BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Fungsi Dan Makna Verba Utsu Dan Tataku Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru (Utsu) To (Tataku) No Kinou To Imi No Bunseki

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. (Chaer, 1994:32). Sedangkan menurut Sutedi (2003:2), bahasa digunakan sebagai alat untuk menyampaikan suatu ide, pikiran, hasrat, dan keinginan kepada orang lain dan berperan dalam perkembangan berbagai macam aspek kehidupan manusia . Sehingga perkembangan yang terjadi dalam aspek-aspek kehidupan manusia mempengaruhi perkembangan suatu bahasa. Dengan demikian, fungsi bahasa adalah sebagai media untuk menyampaikan makna kepada seseorang, baik secara lisan maupun tulisan. Berdasarkan fungsinya, bahasa dapat dikaji secara internal maupun secara eksternal. Yang dimaksud kajian secara internal adalah pengkajian itu hanya dilakukan terhadap struktur intern bahasa itu saja, yaitu struktur fonologis, morfologis, sintaksis, dan semantik. Selanjutnya, kajian ini akan menghasilkan varian-varian bahasa tanpa berkaitan dengan masalah di luar bahasa. Kajian ini dilakukan dengan menggunakan teori-teori dan norma atau prosedur yang telah ada di dalam disiplin linguistik. Sedangkan kajian eksternal adalah pengkajian yang dilakukan terhadap struktur di luar bahasa itu sendiri, misalnya sosiolinguistik, psikolinguistik, neurolinguistik, dan lain-lain (Chaer, 2004:1). Dalam kajian internal bahasa, terdapat empat bidang kajian atau cabang lingu istik yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Fonologi (on-inron) merupakan cabang linguistik yang mengkaji tentang lambang bunyi bahasa berdasarkan fungsinya. Morfologi (keitairon) adalah cabang linguistik yang mengkaji tentang kata dan proses pembentukannya. Sintaksis (tougoron) adalah cabang linguistik yang mengkaji tentang struktur dan unsur-unsur pembentuk kalimat. Dan cabang ilmu linguistik internal yang terakhir adalah semantik (imiron).

  Semantik (imiron) merupakan salah satu cabang linguistik yang mengkaji tentang makna (Sutedi, 2003:103). Semantik memiliki peranan yang penting, karena bahasa yang digunakan dalam komunikasi tidak lain hanya untuk menyampaikan suatu makna. Ada pendapat yang menyatakan bahwa setiap jenis penelitian yang berhubungan dengan bahasa, apakah itu struktur kalimat, kosakata, ataupun bunyi-bunyi bahasa, pada hakikatnya tidak akan terlepas dari makna.

  Makna suatu kata biasanya akan berkembang, karena dipengaruhi oleh konteks atau situasi dalam kalimatnya. Makna yang sama namun nuansa yang berbeda dalam kalimat berkaitan dengan relasi makna. Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lainnya (Chaer, 1994:297). Dua buah kata atau lebih yang mempunyai makna yang sama, bisa dikatakan sebagai kata yang bersinonim. Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu ujaran dengan satuan ujaran yang lainnya (Chaer, 1994:297). Akan tetapi, dalam semantik dua buah ujaran yang bersinonim tidak akan sama persis. Hal ini terjadi karena berbagai faktor, diantaranya nuansa makna. Misalnya pada kata Utsu dan Tataku, karena ada kemiripan makna maka dikatakan bersinonim. Akan tetapi, meskipun bersinonim, hanya pada konteks tertentu saja, karena tidak ada sinonim yang semuanya sama persis, dalam konteks atau situasi tertentu pasti akan ditemukan suatu perbedaannya meskipun kecil.

  Sinonim dalam bahasa Jepang bisa ditemukan tidak hanya pada verba saja, tetapi juga pada nomina, adjektiva, bahkan pada ungkapan dan partikel pun bisa terjadi.

  Sebagai contoh, pemakaian verba Utsu dan Tataku adalah seperti di bawah ini.

  Contoh : 1. 手を打って人を呼ぶ。 Te wo utte hito wo yobu.

  Memanggil orang dengan menepuk tangan . (Izuhara Shouji, 1998:120 ) 2. 子供の尻を叩く。 Kodomo no shiri wo tataku.

