Malay literature in the 19th century th

“Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli ” oleh Henri Chambert-Loir

Kutipan dari buku : Henri Chambert-Loir, Iskandar Zulkarnain, Dewa Mendu, Muhammad Bakir dan Kawan-Kawan: Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2014. Dalam buku tersebut terdapat satu bibliografi tunggal untuk semua artikel sekaligus. Bibliografi tersebut dilampirkan pada

artikel ini.

SASTRA MELAYU ABAD KE-19 KELUARGA FADLI

Sastra Melayu abad ke-19 banyak menarik perhatian belakangan ini. Para pakar sastra tradisional telah menggali, menerbitkan dan menelaah berbagai catatan perjalanan dan teks-teks lain yang memberikan kesaksian tentang keingintahuan kritis dan minat terhadap realisme yang menandai suatu sikap “modern” baru. Kedua teks oleh Ahmad Rijaluddin (Skinner 1982) dan Mohamed Salleh Perang (1980) khususnya menarik. Skinner (1978) telah mencurahkan perhatian lebih mendalam pada dampak pertemuan dengan mentalitas Eropa atas sastra Melayu.

Sedang pakar “sastra klasik” sibuk menyoroti berbagai perubahan budaya yang terjadi sepanjang abad ke-19, waktu itu pula para pakar “sastra modern” mempertanyakan paham modernitas dan mendorong mundur tapal-batas ihwal modern. Upaya Pramoedya Ananta Toer pada 1960-an dan lagi selang dua dasawarsa kemudian (1982) cukup terkenal, juga artikel rintisan oleh Watson (1971), serta yang lebih mutakhir, sebuah panduan bibliografis mahatebal karya Salmon (1981), yang tak pelak lagi mengubah pandangan setiap pengamat tentang kesusastraan Indonesia modern.

Dengan adanya aneka kajian ini, bukan saja batas-batas dan perio- disasi sastra “tradisional” dan sastra “modern” harus direvisi, tetapi paham modernitas juga harus dipertanyakan, dan peran berbagai komunitas etnis harus dinilai kembali. Selain itu, sastra sebagai kegiatan budaya di dalam suatu konteks sosial makin banyak mendapat perhatian, yang bertujuan memahami transformasi mendalam yang dialami sastra Melayu sepanjang abad ke-19.

Artikel ini pertama kali terbit dengan judul “Malay literature in the 19th

century: the Fadli connection”, dalam J.J. Ras & S.O. Robson (eds.), Variation, Transformation and Meaning: Studies on Indonesian Literatures in Honour of

A. Teeuw , Leiden: KITLV Press, 1991, hlm. 87-114.

314 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Artikel ini mengangkat suatu kasus istimewa pada fase transisi sastra Melayu, dalam konteks sebuah kampung di Batavia pada ujung abad ke-19, dan menyangkut sastra tulis populer bercorak hiburan. Kajian ini didorong oleh penemuan adanya hubungan erat antara 26 naskah Melayu (32 jilid) yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta (didapatkan oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada 1889 dan 1899), 10 naskah yang tersimpan di Akademi Ilmu Pengetahuan Uni Soviet seksi Leningrad (diperoleh pada

1912 dari Dr. W. Frank 1 ), dan 7 naskah di perpustakaan Universitas Leiden (sebagian besar berasal dari peninggalan H.N. van der Tuuk). Ke-26 naskah yang tersimpan di Jakarta ditandatangani dengan beragam cara yang kadang misterius. Tanda tangan yang paling sering muncul terbaca sebagai Muhammad Bakir, sedangkan yang paling lengkap adalah Muhammad Bakir bin Syafian bin Usman al­Fadli atau bin Fadli.

Koleksi Leningrad terdiri dari sepuluh naskah, dua di antaranya bertandatangan Ahmad Beramka (B 2508 dan B 2506), dan satu lagi ditandatangani dengan cara yang lebih lengkap oleh Ahmad Beramka bin Guru Cit Safirin bin Usman bin Fadli (D 449). Berdasarkan perbandingan tulisan tangannya, pada hemat saya, sekurang-kurangnya dua naskah lagi (C 1966 dan D 450) adalah karya penyalin ini juga. Satu naskah lainnya bertandatangan Safirin bin Usman (D 466). Terakhir, satu naskah bertandatangan Ahmed Mujarrab bin Guru Cit bin Usman bin Fadli (B 2507). 2

1 Sedikit sekali diketahui tentang Dr. Frank: ia memegang jabatan resmi (diplomat atau konsul) di Timur Tengah pada tahun-tahun awal abad 20. Akademi Ilmu Pengetahuan Imperial Rusia membeli 18 naskah darinya pada 1904 (kini 11 naskah Arab dan Persia dalam koleksi Akademi Ilmu Pengetahuan Uni Soviet Cabang Leningrad berasal dari kelompok tersebut). Boleh diduga bahwa di kemudian hari ia bermukim di Batavia, dan memperoleh naskah-naskah Melayu yang kini tersimpan di perpustakaan yang sama di Leningrad.

2 Saya juga berkesan, berdasarkan tulisan tangannya, bahwa sisipan 80 halaman dalam naskah D 446 mungkin ditulis oleh Muhammad Bakir. Ini bahkan semakin masuk akal kalau diperhatikan bahwa sisipan tersebut berisi sebagian dari Hikayat Sultan Taburat, yaitu salah satu karya Muhammad Bakir yang paling tebal di Jakarta. Nama-nama yang disebutkan dalam sisipan ini sebenarnya sama dengan yang terdapat di akhir naskah ML 183D di Jakarta. Tanggal-tanggalnya juga cocok, karena ML 183D ditulis pada bulan Mei 1887, sedangkan sisipan tersebut ditulis pada bulan Januari 1888.

Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 315

Adapun naskah-naskah Leiden, tiga naskah bertahun 1858 dan 1878 ditandatangani oleh Safirin atau Safirin bin Usman, satu naskah bertahun 1888-89 ditandatangani oleh Guru Cit (menurut Van Ronkel 1921: 126- 8; tetapi, menilik tahunnya, kemungkinan ditulis oleh Muhammad Bakir), satu naskah lagi bertahun 1870 konon milik Ahmad Insab bin Safirin bin Usman bin Fadli, dan dua naskah terakhir bertahun 1886 dan 1888

ditandatangani oleh Muhammad Bakir. 3

Sebuah kajian tentang naskah-naskah Jakarta, beberapa tahun silam, menggiring saya kepada asumsi bahwa ayah Muhammad Bakir, Syafian bin Usman al-Fadli, juga memiliki nama panggilan atau nama pena Cit (Chambert-Loir 1984: 51). Hipotesis ini perlu diralat. Keluarga Fadli aktif dalam penulisan dan penyalinan naskah Melayu di kawasan Pecenongan, Batavia, sejak 1858 sampai 1909. Tiga orang menjadi aktor utama dalam usaha keluarga ini, yaitu Safirin, Muhammad Bakir dan Ahmad Beramka, namun tiga nama lain juga disebut, yaitu Syafian, Ahmad Insab dan Ahmed Mujarrab. Safirin inilah yang juga bernama Guru Cit, dan namanya tidak boleh dikelirukan dengan Syafian (Syafi’an). Di akhir sebuah naskah (ML 183E: 277), dalam kolofon berbentuk segitiga, tertulis tanggal penyalinan (15 Januari 1886) dan nama penyalinnya (Muhammad Bakir bin Syafi’an bin Usman bin Fadli), dan di ujung segitiga itu, ditambahkan nama Cit Safirin Usman. Bahwa Muhammad Bakir menuliskan dua nama ini, Syafi’an dan Safirin, yang ejaannya sangat berbeda, secara bersamaan di halaman yang sama, jelas mengisyaratkan bahwa yang dimaksud memang dua orang yang berbeda. Karena Syafian maupun Safirin adalah anak Usman bin Fadli, mereka tentu bersaudara. Nama Syafian kadang ditulis dengan huruf Latin dalam bentuk singkatan SPN (ML 183E: 236). Demikian pula, nama Safirin ditulis Sapiereen dan Sapieren (Or. 3221: 21v, 100r). Karena itu, selanjutnya saya akan mengeja nama mereka sebagai Sapian dan Sapirin.

