA.
2.

METODOLOGI PERUMUSAN KEBIJAKAN

Kebijakan pada dasarnya merupakan konstruksi pikiran yang dirancang berdasarkan
konseptualisasi dan spesifikasi keadaan bermasalah baik yang telah terjadi maupun
yang diprediksi terjadi di masa mendatang. Perumusan masalah merupakan aspek
yang paling penting dalam analisis kebijakan, tetapi hal yang satu ini ternyata paling
sulit dilakukan karena seringkali kompleks dan memerlukan dukungan data dan
informasi yang akurat. Permasalahan SDA memang sangat luas cakupannya. Tidak
hanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan air, sumber-sumber air dan daya yang
terkandung di dalamnya, tetapi mencakup semua unsur yang berkaitan dengan unsur
yang berpengaruh terhadap kondisi SDA dan unsur yang dipengaruhinya.
Data empirik tentang keadaan bermasalah diperoleh dari berbagai sumber informasi
misalnya dengan mempelajari pembicaraan mutakhir dari masyarakat, informasi

literatur dan data statistik, serta kebijakan atau peraturan per-UU-an yang terkait
dengan SDA. Keadaan bermasalah ini diperoleh dengan cara menilai kesenjangan
antara visi pengelolaan SDA dengan realita keadaan yang berkaitan dengan SDA.
Penyusunan kebijakan nasional pengelolaan SDA dilakukan melalui serangkaian
diskusi intensif oleh panitia khusus yang berjumlah 39 orang terdiri dari unsur anggota
Dewan SDA Nasional dan para pejabat yang mewakili para Menteri selaku anggota
Dewan. Hasil kerja panitia khusus ini kemudian disampaikan dalam sidang pleno
Dewan SDA Nasional untuk dibahas dalam rangka membangun kesepakatan.
Analisis dilaksanakan dengan cara mengidentikasi hubungan sebab akibat yang
mempertemukan gejala gejala yang mempengaruhi keadaan SDA serta beberapa
aspek yang berhubungan dengan keadaan SDA termasuk berbagai tantangannya yang
dapat diintervensi menjadi peluang melalui penerapan kebijakan publik.
Rumusan kebijakan nasional ini dibuat berdasarkan pendekatan yang bersifat antisipatif
terhadap permasalahan SDA yang terjadi hingga saat ini dan yang mungkin akan
muncul di waktu yang akan datang yang ditempuh melalui penerapan kebijakan yang
pada intinya bertujuan menurunkan atau menekan resiko kerugian yang timbul
akibat keadaan bermasalah dengan cara mengelola tingkat kerentanan kawasan
terhadap lima jenis bahaya, yaitu: (1) kelangkaan air baik dari segi kuantitas maupun
kualitas (2) banjir (3) erosi dan sedimentasi, (4) tanah longsor, dan (5) intrusi air laut.


3. VISI, PERMASALAHAN DAN TANTANGAN PENGELOLAAN SDA

Kebijakan nasional menetapkan visi pengelolaan SDA sebagai berikut: “terwujudnya
SDA yang terkelola secara adil, menyeluruh, terpadu, dan berwawasan
lingkungan untuk kesejahteraan masyarakat”. Rumusan visi tersebut dinspirasi oleh
amanat yang terkandung di dalam Pasal 3 UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air.
Menyeluruh, berarti mencakup semua bidang pengelolaan yang meliputi konservasi,
pendayagunaan SDA, dan pengendalian daya rusak air, serta mencakup seluruh
tahapan pengelolaan yaitu: perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan
evaluasi. Terpadu, berarti pengelolaannya melibatkan semua pemilik kepentingan baik
antarsektor maupun antarwilayah administrasi. Berwawasan lingkungan hidup,
maksudnya memperhatikan keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan.
Berkelanjutan, maksudnya tidak hanya ditujukan untuk kepentingan generasi sekarang
tetapi juga termasuk untuk generasi yang akan datang.
Keberhasilan pencapaian visi tersebut harus terukur secara periodik tahunan melalui
tiga kriteria sebagai berikut:
1) Efisiensi ekonomi. Didepan mata, permintaan jasa pelayanan air kian
meningkat, sementara itu
di berbagai tempat terjadi kelangkaan atau

keterbatasan air bersih dan sumber daya finansial. Dalam situasi seperti itu,
efisiensi ekonomi dalam pendayagunaan SDA harus menjadi perhatian.
2) Keadilan. Air adalah salah satu kebutuhan dasar yang mutlak diperlukan oleh
setiap orang, karena itu akses untuk memperoleh air yang bersih perlu
diupayakan bagi setiap orang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup yang
sehat dan produktif.
3) Keberlanjutan fungsi lingkungan hidup. Pendayagunaan SDA tidak hanya
mengejar kepentingan ekonomi jangka pendek, tetapi harus memperhatikan
kepentingan generasi yang akan datang, karena itu setiap upaya
pendayagunaan harus diimbangi dengan upaya konservasi yang memadai.
Berdasarkan pengamatan sistemik terhadap realita yang terjadi, dapatlah disimpulkan
beberapa permasalahan generik sebagai berikut:
a. Dampak pertambahan jumlah penduduk
Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2005 mencapai 219 juta orang. Publikasi
BPS pada bulan Agustus 2010 menyatakan bahwa jumlah penduduk Indonesia
menjadi 237,6 juta orang, Pertumbuhan ini tidak diikuti dengan sebaran yang
merata, baik antarpropinsi maupun antarpulau. Berdasarkan Sensus
Kependudukan tahun 2010, 58% penduduk bermukim di Pulau Jawa dan Bali yang
hanya memiliki luas 7% dari luas daratan di Indonesia. Sementara itu, Maluku dan
Papua yang memiliki 25% luas wilayah Indonesia hanya dihuni oleh 3% dari jumlah

