DARI TRADISI KE ATRAKSI BUDAYA
DARI “TRADISI” KE “ATRAKSI BUDAYA”:
Potret Budaya Komunitas Tionghoa-Manado
Hendri Gunawan
Staf Teknis Balai Pelestarian Nilai Budaya Manado
Jalan Katamso, Bumi Beringin Lingkungan V
Telepon (0431) 855311/Faksimile. (0431) 864926
Pos-el: [email protected]
Warga komunitas Tionghoa di Manado atau sehari-hari dikenal dengan sebutan “CinaManado” adalah salah satu kelompok komunitas yang hidup bersama dengan warga kelompok
komunitas etnis lainnya semenjak Manado tumbuh-kembang menjadi salah satu bandar di
masa VOC. Lokasi pemukimannya pun ditentukan oleh Penguasa VOC, bertetangga dengan
lokasi “benteng”, di pusat kota dan pelabuhan.
Sebagian besar warga komunitas Tionghoa adalah keturunan-campuran, hasil
perkawinan antara para pendatang dari daratan Tiongkok maupun daerah lainnya di
Nusantara, dengan warga penduduk setempat khususnya Minahasa. Sebagai warga perantau
baik semasa pemerintahan Hindia Belanda maupun setelah kemerdekaan, warga komunitas
Tionghoa-Manado menjalankan “tradisi” dan budaya yang diwarisi turun-temurun, terutama
yang berhubungan dengan agama dan kepercayaan. Kehadiran sejumlah klenteng sejak dua
abad lalu menjadi salah satu pusat peribadatan, dan pada masa ketika keberadaan Konghucu
di Indonesia belum diakui sebagai agama resmi, klenteng-klenteng yang ada menjadi pusat
pelaksanaan “tradisi leluhur”.
Semenjak Presiden Abdurrahman Wahid mengakui keberadaan Konghucu sebagai salah
satu agama resmi di Indonesia, peranan klenteng sebagai pusat peribadatan semakin jelas.
Keberadaan “budaya Tionghoa” pun mengemuka. Upacara-upacara ritual keagamaan yang
dilaksanakan semakin meriah dan tidak hanya sebatas halaman klenteng. Jika pada masa Orde
Baru, setiap pelaksanaan upacara ritual keagamaan memerlukan ijin dari pemerintah, hal yang
terjadi setelah era reformasi adalah pemerintah menjadikan setiap upacara ritual sebagai
“atraksi budaya” yang diagendakan serta tercantum dalam berbagai leaflet promosi daya tarik
wisata.
Kata kunci: tradisi, atraksi budaya, komunitas Tionghoa-Manado
1
Pendahuluan
Penulisan atau pemaparan tentang keberadaan sebuah komunitas di Provinsi Sulawesi
Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah sebagai wilayah kerja Balai Pelestarian Nilai Budaya
(BPNB) Manado, selama ini terlalu berkonsentrasi pada kajian antropologi dan sosiologi.
Padahal, dalam historiografi umum, ini dapat ditilik dan menjadi ranah kajian Ilmu Sejarah
seperti Sejarah Sosial maupun memaparkannya dalam bentuk biografi tokoh-tokoh pilihan
yang dapat dijadikan representasi dari warga komunitas yang dipelajari atau dikaji.
Salah satu kelompok komunitas yang ada di ketiga wilayah kerja Balai Pelestarian Nilai
Budaya (BPNB) Manado adalah komunitas Tionghoa yang menetap berkelompok dan
membentuk satu kawasan pemukiman maupun hidup dan menetap terpencar membaur di
tengah kelompok-kelompok komunitas setempat. Kehadiran mereka di daerah ini sudah sejak
beberapa abad lampau. Keterangan seperti ini dapat diperoleh dari berbagai dokumen dan
publikasi sejak masa Hindia Belanda. Namun, belum ditemukan hasil kajian khusus yang
memaparkan keberadaan komunitas Tionghoa di Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi
Tengah, seperti halnya kajian tentang komunitas Jawa-Tondano di Minahasa yang dilakukan
oleh Tim Babcock atau juga biografi tentang tokoh-tokohnya. Hanya beberapa percahan dan
dapat dibaca dalam: Graafland (1991[1869]); Nas (1995); Wahyuno (1996); Henley (2005);
Ulaen (2010); Anggraeni (2010), dan; Makkelo (2010). Sementara, karya ilmiah khusus
mengenai komunitas Tionghoa Manado “hanya” kami temukan dalam bentuk Skripsi Sarjana
dari: Toar (1978); Gunawan (1996); artikel oleh Sumampouw (2012); dan (Gunawan, 2012a;
2012b). Termasuk juga, artikel di surat kabar harian lokal dari Sofyan Jimmy Yosadi (Tribun
Manado, 12-14 November 2012). Ini menandakan, bagian mengenai kehadiran komunitas
Tionghoa di Manado perlu mendapat perhatian khusus dari kita. Karena penulisan tersebut
disusun dari sumber-sumber yang berserakan.
Dari amatan sepintas dapat diperoleh pemahaman bahwa keberadaan kelompok
komunitas Tionghoa di ketiga wilayah kerja BPNB Manado dapat diklasifikasikan atas: (1)
kelompok komunitas Tionghoa yang masih mempertahankan kemurnian keluarga dalam arti
kawin-mawin di kalangan kelompok komunitasnya serta tradisi dari negeri leluhurnya dan
tetap menganut ajaran Konghucu; (2) kelompok komunitas yang sudah mulai membaur
dengan penduduk setempat, dikenal sebagai warga “Cina-peranakan” menjadi pendukung
budaya lokal disamping tradisi dari negeri leluhurnya; menganut agama seperti Kristen dan
Islam dan (3) warga yang dikenal sebagai “Cina-peranakan” hanya karena ciri-ciri fisiknya
tetapi telah membaur secara total dengan warga penduduk setempat, memeluk agama Kristen
maupun Islam, menggunakan nama yang tidak lagi menunjukkan identitas budaya negeri
2
leluhur. Klasifikasi di atas masih dapat dipilih-pilah lagi berdasarkan alasan serta
pertimbangan sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Kedatangan warga Tionghoa di Manado diperkirakan terjadi pada tahun 1655. Mereka
didatangkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa di wilayah Manado. Maksud dari
didatangkannya warga Tionghoa ini di Manado adalah untuk membantu dalam pembuatan
benteng pertahanan yang dikenal dengan nama De Nederlandsche Vastiegheid dan setelah
diperbaharui diberi nama Fort Amsterdam (Toar, 1978: 38).
Orang-orang Tionghoa yang membangun benteng tersebut kemudian menetap dan
membuat rumah-rumah mereka di sekitar benteng. Wilayah tempat tiggal mereka dikenal
dengan nama “Kampung Cina” yang terletak di Kecamatan Manado Tengah yang merupakan
pusat perdagangan di wilayah Manado. Perluasan tempat tinggal warga komunitas Tionghoa
lebih banyak terjadi di sekitar wilayah “Kampung Cina” sehingga Kecamatan Manado Tengah
menjadi wilayah yang paling banyak dihuni oleh warga Tionghoa.
Wilayah Kota Manado sekarang yang banyak dihuni dan ditempati oleh warga Tionghoa
adalah di sekitar wilayah Dendengan Luar, Paal Dua, Pinaesaan, Tikala Ares dan Tikala
Kumaraka. Sedangkan di Kecamatan Manado Utara hanya ada satu wilayah saja yaitu
wilayah sekitar Kelurahan Wawonasa.
Warga komunitas Tionghoa yang berada di Indonesia telah berakulturasi ke dalam
masyarakat setempat. Hubungannya dengan negeri leluhur tidak lagi tebal kecuali mereka
tetap mengadakan kegiatan yang dilakukan oleh leluhur mereka. Seperti diketahui warga
Tionghoa yang datang ke Indonesia terdiri dari beberapa suku bangsa yang berbeda satu
dengan yang lainnya. Di Manado warga Tionghoa terdiri dari beberapa suku bangsa yaitu :
1. Hokkian
2. Kanton (disebut juga Kwongfu)
3. Hakka (disebut juga Keh)
4. Hainan
Bila ditelusuri, adat kebiasaan tradisional warga komunitas Tionghoa sebenarnya tidak
lain adalah merupakan kepercayaan-kepercayaan yang bersifat magis-religius. Adat kebiasaan
tradisional tersebut telah diturunkan dari generasi yang satu ke generasi berikutnya,
dimanapun mereka berada. Itulah sebabnya sangat sulit bagi orang Tionghoa untuk
meninggalkan adat kebiasaan mereka. Pola kehidupan mereka sejak dilahirkan sampai di
liang lahat terus dilingkari oleh adat kebiasaannya. Ajaran-ajaran Buddha pun setelah masuk
ke Tiongkok tidak lagi seperti agama Buddha yang sesungguhnya tetapi telah dipengaruhi
adat kebiasaan tradisional Tiongkok. Demikian juga orang-orang Tionghoa yang telah
3
beragama Kristen ataupun Katolik. Dalam kenyataannya sebagian masih mengikuti dan
melaksanakan adat kebiasaan tradisional Tiongkok.
Berdasarkan pemaparan di atas, tulisan ini bertujuan memaparkan dinamika
pelaksanaan ritual orang Tionghoa di kota Manado sejak jaman Orde baru hingga saat ini.
Secara sederhana, dapat dikatakan tulisan ini bersifat diakronis. Hal lain yang perlu digaris
bawahi, karya ini mencoba memberikan perspektif baru mengenai latar sejarah dan kehidupan
etnis Tionghoa di Indonesia yang kajian-kajiannya selama ini terlalu berkonsentrasi di bagian
barat Indonesia atau terlalu “west-oriented” (Purcell, 1963; Marzali, 2010; Poerwanto, 2005).
Memperhatikan hal tersebut, tulisan ini mencoba menjelaskan:
1. Bagaimana dinamika interaksi komunitas Tionghoa di Manado dengan masyarakat
lokal ?
2. Bagaimana kebijakan pemerintah baik pusat dan lokal berpengaruh terhadap
perubahan “ritual” komunitas Tionghoa menjadi “atraksi budaya”?
