Lanskap dan Estetika Harimau Tjampa

Lanskap dan Estetika Harimau Tjampa1
Mohamad Ariansah

Perubahan Nusantara sebagai wilayah kepulauan dengan gugusan pulau yang dikuasai
oleh kerajaan-kerajaan, menjadi sebuah negara bangsa bernama Indonesia yang dipimpin
seorang presiden menghasilkan sebuah implikasi terkait persoalan identitas. Bila sebelumnya
identitas seseorang yang tinggal di wilayah Nusantara merupakan hasil konstruksi budaya dan
kesukuan, lantas muncul konsep baru dari identitas bersama sebagai orang Indonesia. Tetapi
sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945 sampai 1949, rakyat Indonesia nyaris memusatkan
seluruh perhatian menghadapi usaha Belanda yang ingin kembali melakukan penjajahan.
Karena itulah proses integrasi masyarakat di Nusantara menjadi Indonesia sedikit tertunda,
sehingga periode awal 1950-an merupakan masa paling krusial bagi pembentukan identitas
nasional dalam sejarah Indonesia.

Harimau Tjampa adalah sebuah film karya Djadoeg Djajakusuma yang lahir empat
tahun setelah berakhirnya revolusi fisik di Indonesia sebagai akibat dari agresi militer Belanda
kedua, dan dua tahun sebelum berlangsungnya konferesi Bandung yang mempertemukan
negara-negara Asia-Afrika untuk membahas kondisi global pasca-perang dunia kedua yang
melahirkan konflik perang dingin antara Amerika Serikat dengan Uni-Soviet.

Film yang diproduksi tahun 1953 ini menempati salah satu posisi kunci dalam

perjalanan sejarah sinema Indonesia bersama dengan karya-karya penting lainnya dari Usmar
Ismail dan Nya Abbas Akup, khususnya dalam hal penawaran estetis pada periode awal
perkembangan perfilman nasional Indonesia. Usmar Ismail berusaha mengangkat dilema yang
dihadapi individu di tengah krisis revolusi fisik dengan nilai-nilai kemanusiaan universal
melalui kecenderungan gaya realis dalam The Long March (Darah dan Doa) (1950), Enam
Djam di Djogja (1951), dan Lewat Djam Malam (1954). Lalu, Nya Abbas Akup yang berusaha
melakukan kritik sosial terhadap kondisi masyarakat pasca-revolusi dengan nuansa komedi
situasi yang khas melalui Heboh (1954) dan Tiga Buronan (1957). Sedangkan Djadoeg
Djajakusuma memberikan penawaran gaya yang lebih eklektik dan mengangkat nilai-nilai

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
1

 Tulisan
 ini
 dimuat
 dalam
 buku
 D.
 Djajakusuma:
 Memandang
 Film
 &
 Seni
 Tradisi.
 Ario
 Sasongko

 dan
 
Marselli
 Sumarno
 (Penyunting).
 2018.
 Hal
 154-­‐171.
 IKJ
 Press:
 Jakarta.
 
 
 

 

1
 


tradisional seperti dalam Tjambuk Api (1958), Lahirnja Gatotkatja (1960), dan juga Harimau
Tjampa.

Selain berusaha menawarkan berbagai kemungkinan estetis, para pembuat film yang
aktif di awal dekade 1950-an berada di garda depan proses integrasi dan pembentukan identitas
Indonesia pasca revolusi fisik dengan dirintisnya konsep sinema nasional dalam The Long
March (Darah dan Doa). Diskursus identitas nasional dalam perkembangan awal sinema
Indonesia berusaha direspons oleh Usmar Ismail dengan menawarkan sebuah konsep identitas
baru, di mana semua orang dapat menghayati konstruksinya melalui narasi historis yang sama
sebagai korban penjajahan dan berusaha untuk mengusir Belanda dari Nusantara. Meski
persoalan eksistensial yang menghasilkan keraguan terhadap esensi revolusi fisik kerap
dipertanyakan oleh karakter-karakter dalam film Usmar Ismail.

