Poligami perspektif sosiologi dan islam

Nama : Amalina Rizqi Rahmawati
NIM

: 12010170002

Makul : Pendekatan dan Metode Study Islam
Dosen : Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag.
PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
INTEGRASI DISIPLINER ERA MILINAL:
POLIGAMI PERSPEKTIF SOSIOLOGI DAN ISLAM
A. Abstrak
Poligami telah menjadi perdebatan diantara beberapa kelompok ormas
tentang apakah Islam mengizinkan adanya poligami. Dan sebenarnya
perdebatan tersebut muncul karena ada praktek poligami dikalangan
masyarakat yang muncul ke media. Banyak pro contra dengan adanya
poligami tersebut. Dari beberapa ormas tertentu yang tidak setuju dengan
adanya poligami karena itu tidak menghargai wanita, seakan wanita yang
terdzolimi dengan adanya hal tersebut. Dan mereka merasa laki – laki
zaman sekarang tidak dapat berbuat adil dan memiliki tanggungjawab
dengan adanya istri lebih dari satu. Problematika ini sempat meresahkan

masyarakat, karena merasa Islam memperbolehkan adanya poligami yang
hanya memudahkan laki – laki untuk melampiaskan syahwatnya saja.

1

Dengan kedatangan Islam, Islam memberi peraturan dan membatasi
kebolehan memiliki istri lebih dari satu. Itupun dengan syarat-syarat
tertentu, sipelaku poligami harus mampu bersikap adil terhadap istri istrinya tersebut. Dengan demikian, tuduhan Bahwa Islam yang
memperkenalkan poligami itu jauh dari fakta yang ada. Bahwa pernikahan
lebih dari satu istri sudah ada sebelum Islam datang, terutama dikalangan
raja-raja.
Konsep awal poligami yang sebagaimana dilakukan Nabi Muhammad
SAW pada masa awal Islam bukanlah suatu bentuk kekuasaan laki - laki
terhadap perempuan. Tetapi dengan tujuan untuk memuliakan wanita wanita pada masa itu yag ditinggal suaminya yang meninggal di medan
perang.
Keywords : poligami, sosiologi dan Islam
B. Pendahuluan
Emansipasi wanita dan hak asasi manusia masih menjadi perbincangan
hangat dikalangan masyarakat. Mereka berlomba - lomba dalam
menunjukkan hak - hak mereka dan perlakuan kepada wanita. Masalah ini

sempat menjadi topik utama dengan berita - berita hangat yang ada
dipublic tentang ustadz - ustadz yang dianggap bisa menjadi tauladan di
Indonesia. Banyak ustadz yang sudah dianggap panutan atau seorang figur
ternyata melakukan poligami. Banyak wanita yang tidak menyukai dan
tidak setuju dengan keputusan orang yang menjadi figur tersebut.

2

Berbagai kerancuan berfikir masyarakat tentang anti-poligami tersebut.
Banyak demo yang dilakukan para wanita untuk menghentikan poligami
tersebut. Dan ada diantara mereka juga memilih diam tanpa kata dan
menerima kedaannya sebagai wanita yang dipoligami. Dan masih banyak
dampak yang timbul dengan adanya masalah ini. Para laki - laki yang
bermasalah seperti ini lebih mencari aman yaitu dengan memilih selingkuh
dari pada berpoligami dan menjadi masalah baginya.
Memang pada kenyataanya, poligami yang dipraktekkan oleh sebagian
masyarakat kadang tidak sesuai dengan yang digariskan dalam Islam. Hal
tersebut yang memicu para istri dan wanita melakukan aksi antipoligami.
Terutama dikalangan aktifis gender yang merasa poligami adalah salah
satu cara penindasan bagi perempuan.

