MAKALAH HUKUM TANAH ADAT ADAT SUKU BALI (1)

MAKALAH HUKUM TANAH ADAT
ADAT SUKU BALI

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Agraria yang dibimbing oleh :

Muhammad Ridho Wikanarpati
Disusun oleh :

Zakie Muhammad

2302160004

PRODI D III PBB / PENILAI
JURUSAN PERPAJAKAN
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
TAHUN AJARAN 2016/2017

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat ilmu dan nikmat sehat
kepada saya sehingga saya dapat meyelesaikan penulisan makalah ini tepat waktu. Makalah saya yang

berjudul “Makalah Hukum Tanah Adat: Adat Suku Bali” membahas tentang Pelaksanaan Hukum
Tanah Adat Bali yang diterapkan di wilayah masyarakat adat di Bali, baik secara teknis maupun
kelembagaan, serta mengulas Pewarisan Tanah serta Penyelesaian Masalah Agraria berdasarkan
Hukum Adat Tanah Bali.
Dalam penulisan ini saya mendapat banyak bantuan. Oleh karna itu sudah selayaknya saya
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam penulisan makalah
saya, khususnya kepada Bapak Muhammad Ridho Wikanarpati, S.H. M.Kn. selaku dosen mata kuliah
hukum agraria yang telah membimbing saya dalam penulisan makalah ini.
Saya sadar dalam makalah ini masih banyak kekurangan oleh karna itu saya sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, sehingga kedepannya saya dapat
membuat makalah yang lebih baik lagi.

Tangerang Selatan, 5 Juli 2017

Penyusun

2

DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL .................................................................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................4
C. Tujuan ............................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................5
A. Pengertian Hukum Adat.................................................................................5
B. Hukum Adat dalam Perundang-undangan......................................................7
C. Tinjauan Umum mengenai Hukum Tanah Adat Bali serta Pelaksanaan
Hukum Tanah Adat Bali.................................................................................9
1. Pengertian Desa Adat, Lembaga Hukum Adat, dan Hukum Waris Adat...9
2. Sejarah dan Pengertian Desa Pakraman/Desa Adat di Bali.......................11
3. Awig-awig dan Perarem dalam Hukum Tanah Adat Bali..........................13
4. Struktur Kelembagaan Desa Pakraman.....................................................15
5. Penanganan Konflik Pertanahan Adat dalam Hukum Tanah Adat Bali.....16
6. Pewarisan Tanah dalam Hukum Tanah Adat Bali.....................................18
BAB III PENUTUP....................................................................................................23
A. Kesimpulan.....................................................................................................23

B. Saran ............................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................26

3

Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai macam adat dan budaya. Adat dan
budaya tersebut memiliki aturan tersendiri yang digunakan untuk mengatur kehidupan
masyarakat adatnya. Dengan banyaknya adat dan budaya tersebut, pemerintah Indonesia
bermaksud untuk menasionalisasikan suatu aturan agar tidak terdapat perbedaan yang
mengakibatkan perpecahan, salah satunya dengan dibentuknya UU No. 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria atau yang sering dikenal dengan Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) yang mengatur tentang unifikasi aturan mengenai pertanahan.
Berlakunya UUPA merupakan perubahan yang mendasar dalam Hukum Tanah (Hukum
Agraria) Indonesia.
Hukum tanah merupakan hukum positif Negara Indonesia yang mengatur tentang
pertanahan di Indonesia, yang dalam penerapannya akan mencapai tujuannya jika memenuhi
3 aspek, antara lain : bernilai filosofis, yuridis, dan sosiologis. Pertama, aspek yang bernilai

filosofis berartikan bahwa hukum itu harus berdasarkan pada pancasila. Kedua, aspek yang
bernilai yuridis memiliki arti bahwa hukum itu diatur dalam bentuk suatu peraturan
perundang-undangan untuk mencapai kepastian hukum. Ketiga, aspek yang bernilai
sosiologis memiliki arti bahwa hukum itu harus mengandung nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat agar suatu hukum itu dapat diterima oleh masyarakat.
Berkaitan dengan aspek sosiologis tersebut, maka dalam pembuatan UUPA
dibutuhkan hukum adat yang merupakan hukum asli masyarakat Indonesia. Hukum adat
dibutuhkan,karena dapat memberikan sumbangan bagi pemikiran Hukum Tanah di Indonesia.
Jadi dalam pembentukan Hukum Tanah di Indonesia, tidak mengabaikan keberadaan hukum
Adat.

1

Ketentuan UUPA yang mengatur kedudukan hukum adat, selain ketentuan hukum
tersebut diatas dapat dilihat dalam bagian lain sebagai berikut :
Konsiderans Bagian Berpendapat A, UUPA
a) Bahwa berhubung dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan diatas perlu adanya
hukum Agraria nasional, yang berdasarkan hukum adat tentang tanah, yang sederhana
yang menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak
mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

b) Pasal 2 ayat (4) : Hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat
dikuasai kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat,
sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
c) Pasal 3 : Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak Ulayat dan
hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya
masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.
d) Penjelasan Pasal 5 : Penegasan hukum adat dijadikan dasar dari hukum Agraria yang
baru. Selanjutnya lihat Penjelasan Umum (III angka 1).
Berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum tersebut diatas, UUPA memberikan
kedudukan sebagai posisi dasar. Karena itu, hukum adat berlaku dalam kerangka UUPA
sebagai kesatuan tidak terlepas dari UUPA itu sendiri. Dengan perkataan lain, pasal-pasal
dalam UUPA merupakan kristalisasi dari asas hukum adat sehingga UUPA itulah
penjelmaan hukum adat. Pembentukan hukum Agraria nasional mempunyai 2 (dua)
kedudukan, yaitu : “Hukum adat sebagai dasar utama”. Hukum adat sebagai dasar utama
hukum Agraria nasional disimpulkan dari Konsiderans UUPA di bawah perkataan
“Berpendapat” dan dalam Penjelasan Umum III No. 1. “Hukum adat sebagai pelengkap”.
Hukum adat sebagai pelengkap mempunyai arti, yaitu bahwa pembentukan hukum nasional
yang mewujudkan kesatuan hukum, kepastian hukum, perlindungan hukum kepada

pemegang hak memerlukan suatu proses yang memakan waktu. Selama proses itu belum
selesai, hukum tertulis yang sudah ada tetapi belum lengkap, maka memerlukan pelengkap
agar tidak terjadi kekosongan hukum. Pemberian kedudukan hukum adat sebagai dasar
2

pembentukan UUPA pada hakekatya adalah merupakan pengakuan terhadap eksistensi
hukum adat yaitu : Pengakuan dan penegasan sebagai dasar hukum berlakunya hukum adat :
Pengakuan terhadap Hukum-hukum adat merupakan posisi dasar berlakunya hukum adat.
Hukum adat yang dimaksudkan UUPA adalah hukum adat hukum aslinya golongan rakyat
pribumi yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung
unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan yang
berdasrkan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan atau prinsip nasionalitas,
Pro kepentingan negara, Pro kepentingan bangsa, Pro Pancasila tidak bertentangan dengan
Undang-undang/peraturan perundangan yang lebih tinggi dan ditambah unsur agama.
Karena itu memberlakukan hukum adat dengan disertai dengan persyaratan, bahwa hukum
adat itu tidak boleh bertentangan dengan :
-