Sementara

Djadoeg

Djajakusuma

melihat


bahwa

identitas

nasional

harus

mempertimbangkan berbagai aspek eksternal lain di luar persoalan internal individu sebagai
konsekuensi dari nilai kemanusian yang bersifat universal, seperti halnya kultur serta kesukuan
yang sebelumnya dihayati sebagai sebuah identitas sebelum konsep negara bangsa lahir dan
menjadi identitas nasional yang melingkupi berbagai keragaman di Nusantara. Bagi
Djajakusuma konstruksi identitas nasional Indonesia hanya dimungkinkan melalui pemahaman
terhadap keragaman tradisi, dan cara masyarakat menghayati kehidupan di berbagai wilayah
Nusantara secara khas berdasarkan konstruksi kulturalnya masing-masing. Untuk itulah, ia
mulai merintis proyek konstruksi identitas nasional Indonesia dengan menggali berbagai
kekayaan tradisi Nusantara melalui film-filmnya sejak Harimau Tjampa di periode awal 1950an. Saat kebutuhan terhadap pembentukan identitas nasional Indonesia semakin mendesak
untuk proses integrasi, terutama menghadapi eskalasi konflik global di tengah persaingan
ideologi dua negara adidaya pemenang perang dunia kedua.


Selain persoalan identitas, proklamasi kemerdekaan juga memberikan implikasi lain
terhadap perubahan ruang secara geografis yang sebelumnya dihayati oleh berbagai
masyarakat Nusantara. Ruang sebagai hasil konstruksi budaya yang memiliki batas dan
dipahami secara khas oleh tradisi tertentu, kemudian harus berubah dan berintegrasi ke dalam
negara bangsa seperti Indonesia.

Harimau Tjampa adalah sebuah film yang menampilkan ruang tertentu, melalui setting

 

2
 

khas dan iringan musik yang identik dengan latar budaya Minangkabau. Dominasi
pemandangan alam dalam film ini dapat menjadi pintu masuk untuk memahami ruang yang
dibangun berdasarkan tradisi kultural tertentu dan relasinya dengan masyarakat yang diwakili
oleh karakter-karakter di dalamnya, di mana pada saat yang sama secara historis maupun
faktual tengah dihadapkan dengan diskursus ruang geografis budaya Minangkabau yang
mengalami perubahan dan transisi menuju proses integrasi ke Indonesia pasca revolusi fisik

sebagai akibat lahirnya identitas nasional melalui kemunculan negara bangsa.

Harimau Tjampa tahun (1953) yang mengangkat kultur Minangkabau

Ruang atau lingkungan fisik di sekeliling karakter dalam film, pada prinsipnya terdiri
dari setting dan lanskap. Setting adalah sebuah tempat yang dikonstruksikan melalui desain
berdasarkan kebutuhan cerita, sedangkan lanskap lebih identik dengan lingkungan fisik yang
bersifat alamiah. Konsep setting umumnya dianggap sudah mewakili kedua prinsip dasar
lingkungan fisik dalam film tersebut, karena sangat sulit membuat pemisahan secara tegas antar
keduanya. Sebab lanskap alamiah yang kita lihat di layar pun biasanya sudah dipengaruhi oleh
manusia secara kultural. Kendati demikian, eksistensi lanskap sebagai sesuatu yang natural
tidak dapat dinegasikan sepenuhnya.


 

3
 

Lanskap dapat dilihat sebagai sesuatu hal yang terbebas dari intervensi budaya serta

sudah terlebih dahulu hadir sebelum manusia, namun ia tidak sepenuhnya menjadi entitas yang
benar-benar terpisah dengan individu dan masyarakat. Karena lanskap bukan hanya merupakan
sebuah ruang fisik alamiah semata dan sama sekali tidak terkait dengan manusia yang tinggal
di dalamnya, tetapi berperan penting membentuk konstruksi kultural sebuah masyarakat.
Keragaman budaya antar masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan dengan yang hidup
di gurun, atau pesisir adalah pengaruh dari karakteristik lanskapnya yang khas. Cara berpikir
dan tindak-tanduk, serta relasi sosial antar individu juga lahir karena keberadaan ruang fisik
yang bersifat natural tersebut. Dengan kata lain, lanskap membentuk identitas dan budaya
manusia yang hidup di dalamnya. Sehingga sia-sia memisahkan manusia dengan lanskap yang
terdapat di sekelilingnya. Lanskap adalah sebuah fakta yang tidak mungkin dapat dihindari
oleh manusia. Walaupun reaksi dan respons terhadap lingkungan fisik yang bersifat natural
tersebut sangat bervariasi, di mana manusia berusaha untuk memahami, mengevaluasi, dan
memaknainya berdasarkan konstruksi berbagai sudut pandang kultural dan ideologi.