penduduk yang ada.
Dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49% per tahun, jumlah penduduk
Indonesia diperkirakan akan melampaui angka 280 juta dalam tahun 2020.
Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah tiga provinsi yang
terbanyak penduduknya. Sedangkan Provinsi Sumatera Utara merupakan wilayah

yang terbanyak penduduknya di luar P.Jawa yaitu 12,98 juta orang. Rata-rata
tingkat kepadatan penduduk Indonesia memang masih terasa longgar yaitu 124
orang per km2, tetapi distribusinya per provinsi sangatlah kontras. Provinsi DKI
Jakarta menempati urutan provinsi terpadat yaitu sebesar 14.440 orang per km2.
Sementara itu kepadatan penduduk di Prov. Papua Barat hanya sebesar 8 orang
per km2.
Dengan laju urbanisasi sebesar 5% per tahun, yang terutama dialami oleh kotakota besar di Pulau Jawa, penduduk perkotaan akan meningkat menjadi 52% pada
tahun 2020 dibandingkan dengan 38% pada tahun 1995.
Jumlah dan tingkat kepadatan penduduk ini mempunyai korelasi yang sangat erat
dengan permasalahan laju alih fungsi lahan, pencemaran air, dan tingkat
kerentanan kawasan terhadap bahaya yang berkaitan dengan air (krisis air, banjir,
tanah longsor, pencemaran sumber-sumber air, dan intrusi air laut). Begitu pula laju
urbanisasi akan sangat membebani pengelolaan SDA, terutama yang berkaitan
dengan penyediaan air baku, sanitasi dan drainasi.

b. Alih fungsi lahan
Peran Pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan dan kegiatan ekonomi, telah
mendorong pertumbuhan kota-kota di pulau ini. Pertumbuhan penduduk terutama
di daerah perkotaan, pada akhirnya berdampak pada berbagai permasalahan SDA
di Pulau Jawa.
Sampai saat ini P.Jawa juga berfungsi sebagai lumbung beras nasional, karena
49% luas sawah beririgasi terletak di sini. Alih fungsi lahan di Pulau Jawa dan Bali
hingga saat ini masih berjalan terus dengan intensitas yang wajib diwaspadai.
Sawah-sawah beririgasi teknis dan lahan pertanian produktif lainnya banyak beralih
fungsi menjadi kawasan permukiman, perkotaan, kawasan industria, serta untuk
tapak pembangunan infrastruktur transportasi. Hal ini berdampak pada kemampuan
pulau ini dalam menyimpan air yang berlimpah di musim hujan agar tidak terjadi
defisit air di musim kemarau. Selain itu, alih fungsi lahan di P.Jawa juga
menimbulkan pergeseran terhadap berbagai jenis penggunaan air, yaitu
berkurangnya kebutuhan air irigasi dan meningkatnya kebutuhan air rumah tangga,
perkotaan dan industri. Disamping terjadi pergeseran jenis kebutuhan air, terjadi
pula perubahan kualitas air, yaitu semakin tingginya tingkat pencemaran air yang
berdampak pada keberlanjutan dalam pemenuhan kebutuhan air bersih. Akibatnya,
banyak kota dan industri yang menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan
air bersih mereka, sementara kemampuan peresapan air semakin berkurang.

Penggunaan air tanah secara berlebihan berdampak pada masalah lingkungan
berupa penurunan muka air tanah, berkurangnya resapan air, dan penurunan
permukaan tanah yang mengakibatkan semakin meluasnya daerah rawan banjir di
musim penghujan.
Alih fungsi lahan tidak hanya berlangsung di P.Jawa, tetapi juga terjadi di beberapa
pulau di luar Jawa. Alih fungsi lahan di P.Sumatra dan Kalimantan pada umumnya
terjadi di kawasan hutan dan lahan pertanian yang berubah fungsi sebagai
kawasan perkebunan sawit, dan kawasan pertambangan. Hal ini akan menjadi