Kepentingan nasionalisme dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa.
Sosialisme Indonesia

Peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA
Peraturan-peraturan Perundangan lainnya.
Unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama
Pembatasan-pembatasan bagi berlakunya hukum adat tidaklah mengurangi arti

ketentuan pokok dalam UUPA, bahwa hukum Agraria memakai hukum adat sebagai dasar
dan sumber utama pembangunannya. Pengakuan hukum adat merupakan perlindungan
hukum masyarakat adat. Pengakuan hukum adat sebagaimana disebutkan dalam pasal 5
UUPA merupakan suatu bentuk keragu-raguan, terutama mengenai kemampuan hukum adat
dalam memenuhi tuntutan masyarakat modern. Hal ini terutama dilontarkan oleh penganut
paham kodifikasi yang intinya hukum adat tidak menjamin kepastian hukum.
Karakteristik daerah Bali sangat tampak dari kehidupan Agama Hindu, adat, dan
budaya yang menyatu padu dalam suasana harmonis dengan tidaklah terlepas dari peran
serta seluruh komponen serta warisan suatu prinsip kesatuan masyarakat yang ada jauh
sebelum Indonesia merdeka, yaitu Desa Adat. Maka sesuai dengan aspek sosiologis Hukum
Tanah Nasional Negara Indonesia yang mengharuskan Hukum Tanah yang sesuai dengan

3

nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, dan secara tidak langsung UUPA telah mengakui

keberadaan Hukum Tanah Adat di Desa Adat utamanya Bali.
Lalu bagaimanakah Eksistensi dan Pelaksanaan Hukum Tanah Adat Bali di
Lingkungan Desa Adat di Bali?
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang diatur dalam Hukum Tanah Adat khususnya yang diterapkan pada Desa
Adat yang ada di Bali?
2. Bagaimana penerapan serta pelaksanaan Hukum Tanah Adat Bali di Lingkungan Desa
Adat di Bali?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa saja yang diatur dalam Hukum Tanah Adat khususnya yang
diterapkan pada Desa Adat yang ada di Bali.
2. Untuk mengetahui penerapan serta pelaksanaan Hukum Tanah Adat Bali di Lngkungan
Desa Adat di Bali.

Bab II
Pembahasan
A. Pengertian Hukum Adat
Hukum adat merupakan istilah teknis ilmiah, yang menunjukkan aturan-aturan
kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat yang tidak berbentuk peraturan perundangan
yang dibentuk oleh penguasa pemerintahan. Beberapa definisi hukum adat yang dikemukakan

para ahli hukum, antara lain sebagai berikut:
1.

Prof.Van Vallenhoven, yang pertama kali menyebut hukum adat memberikan definisi
hukum adat sebagai : “ Himpunan peraturan tentang perilaku yang berlaku bagi orang
pribumi dan timur asing pada satu pihak yang mempunyai sanksi (karena
bersifat hukum)

dan

pada

dikodifikasikan (karena adat).

pihak

lain

Abdulrahman,


berada
SH

dalam

menegaskan

keadaan tidak
rumusan

Van
4

Vallenhoven dimaksud memang cocok untuk mendeskripsikan apa yang dinamakan
Adat Recht pada jaman tersebut bukan untuk Hukum Adat pada masa kini.
2.

Prof. Soepomo, merumuskan Hukum Adat: Hukum adat adalah synomim dari hukum
yang tidak tertulis di dalam peraturan legislative (statuary law), hukum yang hidup
sebagai konvensi di badan-badan hukum Negara (Parlemen, Dewan Propinsi dan

sebagainya), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di
dalam pergaulan hidup, baik di kota maupun di desa-desa.

3.

Prof. Soekanto, merumuskan hukum adat: Komplek adat adat inilah yang
kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan mempunyai
sanksi (dari itu hukum), jadi mempunyai akibat hukum, komplek ini disebut Hukum
Adat

4.

Prof. Soeripto: Hukum adat adalah semua aturan-aturan/ peraturan-peraturan adat
tingkah laku yang bersifat hukum di segala kehidupan orang Indonesia, yang
pada umumnya tidak tertulis yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para
anggota masyarakat, yang bersifat hukum oleh karena ada kesadaran keadilan umum,
bahwa aturan-aturan/ peraturan itu harus dipertahankan oleh petugas hukum dan
petugas masyarakat dengan upaya paksa atau ancaman hukuman (sanksi).

5.

Hardjito Notopuro: Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, hukum kebiasaan
dengan

ciri

khas

menyelenggarakan

yang
tata

merupakan

kedilan

dan

pedoman
kesejahteran

kehidupan
masyarakat

rakyat

dalam

dan

bersifat

kekeluargaan.
6.

Suroyo Wignjodipuro: Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang
bersumber apada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi
peraturan

tingkat

laku

manusia

dalam

kehidupan

sehari-hari

dalam

masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, karena mempunyai akibat hukum (sanksi).
7.

Seminar Hukum Adat dan pembinaan Hukum Nasional: Hukum adat diartikan
sebagai Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan
Republik Indonesia, yang disana sini mengandung unsur agama.
5

8.