Sehingga untuk menangkap dinamika sejarah Indonesia terkait diskursus identitas
nasional pasca revolusi fisik, sangat menarik untuk memahami mekanisme ruang seperti
lanskap dan strategi visualisasi untuk menggambarkannya dalam sebuah film. Melalui
beberapa kemungkinan analisis seperti penawaran estetis, dan respons pembuat film terhadap
perubahan ruang secara kultural zamannya.


Lantas bagaimana dengan visualisasi ruang melalui lanskap dalam film Harimau
Tjampa? Apakah imaji lanskap alamiah mewakili ide atau kegelisahan tertentu terhadap
konsep identitas nasional? Bagaimana pula dengan visi artistik dan personal dari Djadoeg
Djajakusuma dalam memandang proses integrasi, serta diskursus identitas nasional yang
sangat hangat pada periode awal 1950-an saat itu?

Lanskap dan Posisinya dalam Film
Film selalu memperlihatkan relasi dialektis antara karakter dengan dimensi spasial dan
temporal. Ruang atau dimensi spasial dalam film diperlihatkan secara visual melalui konstruksi
setting dan lanskap. Sedangkan dimensi temporal hadir melalui rangkaian aksi yang dilakukan
karakter untuk mencapai tujuan, serta menyelesaikan masalah hidupnya.


 

4
 

Lanskap merupakan salah satu prinsip ruang dalam film yang memiliki sejarah panjang,
serta sudah hadir saat perkembangan awal sinema dunia di akhir abad ke-19. Lumiere
bersaudara mulai merekam lingkungan di sekitar tempat tinggalnya dan kemudian berlanjut
mengabadikan berbagai tempat lain di seluruh dunia, lanskap sudah banyak terlihat di dalam
film-film mereka antara 1895 sampai 1903. Mulai dari bukit, sungai, laut, serta imaji
pemandangan alam lainnya secara visual. Namun pada perkembangan selanjutnya, imaji
lanskap tidak terlalu mendapatkan sambutan secara antusias dalam sejarah sinema karena
hegemoni pendekatan estetis dari teori film Bela Balazs, dominasi bentuk sinema Hollywood
dan praktik perfilman kontemporer yang mengakomodasi perkembangan teknologi komputer.

Ketika merekam lanskap sebagai wilayah dan bagian fisik dari dunia yang alamiah,
film memiliki karakteristiknya yang khas. Secara teknis, lanskap alamiah yang ditangkap oleh
kamera kemudian akan diperlihatkan ke layar secara visual dengan bingkai atau frame sebagai
batas imajinya. Namun meski memiliki batas, imaji yang ditampilkan di layar dapat lahir
melalui berbagai kemungkinan eksplorasi sinematografi. Jarak dan sudut pengambilan gambar
dari kamera, memungkinkan terciptanya objek dalam ukuran tertentu serta menghadirkan
kesan psikologis yang berbeda terhadap penonton. Untuk menghadirkan imaji dari lanskap
secara utuh di layar, maka dibutuhkan peletakan kamera dengan jarak yang jauh dari objek
melalui long shot.

Menurut David Desser, pandangan Bela Balazs yang memberikan penekanan terhadap
kekuatan close up sebagai komponen vital untuk memahami aspek magis dari sinema adalah
sesuatu hal yang sangat mengakar dalam tradisi estetika sinema.2 Keyakinan ini dibangun
melalui konsep karakterisasi medium yang dibangun pada periode film bisu, di mana tujuannya
mencari kemungkinan karakteristik agar sinema memiliki kemandirian. Sebab kemampuan
kamera mendekati objek membuat sinema berbeda dengan teater. Bahkan pandangan ini tetap
bertahan saat sejarah sinema mencatat sineas seperti James Williamson, George Albert Smith,
Edwin Porter, dan D.W. Griffith dianggap sebagai pelopor penting bahasa sinematik karena
menjadi orang pertama yang menggunakan close up.