  Memukul bokong anak. (Izuhara Shouji, 1998:120)

  Melihat kedua contoh kalimat tersebut, dapat diketahui bahwa meskipun kedua verba tersebut memiliki persamaan makna yaitu sama-sama mengandung makna ‘memukul’, namun nuansa makna ‘memukul’ yang diberikan tiap-tiap verba di dalam kalimat terasa berbeda.

  Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai sinonim kata Utsu dan Tataku yang memiliki pengertian yang sama sebagai verba, yaitu ‘memukul’, tetapi memiliki fungsi yang terasa berbeda, yang selanjutnya akan penulis bahas dalam skripsi yang berjudul “Analisis Fungsi dan Makna Verba Utsu dan Tataku dalam Kalimat Bahasa Jepang”.

1.2 Perumusan Masalah

  Penelitian ini mencoba menjelaskan mengenai fungsi dan makna dari verba

  Utsu dan Tataku yang sama-sama memiliki arti ‘memukul’, tetapi masing-masing

  memiliki fungsi yang berbeda dalam penggunaannya, serta belum tentu dapat saling menggantikan. Hal inilah yang menyebabkan munculnya kesulitan bagi pembelajar bahasa Jepang untuk menggunakan ataupun menerjemahkan kalimat ke dalam bahasa Jepang dengan tepat, khususnya bagi kalimat yang memiliki unsur sinonim di dalamnya.

  Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis merumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Seperti apa fungsi dan makna kata Utsu dan Tataku dalam bahasa Jepang?

  2. Bagaimana perbedaan nuansa makna verba Utsu dan Tataku dalam kalimat berbahasa Jepang?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

  

Dalam penulisan proposal skripsi ini penulis membatasi ruang lingkup

pembahasan mengenai fungsi kata yang bersinonim yaitu Utsu dan Tataku.

  Pembahasannya lebih difokuskan kepada analisis perbedaan nuansa makna dari kedua kata yang bersinonim tersebut. Untuk masing-masing kata Utsu dan Tataku akan dibahas 4 buah kalimat, yang diambil dari kalimat-kalimat berbahasa Jepang yang terdapat pada majalah Nipponia, Days Japan dan komik Ashita no Jyo vol:

  

10 serta artikel berbahasa Jepang lainnya yang dikutip dari internet. Untuk

  mendukung pembahasan yang lebih jelas dan memiliki data yang akurat, maka penulis pada bab II akan mengemukakan fungsi dan makna kata Utsu dan Tataku secara umum dalam bahasa Jepang.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1. Tinjauan Pustaka

  Untuk menghindari kesalahan dan kekaburan dalam menginterpretasikan makna dari kata-kata atau istilah yang digunakan dalam penelitian ini, penulis mencoba mendefenisikan beberapa istilah linguistik, khususnya yang berkenaan dengan semantik, serta turut disertakan pula apa sebenarnya pengertian dari fungsi itu sendiri.

  Ilmu linguistik adalah ilmu yang mengkaji tentang bahasa. Ilmu linguistik itu tidak hanya mengkaji sebuah bahasa saja, melainkan juga seluk-beluk bahasa pada umumnya. Salah satu bidang kajian dari linguistik adalah semantik atau kajian makna. Kata semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani yaitu “sema” (kata benda) yang berarti tanda dan lambang. Kata kerjanya adalah

  “semaino” yang berarti menandakan atau melambangkan (Chaer, 2002:2). Makna adalah pengertian suatu konsep yang dimiliki atau terdapat pada tanda linguistik.

  Tanda linguistik bisa berupa kata atau leksem maupun morfem.

  Kosakata (goi) merupakan salah satu aspek kebahasaan yang harus diperhatikan dan dikuasai guna menunjang kelancaran berkomunikasi dalam bahasa Jepang, baik itu ragam lisan maupun tulisan. Goi dapat diklasifikasikan menjadi sepuluh kelas kata yaitu verba (doushi), adjektiva-I (keiyoushi), adjektiva-Na (keiyoudoushi), nomina (meishi), pronomina (rentaishi), adverbial (fukushi), interjeksi (kandoushi), konjugasi (setsuzokushi), verba bantu (jodoushi), dan partikel (joshi), (Dahidi dan Sudjianto, 2007:98). Utsu dan Tataku yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah termasuk ke dalam golongan verba (doushi).

