MAKALAH PENDKAR TRINIL sri setyowati

  MAKALAH

  

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN

BERKARAKTER DI NEGERI

MULTIKULTURAL

SEJAK USIA DINI

Dr. Sri Setyowati, S.Pd., M.Pd

  

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM STUDI S1

PENDIDIKAN GURU

PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

  MAKALAH

  

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN

BERKARAKTER DI NEGERI

MULTIKULTURAL

SEJAK USIA DINI

  Dipresentasikan pada Seminar Ilmiah Pendidikan dalam rangka Bulan Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan di Surabaya, 22 Mei 2013

  

Dr. Sri Setyowati, S.Pd., M.Pd

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM STUDI S1

PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI A. Latar Belakang Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19

  Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menjelaskan secara umum bahwa pada hakekatnya pendidikan dalam konteks pembangunan nasional mempunyai fungsi (1) pemersatu bangsa, (2) penyamaan kesempatan, dan (3) pengembangan potensi diri. Pendidikan diharapkan dapat memperkuat keutuhan bangsa, memberi kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan memungkinkan setiap warga negara untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal (Tim, 2005).

  Dengan demikian berarti standar nasional pendidikan memuat kriteria minimal tentang komponen yang memungkinkan setiap jenjang dan jalur pendidikan untuk mengembangkan pendidikan secara optimal sesuai dengan karakteristik dan kekhasan programnya. Pendidikan tinggi mengembangkan mutu layanan dalam otonomi perguruan tinggi, sedangkan jalur pendidikan nonformal yang berkarakteristik tak terstruktur maka dalam mengembangkan programnya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Adapun penyeleng-garaan pendidikan jalur informal, standarnya hanya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pengakuan kompetensi peserta didik saja (Tim, 2005).

  Salah satu misi pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi anak bangsa sejak usia dini. Misi ini memberikan pandangan bahwa pendidikan harus mampu membentuk manusia seutuhnya sebagai manusia yang berkarakteristik personal dan mampu memahami dinamika psikososial dan lingkungan kulturalnya. Maka proses pendidikannya harus mencakup (1) penumbuhkembangan keimanan dan ketaqwaan, (2) pengembangan wawasan kebangsan, kenegaraan, demokrasi, dan kepribadian, (3) penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, (4) pengembangan penghayatan, apresiasi, dan ekspresi seni, serta (5) pembentukan manusia yang sehat jasmani dan rohani (Tim, 2005).

  B. Perbedaan Budaya dalam Pendidikan Mengamati gaya Vigotzky dalam pendidikan anak usia dini yang terkenal dengan pembelajaran berpusat pada anak, saya ingin memandang dari dua sisi. Pada satu sisi ini mengagumkan terhadap sistimnya yang membebaskan anak membangun dan mengonstruksi pengetahuannya sendiri berdasarkan pengamatan setelah anak bergaul langsung dengan alam melalui panca inderanya (Paul Suparno menyebut pembelajaran seperti itu dengan flsafat konstruktivisme), tetapi itu masih ditambah lagi dengan pengawasan guru dan

  16.00 yang sering disebut fullday school) dengan ratio 2 : 5 (2 orang pengasuh yang terdiri dari 1 guru dan 1 orangtua : 5 orang siswa/anak (Setyowati, 2009).

  Di sisi lain ini mencemaskan, apakah mungkin model pembelajaran bebas kreatif mandiri bagi anak usia dini seperti itu dapat diterapkan dengan baik dan nyaman di seluruh pelosok tanah air di negeri kita, yang kondisinya sangat beragam ditinjau dari tingkat pendidikan, statifkasi sosial, kesadaran hokum, adat budaya, maupun kemampuan ekonominya. Saya cemas jangan-jangan hanya karena takut dianggap ketinggalan jaman (atau mode /trend) lalu para pendidik berhiruk-pikik mengerjakan perangkat pendidikan Barat untuk dikemas dalam bingkai pendidikan ketimuran meskipun terdengar kurang harmonis (Setyowati, 2009).

  Tak beda dengan metode belajar di kindergarten (taman kanak-kanak) yang dibawa oleh Karien Villien dari Denmark (ketika datang ke Unesa untuk memberikan contoh- contoh pendidikan taman kanak-kanak di Denmark, bagi dosen- dosen PGTK FIP Unesa, Th.2001), saya melihat anak-anak dengan ratio 2 : 5 belajar dengan bebasnya di suatu instansi dinas kebakaran, di pabrik tekstil, dan berbagai tempat kegiatan industri maupun pertanian. Anak-anak dapat belajar dengan bebas, sementara guru dan pengasuhnya hanya mencatat perkembangan anak-anak sambil mengarahkan dengan amat layak karena rationya yang layak pula. Karien heran dengan taman kanak-kanak di daerah Surabaya yang ber-ratio 2 : 50 plus karakter anak-anak yang tampak terlalu matang daripada karakter anak-anak di Denmark (Setyowati, 2001).