Muhammad Bakir dua kali merujuk (dalam ML 183B dan ML 256) pada karya-karya ayahnya, jadi Sapian pastilah menulis naskah juga. Sayang, naskah-naskahnya sudah tidak ada lagi. Menurut pernyataan Muhammad Bakir dalam salah satu jilid Hikayat Sultan Taburat (ML 183D), Sapian meninggal pada 1885.

3 Naskah Or. 3245 (Hikayat Cekel Waneng Pati) bukan “disalin oleh Dr. v.d. Tuuk dari sebuah naskah karya Mohammad Baqir” (Juynboll 1899: 76-7): naskah ini ditandatangani, dan sebenarnya ditulis, oleh Muhammad Bakir sendiri pada 1888.

316 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Sedangkan perihal naskah-naskah Sapirin, hanya lima yang terlestarikan. Tahun penulisannya berkisar dari 1858 sampai 1885. Pada saat menyelesaikan karyanya, Hikayat Anak Pengajian (Leningrad D 446), pada Februari 1871, ia menulis: “Yang mengarang ini hikayat Sapirin bin Usman Betawi Kampung Pecenongan. Pada masa mengarang hikayat ini pada tatkala baru bangun daripada penyakit yang amat payah, maka penyakit itu pertama sakit hampir maut, kedua sakit sebab ditinggal mati oleh anak laki-laki umur 8 bulan, ketiga sebab ditinggal mati oleh ibunya anak itu, ketiga [sic] sebab ditinggal oleh seorang saudara laki-laki pada tahun itu juga.” Selanjutnya ia menambah dalam catatan akhir berbentuk syair: “Hamba mengarang ini buat penglipur hati, hamba dapat sakit payah sebab ditinggal mati, anakku seorang harap jadi pengganti, dapat cuma satu lagi anak laki-laki” (D 446: 260-261). Setahun sebelumnya, pada Mei 1870, seorang penulis, yang saya asumsikan adalah Sapirin, menyelesaikan naskah lain (Hikayat Maharaja Ganda Parwa Kesuma, Or. 3241), yang ia nyatakan sebagai “milik Ahmad Insab bin Sapirin bin Usman bin Fadli”. Boleh kita duga bahwa Sapirin mempersembahkan naskah ini kepada putranya yang masih bayi, Ahmad Insab, dan bahwa anak inilah yang kematiannya membuat Sapirin berduka pada Februari 1871.

Sapirin agaknya mempunyai dua anak lagi: pertama, Ahmed Mujarrab bin Guru Cit, penyalin Hikayat Suwiting Batara Guru (bertahun 1898), yang pada 1870 mungkin menjadi satu-satunya anak Sapirin yang masih hidup; dan kedua, Ahmad Beramka, yang menulis pada sekitar tahun 1906-1909. Kemiripan nama Ahmad Insab, Ahmed Mujarrab dan Ahmad Beramka kiranya mendukung hipotesis bahwa mereka betul-betul bersaudara.

Sedangkan mengenai putra Sapian, Muhammad Bakir, kita memiliki karya-karyanya dalam jumlah relatif banyak: 31 jilid tersimpan di Jakarta, dua naskah di Leiden, dan satu naskah lagi di Leningrad, seluruhnya hampir 7.000 halaman. Muhammad Bakir aktif menulis pada tahun 1884- 1898. Kita mempunyai lebih dari seratus contoh tanda tangannya, yang berkembang seiring perjalanan waktu. Tanda tangan ini berupa sejumlah huruf dari namanya beserta titik-titik huruf dari nama Cit (lihat reproduksi dalam Chambert-Loir 1984: 65-6). Ada kemungkinan ia menggabungkan nama Cit dengan tanda tangannya sendiri sebagai cara menghormati pamannya, yang kiranya pernah menjadi gurunya dalam seni penyalinan.

Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 317 Sketsa biografis di atas diringkas dalam diagram berikut:

Di penghujung sejumlah naskah, Sapirin dan Muhammad Bakir menambah- kan catatan akhir berbentuk syair, 4 di mana mereka menyarikan moral cerita dan kadang mengumumkan jilid berikutnya, meminta agar pembaca merawat naskah dengan baik, atau memberikan informasi tentang diri mereka. Dengan adanya syair-syair ini, jelaslah bahwa naskah-naskah tersebut tidak ditulis untuk koleksi pribadi, tidak pula dimaksudkan untuk dijual: naskah-naskah itu disalin untuk disewakan (dengan ongkos sewa

sepuluh sen per 24 jam). Keluarga Fadli mengelola sebuah taman bacaan. 5 Dalam tujuh naskah yang ditulis antara tahun 1887 dan 1896, Muhammad Bakir mencantumkan daftar teks miliknya yang disewakan. Jika ketujuh daftar ini kita bandingkan satu sama lain serta dengan judul- judul naskah yang tersimpan di Perpusnas, kita dapat mendaftar sekurang- kurangnya 60 judul naskah yang disewakan oleh Muhammad Bakir. Dan kalau kita tambahkan naskah-naskah yang tersimpan di Leiden dan Leningrad, kita mencapai sekitar 76 judul (lihat Lampiran).

Kita tahu bahwa naskah disewakan di banyak kawasan di Batavia (Iskandar 1981 menyebut 11 kampung di belahan utara kota), dan kita tahu bahwa naskah dapat berpindah-pindah dari satu kawasan ke kawasan lain. Kegiatan ini juga ada di kota-kota lain: untuk menyebut dua contoh saja, beberapa naskah yang kini tersimpan di Jakarta berasal dari taman bacaan di Palembang pada akhir abad ke-19 (Kratz 1977), dan pada 1938 pun W.

4 Ini tidak luar biasa: bandingkan Kratz (1977) dan Iskandar (1981). 5 Bahwa satu naskah karya Sapirin (Hikayat Anak Pengajian, disalin tahun 1871), yang diiklankan oleh Muhammad Bakir sekitar tahun 1890, bisa diperoleh oleh Dr. Frank di Batavia sekitar tahun 1910 bersama naskah-naskah Ahmad Beramka, membuktikan bahwa Ahmad Beramka mewarisi naskah ayahnya dan saudara sepupunya.

318 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Kern masih dapat membeli sejumlah naskah di Banjarmasin dari seorang Tionghoa tua, “Babah Badak”, yang menyalin sendiri naskah-naskah tersebut, tetapi kegiatannya “tidak lagi menguntungkan, karena rendahnya minat khalayak pembaca kepada dongeng-dongeng kuno” (Kern 1948: 544).