  Nomura dalam Dahidi dan Sudjianto (2007:149) menyebutkan pengertian verba atau doushi adalah salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang, kelas kata ini dipakai untuk menyatakan aktifitas, keberadaan, atau keadaan sesuatu. Doushi dapat mengalami perubahan, dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat.

  Sedangkan menurut Sutedi (2003:42) verba adalah kata kerja yang berfungsi sebagai predikat dalam kalimat, mengalami perubahan bentuk (katsuyou), dan bisa berdiri sendiri.

  Dalam penelitian ini penulis ingin menganalisis makna verba Utsu dan

  

Tataku yang memiliki makna yang hampir sama (mirip) tetapi berbeda cara

  penggunaannya di dalam kalimat. Hal ini menyangkut tataran bidang linguistik yaitu semantik. Objek kajian semantik antara lain makna kata, relasi makna, makna frase, dan makna kalimat. Lalu objek kajian yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas ini adalah relasi makna khususnya sinonim, karena dalam hal ini verba Utsu dan Tataku adalah kata-kata yang bersinonim.

  Dalam bahasa Jepang sinonim disebut ruigigo. Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 1994:267). Dua buah ujaran atau lebih yang bersinonim maknanya tidak akan persis sama. Ketidaksamaan ini terjadi karena berbagai faktor, antara lain faktor waktu, faktor tempat atau wilayah, faktor keformalan, faktor sosial, faktor bidang kegiatan, dan faktor nuansa makna.

  Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 322), fungsi merupakan:

  1. Jabatan (pekerjaan) yang dilakukan, 2. Kerja suatu bagian tubuh, 3. Matematik

  (besaran yang berhubungan), 4. Kegunaan suatu hal, 5. Linguistik (peran sebuah unsur bahasa dalam satuan sintaksis yang lebih luas).

2. Kerangka Teori

  Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori atau pendekatan semantik menurut Sutedi, dan konsep makna menurut Ferdinand De Saussures. Menurut Sutedi (2003:103) semantik adalah salah satu cabang linguistik yang mengkaji tentang makna. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan makna atau arti dalam bahasa.

  Menurut Ferdinand De Saussure dalam Chaer (1994:287) makna adalah ‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Makna yang sama namun memiliki nuansa yang berbeda dalam kalimat berkaitan dengan relasi makna. Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lainnya (Chaer, 1994:297). Satuan bahasa disini dapat berupa kata, frase, maupun kalimat. Relasi makna ini dapat menyatakan kesamaan makna (sinonim), pertentangan makna (antonim), ketercakupan makna (hiponim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), dan kelebihan makna (redundansi).

  Secara etimologi, kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ‘onama’ yang berarti nama, dan ‘syn’ yang berarti sama. Maka secara harfiah kata sinonim berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’ (Chaer, 2002:82).

  Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 1994:267). Dua buah ujaran atau lebih yang bersinonim maknanya tidak akan persis sama.

  Ketidaksamaan ini terjadi karena berbagai faktor, antara lain faktor waktu, faktor tempat atau wilayah, faktor keformalan, faktor sosial, faktor bidang kegiatan, dan faktor nuansa makna.

  Kata-kata yang bersinonim ada yang dapat saling menggantikan ada pula yang tidak. Karena itu, kita harus memilihnya secara tepat dan seksama untuk menghindari kerancuan dalam menginterpretasikan maknanya. Hal ini berkaitan dengan pilihan kata atau diksi. Dalam bahasa Indonesia, kata diksi berasal dari kata dictionary (bahasa Inggris yang kata dasarnya diction) yang berarti perihal pemilihan kata. Menurut Keraf (2006:24) pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Oleh karena itu, kata yang maknanya hampir sama atau yang disebut sinonim harus dapat dipilih dengan baik sesuai dengan situasi dan konteks kalimatnya.

  Selanjutnya menurut Parera (2004:46) secara umum teori makna dibedakan atas : 1. Teori Referensial atau Korespondensi.