  Di Jakarta ada taman kanak-kanak dalam naungan yayasan milik keluarga para pejabat tinggi negara, dengan biaya pendidikan 25 juta per bulan untuk masing-masing anak. Kegiatan belajarnya sangat mirip dengan model belajar bawaan Karien Villien, bahwa gurunya mengajar secara informative saja, dilarang menginterfensi meski dengan bahasa sehalus apapun, sehingga anak-anak dapat belajar bebas kreatif dengan pengasuh yang pasif sebagai robot pencatat perilaku anak/siswa. Teori pendidikan untuk anak ala Vigotzky tentu amat implikatif pada TK ini. Tentu sangat lain dengan TK-TK pada masyarakat kelas menengah ke bawah di hampir seluruh kota dan desa di Indonesia yang ber-ratio 2: 50 dalam waktu praktis 2 jam belajar saja perhari dengan biaya 25 ribu perbulan (Setyowati, 2009).

  Belum lagi keharusan kita menerima kenyataan bahwa masih banyak anak-anak usia 1-8 tahun di negeri multikultural ini yang masih menomor sekiankan pendidikan formal karena harus membantu orangtua menggendong adik, menyuapi sambil menunggu barang jualan sang ibu di pasar bangunan atau menarik becak, tak jarang juga kita lihat anak- anak usia dini mengamen di jalanan atau mengemis di bawah lampu merah. Bila di desa kita juga sering menemui anak menggendong adiknya sambil menghalau burung-burung di sawah atau membantu orangtua di rumah mengerjakan pekerjaan industri kecil/rumahtangga, itu semua dilakukan sepulang sekolah di TK karena lama kegiatannya hanya 2 jam.

  Di sini dapat diidentifkasi adanya 3 hal: pertama, model pembelajaran ala Vigotzky maupun Karien Villien sangat efektif bagi anak-anak TK dengan kelas yang sejuk berlatarbelakangkan kemapanan dan kesiapan mental dan material orangtuanya, seperti TK eksklusif milik keluarga pejabat tinggi Negara di Jakarta yang pernah saya amati di tahun 2005 itu. Ke-dua, ketepatan penerapan teori belajar Barat di Jakarta (atau di kota besar lain di Indonesia yang dikelola oleh yayasan kelas atas) itu karena ada kemiripan karakteristik atas waktu belajar, kondisi ekonomi, dan ststus sosial orangtua, keseimbangan sumber daya dan potensi fasilitas layanan serta manajemen strategisnya (Setyowati, 2009).

  Hal ke-tiga, perbedaan budaya, kesadaran hukum, pendidikan orangtua, kondisi ekonomi dan sosial yang cukup jelas secara global antara kehidupan Barat dan Timur, antara prinsip hidup bebas dan ekonomis, dengan prinsip dalam penerapan model-model pembelajaran pada praktek- praktek pendidikan. Maksud pembahasan topik ini lebih menyoroti sisi penerapan model pembelajaran sesuai dengan karakteristiknya mencari mana yang cocok atau sesuai, bukan mendeskripsikan baik atau buruknya teori belajar dengan karakter masing-masing pembutuhnya. Memang tidaklah mudah melayani kebutuhan pendidikan bagi masyarakat dengan heterogenitas yang sangat tinggi. Untuk itu perlu manajemen pendidikan yang feksibel (Setyowati, 2009).

  C. Pendidikan yang Merdeka Berbicara tentang kebebasan dalam praktek mendidik anak, di negara-negara Barat anak diberi kebebasan kreatif karena semua risiko telah diperhitungkan dengan jitu dan akuntabel sesuai dengan sumber daya dan seluruh potensi yang dikelola dalam manajemen strategiknya. Seperti pandangan Ki Hadjar Dewantara (dalam Moeljosoeseno, 2002) bahwa dalam mendidik, anak harus diberi kemerdekaan tapi bukan kemerdekaan yang leluasa. Kemerdekaan dalam mendidik anak adalah kemerdekaan yang dibatasi oleh tuntutan, jadi bukan membiarkan anak berbuat sesuka hatinya tetapi mendidik anak menjadi kodrat alam yang khas, yaitu keluhuran dan kehalusan hidup manusia. Intinya adalah kemerdekaan mandiri.