Namun demikian, perihal keluarga Fadli luar biasa, ditilik dari jumlah judul yang masih bisa kita rekam dan jumlah naskah yang masih tersimpan sampai kini. Dalam surveinya tentang koleksi naskah Melayu yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden, Iskandar (1981) telah menghimpun informasi tentang para pemilik satu dua naskah, yang mereka pinjamkan dengan imbalan sejumlah uang. Satu dua naskah tidak dapat disebut “perpustakaan”. Iskandar hanya menyebut dua contoh koleksi yang lebih besar: pertama, koleksi seseorang yang mewariskan 14 naskah kepada putranya; kedua, catatan Snouck Hurgronje “yang menjelaskan bahwa kebanyakan naskah di kampung itu [Pluit] dulunya milik mantan wijkmeester [kepala] kampung itu” (Iskandar 1981: 146-7). Karena itu, keluarga Fadli dengan 77 naskahnya betul-betul unik.

Dalam hal ini, Pecenongan jelas wilayah yang sangat aktif, karena bukan saja Sapirin, Muhammad Bakir dan Ahmad Beramka membuka taman bacaan di sana, tetapi sekurang-kurangnya tiga orang lain yang memiliki dan menyewakan naskah juga tinggal di kawasan ini, yaitu Utung bin Akir (Or. 3308 Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Raja Handak, dan Or. 3319 Hikayat Marakarma), Kiman (Or. 3195a Hikayat Pandawa Lima ), dan Ence Musa (Or. 3243 Hikayat Dewa Asmara Jaya). Bahkan satu penulis lagi mungkin anggota keluarga Fadli, karena ia bermukim di jalan yang sama dengan Muhammad Bakir, dan tanda tangannya (yang nyaris tak terbaca) kelihatan mengandung nama Cit (Perpusnas, C.S. 137 Hikayat Dewa Mendu ).

Koleksi Fadli menyajikan sejumlah besar karya yang diketahui tahun dan tempat penulisannya, serta contoh sastra yang diproduksi dan dikonsumsi antara tahun 1858 dan 1909. Sastra ini adalah sastra populer, yakni sastra hiburan yang ditulis untuk dinikmati oleh rakyat, tidak termasuk satu pun karya terpelajar atau ilmiah. Tambahan lagi, dalam hal taman bacaan yang dikelola secara turun-temurun oleh dua generasi ini, terjalin kontak langsung antara pengarang dan pembaca, dan kita boleh menduga bahwa terjadi semacam interaksi antara mereka.

Kita mengetahui serpihan biografi Muhammad Bakir dari catatan akhir yang biasa ditambahkannya pada karya-karyanya. Naskah karyanya yang pertama kita miliki, ialah Hikayat Muhammadan al-Saman, bertahun

1884. Naskah ini ditulis dengan sangat hati-hati, barangkali karena

Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 319

menghormati topiknya, mungkin juga karena Muhammad Bakir, yang masih belia, masih belajar keterampilan menyalin di bawah bimbingan ayah atau pamannya. Ketika menyalin teks religius yang lain, Hikayat Syekh Abdulkadir Jailani , delapan tahun kemudian, ia menyatakan bahwa ia menyalin naskah hasil tulisan ayahnya.

Muhammad Bakir menikah sekitar tahun 1890. Pada 1893, ia menyatakan punya seorang istri dan dua anak. Selama tahun-tahun itu, ia tidak memiliki mata pencarian lain di luar taman bacaannya, yang berarti, kalau kita mempercayai pernyataannya, ia mendapatkan nafkah yang cukup untuk menghidupi empat orang dengan hanya menyewakan naskah- naskahnya. Tapi hidupnya susah. Pada 1894, ia menjelaskan kesulitan- kesulitannya:

Saya punya salam takzim pada yang menyewa hikayat ini, dikasih tahu wang sewanya sehari semalam sepuluh sen, lebih-lebih maklum sebab saya sangat berusahakan menulis dan bergadang minyak lampu dan kertas buat anak dan istri saya, boleh dibilang yang saya tiada bekerja dari kecil, menumpang makan dan pakai dari saya punya mama’, maka itu saya minta kasihannya yang sewa ini buat sehari semalam sepuluh sen adanya. (ML 259: 193)

Namun tiga tahun kemudian, pada 1897, ia menyatakan bahwa ia menjadi “tukang ajar anak mengaji”. Ia beralamat di Pecenongan Langgar Tinggi, dan rupanya ia tinggal di sebuah langgar, tempat ia mengajar anak-anak sekeliling membaca al-Qur’an dan dasar-dasar agama Islam.

Ia telah menjual sebagian perpustakaannya kepada Bataviaasch Genootschap tahun 1889. Kelompok naskah keduanya dijual tahun 1899. Kita tidak memiliki informasi lagi tentang dia setelah tahun itu.

Unsur-unsur riwayat hidup di atas amat sedikit, namun isi karya-karya Muhammad Bakir menyajikan sekadar gambaran tentang pendidikannya. Jumlah besar kutipan Arab dalam beberapa teks Islami menimbulkan dugaan bahwa ia cukup menguasai bahasa Arab, sesuatu yang cocok dengan pekerjaannya sebagai guru mengaji. Di sisi lain, genre sastra yang rupanya paling diakrabinya adalah cerita wayang.

Dalam naskah-naskah yang disalinnya, dan khususnya dalam naskah-naskah karangannya sendiri, Muhammad Bakir menyelipkan banyak rincian di dalam narasi, yang menjadi cap kepribadiannya: angka tahun (yakni tahun penyalinan), catatan margin, acuan pada aneka peristiwa semasa, sketsa berbagai benda atau tokoh, sapaan kepada khalayak pembaca, penjelasan tentang kata arkais dan lain sebagainya. Semua rincian tersebut, semua kekhasan itu, memberikan suatu gaya, suatu kepribadian pada karya-karyanya. Ia jelas sengaja mengutamakan

320 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

aspek tersebut, karena watak dan seleranya sebagai penulis, tapi mungkin juga dengan maksud memikat lingkaran pembacanya. Para langganannya mengetahui bahwa ketika menyewa cerita karya Muhammad Bakir, mereka akan mendapatkan produk jenis tertentu, sebagaimana halnya para pembaca karya novelis populer mana pun dewasa ini.

Salah satu ciri khas cerita-cerita Muhammad Bakir adalah humor: lelucon sederhana dan kadang-kadang kasar yang bertumpu pada aneka jurus. Efek kocak bisa muncul dari kontras. Ini terjadi pada anakronisme: Lakon Jaka Sukara , contohnya, menyinggung letusan Gunung Krakatau, pengemis Betawi, Lapangan Gambir, Kampung Cibubur, dan Dursasana yang mengharumkan tubuhnya dengan minyak Cologne. Dalam cerita wayang yang lain (Hikayat Maharaja Garbak Jagat), seorang panglima perang menyerukan kepada para prajuritnya: “Siapa undur potong gaji dan dapat lepas, siapa yang berani mati dapat bintang” (ML 251: 92). Dalam cerita yang sama, seseorang mengancam akan mengkhitan Durna. Ketika menelaah Sair Buah-Buahan, Koster (1986) telah menunjukkan bagaimana pengarang dengan piawai merongrong berbagai genre dan pola sastra tradisional melalui parodi dan ironi.

