BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Fungsi pemerintah dalam suatu negara adalah : 1) fungsi stabilisasi, yaitu fungsi pemerintah dalam menciptakan kestabilan ekonomi, sosial politik, hukum, pertahanan dan keamanan; 2) fungsi alokasi, yaitu fungsi pemerintah sebagai penyedia barang publik, seperti pembangunan jalan raya, gedung sekolah, penyediaan fasilitas penerangan dan telepon; 3) fungsi distribusi, yaitu fungsi pemerintah dalam pemerataan atau distribusi pendapatan masyarakat. Untuk menjalankan fungsi pemerintah tersebut, tentu saja pemerintah membutuhkan dana yang sangat besar yang bersumber dari penghasilan negara (Public

  Revenue ). (Syafri Nurmantu, 2003).

  Pajak merupakan salah satu sumber penghasilan negara. Safri Nurmantu (2003) menyebutkan sumber penghasilan suatu negara antara lain kekayaan alam, laba perusahaan negara, royalty, retribusi, bea, cukai, denda dan pajak. Pajak dipungut oleh negara dari rakyat berdasarkan dengan perundang-undangan yang berlaku.

  Secara ekonomi, pajak dapat dikatakan sebagai pemindahan sumber daya yang ada di sektor rumah tangga dan perusahaan (dunia usaha) ke sektor pemerintah melalui mekanisme pemungutan tanpa wajib memberikan balas jasa langsung (Prathama Rahardja dan Mandala Manurung, 2004). Pemungutan pajak suatu negara dalam ekonomi makro dapat dilihat melalui diagram aliran berputar

  (circular flow diagram) berikut ini :

Gambar 1.1. Diagram Siklus Aliran Berputar (Circular Flow Diagram)

  Dari diagram tersebut dijelaskan bahwa rumah tangga memperoleh pendapatan dari pemerintah dan perusahaan, selanjutnya dari pendapatan tersebut ada yang dipergunakan untuk membayar pajak kepada pemerintah. Begitu juga dengan perusahaan yang menerima pendapatan dari aktifitas ekonominya yang berasal dari pasar dalam negeri (pemerintah dan rumah tangga) maupun luar negeri akan mengeluarkan pajak yang dibayarkan kepada pemerintah.

  Sejak tahun 2000, struktur pendapatan negara dalam APBN terdiri dari Penerimaan Dalam Negeri dan Hibah. Penerimaan Dalam Negeri sendiri terdiri dua, yaitu Penerimaan Perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

  Struktur pendapatan negara dalam APBN secara rinci dapat kita lihat pada tabel berikut :

Tabel 1.1. Struktur pendapatan negara pada APBN

  A. Pendapatan Negara dan Hibah I.

  Penerimaan Dalam Negeri

  1. Penerimaan Perpajakan

  a. Pajak Dalam Negeri i. Pajak Penghasilan

  1. Migas

  2. Non Migas ii. Pajak Pertambahan Nilai iii. PBB iv. BPHTB v. Cukai vi. Pajak Lainnya b. Pajak Perdagangan Internasional i. Bea Masuk ii. Pajak Ekspor

  2. Penerimaan Negara Bukan Pajak

  a. Penerimaan SDA i. Minyak Bumi ii.GasAlam iii. Pertambangan Umum iv. Kehutanan v. Perikanan

  b. Bagian Pemerintah Atas Laba BUMN

  c. PNBP Lainnya II. Hibah

  _________________________________________________________ Penerimaan negara dari sektor perpajakan merupakan sumber utama pendapatan negara dalam APBN. Keberadaannya ini menyebabkan sektor perpajakan merupakan tumpuan utama dalam upaya memandirikan pembiayaan belanja dalam APBN. Oleh karena itu, pertumbuhan positif dari sektor ini sangat diharapkan dalam upaya negara mensejahterakan rakyatnya. Besarnya peranan penerimaan pajak tersebut dapat dilihat melalui grafik perkembangan pendapatan dan hibah dalam kurun waktu 2001-2010 berikut :

Gambar 1.2. Perkembangan Pendapatan dan Hibah Tahun 2001-2010

  Dilihat dari komposisinya, penerimaan perpajakan merupakan penerimaan terbesar dibandingkan dengan penerimaan BNPB dan hibah. Dari kurun waktu 2001 sampai dengan 2008 kontribusi rata-rata penerimaan perpajakan sebesar 20.81 persen, sedangkan PNPB sebesar 18.69 persen dan hibah sebesar 73.42 persen. Dari grafik tersebut juga dapat dilihat bahwa peran penerimaan pajak terhadap pembiayaan anggaran pemerintah dalam beberapa tahun terakhir ini meningkat cukup signifikan. Pada tahun 2001 penerimaan pajak mencapai Rp 185,5 triliun, tahun 2006 naik menjadi Rp 409,2 triliun, hingga pada tahun 2010 penerimaan pajak memberikan kontribusi sebesar Rp 742,7 triliun atau mengalami pertumbuhan rata-rata 17,09 persen per tahun. Kontribusi penerimaan sektor perpajakan yang semakin meningkat tersebut menunjukan bahwa pemerintah tetap konsisten untuk mewujudkan kemandirian. Secara umum, faktor-faktor yang berpengaruh pada peningkatan penerimaan perpajakan tersebut adalah pelaksanaan kebijakan perpajakan yang baik dan meningkatnya harga komoditi pangan dan komoditi strategis (APBN dan Nota Keuangan 2001-2010).

  Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu jenis pajak yang ada di Indonesia. Pajak yang bersifat tidak langsung ini dikenakan terhadap konsumsi pada setiap tingkatan produksi atau distribusi. Meskipun pengenaan PPN dilakukan terhadap nilai tambah yang terjadi dalam setiap tingkatan produksi dan/atau distribusi barang atau jasa, namun beban atas pajak ini secara tidak langsung ditanggung oleh konsumen akhir. (Untung Sukardji, 2006).

  Sebelum PPN diberlakukan tahun 1984, di Indonesia diberlakukan Undang-undang Pajak Penjualan (PPn) Tahun 1951 yang merupakan warisan kolonial Belanda. Namun keberadaan Pajak Penjualan (PPn) ini dirasakan masih memiliki beberapa kekurangan maka dilakukanlah reformasi perpajakan (tax

  

reform ) pada tahun 1984 dengan dikeluarkannya Undang-undang PPN yaitu

  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. (Wibowo, 2000). Adapun beberapa kekurangan Pajak Penjualan (PPn) tersebut antara lain : 1.

  Mekanisme Pajak Penjualan (PPn) dalam pelaksanaannya menimbulkan dampak pengenaan pajak berganda. Keadaan ini mendorong Wajib Pajak untuk menghindar dari pengenaan pajak bahkan menyelundupkan pajak; 2. Sebagai akibat dari pengenaan pajak berganda, maka Pajak Penjualan menjadi tidak netral baik terhadap perdagangan dalam negeri maupun perdagangan internasional, karena tidak dapat dihitung dengan pasti baik jumlah beban pajak yang dipikul oleh konsumen maupun beban pajak yang terkandung dalam harga komoditi yang akan diekspor;

  3. Undang-undang Pajak Penjualan Tahun 1951 mengandung dualisme sistem pemungutan pajak yaitu pengusaha tertentu diterapkan self assesssment

  

system sedangkan untuk kelompok pengusaha lainnya digunakan official

assessment system . Keadaan ini akan sulit dalam pengawasan

  pelaksanaannya; 4. Variasi tarif yang cukup banyak menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya sehingga cukup besar pengaruhnya pada tingkat kepatuhan

  Wajib Pajak.

  Undang-Undang PPN ini dalam perjalanannya mengalami beberapa perubahan. Perubahan pertama adalah dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1994, perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994, perubahan ketiga dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 dan terakhir adalah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Semua perubahan- perubahan yang dilakukan oleh pemerintah pada Undang-undang Perpajakan memiliki arah dan tujuan sebagai berikut (Mardiasmo, 2006) : 1.

  Menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak;

  2. Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat dalam berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya; 3. Menciptakan iklim perekonomian yang menunjang peningkatan penanaman modal, mendorong ekspor, mendorong terciptanya lebih banyak lapangan kerja baru, menunjang pengembangan usaha nasional terutama usaha kecil dan tradisional serta menunjang kebijakan lainnya;

  4. Mengendalikan pola konsumsi yang tidak produktif pada masyarakat; 5.

  Pelaksanaan pemungutan pajak yang mudah dan sederhana sehingga dapat mendorong kepatuhan Wajib Pajak; dan

  6. Menunjang terciptanya aparat perpajakan yang makin mampu dan makin bersih, peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak termasuk penyederhanaan dan kemudahan prosedur dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, peningkatan pengawasan atas pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut, termasuk peningkatan penegakan ketentuan hukum yang berlaku.

  Didalam penerapan Undang-undang PPN, sebagaimana sektor perpajakan secara umum yang memiliki fungsi regulatoir maka pemerintah terus melakukan perubahan kebijakan atau mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru yang dipandang perlu diterapkan dalam pemungutan PPN. Ketentuan-ketentuan tentang objek dan subjek PPN, Pengusaha Kena Pajak, Dasar Pengenaan Pajak, tata cara pemungutan dan pelaporan dan lainnya selalu disesuaikan dengan perkembangan sosial ekonomi dan politik yang terjadi serta ketentuan yang berlaku.

  Bebarapa kebijakan PPN yang dijadikan dasar hukum PPN antara lain dikemukakan sebagai berikut (Untung Sukardji, 2009) :

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan jasa yang tidak dikenakan pajak.

  2. Peraturan Pemerintah Nomo 146 Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah Nomor

  38 Tahun 2003 tentang Impor dan atau Penyerahan Kena Pajak Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

  3. Peraturan Pemerintah No.12 Tahun 2001 jis Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai Yang Dibebaskan Atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2003 tentang Perlakukan PPN dan

  PPnBM di Kawasan Berikat Industri Pulau Batam, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2005.

  Penerimaan perpajakan dari PPN selalu mengalami perkembangan yang signifikan semenjak diperkenalkan. Perkembangan penerimaan PPN di Indonesia dalam kurun waktu tahun 2001-2010 dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 1.3. Perkembangan penerimaan PPN di Indonesia tahun 2001-2010

  Grafik di atas menunjukkan bahwa penerimaan PPN di Indonesia dari tahun 2001 sampai dengan 2010 mengalami peningkatan. Penerimaan PPN tahun 2001 sebesar Rp. 55.957,0 milyar terus mengalami peningkatan hingga sebesar Rp. 269.502,0 milyar pada tahun 2010. Pertumbuhan rata-rata yang dicapai dalam kurun waktu tersebut sebesar 19,31 persen. Pertumbuhan yang paling tinggi terjadi pada tahun 2008 yakni mencapai 35.66 persen. Perkembangan penerimaan PPN periode 2001 sampai dengan 2010 ini tidak terlepas dengan baiknya pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca kriris. Setelah terjadinya krisis moneter tahun 1997, pemulihan ekonomi mulai mengalami kemajuan pada tahun 2000. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2000-2007 kembali naik yaitu sebesar 3,83 sampai 6,35 persen dengan rata-rata pertumbuhan pada perode tersebut sekitar 5,04 persen. Pada tahuan 2008 perekonomian dunia diguncangkan dengan adanya krisis global, namun adanya krisis global ini ternyata tidak terlalu berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak mengalami penurunan yang cuku berarti seperti saat periode krisis ekonomi, pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 6,01 persen, turun 0,33 persen dibandingkan pertumbuhan pada tahun 2007. Dampak krisis global tersebut justru baru dirasakan pada tahun 2009, namun pada tahun 2010 kondisi perekonomian Indonesia kembali menunjukkan kondisi yang baik dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,01 persen (Eka Nurdiyanto, 2012).

  Sebagai pajak atas konsumsi, PPN sangat bergantung terhadap kondisi perekonomian secara umum. Dalam perekonomian yang berlangsung baik dan stabil, PPN secara normal dapat berkembang positif. Sebaliknya dalam perekonomian yang dilanda krisis, penerimaan PPN dapat saja berkembang negatif. Indikator-indikator ekonomi makro seperti Produk Domestik Bruto (PDB), ekspor, inflasi, suku bunga dan tingkat konsumsi serta penyaluran kredit investasi dan kredit konsumsi sangat mungkin memiliki pengaruh terhadap penerimaan PPN setiap tahunnya.

  PDB dapat diartikan sebagi agregat dari pendapatan atau imbal jasa yang diperoleh penduduk suatu negara tertentu atas faktor-faktor produksi yang mereka miliki yang berasal dari negara tersebut. Dari definisi ini dapat diketahui bahwa PDB merupakan gambaran umum perekonomian suatu negara tertentu. PDB negara Indonesia selalu mengalami pertumbuhan setiap tahunnya. Di Tahun 2001 jumlah PDB Indonesia sebesar Rp. 1.646.322,00 milyar dan di tahun 2010 meningkat menjadi sebesar Rp. 6.422.900,00 milyar. Pertumbuhan PDB tentunya mengarah kepada pertumbuhan pendapatan masyarakat seiring dengan berkembangnya perekonomian. Tumbuhnya pendapatan masyarakat selalu dapat dikaitkan dengan pertumbuhan tingkat konsumsi (Nurhayati dan Rachman, 2003). Dengan demikian, adanya pertumbuhan PDB dimungkinkan mempengaruhi penerimaan PPN yang merupakan pajak atas konsumsi.

  Inflasi merupakan kenaikan tingkat harga agregat dalam sebuah perekonomian, dengan adanya inflasi berarti terjadi kenaikan harga secara umum di pasar. Rata-rata tingkat inflasi yang terjadi di Indonesia per tahun dalam kurun waktu tahun 2001 sampai dengan tahun 2010 sebesar 8,12 persen, dimana tingkat inflasi tertinggi terjadi pada tahun 2005 sebesar 17,11 persen (Badan Pusat

  Statistik) . Dengan adanya tingkat inflasi yang diharapkan maka secara umum

  harga-harga komoditas yang secara umum merupakan barang kena pajak dan berbagai kegiatan jasa yang merupakan jasa kena pajak juga akan mengalami kenaikan. Hal ini akan mengakibatkan tingkat permintaan agregat dari perdagangan akan mengalami penurunan. Masyarakat akan lebih memilih menghemat dan mengurangi pengeluaran konsumsi. Bila permintaaan/pengeluaran konsumsi mengalami penurunan maka kondisi perdagangan komoditi akan menurun atau lesu sehingga penerimaan PPN diperkirakan juga akan menurun (Saepudin, 2008). Namun yang terjadi ternyata tingkat konsumsi dari tahun 2001 hingga tahun 2010 terus mengalami kenaikan dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 15,7 persen (Bank Indonesia).

  Fluktuasi tingkat bunga memiliki hubungan yang erat dengan perilaku investasi dan konsumsi masyarakat. Kegiatan investasi masyarakat besar kecilnya dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat bunga dalam hubungan yang negatif, dalam arti bahwa rendahnya tingkat bunga akan mengakibatkan meningkatnya kegiatan investasi masyarakat (Mochamad Faza Rifai, 2007). Masyarakat akan memanfaatkan rendahnya tingkat bunga untuk menambah investasi usaha mereka yang tercermin dari realisasi kredit investasi. Dengan meningkatnya investasi akan semakin mendorong peningkatan produksi barang dan jasa untuk dikonsumsi masyarakat. Dari tahun 2001 hingga tahun 2010, realiasi kredit investasi yang telah disalurkan oleh bank umum selalu mengalami kenaikan dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 19,2 persen, dari nilai realiasi sebesar Rp. 73.466,0 milyar pada tahun 2001 meningkat menjadi sebesar Rp. 347.627,0 milyar pada tahun 2010 (Bank Indonesia).

  Begitu juga dengan kegiatan konsumsi masyarakat yang besar kecilnya juga dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat bunga dalam hubungan yang negatif (Muhammad Yusuf, 2009). Masyarakat akan memanfaatkan rendahnya tingkat bunga untuk menambah kredit konsumsi yang dipergunakan dalam membeli barang dan jasa. Kredit konsumsi merupakan alternatif yang banyak digunakan oleh masyarakat untuk dapat memiliki barang atau menikmati jasa dengan penghasilan yang terbatas. Dengan semakin banyaknya kredit konsumsi mencerminkan banyaknya barang atau jasa yang dibeli masyarakat. Dan keadaan seperti ini memungkinkan memberi pengaruh pada penerimaan PPN itu sendiri.

  Untuk realisasi kredit konsumsi yang telah disalurkan oleh bank umum menunjukkaan angka yang lebih besar dibandingkan dengan kredit investasi.

  Realisasi kredit konsumsi pada tahun 2001 sebesar Rp. 58.435,00 milyar meningkat menjadi Rp. 550.921,0 milyar pada tahun 2010 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 28,71 persen (Bank Indonesia).

  Selain berfungsi sebagai sumber dana bagi pemerintah (budgetair), pajak juga memiliki fungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi (regulerend). Salah satu kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah menetapkan tarif PPN atas ekspor BKP sebesar 0% (Untung Sukardji, 2006). Tujuan pemerintah melakukan hal tersebut adalah untuk mendorong pertumbuhan ekspor di dalam negeri.

  Penetapan tarif PPN 0% bukan berarti pembebasan dari pengenaan PPN, tetapi Pajak Masukan yang telah dibayar oleh ekportir dari pembelian BKP yang diekpsor tersebut dapat dikreditkan.

  Pemberlakuan peraturan ini tentu saja tidak merugikan pengusaha atau eksportir. Karena walaupun tidak memungut PPN atas kegiatan ekspor BKP yang dilakukan dikarenakan tarif 0%, namun semua Pajak Masukan atas pembelian BKP atau bahan baku BKP yang dipungut pihak lain dapat dikreditkan dan seterusnya dapat direstitusi (diminta kembali) oleh pengusaha atau ekportir yang bersangkutan. Tetapi hal ini bisa berdampak pada penerimaan negara dikarenakan potensi penerimaan PPN dari transaksi penjualan BKP untuk tujuan ekspor tidak dapat diterima oleh negara. Semakin banyak kegiatan ekspor BKP dapat menyebabkan semakin banyak potensi PPN yang hilang. Secara umum realiasi ekspor menunjukkan kenaikan dari tahun 2001 sebesar 642.594,0 milyar menjadi sebesar Rp. 1.580.817,8 milyar pada tahun 2010, hanya pada tahun 2002 dan 2009 saja realiasi ekspor mengalami penurunan dibanding tahun tahun sebelumnya (Badan Pusat Statistik).

  Dalam meningkatkan penerimaan pajak. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak terus melakukan kegiatan ekstensifikasi. Salah satu upaya ekstensifikasi tersebut adalah meningkatkan jumlah Pengusaha Kena Pajak.

  Dengan bertambahnya jumlah Pengusaha Kena Pajak maka akan meningkatkan penerimaan pajak. Namun saat ini ini masih banyak Wajib Pajak yang menurut ketentuan undang-undang perpajakan sudah wajib terdaftar/dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak namun belum mau mendaftar diri secara sukarela. Sampai dengan tahun 2010, jumlah Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak baru berjumlah 728.488 PKP. Selain itu juga, untuk dapat meningkatkan penerimaan pajak maka pihak fiskus juga harus berupaya untuk bisa meningkatkan tingkat kepatuhan masyarakat Pengusaha Kena Pajak yang telah terdaftar dalam membayar pajak. Dari jumlah Pengusaha Kena Pajak yang ada sebanyak 46 persen saja yang melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT), sedangkan sebanyak 54 persen tidak melaporkan SPT (Direktorat Jenderal Pajak).

  Dengan semakin besarnya peranan pajak sebagai sumber pendapatan negara yang paling besar menjadikan pentingnya kajian-kajian terhadap berbagai faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Khususnya terhadap penerimaan PPN yang secara umum dapat dipengaruhi oleh indikator-indikator ekonomi makro yang ada. Hal ini sangat diperlukan untuk dapat menjaga agar target penerimaan pajak setiap tahunnya dapat tercapai. Sebagaimana kita tahu bahwa target penerimaan pajak semakin besar dari tahun ke tahun, sehingga pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak harus terus berupaya mencari solusi dan terobosan baru dalam meningkatkan penerimaan pajak.

  Atas dasar itulah, maka penulis tertarik untuk membahas masalah ini menjadi sebuah penelitian yang diberi judul "Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia”.

1.2. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka ada rumusan masalah yang dapat diambil sebagai kajian dalam penelitian yang akan dilakukan.

  Hal ini untuk mempermudah dalam penulisan tesis ini. Selain itu, rumusan ini diperlukan sebagai cara untuk mengambil keputusan pada akhir penulisan tesis, antara lain : 1.

  Apakah jumlah Pengusaha Kena Pajak berpengaruh terhadap penerimaan PPN di Indonesia?

  2. Apakah Produk Domestik Bruto berpengaruh terhadap penerimaan PPN di Indonesia?

  3. Apakah ekspor berpengaruh terhadap penerimaan PPN di Indonesia?

  4. Apakah inflasi berpengaruh terhadap penerimaan PPN di Indonesia?

  5. Apakah tingkat suku bunga berpengaruh terhadap penerimaan PPN di Indonesia?

  6. Apakah pengeluaran konsumsi berpengaruh terhadap penerimaan PPN di Indonesia?

  7. Apakah kredit investasi berpengaruh terhadap penerimaan PPN di Indonesia?

  8. Apakah kredit konsumsi berpengaruh terhadap penerimaan PPN di Indonesia?

  9. Apakah inflasi berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi di Indonesia?

  10. Apakah tingkat suku bunga berpengaruh terhadap kredit investasi di Indonesia?

  11. Apakah tingkat suku bunga berpengaruh terhadap kredit konsumsi di Indonesia?

  12. Bagaimana pengaruh inflasi secara langsung, tidak langsung, dan pengaruh total terhadap penerimaan PPN melalui pengeluaran konsumsi?

  13. Bagaimana pengaruh tingkat suku bunga secara langsung, tidak langsung, dan pengaruh total terhadap penerimaan PPN melalui kredit investasi?

  14. Bagaimana pengaruh tingkat suku bunga secara pengaruh secara langsung, tidak langsung, dan pengaruh total terhadap penerimaan PPN melalui kredit konsumsi?

1.3. Tujuan Penelitian

  Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan penelitian ini adalah :

  1. Untuk menganalisis pengaruh jumlah Pengusaha Kena Pajak terhadap penerimaan PPN di Indonesia.

  2. Untuk menganalisis pengaruh Produk Domestik Bruto terhadap penerimaan PPN di Indonesia.

  3. Untuk menganalisis pengaruh ekspor terhadap penerimaan PPN di Indonesia.

  4. Untuk menganalisis pengaruh inflasi terhadap penerimaan PPN di Indonesia.

  5. Untuk menganalisis pengaruh tingkat suku bunga terhadap penerimaan PPN di Indonesia.

  6. Untuk menganalisis pengaruh pengeluaran konsumsi berpengaruh terhadap penerimaan PPN di Indonesia?

  7. Untuk menganalisis pengaruh kredit investasi berpengaruh terhadap penerimaan PPN di Indonesia?

  8. Untuk menganalisis pengaruh kredit konsumsi berpengaruh terhadap penerimaan PPN di Indonesia?

  9. Untuk menganalisis pengaruh inflasi berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi di Indonesia?

  10. Untuk menganalisis pengaruh tingkat suku bunga berpengaruh terhadap kredit investasi di Indonesia?

  11. Untuk menganalisis pengaruh tingkat suku bunga berpengaruh terhadap kredit konsumsi di Indonesia?

  12. Untuk menganalisis pengaruh inflasi secara langsung, tidak langsung, dan total pengaruh terhadap penerimaan PPN melalui pengeluaran konsumsi? 13. Untuk mengetahui pengaruh tingkat suku bunga secara langsung, tidak langsung, dan total pengaruh terhadap penerimaan PPN melalui kredit investasi? 14. Untuk mengetahui pengaruh tingkat suku bunga secara langsung, tidak langsung, dan total pengaruh terhadap penerimaan PPN melalui kredit konsumsi?

1.4. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain : 1.

  Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak mengenai pengaruh jumlah Pengusaha Kena Pajak, Produk Domestik Bruto, ekspor, inflasi, tingkat suku bunga, pengeluaran konsumsi, kredit investasi dan kredit konsumsi terhadap penerimaan PPN di Indonesia.

  2. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak mengenai pengaruh inflasi terhadap penerimaan PPN di Indonesia melalui pengeluaran konsumsi.

  3. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak mengenai pengaruh tingkat suku bunga terhadap penerimaan PPN di Indonesia melalui kredit investasi dan kredit konsumsi.

4. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam hal ini Direktorat

  Jenderal Pajak dalam meningkatkan penerimaan PPN sebagai sumber pendapatan negara.

Dokumen yang terkait

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Animasi - Implementasi Metode Straight Ahead and Pose to Pose Dalam Pembuatan Kartun 2D “Global Warning”

1 2 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Sistem, Keputusan dan Sistem Pendukung Keputusan - Sistem Pendukung Keputusan Perangkingan Penerima BSM dengan Metode Simple Additive Weighting (SAW) dan Weighted Product Model (WPM)

0 0 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN - Perbandingan Metode Simple Additive Weighting (SAW) dan Weighted Product Model (WPM) Dalam Pemberian Jaminan Kesehatan Masyarakat

0 2 14

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Perbandingan Metode Simple Additive Weighting (SAW) dan Weighted Product Model (WPM) Dalam Pemberian Jaminan Kesehatan Masyarakat

0 0 6

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Pakar - Sistem Pakar Mendeteksi Psikopat Pada Seseorang Menggunakan Metode Dempster Shafer dan Certainty Factor

0 2 12

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Sistem Pakar Mendeteksi Psikopat Pada Seseorang Menggunakan Metode Dempster Shafer dan Certainty Factor

1 3 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Sistem, Keputusan dan Sistem Pendukung Keputusan - Penerapan Metode AHP dan FDM pada Pemilihan Rancangan Rumah Tekstur Minimalis Berbasis WEB

0 0 12

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Penerapan Metode AHP dan FDM pada Pemilihan Rancangan Rumah Tekstur Minimalis Berbasis WEB

0 0 6

2.2. Fitur atau Layanan Autocomplete - Implementasi Algoritma Levenshtein Distance dan Boyer Moore untuk Fitur Autocomplete dan Autocorrect pada Aplikasi Katalog Perpustakaan Daerah Aceh Timur

1 1 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Dasar Perpajakan 2.1.1. Defenisi Pajak - Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia

0 1 51