NU dan Keprihatinan Politiknya Dari Kaum

NU dan Keprihatinan Politiknya:
Dari Kaum Muda sampai Kiainya
Oleh: Mamang M. Haerudin*)
Menakar Gejala Keprihatian Politik NU
Ketika salah seorang intelektual muda NU—yang liberal—Ulil
Abshar-Abdalla memutuskan untuk menerjunkan diri ke ring politik,
banyak pihak—terutama para pengagumnya—dibuat geram atau
minimal

dibuat

menyesal.

Jelas,

keputusan ini

bukan

hanya


mengagetkan tetapi juga menganehkan banyak orang, termasuk
saya di dalamnya.
Intelektual muda NU yang sejak awal munculnya digadanggadang menjadi ‘pembaharu’ NU dan Indonesia yang konsisten ini,
pada akhirnya ternyata kepincut politik juga. Namun yang pasti,
alasan apa yang membuat ia begitu ‘pede’, wallahua’lam, saya
sendiri tak mau tahu. Barang kali, hal ini juga yang menjadi salah
satu penguat ‘kecurigaan’ banyak pihak selama ini.
Mungkin sejalan, mungkin tidak, sejak Ulil ‘turun’ ke ring
politik banyak orang yang semakin gerah dengan para pejuang
intelektual, alih-alih membaharukan iklim intelektualisme dan getol
mempropagandakan signifikansinya kepada dan di masyarakat, ia
tak lain hanya kedok belaka.
Fenomena Ulil ini hanya ilustrasi belaka, untuk memudahkan
sekaligus sebagai pertanda bahwa, baik di kalangan struktural
maupun kultural NU sendiri begitu kentara ketika NU bersentuhan
dengan politik. Siapapun, tanpa berpandangan bahwa ia kaum
muda, kiai atau bukan tetap berpotensi dapat ‘terjerumus’ ke
lembah politik. Dengan sangkaan apa pun terhadapnya, politik itu
positif atau negatif. Yang jelas banyak yang menyayangkan.
Terutama dengan kiai, sebagai salah satu identitas utama NU.

Maka, mudah saja memprediksi dan menganalisis NU hanya dengan
membuntuti gerak-gerik para kiainya. Di satu sisi, maka janganlah
aneh ketika melihat fenomena para politisi ‘rebutan berkah kiai’ dan

restunya untuk mendukung masing-masing partai. Seolah-olah, jika
suatu partai banyak didukung oleh para kiai, otomatis partai
tersebut menjadi ‘bersih’ dan banyak dipilih masyarakat.
Di sisinya yang lain, bahwa kiai—sebagai manusia biasa—juga
punya hak berpolitik. Tetapi nyatanya, banyak di antara sesama kiai,
kaum

muda,

dan

nahdliyin

pada

umumnya


yang

kemudian

menyesalkan saat ada kiai yang terjun atau sekedar mendukung
suatu partai tertentu atau calon pasangan tertentu, dianggap tabu
dan menyalahi etika ke-kiai-an. Katanya, banyak orang yang
memprotes, ‘seharusnya kiai mengurus pesantren saja, jangan ikutikutan politik!’
Mempertanyakan Kaum Muda NU
Nasib bangsa ada di tangan kaum muda, tak berlebihan juga
kiranya jika nasib NU ada di tangan kaum mudanya. Namun
nyatanya, saya sendiri melihat kaum muda NU berbondongbondong menjadi tim sukses pasangan tertentu, tanpa malu. Kaum
muda NU terpecah dan tersebar dalam ‘pertarungan’ dukungmendukung calon pasangan masing-masing. Adu mulut dan cekcok
menjadi barang yang mudah ditemukan.
Maka

ketika

saya


menyimak,

menyaksikan,

atau

membicarakan hal-hal tentang politik secara langsung maupun di
jejaring sosial, dan pada saat yang sama ada kaum muda NU yang
begitu dibuat gerah dan kesal atas perilaku koruptif mayoritas
politikus bangsa ini, saya tak begitu antusias menggubrisnya.
Karena yang ada, adalah sama saja. Karena itulah saya sendiri
memilih diam dan golput, daripada berkoar-koar negatif yang tak
karuan.
Di sini saya ingin bertanya; sedang berada di mana kaum
muda NU? Bagaimana sikap kaum muda NU dengan politik yang
semakin praktis ini? Mana jiwa pemberani dan netralitas kaum muda
NU?

Ah,


entah

saya

menemukan jawabannya.

sendiri

kesusahan

mendeteksi

apalagi

Saya sendiri merasa menjadi bagian dari salah satu kaum
muda NU. Hampir tiap hari bertemu dan bercengkrama dengan
banyak kaum muda NU yang lain. Khusus tentang politik, saya,
kaum muda NU, dan masyarakat pada umumnya tahu bahwa politik
yang katanya demokratis itu hari ini tidak lebih sebagai praktik

rebutan menjadi pemimpin; kepala desa/lurah, bupati/wali kota,
gubernur,

dan

presiden.

