BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Batombe(Tradisi Masyarakat di Daerah Abai, Kecamatan Sangir Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Indonesia memiliki kekayaan tradisi lisan yang tersebar pada tiap-tiap daerah. Tradisi lisan sebagai kekayaan budaya bangsa tersebut merupakan salah satu bentuk ekspresi kebudayaan daerah yang sangat berharga, bukan saja menyimpan nilai-nilai budaya dari suatu masyarakat tradisional, melainkan juga bisa menjadi akar budaya dari suatu masyarakat baru. Dalam arti, tradisi lisan bisa menjadi sumber bagi suatu penciptaan budaya baru (Esten, 1999:105 ).

  Usaha pelestarian tradisi lisan sebagai kekayaan budaya bangsa perlu dilaksanakan secara terus-menerus dan berkelanjutan. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak tradisi lisan di Indonesia yang telah hilang karena tidak dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya dan tidak sempat pula didokumentasikan.

  Padahal, hilangnya suatu tradisi lisan tersebut sesungguhnya merupakan kerugian besar bagi bangsa Indonesia. Walaupun ada tradisi lisan yang telah hilang, namun masih banyak tradisi lisan yang bertahan dan mengalami perubahan sesuai dengan dinamika masyarakat pemiliknya. Dari banyak tradisi lisan yang masih hidup, sebagian kecil telah “diselamatkan” dalam bentuk rekaman tape recorder, transkripsi, dan rekaman video (audio-visual). Pada negara-negara yang sudah maju, tradisi lisan dicatat dan kemudian disebarkan lewat media cetak dalam bentuk buku (Rosidi, 1995:125-126 ).

  Diantara tradisi lisan yang masih bertahan, salah satunya ada dalam kebudayaan Minangkabau. Menurut Anwar (1995:117-118 ), budayaMinangkabau pada dasarnya adalah budaya lisan. Bahasa yang diucapkan, seperti ajaran, nasihat, perbincangan, rundingan, bahkan hukum dan peraturan, terdapat dalam bahasa lisan. Budaya Minangkabau juga terlihat kekuatannya pada saat dilakukan secara lisan, namun hal itu sangat berpengaruh terhadap ragam dan gaya bahasa yang digunakan. Bahkan, ragam tradisi lisan ini juga terlihat dalam komunikasi sehari-hari. Hal tersebut juga dinyatakan oleh (Navis, 1984:231) bahwa dalam percakapan sehari-hari orang Minangkabau lazim menggunakan ungkapan. Kebiasaan menggunakan ungkapan dalam percakapan bertolak dari landasan sosial dan struktur kekerabatan yang berkaitan sehingga menyebabkan setiap orang saling menyegani.

  Tradisi lisan ini merupakan suatu kebiasaan yang mengakar dengan kuat dalam suatu kelompok masyarakat di Minangkabau. Pola komunikasi yang dibangun adalah komunikasi lisan, yaitu suatu perilaku komunikasi yang mengandalkan kemampuan berbicara dan menyimak atau mendengarkan. Pada umumnya, tradisi lisan tersebut dianggap sebagai milik kolektif suatu kelompok masyarakat. Dikatakan milik kolektif karena tradisi tersebut tidak jelas siapa yang menciptakannya (anonim) sehingga timbul anggapan bahwa tradisi tersebut dinamika tradisi lisan tersebut lahir, hidup dan berkembang mengikuti dinamika kolektif masyarakat yang bersangkutan (Suryadi, 1993: 21)

  Lanjut Suryadi menjelaskan bahwa, salah satu hasil dari tradisi lisan adalah sastra lisan. Sastra lisan tersebut dapat berupa cerita rakyat, ungkapan- ungkapan tradisional, dan lain-lain. Penyampaian cerita pada sastra lisan dapat dilakukan dengan cara berdendang (berkesenian, seni suara) dan diiringi oleh musik tradisional seperti rebab, kecapi, puput, bansi, talempong, dan lain-lain. Selain dengan cara berdendang, sastra lisan ini juga dapat disampaikan dalam bentuk seni teater (randai). Penataan dan penggunaan bahasa dengan sedemikian rupa merupakan salah satu kunci utama keberhasilan bersastra lisan tersebut, misalnya dengan cara berpantun, berperibahasa, bermantera, berpepatah petitih, dan lain-lain.