Sebenarnya, beristri lebih dari satu atau yang terkenal denga poligami
tersebut sudah dikenal luas oleh masyarakat di dunia. Bahkan dari generasi
ke generasi, beristri lebih dari satu sudah ada sejak dahulu. Tidak hanya di
dunia timur saja bahkan di dunia barat pun sudah ada. Perkawinan lebih
dari satu sudah ada sejak zaman dahulu, lama sebelum datang masa Islam.
Bahkan mereka menikahi wanita dengan jumlah sesuka mereka, tidak
mengenal batas.
Dengan kedatangan Islam, Islam memberi peraturan dan membatasi
kebolehan memiliki istri lebih dari satu. Itupun dengan syarat-syarat
tertentu, sipelaku poligami harus mampu bersikap adil terhadap istri istrinya tersebut. Dengan demikian, tuduhan Bahwa Islam yang

3

memperkenalkan poligami itu jauh dari fakta yang ada. Bahwa pernikahan
lebih dari satu istri sudah ada sebelum Islam datang, terutama dikalangan
raja-raja.
Konsep awal poligami yang sebagaimana dilakukan Nabi Muhammad
SAW pada masa awal Islam bukanlah suatu bentuk kekuasaan laki - laki
terhadap perempuan. Tetapi dengan tujuan untuk memuliakan wanita wanita pada masa itu yag ditinggal suaminya yang meninggal di medan
perang.

Dalam artikel ini penulis akan membahas tentang poligami prespektif
sosiologi dan Islam. Penelitian ini diharapkan bisa menambah ilmu
pengetahuan bagi pembaca tentang poligami dilihat dari sudut pandang
Islam.
C. Pembahasan
1. Pengertisn Poligami
Kata Monogamy dapat dipasangkan

dengan

poligami

sebagai

antonim, Monogamy adalah perkawinan dengan istri tunggal yang
artinya seorang laki - laki menikah dengan seorang perempuan
saja, sedangkan kata poligami yaitu perkawinan dengan dua orang
perempuan atau lebih dalam waktu yang sama. Dengan demikian
makna ini mempunyai dua kemungkinan pengertian. Seorang laki laki menikah dengan banyak laki - laki kemungkinan pertama disebut
Polygini dan kemungkinan yang kedua disebut Polyandry. Hanya saja

yang berkembang pengertian itu mengalami pergeseran sehingga

4

poligami dipakai untuk makna laki – laki beristri banyak, sedangkan
kata poligyni sendiri tidak lazim dipakai.1
Poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki
atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang
bersamaan.

Dalam

antropologi

sosial,

poligami

merupakan


praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai
dengan jenis kelamin orang bersangkutan). Hal ini berlawanan dengan
praktik monogami yang hanya memiliki satu suami atau istri. Terdapat
tiga bentuk poligami, yaitu:
a.

Poligini merupakan sistem perkawinan yang membolehkan
seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai istrinya dalam
waktu yang bersamaan.

b.

Poliandri

adalah

sistem

perkawinan


yang

membolehkan

seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam
waktu yang bersamaan.
c.

Pernikahan kelompok (group marriage) yaitu kombinasi poligini
dan poliandri.
Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, tetapi

poligini merupakan bentuk yang paling umum terjadi. Walaupun
diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami ditentang oleh
sebagian kalangan. Terutama kaum feminism menentang poligini,

1

Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT Raja Grafindo,1995. Hlm. 159.


5

karena mereka menganggap poligini sebagai bentuk penindasan
kepada kaum wanita.2
2. Poligami Perspektif Sosiologis dan Islam
a. Poligami Sebelum Islam
Sebelum Islam, bangsa yahudi mempolehkan poligami.
Nabi Musa tidak melarang, bahkan tidak membatasi sampai berapa
istri seseorang berpoligami. Kitab Ulangan 25/5 mewajibkan
saudara laki-laki mengawini janda saudaranya yang meninggal
tanpa anak, meskipun ia telah beristri. Kitab Talmud, tafsir Hukum
Taurat membatasi jumlah istri dalam perkawinan poligami. Namun
umat yahudi pada waktu akhir-akhir kembali menjalankan
poligami tanpa membatasi jumlah istri. Ajaran Zroaster melarang
bangsa persi berpoligami, tetapi membolehkan memelihara gundik
sebab sebagai bangsa yang banyak berperang, bangsa persi
memerlukan banyak keturunan laki-laki yang dapat diperoleh dari
istri dan gundik-gundik. Bangsa Romawi juga mengenal poligami.
Raja-raja atau kaisar-kaisar mereka berpoligami. Dan masih
banyak lagi bukti bahwa poligami sudah ada sejak jaman sebelum

datangnya Islam.3
b. Poligami dalam Islam
Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko
atau madharat daripada manfaatnya. Karena manusia itu menurut
2
3

https://id.wikipedia.org/wiki/Poligami
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta : UII Press, 1999 cet. 9, hlm.37