Lalu

berikutnya,

rame-rame

pasang

spanduk, membentuk tim sukses (meskipun banyak yang gagal),
menyewa jasa lembaga survey dan lembaga untuk pemenangan,
berkeliling/konvoi menggunakan sepeda motor atau mobil seperti
anak-anak yang berarak-arakan, dan membagi-bagikan aksesoris
pemenangan (stiker, kaos, pin, dll) dan uang sogokan kepada

masyarakat. Ini sudah bukan rahasia umum lagi. Dari tukang becak
sampai pengusaha semuanya tahu.
Lagi-lagi, kenapa masih dibiarkan begitu? Pertanyaan yang
sampai hari ini masih belum saya temukan jawabannya. Karena
yang ada malah semakin parah, kenapa? Kaum muda NU menjadi
pragmatis (memang tidak semua, tetapi ini untuk yang merasa dan
melakoni),

begitu

pun

(maaf)

kiainya,

para

kandidat


yang

berkepentingan saling belomba dan mengiming-imingi mereka uang
dan pembangunan untuk pesantren. Imbalannya, para kandidat pun
merasa bahwa mereka mendapat dukungan dari para kiai, spandukspanduk yang berisi para kandidat dengan para kiai pun dipajang di
sana sini, tanpa malu lagi.
Memprediksi Politik NU
Kang Said—Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA/Ketua Umum
PBNU—memang berkali-kali menghimbau agar Nahdliyin berhatihati dalam menghadapi rayuan politik. NU sendiri punya jargon
‘kembali ke khittah’, yakni kembali kepada jati diri NU sebagai
ormas Islam yang tidak berafiliasi kepada partai politik mana pun.
Tetapi nyatanya dan lagi-lagi, ada banyak Nahdliyin yang
mencampuradukkan kepentingan NU dan politik. Menjual NU untuk

kepentingan politik. Sesama Nahdliyin rebutan dan ‘musuhan’
politik.
Benar saja, hal senada diungkapkan Rais Syuriah PBNU yang
tak lain Dr. KH. Sahal Mahfudh, dalam kesempatan sambutan dan
pengarahannya, pada Rapat Pleno PBNU tanggal 6-8 September
2013 di Pondok Pesantren UNSIQ Al-Asy’ariyah Kalibeber, Wonosobo,

Jawa Tengah menghimbau,
“Hal ini perlu diingatkan, menjelang tahun 2014 yang
merupakan tahun politik bangsa kita, karena dikhawatirkan
tidak sedikit pengurus NU di berbagai tingkatan yang
memperlakukan NU seakan-akan sebagai sebuah partai politik
(‫ي‬
‫ب حسيياحس ي ب‬
‫)ححزز ب‬, yang bergerak pada tataran politik praktis alias
politik kekuasaan.”
Berikutnya, beliau juga mengultimatum,
“Oleh karena itu, sinyalemen adanya Rais Syuriyah dan Ketua
Tanfidziyah di beberapa daerah yang dicalegkan dan lain
sebagainya, wajib mendapatkan respons yang sungguhsungguh dari Rapat Pleno ini, sesuai dengan ketentuan
AD/ART tentang larangan rangkap jabatan.”
Ada pertanyaan besar? Kenapa itu bisa terjadi? Saya harus
cepat jawab dan tegaskan karena di dekat politik ada banyak uang.
Demikian banyak orang beranggapan, termasuk saya, jika Anda
miskin atau kaya dan ingin semakin kaya, masuklah ke dalam ring
politik. Di sana banyak ‘proyek’, dan ‘bagi-bagi’ uang.
Para pembaca mungkin menganggap pandangan saya terlalu

pragmatis, mengada-ada atau prematur. Tak mengapa, tetapi maaf
tetap pada pendirian saya. Karena itu adanya.
Kalau saja NU (dari PB sampai akar rumput) tak mau sadar
dari kekacauan politik ini, saya khawatir NU akan ‘mengecil’ dan
dianggap tak ubahnya partai politik. Organisasi masyarakat, yang
tugasnya mengorganisasikan masyarakat untuk kepentingan politik
yang dapat menghancurkan bangsa. Na’uzubillah.
Sebaliknya, kalau dari PB sampai akar rumput NU, terutama
kaum muda dan kiainya sadar akan kekacauan ini, saya pastikan NU
akan jaya dan menjadi ormas kebanggaan bangsa. Syaratnya,
hanya satu, yakni berani menginisiasi dan mengakhiri praktik politik

praktis, dengan menolak segala iming-iming uang dan rayuan
pembangunan (untuk pesantren). Tegas menolak apa pun risikonya.
Rincinya, Nahdliyin baik sturktural maupun kultural secara kompak
menolak untuk tidak bersedia menjadi bagian dari praktik politik
praktis; rebutan menjadi pemimpin; kepala desa/lurah, bupati/wali
kota,

gubernur,


dan

presiden,

rame-rame

pasang

spanduk,

membentuk tim sukses (meskipun banyak yang gagal), menyewa
jasa

lembaga

survey

dan

lembaga

untuk

pemenangan,

berkeliling/konvoi menggunakan sepeda motor atau mobil seperti
arak-arakan

anak-anak,

dan

membagi-bagikan

aksesoris

pemenangan (stiker, kaos, pin, dll) dan uang sogokan kepada
masyarakat. Demikian. Wallua’lam.
*) Ketua LP3M STID Al-Biruni Cirebon dan salah seorang kaum muda
NU dan pesantren