Sudjito Sastrodiharjo menegaskan: Ilmu hukum bukan hanya mempelajari apa yang
disebut das sollen, tetapi pertama kali harus mengingat das sein. Hukum adat
merupakan species dari hukum tidak tertulis, yang merupakan genusnya.
Selanjutnya dalam memahami perkembangan hukum adat dalam masyarakat, maka

Prof. Van Vallenhoven merumuskan: Jikalau dari atas (penguasa) telah diputuskan untuk
mempertahankan Hukum Adat padahal hukum itu sudah mati, maka penetapan itu akan siasia belaka. Sebaliknya seandainya telah diputuskan dari atas bahwa Hukum Adat harus
diganti, padahal di desa-desa, di ladang-ladang dan di pasar-pasar hukum itu masih kokoh dan
kuat, maka hakim-pun akan sia-sia belaka. Dengan kata lain memahami hukum adat harus
dilakukan secara dinamik, dan selaras antara atas – yang memutuskan – dan bawah yang
menggunakan - agar dapat diketahui dan dipahami perkembangannya.
Menurut Soepomo, Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena
ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Dalam berbagai seminar, maka
berkembang kemudian hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) yang lazim
dipergunakan untuk, menunjukkan berbagai macam hukum yang tumbuh dan berkembang
dengan sendirinya di dalam masyarakat, yang menurut Satjipto Raharjo, akan tetap ada
sebagai kelengkapan dari Hukum Nasional. Penyebutan Hukum Adat untuk hukum yang tidak
tertulis tidak mengurangi peranannya dalam memberikan penyaluran dari kebiasaan,
kepentingan-kepentingan yang tidak terucapkan dalam hukum tertulis.

B. Hukum Adat dalam Peraturan Perundang-undangan
Pada tahun 2000 MPR melakukan amandemen II terhadap UUD 1945 dan pengaturan
tentang keberadaan MHA (Masyarakat Hukum Adat) yang keberadaannya diatur di dalam
Pasal 18 B ayat (2) dalam bab tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 28 l ayat (3) dalam bab
tentang Hak Asasi Manusia. Adapun bunyi lengkap kedua pasal tersebut adalah sebagai
berikut:

Pasal 18 B ayat (2) :
6

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Keratuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Pasal 28 l ayat (3):

“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban”.

Berbeda dengan perumusan Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 lama, dalam
perumusan Pasal 18 B ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 hasil amandemen tersebut
dicantumkan sejumlah persyaratan terhadap pengakuan dan penghormatan atas keberadaan
kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat tersebut. Asal-usul dan kedudukan istimewa yang
dimiliki daerah-daerah tersebut sebagaimana diakui oleh Pasal 18 Undang Undang Dasar
1945 lama tidak lagi diakui, sehingga harus dihapuskan dengan tidak dicantumkannya
kembali dalam U.U.D 1945 amandemen II.

Pengakuan terhadap hukum adat atau hak-hak adat khususnya dalam bidang
pertanahan salah satunya diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan peraturan di bawahnya. Dalam Penjelasan Umum
angka III Undang-Undang Pokok Agraria dinyatakan, bahwa : “Dengan sendirinya Hukum
Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak, oleh
karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria baru
tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum
yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam
negara yang modern dalam hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan
dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka Hukum Adat dalam
pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang
kapitalis dan masyarakat swapraja yang feodal”.
7

Dalam pasal 5 dinyatakan bahwa, “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan
ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia
serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini (UUPA) dan
dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu mengindahkan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama”. Selanjutnya dalam penjelasan pasal 16 dinyatakan
bahwa, Pasal ini adalah pelaksanaan daripada ketentuan dalam pasal 4. Sesuai dengan asas
yang diletakkan dalam pasal 5, bahwa Hukum Pertanahan yang Nasional didasarkan
atas Hukum Adat, maka penentuan hak-hak atas tanah dan air dalam pasal ini didasarkan
pula atas sistematik dari Hukum Adat.
Dalam pada itu hak guna usaha dan hak guna usaha bangunan diadakan untuk
memenuhi keperluan masyarakat modern dewasa ini, perlu kiranya ditegaskan bahwa hak
guna usaha bukan hak erepacht dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan hak guna
bangunan bukan hak opstal. Lembaga erepacht dan opstal ditiadakan dengan dicabutnya
ketentuan-ketentuan dalam buku ke II Kitab Undang-undang Hukum Perdata.Dalam pada itu,
hak-hak adat yang bersifat bertentangan dengan Undang-undang ini tetapi berhubungan
dengan keadaan masyarakat sekarang ini belum dapat dihapuskan, diberi sifat sementara dan
akan diatur.Pasal 56 juga menjelaskan bahwa, Selama undang-undang mengenai hak milik
sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat 1 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuanketentuan Hukum Adat setempat. Sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan
undang-undang ini (UUPA).

C. Tinjauan Umum mengenai Hukum Tanah Adat Bali serta Pelaksanaan Hukum
Tanah Adat Bali.
1. Pengertian Desa Adat, Lembaga Hukum Adat, dan Hukum Waris Adat.
1. Menurut Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, Desa Adat adalah pengakuan
masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum dalam sistem pemerintahan, yaitu

8

menetapkan unit sosial masyarakat hukum adat seperti nagari, huta, kampong, mukim
dan lain-lain sebagai badan hukum publik. Selanjutnya Pasal 103 UU Nomor 6 tahun
2014, Desa adat sebagai badan hukum publik mempunyai kewenangan tertentu
berdasarkan hak asal usul, yaitu :
1. Pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli atau dengan
kata lain pemerintahan berdasarkan struktur dan kelembagaan asli, seperti nagari,
huta, marga dan lain-lain,
2. Pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat, Pelestarian nilai sosial dan
budaya adat, Penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di
desa adat yang selaras dengan Hak Asasi Manusia,
3. Penyelenggaraan sidang perdamaian desa adat yang sesuai dengan UU yang
berlaku, Pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat desa adat
berdasarkan hukum adat, dan
4. Pengembangan kehidupan hukum adat.
Selain menjalankan tugas kewenangan berdasarkan hak asal usul diatas, desa
adat juga menjalankan kewenangan yang dilimpahkan pemerintah pusat dan daerah.
Sehingga desa adat adalah perpaduan unit sosial masyarakat adat dengan unit
pemerintahan. Dalam konteks ini, desa adat adalah kuasi-negara (State Auxalary
Bodies).
2. Menurut Teer Haar, lembaga hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusankeputusan warga masyarakat hukum, terutama keputusan yang berwibawa dari
kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum atau
dalam hal kepentingan keputusan hakim yang bertugas mengadili sengketa.
Sepanjang keputusan itu-keputusan itu tidak bertentangan dengan keyakinan hukum
rakyat, melainkan seirama dengan kesadaran tersebut, diterima/diakui atau setidaktidaknya ditoleransikan. Lembaga hukum adat menjadi suatu perkumpulan
masyarakat yang berpartisi aktif dalam pengelolaan sosial ekonomi, keagamaan dan
berbagai hal sebagai bentuk keterwakilan suatu komunitas dalam pembangunan.
9

3. Menurut Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat adalah hukum adat yang memuat
garis-garis ketentuan-ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang
harta warisan, pewaris dan ahli waris serta cara bagaimana harta warisan, itu
dialihkan penguasaan dan kepemilikannya dari kepada ahli waris. Hukum Waris Adat
di dalamnya terdapat adanya kesatuan dan berjenis-jenis dalam Hukum Adat
Indonesia, dapat disusun aturan-aturan pokok dan asas-asas yang sangat umum
berlakunya, tetapi tidak dapat disusun suatu aturan yang di semua lingkungan hukum
berperangai lahir yang sama. Dalam Hukum Adat ini para ahli waris tidak dapat
ditetapkan, karena di berbagai daerah itu terdapat bermacam-macam sistem
kekeluargaan. Jadi para ahli warisnya digolongkan berdasar sifat kekeluargaan
masing-masing. Tetapi yang pasti menjadi ahli waris adalah anak.