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2


 Desser,
 David.
 2010.
 Cinema
 and
 Landscape.
 Graeme
 Harper
 dan
 Jonathan
 Rayner
 (eds).
 Hal
 9-­‐10.
 
Intellect:
 Bristol,
 UK.
 


 

5
 

Perhatian terhadap long shot dalam estetika sinema sedikit berkurang bila dibandingkan
dengan close up, terutama karena pengaruh pandangan Bela Balazs tersebut. Lanskap membuat
ukuran karakter sebagai elemen kunci dalam dramaturgi menjadi semakin kecil bahkan hilang
sama sekali. Sehingga berkembang kontestasi antara close up pada satu sisi yang lebih
menekankan karakter atau detail sebuah objek dalam ukuran yang besar di layar, dengan long
shot yang menegasikannya.

Setelah menyempurnakan cara bercerita dengan kemunculan teknologi suara pada
dekade 1930-an, dominasi Hollywood tetap bertahan hingga sekarang. Film-film naratif
Hollywood memperlihatkan bahwa karakter lebih dominan dibandingkan lanskap. Ruang
dalam bentuk setting dan lanskap umumnya hanya berfungsi untuk menerangkan lokasi
berlangsungnya aksi di sebuah adegan. Sehingga close up dan medium shot mendapatkan porsi
jauh lebih banyak serta dominan, bila dibandingkan dengan long shot pada sebagian besar filmfilm yang dihasilkan saat ini.

Sebagai sebuah abstraksi sangat dimungkinkan untuk melakukan pemisahan terhadap
ruang atau lingkungan fisik menjadi setting yang identik dengan konstruksi, serta lanskap yang
bersifat natural. Namun bila dikaitkan dengan permasalahan pendekatan estetis dalam medium
visual, maka persoalannya tidak sesederhana itu. Terlebih dengan penerapan teknologi
komputer grafis dalam film yang membuat batas antara konstruksi dan alamiah menjadi
semakin kabur.

Lanskap merupakan sebuah istilah ambigu yang bias dan penuh kontestasi. Kendati
dipahami sebagai sesuatu yang alamiah dan bersifat natural, tetapi secara diam-diam terdapat
faktor interpretasi manusia di dalamnya. Dalam sejarahnya, konsep lanskap identik dengan
penemuan tempat-tempat baru yang mengagumkan dan menghasilkan kesan sangat emosional
sebagai hasil perjalanan keliling dunia dari para petualang Eropa pada abad ke-17 dan 18.
Namun Lanskap tidak harus selalu merupakan hasil penemuan, karena terkadang dapat
diciptakan. Reproduksi dan kreasi artistik pun terkadang mampu menciptakan lanskap melalui
hasil imajinasi seniman dalam lukisan, foto, dan film. Terlebih lagi dengan penggunaan
teknologi digital yang mampu menghasilkan efek imaji realistis. Sehingga semakin sulit
memisahkan dan memastikan antara imaji yang merupakan hasil manipulasi digital, dengan
imaji hasil rekaman langsung terhadap lanskap alamiah yang natural. Karena teknologi
memungkinkan kedua jenis imaji dapat diciptakan tanpa terlihat perbedaan yang mendasar di

 

6
 

antara keduanya.3

Akibatnya muncul pesimisme terhadap autentisitas dari imaji yang memperlihatkan
lanskap alamiah. Sehingga lanskap dalam film sebagai sebuah bentuk isolasi terhadap karakter,
tidak lagi menghasilkan sensasi yang sama seperti halnya penemuan-penemuan tempat-tempat
baru pada abad ke-17 dan 18 dahulu. Serta posisinya menjadi sedikit tidak menarik untuk
penawaran estetis dalam bercerita. Bahkan tergantikan dengan konsep lain yang lebih
mengedepankan karakter, melalui penggunaan close up wajah seseorang di layar sebagai potret
lanskap mental dalam film-film Ingmar Bergman dan Michelangelo Antonioni.

Visualisasi Ruang dan Lanskap dalam Film Harimau Tjampa

Harimau Tjampa menceritakan kedatangan seorang pemuda bernama Lukman yang
pergi merantau mencari ayahnya yang mati terbunuh. Dalam perantauannya, pemuda itu
memutuskan belajar silat untuk membalas dendam. Awalnya ia bermaksud untuk berguru pada
Datuk Langit, namun karena diminta untuk menyerahkan tiga ekor kerbau, lalu ia membatalkan
niatnya tersebut. Hingga akhirnya Lukman memutuskan berguru pada Saleh yang berhasil
mengalahkan beberapa orang dalam sebuah perkelahian. Saleh menerima Lukman sebagai
muridnya, hanya dengan syarat tidak boleh mempergunakan keahlian tersebut untuk tujuan
yang tidak baik. Tetapi Lukman berkali-kali melanggar syarat tersebut, sampai dirinya
berkonflik dan harus masuk penjara karena perbuatannya menghilangkan nyawa anak buah
Datuk Langit tanpa sengaja. Di dalam penjara, Lukman mengetahui bahwa Datuk Langit
adalah pembunuh ayahnya. Laki-laki muda itu lalu memutuskan untuk melarikan diri dari
penjara dan membalas dendam. Dalam sebuah perkelahian ia berhasil mengalahkan Datuk
Langit. Saat hendak membunuh musuh besarnya tersebut, Lukman akhirnya berhasil
mengendalikan diri dan menyerahkan diri kepada polisi. Sedangkan Datuk Langit dilaporkan
pula sebagai orang yang membunuh ayah Lukman. Dari narasi yang didendangkan melalui
lagu, menjadi sangat jelas di bagian awal film bahwa cerita berlangsung pada masa
pemerintahan Belanda di Minangkabau.


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3


 Harper,
 Graeme
 and
 Jonathan
 Rayner.
 2010.
 Cinema
 and
 Landscape.
 Graeme
 Harper
 dan
 Jonathan
 
Rayner
 (eds).
 Hal
 16.
 Intellect:
 Bristol,
 UK.


 

 

7
 

Ruang dalam film Harimau Tjampa didominasi oleh setting yang memperlihatkan
nuansa kental budaya Minangkabau melalui Rumah Gadang dan surau. Banyak adegan dalam
film yang mengambil tempat baik di dalam maupun bagian depan Rumah Gadang. Selain surau
sebagai tempat dari Saleh untuk mengajarkan Lukman dan murid-murid lainnya menimba ilmu
agama Islam dan kepandaian bela diri seperti silat. Kedua ruang ini merupakan sesuatu hal
yang identik dengan konstruksi kultural dan sistem nilai yang dianut oleh tradisi dan budaya
Minang.

Ruang atau setting lain dengan fungsi yang berbeda dari sebelumnya adalah penjara
yang merepresentasikan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda, serta lanskap yang muncul
hanya pada saat tertentu di dalam film ketika Lukman mengalami konflik dengan karakter lain.
Khususnya persawahan dengan lanskap yang khas ketika Lukman dituduh mencuri air oleh
anak buah Datuk Langit hingga menyebabkan perkelahian. Serta sebuah lapangan dengan
lanskap perbukitan dan ngarai di kejauhan, saat Lukman melakukan perkelahian hidup dan
mati dengan Datuk Langit. Selain itu dimunculkan pula imaji lanskap di adegan paling akhir
film Harimau Tjampa tanpa terlihat kehadiran satu sosok karakter pun di dalamnya.

Baik dalam hal jumlah adegan maupun total durasi film, sangat jelas bahwa setting
lebih mendominasi dibandingkan dengan lanskap alamiah nagari sebagai sebuah unit wilayah
dalam tradisi Minangkabau. Sementara pendekatan visualisasi menghadirkan komposisi yang
umumnya membuat lanskap seperti tidak hadir, serta terkesan tidak begitu penting karena
pengaturan elemen visual membuat rumah gadang jauh mendominasi dibandingkan dengan
lanskap di sekelilingnya. Seandainya sebuah gambar didominasi oleh elemen-elemen visual
dari lanskap, biasanya terdapat satu atau beberapa orang karakter yang ditempatkan di bagian
depan imaji tersebut. Sehingga kesan dominan dari lanskap tersebut segera hilang, dan segera
tergantikan oleh kehadiran karakter-karakter dalam film tersebut.

