Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi akibat P (1)

II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Ekonomi Sumberdaya Air
Air merupakan bagian penting dari sumberdaya alam yang mempunyai

karakteristik unik dibandingkan dengan sumberdaya lainnya. Menurut Fauzi
(2006), air dapat diklasifikasikan ke dalam sumberdaya yang terbarukan maupun
tidak terbarukan, tergantung pada sumber dan pemanfaatannya. Air permukaan
atau surface water seperti air yang diperoleh dari sungai maupun danau dapat
dikategorikan sebagai sumberdaya terbarukan karena adanya proses siklus
hidrologi dari bumi. Adapun air yang bersumber dari bawah tanah atau
groundwater diperoleh melalui proses geologi selama ratusan bahkan ribuan
tahun, sehingga meskipun memiliki kemampuan untuk memulihkan kembali
(recharge rate) lewat hujan, jika jumlah yang dimanfaatkan melebihi kemampuan
recharge, groundwater sering dikatakan sebagai sumberdaya yang tidak
terbarukan.
Pembahasan mengenai ekonomi sumberdaya air tidak terlepas dari
pertanyaan tentang bagaimana memanfaatkan sumberdaya air dengan sebaikbaiknya dengan tidak mengorbankan kelestariannya. Menurut Fauzi (2006), air
juga memiliki nilai intrinsik dan pemanfaatannya memiliki nilai tambah karena
dari ekstraksi sampai pemanfaatan langsung untuk konsumsi menimbulkan biaya

yang cukup substansial. Seperti barang dan jasa lingkungan lainnya, nilai air
diturunkan dari arti penting dan kontribusi air bagi manusia dan makhluk hidup
lainnya. Nilai air dapat diidentifikasi dari peranan air yang meliputi: (1) sumber
kehidupan (physiological need) bagi seluruh makhluk hidup, terutama manusia
(provisioning services); (2) memberikan manfaat tidak langsung seperti input

antara (intermediate input) dalam proses produksi, terutama untuk sektor
pertanian (irigasi) dan industri, serta menjaga fungsi dan proses ekologi; dan (3)
digunakan untuk tujuan rekreasi, estetika, sosial, dan keagamaan (cultural
services). Dari sudut pandang ekonomi, peranan air tersebut dapat diringkas
menjadi tiga jenis, yaitu sebagai barang akhir untuk dikonsumsi, input antara
untuk produksi, dan penyedia jasa lingkungan dan ekosistem.
2.1.1 Nilai Ekonomi Air Tanah
Sebagai bagian dari sumberdaya air, saat ini air tanah lebih cenderung
diapresiasi dengan nilai yang rendah (undervalued), terutama dalam kondisi
dimana air tanah tersebut bersifat common property. Menurut Fauzi (2006), hal ini
disebabkan karena pada saat sumberdaya tersebut tidak dimiliki dengan jelas, ia
akan menjadi common pool dimana setiap pengguna sumberdaya air meyakini
bahwa ekstraksi yang dilakukannya tidak akan mempengaruhi stok sumberdaya
air, sehingga deplesi dari sumberdaya air dinilai tanpa harga (zero price). Lebih

lanjut lagi Kemper et al. (2006) menyebutkan bahwa pada kondisi tersebut,
pengguna sumberdaya air tanah akan menerima manfaat penuh dari keberadaan
sumberdaya air tanah, namun mengabaikan biaya-biaya yang harus dibayarkan
atas ekstraksi sumberdaya air tanah yang mereka lakukan.
Menurut Kemper et al. (2006), biaya yang dibayarkan oleh pengguna air
tanah pada umumnya hanya berkisar pada biaya untuk memperoleh air tanah
seperti biaya pengeboran (capital cost) dan biaya pengoperasian serta
pemeliharaan pompa untuk ekstraksi air tanah (Operation and Mantainance Cost),
namun mengabaikan biaya-biaya lainnya seperti biaya eksternalitas dan biaya
sosial yang timbul akibat kegiatan ekstraksi yang dilakukan. Dalam sudut

12

pandang ekonomi, kondisi undervaluation ini akan menyebabkan inefisiensi
dalam penggunaan sumberdaya air tanah. Biaya-biaya ekstraksi sumberdaya air
tanah dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber: Kemper et al., 2006