  Adapun bentuk dari sastra lisan, seperti (1) pepatah-petitih (suatu kalimat atau ungkapan yang mengandung pengertian yang dalam, luas, tepat, halus, dan kiasan), (2) pantun (puisi yang banyak jumlahnya dan sering diucapkan dalam berbagai kesempatan), (3) mantra (puisi tertua dalam sastra Minangkabau dan berbagai bahasa daerah lainnya), (4) pasambahan (merupakan pembicaraan dua

  

  

  pihak, dialog antara si pangka uk menyampaikan maksud dan

  

  tujuan dengan hormat), (5) prosa liris atau kaba . Bentuk-bentuk sastra lisan semacam itu juga merupakan produk masyarakat tradisional Minangkabau (Esten, 1999:106)

  Menurut Sibarani (2012:11) tradisi lisan tentu tidak hanya menyangkut kelisanan belaka seperti tuturan yang dibedakan dengan tulisan, tetapi sebuah sebuah komunitas, diturunkan secara turun-temurundengan berbagai versi. Lebih lanjut Pundentia (dalam Sibarani, 2012:11) menyebutkan tradisi lisan tidak sekedar penuturan, melainkan konsep pewarisan sebuah budaya dan bagian dari diri manusia sendiri sebagai makhluk sosial. Dengan demikian, membicarakan 1 2 Si pangka adalah tuan rumah 3 Si alek adalah tamu Kaba adalah cerita prosa berirama, berbentuk narasi (kisah) dan tergolong cerita panjang,

  sama dengan pantun tradisi lisan masyarakat Minangkabau juga langsung berhadapan dengan nilai- nilai dan aturan-aturan yang sudah dilaksanakan secara turun-temurun oleh suatu masyarakat tersebut.

  Mengingat fungsinya dalam masyarakat, tradisi lisan Minangkabau dari segi keberadaannya dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, ragam tradisi lisan yang terancam punah karena perkembangan dari masyarakat hingga kehilangan fungsi dan perannya. Kedua,ragam tradisi lisan yang bertahan dari kepunahan dengan jalan melakukan penyesuaian dan perkembangan sehingga mendapat sambutan dari masyarakatnya. Ketiga, ragam tradisi lisan yang tidak mengalami perubahan sama sekali karena berkaitan dengan upacara adat, seperti pantun

  

  

adat dan pasambahan ,yang biasa ditemukan dalam upacara perhelatan,

  kematian, dan penyambutan tamu (Amir, 1990:25 ).

  Salah satu tradisi lisan di Minangkabau yang belum terdokumentasi secara baik adalah tradisiBatombe, Menurut buku profil Budaya dan Pariwisata Kabupaten Solok Selatan, hasil kerjasama Bapedda Solsel dan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisi Padang (dalam Koran “Haluan”, 2013:6), Batombe merupakan salah satu tradisi lisan yang tumbuh dan berkembang dalam kebudayaan masyarakat Minangkabau, yaitu di Nagari Abai, Solok Selatan. Arti dari kata Batombe itu sendiri yaitu sejenis pantun, dengan kata lain Batombe merupakan tradisi berbalas pantun yang dimainkan oleh dua orang yang saling berbalas pantun, biasanya tradisi Batombe dilakukan dengan berpasangan dan berkelompok. 4 5 Pantun adat adalah pantun yang penuh pesan bermakna atas adat istiadat yang dijunjung

Pasambahan adalahsalah satu acara adat di Minangkabau berbentuk pidato, dapat juga disebut

  dengan pidato adat. Di dalam pasambahan ini digunakan bahasa halus berkualitas tinggi yang sarat dengan perumpamaan dan nilai-nilai budaya

  Tradisi lisan Batombe yang dimainkan oleh masyarakat Kanagarian Abai memiliki kontribusi positif terhadap masyarakatnya. Bagi masyarakat pendukungnya, tradisi lisan Batombe megandung nilai, makna, dan fungsi tersendiri dalam kehidupan. Nilai Batombe mengandung nilai-nilai budaya, sosial dan nilai moral. Makna Batombe, misalnya bertema percintaan, ratapan, dan nasehat, serta berfungsi di masyarakat untuk mengekpresikan perasaan dan sikap penutur, misalnya mengekpresikan perasaan cinta/kasih sayang, rasa senang/bahagia, kesedihan, nasehat/mendidik, dan juga hiburan.