Penulisan ini datanya bersumber dari data sekunder terutama arsip otentik yang
tersimpan diberbagai instansi terkait. Tidak kalah pentingnya adalah pemanfaatan bahan
pustaka yang tersebar diberbagai perpustakaan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat sehingga orang
akan saling menghargai sesamanya tanpa melihat perbedaan suku, agama..
Penelitian komunitas Tionghoa di Manado ini menggunakan metode wawancara
mendalam (in depth interview). Melalui metode wawancara mendalam diharapkan diperoleh
data kualitatif mengenai Komunitas Tionghoa di Manado. Wawancara dilakukan dengan
menggunakan pedoman pertanyaan yang terkait dengan masalah yang ingin diangkat.
Wawancara dilakukan terhadap informan yang tahu dan paham mengenai masalah penelitian
yang diangkat dalam penulisan ini.
Tak Hanya Berniaga: Proses Kedatangan dan Menetap di Manado
Membahas pranata sosial-budaya warga komunitas Tionghoa di Manado memerlukan
paparan awal tentang kehidupan warga Tionghoa di Jawa. Hal ini dipandang perlu, mengingat
menurut tuturan banyak warga keturunan kehadiran warga Tionghoa di Manado merupakan
penyebaran dari mereka yang pernah menetap baik dalam waktu yang lama maupun hanya
singkat di Jawa dan Batavia. Hal ini disebabkan karena tidak ada pelayaran langsung dari
daratan Tiongkok ke daerah Keresidenan Manado. Begitu pula halnya dengan berbagai
regulasi atau peraturan baik yang diberlakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda maupun yang
diberlakukan oleh Kekaisaran Cina di Tiongkok, pihak pertama yang menerima langsung efek
dari berbagai regulasi tersebut adalah warga Tionghoa di Batavia dan Jawa. Hal lain yang
4
berhubungan dengan bangkitnya nasionalisme Tiongkok, juga muncul di Batavia dan di Jawa
baru meluas hingga wilayah Keresidenan Manado. Pertimbangan ini pula yang mendasari
paparan pada bagian ini mulai dari keberadaan komunitas Tionghoa di Jawa, dan selanjutnya
diselang-selingi dengan keberadaan mereka di wilayah Keresidenan Manado.
Sebelum pertengahan kedua dari abad ke-20, orang Tionghoa di Indonesia sebagian
besar terdiri dari para pedagang dan pengrajin Hokkian. Meskipun belum ada kajian yang
mendasar tentang hubungan antara semangat merantau dengan latar etnis, dari berbagai
keterangan yang diperoleh dari warga Tionghoa berlatar Hokkian – baik di Jawa maupun di
Manado – dapat diduga bahwa letak geografis wilayah Hokkian yang berpusat di Provinsi
Fujian yang berada di bagian selatan daratan Tiongkok memudahkan mereka merantau ke
selatan atau ke Nusantara. Alasan sosio-kultural lainnya adalah perilaku mereka yang saling
tolong menolong antara sesama etnis Hokkian membuat mereka lebih berani merantau ke
Nusantara. Tidak sedikit para perantau yang sudah berhasil di Nusantara baik di Jawa maupun
di Manado membantu para pendatang baru dengan cara memodali usaha mereka.
Secara umum, jumlah perantau juga disebabkan oleh alasan sulitnya angkutan laut.
Ada juga alasan politis-administratif, yakni adanya Dekrit Kekaisaran dari Dinasti Ching
yang secara resmi melarang orang Tionghoa untuk meninggalkan dan masuk kembali ke
negeri Tiongkok, maka migrasi massal ke Nusantara tidak pernah terjadi, dan yang ada ialah
migrasi perorangan atau juga sebatas satu dua keluarga-batih. Pada tahun 1717 semua orang
Tionghoa di luar Tiongkok dipanggil kembali ke daratan Tiongkok dan setelah tahun 1726,
perantau Tionghoa tidak boleh kembali lagi ke Tiongkok. Setelah tahun 1860, larangan bagi
warga Tiongkok untuk merantau mulai mengendor dan memungkinkan para perantau
Tionghoa leluasa bepergian ke luar negeri. Perkembangan berikutnya terjadi pada tahun 1898.
Pemerintah kekaisaran Tiongkok menghapuskan larangan mengenai kembalinya orang
Tionghoa ke negeri Tiongkok. Sebenarnya, banyak orang Tionghoa telah kembali bahkan
sebelum larangan itu dengan resmi dicabut (Suryadinata, 1986: 20).
Mayoritas warga Tionghoa-peranakan biasanya memiliki darah pribumi dari garis ibu
dan mereka menjalani cara hidup berdasarkan tradisi etnis darimana ibunya terhisab di
dalamnya. Sebagai contoh, kaum lelaki dari warga Tionghoa peranakan ini memakai ThengSha (baju panjang Cina) dan tidak lagi berkuncir, sedangkan kaum wanitanya memakai
kebaya dan dibesarkan seturut tradisi dari komunitas etnis darimana ibu mereka berasal.
Kaum peranakan pada umumnya tidak berbicara dalam bahasa Tionghoa tetapi berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa setempat baik itu bahasa Melayu maupun bahasa-bahasa daerah
di mana mereka tinggal. Di pantai utara Jawa tempat sebagian besar warga Tionghoa tinggal
digunakan suatu kombinasi antara bahasa Melayu pasar dan logat Hokkian sebagai bahasa
5
pergaulan. Bahasa ini kemudian diperkaya dengan meminjam kata-kata dari bahasa Belanda
dan bahasa barat lainnya. Menjelang akhir abad ke-19, bahasa itu telah berkembang menjadi
bahasa Melayu Betawi, dan dalam abad ini dikenal sebagai bahasa Melayu Tionghoa. Bahasa
ini menjadi bahasa umum dari warga komunitas Tionghoa peranakan di seluruh Jawa.
Hal yang terjadi di Jawa dimana warga Tionghoa-peranakan memiliki darah Tionghoa
dari pihak ayah dan darah pribumi dari pihak ibu juga terjadi di wilayah Keresidenan Manado.
Hal mana berpengaruh besar dan seakan menjadi cikal-bakal pencantuman nama marga yang
kelak disandang oleh keturunannya yang pada umumnya adalah nama-nama marga atau
dalam bahasa setempat disebut fam, berasal dari kata bahasa Belanda familie; adalah nama
keluarga pihak ibu, seperti Inkiriwang, Waworuntu, Sondakh, dan sebagainya.
Seperti telah diuraikan di atas bahwa warga Tionghoa-peranakan sebagian besar
memiliki darah Tionghoa dari garis ayah dan darah pribumi dari ibunya; hal ini terjadi
terutama pada generasi kedua dari para perantau yang semula datang bersama istri mereka,
atau juga yang dilakoni oleh para perantau berstatus bujangan dan belum berhasil dalam
usahanya sehingga mau tidak mau harus mencari pasangan hidup mereka di Nusantara karena
kalau kembali mencari pasangan hidup di daratan Tiongkok memerlukan biaya yang besar.
Menjelang abad ke-19, masyarakat itu kemudian berdiri sendiri dalam arti bahwa kaum
peranakan itu kawin sesama mereka, dan hal ini mungkin terjadi karena jumlah lelaki dan
perempuan hampir sama besarnya. Para perantau baru membentuk satu kelompok peralihan
kecil dan dengan cepat terasimilasi karena tidak terjadi imigrasi besar-besaran. Sekalipun
warga Tionghoa-peranakan terasimilasi ke dalam masyarakat setempat, mereka masih tetap
terpisah dari golongan-golongan ras lainnya, terutama sebagai akibat struktur masyarakat
kolonial dan politik Belanda. Pada waktu itu terdapat tiga lapisan ras yang besar di Hindia
Belanda, yaitu golongan Eropa yang menduduki tempat teratas, golongan timur asing di
tengah dan golongan Indonesia pribumi di lapisan bawah. Belanda menerapkan cara
berpakaian bagi setiap golongan ras untuk mempertahankan tradisi berpakaian dan adat
istiadatnya.
Adat kebiasaan tradisional Tionghoa yang bersifat magis-religius antara lain pemujaan
terhadap leluhur yang dilakukan dengan cara sembahyang. Kegiatan sembahyang pada leluhur
ini, mereka lakukan baik di rumah sendiri maupun di rumah-rumah sembahyang terutama di
Klenteng. Kalau dilakukan di rumah sendiri biasanya keluarga tersebut memiliki meja
sembahyang.
Peralatan meja sembahyang yang mereka miliki bervariasi antara keluarga yang satu
dengan yang lainnya. Bagi sebagian besar keluarga, pengaturan meja sembahyang sangat
sederhana dimana hanya terdiri dari gambar leluhur, bokor abu tempat tancapan batang dupa
6
dan batang dupa. Bagi keluarga Tionghoa yang kaya, meja sembahyang biasanya diatur
sedemikian rupa sehingga kelihatan sangat indah.
Sembahyang terhadap leluhur biasanya dilakukan pada hari-hari raya Tahun Baru,
Ceng-Beng, Peh-Cun dan Cio-Ko atau Pho-Tou. Sehari menjelang Tahun Baru Tionghoa,
orang-orang Tionghoa melakukan sembahyang Tahun Baru. Sembahyang ini dilakukan untuk
arwah leluhur mereka (Lan, 1961: 142-157).
Hari raya Ceng-Beng, biasanya dilakukan pada tanggal 5 atau 6 April pada setiap
tahunnya. Sem-bahyang Ceng-Beng biasa-nya dilakukan di rumah-rumah. Pada hari itu,
warga Tionghoa berziarah ke makam leluhur mereka dengan membawa batang dupa, lilin,
kertas sembahyang dan sesajen. Bersamaan dengan itu pula makam leluhur dibersihkan.
Ceng-Beng bukanlah hari raya untuk berpesta melainkan hari untuk peringatan bagi anggota
keluarga yang sudah meninggal.
Hari raya Peh-Cun di Manado, lebih dikenal dengan nama Pelo-pelo. Pelo-pelo
merupakan satu kegiatan memperingati seorang patriot besar, seorang menteri di jaman Chuo
yang bernama Kut Goan (340 SM – 278 SM).