6

fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh.
Oleh karena itu, poligami hanya diperbolehkan dalam keadaan
darurat. 4
Islam memubahkan poligami, lagi - lagi bukan sebagai
diskriminasi, itu dibuktikan dengan beberapa syarat dan rukun
ketat yang harus dipenuhi seorang suami yang berniat memiliki
beberapa istri. Poligami lebih dipahami oleh para ulama sebagai
solusi ketimbang sebagai anjuran. Solusi yang dimaksud adalah

semisal ketika seorang istri menderita sakit dan tidak bisa melayani
suami, maka setidaknya hanya ada dua pilihan menceraikan lalu
menikah dengan wanita lain atau berpoligami. Walhasil, poligami
bukan bentuk ketidakadilan jika dilakukan sesuai ketentuan syariat
dan tentu saja dengan niat baik. Justru poligami menjadi sebuah
solusi untuk menjauhi perzinaan.5
Ini membuktikan bahwa motivasi dari poligami Rasulullah
bukanlah karena dorongan syahwat. Akan tetapi, Rasulullah
berpoligami karena ada tujuan - tujuan mulia. Rasulullah menikahi
Zainab karena wahyu dari Allah, Shofiyah dinikahi oleh Rasulullah
dengan harapan kabilah di belakang Shafiyah banyak yang masuk
Islam. Hafsah binti Umar dan Aisyah binti Abu Bakar dinikahi
karena untuk lebih mempererat tali silaturrahmi persahabatan
beliau. Rasulullah menikahi Ummu Salamah untuk melindungi
4
5

Aibak,Kutbuddin, Kajian Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Kalimedia, 2017. Hlm.68.
Yahya, A. Syarif, fikih toleransi, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2016. Hlm.140.


7

anak-anaknya yang yatim dan mengurangi beban hidup Ummu
Salamah.6
Rasulullah melakukan poligami, tetapi beliau tidak
merestui menantunya berpoligami. Hal ini terkait dengan sikap adil
yang harus dilakukan dalam berpoligami, yang tidak semua orang
akan mampu melakukannya, termasuk Ali bin Abi Thalib, padahal
ia telah teruji keimanannya dan ternilai kesalihannya, namun
sebagai manusia biasa ia tidak akan mampu menjalankan keadilan
sebagaimana yang dilakukan Rasulullah s.a.w. Firman Allah dalam
al-Quran menyebutkan, “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat
berlaku adil di antara isteri- isteri(mu), walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang
lain terkatung-katung”.(4:129, an-Nisa). Dalam suasana ketidakadilan, bagaimana bisa tercapai tujuan perkawinan tersebut, yaitu
kesejahteraan spiritual dan material, atau terpenuhinya kebutuhan
lahir dan batin dalam perkawinan itu.7

6

Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, Malang: UIN Malang Press, 2008,
hlm. 229.
7
https://nururrokhim.wordpress.com/2011/12/07/poligami-dalam-perspektif-sosiologi-gender/

8

Dalam firman Allah surat An-Nisa’ ayat 2-3 disebutkan
bahwa,

         

            

          

            

   

2. dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta
mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu
Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan
(menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.
3. dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang
saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.