  Sejalan dengan hal itu (Tim Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1980:66) menyebutkan, tradisi lisan adalah pantun yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain secara lisan. Orang yang berpantun pada dasarnya ingin menyampaikan pesan, amanat, dan pendidikan yang dapat bermanfaat bagi perkembangan watak dan kepribadian para pendengarnya. Dapat dipahami bahwa setiap masyarakat yang mendengarkan Batombe tidak hanya terhibur dengan isi pantunnya tetapi juga memperoleh pendidikan langsung, terutama melalui amanat dan pesan-pesan dari pantun yang disampaikannya. Selain itu, tradisi lisan Batombe juga sebagai ajang pencarian jodoh bagi pemain Batombe itu sendiri. selama itu pula tradisi akan terus bertahan dalam masyarakatnya. Pada masa lalu, tradisi lisan Batombe di Nagari Abai, berfungsi sebagai penyemangat bagi orang- orang yang mengambil kayu di hutan untuk membangun rumah gadang pertama di Abai. Namun kini Batombe mengalami perubahan makna. Maklum semenjak tahun 60-an, sudah tidak ada lagi pembangunan rumah gadang di daerah ini.

  Kendati begitu tradisi Batombe tetap dilestarikan, namun dipakai untuk hiburan pada pesta perkawinan dan upacara-upacara adat lainnya. Dalam penyelenggaraannya minimal memotong seekor kabau (kerbau). Dan adapun sekarang ini,Batombe sudah menjadi suguhan khas kesenian lokal untuk para wisatawan yang berkunjung ke Nagari Abai. (Koran haluan, 2013:6)

  Pada saat memainkan tradisi lisan Batombe, kalau pemain laki-laki melantunkan pantunnya, maka pemain perempuan mendengarkan dan memikirkan kira-kira jawaban apa yang nantinya mereka persiapkan. Untuk menemukan

  

  jawaban yang mereka pikirkan, persiapan dapat dibantu formula . Formula dapat membantu pemain Batombe dalam membawakan karyanya. Seorang pemain

  

Batombe dalam membawakan karyanya tidaklah menghafal namun mengingat

  sebagian besar formula. Lord (dalam Sibarani, 2012:8) menyatakan bahwa pemain-pemain itu tidak menghafalkan pantunnya lewat naskah atau tulisan tetapi setiap penyair tradisional membawakan ceritanya dengan menciptakan kembali secara spontan dan memakai sejumlah unsur bahasa (kata, kata majemuk, frasa) yang siap tersedia baginya untuk dipakai.

  Batombe tersebut tumbuh dan berkembang di daerah Abai, pantun Batombe

  tersebut menggunakan gaya bahasa atau dialeg daerah itu sendiri, dilihat dari segi penjelmaan dari sejarah hidup dan kehidupan masyarakat di daerah Abai itu sendiri. Senada dengan pendapat Clifford Geertz (dalam Saifuddin, 2005:288) yang mengemukakan suatu defenisi tipe kebudayaan sebagai berikut: (1) suatu sisitem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan 6 Formula adalah menetapkan bentuk kata-kata atau simbol untuk digunakan, dalam arti luas

  yaitu bunyi, kata, atau peristiwa yang digunakan untuk mengungkapkan gagasan persaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian; (2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan; (3) suatu peralatan simbolik bagi pengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dari informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan diinterpretasi.