Cerita-cerita tersebut ditulis untuk dibacakan keras-keras, dan humornya kadang-kadang bersifat lisan. Ini terjadi pada kasus onomatope (tiruan bunyi), 6 juga ketika narator menirukan cara berbicara cadel (pelo) anak kecil atau aksen orang Tionghoa. 7 Humor jenis lain, yang lebih relevan dengan konteks pembicaraan kita, adalah cara Muhammad Bakir menciptakan hubungan antara pangarang, narator, khalayak pembaca/ pendengar dan tokoh cerita. Pertama, pengarang, yakni individu yang menandatangani naskah dengan namanya dan dikenal oleh tetangga- tetangganya. Dalam sejumlah naskah, Muhammad Bakir mengguratkan namanya di halaman depan teks, mengiklankan hikayat dan syair yang ia miliki untuk disewakan, membubuhkan tanda tangan lagi di kolofon, dan berbicara mewakili dirinya sendiri dalam catatan akhir berbentuk syair. Ia juga menyisipkan tanda tangan dalam teks itu sendiri, dan betapa pun samarnya paraf tersebut, itulah tanda kehadiran sang penulis atau

setidaknya tanda kepemilikan yang tidak bisa diabaikan pembaca.

6 Dalam salah satu jilid Hikayat Sultan Taburat, sebuah adegan perang menjadi kesempatan bagi hadirnya onomatope yang ditulis dengan huruf tebal: senjata berbunyi “cak cuk cuk”, tulang patah berbunyi “kelatak kelatik kelatuk”, bunyi anak panah “serawat seriwit”, bunyi adu senjata “gememprang gememprung”, dan pukulan yang mendarat di perut raja “kedabak kedabuk” (ML 183D: 219).

7 Di jilid lain dalam cerita yang sama, sesosok hantu Tionghoa mengeluh kepada

temannya bahwa calon pengantin perempuannya digaet oleh “tukang kebiri ayam” yang menyuap ibu gadis tersebut, dan tambahnya, “Peluntungan tiada bel-laku, bial-lah aku kawin sama olang lain saja” (ML 183C: 119).

Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 321

Kedua, narator: kadang-kadang Muhammad Bakir secara pribadi menyela narasi. Ketika misalnya seorang putri menceritakan ia anak yatim, orang-orang yang mendengarnya menangis terisak-isak, dan cerita pun dilanjutkan: “Maka jadi bertangis-tangisan, hingga pengarangnya jua turut menangis sebab dari kecil ditinggal bapak, seboleh-bolehnya dilipurkan hati ibunya jangan sampai kerusakan hatinya” (ML 249: 154). Muhammad Bakir kadang memberikan saran kepada pembaca atau mengomentari suatu adegan.

Ketiga, khalayak pembaca dan pendengar: narator bisa menyapa mereka secara langsung, seperti misalnya ketika selesai menukil ayat al-Qur’an, ia menambahkan, “Hai sekalian saudaraku yang ada duduk, tolonglah berkata amin.” (ML 261: 89). Ada kalanya khalayak pembaca dan pendengar seolah ambil bagian dalam cerita. Contohnya, sebuah peristiwa luar biasa dikisahkan terjadi “daripada sebab keterima permintaan dewa dan batara dan keterima permintaan orang ramai-ramai dan keterima permintaan yang membaca atau yang mendengar akan kabarnya Maharaja Garbak Jagat itu” (ML 251: 199). Pada permulaan cerita yang sama, Batara Narada mengutus Grubuk ke bumi dan titip salam untuk Pandawa dan khalayak pembaca dan pendengar: “Dan salam takzimku pada bapakmu si Lurah Semar dan salam takzimku pada yang membaca dan mendengar” (ML 251: 30).

Dan keempat, tokoh cerita: dalam beberapa cerita, tokoh-tokohnya sekonyong-konyong menyapa narator secara langsung, seolah mereka makhluk nyata yang hidup pada saat itu, bergantung pada kehendak narator, sekaligus bebas memprotes penciptaannya. Suatu kali misalnya, tatkala seorang putri harus berpisah dengan kedua orang tuanya, seorang dayang berseru, “Aduh Tuan, sampai hatinya orang yang mengarang ini akan membuat cerita yang selaku ini […]. Hai pengarang yang bebal, tiada mengetahui sakit hati orang dibuatnya cerita tuan patik dipisahkan dengan ibu bapaknya” (ML 259: 94). Dalam kisah lain (kali ini karya Sapirin), Sang Rajuna (Arjuna) putus asa dan meratap pilu, “demikian bunyi ratapnya, wah pengarang, sampai hatinya akan mengarang hal penyakitku ini, dan siapakah mengarangnya itu sampai hatinya mengarangkan aku dipisahkan dengan kekasihku? Hai pengarang, mengapakah lancapmu tanganmu akan menulis ceritera yang demikian sampai hatinya memberi pilu dalam hatiku. Ya pengarang, sudahlah jangan sampai hatimu mengarang seperti ini, tiada kutanggung menahankan penyakit ini, marilah tukarkan kisah yang lain, janganlah dibuat yang demikian, mudah-mudahan sembuhlah penyakitku. Hai pengarang, siapakah engkau dan di manakah tempatmu sampai hatimu berbuat ceritera yang demikian alangkah sakitnya, daripada

322 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

engkau tiada merasakan jadi mengarang barang sekehendakmu” (Or. 3241: 116). Terakhir, beberapa kali terjadi bahwa tokoh-tokoh cerita terasa begitu ganjil dan tidak sesuai dengan latar belakang cerita, sehingga ada kemungkinan Muhammad Bakir tengah menggambarkan potret kocak dari tetangganya.

Semua ciri tersebut mengungkapkan kehadiran seorang pengarang yang sangat sadar diri. Sapirin, dan Muhammad Bakir penerusnya, biasa merombak rumus “atas kehendak Tuhan” menjadi “maka dengan takdir Allah melakukan atas yang mengarang” (dalam Hikayat Angkawijaya karya Sapirin, Or. 3221: 6r). Narator menempati posisi istimewa antara Sang Khalik dan makhluk-Nya. Dalam Sair Buah-Buahan, Muhammad Bakir menjelaskan kematian sejumlah tokoh sebagai kehendak Tuhan (“iradat/kodrat Tuhan”), dan sekaligus menegaskan kekuasaan narator atas jalannya cerita (“dengan takdir orang yang mengarang”, ML 254:88, bait 3).

Dalam karya Sapirin dan Muhammad Bakir, ketaksaan situasi penulis tak henti-hentinya dimainkan. Ketika menuturkan kembali cerita klasik, ataupun menciptakan cerita baru dengan pola yang tak kurang klasiknya, mereka berpura-pura menghormati aturan main, mematuhi genealogi dan skema yang lazim, menggubah episode dan dialog yang sudah bisa ditebak, lalu sekonyong-konyong membuat kejutan dengan menyatakan

kemahakuasaan dan kebebasan mereka selaku penulis. 8 Sementara itu, kita dapat menangkap adanya semacam keakraban antara pengarang dan khalayak pembaca/pendengar. Muhammad Bakir mengelola taman bacaan

di rumahnya sendiri, 9 dan boleh kita menduga bahwa langganannya juga tinggal di Pecenongan, dan bahwa ia mengenal mereka semua. Sastra macam apa yang disewa para pelanggan ini? Dapat disebut sastra populer hiburan yang sangat beraneka-ragam. Untuk memberi gambaran tentang keragaman ini, kita dapat menyusun ke-27 karya Muhammad Bakir dalam beberapa kategori: pertama, lima cerita terkenal yang dapat dipandang menunjukkan pengaruh India atau Indo-Jawa: Hikayat Seri Rama , Hikayat Panji Semirang, Hikayat Cekel Waneng Pati, Syair Ken Tambuhan dan Hikayat Indera Bangsawan. Kelompok kedua terdiri dari tujuh cerita pewayangan yang barangkali merupakan karangan Muhammad Bakir sendiri. Kelompok ketiga meliputi sembilan hikayat dan satu syair, yang sebagian besar tidak dikenal di tempat lain dan boleh

8 Untuk pembahasan masalah kepengarangan dan otoritas dalam satu karya Muhammad Bakir, lihat Koster (1986: 88-93).

9 Dalam sebuah naskah, ia mempersilakan para pembaca agar datang ke rumahnya untuk menyewa hikayat dan syair (ML 255: 162).

Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 323

jadi gubahan Muhammad Bakir sendiri, yaitu epik-epik penuh petualangan ajaib yang meminjam unsur-unsur dari epik India maupun Islam. Kelompok keempat terdisi atas tiga teks khas Islam (Hikayat Syekh Muhammadan al- Saman , Hikayat Syekh Abdulkadir Jailani dan Hikayat Bulan Berbelah). Dan terakhir, dua “syair simbolis” (Sair Sang Kupu-Kupu dan Sair Buah- Buahan ) membentuk kelompok tersendiri. Menurut maklumat dalam Sair Buah-Buahan , Muhammad Bakir masih memiliki dua belas syair serupa untuk disewakan.

Ke-27 karya tersebut, 22 hikayat dan 5 syair, adalah khas sastra tradisional sejauh menyangkut judul dan genrenya. Di akhir abad ke-19, agak mengejutkan juga bahwa sastra tradisional ternyata masih hidup subur di kawasan populer Batavia. Namun sejumlah unsur modern muncul dari tumpukan materi tradisional ini.

Berbagai anakronisme dan acuan pada peristiwa kontemporer yang diselipkan Muhammad Bakir ke dalam narasinya cenderung mele- takkan cerita-cerita kuno dalam suatu latar modern, atau setidaknya mempertanyakan latar waktunya. Ketika misalnya surat seorang raja ditulis tgl. 1 Mei 1897 (ML 244:39), atau ketika seorang putri dinikahkan pada

9 September 1887 (ML 249:264), penonjolan aspek kontemporer yang mengada-ada ini terasa seolah-olah mengaktualkan tokoh-tokoh cerita dan sekaligus sengaja mempertanyakan fiksionalitas mereka.

Ada kecenderungan modern yang lebih penting dalam psikologi para tokoh dan realisme sejumlah adegan. Contohnya terdapat dalam sebuah cerita yang jelas merupakan karya orisinal dan terdiri atas dua jilid: Hikayat Nakhoda Asyik Cinta Berlekat (ML 261) dan Hikayat Merpati Mas dan Merpati Perak (ML 249).

Dalam jilid pertama, sang tokoh berkelana dari satu negeri ke negeri lain sebagai pedagang. Meski seorang anak raja, ia tidak bergaul dengan sesama anak raja, melainkan dengan kalangan saudagar. Ia menyelamatkan seorang putri beserta kedua orang tuanya dari serangan pelamar-pelamarnya. (Dalam sebuah episode, Raja, Permaisuri dan putri itu menyamar agar lolos dari musuh: mereka menenteng botol kosong dan berpura-pura menjadi pelaut mabuk…) Sang tokoh, tentu saja, akhirnya mengawini sang putri, tapi tak lama kemudian meninggalkan istrinya untuk berkelana lagi, dan ternyata membeli seorang gadis desa untuk dijadikan istri kedua. Harta kekayaannya dikuras demi gadis ini, sampai ia jatuh miskin. Tatkala beberapa lama kemudian mencari sang tokoh, istri muda ini bermalam di sebuah desa yang dihuni oleh santri-santri dan, karena tidak percaya kepada santri yang memberinya tempat menginap, santri itu dibuatnya mabuk dan dipermainkan. Kita langsung dapat melihat

324 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

bagaimana adegan-adegan sungguhan dari kehidupan nyata mendapat tempat dalam bangunan sebuah narasi tradisional.

Kedua tokoh utama dalam jilid kedua, Merpati Mas dan Merpati Perak, adalah cucu tokoh sebelumnya. Banyak di antara petualangan mereka mengingatkan berbagai episode yang dikenal dari hikayat lain, dan mereka sendiri adalah tokoh-tokoh yang sepenuhnya konvensional. Namun dengan latar belakang yang tidak asing ini, muncul beberapa adegan modern yang mengejutkan.

Kerajaan telah musnah tersapu gelombang pasang. Maka, bersama orang tua mereka, kedua tokoh kita sepakat membangun kota baru. “Mencipta negeri kesaktian” adalah jurus favorit sekian banyak tokoh hikayat. Berbekal senjata sakti, raja-raja digdaya bisa dengan seketika memunculkan begitu saja istana benteng lengkap dengan tanggul dan parit pertahanan di sekelilingnya. Namun demikian, kedua tokoh kita tidak mengandalkan kesaktian, dan tidak pula membangun kota yang stereotip. Mula-mula mereka menggali tanah, mencari sisa-sisa istana lama, dan berhasil mengeluarkan piring emas dan perak, intan permata, uang, berlian dan lain-lain, yang mereka jual kepada para petani sekitar, kepada seorang saudagar kaya (Hamdani), bahkan kepada seorang raja. Dengan cara itu mereka mengumpulkan harta melimpah. Kemudian mereka membeli dari Hamdani sebuah kapal uap yang mereka muati dengan bahan bangunan, lalu mereka membangunkan kota baru sesuai dengan suatu rancangan: sebuah istana, sebuah gerbang besar menghadap laut, beberapa kampung, sebuah pasar, jalan-jalan berpagar pepohonan, kali-kali dengan jembatan, beberapa masjid dan sekolah. Pertanian dibina (padi, sayuran, buah-buahan), modal diberikan kepada para tukang kayu agar mereka dapat membuka usaha, sejumlah pria sepuh diangkat menjadi penghulu kampung, dan pegawai negeri dipilih dari kalangan warga asing yang paling terpelajar. Prosedur hukum ditata, angkatan bersenjata dibangun, dan empat pria paling berani, paling bijak dan paling jujur dijadikan menteri. Di sini kita dapati sesuatu

yang asing dalam sastra tradisional, yakni garis-besar sebuah utopia. 10 Hikayat ini, seperti banyak hikayat lain, memuat banyak adegan pertempuran. Ini tidak terlalu orisinal. Yang sepenuhnya baru adalah penggambaran adegan istirahat sehabis pertempuran: tatkala malam telah datang, dalam suasana gencatan senjata, setiap orang menyibukkan diri sesukanya. Sejumlah lelaki merawat kuda mereka, lainnya bernyanyi atau merokok, sebagian lagi membahas taktik bertempur esok hari, ada pula yang menceritakan aksi gagah-berani mereka hari itu. Korban luka mengerang

10 Bdk. Lombard-Salmon (1972).

Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 325

kesakitan, didampingi teman atau sendirian. Para dokter merawat korban luka dan cacat, 11 dan raja menaikkan pangkat mereka yang berprestasi dalam pertempuran (ML 249: 222-224). Pendeknya, adegan dilukiskan dengan realisme yang kental dan dari sudut pandang para prajurit, sesuatu yang pasti tidak lumrah dalam sastra tradisional.