2. Sejarah dan Pengertian Desa Pakraman/Desa Adat di Bali
Dalam Lontar Markandya Purana diceritakan Maharsi Markandya datang ke Bali
bersama 8000 pengikutnya untuk membuka ladang pertanian di Desa Taro, Gianyar.6
Kedatangan ke Bali ini merupakan hasil pertapaan di Gunung Raung, Jawa Timur. Upaya
pembukaan lahan ini gagal karena banyak pengikuti Maharsi Markandya yang sakit dan
diserang binatang buas hingga ada yang meninggal dunia. Maharsi Markandya kemudian
kembali ke Gunung Raung untuk bertapa. Dari proses pertapaan ini, ada petunjuk untuk
mengadakan upacara keagamaan sebelum mulai membuka lahan. Setelah itu, Maharsi
Markandya bersama 4000 pengikutnya kembali ke Bali melakukan upacara Bhuta Yadnya
dan menanam panca datu (lima jenis logam) di kaki Gunung Agung. Tempat upacara ini
sekarang dikenal dengan nama Pura Penataran Agung di Besakih. Setelah upacara selesai,
perjalanan dilanjutkan ke Desa Taro untuk membuka lahan pertanian dan permukiman.
Semua perkerjaan untuk membuka lahan ini berjalan lancar. Maharsi Markandya
membagikan tanah kepada para pengikutnya. Untuk menghindari perselisihan, para
pengikutnya dibagi menjadi ikatan kelompok yang dipimpin seorang ketua (kelian) dan
beberapa pengurus (prajuru). Kelompok yang dibentuk memiliki batas wilayah tertentu
10

dan diberi tanggungjawab mengurus anggotanya berdasarkan peraturan yang disepakati
bersama.
Istilah desa pakraman sendiri diperkirakan berasal dari kata karaman yang ditemukan
dalam prasasti nomor 303 Bwahan (916 Saka) yang dikeluarkan Raja Udayana dan Ratu
Gunapriyadharmapatni, karaman I wingkang ranu Bwahan (artinya masyarakat di bintang
danu yaitu Bwahan). Menurut Goris dan Soekarto, karaman diartikan menjadi desa
sebagai suatu kesatuan hukum atau suatu wilayah tertentu yang diperintah oleh sejumlah
rama. Rama sendiri berasal dari kata ama yang berarti ayah yang kemudian mendapat
awalan ra. Dari penguraian kata pakraman ini kemudian lahir pengertian tempat
berkumpulnya para tetua yang merupakan tokoh adat atau tokoh agama.
Konsep desa yang dibentuk Rsi Markandya terus disempurnakan, termasuk pada
masa kedatangan Mpu Kuturan yang menambahkan tentang Tri Kahyangan, yakni tiga
Pura yang harus dimiliki desa, Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem.14 Ketiga Pura
(Kahyangan Tiga) ini menjadi simbol pemujaan Tri Murti yakni Dewa Brahma (Pura
Desa), Dewa Wisnu (Pura Puseh), dan Dewa Siwa (Pura Dalem). Kahyangan Tiga ini
juga sebagai implementasi dari konsep Tri Hita Karana.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan ada dua tipe desa di Bali, yakni desa
apanaga dan desa Bali Aga. Desa apanaga adalah desa-desa yang memakai sistem
kemasyarakatan mengikuti pola tata kemasyarakatan Majapahit. Desa-desa ini sebagian
besar berada di Bali dataran. Desa Bali Aga (Bali Mula) adalah desa-desa tua yang masih
kuat memegang sistem adat istiadat dan tidak atau sedikit kena pengaruh Majapahit.
Desa-desa ini kebanyakan berada di pegunungan. Ada juga yang menyebutkan tipe desa
baru, yakni desa-desa yang timbul akibat perpindahan penduduk yang didorong oleh
keinginan untuk mendapatkan lapangan penghidupan. Secara umum desa-desa di Bali
memiliki tata cara dan sistemnya sendiri yang disebut desa mawacara.
Kedatangan Belanda ke Bali tahun 1880-an dan menguasai Buleleng membuat
suasana menjadi berbeda. Pemerintah kolonial Belanda ikut mempengaruhi tatanan
kehidupan desa pakraman. Awalnya istilah yang muncul adalah desa adat berdasarkan
penelitian yang dilakukan F.A.Liefrinck terhadap desa-desa tua, masyarakat tradisional,
dan subak di Bali Utara tahun 1886-1887. Dari penelitian ini Liefrinck mendapat
11

gambaran tentang desa-desa tua yang hidup homogen dan dipimpin para tetuanya. Ia
menyebut desa di Bali sesungguhnya merupakan republik kecil yang memiliki hukum
atau aturan adat dan tradisi sendiri. Meskipun muncul raja-raja penakluk, desa di Bali
termasuk sukses melindungi dirinya dari dominasi bangsawan penakluk, sebagai republik
kecil, yang egaliter dan otonom. Susunan pemerintahan republik kecil ini sangat
demokratis dan masingmasing anggota memiliki hak-hak hukum yang sama. Orang yang
dipilih menjadi pemimpinan adalah orang yang paling lama menjadi anggota (dalam hal
ini tetua). Jika terjadi perbedaan pendapat di kalangan anggota, bisa dilakukan
pemungutan suara.
Dalam politiknya, Liefrinck menginginkan Bali sebagai daerah yang tak tersentuh,
daerah yang tidak mudah dipengaruhi budaya luar serta sistem tradisinya bisa
dimanfaatkan untuk kepentingan administrasi pemerintahan kolonial. Namun, Gubernur
Jenderal Van Heutsz berpendapat lain. Sebagai Gubernur Jenderal, ia ingin membangun
Bali memasuki era modern. Dari sinilah muncul dua sudut pandang yang berbeda yang
mempengaruhi wujud desa di Bali. Agama disamakan dengan aturanaturan tradisi (adat)
sedangkan administrasi masuk dalam domain negara kolonial Dari pendekatan ini
kemudian muncul istilah desa adat dan desa administrasi (desa dinas yang berasal dari
Bahasa Belanda, diens).
Penelitian selanjutnya dilakukan V.E. Korn yang memberi legitimasi hasil penelitian
Liefrinck mengenai desa-desa Bali yang bersifat otonom. Korn melakukan studi hukum
adat di Bali dan menghasilkan buku “Adatrecht van Bali” (1932) yang membuat desa
terkenal dengan hukum adatnya. Korn menemukan tiap desa di Bali memiliki awig-awig
yang membuat desa lebih mandiri dan otonom.
Dari beberapa penelitian di daerah-daerah lain ditemukan bahwa desa asli
diselenggarakan berdasarkan tradisi atau adat. Desa memiliki adat atau hukum-hukum
tradisi sebagai pedoman bermasyarakat. Istilah desa adat pun muncul sebagai hasil dari
penelitian-penelitian terhadap desa yang memiliki hukum adat dan hidup dengan
semangat otonomi. Ini membuat istilah desa adat muncul sebagai hasil studi kolonial.
Permasalahan yang muncul di desa adat ketika itu masih sederhana dan dapat diselesaikan
12