ancaman bagi kelangsungan sistem penyediaan pangan nasional, degradasi
sungai dan danau karena pendangkalan dan pencemaran air, bahkan juga
menimbulkan kenaikan tingkat kerentanan kawasan terhadap bahaya banjir
terutama bagi kawasan perkotaan yang daerah tankapan airnya terdapat kegiatan
pertambangan.
Begitu pula yang terjadi di pulau lain seperti Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara
Barat, Maluku, dan Papua. Perkembangan kegiatan pertambangan di pulau- pulau
ini berpotensi besar terhadap pencemaran SDA, aliran banjir, dan pendangkalan
sungai dan danau.
c. Kondisi lahan pertanian dan kawasan hutan di setiap DAS
Tingkat kekritisan kawasan hutan dan lahan pertanian di setiap DAS sangat

berpengaruh terhadap distribusi aliran permukaan bulanan. Berbagai program dan
gerakan rehabilitasi hutan dan lahan di DAS kritis ternyata belum mampu
mengimbangi laju kerusakan hutan dan lahan. Hal tersebut mengakibatkan
rendahnya kemampuan DAS dalam menyimpan air di musim kemarau, sehingga
frekuensi kejadian banjir bandang dan tanah longsor kian meningkat, begitu juga
waduk dan sungai banyak yang mengalami pendangkalan karena sedimentasi, dan
sumber-sumber air cepat mengering walaupun hanya dalam hitungan dua atau tiga
bulan tidak turun hujan.
Lahan kritis kritis yang pada tahun 1984 hanya sebanyak 22 DAS, secara dramatis
meningkat menjadi 39 DAS pada tahun 1992, dan meningkat lagi pada tahun 1998
menjadi 62 DAS kritis yang memerlukan penanganan super prioritas. Sampai
sekarang belum ada satu pun DAS kritis yang bisa dikeluarkan dari daftar DAS
kritis. Sementara itu DAS-DAS lain yang tadinya tidak tergolong kritis datang
berduyun-duyun menambah panjang deretan daftar DAS kritis. Hal ini tentu saja
akan semakin memperberat beban tugas pengelolaan SDA.
d. Ketersediaan infrastruktur pengelolaan sumber daya air
Kondisi infrastruktur
di Indonesia saat ini masih ditandai oleh rendahnya
aksesibilitas, kualitas, ataupun cakupan pelayanan. Akibatnya, sarana dan
prasarana yang ada belum sepenuhnya dapat menjadi tulang punggung bagi

pembangunan sektor riil termasuk dalam rangka mendukung kebijakan ketahanan
pangan di daerah, mendorong sektor produksi, serta mendukung pengembangan
wilayah.
Berdasarkan publikasi yang diterbitkan oleh Ditjen. Cipta Karya, jumlah penduduk
(perkotaan dan pedesaan) yang mendapatkan akses pelayanan air minum pada
tahun 2009 belum ada satu pun provinsi yang telah mencapai target MDG yaitu
67,7%. Sedangkan secara nasional baru tercapai 47,6%. Selain itu pencapaian
layanan air minum perpipaan di kawasan perkotaan, meskipun sudah ada tiga
provinsi (Bali, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan) yang telah melampaui
target MDG tetapi secara nasional baru tercapai 35,03%. Program peningkatan
sistem penyediaan air minum di berbagai kota pada umumnya hingga saat ini
masih terkendala oleh ketersediaan air baku pada sumber airnya. Banyak

masyarakat miskin di kawasan rawan air masih harus berjuang menyisihkan jam
produktifnya guna mendapatkan air bersih.
Terbatasnya akses pemenuhan kebutuhan air dan sanitasi mengakibatkan
pengambilan air tanah semakin tak terkendali hingga melampaui “safe yield” nya.
Pada tahun 2004 tercatat bahwa prosentase rumah tangga yang menggunakan air
tanah berada di atas angka 73%. Pengambilan air tanah yang tak terkendali, selain
menjadi sumber penyebab intrusi air asin juga menjadi sumber penyebab terjadinya