Beberapa contoh tersebut menandai kecenderungan modern dalam karya-karya Muhammad Bakir. Tetapi perlu diingat bahwa kecenderungan ini begitu mencolok karena bertentangan dengan sifat umum tradisional karya-karya itu.

Ciri lain yang melibatkan kontras adalah kehadiran beberapa unsur Tionghoa. Saya sudah menyebut kutipan di mana aksen Tionghoa dijadikan bahan olok-olok. Dalam dua cerita lain (keduanya kebetulan cerita wayang), orang Tionghoa totok juga ditertawakan. Dalam kisah Jaka Sukara, misalnya, ketika para panakawan sedang beradu mulut, “sekalian penonton pun jadi datanglah melihat keempat bersaudara itu berbicara karena sekalian anaknya Lurah Semar itu berbicara seperti Cina singkek dengan sambil berburu-buru maka jadi ramai orang tertawa padanya itu

demikianlah adanya” (ML 246: 8). 12

Sebuah teks yang unsur-unsur Tionghoanya melampaui lelucon nakal jenis ini adalah Sair Buah-Buahan, sebuah teks gabungan yang terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama sesuai dengan judul syair ini dan merupakan satu-satunya teks Muhammad Bakir yang menggunakan kata-kata khas

Tionghoa 13 . Syair ini adalah sebuah “syair simbolis” yang menuturkan kisah cinta tokoh-tokoh yang menyandang nama buah-buahan. Ketika berlangsung pernikahan tokoh utama, para tamu anak muda menyanyikan

lagu Tionghoa dengan irama Islami. 14 Bagian kedua hanya dikait-kaitkan dengan bagian pertama. Bagian ini mengisahkan seorang warga Tionghoa, Baba Setiawana, yang tidak kuat menanggung duka atas kematian istrinya, dan akhirnya mati merana.

11 Dokter ambil bagian dalam adegan lain: seorang prajurit digotong dari medan laga, disangka mati. “Maka sigeralah datang tabib dukun memeriksa badan dan luka, lalu diperiksa dipegang tangannya, akan nadinya masih ada dan badannya masih hangat. Maka kata tabib, ‘Janganlah ditanamkan orang ini, masih boleh hidup’.” (ML 249: 235).

12 Lihat juga ungkapan “bingungnya seperti Cina kebakaran jenggot” (ML 251: 97). 13 Lihat Overbeck (1934: 139). 14 “Demikian kata pengarang durjana, ramai di luar anak muda yang bijaksana,

akan memalu pukul rebana, mengadu dikir lagu Cina” (ML 254: 51).

326 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Mengenai kategorisasi bagian kedua ini, Overbeck berkomentar, “Syair kedua mungkin berasal dari legenda Tionghoa setempat, bahkan, dinilai dari gayanya, mungkin sudah ada dalam bentuk syair Tionghoa setempat” (1934: 143). Walaupun Sair Buah-Buahan secara keseluruhan memiliki “koherensi yang mencolok” (Koster 1986: 85-6), pandangan Overbeck terasa didukung oleh cara naskah ini sendiri ditulis: baris terakhir dari bagian pertama (ML 254:75) ditulis di tengah-tengah halaman dan diikuti oleh tanda tangan Muhammad Bakir, yang dengan jelas menandakan terputusnya penulisan. Namun alih-alih “legenda Tionghoa setempat”, bagian kedua itu mungkin pernah ditulis oleh seorang peranakan Tionghoa, lalu disalin oleh Muhammad Bakir di tengah syairnya, sebagaimana dilakukan Ahmad Beramka beberapa tahun kemudian. Di samping itu, kita juga harus mempertimbangkan fakta bahwa Muhammad Bakir terang- terangan menampilkan diri sebagai pengarang Sair Buah-Buahan secara keseluruhan. Bagaimanapun juga, memang luar-biasa bahwa di antara

27 teks tradisional, terdapat satu syair dengan tokoh utama seorang baba Tionghoa. Lelucon yang terarah pada aksen orang Tionghoa ketika berbicara dalam bahasa Melayu adalah jenis humor yang dikenal semua bangsa, dan merupakan sarana bagi sebuah komunitas untuk menegaskan identitasnya dengan mengejek pihak luar. Namun demikian, episode Tionghoa Sair Buah-Buahan mungkin menandakan daya-serap sastra Melayu, dalam fase peralihan ini, terhadap sastra peranakan.

Muhammad Bakir menyalin naskah untuk pembaca dan pendengar yang dikenalnya secara pribadi. Ia menyapa mereka secara langsung dalam catatan akhir yang ditambahkan pada beberapa karya. Sapaan yang digunakannya meyajikan informasi tentang identitas pelanggannya: ia memanggil mereka baba dan nona (peranakan Tionghoa laki-laki dan perempuan), tuan dan nyonya (kemungkinan Indo-Eropa), sahabat, kawan , atau pembaca. Di penghujung Hikayat Seri Rama (Or. 252: 402) misalnya, kita dapati bait berikut: “Pada pembaca juga siapa-siapa, Baba nyonya dan kawan-kawan, Apalagi pula pada tuan-tuan, Apa pula orang kaya hartawan”. Jadi jelaslah bahwa, sebagaimana dinyatakan Iskandar (1981:149-50) tentang naskah-naskah lain yang disalin di Batavia pada periode yang sama, teks-teks tersebut ditulis untuk kalangan orang pribumi serta juga peranakan Tionghoa dan kaum Indo.

Mempertimbangkan sapaan-sapaan tersebut dalam hubungannya dengan genre masing-masing karya, kita bisa berharap menggolongkan

Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 327

cerita-cerita Muhammad Bakir menurut publiknya. Tapi ini terbukti keliru: orang Tionghoa disebut dalam karya yang keindia-indiaan, cerita wayang, epik pseudo-Persia, dan syair simbolis. Artinya, hanya satu kategori yang tidak menyebut mereka, yaitu karya-karya khas Islam seperti Hikayat Muhammadan al-Saman . Namun sesungguhnya tidak ada seorang pun yang disebut dalam teks-teks Islami itu, karena Muhammad Bakir tidak menambahkan catatan akhir apa pun kepadanya. Karena itu, yang harus digarisbawahi adalah bahwa orang Tionghoa tidak dipisahkan dari kelompok-kelompok lain: tidak ada kategori sastra yang dikhususkan bagi

mereka, dan tidak ada pula kategori yang mengesampingkan mereka. 15 Mari kita beralih kepada Ahmad Beramka. Di antara naskah-naskah Leningrad, ada lima karya yang kira-kiranya dapat dipastikan sebagai buah penanya. Selain tulisan tangannya bersamaan, naskah-naskah ini menunjukkan sejumlah kemiripan formal dalam hal kertas, penjilidan dan tampilan. Selain kumpulan syair yang akan dibahas di bawah (B 2508), empat karya selebihnya adalah yang berikut. Pertama, sebuah bunga- rampai bersisi tidak kurang dari 153 dongeng, ringkasan kisah dan syair pendek (C 1966). Sebagaimana kumpulan syair, judul aneka teks ini dihiasi dengan gambar kecil. Karya kedua, bertahun 1909, berisi bagian pertama Hikayat Marakarma (B 2506). Karya ketiga berisi bagian kedua dari hikayat tersebut beserta sebuah versi Syair Ken Tambuhan (D 450). Terakhir, karya keempat, yang ditulis antara September 1905 dan Januari 1906, berisi syair orisinal yang mungkin dikarang oleh Ahmad Beramka sendiri, berjudul Sair Perang Ruslan dan Jepang (D 449).