Gambar 1. Biaya-Biaya Ekstraksi Sumberdaya Air Tanah

Menurut Jones et al. (2000), estimasi nilai ekonomi total air seharusnya
melibatkan semua nilai, baik nilai guna (use value) maupun nilai bukan guna
(non-use value). Nilai guna langsung (direct use value) dari air merujuk pada
penggunaan air untuk menunjang kehidupan dan aktivitas ekonomi manusia,
sedangkan nilai guna tidak langsung (indirect use value) terkait dengan fungsi air
sebagai suatu ekosistem. Nilai pilihan (option value) merupakan nilai untuk
mempertahankan nilai air yang akan digunakan di waktu yang akan datang, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Sementara itu, nilai bukan guna (non-use
value) meliputi nilai pengetahuan tentang ketersediaan air untuk generasi
mendatang (bequest value) dan nilai intrinsik dari ekosistem air (existance value).
Adapun National Research Council (1997) mengklasifikasikan nilai
sumberdaya air tanah berdasarkan dua terminologi, yakni berdasarkan nilai air
tanah secara fisik (physical state terminology) dan nilai air tanah secara ekonomi
13

(economic terminology). Secara fisik air tanah terdiri dari nilai guna (extractive
value) yaitu apabila air tanah dimanfaatkan atau digunakan untuk berbagai
keperluan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan nilai in-situ yaitu manfaat atas
air tanah apabila dibiarkan tetap dalam kondisi aslinya. Nilai guna air tanah terdiri
dari kegunaan air tanah untuk berbagai keperluan domestik, pertanian, dan

industri, sedangkan nilai in-situ terdiri dari manfaat ekologis, manfaat buffering,
nilai pencegahan atas amblesan tanah dan muka air tanah (land subsidence
avoidance values) dan instrusi air laut serta manfaat rekreasi.
Tabel 1. Nilai Sumberdaya Air Tanah
Physical State Terminology
A. Extractive Values
1. Municipal use values
2. Industrial use values
3. Agricultural use values
4. Other extractive use values
B. In Situ Values
1. Ecological values
2. Buffer values
3. Subsidence avoidance values
4. Recreational values
5. Sea water intrusion values
6. Existance values
7. Bequest values

Economic Terminology


Use Value

Non Use
Value

Sumber: National Research Council, 1997

Selanjutnya apabila ditinjau dari sudut pandang ekonomi (economic
terminology), nilai air tanah diklasifikasikan menjadi nilai guna (use values) dan
nilai bukan guna (non-use values). Nilai guna merujuk pada penggunaan air baik
secara langsung maupun tidak langsung yang mencakup semua nilai pada
extractive value yang identik dengan nilai guna langsung (direct use value) dan
in-situ value yang identik dengan nilai guna tidak langsung (indirect use value).
Adapun untuk nilai bukan guna terdiri dari nilai keberadaan (existance value) dan
14

nilai warisan (bequest value). Nilai sumberdaya air tanah berdasarkan dua
terminologi tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
2.1.2 Metode Valuasi Ekonomi Air Tanah

Ekstraksi yang berlebihan oleh industri dan domestik secara kolektif pada
sumber air tanah di Kelurahan Harapan Jaya menyebabkan menurunnya kuantitas
dan kualitas air tanah. Kondisi ini semakin diperburuk oleh perkembangan
pemukiman penduduk yang semakin pesat dan tidak teratur sehingga
menyebabkan masuknya zat pencemar yang berasal dari kebocoran pada saluran
pembuangan limbah ke dalam sistem akuifer atau air tanah, sehingga
menyebabkan air tanah tidak dapat lagi dikonsumsi secara bebas. Pencemaran
yang terjadi pada sumber air tanah ini merupakan kerugian bagi penduduk
setempat karena berkurangnya sumber air bersih yang dapat mereka manfaatkan
untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Salah satu pendekatan untuk mengukur kehilangan ekonomi akibat
pencemaran adalah berdasarkan perilaku pencegahan (averting behaviour
method). Perilaku pencegahan adalah tindakan yang dilakukan rumah tangga yang
bertujuan untuk mengurangi atau menghindari bahaya akibat kerusakan pada
suatu ekosistem. Menurut Fauzi (2006), metode tersebut merupakan salah satu
teknik valuasi ekonomi non-pasar berbasiskan biaya (cost-based approach) yang
mengandalkan harga implisit dimana keinginan membayar seseorang terungkap
melalui model yang dikembangkan (revealed willingness to pay).
Menurut National Research Council (1997), sedikitnya terdapat tiga
respon yang terkait dengan upaya yang dilakukan oleh rumah tangga dalam

