BAB II KERANGKA KONSEPTUAL, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Unsur-Unsur Tanggung Jawab Komando di Dalam Hukum Pidana Internasional: Studi Putusan The Prosecutor V. Jean-Pierre Bemba Gombo/ICC-0
BAB II KERANGKA KONSEPTUAL, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Bab ini berisi uraian hasil penelitian yang kemudian dianalisis sesuai dengan
permasalahan penelitian yang telah dikemukakan dalam Bab I. Sebelum hasil penelitian dan analisis dikemukakan terlebih dahulu pada bagian awal Bab II ini tentang konsep-konsep yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.
A. Kerangka Konseptual
1. Pengertian Kejahatan Internasional
Sampai sekarang belum ada definisi baku mengenai apa yang dimaksud dengan kejahatan internasional (international crimes). M. Cherif Bassiouni dalam bukunya International Criminal Law memberi definisi kejahatan internasional sebagai setiap tindakan yang ditetapkan di dalam konvensi- konvensi multilateral dan diikuti oleh sejumlah negara dan di dalamnya
1
terdapat salah satu dari kesepuluh karakteristik pidana. Sedangkan menurut
Bryan A. Garner kejahatan internasional yaitu: pertama, suatu tindakan
sebagai kejahatan berdasarkan perjanjian (treaty crime) di bawah hukum internasional atau hukum kebiasaan internasional dan mengikat individu secara langsung tanpa diatur dalam hukum nasional. Kedua, ketentuan dalam hukum internasional yang mengharuskan penuntutan terhadap tindakan-
2 tindakan yang dapat dipidana berdasarkan prinsip yurisdiksi universal.
1 M. Cherif Bassiouni dalam Eddy O.S Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional (selanjutnya disingkat Eddy O.S Hiariej I), Jakarta, Erlangga, 2009, hlm. 46. 2 Bryan A. Garner, dalam Op.Cit.
Berikut jenis-jenis kejahatan yang secara umum dianggap sebagai kejahatan internasional:
a. Genosida
Istilah Genosida terdiri atas dua kata, yaitu ‘geno’ yang diambil dari bahasa Yunani yang artinya ‘ras’ dan ‘cidium’ yang diambil dari bahasa Latin yang bermakna ‘membunuh’. Sehingga secara harafiah genosida dapat diartikan sebagai pembunuhan ras. Istilah ini diperkenalkan oleh Raphael Lemkin pada tahun 1944. Lemkin adalah seorang Yahudi kelahiran Polandia yang bermigrasi ke Amerika pada tahun 1930. Ia mulai menggunakan istilah genosida dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe. Lemkin mencatat bahwa istilah yang sama artinya dengan genocide adalah ethochide yang berasal dari kata Yunani ‘ethnos’ yang berarti ‘bangsa’ dan kata Latin ‘cide’.
Istilah genocide ini semakin dikenal karena Amerika mengajukan tuntutan terhadap para penjahat perang NAZI Jerman saat Nuremberg Trial (Pengadilan Nuremberg) digelar,
3 Oleh Raphael Lemkin genocide didefinisikan secara lengkap sebagai:
“Intentional coordinated plan of different actions aiming at the destruction
of essential foundations of the life of national groups with the aim of annihilating the groups themselves. The objectives of such a plan would be disintegration of the political and social institutions of culture, language, national feelings, religion, economic existence, of national groups and the destruction of the personal security, liberty, health, dignity and even the lives of the individuals belonging to such groups, ... The actions involved are directed against individuals, not in their individual capacity, but as members of the national group
.” (Terjemahan bebas: Rencana terkoordinasi yang disengaja dari berbagai tindakan yang bertujuan menghancurkan dasar-dasar penting kehidupan kelompok nasional dengan tujuan untuk memusnahkan kelompok itu sendiri. Tujuan dari rencana semacam itu adalah memporak-porandakan institusi politik dan eksistensi sosial budaya, bahasa, perasaan nasional, 3 Eddy O.S Hiariej, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius terhadap Hak Asasi Manusia (selanjutnya disingkat Eddy O.S Hiariej II), Jakarta, Erlangga, 2010, hlm. 7. agama, ekonomi dari kelompok kebangsaan tertentu serta penghancuran keamanan pribadi, kebebasan, kesehatan, martabat dan bahkan kehidupan individu yang tergabung dalam kelompok tersebut ... Tindakan yang dilakukan diarahkan terhadap individu, bukan dalam kapasitas sebagai pribadi, tetapi sebagai anggota kelompok kebangsaan).
b. Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali dikenal dalam Deklarasi bersama pemerintah Prancis, Inggris dan Rusia tanggal 24 Mei 1915 yang mengutuk tindakan Turki atas kekejaman yang dilakukannya selama perang terhadap populasi Armenia. Dalam deklarasi bersama, tindakan itu diberi nama “crimes against civilization and humanity”. Definisi lebih rinci terhadap istilah ‘crimes against humanity’ dapat ditemukan dalam Piagam London yang melahirkan Nuremberg Trial. Dalam Pasal 6 (c) London Charter of The
International Military Tribunal secara lengkap dinyatakan: “Crimes Against Humanity: Namely, murder, extermination, enslavement, deportation, and other inhumane acts committed against any civilian population, before or during the war; or persecutions on political, racial or religious grounds in execution of or in connection with any crime within the jurisdiction of the tribunal, whether or not in violation of the domestic law of the country w here perpetrated.”