Judul-judul tersebut sudah cukup menunjukkan percampuran genre. Hikayat Marakarma dan Syair Ken Tambuhan adalah contoh bagus sastra tradisional. Yang tidak lazim adalah bunga rampai ringkasan kisah dan dongeng: sumber utamanya adalah Seribu Satu Malam, tetapi juga memuat ringkasan beberapa hikayat Melayu serta syair orisinal bercorak didaktis. Syair mengenai perang Rusia-Jepang tercakup dalam kategori puisi perang yang sangat luas, dengan perbedaan penting bahwa syair ini berkenaan dengan perang yang terjadi jauh dari dunia Melayu, dan sekaligus merupakan bagian dari ragam sastra baru yang diilhami berita sehari-hari.

Kumpulan syair Ahmad Beramka setebal tak kurang dari 771 halaman. Kumpulan ini merangkum 15 syair yang disalin satu per satu

15 Referensi tentang kebiasaan kaum peranakan membaca legenda Islam dapat ditemukan dalam sebuah naskah Hikayat Raja Handak yang disalin di Semarang pada 1797, lihat Kratz (1989).

328 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

tanpa urutan yang jelas. Panjang syair-syair ini amat beragam, dari 37 sampai 2.440 bait. Sebagian besar menuturkan berbagai peristiwa yang kurang-lebih terjadi pada masa itu, atau setidaknya ditampilkan sebagai demikian (“yang betul sudah kejadian”). Lima syair tidak menuturkan peristiwa nyata, yaitu Sair Abu Nawas (masih diberi subjudul “yang betul sudah kejadian di negeri Bagdad”), Sair Baba Bujang dan Nona Bujang, Sair Anak Kwalon Atawa Ibu Tiri , Sair Kartu, dan Sair Capjiki.

Sepuluh syair lainnya merujuk, atau berpura-pura merujuk, kepada peristiwa-peristiwa nyata yang kebanyakan terjadi pada tahun- tahun awal abad ke-20: cerita perampokan Java Bank tahun 1902 (Tuan Gentis di Betawi ), perkawinan R.M. Tirta Adhi Surya tahun 1906 (Sultan Muhammad Sidik Syah ), tapi juga cerita Nyai Dasima tahun 1813 yang baru­baru ini dinyatakan sebagai fiksi belaka (Hellwig 1986:51 dan catatan 8). Sair Nona Lao Fatnio mengisahkan hubungan asmara yang dinyatakan terjadi di Bandung tahun 1909, namun lokasinya diisyaratkan dengan cara yang agak tersamar: bait kedua berbunyi, “Ini sair yang kebetulan, sudah kejadian di ini bulan, lima belas Nopember 1909, di mana tempat di pinggir jalan” (hlm. 751). Penekanan atas sifat aktualitas ini adalah ciri pertama yang menonjol pada syair-syair tersebut.

Peristiwa-peristiwa yang dikisahkan cukup sensasional: misalnya kasus perampokan (Tuan Gentis di Betawi), pembunuhan (Lo Fenkui, Muhammad Saleh , Nyai Dasima), perkawinan putri Sultan (Sultan Muhammad Sidik Syah ), atau petualangan seorang nyai (Nona Lao Fatnio , Nyai Ima). Keragaman tokoh-tokohnya sungguh luar-biasa: mereka orang Indonesia, Tionghoa, Eropa dan Arab. Latar geografisnya pun amat beragam: aksi berlangsung di Batavia (empat syair), Jawa Barat (tiga), Jawa Timur (satu) dan Maluku (dua). Hanya kelima syair yang tidak berhubungan dengan peristiwa nyata, tidak mempunyai latar tempat tertentu (kecuali Abu Nawas).

Kita tahu bahwa naskah kumpulan syair ini, seperti juga naskah- naskah lain dalam koleksi Dr. Frank di Leningrad, dibeli di Batavia sebelum tahun 1912. Karena naskah kumpulan syair agaknya ditulis tanpa jeda, dan karena salah satu syair di dalamya kemungkinan besar digubah pada November 1909, dapat kita simpulkan bahwa naskah ini disalin antara tahun 1909 dan 1912. Yang lebih sulit ditentukan ialah apakah naskah ini dikarang pada masa itu, atau sekadar disalin dari satu atau sejumlah naskah lain, dan juga apakah Ahmad Beramka adalah pengarangnya atau sekadar penyalin.

Ahmad Beramka menandatangani delapan dari lima belas syair: lima syair pertama dan tiga syair terakhir. Ia menandatangani secara singkat

Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 329

dan jelas, tanpa sapaan apa pun kepada pembaca, juga tanpa catatan akhir seperti biasa dilakukan ayahnya dan saudara sepupunya. Tapi tidak alasan

a priori untuk menyangkal bahwa dia mengarang ke-8 syair tersebut. Tidak pula berarti ia bukan pengarang syair-syair yang tidak ditandatanganinya. Mungkin telaah tentang gaya penulisannya dapat menerangi masalah ini.

Jika kita memeriksa syair-syair yang ditandatangani Ahmad Beram- ka, dua kecenderungan menjadi jelas: pertama, kecenderungan untuk menjejalkan dan memanjangkan larik-larik hingga 19 suku kata; kedua, kecenderungan untuk terus-menerus mengunakan rima yang sama. Kecenderungan ini tentu saja bukan monopoli Ahmad Beramka, tapi terdapat pada semua penyair yang tidak berbakat dan menulis dengan terburu-buru. Namun demikian, sejumlah pengulangan dari satu syair ke syair lain menggiring pada asumsi bahwa hal ini mungkin merupakan ciri khas gaya Ahmad Beramka.

Pada Sair Nona Lao Fatnio misalnya, sebuah syair sangat pendek (40 bait) yang ditandatangani Ahmad Beramka, lebih dari separuh baitnya (24 dari 40 bait) disusun dengan tiga akhiran (-nya, -an, -lah) dan satu rima yang diulang delapan kali (itu, tentu, waktu, situ).

Syair pendek lainnya, yang tidak ditandatangani, Sair Baba Lo Fenkui , menampilkan ciri yang sama: lebih dari separuh baitnya (28 dari

53 bait) disusun dengan empat rima, yang juga berupa tiga akhiran (-nya, -an , -kan), dan perulangan (itu, tentu, waktu, situ). Dua puluh bait lainnya disusun dengan lima rima lain dengan sedikit variasi, yang berarti bahwa kebanyakan syair ini (48 dari 53 bait) disusun dengan sembilan rima saja serta pengulangan yang luar-biasa banyak dari kata-kata yang sama

di akhir larik. Dalam permainan atas “variasi dalam kesamaan” 16 , tidak terdapat banyak variasi di sini! Sekarang jika kita tinjau sebuah syair yang lebih panjang (492 bait) dan tidak ditandatangani (tapi bagian akhirnya tidak lengkap), yakni Sair Sultan Muhammad Sidik Syah , penelaahan 200 bait pertama menunjukkan bahwa 192 dari 200 baitnya disusun dengan empat belas rima saja, bahkan 66% bait disusun dengan lima rima saja, yang lagi-lagi berupa akhiran (-an, -kan, -nya, -lah) dan kuartet di atas (itu, tentu, waktu, situ).