dengan cara sederhana pula. Permasalahan ini diselesaikan prajuru (pimpinan) desa adat
berdasarkan asas desa mawacara. Desa mawacara diartikan bahwa tiap desa adat
memiliki adat kebiasaan atau awig-awig dan perarem sendiri untuk mengatur kehidupan
di desanya.

3. Awig-awig dan Perarem dalam Hukum Tanah Adat Bali
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, setiap Desa Pakraman di Bali memiliki tatanan
hukum sosial adat berupa Awig-awig yang berbeda satu sama lainnya. Awig-awig
merupakan tata dalam hidup bermasyarakat. Masyarakat sendiri ditandai oleh beberapa
ciri, seperti adanya interaksi, ikatan, pola tingkah laku yang khas dalam semua aspek
kehidupan yang bersifat mantap dan kontinyu, serta adanya rasa identitas terhadap
kelompok dimana individu yang bersangkutan menjadi anggotanya. Dalam kehidupan
bermasyarakat, manusia akan senantiasa berhadapan dengan kekuatan-kekuatan manusia
lainnya, sehingga diperlukan adanya norma-norma dan aturan-aturan yang menentukan
tindakan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan.
Awig-awig yang dijadikan pegangan oleh prajuru desa pakraman dalam mengemban
kewajibannya, dibuat sesuai dengan situasi dan kondisi objektif masing-masing desa
pakraman. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan antar awig-awig desa pakraman yang
satu dengan yang lainnya walaupun secara geografis letaknya berdekatan. Perbedaan ini
dianggap normal dan lumrah sesuai dengan asas desa mawacara.
Dalam pasal 1 angka (11) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001
tentang Desa Pakraman menyebutkan, awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama
desa pakraman dan atau krama banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam
pelaksanaan Tri Hita Karana, sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama desa
pakraman/banjar pakraman masing-masing.
Dalam Bab VII tentang Awig-awig Desa Pakraman mengatur tentang
Pasal 11
(1) Setiap desa pakraman menyuratkan awig-awig-nya.
(2) Awig-awig desa pakraman tidak boleh bertentangan dengan agama, Pancasila,
Undang-undang Dasar 1945, dan hak asasi manusia.
Pasal 12

13

(1) Awig-awig desa pakraman dibuat dan disahkan oleh kraman desa pakraman melalui
paruman desa pakraman.
(2) Awig-awig desa pakraman dicatatkan di kantor Bupati/Wali Kota masing-masing.
Substansi awig-awig garis besarnya berisi Murdha Citta, Pamikukuh, Petitis, asasasas, norma atau kaidah, dan sanksi. Asas-asas misalnya gotong royong, tolong
menolong, musyawarah mufakat, saling asah saling asih saling asuh, paras paros, rukun
laras patut. Norma/kaidah dirumuskan dalam bentuk larangan, perintah, dan kebolehan.
Hal-hal yang dilarang, diperintahkan, dan dibolehkan harus mengacu pada pamikukuh
dan petitis yang telah ditetapkan. Norma-norma yang berupa perintah dan larangan,
rumusannya disertai sanksi yang jelas. Norma-norma yang berisi kebolehan, rumusannya
tidak disertai sanksi.
Isi awig-awig di bagian norma harus bersifat moderat dan fleksibel. Hal ini bertujuan
mengakomodir kebutuhan perkembangan zaman terutama yang berkaitan dengan
kependudukan, kebersihan lingkungan, kesejahteraan, dll. Umumnya awig-awig tertulis
hanya memuat pokok-pokok mengenai kehidupan desa pakraman.
Aturan pelaksanaan yang lebih rinci dituangkan dalam bentuk keputusan rapat desa
yang disebut perarem. Perarem memiliki kekuatan mengikat yang secara substansi bisa
dikelompokkan menjadi tiga, perarem penyahcah awig, perarem ngele/lepas, dan
perarem penepas wicara. Perarem penyahcah awig artinya aturan pelaksanaan dari awigawig tertulis yang sudah ada. Perarem ngele berupa keputusan paruman yang merupakan
aturan hukum baru yang tidak ada landasannya dalam awig-awig tertulis. Hal ini biasanya
dipakai untuk mengakomodir kebutuhan hukum baru untuk mengikuti perkembangan
masyarakat. Perarem penepas wicara merupakan keputusan paruman mengenai suatu
wicara (perkara) yang berupa persoalan hukum seperti sengketa maupun pelanggaran
hukum.
4. Struktur Kelembagaan Desa Pakraman
Saat ini secara terpusat di Bali, terdapat tiga bagian desa pakraman secara berurut
yaitu : 1 Desa Adat Agung (Tingkat Propinsi), 9 Desa Adat Madya (Tingkat Kabupaten),
Desa Adat Pakraman (Tingkat Kecamatan / Kelurahan / Desa).
Untuk wilayah desa pakraman yang luas, desa pakraman dibagi menjadi beberapa
banjar dengan Kelihan Banjar. Untuk banjar yang luas, banjar dibagi pula menjadi
14