amblesan tanah secara permanen. Akibatnya, semakin banyak kawasan perkotaan
yang menjadi kawasan rawan banjir, seperti kota Jakarta dan Semarang.
Pengembangan prasarana penampung air, seperti waduk, embung, danau, dan situ,
masih belum memadai, sehingga belum dapat memenuhi penyediaan air untuk
berbagai kebutuhan, baik pertanian, rumah tangga, perkotaan, maupun industri
terutama pada musim kering yang cenderung semakin panjang di beberapa wilayah.
Daerah irigasi yang penyediaan airnya lebih terjamin airnya melalui waduk, baru
sekitar 12 % dari total luas daerah irigasi, sedangkan 88% daerah irigasi lainnya
dilayani dengan bendung tanpa penampungan sehingga kecukupan airnya sangat
tergantung adanya air di sungai.
Selain itu, laju pengembangan sarana dan prasarana pengendali daya rusak air juga
masih belum mampu mengimbangi laju degradasi lingkungan penyebab banjir
sehingga bahaya banjir masih menjadi ancaman bagi banyak wilayah.
e. Peningkatan eksploitasi air tanah
Fenomena ini banyak terjadi di kawasan permukiman dan perkotaan terutama di
kota-kota besar di Indonesia, dikarenakan sebagai ketersediaan air permukaan
yang menipis ataupun karena tidak memenuhi persyaratan kualitas. Eksploitasi air
tanah yang melebihi kapasitas pengisiannya akan dapat menimbulkan penurunan
atau amblesan permukaan tanah sehingga menambah tingkat kerentanan terhadap
banjir. Aktivitas pengambilan air di daerah sepanjang pesisir pantai menimbulkan
intrusi air laut ke daratan sehingga mencemari air di sumur dan sungai.
f. Sengketa penggunaan air
Sengketa dalam penggunaan air tidak hanya terjadi diantara para petani pemakai
air irigasi, tetapi juga terjadi antara petani pengguna air irigasi dengan perusahaan
air minum. Bahkan terjadi juga antara Kabupaten dengan pemerintah kota, dan
antara daerah hulu dan daerah hilir. Ini semua terjadi karena kelangkaan air
terutama di musim kemarau, serta tidak jelasnya sistem alokasi pembagian air dan
pengaturan pembagian hak dan kewajiban antarwilayah di dalam satu sistem
pengelolaan SDA.
g. Keterbatasan peran masyarakat & dunia usaha
Berbagai inisiatif masyarakat maupun dunia dalam pengelolaan SDA, hingga saat
ini nampaknya kurang begitu memperoleh perhatian pemerintah. Berbagai pola
inisiatif masyarakat yang tumbuh secara swadaya tidak hanya berhubungan
dengan pendayagunaan SDA saja, tetapi banyak juga yang bernilai positif terhadap
tujuan konservasi SDA, seperti: pemeliharaan hutan dan kawasan mata air ataupun

daerah resapan air, serta kegiatan bersih sampah di sungai. Demikian juga dari
kalangan dunia usaha terdapat berbagai inisiatif yang berkaitan dengan
pemanfaatan dana CSR (Company Social Responsibility) untuk membiayai
pelaksanaan kegiatan konservasi SDA.

h. Tumpah tindih fungsi lembaga pengelola
Pengelolaan SDA mencakup kepentingan lintas sektor dan lintas wilayah.
Keterpaduan tindak antarkepentingan baik pemerintah maupun non-pemerintah
sangat diperlukan untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air dan
sumber-sumber air. Sejauh ini masih banyak terjadi tumpang tindih peran
antarlembaga pemerintah baik antara instansi di tingkat pusat maupun antara pusat
dan daerah. Tumpang tindih terjadi tidak hanya dalam pelaksanaan kewenangan
tetapi juga terjadi di dalam penyusunan program dan anggaran sehingga terjadi inefisiensi dalam penggunaan sumber daya keuangan yang ada.
i.

Keterbatasan data dan informasi sumber daya air
Jaringan pemantauan kondisi hidrologi yang seharusnya menjadi sarana penyedia
informasi penting tentang ketersediaan dan kondisi air baik untuk keperluan
perencanaan dan pengeloaan SDA, nampaknya juga belum memperoleh perhatian
yang cukup memadai baik dari segi kerapatan jumlah stasiun pemantaunya maupun
jenis jaringannya, organisasi dan personilnya, dan kesinambungan sumber
pendanaannya. Keterbatasan dan ketidak akuratan data dan informasi SDA juga
disebabkan karena belum terbangunnya jejaring antarpara pengamat hidrologi yang
ada di berbagai instansi.

Selain permasalahan tersebut diatas terdapat pula beberapa tantangan sebagai berikut:
1) Negara kepulauan yang beriklim tropis
Rerata ketersediaan potensial air tawar di daratan Indonesia kurang lebih sebesar
15.000 m3/kapita/tahun. Angka tersebut kelihatannya sangat besar, yaitu hampir 25
kali lipat dari rata-rata ketersediaan potensial air per kapita dunia yang besarnya 600
m3/kapita/tahun.
Sebagai negara kepulauan beriklim tropis, sebaran curah hujan di Indonesia sangat
variatif. Ada pulau-pulau yang curah hujannya kurang dari 800 mm/tahun, dan ada
pula pulau yang curah hujannya sampai dengan 4000 mm/tahun. Distribusi hujan
pada setiap tahun pun hanya terkonsentrasi selama kurang lebih lima bulan
(November s/d Maret) sehingga banjir sangat berpotensi terjadi pada bulan-bulan
tersebut, sedangkan pada tujuh bulan berikutnya curah hujan amat kecil dan jarang
sehingga mengalami kelangkaan air.
Karena kebutuhan manusia terhadap air tidak akan pernah berkurang bahkan
mengalami peningkatan, maka kekeringan dengan berbagai dampak kerugian yang
ditimbulkannya sangat berpotensi terjadi selama musim kemarau, jikalau
pengelolaan SDA tidak berjalan efektif.