Warga komunitas Tionghoa di Manado biasanya melakukan sembahyang pelo-pelo di
rumah-rumah ibadah yang ada kemudian melakukan kegiatan ibadah tersebut dilanjutkan
dengan perayaan pelo-pelo yang biasanya dilakukan di pantai. Selepas melakukan ibadah
singkat di pantai diteruskan dengan melepas sesajen ke lepas pantai. Perayaan ini juga
ditandai dengan mendirikan sebuah telur di atas sebuah batu.
Sembahyang Cio Ko adalah sembahyang untuk arwah-arwah nenek moyang yang tidak
dilakukan oleh sanak keluarganya. Kegiatan ini dilakukan menurut kepercayaan orang
Tionghoa bahwa orang-orang yang telah meninggal dan tidak diziarahi dan juga tidak
disembahyangi oleh sanak keluarganya akan menjadi kelaparan dan selalu berkeliaran untuk
mencari makan. Kegiatan ini biasanya ditandai dengan meja sembahyang yang berupa sebuah
meja besar yang berisi makanan yang berjumlah banyak dan enak-enak. Kegiatan
sembahyang Cio Ko di Manado lebih dikenal dengan nama sembahyang Barampas.
Toapekong merupakan puncak dari upacara adat kebiasaan tradisional orang Tionghoa
di Manado yang biasa diselenggarakan sesudah “Tahun Baru Cina”. Kegiatan ini
diselenggarakan pada awal “Tahun Baru Cina”. Kegiatan ini dilaksanakan pada awal tahun
baru Cina atau tepatnya 15 hari setelah tahun baru Cina dan kegiatan ini melambangkan suatu
usaha dari masyarakat Cina untuk menyucikan diri. Terdapat suatu kepercayaan orang
Tionghoa di Manado, apabila orang yang menjadi Ince Pia yaitu orang yang sudah
kemasukan arwah leluhur keluar dari kelenteng pusat (Ban Hing Kiong) dan mengitari jalan
7
yang sudah ditentukan kemudian kembali ke klenteng lagi, maka warga komunitas Tionghoa
akan mendapat berkah pada tahun yang berjalan.
Menjadi Orang Manado, Memegang Teguh Tradisi
Memahami dinamika kehidupan warga komunitas Tionghoa di Manado tidak dapat
disajikan dalam sebuah paparan yang sifatnya umum semata. Paparan seperti itu akan
menjebak penulis dan pembaca pada sebuah gambaran pada permukaan semata dan
terperosok pada pencitraan atau stereotipe yang tidak beralasan. Bahwa ada kelompok warga
Tionghoa yang masih mempertahankan tradisi dan pola hidup yang diwarisi dari ajaran
leluhur, masih mempertahankan perkawinan terutama hanya dalam kelompoknya sendiri,
merupakan kenyataan yang tidak dapat diingkari. Sebaliknya, tidak sedikit di antara mereka
yang sudah meninggalkan tradisi leluhurnya, mengawini warga setempat. Ada yang masih
menggunakan marga aslinya, seperti halnya Lie Tjeng Tjoan atau dikenal dengan John Lie,
dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2009 yang mewakili etnis Tionghoa
Indonesia sekaligus dari Manado (Sulawesi Utara), sekalipun oleh beberapa kalangan
penetapan ini dianggap sangat terlambat. Kisah hidupnya sudah dibukukan dalam bentuk
Biografi (Nursam, 2008).
Kita bisa melihat latar belakang John Lie secara sekilas sebagai potret kehidupan warga
keturunan di Manado yang begitu melebur dan bergaul sangat dalam dengan penduduk lokal
hingga akhirnya mengakui diri sebagai orang Manado dan sebagai orang Indonesia, bukan
lagi warga keturunan Cina yang benar terseparasi secara sosial dengan penduduk lain. Lahir 9
Maret 1911 di daerah Kanaka yang saat ini masuk di kelurahan Pinaesaan Kecamatan
Wenang, ia menjalani masa kecil hingga dewasa disana. John Lie yang kemudian mengganti
nama dimasa tua menjadi Jahja Daniel Dharma telah menyangkal, secara sekaligus, anggapan
orang banyak di jamannya bahkan hingga kini bahwa nasionalisme orang Tionghoa dan
Manado, apalagi yang beragama Kristen tipis (Gunawan, 2012: 1-14).
Pada sisi lain, kita juga menemukan, bahwa lancarnya proses ‘pe-Manado-an’ juga
dilakukan banyak warga keturunan Tionghoa dengan menyandang nama keluarga dari pihak
ibu. Bagi warga Tionghoa di Manado, ini tidak hanya memberikan kemudahan dalam proses
administrasi kependudukan, tetapi juga mempertegas identitas mereka sebagai orang Manado.
Ulasan atas “daftar silsilah” atau “genealogy” dengan jelas memaparkan proses-proses
perkawinan baik itu dengan wanita setempat rasanya harus menjadi kajian tersendiri yang
penting, karena akan memberi penjelasan bagaimana proses warga keturunan bertransformasi
menjadi warga lokal.
8
Pemahaman secara periodikal juga akan menghasilkan kenyataan bagaimana warga
komunitas Tionghoa baik semasa Era Orde Lama maupun pada era Orde Baru, sepertinya
dalam menjalankan tradisi leluhur lebih terpusat pada “meja sembahyang” atau “altar
sembahyang” yang ada di rumah-rumah pribadi. Pelaksanaan upacara di Klenteng-klenteng
lebih bersifat ritual sakral dan hanya dalam situasi tertentu ada arak-arakan Tang sien keluar
dari halaman klenteng. Nanti setelah Presiden Gus Dur mengeluarkan peraturan yang
memulihkan hak-hak kewarganegaraan komunitas Tionghoa, barulah perayaan-perayaan hari
besar baik itu Perayaan Imlek, dan lain-lain sebagainya sesuai tradisi-tradisi leluhur dan
kegiatan keagamaan dilaksanakan secara spektakuler dan terbuka kepada khalayak. Tetapi
bukankah itu hal yang berlaku secara nasional. Di Manado, lumrah kita menemukan ingatan
kolektif warga, foto-foto, laporan-laporan, reportase tentang perayaan Cap Go Meh dengan
atrakasi ince pia yang sangat populer dan terjadi di jaman Orde Baru. Masa yang secara
nasional dikenal sebagai era ‘pengekangan’ tradisi warga keturunan. Disini kita melihat, ini
menjadi semacam perayaan (tontonan) publik bersama secara luas dan kompromi toleransi
yang tidak berlaku secara nasional. Ini juga penanda sejauh apa warga keturunan melebur
dengan penduduk lokal.
Gambar 1.Tang-Sin saat upacara Cap Go Meh 2013 dan partisipasi
warga kota yang meriah (Sumber: Koleksi Pribadi)
9
Kemudian, secara lokal, setelah kebijakan di era Gus Dur tersebut, beberapa peristiwa
tradisi leluhur oleh pemerintah kota dan provinsi lebih “dipertajam”, “dikomodifikasi” dengan
menjadikannya agenda pariwisata yang diandalkan oleh pemerintah kota sebagai daya tarik.
Tetapi, ini tidak mencakup semua rumah sembahyang atau klenteng. Masih ada beberapa
yang mempertahankan sikap bahwa upacara-upacara ritual yang ada tetap diselenggarakan di
dalam rumah sembahyang atau klenteng dan hanya diijinkan ditonton khalayak jika diberi
restu.
Realita kultural yang sering dianggap sebagai salah satu bentuk atau wujud dari proses
pemertahanan identitas budaya adalah keberadaan rumah sembahyang dalam hal ini misalnya
klenteng-klenteng yang berlokasi di kota Manado seperti Klenteng Ban Hing Kiong, Klenteng
Kwan Kong, Klenteng Lo Tjia, Klenteng Altar agung, Vihara Darma Dhipa; maupun rumahrumah sembahyang yang didirikan dalam beberapa tahun terakhir ini baik itu di kota Manado
maupun di kota-kota lainnya di Sulawesi Utara seperti di Bitung, Tomohon, dan Amurang.
Dari sekian banyak rumah sembahyang baik itu klenteng maupun vihara dan pagoda, yang
dianggap rumah sembahyang pertama dan tertua adalah klenteng Ban Hing Kiong.
Kehadiran rumah sembahyang atau klenteng di Manado memiliki sejarah yang panjang.
Salah satu keterangan tertulis berjudul: “Tuturan Ringkas Tentang berdirinja rumah2
Toapekong, Kongteksoe dan Tjeng Beng serta riwayat Tangsien (tangtjhie) dan perkumpulan
Kap Tan dengan urusan2 sembahjang jang ada terikat dalamnya, serta adanja perkumpulan
Sam Kauw Hwe di Menado” dituturkan dan diterbitkan oleh Oey Pek Yong (1957) salah
10
seorang “kapiten Cina” di Manado, menjadi sumber utama dalam tulisan ini dan diperkaya
oleh keterangan para tokoh warga komunitas Tionghoa di Manado. Oey Pek Yong sendiri
tidak dapat memastikan kapan Klenteng Ban Hing Kiong didirikan. Dalam tulisannya yang
dirujuk di atas, disebut kurang lebih sudah berusia 140 tahun, atau didirikan pada sekitar
tahun 1817. Klenteng ini semula dibangun dengan mengandalkan partisipasi warga Tionghoa
yang tersebar di Sulawesi Utara atau di wilayah Keresidenan Manado kala itu, sangat
sederhana, berdindingkan kulit nibong dan atapnya dari daun rumbia. Nanti setelah
tergalangnya dana yang mencukupi pembangunan klenteng yang memadai, barulah mereka
mendatangkan para tukang dari Tiongkok dan Singapura. Begitu pula dengan segala ornamen,
patung-patung dan berbagai hiasannya didatangkan dari daratan Tiongkok, termasuk atap
genteng yang didatangkan dari Singapura. Kesemuanya dapat terlaksana karena jasa dari para
penyumbang yang nama-namanya tercatat pada bagian dalam dinding bangunan tersebut,
kecuali nama-nama penyumbang pendirian klenteng awal yang sudah hilang.
Selain klenteng Ban Hing Kiong, juga terdapat beberapa klenteng antara lain seperti
Klenteng Kwan Kong, Kwan Im Tong, Klenteng Lo Tjia Miao dan Klenteng Altar Agung.