beberapa kelompok wilayah tempat tinggal dengan berpedoman pada mata angin yang
dinamakan tempekan yang diketuai oleh seorang Kelihan Tempek. Kelihan Desa dibantu
oleh beberapa orang pengurus yang disebut prajuru desa adat yang terdiri dari Penyarikan
(sekretaris), Petengen (bendahara), Kesinoman Desa (Juru arah) dan prajuru lainnya yang
diadakan sesuai kebutuhan desa, serta Kelihan Banjar.
Pemilihan Prajuru, Kelihan Banjar, dan Kelihan Tempek ini juga dilakukan melalui
sangkepan desa. Desa pakraman dalam kelangsungan kehidupannya, memerlukan
saranasarana penunjang. Adapun yang merupakan unsur-unsur utama di desa pakraman
ialah Bala (unsur warga atau krama desa), Wahana (tempat untuk merencanakan,
mengkoordinir dan menuntun segala kegiatan warga) dan Kosa (perlengkapan, dana dan
fasilitas yang akan digunakan di semua kegiatan krama dalam mewujudkan cita-citanya).
5. Penanganan Konflik Pertanahan Adat dalam Hukum Tanah Adat Bali
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan baik dengan cara negosiasi atau mediasi
diselesaikan melalui musyawarah dan mufakat. Mengenai musyawarah mufakat ini
Koesnoe mengemukakan :
Di dalam masyarakat adat, istilah ini mengandung suatu pengertian yang isinya
primair sebagai suatu tindakan seseorang bersama orang-orang lain untuk menyusun
suatu pendapat bersama yang bulat atas sesuatu permasalahan yang dihadapi oleh seluruh
masyarakatnya. Dari itu musyawarah selalu menyangkut soal hidupnya masyarakat yang
bersangkutan. Sebagai suatu ajaran musyawarah menegaskan bahwa di dalam hidup
bermasyarakat, segala persoalan yang menyangkut hajat hidup dan kesejahteraan bersama
harus dipecahkan bersama sama oleh para anggota-anggotanya atas dasar kebulatan
kehendak mereka bersama (Moh. Koesnoe, 1979: 45).
Apabila penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berhasil maka desa pakraman
dapat menyelesaikannya melalui pengadilan. Pada sidang pertama di pengadilan maka
agenda yang dilakukan adalah mediasi.
Prajuru desa memiliki peranan dalam mencegah terjadi sengketa. Pencegahan dapat
dilakukan dengan sikap reponsif terhadap indikatsi-indikasi timbulnya konflik yakni
dengan berkoordinasi antara prajuru desa dengan warganya dan antara prajuru desa
dengan prajuru desa. Keberadaan prajuru adat sebagai pengurus desa pakraman berfungsi
sebagai negosiator dalam penyelesaian permasalahan adat. Kewenangan prajuru desa ini
15

merupakan implementasi dari otonomi desa pakraman. Wirtha Griadhi dan Widnyana
mengemukakan bahwa otonomi desa pakraman meliputi:
(1) Kewenangan menetapkan aturan hukumnya sendiri yang disebut awig-awig;
(2) Kewenangan menyelenggarakan pemerintahan desa pakraman secara mandiri; serta
(3) Mempunyai kewenangan persoalan-persoalan hukum (wicara) yang terjadi di
lingkungan wilayahnya, baik yang berupa pelanggaran hukum maupun sengketa (I Ketut
Sudantra dan AA Gede Oka Parwata (ed), tanpa tahun edisi:
Pendekatan antara prajuru desa ini merupakan kearifan lokal yang dimiliki oleh
masyarakat adat. Dilihat dari karakteristik sengketa pun, sengketa adat lebih efektif jika
diselesaikan melalui hukum adat. Dibandingkan hukum nasional yang state law itu,
hukum lokal yang folklaw itu memang tak mempunyai struktur-strukturnya yang politik,
namun kekuatan dan kewibawaannya memang tidak tergantung dari struktur-struktur
yang politik itu melainkan dari imperativa-imperativanya yang moral dan kultural.
Selain itu, terdapat pula sistem sanksi hukum adat dalam awig-awig desa pakraman.
Sanksi dalam awig-awig disebut dengan istilah pamidanda, mempunyai tujuan untuk
mengembalikan keseimbangan apabila terjadi gangguan keseimbangan hubungan dalam
aspek-aspek hubungan kewilayahan (palemahan), kemasyarakatan (pawongan), d
keagamaan (parhyangan). Pamidanda ini dalam literature hukum ataupun dalam
pemahaman masyarakat umum lazim dikenal sebagai sanksi adat.
Secara umum, bentuk-bentuk pamidanda (sanksi adat) ini terdiri dari tiga golongan,
yaitu sanksi yang berkaitan dengan harta benda (uang atau barang) disebut artha danda;
sanksi yang berkaitan dengan nestapa jiwa atau fisik disebut jiwa danda ; serta sanksi
yang berkaitan dengan upaya pengembalian keseimbangan alam gaib (niskala) disebut
panyangaskara danda. Bantuk-bentuk sanksi dari ketiga golongan sanksi di atas sangat
bervariasi dari yang sangat ringan sampai yang paling berat. Bentuk sanksi dari golongan
artha danda yang paling ringan, misalnya adalah berupa denda uang atau barang yang
disebut dedosan, kebakatan, dan lain-lain sedangkan yang berat adalah karampag
(hartanya disita untuk dijual kemudian hasilnya digunakan untuk melunasi kewajibannya
di desa). Bantuk sanksi dari golongan jiwa danda yang tergolong ringan misalnya adalah
kagelemekin (ditegur oleh prajuru atau dalam paruman), sedangkan yang berat adalah
16

kasepekang (dikucilkan) dan kanorayang makrama (dipecat sebagai kerama desa).
Bentuk sanksi dari golongan panyangaskara danda, misalnya adalah kewajiban nyarunin
desa (melakukan upacara korban suci untuk mengembalikan kesucian desa). Mekanisme
penjatuha sanksi umumnya di lakukan oleh desa pakraman secara berjenjang melalui
prajuru sesuai dengan tingkatannya (mulai dari prajuru banjar sampai prajuru desa) dan
disesuaikan dengan berat ringannya kesalahan atau akibat yang ditimbulkan (masor
singgih manut kasisipanya). Walaupun di sana-sini terjadi perlawanan dari kerama dalam
penerapan awig-awig (penjatuhan sanksi) sehingga muncul menjadi kasus yang dimuat di
media massa, secara umum awig-awig dan sanksi adat ditaati oleh kerama desa. Ketaatan
kerama desa terhadap awig-awig disebabkan awig-awig tersebut mempunyai legitimasi
sekala dan niskala. Secara sekala (alam nyata) awig-awig diterima dan ditatati karena
merupakan kesepakan bersama, dibuat secara demokratis melalui rapat (paruman) desa,
pada suatu forum dimana semua kerama desa mempunyai hak suara yang sama. Secara
niskala, awig-awig ditaati karena dianggap mempunyai tuah atau kekuatan gaib sebab
awig-awig baru diberlakukan setelah diadakan upacara pasupati atau pemelaspasan.