(Terjemahan bebas: Kejahatan terhadap Kemanusiaan: Yaitu, pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap penduduk sipil manapun, sebelum atau selama perang; Atau penganiayaan atas dasar-dasar politik, ras atau agama dalam pelaksanaan atau sehubungan dengan kejahatan di dalam yurisdiksi pengadilan, melanggar atau tidak secara hukum negara dalam negeri yang melakukan pelanggaran).
Demikian pula dalam Charter of the International Military Tribunal for the
Far East yang membentuk Tokyo Trial. Definisi kejahatan terhadap
kemanusiaan terdapat dalam Pasal 5 (c) lengkapnya berbunyi:
“Crimes Against Humanity: Namely, murder, extermination, enslavement, deportation, and other inhumane acts committed against any civilian population, before or during the war; or persecutions on political, racial or religious grounds in execution of or in connection with any crime within
the jurisdiction of the tribunal, whether or not in violation of the domestic law of the country where perpetrated. Leaders, organizers, instigators and accomplices participating in the formulation or execution of a common plan or conspiracy to commit any of the foregoing crimes are responsible for all acts performed by an y person in execution of such plan.”
(Terjemahan bebas: Kejahatan terhadap kemanusiaan: yaitu, pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap penduduk sipil manapun, sebelum atau selama perang; Atau penganiayaan atas dasar-dasar politik, ras atau agama dalam pelaksanaan atau sehubungan dengan kejahatan di dalam yurisdiksi pengadilan, apakah melanggar undang-undang nasional negara tempat dilakukan atau tidak. Pemimpin, penyelenggara, penghasut dan kaki tangan yang berpartisipasi dalam perumusan atau pelaksanaan rencana bersama atau persekongkolan untuk melakukan kejahatan di atas bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukan oleh setiap orang dalam pelaksanaan rencana tersebut.)
Istilah “kejahatan terhadap kemanusiaan” dalam Konvensi mengenai Ketidakberlakuan Daluwarsa
4
untuk Kejahatan Perang dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Resolusi Majelis Umum PBB 2391 (XXIII), 26 November 1968 tercantum dalam Pasal 1 (b). Secara eksplisit dalam pasal tersebut dikatakan: Kejahatan-kejahatan kemanusiaan apakah dilakukan dalam waktu perang atau dalam waktu damai seperti yang didefinisikan dalam Piagam Nuremberg, 8 Agustus 1945 dan yang dikuatkan dengan resolusi-resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, 3 (I) 13 Februari 1946 dan 95 (I) 11 Desember 1946 pengusiran dengan bersenjata, atau pendudukan dan perbuatan- perbuatan tidak manusiawi, yang diakibatkan dari apartheid, dan kejahatan genosida, seperti yang didefinisikan dalam Konvensi 1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Genosida, sekalipun 4 Berdasarkan prinsip daluwarsa hak negara untuk mengenakan pidana terhadap pelaku tindak pidana
dianggap gugur setelah lewat waktu tertentu. Hal ini berarti dapat mencegah terjadinya penundaan proses hukum
namun dapat memberi peluang terjadinya impunitas, yaitu keadaaan dimana seorang pelaku tindak pidana tidak
tersentuh oleh hukum karena otoritas yang memiliki jurisdiksi tidak melakukan proses hukum. Oleh karena itu
melalui praktik kebiasaan internasional untuk kejahatan-kejahatan internasional prinsip daluwarsa tidak diterapkan. Dikutip dari Arie Siswanto, Op.Cit., hlm. 272. perbuatan-perbuatan tersebut tidak merupakan kejahatan terhadap hukum
5 domestik dari negara tempat kejahatan-kejahatan itu dilakukan.
c. Kejahatan Perang
Perang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan permusuhan antara dua negara (bangsa, agama, suku) ataupun pertempuran besar bersenjata
6
antara dua pasukan atau lebih. Hukum perang (Hukum Humaniter Internasional) adalah sekumpulan norma-norma yang mengatur perihal perang. Secara substansial hukum perang dibedakan menjadi dua kategori
7
yaitu ius ad bellum dan ius in bello. Ius ad bellum adalah norma-norma yang mengatur tentang kapan dan dalam keadaan bagaimana sebuah perang yang sah dapat dilancarkan Ius in bello adalah norma-norma yang mengatur hak dan kewajiban dari pihak-pihak yang terlibat dalam perang. Hukum perang dalam arti luas mencakup baik normaius ad bellum maupun norma ius in bello, sedangkan hukum perang dalam arti sempit hanya mencakup norma ius in
bello .
Secara sederhana, kejahatan perang berpangkal dari segala tindakan yang melanggar hukum dan kebiasaan dalam konflik bersenjata namun tidak setiap pelanggaran terhadap norma hukum dan kebiasaan tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang. Cryer (et al.), mengatakan bahwa, “[w]ar crimes law deals with the criminal responsibility of individuals for
8 serious violations of international humanitarian law.
”
5 6 Eddy O.S Hiariej I, Op.Cit., hlm. 62. 7 dikunjungi pada 25 Agustus 2017, pukul 10.20. 8 Arie Siswanto, Op.Cit., hlm. 148.
Robert Cryer dalam Arie Siswanto, Op.Cit., hlm. 165.