  1. Ideologi Pendidikan Membaca Quo Vadis Pendidikan Multikultur, dapat ditemukan bahwa ideologi pendidikan yang memanusiakan manusia berimplikasi kepada semua aspek kehidupan manusia dan memperhatikan seluruh dimensi yang ada dalam diri seseorang (Maslikhah, 2007). Dengan ideologi pendidikan multikultural berwatak sirkularisme, maka dapat dinyatakan pemahaman sebagai berikut:

  a. Pendidikan multikultural memandang dan meyakini pentingnya positioning.

  Positioning berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya sesuai dengan nilai keadilan dan keseimbangan.

  Menempatkan sesuatu pada posisi yang sebenarnya adalah konsep yang dapat diterima oleh seluruh etnis, budaya, agama, keyakinan, suku, dan peradaban. Sebuah konsep keadilan dan keseimbangan yang diidealkan.

  b. Pemetaan dalam pendidikan multikultural sebagai keniscayaan.

  Memetakan model pendidikan multikultur menjadi sesuatu yang niscaya untuk mencapai hasil yang sesuai dengan yang dikonsepkan, berujung pada keragaman, heterogenitas, pluralitas, dan diversitas, adalah sebuah keharusan. Dengan memahami peta-peta heterogenitas, dan pluralitas, serta diversitas tersebut menjadikan subyek dalam praktek. Keluasan wacana menjadikan lebih dewasa, arif, dan menyadari akan diri, orang lain, alam, dan Tuhan.

  c. Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang membentuk jati diri seseorang.

  Pendidikan yang ada selama ini adalah pendidikan yang berupaya untuk menyeragamkan seluruh aspek kemanusiaannya. Ciri khas pendidikan multikultur yang selalu menghargai pluralitas, dan heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama) dapat mengangkat potensi seseorang dengan jati dirinya masing-masing.

  2. Orientasi Pendidikan Menurut Ainurrofq Dawam (dalam Maslikhah,

  2007) Pendidikan multikultural yang menjunjung tinggi perbedaan, sebagai pendidikan alternative haruslah memiliki orientasi yang dibangun secara jelas, yaitu orientasi kemanusiaan, kebersamaan, kesejahteraan, proporsional, mengakui pluralitas, anti hegemoni dan anti dominasi.

  a. Kemanusiaan Kemanusiaan bersifat universal, global di atas semua susku, ras, golongan, dan agama. Nilai-nilai humanistik ini mengembalikan keyakinan atas kebesaran Tuhan, perlakuan yang arif dan terhormat terhadap dirinya, membangun semangat untuk setia kepada sesama serta memperlakukan alam seperti menempatkan diri sendiri.

  Proyeksi kemanusiaan tersebut pada akhirnya siswa dapat memper-tanggungjawabkan segala tindakannya dalam kehidupan sosialnya. Jadi pendidikan yang tidak memperhatikan kemampuan masyarakatnya menjadikan pendidikan tidak humanistis.

  b. Kebersamaan Kebersamaan atau kooperativisme merupakan sebuah nilai yang sangat mulia dalam masyarakat plural- heterogen. Bukan kebersamaan yang kolutif maupun koruptif. Pendidikan kebersamaan dibangun sebagai quantum bagi kedamaian. Pendidikan damai menumbuhkan cinta kepada sesama dan alam lingkungannya sehingga menghindarkan konfik dan permusuhan, mencegah kekersan dan perang, lebih mencintai dan merawat lingkungan agar asri dan lestari.

  c. Kesejahteraan Kesejahteraan atau welvarisme merupakan sebuah kondisi social yang menjadi harapan semua orang. Kesejahteraan selama ini hanya menjadi slogan kosong bagi pendidikan yang bermuatan politik.

  Orientasi pendidikan multicultural pada kesejahteraan kebutuhan materi yang berlebih atau sama dengan orang lain, tetapi kesejahteraan di sini menjadikan masyarakat sadar dan tidak merasa dipaksa untuk mengatakan bahwa saat ini telah merasakan manisnya hidup cukup sejahtera.

  d. Proporsional Proporsional merupakan nilai yang dipandang tepat dari segala aspek. Tepat landasan, tepat proses, tepat pelaku, tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitas, tepat kuanitas, dan tepat tujuan.Pendidikan multikultur dalam rangka membangun segala fondasi pendidikan secara proporsional dengan mengutamakan penghargaan atas pluralitas, heterogenitas, dan humanitas.

  e. Pluralitas dan Heterogernitas Pluralitas dan heterogenitas merupakan sebagai kenyataan yang tidak mungkin ditunda secara fasis dengan sikap fanatisme terhadap sebuah kebenaran yang diyakini oleh sekelompok orang. Penghargaan pluralitas dan heterogenitas serta humanitas inilah yang menjadi kata kunci perjuangan pendidikan multikultur.

  f. Anti Hegemoni dan Dominasi Istilah ini lebih banyak digunakan untuk dengan orang lain, antara yang berkuasa dan yang terbatas. Istilah yang dekat dengan perjuangan kaum tertindas. Anti hegemoni dan dominasi dalam pendidikan multikultur membangun pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai pluralitas untuk kemanusiaan, kesejahteraan, dan keadilan secara proporsional dalam segala kebijakannya.