9

[265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri
seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu.
sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para
Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai
empat orang saja.8

Konteks ayat yang membolehkan poligami sesungguhnya
lebih ditujukan pada upaya menyelamatkan kehidupan anak yatim
sehingga bisa hidup secara layak. Dengan demikian, mengawini
ibu dari anak yatim bukanlah tujuan utama, sehingga isu krusial
dalam Al-Qur’an tentang poligami adalah keadilan kepada anakanak yatim dari ibu yang dikawininya. Menurut Rasyid Ridha
maskud sari ayat tersebut ialah untuk membrantas atau melarang
tradisi zaman jahiliyah yang tidak manusiawi. Menurut al-Thabari,
laki-laki yang mempunyai keyakinan bahwa dia akan dapat berlaku
adil ketika berpoligami, maka ia boleh menikahi maksimal empat
wanita. menurut al-Jashshah, ayat tersebut berkaitan dengan wanita
yatim yang dinikahi oleh pengasuhnya. Pernikahan ini dilarang,
ketika kecantikan dan harta wanita yatim tersebut dijadikan sebagai
alasan.

Menurut

sayyid

Qurtub,poligami

merupakan

suatu

perbuatan rukhshah yang dapat dilakukan hanya dalam keadaan
darurat yang benar - benar mendesak. Kebolehan ini pun masih
disyaratkan harus bisa berbuat adil terhadap istri – istri, dibidang

8

Aibak,Kutbuddin, Kajian Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Kalimedia, 2017. Hlm.69.

10

nafkah, muamalah, pergaulan dan pembagian (waktu) malam.
Menurut Muhammad abduh, poligami hukumnya tidak boleh. Pada
dasarnya, kelompok ini berpendapat bahwa hukum poligami itu
boleh asal suami dapat berlaku adil. Yang menjadi persoalan
adalah zaman sekarang sangat sulit bahkan tidak ada orag yang
dapat berlaku adil kepada istri – istri mereka.9
Keadaan sosial dalam suatu masyarakat pada masa tertentu
mengalami

problem



problem

yang

minta

pemecahan.

Dihubungkan dengan masalah perkawinan, dapat dikemukakan
macam – macam keadaan yang memerlukan pemecahan sebagai
berikut.
1) Apabila ada orang laki – laki yang kuat syahwatnya, baginya
seorang istri belum memadai. Dalam hal ini, agar hidupnya
tetap bersih, kepadanya diberi kesempatan untuk berpoligami
asal syarat akan dapat berbuat adil dapat terpenuhi.
2) Apabila ada seorang suami benar – benar ingin mempunyai
anak padahal istrinya mandul. Untuk memenuhi naluri hidup
suami yang subur yang beristri mandul, ia dibenarkan kawi
lagi dengan perempuan subur yang mampu berketurunan.
3) Apabila ada istri yang menderita sakit sehingga tidak mampu
melayani suaminya. Untuk memungkinkan suami terpenuhi

9

Aibak,Kutbuddin, Kajian Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Kalimedia, 2017. Hlm.71-74

11

hasrat naluriahnya dengan jalan halal, kepadanya diberi
kesempatan kawin lagi.
4) Apabila suatu ketika terjadi dalam suatu masyarakat, jumlah
perempuan lebih besar dari jumlah laki – laki. Untuk memberi
kesempatan perempuan – perempuan memperoleh suami, dan
dalam waktu sama untuk menjamin kehidupan yang lebih
stabil, jangan sampai terjadi permainannya tindakan – tidakan
serong.
Demikian contoh alasan – alasan yang dapat menjadi
pertimbangan kawin poligami itu, yang merupakan alasan moral,
biologis dan sosial ekonomis.
Tuntutan harus berbuat adil diantara para istri, menurut alShafi’i, berhubungan dengan urusan fisik, misalnya megunjungi
istri

dimalam atau siang hari. Tuntutan ini didasarkan pada

perilaku Nabi dalam berbuat adil kepada para istrinya, yakni
dengan membagi giliran malam dan memberi nafkah, lantas
berdo’a. Realisasi dari sifat adil yang dituntut al-Qur’an, juga
disebutkan dalam surat Yunus ayat 67,

           

    

12

67. Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat
padanya dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kamu mencari
karunia Allah). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar[699].