Pengertian kejahatan perang dalam London Charter termuat dalam Pasal 6 (b) yang secara tegas menyatakan: “War Crimes: Namely, violations of the laws or customs of war. Such
violations shall include, but not be limited to, murder, ill-treatment or deportation to slave labour or for any other purpose of civilian population of or in occupied territory, murder or ill-treatment of prisoners of war or persons on the seas, killing of hostages, plunder of public or private property, wanton destruction of cities, towns or villages, or devastation not
9
jus tified by military necessity.”(Terjemahan bebas: Kejahatan perang: yaitu, melanggar hukum atau kebiasaan perang. Pelanggaran tersebut harus mencakup, namun tidak terbatas pada, pembunuhan, penganiayaan atau deportasi untuk kerja paksa atau untuk tujuan lain penduduk sipil atau di wilayah yang diduduki, pembunuhan atau penganiayaan terhadap tahanan perang atau orang-orang di laut, pembunuhan sandera, perampasan harta benda publik atau pribadi, penghancuran kota, kota atau desa yang tidak disukai, atau kehancuran yang tidak dibenarkan oleh kebutuhan militer).
d. Kejahatan Agresi
Hingga detik ini belum ada kesepakatan mengenai definisi tentang kejahatan agresi. Namun tidak berarti konsep tentang kejahatan agresi tidak ada.Konsep kejahatan agresi ditemukan pada Piagam Mahkamah Militer Internasional Nurenmberg dalam wujud kejahatan terhadap perdamaian (“crimes against
peace
”). Pasal 6(a) dari Piagam tersebut memuat defenisi kejahatan terhadap perdamaian sebagai berikut:
“Crimes against Peace: namely, planning, preparation, initiation or waging of a war of aggression, or a war in violation of international treaties, agreements or assurances…”
(Terjemahan bebas: Kejahatan terhadap Perdamaian: yaitu, perencanaan, persiapan, inisiasi atau pelaksanaan perang agresi, atau perang yang melanggar perjanjian internasional, kesepakatan atau jaminan ...). Selain itu pada tahun 2002 ICC membentuk Kelompok Kerja Khusus dan berhasil menyusun draft tentang definisi “kejahatan agresi” yang akan diakomodasikan dalam amandemen Statuta Roma 1998. Berikut definisi tentang kejahatan agresi yang dimuat dalam Artikel 8 bis:
9 London Charter of The International Military Tribunal, hlm. 2.
“For the purpose of this Statute, “crime of aggression” means the planning,
preparation, initiation or execution, by a person in a position effectively to exercise control over or to direct the political or military action of a State, of an act of aggression which, by its character, gravity and scale,
constitutes a manifest violation of the Charter of the United Nations.”
Ketentuan tersebut mempertegas gagasan bahwa istilah kejahatan agresi secara khusus menunjuk pada tindakan perseorangan sebagaimana dapat disimpulkan dari frasa “by a person” dalam definisi di atas. Di dalam rumusan definisi tersebut juga dapat ditemukan istilah “act of aggression”, yang dipahami sebagai tindakan negara (act of a state). Oleh karena itu dengan melihat definisi di atas keberadaan kejahatan agresi akan sangat tergantung pada keberadaan act of aggression
. Selanjutnya untuk menguraikan “act of
aggression
” Artikel bis 8 merukuk pada definisi dan cakupan yang terdapat di dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 3314 (XXIX)/1974. Pengaturan lebih lanjut kejahatan agresi mengenai prinsip tanggung jawab individu, pidana, dan lain-lain sama dengan pengaturan yang juga berlaku untuk jenis tindak pidana yang menjadi jurisdiksi ICC, yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.
2. Pengaturan Kejahatan Internasional
Berikut pengaturan kejahatan internasional sebagaimana dimaksud dalam uraian sebelumnya, khususnya mengenai tanggung jawab pidana secara individual dan tanggung jawab komando yang menjadi fokus skripsi ini.
a. Statuta Roma 1998
Gagasan pertanggungjawaban pidana secara individual yang sudah mulai dikemukakan dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional Nurenberg juga ditegaskan dalam Artikel 25 Statuta Roma 1998. Paragraf 1 artikel tersebut menegaskan bahwa ICC memiliki jurisdiksi atas orang pribadi (natural
person) . Melengkapi paragraf 1, paragraf 2 menyatakan bahwa: “a person who commits a crime within the jurisdiction of the Court shall be individually responsible and liable for punishment in accordance with this Statute.”
Prinsip ini diperkuat oleh Artikel 33 Statuta Roma yang mengatur tentang tanggung jawab individual dalam hal melakukan tindakan yang dilarang karena instruksi dari pemerintah atau atasannya, baik sipil maupun militer
10
namun ada pembatasan terhadap prinsip ini. Seseorang yang diinstruksikan untuk melakukan perintah atasan tidak dipidana kalau syarat berikut terpenuhi:
- Orang tersebut terikat kewajiban hukum untuk mematuhi instruksi dari pemerintah atau atasannya;
- Orang tersebut tidak mengetahui bahwa instruksi yang diterimanya tidak sah; dan - Perintah yang diberikan tidak tampak sebagai perintah yang tidak sah. 1) Kriminalisasi Setiap orang yang melakukan genosida, baik secara sendiri maupun bersama-sama, atau yang menyuruhmelakukan (Artikel 25 (3)(a) Statuta Roma 1998), setiap orang yang memerintahkan, mendorong, atau menyebabkan terjadinya genosida atau percobaan genosida (Artikel 25(3)(c) Statuta Roma 1998), setiap orang yang sengaja mengambil peran dalam pelaksanaan genosida, dengan cara mendorong perbuatan melibatkan genosida, atau dengan mengetahui tujuan kelompok pelaku genosida (Artikel 25 (3)(d) Statuta Roma 19980, setiap orang yang secara langsung dan terbuka menghasut orang lain untuk melakukan genosida (Artikel 25 (3)(e) Statuta Roma
11 1998), dan setiap orang yang melakukan percobaan genosida.
2) Pidana Sama seperti Statuta ICTY dan ICTR, Statuta Roma 1998 secara 10 implisit juga mengesampingkan dijatuhkannya hukuman pidana mati 11 Arie Siswanto,Op.Cit.,hlm. 63.