6. Pewarisan Tanah dalam Hukum Tanah Adat Bali
Setiap keluarga Hindu Bali mempunyai harta / kekayaan keluarga berupa harta benda
baik yang mempunyai nilai-nilai magis religius yaitu yang ada hubungannya dengan
keagamaan / upacara-upacara keagamaan dan harta tidak mempunyai nilai magis religius
antara lain: harta akas kaya, harta jiwa dana, harta druwe gabro.
Ditinjau dari macamnya, harta warisan menurut hukum adat dapat dibedakan
menjadi:
1)

Harta Pusaka
Harta Pusaka adalah harta yang mempunyai nilai magis religius dan
lazimnya tidak dibagi-bagi. Proses pewarisannya dipertahankan di lingkungan
keluarga secara utuh dan turun temurun jangan sampai keluar dari lingkungan
keluarga. Di Bali harta pusaka ini umumnya berkaitan dengan tempat-tempat
persembahyangan, sehingga keutuhannya tetap dipertahankan demi kepentingan
17

keagamaan dan bukan untuk kepentingan lain. Hal ini mengingat masyarakat Bali
yang mayoritas menganut agama Hindu. Adapun yang termasuk jenis harta pusaka di
Bali adalah sanggah, keris pengentas, alat-alat upacara, tanah bukti pemerajaan, laba
pura dan druwe tengah.
2) Harta bawaan
Harta bawaan adalah harta warisan yang asalnya bukan didapat karena jerih
payah bekerja sendiri dalam perkawinan melainkan merupakan pemberian karena
hubungan cinta kasih, balas jasa atau karena sesuatu tujuan. Pemberian ini dapat
terjadi dalam bentuk benda tetap atau barang bergerak. Di Bali harta bawaan ini
disebut harta bebaktan yang terdiri dari :
a) Harta akas kaya yaitu harta yang diperoleh suami / istri masing-masing atas jerih
payah sendiri sebelum masuk jenjang perkawinan. Setelah kawin dan mereka
hidup rukun sebagai suami istri, maka harta akas kaya ini jadi harta bersama /
druwe gabro.
b) Harta jiwa dana yaitu pemberian secara tulus ikhlas dari orang tua kepada
anaknya baik laki-laki maupun wanita sebelum masuk perkawinan. Pemberian
jiwa dana ini bersifat mutlak dan berlaku seketika, ini berarti bahwa penerima
jiwa dana dapat memindahtangankan harta tersebut tanpa meminta izin dari
saudara-saudaranya. Begitu pula apabila anak wanita yang kawin keluar, istri
yang cerai dari suamnya, ia tetap berhak membawa harta jiwa dana tersebut.

3)

Harta bersama
Harta bersama yaitu harta yang diperoleh suami istri dalam perkawinan. Pada
hukum adat Bali disebut harta druwe gabro. Penyebutan istilah harta bersama ini
ternyata belum ada keseragaman di Bali, ada yang menyebut guna kaya, maduk
sekaya, pekaryan sareng, peguna kaya, sekaya bareng kalih dan sebagainya. Apabila
terjadi perceraian, barang-barang yang disebut barang guna kaya (druwe gabro) itu
harus dibagi dua sama rata.
18

Menurut hukum adat anak-anak dan si peninggal warisan merupakan golongan ahli
waris yang terpenting. Oleh karena mereka pada hakikatnya merupakan satu-satunya
golongan ahli waris, sebab lain-lain anggota keluarga tidak mejadi ahli waris, apabila si
peninggal warisan meninggalkan anak-anak. Jadi dengan adanya anak-anak, maka
kemungkinan lain-lain anggota keluarga dari si peninggal warisan untuk menjadi ahli
waris tertutup.
Menurut hukum adat Bali yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal maka yang
menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak sebagai ahli
waris. Sebagai pengecualian dari sistem patrilineal dalam hukum kekeluargaan Bali,
apabila pewaris hanya mempunyai anak perempuan maka si anak dapat dijadikan sentana
rajeg (ahli waris) dengan melakukan perkawinan nyeburin yaitu di wanita kawin dengan
si laki-laki dengan menaik laki-laki itu ke alam keluarganya. Di sini si wanita menjadi
berkedudukan sebagai laki-laki, sedangkan si laki-laki berkedudukan sebagai perempuan.
Bagi si wanita akan berlaku hukum kewarisan yang lazim berlaku untuk laki-laki di
keluarga itu. Bagi laki-laki yang kawin nyeburin, kedudukannya dalam warisan adalah
sebagai wanita.
Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan sama sekali, maka pewaris mengangkat
anak laki-laki dari saudara kandung lelaki tersebut, demikian seterusnya sehingga hanya
anak laki-laki yang jadi ahli waris dan terhadap segala sesuatu harus didasarkan atas
musyawarah dan mufakat para anggota kerabat. Di Bali akibat dari pengangkatan anak
(Adopsi) dalam hukum adat adalah bahwa anak itu mempunyai kedudukan sebagai anak
yang lahir dari perkawinan suami istri yang mengangkatnya sama seperti anak kandung
dan hubungan dengan keluarga asal jadi putus. Demikian halnya dengan kedudukan anak
angkat di Bali pada umumnya anak sentana memperoleh kedudukan dan hak (antara lain
hak waris) yang sama dengan seorang anak kandung.
KEDUDUKAN JANDA DALAM HUKUM WARIS ADAT BALI

19

Secara umum menurut ketentuan hukum waris adat bahwa untuk menentukan siapa
yang menjadi ahli waris digunakan dua garis pokok keutamaan dan garis pokok
penggantian.
Garis pokok keutamaan merupakan suatu garis hukum yang menentukan urutan
keutamaan di antara golongan-golongan dalam keluarga pewaris, dengan pengertian
bahwa golongan yang satu lebih diutamakan yaitu yang pertama adalah keturunan pewaris
(anak-anak pewaris), yang kedua orang tua pewaris, yang ketiga saudara pewaris beserta
keturunannya dan yang keempat kakek nenek pewaris.
Adapun garis pokok penggantian merupakan garis hukum yang bertujuan untuk
menentukan siapakah di antara orang di dalam kelompok keutamaan tertentu. karena garis
hukumnya menyatakan bahwa janda bukan ahli waris (almarhum) suaminya. Sehingga
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1)

Janda berhak akan jaminan nafkah seumur hidupnya, baik dari barang gono gini
mapun dari hasil barang asal suami, jangan sampai terlantar selanjutnya sesudah
suaminya meninggal dunia.