mengurangi dampak akibat pencemaran air tanah yakni: (1) membeli durable

15

goods, misalnya alat-alat penyaring (filter) untuk memberikan perlakuan semacam
water treatment terhadap air tanah sebelum dikonsumsi; (2) membeli nondurable
goods, misalnya air galon; dan (3) merubah kebiasaan sehari-hari untuk
menghindari dampak kerusakan akibat pencemaran, misalnya (a) memasak atau
mendidihkan air yang digunakan untuk keperluan memasak dan minum atau (b)
mengurangi frekuensi atau lamanya penggunaan air tanah untuk keperluan
mencuci ataupun mandi apabila adanya indikasi bahan pencemar, baik organik
maupun kimia dalam kandungan air tanah tersebut.
Pendekatan tersebut mengasumsikan bahwa rumah tangga merespon
perubahan pada harga, kuantitas dan kualitas sumberdaya non-market dengan
melihat pembelian barang pasar yang serupa atau memiliki hubungan dengan
sumberdaya non-market tersebut. Biaya-biaya tersebut akan mengestimasi
kemampuan membayar maksimum dari masyarakat untuk perbaikan kualitas air
tanah atau air sumur. Namun, menurut Brouwer dan Pearce (2005), biaya dari
perilaku pencegahan ini memiliki kekurangan. Pertama, pengeluaran atau biaya
seringkali menaksir terlalu rendah nilai pada kualitas sumberdaya. Kedua,

pendekatan ini hanya berlaku ketika terdapat perilaku pencegahan yang memilki
nilai pasar.
Untuk memperoleh nilai kerugian atas pencemaran air tanah yang terjadi
digunakan teknik yang relevan dengan pendekatan averting behavior method
yakni metode biaya pencegahan (preventive expenditure). Pendekatan ini
merupakan teknik yang memperkirakan valuasi minimal dari individu, habitat
atau kualitas lingkungan dalam hal kesedian mengeluarkan biaya agar terhindar
dari pengaruh kurang baik pada habitat atau lingkungan. Pendekatan ini mengkaji

16

pengeluaran yang sesungguhnya yang mampu dilakukan orang agar terhindar dari
kerusakan

yang

disebabkan

degradasi


lingkungan.

Pendekatan

tersebut

memberikan nilai pada hal-hal di dalam lingkungan yang dirasa negatif dengan
mencari bagaimana individu atau kelompok membelanjakan uang agar terhindar
dari dampak negatif. Dalam hal ini dampak negatif belum terjadi, namun individu
atau kelompok percaya akan mengalami dampak negatif jika pengeluaran untuk
tindakan pencegahan tidak dilakukan (Jones et al., 2000).
Menurut Jones et al. (2000), individu atau kelompok sering mengeluarkan
uang untuk menghindari atau mengeliminasi kerusakan yang disebabkan dampak
lingkungan yang merugikan. Biaya pencegahan ini menciptakan harga implisit
dari kondisi lingkungan dan keanekaragaman hayati yang baik, namun dianggap
merupakan estimasi minimum dari keuntungan perbaikan lingkungan tersebut.
Dalam teknik ini diasumsikan bahwa individu mengeluarkan uangnya untuk
mencapai perbaikan kualitas lingkungan yang setidaknya setara dengan
sumberdaya yang hilang.
Selain kerugian berupa biaya pencegahan yang harus dikeluarkan oleh

rumah tangga atas upaya mereka untuk melakukan tindakan pencegahan akibat
pencemaran air tanah yang terjadi, terdapat pula biaya lain yang timbul akibat
rumah tangga masih menggunakan sumber air tanah yang telah tercemar sebagai
pemenuhan kebutuhan sehari-harinya karena kesulitan untuk memperoleh
alternatif sumber air bersih lainnya. Menurut National Research Council (1997),
berdasarkan berbagai kasus pencemaran air tanah yang telah terjadi, konsumsi
atas air tanah yang tercemar dapat menyebabkan pengkonsumsinya terkena
penyakit kronis jangka panjang, seperti kanker ataupun premature death.