Selain klenteng, wujud dari eksistensi identitas kultural tampak dalam pelaksanaan berbagai
upacara serta tradisi yang berhubungan dengan hari-hari raya, terutama dengan hari raya Cap
Go Meh sejak era Reformasi terkesan mengalami proses komodifikasi dalam artian tidak lagi
sekedar sebagai upacara ritual keagamaan bagi umat Konghucu melainkan menjadi atraksi
tontonan baik bagi warga kota Manado dan sekitarnya maupun dijadikan agenda pariwisata
oleh pemerintah kota Manado dan provinsi Sulawesi Utara sebagai salah satu daya tarik
pelancong mancanegara.
Peralihan upacara Cap Go Meh atau dalam bahasa Melayu Manado disebut “pasiar
toapekong”, dari sekedar upacara keagamaan dan kemudian menjadi tontonan bagi
masyarakat luas seperti sudah disentil di atas tidak berlaku umum. Maksudnya, pengurus
klenteng besar seperti Ban Hing Kiong dan beberapa klenteng lainnya tetap mempertahankan
upacara Cap Go Meh sebagai upacara keagamaan yang sakral. Sedangkan pengurus Klenteng
Kwan Kong, lebih terbuka dan memberi peluang bagi pemerintah kota terutama Dinas
Pariwisatanya dengan mengagendakan upacara tersebut sebagai agenda wisata.
Persoalan interaksi antara warga Tionghoa dengan warga lokal merupakan pertanyaan
yang tidak hanya dapat dijawab dengan kata “ya” atau “tidak”, karena realita hidup
mengungkapkan banyak hal yang memerlukan penjelasannya secara kasus per kasus.
Hal pertama adalah soal pemukiman. “Kampung Cina” yang sejak dahulu sekaligus
merupakan pusat perdagangan misalnya, pada awalnya merupakan kumpulan bangunanbangunan tempat usaha (toko) sekaligus sebagai rumah tinggal. Dewasa ini fungsi sebagai
11
rumah tinggal itu semakin berkurang dan banyak warga Tionghoa memilih untuk menetap di
pemukiman-pemukiman warga setempat. Dari sisi aktivitas, “Kampung Cina” sebagai lokasi
aktivitas perdagangan tidak lagi didominasi oleh pedagang-pengusaha warga Tionghoa. Hasil
amatan dan perhitungan kasar menunjukkan bahwa warga komunitas etnis Gorontalo dan
Bugis-Makassar lebih banyak beraktivitas di wilayah ini dibandingkan dengan warga
Tionghoa. Warga etnis Gorontalo umumnya berjualan di emperan atau juga di bagian pintu
toko-toko warga Tionghoa, ada yang merupakan bagian dari toko-toko yang ada, namun lebih
banyak menjalankan usaha sendiri seperti halnya para pembeli emas, reparasi jam tangan dan
sebagainya. Keadaan seperti ini membuahkan interaksi aktif antara mereka, mulai dari soal
ijin berjualan di depan pintu toko, dan sebagainya.
Berkaitan dengan pemukiman, hal menarik lainnya adalah pemukiman yang bertetangga
dengan “Kampung Cina” bagian timur dan dikenal dengan nama “Kampung Arab”. Semula
memang rumah-rumah yang ada merupakan milik warga keturunan Arab dan Timur Tengah
lainnya. Namun, sejak paroh kedua tahun 1900-an, warga Tionghoa yang menetap di
pemukiman ini sudah hampir setengah dari jumlah penduduk yang ada di pemukiman
tersebut.
Berbaur dan menyendiri pun tidak hanya tampak dalam pemukiman tetapi juga
“pemukiman orang yang sudah meninggal” atau pekuburan. Ada “kubur Cina”, ada kubur
khusus marga-marga tertentu seperti “kubur marga Liang”, tetapi tidak sedikit warga
Tionghoa yang memilih untuk dikuburkan di kompleks pekuburan umum atau pekuburan
yang beradasarkan agama seperti pekuburan Katolik dan pekuburan Kristen. Fenomena ini
dapat dijadikan petunjuk bahwa pilihan untuk dikuburkan di lokasi tertentu sangat
dipengaruhi oleh “dunia pergaulan” dari warga Tionghoa yang meninggal dan di mana ia
berpesan untuk dikuburkan.
Semasa hak-hak kewarganegaraan dan hak menjalankan tradisi leluhur serta
pelaksanaan ibadah keagamaan (Konghucu, Budha) belum direhabilitasi, tampak seperti
adanya dikotomi bagi warga dalam menjalankan keyakinannya. Menjadi umat Katholik dan
umat Kristen merupakan pilihan yang menunjukkan keberagamaan warga Tionghoa,
sementara keikutsertaan dalam upacara di klenteng menjadi semacam kegiatan menjalankan
tradisi leluhur. Hal mana sejak era Presiden Abdurahman Wahid yang mengembalikan hakhak kewarganegaraan warga Tionghoa, dikotomi tersebut tidak lagi menonjol, karena status
Konghucu dan Budha yang setara dengan agama-agama lainnya.
Dalam kaitannya dengan tradisi leluhur misalnya, ada pelaksanaan upacara yang hanya
melibatkan anggota kerabat dari penginisiatif dan seakan-akan kelihatannya seperti tidak
membaur. Namun, apabila ditelisik mulai dari pelaku, penyedia tempat dan berbagai
12
kebutuhan untuk pelaksanaan sebuah upacara misalnya, akan jelas menunjukkan adanya
pelibatan tenaga dari penduduk lokal, terutama dari pihak tetangga dan kenalan.
Kenyataan seperti itu pula menghadirkan realita sosial seperti adanya situasi
keharmonisan hubungan antara warga komunitas Tionghoa dengan penduduk lokal.
Hubungan antara orang Tionghoa yang ada di Manado dengan penduduk lokal telah
berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama. Jika kita melihat lagi pergaulan warga
komunitas Tionghoa di Manado, maka akan nampak bahwa warga komunitas Tionghoa tidak
hanya bergaul dengan golongan mereka sendiri.
Catatan Akhir
Dari paparan ini, kita melihat bagaimana warga keturunan Tionghoa di Manado telah
berbaur sedemikian lekat dengan warga lokal, sehingga tidak lagi mengidentifikasi diri
sebagai orang Tionghoa, tetapi menjadi orang Manado. Namun, pada pihak yang sama,
mereka juga tidak melupakan tradisi dan tetap menjalankannya. Bahkan, pada masa Orde
Baru, era dimana tradisi warga keturunan begitu dikekang. Maka, tak salah rasanya apa yang
ditulis oleh Anggraeni (2008: 127) bahwa etnis Tionghoa di Manado membaur lebih jauh
dengan masyarakat lokal daripada tempat-tempat lain di Indonesia.
13
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, Dewi, Mereka Bilang Aku China; Jejak Mendaki Menjadi BagianBangsa (Jakarta:
Bentang Pustaka, 2010)
Graafland, N., Minahasa; Negeri, Rakyat dan Budayanya (Jakarta: Grafiti, 1991[1869])
Gunawan, Hendri, Yok Tjae dan Chung Hwa: Perkembangan Sekolah Cina di Manado 19151959 (Skripsi di Universitas Sam Ratulangi Manado, 1996)
_______________,“Komunitas Tionghoa Di Manado : Sebuah Catatan Awal”, di dalam
Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol 11No. 20, Tahun VII (Manado: BPNB Manado, 2012a)
hlm. 1-14
__________________, “Sekilas Perkembangan Konghucu di Manado”, di dalam Kure Jurnal
Sejarah dan Budaya, No. 7, Tahun VII (Manado: BPNB Manado, 2012b) hlm. 55-60
Henley, David, Fertility, Food and Fever; Population, Economy and Environment in North
and Central Sulawesi 1600-1930 (Leiden: KITLV, 2005)
Lan, Nio Joe, 1961, Peradaban Tionghoa; Selayang Pandang, Penerbit Kepustakaan Populer
Gramedia, Jakarta, 2013 [1961]
Makkelo, Ilham Daeng, Kota Seribu Gereja; Dinamika Keagamaan dan Penggunaan Ruang
di Kota Manado (Yogyakarta: Ombak, 2010)
Marzali, Amri, “Pemetaan Sosial Politik Kelompok Etnik Cina di Indonesia”, di dalam
Masyarakat Indonesia Majalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia, Edisi XXXVII, No. 2 (Jakarta:
LIPI, 2011)
Nursam, M., Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi: Biografi Laksamana Muda John Lie
(Yogyakarta: Ombak, 2008)
Poerwanto, Hari, Orang Cina Khek dari Singkawang (Jakarta: Komunitas Bambu, 2005)
Purcell, Victor, The Chinese in Southeast Asia (2nd ed.) (Kuala Lumpur: Oxford University
Press, 1980[1951])
Sumampouw, Nono Stevano Agustinus, “Asimilasi Sempurna?: Sketsa Kehidupan Komunitas
Cina-Manado”, di dalam Kure Jurnal Sejarah dan Budaya, No. 7, Tahun VII (Manado:
BPNB Manado, 2012) hlm. 99-106
Suryadinata, Leo, 1986. Politik Tionghoa Peranakan di Jawa, 1917-1942 Penerbit Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta.
Toar, D., Orang Cina di Manado, Tesis Universitas Sam Ratulangi (Manado: Fakultas Sastra,
1978)
Ulaen, Alex John, La ‘Residentie Manado’ À La Fin Du XIXe Siècle: Une Introduction à
l’étude historique du pays Minahasa à Célèbes Nord; Karesidenan Manado Pada Akhir
14
Abad ke XIX: Pengantar Kajian Kesejarahan Tanah Minahasa, Sulawesi Utara (Manado:
MarIn CRC, 2010)
Yosadi, Sofyan Jimmy, “Nasionalisme Etnis Tionghoa”, Bagian 1 (Tribun Manado, Senin 12
November 2012) hlm. 10
____________________, “Nasionalisme Etnis Tionghoa”, Bagian 2 (Tribun Manado, Selasa
13 November 2012) hlm. 10
____________________, “Peran Etnis Tionghoa Dalam Mencapai Kemerdekaan Indonesia”,
Bagian 2 (Tribun Manado, Rabu 14 November 2012) hlm. 10
15
Potret Budaya Komunitas Tionghoa-Manado
Hendri Gunawan
Staf Teknis Balai Pelestarian Nilai Budaya Manado
Jalan Katamso, Bumi Beringin Lingkungan V
Telepon (0431) 855311/Faksimile. (0431) 864926
Pos-el: [email protected]
Warga komunitas Tionghoa di Manado atau sehari-hari dikenal dengan sebutan “CinaManado” adalah salah satu kelompok komunitas yang hidup bersama dengan warga kelompok
komunitas etnis lainnya semenjak Manado tumbuh-kembang menjadi salah satu bandar di
masa VOC. Lokasi pemukimannya pun ditentukan oleh Penguasa VOC, bertetangga dengan
lokasi “benteng”, di pusat kota dan pelabuhan.