Ibid. kepada pelaku genosida dan kejahatan lain yang berada dalam cakupan jurisdiksi ICC.
Artikel 77 Statuta Roma tersebut secara tegas menyatakan:
1. Subject to article 110, the Court may impose one of the
following penalties on a person convicted of a crime referred to in article 5 of this Statute: (a) Imprisonment for a specified number of years, which may not exceed a maximum of 30 years; or (b) A term of life imprisonment when justified by the extreme gravity of the crime and the individual circumstances of the convicted person.
2. In addition to imprisonment, the Court may order: (a) A fine
under the criteria provided for in the Rules of Procedure and Evidence; (b) A forfeiture of proceeds, property and assets derived directly or indirectly from that crime, without prejudice to the rights of bona fide third parties.
( Terjemahan bebas:
1. Tunduk pada artikel 110, Mahkamah dapat mengenakan satu di antara hukuman-hukuman berikut ini kepada seseorang yang dihukum atas suatu kejahatan berdasarkan artikel 5 Statuta ini: (a) Hukuman penjara selama tahun-tahun tertentu, yang tidak melebihi batas tertinggi 30 tahun; atau b) Hukuman penjara seumur hidup apabila dibenarkan oleh gawatnya kejahatan dan keadaan-keadaan pribadi dari orang yang dihukum.
2. Di samping hukuman penjara, Mahkamah dapat memutuskan: 51 (a) Denda berdasarkan kriteria yang ditetapkan dalam Hukum Acara dan Pembuktian; (b) Penebusan hasil, kekayaan dan aset yang berasal langsung atau tidak langsung dari kejahatan itu, tanpa merugikan hak-hak pihak ketiga yang bona fide.)
Dapat kita ketahui bahwa ada dua jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku genosida dan kejahatan internasional lain dalam yurisdiksi ICC yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pemahaman pelaku dalam konteks tanggung jawab pidana secara individual ini diperluas tidak hanya sebatas pelaku langsung melainkan juga setiap orang yang bersama-sama melakukan tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan, orang yang memerintahkan, mendorong, menyuruhlakukan, membantu serta memfasilitasi kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sedangkan prinsip tanggung jawab komando (atasan bertanggung jawab atas tindakan bawahannya) yaitu seorang komandan militer atau seorang atasan dapat dianggap ikut memikul tanggung jawab pidana atas tindakan yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kendali dan pengawasannya.
a) Perintah atasan dan perintah hukum tidak menghilangkan tanggung jawab pidana pelaku Tanggung jawab pidananya dapat dihapuskan jika:
- Ia terikat pada kewajiban hukum untuk mematuhi perintah atasannya itu;
- Ia tidak mengetahui bahwa perintah atasannya itu bertentangan dengan hukum; dan
b) Perintah atasannya tidak serta-merta bersifat melawan hukum Jika perintah yang diberikan kepada pelaku itu adalah perintah untuk melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, perintah itu dikategorikan sebagai perintah yang nyata-nyata melawan hukum, sehingga ketika dilakukan oleh seorang bawahan ia tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab pidananya dengan alasan apapun. Dari sisi pidana yang diancamkan, Statuta Roma 1998 menganut gagasan yang sama seperti Statuta ICTY dan Statuta ICTR yaitu sama- sama tidak mengenal pidana mati (death penalty) sebagai pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku kejahatan kemanusiaan.
b. Sumber hukum lain
1) Konvensi Genosida 1948 Pada 9 Desember 1948 istilah genosida didefinisikan dalam
Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide yang diterima oleh Resolusi Majelis Umum PBB 260 (III).
Dalam Pasal 1 Konvensi tersebut dinyatakan bahwa genosida yang dilakukan pada waktu damai atau pada waktu perang adalah kejahatan menurut hukum internasional (... genocide, whether committed in time of peace or in time of war, is a crime under international law ...).
Sedangkan pengertian genosida dirumuskan secara lengkap dalam
Pasal 2 yang didahului dengan unsur umum sebelum uraian jenis-jenis perbuatan genosida. Unsur umum dalam Pasal 2 berbunyi:
“In the present convention, genocide means any of the following acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnic al, racial or religious group.”
(Terjemahan bebas: Dalam Konvensi ini, genosida diartikan sebagai perbuatan-perbuatan berikut, yang dilakukan dengan tujuan merusak begitu saja, keseluruhan ataupun sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, rasial atau agama.)
Sementara Pasal 3 Konvensi Genosida 1948 menyebutkan bahwa perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum adalah genosida, persekongkolan untuk melakukan genosida (conspiracy to commit
genocide ), hasutan langsung dan di depan umum untuk melakukan
genosida (direct and public incitement to commit genocide), mencoba melakukan genosida (attempt to commit genocide) dan penyertaan dalam genosida (complicity in genocide). Dengan kata lain, permufakatan jahat, percobaan dan penyertaan melakukan genosida, dihukum sebagaimana melakukan genosida.
2) Piagam Mahkamah Internasional Nuremberg Setelah Perang Dunia II berakhir, empat negara sekutu yaitu Amerika, Inggris, Prancis dan Uni Soviet menyatakan dalam Perjanjian London (London Agreement) pada 8 Agustus 1945 akan berupaya untuk mengadili para penjahat perang. Hal tersebut diwujudkan melalui terbentuknya dua pengadilan yaitu Pengadilan Militer Internasional (International Military Tribunal) di Nuremberg (Nürnberg) pada tahun 1945 dan pada tahun 1946 di Tokyo untuk mengadili para penjahat perang yang utama. Menurut Piagam Mahkamah Internasional Nuremberg, ada beberapa prinsip-prinsip hukum internasional yang terkandung dalam piagam
12
tersebut yaitu: (1) Setiap orang bertanggung jawab dan harus dijatuhi hukuman atas tindakan kejahatan yang dilakukannya menurut hukum internasional. (2) Adanya kenyataan bahwa hukum nasional (internal law) tidak menerapkan hukuman bagi tindakan yang merupakan kejahatan menurut hukum internasional tidak melepaskan pelaku dari tanggung jawab menurut hukum internasional.