  Saya bangga dengan tulisan Mulyasa (2007) yang memberikan pemahaman tentang pengembangan kurikulum dengan acuan pasal 17 ayat 1 SNP, bahwa KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, karakteristik daerah, social budaya masyarakat setempat, dan peserta didik. Pemahaman ini berarti bahwa para pengembang kurikulum di satuan pendidikan masing-masing bisa menyesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah, karakteristik dan kemampuan peserta didik, serta sarana dan prasarana yang tersedia.

  Adapun prinsip pelaksanaan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) di antaranya adalah bahwa kurikulum dilaksanakan dalam suasana hubungan peserta didik dan pendidik yang saling menerima dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat. Prinsip itu berdasar pada Trilogi Kepemimpinan Pendidikan Ki Hajar

  wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarsa sung tuladha, artinya di belakang memberI daya dan

  kekuatan, di tengah membangun semangat dan prakarsa, di depan memberikan contoh dan teladan.

  Senada dengan pendapat Budiono bahwa pendidikan karakter dilakukan dengan pembiasaan sejak dini oleh keteladanan guru ataupun orangtua. (Wawancara, 29 April 2010 di UNS Surakarta)

  Guru harus bisa menjadi teladan, sebagaimana teori Pidarta (2004) bahwa pendidik harus menjiwai pekerjaan mendidik, di antaranya juga harus dapat mendidik dengan media pribadinya sebagai contoh dalam berperilaku. Dengan kata lain pendidik harus berkepribadian terpuji. Demikian juga Moeljosoeseno (2002) seorang ahli pendidikan Taman Siswa, mengarahkan pendidikan kepada kepribadian yang luhur (terpuji), tidak hanya mengajar (memberikan keahlian) saja tapi juga mendidik (lebih menuju kepada pembentukan perilaku personal yang tangguh, luhur, dan berwibawa).

  D. Simpulan Berdasarkan uraian mengenai latar belakang pemikiran tentang pendidikan berkarakter, implementasinya dalam kondisi budaya yang berbeda-beda, hingga bagaimana memformulasikan pendidikan berkarakter tanpa meninggalkan kemerdekaan dalam praktek pendidikannya mulai dari pendidikan anak usia dini, maka dalam memperoleh visi yang jelas tentang pendidikan berkarakter kebangsaan yang multikultur ini, diperlukan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Penyadaran nasionalisme yang dimulai dari diri pendidik atau para pelaku pendidikan terlebih dahulu,

  2. Mengidentifkasi karakter atau jati diri sendiri,

  3. Tidak mudah larut oleh fadisme (ikut-ikutan trend),

  4. Mengusahakan diri sebagai teladan yang baik dan kuat bagi anak sejak usia dini,

  5. Mengharagai keberagaman budaya bangsa sendiri maupun budaya bangsa lain,

  6. Mempergunakan hak otonomi profesional yang kreatif dan mandiri,

  7. Serta bertanggungjawab dalam menemukan jati diri bangsa sendiri.

  Daftar Rujukan

  Maslikhah, 2007. Quo Vadis Pendidikan Multikultur.

  Surabaya: STAIN Salatiga dengan JP Books Moeljosoeseno, 2002. Pendidikan Budi Pekerti. Surabaya: Yayasan Djojo Bojo

  Mulyasa, Enco, 2007. Kurikulum Tingkat Satuan

  Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya Pidarta, Made, 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia.

  Jakarta: Rineka Cipta Setyowati, Sri, 2001. Pendidikan Ing Indonesia Isih

  Tradisional, Majalah Jayabaya. Surabaya: Yayasan Djojo Bojo, Edisi 42 Juni (12)

  Setyowati, Sri, 2009. Pendidikan di Negeri Kita. Majalah

  

Balewarta FIP. Surabaya: FIP Unesa

  Setyowati, Sri, 2010. Laporan Hasil Curah Pendapat dalam Seminar Nasional Pendidikan Berbudaya dan Berkarakter Bangsa di Hotel Satelit Surabaya Tim Redaksi, 2005. Standar Nasional Pendidikan.

  Bandung: Fokusmedia