Sebagian besar warga komunitas Tionghoa adalah keturunan-campuran, hasil
perkawinan antara para pendatang dari daratan Tiongkok maupun daerah lainnya di
Nusantara, dengan warga penduduk setempat khususnya Minahasa. Sebagai warga perantau
baik semasa pemerintahan Hindia Belanda maupun setelah kemerdekaan, warga komunitas
Tionghoa-Manado menjalankan “tradisi” dan budaya yang diwarisi turun-temurun, terutama
yang berhubungan dengan agama dan kepercayaan. Kehadiran sejumlah klenteng sejak dua
abad lalu menjadi salah satu pusat peribadatan, dan pada masa ketika keberadaan Konghucu
di Indonesia belum diakui sebagai agama resmi, klenteng-klenteng yang ada menjadi pusat
pelaksanaan “tradisi leluhur”.
Semenjak Presiden Abdurrahman Wahid mengakui keberadaan Konghucu sebagai salah
satu agama resmi di Indonesia, peranan klenteng sebagai pusat peribadatan semakin jelas.
Keberadaan “budaya Tionghoa” pun mengemuka. Upacara-upacara ritual keagamaan yang
dilaksanakan semakin meriah dan tidak hanya sebatas halaman klenteng. Jika pada masa Orde
Baru, setiap pelaksanaan upacara ritual keagamaan memerlukan ijin dari pemerintah, hal yang
terjadi setelah era reformasi adalah pemerintah menjadikan setiap upacara ritual sebagai
“atraksi budaya” yang diagendakan serta tercantum dalam berbagai leaflet promosi daya tarik
wisata.
Kata kunci: tradisi, atraksi budaya, komunitas Tionghoa-Manado
1
Pendahuluan
Penulisan atau pemaparan tentang keberadaan sebuah komunitas di Provinsi Sulawesi
Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah sebagai wilayah kerja Balai Pelestarian Nilai Budaya
(BPNB) Manado, selama ini terlalu berkonsentrasi pada kajian antropologi dan sosiologi.
Padahal, dalam historiografi umum, ini dapat ditilik dan menjadi ranah kajian Ilmu Sejarah
seperti Sejarah Sosial maupun memaparkannya dalam bentuk biografi tokoh-tokoh pilihan
yang dapat dijadikan representasi dari warga komunitas yang dipelajari atau dikaji.
Salah satu kelompok komunitas yang ada di ketiga wilayah kerja Balai Pelestarian Nilai
Budaya (BPNB) Manado adalah komunitas Tionghoa yang menetap berkelompok dan
membentuk satu kawasan pemukiman maupun hidup dan menetap terpencar membaur di
tengah kelompok-kelompok komunitas setempat. Kehadiran mereka di daerah ini sudah sejak
beberapa abad lampau. Keterangan seperti ini dapat diperoleh dari berbagai dokumen dan
publikasi sejak masa Hindia Belanda. Namun, belum ditemukan hasil kajian khusus yang
memaparkan keberadaan komunitas Tionghoa di Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi
Tengah, seperti halnya kajian tentang komunitas Jawa-Tondano di Minahasa yang dilakukan
oleh Tim Babcock atau juga biografi tentang tokoh-tokohnya. Hanya beberapa percahan dan
dapat dibaca dalam: Graafland (1991[1869]); Nas (1995); Wahyuno (1996); Henley (2005);
Ulaen (2010); Anggraeni (2010), dan; Makkelo (2010). Sementara, karya ilmiah khusus
mengenai komunitas Tionghoa Manado “hanya” kami temukan dalam bentuk Skripsi Sarjana
dari: Toar (1978); Gunawan (1996); artikel oleh Sumampouw (2012); dan (Gunawan, 2012a;
2012b). Termasuk juga, artikel di surat kabar harian lokal dari Sofyan Jimmy Yosadi (Tribun
Manado, 12-14 November 2012). Ini menandakan, bagian mengenai kehadiran komunitas
Tionghoa di Manado perlu mendapat perhatian khusus dari kita. Karena penulisan tersebut
disusun dari sumber-sumber yang berserakan.
Dari amatan sepintas dapat diperoleh pemahaman bahwa keberadaan kelompok
komunitas Tionghoa di ketiga wilayah kerja BPNB Manado dapat diklasifikasikan atas: (1)
kelompok komunitas Tionghoa yang masih mempertahankan kemurnian keluarga dalam arti
kawin-mawin di kalangan kelompok komunitasnya serta tradisi dari negeri leluhurnya dan
tetap menganut ajaran Konghucu; (2) kelompok komunitas yang sudah mulai membaur
dengan penduduk setempat, dikenal sebagai warga “Cina-peranakan” menjadi pendukung
budaya lokal disamping tradisi dari negeri leluhurnya; menganut agama seperti Kristen dan
Islam dan (3) warga yang dikenal sebagai “Cina-peranakan” hanya karena ciri-ciri fisiknya
tetapi telah membaur secara total dengan warga penduduk setempat, memeluk agama Kristen
maupun Islam, menggunakan nama yang tidak lagi menunjukkan identitas budaya negeri
2
leluhur. Klasifikasi di atas masih dapat dipilih-pilah lagi berdasarkan alasan serta
pertimbangan sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Kedatangan warga Tionghoa di Manado diperkirakan terjadi pada tahun 1655. Mereka
didatangkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa di wilayah Manado. Maksud dari
didatangkannya warga Tionghoa ini di Manado adalah untuk membantu dalam pembuatan
benteng pertahanan yang dikenal dengan nama De Nederlandsche Vastiegheid dan setelah
diperbaharui diberi nama Fort Amsterdam (Toar, 1978: 38).
Orang-orang Tionghoa yang membangun benteng tersebut kemudian menetap dan
membuat rumah-rumah mereka di sekitar benteng. Wilayah tempat tiggal mereka dikenal
dengan nama “Kampung Cina” yang terletak di Kecamatan Manado Tengah yang merupakan
pusat perdagangan di wilayah Manado. Perluasan tempat tinggal warga komunitas Tionghoa
lebih banyak terjadi di sekitar wilayah “Kampung Cina” sehingga Kecamatan Manado Tengah
menjadi wilayah yang paling banyak dihuni oleh warga Tionghoa.
Wilayah Kota Manado sekarang yang banyak dihuni dan ditempati oleh warga Tionghoa
adalah di sekitar wilayah Dendengan Luar, Paal Dua, Pinaesaan, Tikala Ares dan Tikala
Kumaraka. Sedangkan di Kecamatan Manado Utara hanya ada satu wilayah saja yaitu
wilayah sekitar Kelurahan Wawonasa.
Warga komunitas Tionghoa yang berada di Indonesia telah berakulturasi ke dalam
masyarakat setempat. Hubungannya dengan negeri leluhur tidak lagi tebal kecuali mereka
tetap mengadakan kegiatan yang dilakukan oleh leluhur mereka. Seperti diketahui warga
Tionghoa yang datang ke Indonesia terdiri dari beberapa suku bangsa yang berbeda satu
dengan yang lainnya. Di Manado warga Tionghoa terdiri dari beberapa suku bangsa yaitu :
1. Hokkian
2. Kanton (disebut juga Kwongfu)
3. Hakka (disebut juga Keh)
4. Hainan
Bila ditelusuri, adat kebiasaan tradisional warga komunitas Tionghoa sebenarnya tidak
lain adalah merupakan kepercayaan-kepercayaan yang bersifat magis-religius. Adat kebiasaan
tradisional tersebut telah diturunkan dari generasi yang satu ke generasi berikutnya,
dimanapun mereka berada. Itulah sebabnya sangat sulit bagi orang Tionghoa untuk
meninggalkan adat kebiasaan mereka. Pola kehidupan mereka sejak dilahirkan sampai di
liang lahat terus dilingkari oleh adat kebiasaannya. Ajaran-ajaran Buddha pun setelah masuk
ke Tiongkok tidak lagi seperti agama Buddha yang sesungguhnya tetapi telah dipengaruhi
adat kebiasaan tradisional Tiongkok. Demikian juga orang-orang Tionghoa yang telah
3
beragama Kristen ataupun Katolik. Dalam kenyataannya sebagian masih mengikuti dan
melaksanakan adat kebiasaan tradisional Tiongkok.
Berdasarkan pemaparan di atas, tulisan ini bertujuan memaparkan dinamika
pelaksanaan ritual orang Tionghoa di kota Manado sejak jaman Orde baru hingga saat ini.
Secara sederhana, dapat dikatakan tulisan ini bersifat diakronis. Hal lain yang perlu digaris
bawahi, karya ini mencoba memberikan perspektif baru mengenai latar sejarah dan kehidupan
etnis Tionghoa di Indonesia yang kajian-kajiannya selama ini terlalu berkonsentrasi di bagian
barat Indonesia atau terlalu “west-oriented” (Purcell, 1963; Marzali, 2010; Poerwanto, 2005).
Memperhatikan hal tersebut, tulisan ini mencoba menjelaskan:
1. Bagaimana dinamika interaksi komunitas Tionghoa di Manado dengan masyarakat
lokal ?
2. Bagaimana kebijakan pemerintah baik pusat dan lokal berpengaruh terhadap
perubahan “ritual” komunitas Tionghoa menjadi “atraksi budaya”?