  Menurut Littlejohn (2009:53) Perkembangan pola pikir manusia merupakan sebuah bentuk perkembangan yang mendasari terbentuknya suatu pemahaman yang merujuk pada terbentuknya sebuah makna. Semiotik menjadi salah satu kajian yang bahkan menjadi tradisi dalam teori komunikasi dalam berbahasa. Sulitnya menafsirkan pantun Batombe terletak pada watak bahasa yang digunakan yang sangat samar dan susah dipahami. Orang harus memahami konteks sosial dan budaya pantun tersebut secara keseluruhan untuk menafsirkan pantun tertentu, dan orang perlu tahu apakah arti pantun itu secara umum. Pantun

  

Batombe sangat pekat dengan berbagai perlambangan dan metafora. Baik

  

  benda langit dan jenis-jenis logam mulia dan jenis-jenis kain.Metafora dan

  

  makna konotatif adalah suatu keharusan dalam pantun Minangkabau Suryadi (dalam Koran harian Padang Ekspres, 2010:7)

  7 metafora adalah suatu peletakan kedua dari makna asalnya, yaitu makna yang bukan mengunakan kata dalam arti sesungguhnya, melainkan sebagai kiasan yang berdasarkan persamaan dan perbandingan. 8 Makna konotatif adalah makna yang bukan sebenarnya yang umumnya bersifat sindiran

  Berdasarkan hal-hal diatas itulah tradisi lisan Batombe yang terdapat di Nagari Abai, Kec. Sangir Batang Hari, Kab Solok Selatan, Sumatera Barat tersebut perlu untuk di teliti. Halini dilakukan untuk dapat menjelaskan hal-hal penting dan untuk mengetahui segala sesuatu mengenai bentuk pertunjukan

  Batombe tersebut. Diantaranya untuk mengetahui makna dan arti dari isi pantun

  pada tradisi lisan Batombe yang terdapat di Kenagarian Abai, Kec. Sangir Batang Hari, Kab. Solok Selatan, Sumatera Barat.

  1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya makapermasalahan yang dapat diajukan adalah Apa makna dan arti dari isi pantun dalam tradisi lisan Batombe tersebut?. Penelitian ini akan dipermudah dengan perumusanmasalah yang bertujuan untuk mendapatkan fokus objek kajian dan sekaligus juga sebagai pembatas bagi permasalahan yang diteliti agar tidak meluas. Rumusanmasalah ini diuraikan ke dalam 2 (dua) pertanyaan penelitian yaitu : 1.

  Bagaimana tata cara pelaksanaan tradisi lisan Batombe saat ini 2. Apa makna dan arti dari isi pantun yang disampaikan pemain dalam

  1.3 Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana tradisi lisan

  Batombe tersebut dilaksanakan, selain itu juga untuk mengetahui makna dan arti

  isi pantun dari tradisi lisan Batombe dan melihat perubahan apa yang terjadi dalam tradisi lisan Batombeyang terdapat di Nagari Abai, Kec. Sangir Batang Hari, Kab. Solok Selatan, Sumatera Barat.

  1.4 Lokasi Penelitian

  Lokasi penelitian ini dilakukan di Kanagarian Abai, Kec. Sangir Batang Hari, Kab. Solok Selatan, Sumatra Barat. Hal ini didasari karena di daerah tersebut terdapat tradisi lisan batombe.

  1.5 Kajian Pustaka

  Tradisi yaitu berasal dari kata traditium yang berarti segala sesuatu yangdiwarisi dari masa lalu (Murgiyanto, 2004:2). Selain itu, menurut Finnegan (dalam La Sudu 2012:8) tradisi merupakan istilah umum yang biasa digunakan dalam ujaran keseharian dan juga istilah yang digunakan oleh antropolog, peneliti folklor, dan sejarahwan lisan. Ada perbedaan-perbedaan makna mengenai tradisi itu sendiri, misalnya dimaknai sebagai kebudayaan, sebagai keseluruhan; berbagai cara melakukan sesuatu berdasar cara yang telah ditentukan; proses pewarisan praktik, ide atau nilai; produk yang diwariskan; dan sesuatu dengan konotasi lampau. Sesuatu yang disebut dengan tradisi pada umumnya menjadi kepemilikan keseluruhan komunitas dibanding individu atau kelompok tertentu. Tradisi tidak ditulis dan merupakan pemarkah identitas kelompok.