17

Peningkatan resiko terkena penyakit tersebut menyebabkan peningkatan pula pada
biaya berobat, kehilangan waktu untuk kegiatan luang atau bersantai (leisure
time), kehilangan pendapatan ataupun pekerjaan serta kerugian-kerugian lain yang
ditanggung oleh manusia sebagai akibat atas konsumsi air tanah yang telah
tercemar tersebut. Oleh karena itu untuk menghitung biaya-biaya tersebut
digunakan pendekatan biaya kesehatan (cost of illness) yang juga merupakan
salah satu teknik valuasi ekonomi yang berbasiskan biaya (cost-based approach).
Cost of Illness merupakan salah satu pendekatan yang bertujuan untuk
memberikan nilai pada perubahan kesehatan manusia atau kesejahteraan yang

muncul dari perubahan kualitas lingkungan. Menurut Yakin (1997), pendekatan
ini terdiri dari faktor-faktor berikut:
1.

Biaya kesehatan langsung seperti biaya medis, biaya-biaya asuransi medis,
dimana biaya pengeluaran medis terdiri dari biaya medis, biaya rumah sakit,
biaya obat, biaya rehabilitasi, dan nilai hilangnya waktu yang sama dengan
hilangnya upah atau pendapatan.

2.

Nilai hilangnya waktu orang yang sakit (pendapatan yang hilang dan
kesenangan yang hilang)

2.2

Air Tanah
Air tanah merupakan salah satu komponen dalam peredaran air di bumi

yang dikenal sebagai siklus hidrologi. Dalam siklus hidrologi, air tanah juga
mempunyai peran sebagai salah satu mata rantai yang berfungsi sebagai reservoir,
yang melepaskannya secara perlahan ke dalam sungai atau danau, sehingga
kesinambungan aliran terjaga (Notodarmojo, 2005). Namun menurut Fauzi
(2006), meskipun memiliki kemampuan memulihkan kembali lewat hujan

18

(recharge rate), jika jumlah yang dimanfaatkan melebihi kemampuan recharge,
maka sumberdaya ini dapat terdeplesi. Apabila sumberdaya ini terdeplesi, maka
membutuhkan waktu yang relatif lama yakni berupa proses geologi yang
membutuhkan waktu ratusan bahkan ribuan tahun untuk membuatnya pulih
kembali. Oleh karena itu sumberdaya air tanah ini sering diklasifikasikan sebagai
sumberdaya yang tidak terbarukan.
Menurut UU No. 7 Tahun 2004, air tanah adalah air yang terdapat dalam
lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Sedangkan menurut
Kodoatie dan Sjarief (2008), air tanah merupakan salah satu komponen dalam
daur hidrologi (hydrologic cycle) yang berlangsung di alam. Sumber ini terbentuk
dari air hujan yang meresap ke dalam tanah di daerah imbuhan (recharge area)
dan mengalir melalui lapisan batuan, terutama lapisan pembawa air (akuifer)
dalam satu cekungan air bawah tanah (groundwater basin) yang berada di bawah
permukaan tanah menuju ke daerah lepasan (discharge area). Air tanah dapat
berupa air sumur dalam maupun air sumur dangkal. Air sumur dalam ialah air
yang telah merembes melalui lapisan-lapisan mineral masuk ke tanah, dimana
selama perembesan bahan-bahan organiknya tertahan, air sumur dalam dapat
diminum karena bebas bakteri. Sebaliknya air sumur dangkal tidak dapat langsung
diminum karena rawan perembesan oleh zat pencemar yang berasal dari limbah
buangan kegiatan domestik, pertanian, ataupun indsutri.
2.2.1 Pencemaran Air Tanah
Menurut Undang Undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 4
Tahun 1982, pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukannya
makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan atau

19

berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam
sehingga kualitas turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan
menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya dan
telah melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Baku mutu
lingkungan hidup atau kriteria lingkungan hidup merupakan ukuran batas
perubahan sifat fisik, kimia, dan atau hayati lingkungan hidup yang dapat
ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.
Pencemaran lingkungan hidup ini terdiri dari pencemaran tanah, pencemaran
udara, pencemaran suara, dan pencemaran air.
Adanya benda-benda asing yang mengakibatkan air tidak dapat digunakan
sesuai dengan peruntukannya secara normal disebut dengan pencemaran air
(Kristanto, 2004). Sampai saat sekarang ini sebagian besar masyarakat masih
menggunakan air tanah sebagai sumber utama pemenuhan kebutuhan air besih
sehari-sehari. Oleh karena itu kualitas air tanah menjadi sangat penting karena
sebagian besar pengguna air tanah menggunakan air tersebut secara langsung.
Meskipun ada beberapa yang melakukan pengolahan, namun hanya terbatas pada
pengolahan fisik atau kimia yang sederhana. Beragamnya kontaminan dengan
tingkat bahaya (toksisitas) yang bervariasi dan mahalnya biaya untuk pemulihan
kualitas (remediasi), maka menjaga kualitas air tanah akan lebih baik daripada
mencemari kemudian memperbaikinya. Beberapa kontaminan mempunyai sifat
kumulatif dan resistan, kadang-kadang secara kasat mata tidak terlihat
keberadaannya atau berbau, seperti misalnya organo-klorin sebagai pestisida atau
pelarut yang penggunaannya sangat sulit untuk dikontrol. Keadaan tersebut tentu

20

meningkatkan risiko bagi manusia sebagai pengguna air tanah (Notodarmojo,
2005).
Harus diakui bahwa tanah sebagai tempat buangan akhir bagi limbah
merupakan alternatif yang menarik dan mudah untuk dilakukan. Disamping itu,
cara ini juga telah dipraktikkan sejak adanya kehidupan manusia. Pencemaran
pada air tanah telah terjadi di beberapa tempat, baik dalam skala kecil maupun
regional. Degradasi kualitas air tanah dan tanah sebagai mediumnya dapat terjadi
karena berbagai hal. Menurut Notodarmojo (2005) beberapa diantaranya adalah
perkolasi dari efluen tangki septik, rembesan aliran air permukaan yang telah
tercemar, tempat pembuangan akhir sampah, ataupun tumpahan (spilling) dari zat
pencemar yang tidak disengaja, merupakan penyebab yang sering dijumpai. Jenis
sumbernya pun dapat berupa sumber tersebar (diffuse source), terpusat (point
source) ataupun dalam bentuk memanjang (line source). Kemudian seberapa jauh
kontaminan tersebut dapat bersifat racun terhadap manusia dan lingkungannya
tergantung pada berbagai faktor, seperti misalnya sifat resistansi dan akumulasi
dalam tubuh ataupun kepekaan manusia terhadap kontaminan tersebut.
Pencemaran air minum oleh air limbah dapat disebabkan karena sumber
air yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat mengandung organisme seperti
bakteri dan virus. Selain disebabkan oleh kontaminasi mikroorganisme,
pencemaran air juga dapat terjadi akibat adanya kandungan zat atau senyawa
kimia dalam sumber air yang melebihi ambang batas konsentrasi yang diizinkan.
Kontaminasi kandungan zat atau senyawa kimia ini dapat terjadi secara alami
ataupun akibat aktivitas manusia seperti limbah rumah tangga dan industri.
beberapa zat atau senyawa kimia yang bersifat racun terhadap tubuh manusia