Dan pada surat Ar- Rum ayat 21

         

          



21. dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.10

Dalam hal ini Al- Qur’an juga memberikan beberapa ketentuan
sebagai berikut.
1) Poligami diperbolehkan dalam kondisi dan keadaan tertentu.
2) Kebolehan poligami dibatasi dengan pembatasan yaitu tidak
boleh lebih dari empat istri saja.
3) Pemberian hak yang sama pada masing – masig istri.
10

Nasution, Khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga)Islam indonesia dan Perbandingan
Perkawinan di Dunia Muslim, Yogyakarta : Academia+Tazaffa,2009.hlm 263.

13

4) Perizinan ini merupakan pengecualian dari cara yang biasa. 11
c. Poligami perspektif saosiologi
Pedekatan sosiologis memang penting untuk mengkaji agamaagama, namun juga salah jika kita memandang bahwa pendekatan ini
diyakini dapat menyajikan kunci universal untuk memahami
fenomena keagamaan. Meskipun demikian, pendekatan sosiologis
untuk mengkaji agama-agama telah memberikan jasa besar. Sesudah
berlalunya masa individualisme agama, kita dihadapkan pada suatu
agama komunal yang juga penting. Agama komunal membantu
mengoreksi prasangka rasionalistik yang hanya mempertimbangkan
ekspresi intelektual dari pengalaman keberagamaan.12
Praktik

poligami

akan

menimbulkan

berbagai

bentuk

ketidakadilan gender. Ketidakadilan biasanya berupa pemiskinan
perempuan atau marginalisasi perempuan. Hal ini timbul apabila
seorang

suami sebagai pencari

nafkah melakukan poligami,

sementara pihak istri yang hanya sebagai ibu rumah tangga.
Dengan seorang istri, penghasilan seorang suami mungkin cukup
untuk menafkahi istri tersebut. Namun, dengan melakukan praktik
poligami maka gaji yang diterima suami akan terbagi lagi untuk
istri-istri yang lain.13

11

Aibak,Kutbuddin, Kajian Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Kalimedia, 2017. Hlm.78
Badhawy, zakiyuddin, Studi Islam Pendekatan dan Metode, Yoyakarta: Insan Madani, 2011.
Hlm 264
13
Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, Malang: UIN Malang Press, 2008,
hlm. 242

12

14

Secara sosiologis, poligami dalam islam merupakan lompatan
kebijakan sekaligus sebagai koreksi islam atas syariat sebelumnya
dan tradisi masyarakat arab yang memperbolehkan menikah dengan
perempuan tanpa batas. Dalam menghadapi dan menyikapi persoalan
tersebut ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan, perlu
kiranya untuk melihat apa sebab – sebab yang melatar belakangi
turunnya ayat tersebut (asbabu nuzul) dan ayat tersebut harus
dikaitkan dengan misi kerosulan.14
Praktik

poligami

akan

menimbulkan

berbagai

bentuk

ketidakadilan gender. Ketidakadilan biasanya berupa pemiskinan
perempuan atau marginalisasi perempuan. Hal ini timbul apabila
seorang suami sebagai pencari nafkah melakukan poligami,
sementara pihak istri yang hanya sebagai ibu rumah tangga.
Dengan seorang istri, penghasilan seorang suami mungkin cukup
untuk menafkahi istri tersebut. Namun, dengan melakukan praktik
poligami maka gaji yang diterima suami akan terbagi lagi untuk
istri - istri yang lain. Misal: seorang suami dengan seorang istri
mempunyai penghasilan Rp1.000.000,-perbulan mungkin cukup
untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak - anaknya. Namun
apabila seorang suami tersebut berpoligami, maka tentunya gaji
yang sebesar itu mungkin kurang untuk menafkahi istri-istri dan

14

Aibak,Kutbuddin, Kajian Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Kalimedia, 2017. Hlm.75