2) Keterikatan Indonesia dalam Millenium Development Goal (MDG)
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional terikat pada kesepakatan
MDG dan Johannesburg Summit 2002 yang antara lain mentargetkan jumlah
penduduk yang belum memperoleh layanan air bersi dan sanitasi pada tahun 2000,
berkurang hingga separuhnya pada tahun 2015.
Sementara itu, tingkat layanan terhadap kebutuhan air bersih dan sanitasi pada saat
ini masih rendah, terutama bagi masyarakat yang tinggal di kawasan kumuh
perkotaan, perdesaan, pulau-pulau kecil dan kawasan pantai, merupakan tantangan
dalam pemenuhannya.
3) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Ilmu pengetahuan dan teknologi pengelolaan SDA yang terus berkembang di
Negara lain merupakan tantangan bagi Indonesia agar tidak mengalami
ketertinggalan. Penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan penerapan
teknologi serta peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia sangat
diperlukan agar Indonesia lebih mampu dan mandiri dalam pengelolaan SDA.
Kerjasama antarnegara mengenai pengetahuan dan pengalaman pengelolaan SDA
perlu ditumbuh-kembangkan, mengingat bahwa di Indonesia terdapat beberapa
wilayah sungai lintas batas dengan Negara lain, yaitu di Kalimantan Timur, NTT, dan
Papua.
4) Dampak perubahan iklim global
Perubahan iklim global yang dampaknya mulai terasa di beberapa pulau dalam
bentuk musim hujan yang semakin pendek dengan puncak curah hujan yang lebih
tinggi, dan musim kemarau yang semakin panjang terutama di selatan ekuator, akan
memperbesar tingkat kerentanan kawasan terhadap bencana banjir dan kekeringan.
Perubahan iklim global dan variasi cuaca, selama ini dipandang oleh kebanyakan
orang hanya sebagai tantangan yang mengerikan. Akan lebih bijak lagi kalau kita
bisa menempatkan fenomena tersebut selain sebagai tantangan yang perlu
diantisipasi juga menjadi peluang dengan cara memanfaatkan sisi-sisi positifnya
melalui berbagai program dan upaya yang bersifat adaptasi. Yang terpenting bagi
kita adalah bagaimana menyikapi fenomena tersebut agar kita tetap bisa survive
dan sekaligus memetik kemanfaatannya.

4.

POKOK POKOK KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN SDA
Visi pengelolaan SDA sebagaimana tersebut dalam bab 3, diwujudkan kedalam
pelaksanaan lima misi sebagai berikut:
1) Meningkatkan konservasi SDA secara terus menerus
2) Mendayagunakan SDA untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat
3) Mengurangi resiko kerugian yang timbul akibat daya rusak air
4) Meningkatkan peran masyarakat, dunia usaha dalam pengelolaan SDA

5) Membangun jaringan sistem informasi SDA nasional yang terpadu
antarsektor dan antarwilayah.
Dengan memperhatikan tujuh asas pengelolaan SDA sebagaimana tercantum
dalam Pasal 2 UU No.7 Tahun 2004 (kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan
umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan
akuntabilitas), maka beberapa kebijakan berikut diharapkan dapat menjadi solusi
permasalahan sebagaimana diungkapkan pada bab 3.
1) Peningkatan Koordinasi dan Keterpaduan Pengelolaan Sumber Daya Air.
Ditempuh melalui strategi, antara lain sebagai berikut:





membentuk dewan SDA provinsi selambat-lambatnya pada akhir tahun
2011, dan meningkatkan efektivitas fungsi dan perannya dalam rangka
mengoptimalkan sinergi dan keselarasan program antarsektor,
antarwilayah, dan antarpemilik kepentingan. (sekarang sudah terbentuk di 23
provinsi)

mengefektifkan fungsi wadah koordinasi SDA di tingkat wilayah sungai
(sekarang sudah terbentuk di 27 WS)

menyelesaikan Pola Pengelolaan SDA pada setiap WS paling lambat
pada akhir tahun 2015 sebagai acuan bagi penyusunan rencana (induk)
pengelolaan SDA. (Pola di 8 WS sudah ditetapkan, sementara itu 14 WS
sedang dalam proses penetapan)

2) Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta budaya terkait air.

Ditempuh melalui strategi, antara lain sebagai berikut:










membangkitkan dan membangun etika serta budaya masyarakat yang
menjunjung tinggi nilai dan manfaat air melalui pendidikan formal dan
nonformal.
meningkatkan kualitas dan kuantitas penelitian dan pengembangan
teknologi dalam bidang SDA serta menerapkan hasilnya.
memfasilitasi pengurusan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) bagi
penemuan ilmu pengetahuan dan inovasi teknologi terkait bidang SDA.
meningkatkan jaringan kerjasama antarlembaga pemerintah, perguruan
tinggi, lembaga penelitian internasional dalam penelitian dan
pengembangan teknologi dalam bidang SDA.
mengevaluasi keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat atas SDA
sebagai dasar untuk pengukuhannya dalam bentuk peraturan per-UU-an.