21

misalnya logam berat, pestisida, senyawa mikro polutan hidrokarbon, zat-zat radio
aktif alami atau buatan dan sebagainya. Kontaminasi baik oleh mikroorganisme
maupun oleh zat atau senyawa kimia terhadap sumber air yang digunakan oleh
masyarakat akan menyebabkan pengkonsumsinya dapat rentan terhadap berbagai
penyakit (Said, 1999).
Menurut Said (1999), beberapa penyakit yang berhubungan dengan air
yang paling sering berjangkit akibat kontaminasi zat-zat pencemar ke dalam
sumber air yang dikonsumsi oleh warga antara lain adalah disentri, thypus dan
parathypus, kholera, hepatitis A, polio, dermatritis (penyakit kulit) serta diare.
Seringkali penyebab penyakit tersebut diakibatkan oleh kondisi lingkungan rumah
yang tidak sehat dan perilaku individu yang tidak menjaga kebersihan dirinya dan
lingkungannya. Salah satu faktor yang penting untuk menanggulangi hal tersebut
yakni dengan cara meningkatkan kebersihan lingkungan, meningkatkan pelayanan
air bersih yang sehat, meningkatkan sistem pembuangan limbah yang memenuhi
syarat, serta meningkatkan peran dan fungsi pemerintah dengan memberikan
pengetahuan kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan.
2.2.2 Pengelolaan dan Pendayagunaan Air Tanah
Berdasarkan definisi pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.
43 Tahun 2008 tentang air tanah menyebutkan bahwa pengelolaan air tanah
adalah

upaya

merencanakan,

melaksanakan,

memantau,

mengevaluasi

penyelenggaraan konservasi air tanah, pendayagunaan air tanah, dan pengendalian
daya rusak air tanah yang berlandaskan pada strategi pelaksanaan pengelolaan air
tanah dengan keseimbangan antara upaya konservasi dan pendayagunaan air
tanah. Adapun menurut sudut pandang ekonomi pengelolaan air bawah tanah atau

22

groundwater merupakan contoh menarik untuk memahami kasus sumberdaya
yang bersifat common property dalam bentuknya yang paling asli (the purest
common pool problem). Hal ini disebabkan karena pada saat sumberdaya tersebut
tidak dimiliki dengan jelas, ia akan menjadi common pool dimana setiap pengguna
sumberdaya air meyakini bahwa ekstraksi yang dilakukannya tidak akan
mempengaruhi stok sumberdaya air, sehingga deplesidari sumberdaya air dinilai
tanpa harga (zero price). Namun demikian, jika tidak diatur, ekstraksi akan terlalu
besar sehingga menyebabkan ketersediaan air menurun dan menyebabkan biaya
yang terlalu besar (Fauzi, 2006).
Neher (1990) dalam Fauzi (2006) melihat bahwa deplesi sumberdaya air
bawah tanah ini menyebabkan dampak ekonomi dalam tiga hal. Pertama,
sumberdaya air bisa menjadi langka (extinct) melalui pemanfaatan yang
berlebihan (overuse) yang pada gilirannya akan menyebabkan kolapsnya kanal
yang dapat berakibat pada biaya ekonomi yang sangat mahal. Kedua, air bawah
tanah dapat diibaratkan uang di bank yang dapat dijadikan cadangan pada saat
curah hujan menurun akibat musim kemarau. Jika cadangan ini habis karena
terdeplesi, ia akan menyebakan bencana yang menumbulkan biaya ekonomi yang
sangat mahal. Ketiga, ketika ketersediaan air dalam tanah (water table) habis,
biaya ekstraksi akan meningkat. Dalam rejim pengelolaan yang tidak terkendali,
biaya ini akan sangat mahal, sehingga salah satu tujuan utama dari pengelolaan
sumber daya air bawah tanah adalah bagaimana mengendalikan biaya tersebut.
Sedangkan pendayagunaan air tanah adalah upaya penatagunaan,
penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan air tanah secara
optimal agar berhasil guna dan berdayaguna dengan mengutamakan pemanfaatan

23

air tanah pada pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat secara adil
dan berkelanjutan. Lebih lanjut lagi Kodoatie dan Sjarief (2008) menjelaskan
bahwa pendayagunaan sumber daya air tanah dilakukan dengan mengutamakan
fungsi sosial untuk mewujudkan keadilan dengan memperhatikan prinsip
pemanfaat air membayar biaya jasa pengelolaan sumberdaya air dan dengan
melibatkan peran serta masyarakat. Prinsip pemanfaat membayar biaya jasa
pengelolaan adalah penerima manfaat ikut menanggung biaya pengelolaan
sumberdaya air baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketentuan ini tidak
diberlakukan kepada pengguna air untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari
dan pertanian rakyat.
Pengelolaan sumberdaya air sangat penting untuk menjaga kualitas dan
kuantitas air tanah secara adil dan berkelanjutan. Saat ini data pemanfaatan air
tanah menunjukan bahwa 80% kebutuhan air bersih masyarakat perkotaan dan
pedesaan berasal dari air tanah. Peningkatan jumlah penduduk yang semakin pesat
menyebabkan kebutuhan akan air bersih turut meningkat. Peningkatan akan
kebutuhan air bersih ini akan merubah nilai dari sumberdaya air tanah yang
sebelumnya merupakan barang bebas (free good) menjadi barang yang bernilai
ekonomi (economic good) dan diperdagangkan seperti komoditi lain. Perkiraan
dalam sepuluh tahun mendatang, nilai strategis sumberdaya air bawah tanah akan
semakin besar sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk yang diikuti
dengan meningkatnya pembangunan pemukiman, bangunan publik, perhotelan,
industri makanan, minuman, obat-obatan, dan indsutri lainnya yang memerlukan
air sebagai bahan baku dan proses (Kodoatie dan Sjarief, 2008).

24

2.3

Penelitian Terdahulu
Topik penelitian mengenai estimasi nilai kerugian ekonomi akibat

degradasi lingkungan atau kerusakan sumberdaya dapat dilihat pada penelitian
yang dilakukan oleh Perkasa (2010) yang berjudul “Estimasi Nilai Kerugian
Ekonomi dan Willingness To Pay Masyarakat akibat Pencemaran Air Tanah”
diperoleh bahwa kerugian ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat Kelurahan
Kapuk Muara akibat adanya pencemaran air tanah adalah berupa korbanan biaya
yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk memperoleh sumber air bersih
alternatif selain air tanah, biaya untuk menyaring air tanah, dan biaya kesehatan.
Total nilai kerugian yang dialami oleh masyarakat diestimasi dengan
menggunakan pendekatan perilaku pencegahan (averting behaviour method)
dengan menggunakan teknik valuasi replacement cost, prevventive expenditure,
dan cost of illness. Total kerugian yang harus dibayar oleh masyarakat Kapuk
Muara akibat pencemaran air tanah yang terjadi adalah sebesar Rp 9.926.489.524
per tahun. Adapun nilai total Willingness To Pay masyarakat untuk upaya
perbaikan kualitas air tanah di Kelurahan Kapuk Muara diestimasi dengan
menggunakan teknik valuasi Contingent Valuation Method (CVM) dan diperoleh
nilai sebesar Rp 62.958.646 dari populasi Kelurahan Kapuk Muara.
Wicaksono (2010) melakukan penelitian yang berjudul “Estimasi Nilai
Kerugian Masyarakat Akibat Bencana Banjir dan Kesediaan Membayar
Masyarakat Terhadap Program Perbaikan Lingkungan”. Penelitian ini bertujuan
untuk mengestimasi nilai kerugian akibat banjir yang terjadi di Kampung Pulo.
Estimasi nilai kerugian dilakukan dengan menghitung biaya-biaya yang
dikeluarkan oleh masyarakat Kampung Pulo sebagai upaya untuk mencegah

25

datangnya banjir yakni berupa biaya peninggian rumah, biaya penanaman pohon,
biaya membangun tanggul, dan biaya kebersihan dengan menggunakan
pendekatan Damage Cost Avoided (DCA). Berdasarkan biaya-biaya tersebut,
maka total kerugian yang ditanggung oleh masyarakat Kampung Pulo yaitu
sebesar Rp 50.384.428.043. Adapun nilai total kesediaan masyarakat membayar
untuk program perbaikan lingkungan adalah sebesar Rp 9.040.696/bulan/KK.
Adapun hasil penelitian Bujagunasti (2009) yang berjudul “Estimasi
Manfaat dan Kerugian Masyarakat Akibat Keberadaan Tempat Pembuangan
Akhir” didapatkan bahwa kerugian yang dirasakan oleh masyarakat Ciketing Udik
akibat adanya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang diantaranya
adalah pengurangan estetika, sarang penyakit, pencemaran udara, dan pencemaran
air. Total nilai kerugian yang dialami oleh masyarakat diestimasi dengan
menggunakan pendekatan perilaku pencegahan (averting behaviour method)
dengan menggunakan teknik valuasi replacement cost untuk menghitung biaya
yang dikeluarkan masyarakat atas upaya mereka untuk mengganti air bersih akibat
air yang tercemar dan cost of illness untuk menghitung biaya berobat masyarakat
akibat pencemaran air dan udara yang terjadi di lokasi penelitian tersebut. Total
kerugian yang dialami oleh masyarakat Ciketing Udik akibat pencemaran yang
terjadi adalah sebesar Rp 13.385.300 per tahun.
2.4