(3) Seorang kepala negara atau pejabat pemerintah yang bertanggung jawab yang melakukan suatu kejahatan menurut hukum internasional tidak menyebabkan mereka lepas dari tanggung jawab menurut hukum internasional.
12 Natsri Anshari, Tanggung Jawab Komando menurut Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Indonesia , dalam Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta, RajaGrafindo Persada,
2014, hlm. 218.(4) Seseorang yang melakukan tindakan kejahatan menurut hukum internasional sesuai dengan perintah pemerintahnya atau atasannya tidak melepaskan dirinya dari tanggung jawab menurut hukum internasional.
(5) Setiap orang yang didakwa melakukan suatu kejahatan menurut hukum internasional berhak atas pengadilan yang adil mengenai faktanya atau hukumnya. (6) Kejahatan yang dihukum sebagai kejahatan menurut hukum internasional, yaitu kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah suatu kejahatan menurut hukum internasional.
3) Statuta ICTY Perang saudara yang terjadi di Yugoslavia pada tahun 1991-1993 merupakan perang dahsyat dengan terjadinya pembantaian dan pembunuhan massal terhadap penduduk sipil yang menyebabkan jatuhnya ribuan korban. Selain itu pada tahun 1994 di Rwanda Afrika juga terjadi peristiwa serupa yaitu perang saudara yang juga menimbulkan ribuan korban. Hal inilah yang mendasari Dewan Keamanan PBB berdasarkan kewenangannya dalam Bab VII Piagam, dalam kasus Bekas Yugoslavia Dewan Keamanan membentuk Mahkamah Pidana Internasional dengan Resolusi Nomor 808 pada 22 Februari 1993 dan disempurnakan dengan Resolusi Nomor 827 pada
25 Mei 1993. Resolusi ini diamandemen dengan Resolusi Nomor 1166 pada 11 Mei 1998, kemudian diamandemen lagi dengan Resolusi
13 Nomor 1329 pada tanggal 30 November 2000.
Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) adalah sebuah badan PBB yang didirikan untuk mengadili para penjahat perang di Yugoslavia. Pengadilan atau tribunal ini berfungsi sebagai sebuah pengadilan ad-hoc yang merdeka dan terletak di Den Haag, Belanda. Sedangkan Statuta ICTY adalah instrument hukum internasional yang menjadi landasan pembentukan ICTY.
Berikut yurisdiksi yang dimiliki ICTY:
- Yurisdiksi Personal, yaitu kewenangan untuk mengadili individu (bersifat individual), artinya bahwa pertanggungjawaban diberikan secara individu dengan tidak memandang status ataupun kedudukan di dalam Negara Yugoslavia. Perbuatan yang termasuk dalam hal ini dapat berupa suatu perencanaan, memerintahkan, melaksanakan ataupun sebagai orang yang bertindak melaksanakan perintah yang diberikan oleh atasannya (komando).
Yurisdiksi Teritorial, yaitu kewenangan untuk mengadili - berkaitan dengan wilayah Bekas Yugoslavia dan berdasarkan Artikel 8
ICTY, yurisdiksi Mahkamah meluas dari wilayah bekas Republik Federasi Yugoslavia termasuk permukaan daratan, ruang udara dan perairan teritorialnya. Namun jika ditinjau dari segi tempat atau teritorialnya, peristiwa kriminal tersebut tidak dapat dipisahkan
13 Anis Widyawati, Hukum Pidana Internasional, Jakarta Timur, Sinar Grafika, 2014, hlm. 144.
sehingga peristiwa tersebut harus dipandang sebagai satu kesatuan yang terjadi di dalam wilayah Bekas Yugoslavia.
Yurisdiksi Temporal, yaitu kewenangan yang terkait waktu - berlakunya dari peristiwa kejahatan yang terjadi di Bekas Yugoslavia, yang terjadi mulai 1 Januari 1991 dengan tidak menegaskan batas akhir (Artikel 8 ICTY). Ketentuan tidak menegaskan batas akhir ini membuat Mahkamah tidak terikat oleh batas waktu terakhirnya sehingga Mahkamah dapat bertindak dengan fleksibel dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Yurisdiksi Kriminal, yaitu kewenangan Mahkamah dalam - melakukan tindakan untuk menangkap, menahan dan mengadili para pelaku berkaitan dengan kejahatan-kejahatan yang termasuk dalam kewenangan Mahkamah yaitu atas pelanggaran serius hukum humaniter internasional (serious violations of international
humanitarian law ). Yurisdiksi kriminal yang dimiliki Mahkamah yaitu
pelanggaran berat atas Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 (grave
breaches of the Geneva Conventions of 1949 ), pelanggaran atas hukum
atau kebiasaan perang (violations of laws of customs of war), genosida (genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity ).
Artikel 7(3) Statuta ICTY tentang pertanggungjawaban pidana individu menyatakan bahwa:
“The fact that any of the acts referred to in articles 2 to 5 of the present Statute was committed by a subordinate does not relieve his superior of criminal responsibility if he knew or had reason to know that the subordinate was about to commit such acts or had done so and the superior failed to take the necessary and reasonable measures to prevent such acts or to punish the perpetrat ors thereof.”