3) Peningkatan kemampuan pembiayaan pengelolaan SDA, diwujudkan dengan
strategi sebagai berikut :
 mengembangkan sistem, instrumen, dan kelembagaan pembiayaan
pengelolaan SDA, baik yang berasal dari anggaran pemerintah maupun
nonpemerintah.







meningkatkan kontribusi dunia usaha dan masyarakat dalam pengelolaan
SDA.
meningkatkan hasil penerimaan Biaya Jasa Pengelolaan (BJP) SDA dari
para penerima manfaat tertentu untuk membiayai pengelolaan SDA.
memanfaatkan hasil penerimaan BJP secara efisien, efektif, berkeadilan,
dan berkesinambungan.

4) Peningkatan pengawasan dan penegakan hukum, diwujudkan dengan

strategi sebagai berikut:




Membangun sistem pengawasan dalam pelaksanaan ketentuan
pengelolaan SDA dengan melibatkan peran masyarakat.
mempercepat pembentukan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) dalam penegakan hukum bidang SDA pada setiap WS.

5) Peningkatan upaya perlindungan dan pelestarian sumber air.

Ditempuh melalui strategi antara lain sebagai berikut:

 memelihara daerah tangkapan air dan menjaga kelangsungan fungsi
resapan air.
 meningkatkan upaya perlindungan sumber air, pengaturan daerah
sempadan sumber air, dan pengisian air pada sumber air untuk
meningkatkan ketersediaan air baku dalam rangka mendukung
pencapaian sasaran MDG.
 meningkatkan upaya pengendalian pemanfaatan sumber air, dan
pengaturan prasarana dan sarana sanitasi,

6) Peningkatan upaya pengawetan air,

Ditempuh melalui strategi antara lain sebagai berikut:



meningkatkan upaya penyimpanan air yang berlebih di musim hujan
meningkatkan upaya penghematan air serta pengendalian penggunaan
air tanah

7) Peningkatan upaya pengelolaan dan pengendalian kualitas air.

Ditempuh melalui strategi antara lain, sebagai berikut:
 menetapkan beban maksimum limbah yang boleh di buang ke sumber
dan badan air.
 membangun sistem pengelolaan limbah cair komunal atau terpusat di
kawasan permukiman, serta kawasan industri.
 mengembangkan dan menerapkan teknologi perbaikan kualitas air.
 membangun sistem pemantauan kualitas air pada sumber air dan sistem
pemantauan limbah sebelum masuk ke sumber air.

8) Peningkatan upaya penatagunaan SDA.

Ditempuh melalui strategi antara lain sebagai berikut:
 mempercepat penetapan zona pemanfaatan SDA untuk dijadikan acuan
bagi penyusunan atau perubahan rencana tata ruang wilayah dan
rencana pengelolaan SDA pada WS.
 meningkatkan kemampuan adaptasi dan mitigasi dalam mengantisipasi
dampak perubahan iklim.
9) Peningkatan upaya penyediaan air.

Ditempuh melalui strategi antara lain, sebagai berikut:
 menetapkan rencana alokasi dan hak guna air bagi pengguna air yang
sudah ada dan yang baru sesuai dengan pola dan rencana pengelolaan
SDA pada setiap WS
 mewujudkan pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari serta kebutuhan air
irigasi untuk pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang ada sebagai
prioritas utama dalam penyediaan air.
 menetapkan standar pelayanan minimal kebutuhan pokok air sehari-hari
untuk memenuhi kebutuhan air bagi setiap rumah tangga.
10) Peningkatan upaya efisiensi penggunaan SDA.

Ditempuh melalui strategi antara lain, sebagai berikut:
 mengembangkan
perangkat
kelembagaan
untuk
pengendalian
penggunaan SDA.
 meningkatkan penegakan hukum terhadap pelaku penggunaan SDA yang
berlebihan
11) Peningkatan upaya pengembangan SDA
Ditempuh melalui strategi antara lain, sbb:
 mengembangkan sistem penyediaan air baku dan penyediaan air minum
untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga, perkotaan, dan industri
dengan mengutamakan pemanfaatan air permukaan;
 mengembangkan sistem penyediaan penyediaan air minum dalam rangka
peningkatan layanan penyediaan air minum untuk peningkatan derajat
kesehatan masyarakat sekurang-kurangnya mencapai 78% layanan di
perkotaan dan 62% layanan di perdesaan pada tahun 2015;
 meningkatkan pengembangan SDA untuk mendukung pengembangan
daerah irigasi dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan produksi
nasional;
 mengembangkan fungsi sungai, danau dan rawa untuk keperluan
transportasi air dan pembangkit listrik tenaga air pada wilayah yang
kebutuhan listriknya belum terpenuhi;
 menyediakan insentif bagi usaha swadaya masyarakat dalam
pengembangan infrastruktur pembangkit listrik mikrohidro, dan
pengembangan teknologi pemenuhan kebutuhan air bersih dari sumber
air permukaan; dan



menerapkan teknologi modifikasi cuaca untuk mengantisipasi kondisi
iklim/cuaca yang luar biasa.