  Menurut Sibarani (2012:123) tradisi lisan adalah kegiatan budaya lisan dari satu generasi ke generasi lain baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lain yang bukan lisan (non-verbal). Selanjutnya Hoed (dalam sudu 2012:8) mendefenisikan tradisi lisan adalah berbagai pengetahuan dan adat istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan.

  Lord (dalam sudu 2012:8) memberikan batasan tradisi lisan sebagai sesuatu yang dituturkan dalam masyarakat. Hal ini berarti bahwa unsur melisankan bagi penutur dan unsur mendengarkan bagi penerima menjadi kata kuncinya. Roger Tol dan Pudentia (dalam sudu 2012:8) mengemukakan bahwa tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita rakyat, mitos, legenda dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya,misalnya kearifan lokal, sistem nilai, pengetahuan tradisional, sejarah, hukum adat, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, astrologi, dan berbagai hal seni.

  Batombe termasuk salah satu cakupan tradisi lisan yang berbentuk puisi

  rakyat yang dapat dituturkan atau disampaikan secara lisan.Tradisi lisan dalam masyarakat pasti memiliki wujud. Selanjutnya Sibarani (2012:48-49) mengemukakan wujud tradisi lisan itu dapat berupa:

  1) tradisi berkesusastraan lisan seperti tradisi menggunakan bahasa rakyat,tradisi penyebutan ungkapan tradisional, tradisi pertanyaan tradisional atauteka-teki, berpuisi rakyat, melantunkan nyanyian rakyat, dan menabalkangelar bangsawan; tradisi pertunjukan dan permainan rakyat seperti kepercayaan rakyat,teater rakyat, permainan rakyat, tari rakyat, adat istiadat, upacara atauritual, dan pesta rakyat;

  3) tradisi teknologi tradisional seperti arsitektur rakyat, ukiran rakyat,pembuatan pupuk tradisional, kerajinan tangan rakyat, keterampilanjahitan pakaian, keterampilan perhiasan adat, pengolahan makanan danminuman rakyat, dan peramuan obat-obatan tradisional;

  4) tradisi pelambangan atau simbolisasi seperti tradisi gerak isyarattradisonal, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat; dan

  5) tradisi musik rakyat seperti tradisi mempertunjukkan permainan gendang,seruling, dan alat-alat musik lainnya.

  Apa itu tradisi Batombe? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, telah dijelaskan bahwa Batombe tersebut merupakan kesenian tradisi lisan berbalas pantun. Menurut buku profil Budaya dan Pariwisata Kabupaten Solok Selatan, hasil kerjasama Bapedda Solok Selatan dan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisi Padang (dalam Koran “Haluan” 2013:6) Batombe adalah salah satu bentuk kesastraan Minangkabau yang dimiliki oleh masyarakat Abai. Batombe ini adalah sejenis pantun yang berfungsi sebagai sebuah ungkapan rasa dan perasaan hati yang memiliki makna yang sangat mendalam bagi masyarakat Abai. Dengan kata lain, Batombe merupakan tradisi lisan berbalas pantun antara pria dan perempuan yang sudah menjadi budaya Minangkabau.

  Batombe yaitu tradisi lisan berbalas pantun, memurut Djamaris (2001:18)

  pantun merupakan bentuk tradisi lisan yang paling sering digunakan dalam tradisi Minangkabau, Pantun merupakan bentuk puisi tradisional Indonesia yang paling tua. Tiap bait (kuplet) pantun biasanya terdiri dari empat baris yang bersajak ab- ab. Umumnya tiap baris terdiri dari 4-8 kata. Baris pertama dan kedua disebut sampiran dan baris ketiga dan keempat disebut isi pantun.

  Lebih lanjut Djamaris(dalam ensiklopedia Indonesia) di jelaskan bahwa pantun adalah puisi rakyat yang paling tua dan paling umum di Indonesia. Pantun merupakan bentuk sastra rakyat yang tidak tertulis. Isi pantun biasanya berkaitan dengan perasaan rindu dendam, kesedihan, gurauan, pengajaran, norma-norma, dan lain-lain. Pantun mempunyai bait yang terdiri dari empat baris atau lebih (sampai dua belas baris) dengan delapan sampai dua belas suku kata pada tiap-tiap barisnya. Baris pertama bersajak dengan baris ketiga dan baris kedua dengan baris keempat. Bagian pertama pantun (baris pertama dan kedua) disebut dengan sampiran dan bagian kedua (baris ketiga dan keempat) disebut dengan bagian isi.