(Terjemahan bebas: Fakta bahwa tindakan yang disebutkan dalam Artikel 2 hingga 5 dari Statuta ini dilakukan oleh bawahan dan tidak membebaskan atasannya dari tanggung jawab pidana jika dia mengetahui atau memiliki alasan untuk mengetahui bahwa bawahannya tersebut akan melakukan tindakan atau telah melakukan tindakan tersebut dan atasannya gagal mengambil tindakan yang diperlukan dan masuk akal untuk mencegah tindakan tersebut atau untuk menghukum bawahannya (pelakunya).”
Dari kutipan tersebut kita mengetahui bahwa Statuta ICTY juga mengatur tentang tanggung jawab komando dan memiliki pernyataan yang sama seperti Statuta Roma. 4) Statuta ICTR Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda (International
Criminal Tribunal for Rwanda ) adalah pengadilan internasional yang
didirikan pada November 1994 oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa berdasarkan Resolusi 955 tanggal 9 November 1994 dengan tujuan untuk mengadili orang yang bertanggung jawab atas terjadinya Genosida Rwanda dan pelanggaran hukum internasional lain
14
di Rwanda dari 1 Januari hingga 31 Desember 1994. Tempat kedudukan Mahkamah ini di Arusha, Tanzania.
Berikut yurisdiksi yang dimiliki Mahkamah ICTR: Yurisdiksi Personal, yaitu kewenangan yang terbatas pada - individu bukan pada badan hukum lain seperti negara, organisasi internasional maupun badan hukum publik maupun privat. Sebagaimana yang diatur Artikel 2 ICTR yaitu individu-individu yang
14 dikunjungi pada 29 Agustus 2017, pukul 15.09. merencanakan, memerintahkan, melakukan, memberikan bantuan atau turut serta dalam perencanaan, persiapan atau pelaksanaan kejahatan- kejahatan yang ditentukan dalam Artikel 2-4 ICTR, yang mereka itu
15 bertanggungjawab secara individual atas kejahatan yang dilakukan.
Yurisdiksi Teritorial, berdasarkan Artikel 7 ICTR yurisdiksi - territorial Mahkamah ini yaitu wilayah Rwanda yang meliputi permukaan daratan, ruang, udara termasuk wilayah negara tetangga yang berkenaan dengan pelanggaran serius yang dilakukan oleh warga negara Rwanda.
Yurisdiksi Temporal, ditegaskan dalam Artikel 7 ICTR dan - yang menjadi kewenangan Mahkamah dalam menangani perkara yang berlangsung antara tanggal 1 Januari 1994 sampai 31 Desember 1994. Berbeda dengan yurisdiksi temporal Mahkamah ICTY yang tidak memiliki batas waktu, yurisdiksi Mahkamah ICTR memiliki rentang waktu yang dalam ketentuan ini telah dijelaskan secara jelas.
Yurisdiksi Kriminal - Berikut yang termasuk dalam yurisdiksi kriminal Mahkamah Rwanda yaitu pelanggaran serius (the most serious crimer) atas hukum humaniter internasional yang meliputi genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), pelanggaran atas Artikel 3 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II (violations of Article 3 common to the Genewa Conventions and of Additional Protocol II ).
15 Anis Widyawati, Op.Cit., hlm. 148.
Statuta ICTR juga sama-sama mengatur tentang tanggung jawab komando. Artikel 6(3) Statuta ICTR menyatakan bahwa:
“The fact that any of the acts referred to in Articles 2 to 4 of the present Statute was committed by a subordinate does not relieve his or her superior of criminal responsibility if he or she knew or had reason to know that the subordinate was about to commit such acts or had done so and the superior failed to take the necessary and reasonable measures to prevent such acts or to punish the perpetrators the reof.”
(Terjemahan bebas: Fakta bahwa setiap tindakan sebagaimana yang diatur Artikel 2 hingga 4 dari Statuta ini adalah yang dilakukan oleh bawahan dan tidak membebaskan atasannya dari tanggung jawab pidana jika dia tahu atau punya alasan untuk mengetahui bahwa bawahannya akan melakukan tindakan atau telah melakukan tindakan kejahatan serta atasan tersebut gagal mengambil tindakan yang diperlukan dan masuk akal untuk mencegah tindakan tersebut ataupun menghukum para pelakunya.)
3. Penegakan Hukum terhadap Kejahatan Internasional
a. Mahkamah Pidana Internasional (ICC)
1) Pembentukan dan Dasar Hukum ICC Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) adalah pengadilan pidana internasional yang bersifat permanen yang bertujuan untuk menuntut setiap individual yang melakukan kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Lembaga ini menjadi pengadilan pidana internasional permanen yang pertama karena pengadilan pidana internasional sebelumnya bersifat ad hoc. ICC merupakan mahkamah yang didirikan oleh suatu keputusan Dewan Keamanan PBB yang bertindak di bawah Bab VII Piagam PBB berkenaan dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.
Statuta Roma 1998 merupakan landasan berdirinya ICC, yang juga telah menetapkan prinsip-prinsip dasar dari lembaga tersebut sebagaimana tercantum dalam tabel sebagai berikut:
TABEL 1
16 PRINSIP-PRISIP DASAR INTERNATIONAL CRIMINAL COURT
No. Prinsip Keterangan 1.
ICC merupakan pelengkap dari yurisdiksi pidana Komplementer, Pasal
1 Statuta Roma 1998 nasional. Berdasarkan prinsip ini, ICC hanya bersifat pelengkap terhadap yurisdiksi pidana suatu negara.