15

anak-anaknya. Selain hal diatas, banyak dampak lain yang akan
ditimbulkan dengan adanya praktik poligami, antara lain:
1) Timbul perasaan inferior, menyalahkan diri sendiri, istri
merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari
ketidakmampuan

dirinya

memenuhi

kebutuhan

biologis

suaminya.
2) Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Ada beberapa
suami memang dapat berlaku adil terhadap istri istrinya.
Tetapi seringkali pula dalam prakteknya, suami lebih
mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anakanaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki
pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan seharihari.
3) Hal lain yang terjadi akibat adanya poligami adalah sering
terjadinya kekerasan

terhadap

perempuan, baik kekerasan

fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis.
4) Selain itu, dengan adanya poligami, dalam masyarakat
sering terjadi nikah di bawah tangan, yaitu perkawinan
yang tidak dicatatkan pada kantor pencatatan nikah (Kantor
Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama). Perkawinan
yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah oleh negara,
walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Bila
ini terjadi,

maka

yang

dirugikan

adalah

pihak

16

perempuan
pernah

karena perkawinan tersebut dianggap tidak

terjadi

oleh

negara.

Ini berarti bahwa segala

konsekwensinya juga dianggap tidak ada, seperti hak waris dan
sebagainya.15
Perubahan sosial yang pertama, dimulai tahun 1945 ketika
kemerdekaan

negara

Republik

Indonesia

diproklamirkan.

Perubahan praktek poligami dari privilese para raja, berubah bisa
dipraktekkan oleh masyarakat, karena perubahan bentuk negara
Kerajaan menjadi Republik. Perubahan dari Kerajaan ke Republik
ini didorong oleh keinginan kuat dari founding fathers negeri ini
untuk mempersatukan wilayah Nusantara. Bentuk Kerajaan tidak
mungkin dapat mempersatukan wilayah Nusantara, karena secara
de facto wilayah Nusantara terdiri atas banyak kerajaan besar dan
kecil. Selain itu, perubahan bentuk negara Kerajaan menjadi
Republik dimobilisasi dan dikontrol oleh founding fathers yang
terdiri atas berbagai unsur dan elemen masyarakat .
Perubahan sosial yang kedua tentang praktek poligami oleh
masyarakat menimbulkan pro dan kontra, tetapi bersifat silent
(sunyi). Perubahan sosial yang kedua ini terjadi sebelum UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 resmi diundangkan. Pihak yang pro
umumnya melakukan praktek poligami secara sirri dengan
melibatkan Kiai sebagai Penghulu dan tanpa pesta perkawinan.

15

http://ejournal.kopertais4.or.id/tapalkuda/index.php/lisan/article/view/2859/2113

17

Sementara pihak yang kontra diam karena tidak memiliki pijakan
formal (UndangUndang, misalnya), untuk melakukan perlawanan.
Menurut hemat penulis, meski terjadi pro dan kontra tetapi pihak
pro praktek poligami lebih kuat.
Perubahan sosial ketiga ditandai dengan lahirnya UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pihak pro poligami mulai
berkurang,

meski

praktek

poligami

masih

terjadi.

Justru

perlawanan dari pihak kontra poligami mulai menguat, karena
memiliki pijakan formal. Wacana menikah sah menurut agama dan
tidak sah menurut negara mulai terpublikasikan. Bagi yang pro
poligami, selalu saja merujuk pada kitab-kitab kuning dan bagi
yang kontra otomatis merujuk pada UU Perkawinan No. 1 Tahun
1974.
Perubahan sosial keempat terjadi akibat kehadiran PP No. 10
Tahun 1983 tentang Izin Kawin bagi PNS dan PP No. 45 Tahun
1990 tentang Perubahan PP No. 10 Tahun 1983 yang diterbitkan
oleh pemerintahan Orde Baru. Ini semakin mempersempit ruang
gerak mereka yang pro praktek poligami dari kalangan Pegawai
Negeri Sipil dan otomatis memperkuat posisi yang kontra
poligami. Pihak yang kontra poligami secara leluasa memanfaatkan
media cetak dan elektronika untuk publikasi anti poligami.
Perubahan sosial kelima ditandai dengan pembentukan
KOMNAS Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang lazim