Penulisan ini datanya bersumber dari data sekunder terutama arsip otentik yang
tersimpan diberbagai instansi terkait. Tidak kalah pentingnya adalah pemanfaatan bahan
pustaka yang tersebar diberbagai perpustakaan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat sehingga orang
akan saling menghargai sesamanya tanpa melihat perbedaan suku, agama..
Penelitian komunitas Tionghoa di Manado ini menggunakan metode wawancara
mendalam (in depth interview). Melalui metode wawancara mendalam diharapkan diperoleh
data kualitatif mengenai Komunitas Tionghoa di Manado. Wawancara dilakukan dengan
menggunakan pedoman pertanyaan yang terkait dengan masalah yang ingin diangkat.
Wawancara dilakukan terhadap informan yang tahu dan paham mengenai masalah penelitian
yang diangkat dalam penulisan ini.
Tak Hanya Berniaga: Proses Kedatangan dan Menetap di Manado
Membahas pranata sosial-budaya warga komunitas Tionghoa di Manado memerlukan
paparan awal tentang kehidupan warga Tionghoa di Jawa. Hal ini dipandang perlu, mengingat
menurut tuturan banyak warga keturunan kehadiran warga Tionghoa di Manado merupakan
penyebaran dari mereka yang pernah menetap baik dalam waktu yang lama maupun hanya
singkat di Jawa dan Batavia. Hal ini disebabkan karena tidak ada pelayaran langsung dari
daratan Tiongkok ke daerah Keresidenan Manado. Begitu pula halnya dengan berbagai
regulasi atau peraturan baik yang diberlakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda maupun yang
diberlakukan oleh Kekaisaran Cina di Tiongkok, pihak pertama yang menerima langsung efek
dari berbagai regulasi tersebut adalah warga Tionghoa di Batavia dan Jawa. Hal lain yang
4
berhubungan dengan bangkitnya nasionalisme Tiongkok, juga muncul di Batavia dan di Jawa
baru meluas hingga wilayah Keresidenan Manado. Pertimbangan ini pula yang mendasari
paparan pada bagian ini mulai dari keberadaan komunitas Tionghoa di Jawa, dan selanjutnya
diselang-selingi dengan keberadaan mereka di wilayah Keresidenan Manado.
Sebelum pertengahan kedua dari abad ke-20, orang Tionghoa di Indonesia sebagian
besar terdiri dari para pedagang dan pengrajin Hokkian. Meskipun belum ada kajian yang
mendasar tentang hubungan antara semangat merantau dengan latar etnis, dari berbagai
keterangan yang diperoleh dari warga Tionghoa berlatar Hokkian – baik di Jawa maupun di
Manado – dapat diduga bahwa letak geografis wilayah Hokkian yang berpusat di Provinsi
Fujian yang berada di bagian selatan daratan Tiongkok memudahkan mereka merantau ke
selatan atau ke Nusantara. Alasan sosio-kultural lainnya adalah perilaku mereka yang saling
tolong menolong antara sesama etnis Hokkian membuat mereka lebih berani merantau ke
Nusantara. Tidak sedikit para perantau yang sudah berhasil di Nusantara baik di Jawa maupun
di Manado membantu para pendatang baru dengan cara memodali usaha mereka.
Secara umum, jumlah perantau juga disebabkan oleh alasan sulitnya angkutan laut.
Ada juga alasan politis-administratif, yakni adanya Dekrit Kekaisaran dari Dinasti Ching
yang secara resmi melarang orang Tionghoa untuk meninggalkan dan masuk kembali ke
negeri Tiongkok, maka migrasi massal ke Nusantara tidak pernah terjadi, dan yang ada ialah
migrasi perorangan atau juga sebatas satu dua keluarga-batih. Pada tahun 1717 semua orang
Tionghoa di luar Tiongkok dipanggil kembali ke daratan Tiongkok dan setelah tahun 1726,
perantau Tionghoa tidak boleh kembali lagi ke Tiongkok. Setelah tahun 1860, larangan bagi
warga Tiongkok untuk merantau mulai mengendor dan memungkinkan para perantau
Tionghoa leluasa bepergian ke luar negeri. Perkembangan berikutnya terjadi pada tahun 1898.
Pemerintah kekaisaran Tiongkok menghapuskan larangan mengenai kembalinya orang
Tionghoa ke negeri Tiongkok. Sebenarnya, banyak orang Tionghoa telah kembali bahkan
sebelum larangan itu dengan resmi dicabut (Suryadinata, 1986: 20).
Mayoritas warga Tionghoa-peranakan biasanya memiliki darah pribumi dari garis ibu
dan mereka menjalani cara hidup berdasarkan tradisi etnis darimana ibunya terhisab di
dalamnya. Sebagai contoh, kaum lelaki dari warga Tionghoa peranakan ini memakai ThengSha (baju panjang Cina) dan tidak lagi berkuncir, sedangkan kaum wanitanya memakai
kebaya dan dibesarkan seturut tradisi dari komunitas etnis darimana ibu mereka berasal.
Kaum peranakan pada umumnya tidak berbicara dalam bahasa Tionghoa tetapi berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa setempat baik itu bahasa Melayu maupun bahasa-bahasa daerah
di mana mereka tinggal. Di pantai utara Jawa tempat sebagian besar warga Tionghoa tinggal
digunakan suatu kombinasi antara bahasa Melayu pasar dan logat Hokkian sebagai bahasa
5
pergaulan. Bahasa ini kemudian diperkaya dengan meminjam kata-kata dari bahasa Belanda
dan bahasa barat lainnya. Menjelang akhir abad ke-19, bahasa itu telah berkembang menjadi
bahasa Melayu Betawi, dan dalam abad ini dikenal sebagai bahasa Melayu Tionghoa. Bahasa
ini menjadi bahasa umum dari warga komunitas Tionghoa peranakan di seluruh Jawa.
Hal yang terjadi di Jawa dimana warga Tionghoa-peranakan memiliki darah Tionghoa
dari pihak ayah dan darah pribumi dari pihak ibu juga terjadi di wilayah Keresidenan Manado.
Hal mana berpengaruh besar dan seakan menjadi cikal-bakal pencantuman nama marga yang
kelak disandang oleh keturunannya yang pada umumnya adalah nama-nama marga atau
dalam bahasa setempat disebut fam, berasal dari kata bahasa Belanda familie; adalah nama
keluarga pihak ibu, seperti Inkiriwang, Waworuntu, Sondakh, dan sebagainya.
Seperti telah diuraikan di atas bahwa warga Tionghoa-peranakan sebagian besar
memiliki darah Tionghoa dari garis ayah dan darah pribumi dari ibunya; hal ini terjadi
terutama pada generasi kedua dari para perantau yang semula datang bersama istri mereka,
atau juga yang dilakoni oleh para perantau berstatus bujangan dan belum berhasil dalam
usahanya sehingga mau tidak mau harus mencari pasangan hidup mereka di Nusantara karena
kalau kembali mencari pasangan hidup di daratan Tiongkok memerlukan biaya yang besar.
Menjelang abad ke-19, masyarakat itu kemudian berdiri sendiri dalam arti bahwa kaum
peranakan itu kawin sesama mereka, dan hal ini mungkin terjadi karena jumlah lelaki dan
perempuan hampir sama besarnya. Para perantau baru membentuk satu kelompok peralihan
kecil dan dengan cepat terasimilasi karena tidak terjadi imigrasi besar-besaran. Sekalipun
warga Tionghoa-peranakan terasimilasi ke dalam masyarakat setempat, mereka masih tetap
terpisah dari golongan-golongan ras lainnya, terutama sebagai akibat struktur masyarakat
kolonial dan politik Belanda. Pada waktu itu terdapat tiga lapisan ras yang besar di Hindia
Belanda, yaitu golongan Eropa yang menduduki tempat teratas, golongan timur asing di
tengah dan golongan Indonesia pribumi di lapisan bawah. Belanda menerapkan cara
berpakaian bagi setiap golongan ras untuk mempertahankan tradisi berpakaian dan adat
istiadatnya.
Adat kebiasaan tradisional Tionghoa yang bersifat magis-religius antara lain pemujaan
terhadap leluhur yang dilakukan dengan cara sembahyang. Kegiatan sembahyang pada leluhur
ini, mereka lakukan baik di rumah sendiri maupun di rumah-rumah sembahyang terutama di
Klenteng. Kalau dilakukan di rumah sendiri biasanya keluarga tersebut memiliki meja
sembahyang.
Peralatan meja sembahyang yang mereka miliki bervariasi antara keluarga yang satu
dengan yang lainnya. Bagi sebagian besar keluarga, pengaturan meja sembahyang sangat
sederhana dimana hanya terdiri dari gambar leluhur, bokor abu tempat tancapan batang dupa
6
dan batang dupa. Bagi keluarga Tionghoa yang kaya, meja sembahyang biasanya diatur
sedemikian rupa sehingga kelihatan sangat indah.
Sembahyang terhadap leluhur biasanya dilakukan pada hari-hari raya Tahun Baru,
Ceng-Beng, Peh-Cun dan Cio-Ko atau Pho-Tou. Sehari menjelang Tahun Baru Tionghoa,
orang-orang Tionghoa melakukan sembahyang Tahun Baru. Sembahyang ini dilakukan untuk
arwah leluhur mereka (Lan, 1961: 142-157).
Hari raya Ceng-Beng, biasanya dilakukan pada tanggal 5 atau 6 April pada setiap
tahunnya. Sem-bahyang Ceng-Beng biasa-nya dilakukan di rumah-rumah. Pada hari itu,
warga Tionghoa berziarah ke makam leluhur mereka dengan membawa batang dupa, lilin,
kertas sembahyang dan sesajen. Bersamaan dengan itu pula makam leluhur dibersihkan.
Ceng-Beng bukanlah hari raya untuk berpesta melainkan hari untuk peringatan bagi anggota
keluarga yang sudah meninggal.
Hari raya Peh-Cun di Manado, lebih dikenal dengan nama Pelo-pelo. Pelo-pelo
merupakan satu kegiatan memperingati seorang patriot besar, seorang menteri di jaman Chuo
yang bernama Kut Goan (340 SM – 278 SM).