Dimuatnya prinsip ini, sekaligus merupakan pengakuan terhadap prinsip kedaulatan negara dan harapan masyarakat internasional agar sistem hukum nasional memuat pengaturan hukum untuk mengatur dan menghukum tindak-tindak pidana yang menjadi keprihatinan dunia.
2. ICC dapat menentukan bahwa suatu kasus dinyatakan Penerimaan, Pasal 17
Statuta Roma 1998 tidak dapat diterima apabila:
a. Kasusnya sedang diperiksa atau diadili oleh negara setempat; b. Perkaranya telah diselidiki oleh negara setempat dan negara tersebut memutuskan untuk tidak melakukan tuntutan terhadap orang yang bersangkutan;
c. Orang yang bersangkutan telah diadili untuk perbuatan yang sama dengan perbuatan yang menjadi dasar tuntutan ICC seperti disebut dalam Pasal 20 ayat 3 Statuta;
d. Kasusnya tidak cukup berat untuk memerlukan tindakan lebih lanjut dari ICC.
3. Pelaksanaan yurisdiksi ICC atas tindak- tindak pidana Otomatis, (Automatic
Principle ), Pasal 12 yang tercantum dalam Statuta tidak memerlukan
ayat (1) Statuta Roma persetujuan sebelumnya dari negara pihak. Selanjutnya 1998 atas dasar Pasal 12 ayat (2) Statuta, ICC dapat melaksanakan yurisdiksinya, apabila
a. Kejahatan terjadi di wilayah negara pihak Statuta
b. Orang yang melakukan kejahatan tersebut adalah warga negara dari negara pihak tersebut.
4. ICC tidak boleh melaksanakan yurisdiksinya atas Ratio Temporis
(Yurisdiksi Temporal) kejahatan-kejahatan yang terjadi sebelum berlakunya Pasal 24Statuta Roma Statuta. 1998
5. Nullum
Pasal 22 Statuta menjelaskan bahwa tidak seorangpun Prinsip Crimen Sine Lege dapat bertanggung jawab secara pidana berdasarkan Pasal 22 dan Pasal Statuta, kecuali tindakan tersebut waktu dilakukan
23Statuta Roma 1998 merupakan suatu tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi ICC. Pasal 23 menegaskan bahwa seseorang yang telah didakwa ICC hanya dapat dijatuhi pidana 16 sesuai dengan Statuta.
Boer Mauna dalam Denny Ramdhany, Hukum Humaniter Internasional dalam studi hubungan internasional , Depok, Rajagrafindo Persada, 2009, hlm. 172.
9. Prinsip Praduga Tak Bersalah (Presumption of
6. Prinsip Neb is idem
dapat mencegah ICC dalam melaksanakan yurisdiksinya sesuai Pasal 16 yang berbunyi tidak ada penyidikan atau penuntutan yang dapat dimulai atau dilaksanakan sesuai Statuta untuk jangka waktu 12 bulan, setelah DK dalam resolusinya yang dibuat menurut Bab VII, meminta ICC untuk menangguhkan penyidikan atau tuntutan.
17
DK (Security Council)
10. Prinsip Hak Veto Dewan Keamanan (DK) untuk Menghentikan Penuntutan
Setiap orang dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah di depan ICC sesuai hukum yang berlaku.
Pasal 66Statuta Roma 1998
Innocence )
Seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dalam wilayah yurisdiksi ICC bertanggung jawab secara pribadi dan dapat dihukum sesuai Statuta.
ICC menganut prinsip complementarity, yang artinya ICC hanya sebagai pelengkap pengadilan nasional suatu negara karena negara tersebut sudah mempunyai kewajiban berdasar hukum internasional untuk mengadili individu yang bertanggung jawab atas kejahatan yang terjadi. Mahkamah ICC hanya akan mengadili apabila negara tersebut:
Pasal 25Statuta Roma 1998
Jawab Pidana secara Individu
8. Prinsip Tanggung
ICC mempunyai yurisdiksi atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan di wilayah negara-negara pihak tanpa memandang kewarganegaraan dari pelaku.
7. Prinsip Ratio Loctie (Yurisdiksi Teritorial) Pasal 12 ayat (2)Statuta Roma 1998
Seseorang tidak dapat dituntut lagi di ICC atas tindak pidana yang sama yang telah diputuskan atau dibebaskan oleh ICC.
Pasal 20Statuta Roma 1998
2) Kewenangan ICC
- Tidak mampu (unable) atau tidak bersedia (unwilling) atau
- Hanya menjalankan pengadilan pura-pura untuk membebaskan terdakwa dari pertanggungjawaban pidana;
17 Anis Widyawati, Op.Cit., hlm. 156.
Tidak menjalankan pengadilan secara independen (mandiri) - dan imparsial (tidak memihak).
ICC tidak akan mengadili suatu kasus jika kasus sedang diselidiki atau tituntut oleh suatu negara yang mempunyai yurisdiksi atau kasus tersebut, kecuali jika:
Negara tersebut tidak bersedia atau benar-benar tidak dapat - melakukan penyelidikan atau penuntutan; Langkah-langkah hukum sudah atau sedang dilakukan atau - keputusan nasional yang diambil untuk tujuan melindungi orang yang bersangkutan dari tanggung jawab pidana atas kejahatan;
- Ada suatu penangguhan (proses,penundaan) yang tidak dapat dibenarkan dalam langkah-langkah hukum yang tidak sesuai dengan maksud untuk membawa orang yang bersangkutan ke depan mahkamah atau
Langkah-langkah hukum dulu atau sekarang tidak dilakukan - secara mandiri atau memihak.