Ketika diperlihatkan lanskap tanpa kehadiran seorang karakter pun, peletakannya di
bagian paling akhir film dan durasi yang singkat menyebabkan imaji tersebut tidak
menghasilkan kesan emosional penonton seperti yang seharusnya diberikan oleh impresi dari
gambar tersebut. Sementara penjara merupakan sebuah ruang yang dimiliki pemerintahan
kolonial Belanda, serta memiliki kekuasaan mengatur tatanan dan menjadi batas antara setting
sebagai representasi kultural dan lanskap alamiah yang bersifat natural.


 

8
 

Persentase, gaya visualisasi, dan logika jukstaposisi dalam membuat urutan gambar
pada film Harimau Tjampa, jelas memperlihatkan keberpihakan terhadap setting sebagai ruang
kultural dibandingkan dengan lanskap. Secara eksplisit lanskap terkesan bukan merupakan
elemen dramaturgi yang penting, bila dibandingkan dengan setting dan karakter-karakter di
dalamnya.

Lanskap dalam Harimau Tjampa: Sebuah Pendekatan Estetis

Lanskap menjadi sangat minim dan menghilang dalam Harimau Tjampa

Pada film naratif, pemilihan ruang dan pembingkaian yang dilakukan untuk
menampilkan setting maupun lanskap lebih didasari oleh eksistensi dari karakter. Bahkan
penonton juga akan tetap lebih memberi perhatian secara ekstra kepada karakter dan
interaksinya dibandingkan dengan setting, atau lanskap yang biasanya berperan sebagai latar
belakang. Bahkan lanskap paling spektakular yang mampu memberikan kesan emosional pun
akan memberikan kontribusi sangat kecil dibandingkan plot utama naratif filmnya. Padahal
ruang seperti lanskap dapat memberikan kontribusi berupa dimensi psikologis tertentu, dan


 

9
 

tidak hanya dapat menjadi latar belakang semata.4

Film-film seperti Ekspresionisme Jerman pada tahun 1920-an telah mampu
menampilkan setting sebagai ekspresi internal kondisi psikologis karakter-karakternya.
Bahkan sinema Swedia mampu berbuat lebih jauh lagi dengan lanskap yang berperan sebagai
karakter independen dalam beberapa adegan tertentu di film seperti Terje Vigen (1917, Victor
Sjostrom). Bahkan dalam beberapa bentuk sinema alternatif seperti film seni dan
eksperimental, lanskap sudah bertindak sebagai komponen alegoris terhadap naratif yang tidak
secara eksplisit menyampaikan konteksnya. Tetapi berperan lebih jauh menjadi lapisan makna
berikutnya yang terkait dengan kondisi sosial-politik di luar sebuah film sebagai sebuah teks
atau bahasa audio-visual.

Dalam kasus Harimau Tjampa, sekilas terlihat lanskap berada pada posisi marginal dan
hanya berperan sebagai latar dari sebuah nagari yang menerapkan tradisi dan budaya
Minangkabau. Namun pendekatan estetis terhadap lanskap dalam film ini, harus disikapi
dengan mempertimbangkan konteks zaman saat karya ini diproduksi.

Proses integrasi dan diskursus identitas nasional yang menjadi salah satu agenda utama
strategi budaya adalah sebuah persoalan maha besar dan terlalu menarik untuk diacuhkan
begitu saja oleh pembuat film sekelas Djadoeg Djajakusuma. Di mana Djajakusuma bersama
Usmar Ismail melalui film-filmnya sejak tahun 1950 mulai menjadikan persoalan jati diri dari
identitas negara bangsa menjadi tema penting, baik secara tekstual maupun subteks. Meskipun
konsisten dengan gaya dan penawaran artistik masing-masing pada periode pasca revolusi fisik
hingga memasuki dekade 1960-an, pertanyaan menjadi Indonesia dan implikasi perubahan
ruang yang dimunculkan terhadap lokus-lokus kultural di Nusantara mendasari strategi
penceritaan keduanya sebagai bapak berfilman dan pemikir identitas nasional pada masa-masa
awal konstruksinya.