18

disebut dengan KOMNAS Perempuan berdasarkan Kepres No. 181
Tahun 1998, kemudian diperkuat dengan KOMNAS Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) berdasarkan UU No. 23 Tahun 2002.
Terlebih adanya peran dan keterwakilan perempuan di DPR RI
yang sejak orde Reformasi mengalami peningkatan. Suara kontra
praktek poligami ini semakin menguat setelah sejumlah kasus
kekerasan terhadap perempuan dan pernikahan gadis di bawah
umur dipublikasikan secara luas di media cetak, Jurnal
Kependidikan Dan Keislaman FAI Unisma Jurnal Ilmiah Vicratina,
Volume 10, No. 2 Nopember 2016 media elektronik, dan media
sosial. Sehingga kondisi sosial di Indonesia tentang praktek
poligami yang semula kuat berangsur melemah, dan kini berubah
ke arah sebaliknya, yaitu praktek pernikahan monogami yang
semakin kuat.16
Oleh karena itu, secara praktis dalam komplikasi hukum islam
pasal 55,56,57, dan 58 mengatur berbagai persyaratan bagi mereka yang
ingin berpoligami. Dalam pasal 56 misalnya, disebut bahwa
1) Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang, harus mendapatkan
izin dari Pengadilan agama.
2) Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat
tanpa izin ari pengadilan agama, tidak memiliki kekuatan hukum.17

16
17

file:///D:/Data_Utama/Download/164-456-1-PB.pdf
Aibak,Kutbuddin, Kajian Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Kalimedia, 2017. Hlm.78

19

D. Penutup
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas penulis dapat menyimpulkan bahwasanya
poligami diperbolehkan dalam Islam, dengan alasan tertentu yang
menguatkan terjadinya poligami tersebut. Tetapi poligami sendiri lebih
banyak mudharaatnya dibandingkan dengan manfaatnya, karena akan
menciptakan kecemburuan dan ketidakadilan bagi perempuan terutama
istri - istri yang sudah dipoligami. Da bisa berdampak terhadap anak –
anak mereka kelak. Poligami dalam perspektif Islam, Islam membolehkan
poligami dengan pembatasan maksimal empat orang istri dengan syarat
dan rukun tertentu yang harus dipenuhi oleh suami.

Mereka harus

bersikap adil dalam segala hal kepada istri – istrinya. Dan negara pun juga
memberi undang – undang kepada yang ingin menikah lebih dari satu istri.
Dalam hal ini Al- Qur’an juga memberikan beberapa ketentuan sebagai
berikut.
a. Poligami diperbolehkan dalam kondisi dan keadaan tertentu.
b. Kebolehan poligami dibatasi dengan pembatasan yaitu tidak boleh
lebih dari empat istri saja.
c. Pemberian hak yang sama pada masing – masing istri.
d. Perizinan ini merupakan pengecualian dari cara yang biasa
Dalam pasal 56 misalnya, disebut bahwa
a. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang, harus
mendapatkan izin dari Pengadilan agama.

20

b. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau
keempat tanpa izin ari pengadilan agama, tidak memiliki kekuatan
hukum.
Semoga artikel diatas dapat bermanfaat bagi para pembaca dan
penulis terutama. Kritik dan saran sangatlah penting untuk penulis agar
menjadi perbaikan dikemudian hari.

21

Daftar Pustaka
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT Raja Grafindo,1995.
Aibak,Kutbuddin, Kajian Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Kalimedia, 2017.
Badhawy, zakiyuddin, Studi Islam Pendekatan dan Metode, Yoyakarta: Insan
Madani, 2011
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta : UII Press, 1999
cet. 9
Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, Malang: UIN
Malang Press, 2008, hlm. 242
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga)Islam indonesia dan
Perbandingan Perkawinan di Dunia Muslim, Yogyakarta :
Academia+Tazaffa,2009.
Yahya, A. Syarif, fikih toleransi, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2016.
http://ejournal.kopertais4.or.id/tapalkuda/index.php/lisan/article/view/2859/2113
https://id.wikipedia.org/wiki/Poligami

file:///D:/Data_Utama/Download/164-456-1-PB.pdf
https://nururrokhim.wordpress.com/2011/12/07/poligami-dalam-perspektifsosiologi-gender/

22