  Pembeda antara pantun Minangkabau dengan pantun dalam pandangan yang umum dapat kita lihat dari ciri-ciri pantun Minangkabau menurut (Navis, 1984:235) yaitu ciri pertama, sebuah pantun dapat dikatakan sebagai pantun Minangkabau jika pantun tersebut lahir dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Minangkabau. Keberadaan pantun tersebut terletak dalam koridor dari, oleh, dan untuk masyarakat Minangkabau. Dengan pantun tersebut, masyarakat Minangkabau menyatakan pikiran dan perasaannya, serta membangun komunikasi antara sesamanya. Dengan cara tersebut pula, seseorang akan pengetahui maksud dan kehendak lawan bicaranya, sehigga terjadilah perilaku komunikasi yang diinginkan. Navis juga menjelaskan bahwa pantun termasuk Pantun sering menjadi buah bibir, bunga kabar, dan hiasan dalam berpidato (pasambahan). tradisi lisan berupa pantun sudah sejak lama dikenal oleh masyarakat Minangkabau. Pada umumnya masyarakat Minangkabau mengenal dan dapat berpantun, terutama masyarakat yang belum kuat pengaruh budaya lain, atau masyarakat yang kuat mempertahankan adat istiadatnya. Bagi masyarakat yang seperti itu, pantun merupakan bagian dari hidup mereka. Pantun telah mendarah daging bagi mereka. Akan terasa aneh atau cando (janggal) apabila mereka tidak mengenal dan memahami pesan yang terdapat dalam sebuah pantun.

  Kedua, sebuah pantun dapat dikatakan sebagai pantun Minangkabau jika bahasa yang digunakan adalah bahasa Minangkabau. Dan yang ketiga, sebuah pantun dapat dikatakan sebagai pantun Minangkabau jika benda-benda, peristiwa- peristiwa, lokasi, dan lain-lain yang dikemukakan dalam bagian sampiran atau bagian isi pantun diambil atau berasal dari alam Minangkabau, atau sesuatu yang bernuansa Minangkabau. Metafor-metafor yang dipakai tersebut pada umumnya sudah dikenal dengan baik dan sangat familiar dengan orang Minangkabau. Mereka tidak akan mengambil sesuatu perlambang yang tidak mereka ketahui atau yang bukan berasal dari alam mereka. Pengambilan metafor yang demikian akan memudahkan mereka memahami kandungan isi pantun. Melalui pemahaman tersebut, akan dapat diketahui maksud dan tujuan sebuah pantun, sehingga komunikasi yang diinginkan dapat diwujudkan.

  Keempat, Pantun Minangkabau diyakini oleh masyarakat Minangkabau sebagai miliknya, milik bersama sebagai bagian dari kebudayaan mereka. Rasa kepemilikan ini disebabkan oleh karena pantun dan berpantun merupakan sesuatu mereka pertahankan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

  Pantun Minangkabau bukan milik orang per orang, akan tetapi merupakan milik kolektif masyarakat Minangkabau atau milik bersama, pantun terdapat pada hampir setiap perilaku berbahasa, baik pada penggunaan bahasa dalam hal

  

  

  

  

  

  berkesenian (rabab , batombe , randai , selawat dulang , saluang , dan lain- lain), pasambahan(pidato adat), maupun dalam perilaku berbahasa sehari-hari.

  Dari penjelasan Navis sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa pantun dalam tradisi lisan Batombeadalah pantun Minangkabau yang berasal dari tradisi lisan masyarakat abai, kec. Sangir Batang Hari kab. Solok Selatan dan dijadikan tradisi milik bersama, bahasa yang digunakan dalam tradisi Batombe yaitu bahasa asli Minangkabau dan bahasa asli masyarakat abai itu sendiri, dalam isi pantunnyaBatombe menggunakan metafora atau penyimbolan dari benda-benda, peristiwa, lokasi yang terdapat di alam Minangkabau.