Warga komunitas Tionghoa di Manado biasanya melakukan sembahyang pelo-pelo di
rumah-rumah ibadah yang ada kemudian melakukan kegiatan ibadah tersebut dilanjutkan
dengan perayaan pelo-pelo yang biasanya dilakukan di pantai. Selepas melakukan ibadah
singkat di pantai diteruskan dengan melepas sesajen ke lepas pantai. Perayaan ini juga
ditandai dengan mendirikan sebuah telur di atas sebuah batu.
Sembahyang Cio Ko adalah sembahyang untuk arwah-arwah nenek moyang yang tidak
dilakukan oleh sanak keluarganya. Kegiatan ini dilakukan menurut kepercayaan orang
Tionghoa bahwa orang-orang yang telah meninggal dan tidak diziarahi dan juga tidak
disembahyangi oleh sanak keluarganya akan menjadi kelaparan dan selalu berkeliaran untuk
mencari makan. Kegiatan ini biasanya ditandai dengan meja sembahyang yang berupa sebuah
meja besar yang berisi makanan yang berjumlah banyak dan enak-enak. Kegiatan
sembahyang Cio Ko di Manado lebih dikenal dengan nama sembahyang Barampas.
Toapekong merupakan puncak dari upacara adat kebiasaan tradisional orang Tionghoa
di Manado yang biasa diselenggarakan sesudah “Tahun Baru Cina”. Kegiatan ini
diselenggarakan pada awal “Tahun Baru Cina”. Kegiatan ini dilaksanakan pada awal tahun
baru Cina atau tepatnya 15 hari setelah tahun baru Cina dan kegiatan ini melambangkan suatu
usaha dari masyarakat Cina untuk menyucikan diri. Terdapat suatu kepercayaan orang
Tionghoa di Manado, apabila orang yang menjadi Ince Pia yaitu orang yang sudah
kemasukan arwah leluhur keluar dari kelenteng pusat (Ban Hing Kiong) dan mengitari jalan
7
yang sudah ditentukan kemudian kembali ke klenteng lagi, maka warga komunitas Tionghoa
akan mendapat berkah pada tahun yang berjalan.
Menjadi Orang Manado, Memegang Teguh Tradisi
Memahami dinamika kehidupan warga komunitas Tionghoa di Manado tidak dapat
disajikan dalam sebuah paparan yang sifatnya umum semata. Paparan seperti itu akan
menjebak penulis dan pembaca pada sebuah gambaran pada permukaan semata dan
terperosok pada pencitraan atau stereotipe yang tidak beralasan. Bahwa ada kelompok warga
Tionghoa yang masih mempertahankan tradisi dan pola hidup yang diwarisi dari ajaran
leluhur, masih mempertahankan perkawinan terutama hanya dalam kelompoknya sendiri,
merupakan kenyataan yang tidak dapat diingkari. Sebaliknya, tidak sedikit di antara mereka
yang sudah meninggalkan tradisi leluhurnya, mengawini warga setempat. Ada yang masih
menggunakan marga aslinya, seperti halnya Lie Tjeng Tjoan atau dikenal dengan John Lie,
dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2009 yang mewakili etnis Tionghoa
Indonesia sekaligus dari Manado (Sulawesi Utara), sekalipun oleh beberapa kalangan
penetapan ini dianggap sangat terlambat. Kisah hidupnya sudah dibukukan dalam bentuk
Biografi (Nursam, 2008).
Kita bisa melihat latar belakang John Lie secara sekilas sebagai potret kehidupan warga
keturunan di Manado yang begitu melebur dan bergaul sangat dalam dengan penduduk lokal
hingga akhirnya mengakui diri sebagai orang Manado dan sebagai orang Indonesia, bukan
lagi warga keturunan Cina yang benar terseparasi secara sosial dengan penduduk lain. Lahir 9
Maret 1911 di daerah Kanaka yang saat ini masuk di kelurahan Pinaesaan Kecamatan
Wenang, ia menjalani masa kecil hingga dewasa disana. John Lie yang kemudian mengganti
nama dimasa tua menjadi Jahja Daniel Dharma telah menyangkal, secara sekaligus, anggapan
orang banyak di jamannya bahkan hingga kini bahwa nasionalisme orang Tionghoa dan
Manado, apalagi yang beragama Kristen tipis (Gunawan, 2012: 1-14).
Pada sisi lain, kita juga menemukan, bahwa lancarnya proses ‘pe-Manado-an’ juga
dilakukan banyak warga keturunan Tionghoa dengan menyandang nama keluarga dari pihak
ibu. Bagi warga Tionghoa di Manado, ini tidak hanya memberikan kemudahan dalam proses
administrasi kependudukan, tetapi juga mempertegas identitas mereka sebagai orang Manado.
Ulasan atas “daftar silsilah” atau “genealogy” dengan jelas memaparkan proses-proses
perkawinan baik itu dengan wanita setempat rasanya harus menjadi kajian tersendiri yang
penting, karena akan memberi penjelasan bagaimana proses warga keturunan bertransformasi
menjadi warga lokal.
8
Pemahaman secara periodikal juga akan menghasilkan kenyataan bagaimana warga
komunitas Tionghoa baik semasa Era Orde Lama maupun pada era Orde Baru, sepertinya
dalam menjalankan tradisi leluhur lebih terpusat pada “meja sembahyang” atau “altar
sembahyang” yang ada di rumah-rumah pribadi. Pelaksanaan upacara di Klenteng-klenteng
lebih bersifat ritual sakral dan hanya dalam situasi tertentu ada arak-arakan Tang sien keluar
dari halaman klenteng. Nanti setelah Presiden Gus Dur mengeluarkan peraturan yang
memulihkan hak-hak kewarganegaraan komunitas Tionghoa, barulah perayaan-perayaan hari
besar baik itu Perayaan Imlek, dan lain-lain sebagainya sesuai tradisi-tradisi leluhur dan
kegiatan keagamaan dilaksanakan secara spektakuler dan terbuka kepada khalayak. Tetapi
bukankah itu hal yang berlaku secara nasional. Di Manado, lumrah kita menemukan ingatan
kolektif warga, foto-foto, laporan-laporan, reportase tentang perayaan Cap Go Meh dengan
atrakasi ince pia yang sangat populer dan terjadi di jaman Orde Baru. Masa yang secara
nasional dikenal sebagai era ‘pengekangan’ tradisi warga keturunan. Disini kita melihat, ini
menjadi semacam perayaan (tontonan) publik bersama secara luas dan kompromi toleransi
yang tidak berlaku secara nasional. Ini juga penanda sejauh apa warga keturunan melebur
dengan penduduk lokal.
Gambar 1.Tang-Sin saat upacara Cap Go Meh 2013 dan partisipasi
warga kota yang meriah (Sumber: Koleksi Pribadi)
9
Kemudian, secara lokal, setelah kebijakan di era Gus Dur tersebut, beberapa peristiwa
tradisi leluhur oleh pemerintah kota dan provinsi lebih “dipertajam”, “dikomodifikasi” dengan
menjadikannya agenda pariwisata yang diandalkan oleh pemerintah kota sebagai daya tarik.
Tetapi, ini tidak mencakup semua rumah sembahyang atau klenteng. Masih ada beberapa
yang mempertahankan sikap bahwa upacara-upacara ritual yang ada tetap diselenggarakan di
dalam rumah sembahyang atau klenteng dan hanya diijinkan ditonton khalayak jika diberi
restu.
Realita kultural yang sering dianggap sebagai salah satu bentuk atau wujud dari proses
pemertahanan identitas budaya adalah keberadaan rumah sembahyang dalam hal ini misalnya
klenteng-klenteng yang berlokasi di kota Manado seperti Klenteng Ban Hing Kiong, Klenteng
Kwan Kong, Klenteng Lo Tjia, Klenteng Altar agung, Vihara Darma Dhipa; maupun rumahrumah sembahyang yang didirikan dalam beberapa tahun terakhir ini baik itu di kota Manado
maupun di kota-kota lainnya di Sulawesi Utara seperti di Bitung, Tomohon, dan Amurang.
Dari sekian banyak rumah sembahyang baik itu klenteng maupun vihara dan pagoda, yang
dianggap rumah sembahyang pertama dan tertua adalah klenteng Ban Hing Kiong.
Kehadiran rumah sembahyang atau klenteng di Manado memiliki sejarah yang panjang.
Salah satu keterangan tertulis berjudul: “Tuturan Ringkas Tentang berdirinja rumah2
Toapekong, Kongteksoe dan Tjeng Beng serta riwayat Tangsien (tangtjhie) dan perkumpulan
Kap Tan dengan urusan2 sembahjang jang ada terikat dalamnya, serta adanja perkumpulan
Sam Kauw Hwe di Menado” dituturkan dan diterbitkan oleh Oey Pek Yong (1957) salah
10
seorang “kapiten Cina” di Manado, menjadi sumber utama dalam tulisan ini dan diperkaya
oleh keterangan para tokoh warga komunitas Tionghoa di Manado. Oey Pek Yong sendiri
tidak dapat memastikan kapan Klenteng Ban Hing Kiong didirikan. Dalam tulisannya yang
dirujuk di atas, disebut kurang lebih sudah berusia 140 tahun, atau didirikan pada sekitar
tahun 1817. Klenteng ini semula dibangun dengan mengandalkan partisipasi warga Tionghoa
yang tersebar di Sulawesi Utara atau di wilayah Keresidenan Manado kala itu, sangat
sederhana, berdindingkan kulit nibong dan atapnya dari daun rumbia. Nanti setelah
tergalangnya dana yang mencukupi pembangunan klenteng yang memadai, barulah mereka
mendatangkan para tukang dari Tiongkok dan Singapura. Begitu pula dengan segala ornamen,
patung-patung dan berbagai hiasannya didatangkan dari daratan Tiongkok, termasuk atap
genteng yang didatangkan dari Singapura. Kesemuanya dapat terlaksana karena jasa dari para
penyumbang yang nama-namanya tercatat pada bagian dalam dinding bangunan tersebut,
kecuali nama-nama penyumbang pendirian klenteng awal yang sudah hilang.
Selain klenteng Ban Hing Kiong, juga terdapat beberapa klenteng antara lain seperti
Klenteng Kwan Kong, Kwan Im Tong, Klenteng Lo Tjia Miao dan Klenteng Altar Agung.