2)

Janda berhak menguasai harta peninggalan suaminya, untuk menarik penghasilan
dari barang-barang itu, lebih-lebih jika mempunyai anak. Harta itu tetap merupakan
kesatuan di bawah asuhan yang tidak dibagi-bagi;

3)

Janda berhak menahan barang asal suaminya, jikalau dan sekedar harta selama barang
asal itu sungguh-sungguh diperlukan olehnya, untuk keperluan nafkahnya ;

4)

Janda berhak mendapat bagian atau menuntut sebesar bagian anak di dalam keadaan
terpaksa diadakan pembagian dengan anak, misalnya janda kawin lagi. Anak minta
sebagian untuk modal berusaha dan sebagainya.

20

Bab III
Penutup

A. Kesimpulan
Pemberian kedudukan hukum adat sebagai dasar pembentukan UUPA pada hakekatya
adalah merupakan pengakuan terhadap eksistensi hukum adat yaitu: Pengakuan dan
penegasan sebagai dasar hukum berlakunya hukum adat: Pengakuan terhadap Hukum-hukum
21

adat merupakan posisi dasar berlakunya hukum adat. Hukum adat yang dimaksudkan UUPA
adalah hukum adat hukum aslinya golongan rakyat pribumi yang merupakan hukum yang
hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat
kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berdasrkan keseimbangan serta diliputi oleh suasana
keagamaan atau prinsip nasionalitas.
Hukum adat merupakan istilah teknis ilmiah, yang menunjukkan aturan-aturan
kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat yang tidak berbentuk peraturan perundangan
yang dibentuk oleh penguasa pemerintahan. Sesuai dengan asas yang diletakkan dalam pasal
5 UUPA, bahwa Hukum Pertanahan yang Nasional didasarkan atas Hukum Adat, maka
penentuan hak-hak atas tanah dan air dalam pasal ini didasarkan pula atas sistematik dari
Hukum Adat.
Menurut Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, Desa Adat adalah pengakuan
masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum dalam sistem pemerintahan, yaitu menetapkan
unit sosial masyarakat hukum adat seperti nagari, huta, kampong, mukim dan lain-lain sebagai
badan hukum publik. Desa Adat atau di Bali disebut Desa Pakraman memiliki adat atau
hukum-hukum tradisi sebagai pedoman bermasyarakat. Istilah desa adat pun muncul sebagai
hasil dari penelitian-penelitian terhadap desa yang memiliki hukum adat dan hidup dengan
semangat otonomi. Ini membuat istilah desa adat muncul sebagai hasil studi kolonial.
Permasalahan yang muncul di desa adat ketika itu masih sederhana dan dapat diselesaikan
dengan cara sederhana pula. Permasalahan ini diselesaikan prajuru (pimpinan) desa adat
berdasarkan asas desa mawacara. Desa mawacara diartikan bahwa tiap desa adat memiliki
adat kebiasaan atau awig-awig dan perarem sendiri untuk mengatur kehidupan di desanya.
Menurut hukum adat Bali yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal maka yang
menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak sebagai ahli waris.
Sebagai pengecualian dari sistem patrilineal dalam hukum kekeluargaan Bali, apabila pewaris
hanya mempunyai anak perempuan maka si anak dapat dijadikan sentana rajeg (ahli waris)
dengan melakukan perkawinan nyeburin yaitu di wanita kawin dengan si laki-laki dengan

22

menarik laki-laki itu ke alam keluarganya. Di sini si wanita menjadi berkedudukan sebagai
laki-laki, sedangkan si laki-laki berkedudukan sebagai perempuan. Bagi si wanita akan
berlaku hukum kewarisan yang lazim berlaku untuk laki-laki di keluarga itu. Bagi laki-laki
yang kawin nyeburin, kedudukannya dalam warisan adalah sebagai wanita.

B. Saran
1. Perlu disahkan dengan segera Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Adat (PPMA), sesuai yang diamanatkan pada Pasal 18B ayat
(2) UUD 1945 sebagai hasil amandemen kedua pada tahun 2000 yang berbunyi: “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak
tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Diharapkan dari sahnya RUU PPMA menjadi UU, persoalan konflik yang terjadi antara
masyarakat adat, baik dengan pemerintah atau swasta terkait pengelolaan sumber daya
alam, tanah dan lainnya bisa terselesaikan secara hukum dan tidak mengabaikan hak-hak
masyarakat adat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. Perlu adanya Peraturan Daerah (Perda) yang lebih komprehensif mengatur Pelaksanaan
Desa Adat dan Hukum Adat pada Desa Adat diluar Provinsi Bali khususnya pada DesaDesa Adat Baduy yang hingga saat ini pada Perda Kabupaten Lebak yang menaungi Desa
Adat Suku Baduy, masih sebatas mengatur perlindungan hak ulayat saja, berbeda dengan
Provinsi Bali yang telah memiliki berbagai produk hukum lokal yang komprehensif
mengatur Pelaksanaan Desa Adat dan Hukum Adat Bali mulai dari struktur kelembagaan,
peraturan adat, hingga pengamanan desa oleh pecalang.

23

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman

24

Hendriatiningsih, S. Budiartha, Agus. Hernandi, Andri. 2008. Masyarakat dan Tanah Adat di Bali:
Studi Kasus Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, Jurnal Sosioteknologi ITB, Institut Teknologi
Bandung, Bandung.
Soearningsih, Luh Gede. 2015. Tesis Penyelesaian Sengketa Tanah Adat yang dijadikan Tempat
Pendidikan Oleh Pemerintah Daerah : Studi Kasus Di Desa Pakraman Bale Agung Tenaon,
Alasangker Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng. Tesis Program Magister Kenotariatan Program
Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.
Paramartha, I Gusti Ngurah Budi. 2015. Landasan Yuridis dan Makna Pengukuhan Awig-Awig Desa
Pakraman Oleh Bupati/Wali Kota. Tesis Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Udayana, Denpasar.
Priyanto, I Made Dedi. Suandi, I Wayan. Bunga, Dewi. Purwanto, I Wayan Novy. Peranan Prajuru
Desa dalam Penyelesaian Sengketa Perebutan Tanah Kuburan (Setra):Studi Kasus Di Desa
Pakraman Kerobokan dan Desa Pakraman Padang Sambian.Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas
Jendral Soedirman, Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto.
Beni, I Wayan. 1988.Warisan adat Bali, Tabanan:Agung Dharma Putra
Hadikusuma, Hilman.2003.Hukum Waris Adat, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti
Panetje, I Gede.1986.Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali,Cetakan I,Denpasar:Kayumas
http://legal-community.blogspot.co.id/2011/08/hukum-adat-dalam-uupa.html
http://aay-arie.blogspot.co.id/2011/02/awig-awig-subak-penanganan-konflik.html

25