  Di dalam memainkan tradisi lisan Batombe, Seorang pemain Batombe dalam membawakan karyanya tersebut tidaklah menghafal namun mengingat sebagian besar formula. (Teeuw, 1994: 4) mengatakan bahwa tuturan lisan seorang pemain Batombe dengan menciptakankembali tuturan tersebut yang akan dibawakannya dengan secara spontan tanpa menghafal setiap bait pantun yang akan dibawakannya. Sehingga masing-masing pemain Batombe memiliki gaya dan ciri khas dalam pertunjukannya. Dengan demikian, setiap pemain tradisi lisan

  

Batombe jarang ada penghafalan, tetapi faktor ingatan manusia amatbereperan

  Formula menurut Sweeney (dalam sudu 2001:11) dimaksudkan dalam arti luas yaitubunyi, kata, atau peristiwa yang digunakan untuk mengungkapkan 9 10 Rabab adalah alat musik gesek tradisional khas Minangkabau, bentuknya seperti biola 11 Batombe adalah tradisi kesenian berbalas pantun Randai adalah salah satu permainan tradisional di Minangkabau yang dimainkan secara

  berkelompok dengan membentuk lingkaran, kemudian melangkahkan kaki secara perlahan, sambil menyampaikan cerita dalam bentuk nyanyian secara berganti-gantian. Randai menggabungkan seni lagu, musik, tari, drama dan silat menjadi satu. 12 Selawat dulang adalah tradisi lisan Minangkabau, pertunjukkan dua orang membacakan hafalan teks diiringi tabuhan dulang atau gendang lebar terbuat dari kulit sapi 13 Saluang adalah alat music tiup tradisi khas Minangkabau, bentuknya seperti seruling gagasan.Senada dengan hal itu, Achadiati (dalam sudu 2001:11) mengatakan bahwa formula merupakan alat yang membantu orang untuk menemukan kembalipikiran yang tersimpan dalam ingatan, diantaranya rima, paralelisme, aliterasi,ansonasi, strukutur-struktur tetap yang digunakan dalam tradisi lisan.

  Formula memiliki fungsi yang penting bagi pemain Batombe dalammembawakan karyanya. Tuloli (1994: 21) memaparkan fungsi formula adalah (1)mempermudah daya ingat tukang cerita terhadap garis besar cerita yang akandirakit menjadi cerita yang utuh pada saat penampilan atau yang disebut skemacerita, (2) mempermudah pencerita untuk menyusun baris-barisyang sama polanya dalam waktu yang singkat pada saat bercerita, (3)memperindah cara penceritaan karena irama akan teratur oleh adanya perulanganformula-formula pada pola-pola baris yang sama, dan (4) pencerita melahirkanarti atau makna cerita secara tepat dalam baris.

  Formula yang digunakan dalam isi pantun Batombe mengandung metafora, setiap metafora diungkapkan melalui simbol-simbol yang terdapat dalam isi pantun Batombe. Hal-hal tersebut diungkapkan dalam simbol-simbol tertentu, tiap simbol mengandung makna yang bertujuan mengekspresikan tersebut diungkapkan oleh Clifford Geertz (dalam Saifuddin 2005:288) dengan definisi kebudayaan sebagai: (1) suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol- simbol, yang dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka; (2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan; (3) suatu peralatan simbolik bagi pengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dari informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan diinterpretasi.

  Menurut Saifuddin (2005:289-290) Simbol adalah objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia. Bentuk primer dari simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Tetapi manusia juga berkomunikasi dengan menggunakan tanda dan simbol dalam lukisan, tarian, musik, arsitektur, mimik wajah, gerak-gerik, postur tubuh, perhiasan, pakaian, ritus, agama, kekerabatan, nasionalitas, tata ruang, pemilikan barang, dan banyak lagi lainnya. Manusia dapat memberikan makna kepada setiap kejadian tindakan, atau objek yang berkaitan dengan pikiran, gagasan dan emosi.