Perbedaan Terhadap Penelitian Terdahulu
Perbedaan penelitian kali ini terhadap penelitian terdahulu dapat dilihat

dari tujuan, metode penelitian, dan hasil estimasi nilai kerugian yang diperoleh.
Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

26

Tabel 2. Persamaan dan Perbedaan antara Penelitian “Estimasi Nilai
Kerugian Ekonomi Akibat Pencemaran Air Tanah” dengan
Penelitian Sebelumnya
Judul Skripsi/tesis

Tujuan

*Estimasi nilai
kerugian ekonomi
akibat pencemaran air
tanah di Kelurahan
Harapan Jaya

 Pola dan perilaku
penggunaan air tanah
 Estimasi nilai kerugian
ekonomi
 Identifikasi faktor-faktor
yang mempengaruhi
keputusan penduduk
untuk melakukan
tindakan pencegahan

Metode Penelitian




-

-

 Karakteristik sosial
ekonomi penduduk
responden
 Estimasi nilai kerugian
ekonomi
 Analisis Willingess To
Pay masyarakat untuk
perbaikan kondisi air
tanah



Estimasi Nilai
Kerugian Masyarakat
Akibat Bencana
Banjir dan Kesediaan
Membayar
Masyarakat Terhadap
Program Perbaikan
Lingkungan

 Estimasi Nilai Kerugian
Ekonomi



Estimasi Manfaat dan
Kerugian Masyarakat
Akibat Keberadaan
Tempat Pembuangan
Akhir

 Identifikasi manfaat dan
kerugian akibat
keberadaan TPA Bantar
Gebang
 Estimasi nilai manfaat
dan kerugian Bantar
Gebang
 Perbandingan besaran
nilai manfaat dan
kerugian
 Alternatif pilihan sistem
penangan sampah

Estimasi Nilai
Kerugian Ekonomi
dan Willingness To
Pay Masyarakat
akibat Pencemaran
Air Tanah

Analisis
deskriptif
Metode biaya
pencegahan dan
biaya kesehatan
Analisis fungsi
regresi logistik

Hasil





Analisis
deskriptif
Metode Biaya
Pengganti, Biaya
Pencegahan, dan
Biaya Kesehatan
Metode CVM

Metode Damage
Cost Avoided

-

-

-




Replacement
Cost
Cost of Illness

-

-

Nilai kerugian
ekonomi terbesar
dirasakan oleh RT
kelompok 3 yang
besarnya mencapai
Rp 128.933 per
bulan.
Faktor yang secara
statistik nyata
mempengaruhi
keputusan RT untuk
melakukan tindakan
pencegahan akibat
pencemaran air tanah
adalah tingkat
pendapatan dan
kekhawatiran RT
terhadap kondisi air
tanah
Total nilai kerugian
adalah
Rp 9.926.489.524 per
tahun.
Total nilai WTP
masyarakat untuk
upaya perbaikan
kualitas air tanah
adalah Rp 62.958.646
Total nilai kerugian
adalah
Rp50.384.428.043
Total WTP
masyarakat untuk
program perbaikan
adalah
Rp 9.040.696 per
bulan per KK
Nilai manfaat bersih
atas keberadaan TPA
Bantar Gebang
adalah sebesar Rp
170.161.700
Total nilai kerugian
adalah sebesar Rp
13.385.300 per tahun.

Keterangan: * Penelitian yang dilakukan

27