Dalam karya Djadoeg Djajakusuma seperti Harimau Tjampa dan film-filmnya tentang
tradisi dan budaya lokal tertentu di Nusantara yang lain sejak 1953, beroperasi secara alegoris
persoalan integrasi menuju Indonesia, konstruksi identitas, dan perubahan ruang kultural. Jadi

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
4

 Melbye,
 David.
 2010.
 Landscape
 Allegory
 in
 Cinema:From
 Wilderness
 to
 Wasteland.
 Hal
 1-­‐8.
 
Palgrave
 Macmillan:
 New
 York.
 

 

10
 

estetika film ini tidak terdapat pada penerapan semua elemen sinematik untuk menceritakan
progres naratif dari aksi-aksi karakternya semata, namun lebih pada relasinya terhadap konteks
serta situasi zaman saat karya ini dilahirkan.

Pemilihan untuk melakukan negasi terhadap ruang yang alamiah pada film Harimau
Tjampa lebih terkesan berusaha menempuh kemungkinan alternatif terhadap posisi lanskap,
dibandingkan hanya sekedar latar dan bersifat pasif dalam naratif. Pemilihan tematik dan gaya
visualisasi terhadap lanskap adalah visi Djadoeg Djajakusuma dalam melihat kondisi sosialpolitik Indonesia pada waktu itu. Meski tidak secara terang-terangan diperlihatkan layaknya
praktik estetis film-film politik Jean Luc Godard tentang kondisi dunia pasca 1968. Tetapi
keresahan personal masih memiliki kemiripan dengan Usmar Ismail terkait persoalan Identitas
yang harus dibangun dengan narasi historis yang sama terkait pengalaman kolonialisme dan
implikasinya pasca revolusi fisik. Namun Djajakusuma mundur lebih jauh lagi dalam film ini
dengan membayangkan tradisi lokal merespons penjajahan Belanda berdasarkan keunikan
budaya masing-masing tempat. Tentu saja sebagai modal untuk menjawab tantang masa itu
seperti proses integrasi dan konstruksi identitas nasional.

Perubahan ruang budaya tertentu menuju proses integrasi menjadi Indonesia dengan
identitas barunya saat itu, setidaknya harus disikapi dengan hati-hati dalam film Harimau
Tjampa. Bukankah dominasi setting sebagai sebuah konstruksi kultural adalah upaya untuk
menyarankan penguatan identitas budaya atau kesukuan terlebih dahulu, sebelum melangkah
ke bawah payung identitas yang lebih bersifat nasional. Apakah lokalitas harus mengalah
dalam identitas keIndonesiaan, atau Indonesia yang harus mengakomodasi identitas lokal yang
bersifat kultural dan kesukuan di Nusantara.

Kesimpulan

Visualisasi lanskap Djadoeg Djajakusuma dalam Harimau Tjampa adalah sebuah
contoh di mana gaya film bukan hanya berperan untuk melayani kepentingan naratif dan
karakterisasi semata. Tetapi visualisasi dan gaya film dapat bertindak sebagai visi personal
sutradara terhadap dunia yang dihadapinya.

Lanskap sebagai sebuah dimensi spasial, dan gaya visualisasi dalam film memiliki


 

11
 

potensi lebih jauh dari konvensi yang umumnya didominasi oleh film-film naratif Hollywood
yang memprioritaskan karakter. Baik sebagai penawaran estetis baru, perspektif lain dalam
memandang dunia, atau pun kritik sosial melalui metode alegoris yang menempatkan ruang
sebagai representasi dan kiasan tertentu.

Daftar Pustaka
Harper, Graeme and Jonathan Rayner. 2010. Cinema and Landscape. Graeme Harper dan
Jonathan Rayner (eds). Intellect: Bristol, UK.

Melbye, David. 2010. Landscape Allegory in Cinema: From Wilderness to Wasteland.
Palgrave Macmillan: New York.

Wylie, John. 2007. Landscape. Routledge: New York.

Sumber Gambar
http://www.filmwalrus.com/2014/03/film-atlas-indonesia-tiger-from-tjampa.html. Diakses
pada tanggal 6 mei 2018 Pukul 6.13 WIB.


 

12