  Kajiankeilmuan yang meneliti mengenai simbol atau tanda dan konstruksi makna yang terkandung dalam simbol tersebut dinamakan dengan Semiotik.

  Menurut Littlejohn (2009:53) teori semiotik terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimanatanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan mengetahui makna-makna yang terkandung dalam sebuah simbol atau menafsirkanmakna tersebut sehingga diketahui bagaimana komunikator mengkonstruksi pesan.Konsep pemaknaan ini tidak terlepas dari perspektif atau nilai-nilai ideologistertentu serta konsep kultural yang menjadi ranah pemikiran masyarakat di manasimbol tersebut diciptakan. Kode kultural yang menjadi salah satu faktor konstruksi makna dalam sebuah simbol menjadi aspek yang penting untuk mengetahui konstruksi pesan dalam tanda tersebut. Konstruksi makna yangterbentuk inilah yang kemudian menjadi dasar terbentuknya ideologi dalam sebuah simbol. Sebagai salah satu kajian pemikiran dalam cultural studies, semiotik tentunya melihat bagaimana budaya menjadi landasan pemikiran dari pembentukanmakna dalam suatu tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan,konvensi-konvensi yang memungkinkan simbol-simbol tersebut mempunyai arti.

  Dalam Kamus Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi : 1. maksud pembicara; 2. pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia;

  3. hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya, dan

  4. cara menggunakan lambang-lambang bahasa (Harimurti Kridalaksana, 2001: 132).

1.6.Metode Penelitian

1.6.1. Jenis Penelitian

  data yang diperoleh di lapangan. Sebelum terjun ke lapangan, peneliti terlebih dahulu dibekali dengan seperangkat teori yang berkaitan dengan objek supaya kendala di lapangan tidak mempengaruhi terhadap hasil yang didapatkan. Penelitian dilakukan dengan dilengkapi handycame, recorder, dan wawancara dengan penonton, baik yang terlibat langsung dalam pertunjukan maupun yang tidak. Hal ini dilakukan supaya data yang didapat betul-betul akurat dan hidup.

  Pertunjukan dan perekaman dilakukan secara alami, baik terhadap pemain, penonton maupun orang-orang yang paham dengan tradisi kesenian Batombe.

  Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan bagaimana pertunjukan tersebut dilakukan dengan apa adanya.

  Penelitian ini juga dilakukan dengan menggunakan metode etnografi, teknik wawancara dan observasi. Penelitian ini mengambil objek tradisi kesenian

  

Batombe yang dilaksanakan di Kenagarian Abai, Kecamatan Sangir Batang Hari,

  Kabupaten Solok Selatan, karena tradisi lisan Batombe lahir, tumbuh dan berkembang di daerah tersebut. Wawancara dilakukan setelah pertunjukan usai atau ketika narasumber dalam waktu luang. Selain itu peneliti juga mewancarai tokoh adat dan orang yang mengerti tentang Batombe. Penentuan informan didasarkan atas pengetahuan dan pengalamannya terhadap pertunjukan Batombe. Para informan tersebut terdiri atas pemain Batombe, penontonyang diwawancarai adalah yang sudah sering, jarang, atau belum sama sekali menonton pertunjukan

  

Batombe. Penonton akan memberikan suasana tertentu dalam pertunjukan.

  

   Tanggapan juga diminta kepada niniak mamak , cadiak pandai , tokoh agama,

  dan pejabat pemerintah setempat tentang pengetahuannya terhadap pertunjukan Setelah data terkumpul, dilakukan transkripsi dan analisis. Data ditranskipsikan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan disesuaikan dengan konteks masyarakat pendukungnya. Setelah itu baru data dianalisis dengan

  14 Niniak mamak adalah seorang laki-laki dari suatu kaum yang dituakan. Bisa juga disebut penghulu adat 15 Cadiak pandai adalah pemimpin masyarakat yang memiliki pengetahuan dan wawasan ynag luas serta pemikiranyang dapat mencari jalan keluar dari setiap masalah yang sedang dihadapimasyarakat Minangkabau menggunakan pendekatan simbolik untuk melihat makna, nilai-nilai, pesan dan amanat yang terkandung dalam pantun Batombe itu sendiri.