12) Pengendalian kegiatan pengusahaan SDA,
Ditempuh melalui strategi antara lain, sbb:








mengatur pengusahaan SDA berdasarkan prinsip keselarasan antara
kepentingan sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi dengan tetap
memperhatikan asas keadilan dan kelestarian.
menyusun dan menerapkan norma, standar, pedoman, dan kriteria
(NSPK) pengusahaan SDA yang mengutamakan kepentingan masyarakat
dan memperhatikan kearifan lokal.
meningkatkan peran serta perseorangan, badan usaha, dan lembaga
swadaya masyarakat dalam pengusahaan SDA berdasarkan izin
pengusahaan;
menyusun peraturan perundang-undangan untuk mengendalikan
penambangan bahan galian pada sumber air guna menjaga kelestarian
SDA dan lingkungan sekitar paling lambat pada tahun 2012
mengembangkan dan menerapkan sistem pemantauan dan pengawasan
terhadap pengusahaan SDA.

13) Peningkatan upaya pencegahan akibat daya rusak air,
Ditempuh melalui strategi antara lain, sbb:













memetakan dan menetapkan kawasan rawan bencana terkait air sebagai
acuan dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah dan pengendalian
pemanfaatan ruang pada setiap WS;
mengintegrasikan perencanaan, pembangunan, dan pengelolaan
drainase kawasan produktif, drainase jalan,
meningkatkan kemampuan adaptasi masyarakat yang tinggal di kawasan
rawan banjir dan kekeringan;
meningkatkan kesiap-siagaan masyarakat dalam menghadapi dampak
perubahan iklim global dan daya rusak air;
memprakarsai pembentukan pola kerjasama yang efektif antara kawasan
hulu dan kawasan hilir dalam pengendalian daya rusak air;
mempertahankan kawasan yang memiliki fungsi retensi banjir sebagai
prasarana pengendali banjir oleh para pemilik kepentingan;












meningkatkan dan menjaga kelestarian fungsi hutan oleh para pemilik
kepentingan;
meningkatkan ketertiban penggunaan sempadan sungai;
meningkatkan penyebarluasan informasi mengenai kawasan retensi banjir
dan kawasan rawan bencana yang terkait air;
mengurangi aliran permukaan (runoff) oleh para pemilik kepentingan;
meningkatkan kapasitas alir sungai dan saluran air oleh para pemilik
kepentingan;
mengintegrasikan perencanaan, pembangunan dan pengelolaan drainase
kawasan produktif, drainase perkotaan, drainase jalan, dan sungai ke
dalam sistem pengendalian banjir; dan
menyediakan prasarana pengendalian banjir untuk melindungi prasarana
umum, kawasan permukiman, dan kawasan produktif.

14) Peningkatan upaya penanggulangan kerusakan akibat daya rusak air,
Ditempuh melalui strategi antara lain, sbb:
 menetapkan, melaksanakan mekanisme penanggulangan kerusakan
dan/atau bencana akibat daya rusak air;
 melaksanakan sosialisasi mengenai mekanisme penanggulangan
kerusakan atau bencana akibat daya rusak air.
 mengembangkan sistem prakiraaan dan peringatan dini untuk mengurangi
dampak daya rusak air;
 meningkatkan
pengetahuan,
kesiap-siagaan,
dan
kemampuan
masyarakat dalam menghadapi banjir
 memperbaiki sistem dan meningkatkan kinerja penanggulangan bencana
akibat daya rusak air;
 menyusun sistem penganggaran yang kondusif dengan kondisi darurat
untuk mewujudkan respon cepat penanggulangan daya rusak air.
15) Peningkatan upaya pemulihan/rehabilitasi kerusakan akibat daya rusak air,
Ditempuh melalui strategi antara lain, sbb:
 merehabilitasi dan merekonstruksi kerusakan prasarana dan memulihkan fungsi
lingkungan hidup dengan mengalokasikan dana yang cukup dalam APBN/APBD,
dan sumber dana lainnya;
 mengembangkan peranserta masyarakat dan dunia usaha dalam kegiatan yang
terkoordinasi untuk pemulihan akibat bencana daya rusak air; dan



memulihkan dampak sosial dan psikologis akibat bencana terkait air oleh
para pemilik kepentingan.

16) Peningkatan peran masyarakat dan dunia usaha dalam perencanaan,
Ditempuh melalui strategi antara lain, sbb:




meningkatkan pemahaman serta kepedulian masyarakat dan dunia usaha
mengenai pentingnya keselarasan fungsi sosial, lingkungan hidup, dan
ekonomi SDA
meningkatkan pendidikan dan pelatihan, serta pendampingan kepada
masyarakat agar mampu berperan dalam perencanaan pengelolaan SDA;
dan

17) Peningkatan peran masyarakat dan dunia usaha dalam pelaksanaan,
Ditempuh melalui strategi antara lain, sbb:
 menyiapkan instrumen kebijakan dan/atau peraturan yang kondusif bagi
masyarakat dan dunia usaha untuk berperan dalam pelaksanaan
pengelolaan SDA;
 membuka kesempatan kepada masyarakat dan dunia usaha untuk
menyampaikan masukan dalam pelaksanaan pengelolaan SDA.
 mengikutsertakan masyarakat dan dunia usaha untuk berkontribusi dalam
pembiayaan pelaksanaan pengelolaan SDA;




meningkatkan motivasi masyarakat dan dunia usaha untuk berperan dalam
konservasi SDA dan pengendalian daya rusak air dengan cara memberikan
insentif kepada yang telah berprestasi; dan
meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan, serta
pendampingan dalam pelaksanaan pengelolaan SDA.