Selain klenteng, wujud dari eksistensi identitas kultural tampak dalam pelaksanaan berbagai
upacara serta tradisi yang berhubungan dengan hari-hari raya, terutama dengan hari raya Cap
Go Meh sejak era Reformasi terkesan mengalami proses komodifikasi dalam artian tidak lagi
sekedar sebagai upacara ritual keagamaan bagi umat Konghucu melainkan menjadi atraksi
tontonan baik bagi warga kota Manado dan sekitarnya maupun dijadikan agenda pariwisata
oleh pemerintah kota Manado dan provinsi Sulawesi Utara sebagai salah satu daya tarik
pelancong mancanegara.
Peralihan upacara Cap Go Meh atau dalam bahasa Melayu Manado disebut “pasiar
toapekong”, dari sekedar upacara keagamaan dan kemudian menjadi tontonan bagi
masyarakat luas seperti sudah disentil di atas tidak berlaku umum. Maksudnya, pengurus
klenteng besar seperti Ban Hing Kiong dan beberapa klenteng lainnya tetap mempertahankan
upacara Cap Go Meh sebagai upacara keagamaan yang sakral. Sedangkan pengurus Klenteng
Kwan Kong, lebih terbuka dan memberi peluang bagi pemerintah kota terutama Dinas
Pariwisatanya dengan mengagendakan upacara tersebut sebagai agenda wisata.
Persoalan interaksi antara warga Tionghoa dengan warga lokal merupakan pertanyaan
yang tidak hanya dapat dijawab dengan kata “ya” atau “tidak”, karena realita hidup
mengungkapkan banyak hal yang memerlukan penjelasannya secara kasus per kasus.
Hal pertama adalah soal pemukiman. “Kampung Cina” yang sejak dahulu sekaligus
merupakan pusat perdagangan misalnya, pada awalnya merupakan kumpulan bangunanbangunan tempat usaha (toko) sekaligus sebagai rumah tinggal. Dewasa ini fungsi sebagai
11
rumah tinggal itu semakin berkurang dan banyak warga Tionghoa memilih untuk menetap di
pemukiman-pemukiman warga setempat. Dari sisi aktivitas, “Kampung Cina” sebagai lokasi
aktivitas perdagangan tidak lagi didominasi oleh pedagang-pengusaha warga Tionghoa. Hasil
amatan dan perhitungan kasar menunjukkan bahwa warga komunitas etnis Gorontalo dan
Bugis-Makassar lebih banyak beraktivitas di wilayah ini dibandingkan dengan warga
Tionghoa. Warga etnis Gorontalo umumnya berjualan di emperan atau juga di bagian pintu
toko-toko warga Tionghoa, ada yang merupakan bagian dari toko-toko yang ada, namun lebih
banyak menjalankan usaha sendiri seperti halnya para pembeli emas, reparasi jam tangan dan
sebagainya. Keadaan seperti ini membuahkan interaksi aktif antara mereka, mulai dari soal
ijin berjualan di depan pintu toko, dan sebagainya.
Berkaitan dengan pemukiman, hal menarik lainnya adalah pemukiman yang bertetangga
dengan “Kampung Cina” bagian timur dan dikenal dengan nama “Kampung Arab”. Semula
memang rumah-rumah yang ada merupakan milik warga keturunan Arab dan Timur Tengah
lainnya. Namun, sejak paroh kedua tahun 1900-an, warga Tionghoa yang menetap di
pemukiman ini sudah hampir setengah dari jumlah penduduk yang ada di pemukiman
tersebut.
Berbaur dan menyendiri pun tidak hanya tampak dalam pemukiman tetapi juga
“pemukiman orang yang sudah meninggal” atau pekuburan. Ada “kubur Cina”, ada kubur
khusus marga-marga tertentu seperti “kubur marga Liang”, tetapi tidak sedikit warga
Tionghoa yang memilih untuk dikuburkan di kompleks pekuburan umum atau pekuburan
yang beradasarkan agama seperti pekuburan Katolik dan pekuburan Kristen. Fenomena ini
dapat dijadikan petunjuk bahwa pilihan untuk dikuburkan di lokasi tertentu sangat
dipengaruhi oleh “dunia pergaulan” dari warga Tionghoa yang meninggal dan di mana ia
berpesan untuk dikuburkan.
Semasa hak-hak kewarganegaraan dan hak menjalankan tradisi leluhur serta
pelaksanaan ibadah keagamaan (Konghucu, Budha) belum direhabilitasi, tampak seperti
adanya dikotomi bagi warga dalam menjalankan keyakinannya. Menjadi umat Katholik dan
umat Kristen merupakan pilihan yang menunjukkan keberagamaan warga Tionghoa,
sementara keikutsertaan dalam upacara di klenteng menjadi semacam kegiatan menjalankan
tradisi leluhur. Hal mana sejak era Presiden Abdurahman Wahid yang mengembalikan hakhak kewarganegaraan warga Tionghoa, dikotomi tersebut tidak lagi menonjol, karena status
Konghucu dan Budha yang setara dengan agama-agama lainnya.
Dalam kaitannya dengan tradisi leluhur misalnya, ada pelaksanaan upacara yang hanya
melibatkan anggota kerabat dari penginisiatif dan seakan-akan kelihatannya seperti tidak
membaur. Namun, apabila ditelisik mulai dari pelaku, penyedia tempat dan berbagai
12
kebutuhan untuk pelaksanaan sebuah upacara misalnya, akan jelas menunjukkan adanya
pelibatan tenaga dari penduduk lokal, terutama dari pihak tetangga dan kenalan.
Kenyataan seperti itu pula menghadirkan realita sosial seperti adanya situasi
keharmonisan hubungan antara warga komunitas Tionghoa dengan penduduk lokal.
Hubungan antara orang Tionghoa yang ada di Manado dengan penduduk lokal telah
berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama. Jika kita melihat lagi pergaulan warga
komunitas Tionghoa di Manado, maka akan nampak bahwa warga komunitas Tionghoa tidak
hanya bergaul dengan golongan mereka sendiri.
Catatan Akhir
Dari paparan ini, kita melihat bagaimana warga keturunan Tionghoa di Manado telah
berbaur sedemikian lekat dengan warga lokal, sehingga tidak lagi mengidentifikasi diri
sebagai orang Tionghoa, tetapi menjadi orang Manado. Namun, pada pihak yang sama,
mereka juga tidak melupakan tradisi dan tetap menjalankannya. Bahkan, pada masa Orde
Baru, era dimana tradisi warga keturunan begitu dikekang. Maka, tak salah rasanya apa yang
ditulis oleh Anggraeni (2008: 127) bahwa etnis Tionghoa di Manado membaur lebih jauh
dengan masyarakat lokal daripada tempat-tempat lain di Indonesia.
13
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, Dewi, Mereka Bilang Aku China; Jejak Mendaki Menjadi BagianBangsa (Jakarta:
Bentang Pustaka, 2010)
Graafland, N., Minahasa; Negeri, Rakyat dan Budayanya (Jakarta: Grafiti, 1991[1869])
Gunawan, Hendri, Yok Tjae dan Chung Hwa: Perkembangan Sekolah Cina di Manado 19151959 (Skripsi di Universitas Sam Ratulangi Manado, 1996)
_______________,“Komunitas Tionghoa Di Manado : Sebuah Catatan Awal”, di dalam
Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol 11No. 20, Tahun VII (Manado: BPNB Manado, 2012a)
hlm. 1-14
__________________, “Sekilas Perkembangan Konghucu di Manado”, di dalam Kure Jurnal
Sejarah dan Budaya, No. 7, Tahun VII (Manado: BPNB Manado, 2012b) hlm. 55-60
Henley, David, Fertility, Food and Fever; Population, Economy and Environment in North
and Central Sulawesi 1600-1930 (Leiden: KITLV, 2005)
Lan, Nio Joe, 1961, Peradaban Tionghoa; Selayang Pandang, Penerbit Kepustakaan Populer
Gramedia, Jakarta, 2013 [1961]
Makkelo, Ilham Daeng, Kota Seribu Gereja; Dinamika Keagamaan dan Penggunaan Ruang
di Kota Manado (Yogyakarta: Ombak, 2010)
Marzali, Amri, “Pemetaan Sosial Politik Kelompok Etnik Cina di Indonesia”, di dalam
Masyarakat Indonesia Majalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia, Edisi XXXVII, No. 2 (Jakarta:
LIPI, 2011)
Nursam, M., Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi: Biografi Laksamana Muda John Lie
(Yogyakarta: Ombak, 2008)
Poerwanto, Hari, Orang Cina Khek dari Singkawang (Jakarta: Komunitas Bambu, 2005)
Purcell, Victor, The Chinese in Southeast Asia (2nd ed.) (Kuala Lumpur: Oxford University
Press, 1980[1951])
Sumampouw, Nono Stevano Agustinus, “Asimilasi Sempurna?: Sketsa Kehidupan Komunitas
Cina-Manado”, di dalam Kure Jurnal Sejarah dan Budaya, No. 7, Tahun VII (Manado:
BPNB Manado, 2012) hlm. 99-106
Suryadinata, Leo, 1986. Politik Tionghoa Peranakan di Jawa, 1917-1942 Penerbit Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta.
Toar, D., Orang Cina di Manado, Tesis Universitas Sam Ratulangi (Manado: Fakultas Sastra,
1978)
Ulaen, Alex John, La ‘Residentie Manado’ À La Fin Du XIXe Siècle: Une Introduction à
l’étude historique du pays Minahasa à Célèbes Nord; Karesidenan Manado Pada Akhir
14
Abad ke XIX: Pengantar Kajian Kesejarahan Tanah Minahasa, Sulawesi Utara (Manado:
MarIn CRC, 2010)
Yosadi, Sofyan Jimmy, “Nasionalisme Etnis Tionghoa”, Bagian 1 (Tribun Manado, Senin 12
November 2012) hlm. 10
____________________, “Nasionalisme Etnis Tionghoa”, Bagian 2 (Tribun Manado, Selasa
13 November 2012) hlm. 10
____________________, “Peran Etnis Tionghoa Dalam Mencapai Kemerdekaan Indonesia”,
Bagian 2 (Tribun Manado, Rabu 14 November 2012) hlm. 10
15