Dalam syair ini pula kita temukan larik-larik yang panjangnya tidak wajar, contohnya:

Karena menyambut tuanku putri empunya warta Penganten mengadap di kamar penerimaan ibu suri Kira-kira setengah jam penganten duduk depan ibunya

16 Lihat “Variation within identity in the Syair Ken Tembuhan” (Koster & Maier 1982).

330 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

Selain kumpulan syair ini, Ahmad Beramka menandatangani sebuah syair yang terdiri dari 2.747 bait, berjudul Sair Perang Ruslan dan Jepang . Penelaahan dua bagiannya, masing-masing sebanyak 100 bait, menunjukkan kecenderungan yang sama: 59% disusun dengan empat rima (akhiran -an, -kan, -nya dan suku kata tu), dan 76% disusun dengan tujuh rima saja.

Namun demikian, dua syair terakhir B 2508 (Sair Kartu dan Sair Capjiki ), yang ditandatangani oleh Ahmad Beramka, menunjukkan ciri sebaliknya, yaitu irama, kelugasan dan keragaman. Kebanyakan lariknya disusun dengan empat kata dasar dengan jeda yang jelas, dan rimanya tidak diulang-ulang dengan kadar yang sama.

Saya cenderung berganggapan bahwa rima yang kurang bermutu merupakan ciri khas karya-karya gubahan Ahmad Beramka sendiri, dengan konsekuensi bahwa Sair Baba Lo Fenkui dan Sair Sultan Muhammad Sidik Syah boleh dianggap sebagai ciptaannya, dan sebaliknya, Sair Kartu dan Sair Capjiki bukanlah karangannya sendiri, meskipun ditandatanganinya.

Perbandingan dengan teks-teks lain, dalam hal ini teks cetak, dapat juga menyoroti asal-usul syair Ahmad Beramk, sambil ikut menjelaskan hakikat sastra tersebut.

Kebanyakan syair Ahmad Beramka diketahui melalui berbagai versi lain dalam bentuk cetakan. Perkecualiannya adalah sebagai berikut: Sair Hasan Mukmin di Tanah Jawa (kisah pemberontakan Kasan Mukmin di Jawa Timur pada 1905; lihat Kartodirdjo 1978: 80-86), Sair Sultan Muhammad Sidik Syah (tentang perkawinan Tirta Adhi Surya dengan putri Sultan Bacan pada 1906), Sair Nyai Ima (yang juga berlatar Maluku), dan terakhir Sair Abu Nawas (yang kita ketahui versi prosanya saja).

Sebelas judul syair lainnya terdapat juga dalam versi cetak. Syair ketiga Ahmad Beramka misalnya, berjudul Sair dari Muhammad Saleh yang betul sudah kejadian di Betawi Meester Cornelis dan yang ditandatanganinya, sama topiknya dengan syair lain yang dicetak dengan judul Sair Moehamad Saleh dan Moehamad Bentol (jang telah boenoe sa-orang Arab di Meester Cornelis lantaran perkara oetang) , tapi buku ini sudah tidak ada lagi: syair ini hanya diketahui melalui sejumlah iklan (Salmon 1981: 383).

Mari kita ambil contoh perbandingan dua syair Ahmad Beramka dengan syair yang dicetak pada periode yang sama, untuk memperkirakan kebebasan kreativitas masing-masing pengarangnya, dan agar mendapatkan gambaran yang lebih jelas perihal ragam sastra yang digeluti saudara sepupu Muhammad Bakir ini.

Sastra Melayu Abad ke-19: Keluarga Fadli 331

Pertama, Sair Tuan Gentis yang sudah kejadian 22 Nopember tahun 1902 . Syair panjang yang terdiri atas 236 bait dan ditandatangani Ahmad Beramka ini mengisahkan usaha gagal untuk merampok Java Bank di Batavia pada 22 Nopember 1902. Pelakunya adalah seorang lelaki Belanda berusia 27 tahun bernama C.M. Gentis, yang telah tiba di Batavia dua setengah tahun sebelumnya. Ia berhasil merampas tas berisi uang 110.000 gulden, tapi berkat keberanian para pegawai bank, ia terpaksa meninggalkan uang itu dan melarikan diri. Akhirnya ia tertangkap dekat Bogor, dan setahun kemudian dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.

Kita tidak tahu kapan Ahmad Beramka menulis syair ini, tapi tidak mungkin sesudah 1912. Ternyata, sepuluh tahun kemudian, pada 1922, F. Wiggers dan seorang pengarang Tionghoa berinisial Y.L.M. menerbitkan syair dengan topik yang sama berjudul Sair Java Bank di rampok, yang panjangnya dua kali lipat syair Ahmad Beramka dan jauh lebih terperinci. Perbandingan kedua teks ini membuktikan bahwa, di luar soal tahunnya masing-masing, Ahmad Beramka menyalin tiga perlima bait-bait syairnya dari karya Wiggers dan Y.L.M. (atau barangkali dari teks yang dicontoh oleh kedua pengarang ini). Pilihan, pengolahan dan penyusunan narasi jelas membutuhkan kajian lebih rinci, namun sementara ini cukup dikatakan bahwa, dalam hal Sair Tuan Gentis, Ahmad Beramka menggubah syair dengan materi yang sebagian besar dicomot dari karya yang sudah ada, sambil melakukan perombakan yang cermat dan personal.

Dalam hal ini akan sepenuhnya menyesatkan jika berbicara tentang plagiarisme. Ketika menyalin sekitar 150 bait, nyaris kata demi kata, Ahmad Beramka bertindak sebagai penyalin, seperti halnya ketika ia menyalin, dan menandatangani, Hikayat Marakarma. Namun ketika menyusun ulang bait-bait itu dan melengkapinya dengan 90 bait orisinal guna menciptakan narasi baru, ia bertindak sebagai pengarang modern.

Ternyata, syair ke-12 dalam kumpulan Ahmad Beramka, Sair Baba Lo Fenkui pachter afiun di Banjarnegara, yang panjangnya hanya

53 bait dan tidak ditandatangani, serupa dengan sebuah syair lain yang ditulis oleh pengarang Tionghoa misterius di atas, Y.L.M. Syair ini ternyata mengangkat topik yang sama dengan syair yang dibukukan pada 1903 oleh Y.L.M., yaitu Boekoe sairan dari tjerita jang betoel soeda kedjadian di Poelo Djawa dari halnja satoe toean tana dan pachter opium di Residentie Benawan bernama Lo Fen Koei (Batavia, 1903, 88 halaman).

Ceritanya sama, tetapi dalam kasus ini, kedua syair tersebut tidak memiliki hubungan formal: versi buku cetakan sepuluh kali lebih panjang daripada versi naskah, dan tidak ada satu bait pun yang sama di antara

332 Lima Belas Karangan Tentang Sastra Indonesia Lama

kedua versi ini. Syair Y.L.M. mungkin saduran dari cerita prosa yang diterbitkan pada tahun yang sama oleh Gouw Peng Liang, yang mengambil bahan ceritanya dari surat kabar Bintang Betawi. Buku terakhir ini berjudul Tjerita jang betoel soeda kedjadian di poelo Djawa dari halnja satoe toean tana dan pachter opium di Res. Benawan, bernama Lo Fen Koei (terpetik dari soerat kabar Bintang Betawi) .

Ceritanya tentang seorang lelaki Tionghoa kaya raya dan mata keranjang yang tidak segan­segan memfitnah dan membuat lelaki lain dipenjara jika ia menghasratkan istri lelaki itu. Ia bahkan tega memerintahkan pembunuhan istri seorang lelaki yang menghalanginya. Ketika kejahatan ini terbongkar, ia bunuh diri.