18) Peningkatan peran masyarakat dan dunia usaha dalam pengawasan.
Ditempuh melalui strategi antara lain, sbb:
 membuka kesempatan kepada masyarakat dan dunia usaha untuk
berperan dalam penyampaian laporan pengaduan.
 menetapkan prosedur penyampaian laporan pengaduan dari masyarakat
dan dunia usaha.
 menindaklanjuti laporan pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat
dan dunia usaha.
19) Peningkatan kelembagaan dan SDM pengelola sistem informasi SDA.
Ditempuh melalui strategi antara lain, sbb:
 menata ulang pengaturan dan pembagian tugas di berbagai instansi
pengelola data dan informasi SDA paling lambat 2012.
 meningkatkan ketersediaan dana untuk membentuk dan/atau
mengembangkan sistem informasi SDA.
 meningkatkan pengetahuan dan kemampuan sumber daya manusia
dalam lembaga pengelola informasi SDA.
20) Pengembangan jaringan sistem informasi SDA yang terpadu.
Ditempuh melalui strategi antara lain, sbb:





membangun jejaring SISDA antara instansi dan lembaga pusat dan
daerah serta antarsektor dan antarwilayah.
meningkatkan kerjasama dengan masyarakat dan dunia usaha dalam
pengelolaan sistem informasi SDA

21) Pengembangan teknologi informasi SDA
Ditempuh melalui strategi antara lain, sbb:






mengembangkan SISDA berbasis teknologi informasi hasil rancang
bangun nasional;
meningkatkan ketersediaan perangkat keras, perangkat lunak dalam
SISDA, serta memfasilitasi pengoperasiannya; dan
menyediakan kemudahan akses data dan informasi SDA yang diperlukan
para pemilik kepentingan.

5. TINDAK LANJUT PELAKSANAAN KEBIJAKAN
Semua kalimat yang tercantum di dalam dokumen kebijakan nasional pada dasarnya
merupakan ekspresi niat dan harapan para penyusunnya, yaitu para anggota Dewan
SDA Nasional.
Niat atau tekad yang sudah tertuang di dalam butir butir kebijakan dan strategi
pengelolaan SDA, sesungguhnya baru merupakan langkah awal mewujudkan mimpi
sumber air yang terkelola secara menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan
untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sejuta niat atau slogan tak akan mampu kondisi SDA menjadi lebih baik, jika tidak
diwujudkan dalam bentuk perbuatan atau tindakan nyata. Secara gayung bersambut
Para penyusun Kebijakan Nasional, sekarang ini telah merampungkan rumusan
tindakan nyata yang telah dan akan dilakukan oleh tiap tiap anggota sesuai dengan
fungsi ataupun kompetensi lembaga yang diwakilinya kedalam sebuah dokumen yang
dinamai "Matriks Tindak Lanjut Pelaksanaan Kebijakan Nasional Pengelolaan SDA".
Secara periodik tahunan, matriks ini akan dipergunakan sebagai acuan di dalam
melaksanakan pemantauan dan evaluasi bersama untuk menilai tingkat keberhasilan
dan kegagalan pelaksanaannya, dan sekaligus menelusuri penyebab kegagalan serta
menjadi sumber informasi dalam merancang langkah koreksi menuju keberhasilan yang
lebih maksimal.

6. KESIMPULAN
Dari uraian seperti tersebut diatas, disampaikan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1) Beban pengelolaan SDA akan bertambah berat jika pertumbuhan jumlah
penduduk tidak terkendali. Karena itu pengendalian jumlah penduduk perlu
menjadi perhatian agar tingkat kerentanan kawasan terhadap lima jenis bahaya
terkait air dapat diminimalkan.
2) Kebijakan Nasional Pengelolaan SDA merupakan arahan strategis pengelolaan
SDA dalam jangka waktu 2010–2030. Kementerian dan lembaga terkait
menindak-lanjuti dalam dokumen rencana strategis di bidang tugas masingmasing sebagai bagian dari RPJM Nasional.
3) Kebijakan pengelolaan SDA di tingkat provinsi perlu segera disusun mengacu
pada Kebijakan Nasional Pengelolaan SDA dengan menyesuaikan kondisi dan
permasalahan setempat. Kebijakan pengelolaan SDA di tingkat kabupaten/kota
disusun dengan mengacu kepada kebijakan pengelolaan SDA di tingkat provinsi.
4) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pengelolaan SDA perlu
dilakukan secara periodik tahunan untuk menilai keberhasilan dan kegagalan
pencapaian tujuan, menelusuri penyebab kegagalan dan sekaligus menjadi
umpan balik untuk merumuskan langkah koreksi menuju keberhasilan yang
maksimal.