  2. Teori Kontekstual

  3. Teori Mentalisme

  4. Teori Formalitas Dari beberapa makna yang termasuk dalam kajian semantik di atas, teori makna yang dipergunakan adalah teori kontekstual. Teori makna kontekstual adalah sebuah makna leksem atau kata yang berbeda dalam satu konteks, termasuk juga dapat berkenaan dengan situasinya (Chaer, 1994 : 290), atau dengan kata lain makna kontekstual adalah makna yang didasarkan atas hubungan antar ujaran dan situasi yang memakai ujaran tersebut. Berdasarkan teori makna kontekstual tersebut, maka penulis akan menginterpretasikan makna verba Utsu

  

dan Tataku sesuai dengan konteks kalimatnya, serta melihat ketepatan pemilihan

kedua kata bersinonim tersebut dalam kalimat.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

  1. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian adalah : 1. Untuk mengetahui fungsi dan makna kata Utsu dan Tataku.

  2. Untuk mengetahui perbedaan nuansa makna verba Utsu dan Tataku dalam kalimat berbahasa Jepang.

  2. Manfaat Penelitian.

  Adapun manfaat yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah: 1. Dapat dijadikan referensi bagi pembelajar bahasa Jepang dalam memahami makna verba Utsu dan Tataku.

  2. Dapat dijadikan masukan bagi pembelajar bahasa Jepang untuk memahami penggunaan verba Utsu dan Tataku.

  3. Dapat dijadikan sebagai acuan bagi penelitian mengenai kata bersinonim lainnya.

1.6 Metode Penelitian

  Metode penelitian merupakan cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu pengetahuan atau upaya untuk menerangkan suatu fenomena yang terjadi (Ruseffendy, 1994:4). Metode penelitian sangat mempengaruhi keberhasilan dari penelitian tersebut. Seorang peneliti harus menentukan metode yang sesuai demi tercapainya keberhasilan.

  Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Isyandi (2003:13) menyatakan bahwa penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Data- data yang diperoleh adalah melalui penelitian pustaka (Library Research). Dalam hal ini penulis mengumpulkan dan menganalisis buku-buku dan data-data yang berhubungan dengan tata bahasa, baik itu buku berbahasa Jepang, maupun yang berbahasa Indonesia, khususnya buku-buku yang relevan dengan pembahasan skripsi ini.

Dokumen yang terkait

Analisis Fungsi Dan Makna Verba Utsu Dan Tataku Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru (Utsu) To (Tataku) No Kinou To Imi No Bunseki

3 113 70

Analisis Fungsi Dan Makna Fukushi Kanari Dan Zuibun Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou ni Okeru Zuibun To Kanari To Iu Fukushi No Imi To Kiinou No Bunseki

14 146 97

Penggunaan Partikel “To” Dalam Kalimat Bahasa Jepang = Nihongo No Bunshou Ni Okeru “To” No Joshi No Shiyou

1 63 33

Nihongo No Setsuzokushi Ni Okeru /-Tara/ To Indonesiago No Setsuzokushi /Kalau/ No Hikaku Bunseki

5 76 78

Analisis Fungsi Dan Makna Verba “Shikaru” Dan “Okoru” Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita “Shikaru” To “Okoru” No Imi To Kinou No Bunseki

10 65 68

Analisis Nuansa Makna Verba “Mawaru” Dan “Meguru” Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihonggo Bunshou De No ‘Mawaru’ To “Meguru” No Nyuansa No Bunseki

3 69 81

Analisis Fungsi Dan Makna “Mon” Dalam Kalimat Pada Komik “Gals!” Karya Mihona Fujii Mihona Fujii No Sakuhin No “Gals!” No Manga No Bun Ni Okeru “Mon” No Kinou To Imi No Bunseki

1 57 87

Analisis Fungsi Dan Makna Verba Bentuk 「–Te Iku 」Dan 「–Te Kuru 」Dalam Novel ‘Piitaa Pan To Wendi’ [Piitaa Pan To Wendi] No Shousetsu No 「-Te Iku」 To 「-Te Kuru」 To Iu Doushi No Kinou To Imi No Bunseki

8 80 96

Nihongo No Bunshou Ni Okeru (Kibou) O Arawasu Toshite No –Tai To –Tagaru Toiu Jodoushi No Bunseki

5 98 64

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP VERBA, STUDI SEMANTIK DAN KESINONIMAN 2.1 Verba 2.1.1 Pengertian Verba - Analisis Fungsi Dan Makna Verba Utsu Dan Tataku Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru (Utsu) To (Tataku) No Kinou To Imi No Bunseki

0 0 29