3) Organ-organ ICC
ICC memiliki tujuan untuk bertindak sebagai lembaga (sarana) pencegah terhadap orang yang berencana melakukan kejahatan serius menurut hukum internasional, mendesak pengadilan nasional yang bertanggung jawab secara mendasar untuk mengajukan mereka yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia, mengupayakan agar para korban pelanggaran hak asasi manusia dan keluarganya bisa memiliki kesempatan untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran. Untuk mewujudkan tujuan dari ICC tersebut diperlukan organ-organ di dalamnya. Berikut organ-organ di dalam ICC:
Presidency -
Pada dasarnya menurut Artikel 38 paragraf (1) Statuta Roma 1998, ICC memiliki 18 Pre-Trial Division hakim. Lembaga Kepresidenan ICC terdiri atas 3 hakim (1 ketua dan 2 wakil ketua) yang dipilih oleh seluruh hakim ICC. Lembaga Kepresidenan ini bertugas dalam pelaksanaan fungsi ICC kecuali fungsi penuntutan yang ada di tangan Prosecutor .
Divisions -
Ada 3 divisi judisial yang terdapat dalam ICC. Pertama Pre-Trial
Division, Trial Division dan Appeals Division. Appeals Division
beranggotakan Presiden ICC dan 4 hakim lainnya, dan Trial Division sekurang-kurangnya beranggotakan 6 hakim ICC. Hakim yang menjadi anggota Appeals Division hanya bertugas pada divisi tersebut sepanjang masa jabatannya.
Kedelapan belas hakim ICC membentuk Chambers yang secara fungsional menjalankan persidangan sesuai dengan tahapan pemeriksaan suatu perkara. Sehingga ICC terdiri atas 3 Chambers yaitu
Pre-Trial Chamber , Trial Chambers dan Appeals Chamber. Seluruh
hakim yang menjadi bagian dari Appeals Division dengan sendirinya juga akan menjadi anggota Appeals Chamber. Trial Chamber terdiri atas 5 hakim yang diambil dari antara and Cooperation Division hakim- hakim yang berada di Trial Division. Pre-Trial Chamber terdiri atas 3 hakim yang diambil dari antara hakim-hakim di Pre-Trial Division, meskipun pula dimungkinkan pula untuk menunjuk hakim tunggal dalam hal-hal tertentu.
The Office of the Prosecutor -
Memiliki fungsi untuk melakukan penyelidikan atas dugaan terjadinya kejahatan internasional dan melakukan penuntutan terhadap pelakunya. Office of the Prosecutor dikepalai oleh seorang Prosecutor (Jaksa) yang dibantu oleh seorang Deputy Prosecutor. Office of the
Prosecutor terdiri atas dua divisi yaitu pertama Jurisdiction, Complementary dan kedua Investigation Division. Prosecutor dipilih
oleh Majelis Negara-Negara Pihak (Assembly of State Parties) untuk masa jabatan 9 tahun.
- The Registery (Panitera) Kepaniteraan memiliki tugas dalam bidang nonyudisial, administratif dan pelayanan di bawah Presiden Mahkamah.Anggota dari kepaniteraan ini berasal dari negara peserta yang mendapat rekomendasi dari Mahkamah.Panitera bekerja secara penuh waktu dengan masa jabatan selama 5 tahun dan dapat dipilih lagi dengan kesempatan satu kali saja. Kepaniteraan Mahkamah sendiri terdiri atas unit korban dan unit saksi yang berguna untuk membantu Mahkamah (hakim) melaksanakan tugasnya untuk mengadili para pelaku kejahatan internasional.
b. Prosedur Pemeriksaan dan Penanganan Perkara di ICC
Prosedur pemeriksaan dan Penanganan perkara yaitu hukum acara yang dilakukan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) semuanya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Statuta Roma 1998. Untuk kepentingan peradilan Mahkamah, hukum acara dan pembuktian tersebut juga telah disahkan oleh Majelis Negara Peserta berdasarkan suara mayoritas 2/3 dari seluruh anggota negara peserta. Pada dasarnya ketentuan yang diatur Statuta Roma 1998 hanyalah ketentuan dasar dan pedoman di dalam menerapkan dan menjalankan persidangan yang berhubungan dengan hukum acara dan proses pembuktian yang akan dilakukan. Artikel 5 Statuta Roma 1998 menerangkan apabila terjadi pertentangan antara ketentuan hukum acara dan pembuktian maka yang akan diutamakan yaitu ketentuan dasar yang diatur dalam Statuta Roma 1998. Jadi, kedudukan Statuta Roma 1998 lebih tinggi kedudukannya jika dibandingkan dengan hukum acara dan pembuktian. Ini merupakan penerapan dari salah satu adagium hukum “lex superior derogat lex inferiori” yaitu undang-undang yang lebih tinggi mengenyampingkan undang-undang yang lebih rendah tingkatannya. Artikel 1 Statuta Roma 1998 juga menyebutkan bahwa ICC merupakan pelengkap bagi yurisdiksi hukum pidana nasional, sehingga harus mendahulukan sistem nasional. Kecuali jika sistem nasional yang ada benar- benar tidak mampu (unable) dan tidak bersedia (unwilling) untuk melakukan penyelidikan atau menuntut tidak pidana yang terjadi. Dalam hal ini ada beberapa alasan dari suatu tindak pidana yang tidak dapat diterima atau disidangkan oleh ICC yaitu sebagaimana diatur di dalam Artikel 17 Statuta Roma 1998 yaitu sebagai berikut.
1) Suatu perkara tidak dapat diterima untuk ditangani oleh ICC apabila: