ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN SATWA BURUNG YANG DILINDUNGI (STUDI BKSDA LAMPUNG)

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN SATWA

BURUNG YANG DILINDUNGI (STUDI BKSDA LAMPUNG)

Oleh

AKHMAD SOFYAN KAMAL

Indonesia merupakan negara yang mempunyai keragaman jenis satwa seperti jenis burung, mamalia dan lainnya, namun di balik keragaman satwa yang dimiliki Indonesia banyak satwa yang terancam punah bahkan untuk jenis-jenis burung yang dikarenakan maraknya perdagangan ilegal hewan hewan yang dilindungi, sedangkan keberadaannya memiliki peran yang cukup strategis sebagai penjaga keseimbangan lingkungan ataupun sebagai obyek penelitian. Sehingga perlu mendapatkan perlindungan dalam rangka menjamin kelangsungan kelestariannya dari ancaman kepunahan. Balai konservasi sumberdaya alam Lampung mencatat lebih dari 100.000 (seratus ribu) ekor burung paruh bengkok (kakaktua dan nuri) ditangkap dari alam Papua dan Maluku setiap tahunnya. Untuk memahami pentingnya penegakan hukum kepada para pelaku tindak pidana perdagangan satwa yang dilindungi seperti yang telah dipaparkan berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini dalam bentuk skripsi yang berjudul Analisis Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Satwa Burung yang Dilindungi.

Pendekatan dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan dengan dua cara, yakni pendekatan masalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan secara yuridis normatif( liberary research ) adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama, menelaah beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi hukum, pandangan, dan doktrin-doktrin hukum, peraturan dan sistem hukum yang berkenaan dengan skripsi yang sedang dibahas atau menggunakan data sekunder diantaranya ialah asas, kaidah, norma, dan aturan hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya.


(2)

Akmad Sofyan Kamal

Penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan satwa burung oleh BKSDA merupakan sebagai perwujudan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 104 Tahun 2003 yang dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: tahap jalur penal yaitu menerapkan Pasal 21 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1990, dan tahap non penal yaitu berupa penyelesaian secara administratif. Penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan ilegal satwa burung dirasa belum berjalan secara maksimal. BKSDA sendiri dalam melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan ilegal satwa burung lebih mengutamakan kebijakan non penal, yaitu penyelesaiannya dilakukan dengan cara administratif dengan memberikan sanksi berupa peringatan baik secara lisan maupun secara tertulis, penyitaan satwa dilindungi baik dalam keadaan hidup maupun penutupan atau penghentian kegiatan penangkaran satwa burung dari jenis yang dilindungi untuk sementara waktu.


(3)

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN SATWA

BURUNG YANG DILINDUNGI (STUDI BKSDA LAMPUNG)

Oleh

Akhmad Sofyan Kamal

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(4)

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN SATWA

BURUNG YANG DILINDUNGI (STUDI BKSDA LAMPUNG)

(Skripsi)

Oleh

Akhmad Sofyan Kamal

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup... 6

C. Tujuan dan kegunaan penelitian... 7

D. Kerangka teoritis dan konseptual ... 8

E. Sistematika penulisan... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penegakan hukum pidana ... 14

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pidana... 20

C. Perdagangan ilegal satwa burung yang dilindungi... 26

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan masalah ... 33

B. Sumber dan jenis data ... 34

C. Penentuan populasi dan sampel ... 35

D. Prosedur pengumpulan dan pengolahan data... 36

E. Analisis data ... 37

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristis Responden... 38

B. Penegakan Hukum Pidana terhadap pelaku Tindak Pidana Perdagangan Ilegal Satwa Burung yang Dilindungi... 39


(6)

C. Faktor-Faktor yang Menghambat Penegakan Hukum Pidana terhadap pelaku Tindak Pidana Perdagangan Ilegal Satwa Burung ... 49

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 55 B. Saran... 56

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(7)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda. Nawawi. Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Semarang; Makalah Seminar Kriminologi Ui, Hukum UNDIP, 1991.

---Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Bandung; Rineka Cipta. 1996. Friedman, Lawrence. M. Law And Society ( An Introduction ), Englewood Cliff,

N.J Prentice Hall, Inc. 1979.

Gosita, Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti. 1989.

Husin, Sanusi. 1996. Penuntun Praktis Penulisan Skripsi. Bandar Lampung, Universitas Lampung.

Marpaung, Leden. Tidak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan, Dan Satwa, Jakarta; Erangga. 1995.

---Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Bandung; Alumni. 1984. Moeljatno.Asas-Asas Hukum Pidana,Jakarta; Rineka Cipta. 1993.

Puspawidjaja, Rizani. 2006. Metodologi Penelitian ( Transparansi Kuliah ), Bandar Lampung, Universitas Lampung.

Rahardjo, Sadjipto.Ilmu Hukum,Bandung; Cipta Aditya Bakti.1996.

Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta; Rajawali. 1983.

---Kejahatan dan penegakan hukum,Jakarta; Rineka cipta. 1995.

Undang-Undang No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya.

Undang-Undang No.5 Tahun 1990 TentangKonservasi Sumber Daya Alam Pasal 21 ayat 2 huruf (a) jo pasal 40 ayat 2

Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar


(8)

www.wildifecrimeunit.com

www.bksdadkijakarta.com/category/artikel,Situs

http://id.wikipedia.org/wiki/CITES


(9)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Eko Raharjo,S.H.,M.H ………

Sekretaris/Anggota : Deni Achmad,S.H.,M.H ………

Penguji Utama : Tri Andrisman,S.H.,M.H ………

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S. H., M. S. NIP 19621109 198703 1 003


(10)

MOTTO

KESABARAN mengalahkan segalanya

Jangan pernah menunda pekerjaan, karena itu

awal dari sebuah kegagalan


(11)

PERSEMBAHAN

Puji syukur ku ucapkan ke hadirat Allah SWT, serta shalawat dan salam tak hentinya kita sampaikan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW.

Penulis persembahkan karya skripsi ini untuk:

Bapak dan Ibu tercinta yang dengan penuh pengorbanan memberikan dorongan moril dan kasih sayang, serta adikku Lutfi Kurniawan yang selalu memberikan semangat,

sehingga penulis berhasil menyelesaikan perkuliahan ini.

Teman-teman seperjuangan selama masa kuliah yang telah banyak membantu, baik dalam suka maupun duka.

Para dosen pembimbing dan pengajar, terima kasih untuk bantuan dan dukungannya dalam pembuatan skripsi ini.


(12)

SANWACANA

Alhamdulillahirobbil’alamien. Segala puji syukur hanyalah milik Allah SWT,

Rabb seluruh Alam yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyeleasaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul : ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN SATWA BURUNG YANG DILINDUNGI. (STUDI BKSDA LAMPUNG)

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Pj. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., Selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H. Selaku Dosen Pembimbing pertama yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi ini.


(13)

4. Bapak Deni Achmad,S.H.,M.H. Selaku Dosen Pembimbing kedua, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan dukungan, pengarah, motivasi, dan sumbangan pemikiran, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi. 4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. sebagai Pembahas Pertama yang telah

banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Ibu Firganefi, S.H., M.H. Sebagai Pembahas Kedua yang telah banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Desy Churul Aini, S.H., M.H selaku Pembimbing Akademik selama penulis

menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

7. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Seluruh staf dan karayawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas bantuannya selama penyusunan skripsi.

9. Bapak dan Ibu tercinta atas kasih sayang, pengorbanan serta doa tulus dari setiap sujudmu yang selalu mengiringi setiap langkahku dan menanti keberhasilanku.

10. Adikku tersayang beserta seluruh keluarga besarku terimakasih atas

dukungan dan do’a yang selama ini telah diberikan.

11. Sahabat-sahabatku : Sigit Muhamad Aliudin, Nurul Fatah, Aloysius Gary, Wisnu Dwi Kusuma, Dauzan Deriyansah Praja, Joko Aprianto, Farel Akromi, Reza Patriansah, Emilsa Hendrayitna, Bayu Kamandaka, Jefri


(14)

Kurniawan Tobing, Hengki Kurniawan. Yang telah memberi doa dan dukungannya selama ini.

12. Semua teman-temanku Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung Angkatan 2008 yang terhormat dan seluruh teman fakultas hukum yang tidak dapat disebutkan satu persatu terimakasih atas doa dan dukungannya.

13. Terima kasih juga buat teman-teman semasa KKN

14. Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman berharga.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Februari 2013 Penulis


(15)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang mempunyai keragaman jenis satwa seperti jenis burung, mamalia dan lainnya, Namun di balik keragaman satwa yang dimiliki Indonesia banyak satwa yang terancam punah bahkan untuk jenis-jenis burung yang dikarenakan maraknya perdagangan ilegal hewan hewan yang dilindungi, sedangkan keberadaannya memiliki peran yang cukup strategis sebagai penjaga keseimbangan lingkungan ataupun sebagai obyek penelitian. sehingga perlu mendapatkan perlindungan dalam rangka menjamin kelangsungan kelestariannya dari ancaman kepunahan.

Balai konservasi sumberdaya alam Lampung mencatat lebih dari 100.000 (seratus ribu) ekor burung paruh bengkok (kakaktua dan nuri) ditangkap dari alam Papua dan Maluku setiap tahunnya.1 Meskipun beberapa jenis diantaranya tidak masuk daftar dilindungi namun pengambilan dari kawasan dilindungi yang melebihi kuota, sudah cukup untuk dapat ditindak sesuai dengan aturan yang berlaku di negara ini.

Masalah perdagangan ilegal satwa yang dilindungi ini telah menjadi masalah nasional bahkan internasional yang dapat dilihat dari di tandatanganinya

1


(16)

2

convention on international trade in endangered species of wild flora and fauna

(CITES), yaitu sebuah kesepakatan internasional dalam hal perdagangan kehidupan liar (satwa dan tumbuhan) pada tahun 1973. Sehingga pada tahun 1978 Pemerintah Indonesia meratifikasi CITES2, dengan dikeluarkannya keputusan presiden No. 43 Tahun 1978 yang memuat daftar nama jenis-jenis satwa dan tumbuhan liar yang termasuk dalam kategori kelangkaan3.

Mengenai perdagangan satwa yang dilindungi itu sendiri telah diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Jo Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Pasal 21 Ayat (2), menegaskan bahwa segala bentuk aktifitas manusia diluar penyelamatan suatu jenis tanpa ada izin dari pemerintah dalam hal ini Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) adalah ilegal. Namun kenyataannya untuk kasus perdagangan ilegal satwa yang di lindungi di lapangan, para pelaku kejahatan tersebut tidak mendapat sanksi hukum atau diproses secara hukum, melainkan hanya menandatangani surat pernyataan serah terima saja. Selain itu perdagangan satwa sebenarnya telah diatur oleh BKSDA dengan suatu kuota yang diroling secara berkala.

Meskipun demikian tindak pidana perdagangan ilegal satwa yang dilindungi ini makin meningkat, kurang ditaatinya aturan hukum tersebut seolah-olah hukum

2

http://id.wikipedia.org/wiki/CITES Situs di akses tanggal 20 jam 19.05

3

http://www.menlh.go.id/perundang-undangan/keputusan-presiden/keputusan-presiden-no-43- tahun-1978-tentang-convention-on-international-trade-in-endangered-species-of-wild-fauna-and-flora, Situs diakses tanggal 20 jam 19.10


(17)

3

tersebut tidak pernah ada. Hal ini terbukti dari semakin menurunnya jumlah satwa di alam bebas serta makin banyaknya jumlah pedagang satwa baik yang membuka kios permanen maupun yang menjual secara berpindah-pindah baik secara legal maupun secara ilegal, namun para pelaku tidak mendapat atau kurang mendapat sanksi yang tegas. Hal tersebut sangat tidak sebanding dengan kerugian yang dialami negara tidak hanya secara finansial bahkan populasi hewan mengalami penurunan dan bisa saja berpotensi mengalami kepunahan, itu merupakan kerugian yang sangat besar yang diperoleh negara apabila hal tersebut dilakukan terus-menerus. Jumlah uang yang berputar dalam bisnis ilegal tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah denda yang tertera dalam undang-undang, dan jauh lebih besar lagi dari putusan pengadilan.

BKSDA yang juga merupakan lembaga kerja dari departemen kehutanan, menargetkan penurunan kerugian alam maupun ekonomi akibat aksi dari perdagangan satwa yang dilindungi tersebut, dengan dibentuknya tim khusus

wildlife crime unit (WCU) atau unit kejahatan satwa liar yang merupakan usaha kolaboratif dari lembaga lembaga yang serius menangani masalah kejahatan lingkungan tersebut. Salah satu program jangka panjang WCU adalah melakukan monitoring pasar yang memperdagangkan satwa yang dilindungi secara berkal dan berkesinambungan.

Maraknya perdagangan satwa yang dilindungi yang dilakukan secara ilegal oleh warga sipil dikarenakan kurang tegasnya sanksi hukum yang diberikan kepada para pelaku tindak kejahatan tersebut, serta kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan kelestarian satwa tersebut, selain itu kejahatan terhadap satwa


(18)

4

liar hanya dipandang sebagai tindak pidana ringan. Tapi kenyataannya, kerugian yang dialami negara berada satu tingkat dibawah kerugian negara yang tercatat oleh badan narkotika nasional (BNN) dari peredaran narkoba.

Peranan pemerintah juga instansi terkait seperti dinas kehutanan sangat penting dalam pemberantasan perdagangan satwa secara ilegal. Penanganannya harus segera ditindaklanjuti karena kejahatan teradap satwa yang dilindungi paling sering terjadi namun kurang mendapat perhatian dari masyarakat dan pemerintah. Sehingga, dirasa perlu dikeluarkannya suatu peraturan perundang-undangan menyangkut pengelolaan, pemanfaatan, dan pelestarian satwa yang dilindungi secara khusus.

Wildlife Conservation Society-Indonesia Program(WCS-IP) mengatakan persentasi perdagangan satwa di Indonesia secara ilegal didapat bahwa satwa atau binatang-binatang terbesar yang diperdagangkan di Pasar Burung di Indonesia 80% berasal dari tangkapan langsung dari alam. Jumlah tertinggi satwa tangkapan dari alam adalah jenis Burung. Jenis burung jumlah peminatnya baik tingkat nasional maupun international ternyata cukup tinggi.4

Selain itu adalah perdagangan Gading Gajah. Narasumber menyebutkan bahwa sekitar 4 Ton Gading gajah di perdagangkan di Pasar Gelap sepanjang 4 tahun terakhir. Bisa kita bayangkan kalau satu gading gajah utuh itu beratnya 15 kg, sepasang 30 kg, berapa ekor gajah terbunuh untuk mendapatkan jumlah mencapai

4


(19)

5

empat ton. Sangat memprihatinkan. Berikutnya, sekitar 2000 trenggiling diburu dan di kuliti untuk memenuhi permintaan pasar nasional dan international.

Dan sekitar 1000 Nuri dan Kakatua keluar dari habitatnya dikirim ke jawa hingga pasar luar negeri. Modus operandinya pun macam-macam. Ada yang di masukan kedalam Termos air, Pipa PVC dan Tas atau dimasukan dalam dek kapal. bahkan kadang burung-burung itu dibawa oleh kapal-kapal pergantian pasukan di daerah konflik.

Beberapa upaya penegakan hukum terhadap perdagangan satwa yang dilindungi yang pernah di tangani BKSDA tidak pernah sampai pada proses penyidikan dan penyelidikan di kepolisian penindakan hanya sebatas pada penyitaan dan penandatanganan pernyataan serah terima barang bukti dari pelaku kepada petugas dari polisi kehutanan dan kepolisian daerah.

Sebagai contoh kasus, Saslani (36), penyalur burung di Pasar Pramuka, Jakarta Timur, yang merupakan warga Jepara, Jawa Tengah, dibekuk beserta 30 satwa dilindungi oleh BKSDA Lampung dan Kepolisian Sektor Kawasan Pelabuhan (KSKP) Bakauheni, Minggu (11/12) lalu. “Pada hari itu, BKSDA Lampung mendapat informasi dari Forum Anti Perdagangan Satwa Jakarta yang menyebutkan ada seseorang membawa satwa dilindungi menumpang bus umum Kurnia jurusan Jakarta-Medan,” kata Darori. Berbekal informasi itu, petugas BKSDA dibantu KSKP kemudian melakukan pengetatan di pos pintu jaga keluar Pelabuhan Bakauheni.


(20)

6

Berdasarkan hasil pemeriksaan, terdapat beberapa satwa liar yang dilindungi (Kakaktua jambul kuning dan Burung Baya) . Pemilik satwa tersebut diamankan dan digelandang ke kantor BKSDA Lampung. Dari hasil pemeriksaan, satwa-satwa itu akan diselundupkan ke luar negeri melalui Medan.

Tindakan penyelundupan tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya terutama pasal 21 ayat 2 huruf (a) jo pasal 40 ayat 2 dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,-. Namun sayangnya si pelaku tidak mendapat sanksi apa-apa. Meskipun sudah terbukti, pelaku melanggar Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang No.5 Tahun 1990.

Untuk memahami pentingnya penegakan hukum kepada para pelaku tindak pidana perdagangan satwa yang dilindungi seperti yang telah dipaparkan berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini dalam bentuk skripsi yang berjudul Analisis Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Satwa Burung yang Dilindungi.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi adalah:

1. Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perdagangan satwa yang dilindungi?


(21)

7

2. Faktor-faktor apakah yang menghambat penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan satwa yang dilindungi?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penulisan ini hanya difokuskan pada masalah penegakan hukumterhadap tindak pidana perdagangan ilegal satwa yang dilindungi serta faktor-faktor penghambat yang menyebabkan penegakan hukum tersebut tidak berjalan lancar.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan dalam penulisan ini adalah:

a. untuk mengetahui penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat hukum dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan satwa yang dilindungi, apakah sudah berjalan sesuai dengan peraturan yang ada

b. mengetahui faktor-faktor penghambat yang dihadapi oleh para aparat hukum dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan satwa yang dilindungi secara ilegal

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki dua kegunaan, yaitu kegunaan teoritis dan kegunaan praktis yaitu:


(22)

8

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis diharapkan ini dapat memperluas cakrawala berfikir bagi penulis dalam kasus tersebut, serta agar dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi mahasiswa fakultas hukum dalam mengembangkan dan memperluas ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pada umumnya, dan khsusnya mengenai pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, terhadap tindak pidana perdagangan ilegal satwa yang dilindungi.

b. Kegunaan Praktis diharapkan agar penulis dapat mengetahui penegakan hukum yang dilakukan oleh negara berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, terhadap tindak pidana perdagangan ilegal satwa yang dilindungidan faktor penghambat penegakan terhadap pelaku tindak pidana perdagangan ilegal satwa yang dilindungi.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstaksi dari pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya dapat berguna untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.5 Pada setiap penelitian selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Hal ini karena adanya hubungan timbal balik yang berat antara teori dengan kegiatan pengumpulan data.

5


(23)

9

Pada masalah penegakan hukum pemikiran harus diarahkan kepada apakah berlaku atau tidaknya hukum tersebut dimasyarakat. Pada masalah ini pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan kepada bagaimana kesadaran hukum masyarakat serta para penegak hukum dilihat dari bagaimana menerapkan sebuah peraturan yang membawa dampak positif bagi upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perburuan dan perdagangan ilegal satwa yang dilindungi dalam proses peradilan pidana, ,maka terdapat tahap-tahap pemberlakuanngya sebagai berikut:

a. tahap formulasi ialah tahap penegakan hukum in abstrakto oleh pembuat undang-undang, tahap ini dapat pula tahap kebijakan legislatif

b. tahap aplikasi ialah tahap penerapan hukum oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan, tahap ini disebut kebjakan yudikatif.

c. tahap eksekusi ialah tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana, tahap ini disebut tahap kebijakan eksekutif atau administrasi.

Ketiga tahap ini dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja digunakan untuk mencapai tujuan tertentu dan merupakan suatu keterpaduan yang harus tercapai secara selaras seimbang.6

6


(24)

10

Teori hukum membedakan tiga macam keberlakuan hukum, yakni sebagai berikut:

a. kaidah hukum berlaku secara yuridis b kaidah hukum berlaku secara sosiologis c. kaidah hukum berlaku secara filosofis

Untuk dapat menerapkan suatu kaidah hukum, maka kaidah hukum harus memenuhi ketiga unsur tersebut diatas. Hal ini disebabkan karena :

a. bila suatu kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, maka kemungkinan besar kaidah hukum yang mati

b. bila hanya berlaku secara sosiologis, maka kaidah hukum tersebut menjadi aturan pemaksa.

c. bila hanya berlaku secara filosofis, maka mungkin kaidah hukum tersebut hanya merupakan hukum yang dicita-citakan

Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pidana menurut Soerjono Soekanto, meliputi antara lain:7

1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu Undang-Undang.

2. Faktor penegakan hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas, yaitu hal-hal yang mendukung kebijakan hukum pidana.

4. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya, cipta rasa yang dirasakan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

7


(25)

11

2. Konseptual

Kerangka adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsp-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah-istilah yang ingin atau akan diteliti8. Agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap pokok-pokok pembahasan dalam penulisan ini, maka penulis akan memberikan konsep yang bertujuan untuk menjelaskan berbagai istilah yang digunakan dalam penulisan ini adapun istilah-istilah yang digunaskan:

a. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui yang sebenarnya.9

b. Perdagangan adalah Perbuatan perniagaan atau perdagangan perbuatan pembelian barang, benda atau sesuatu untuk dijual lagi.

c. Penegakan hukum pidana adalah Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam interaksi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.10

d. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai dengan sanksi (ancaman) yang berupa pidana tertentu bagi siapapun yang melanggar larangan tersebut.11

e. Ilegal adalah perbuatan yang tidak sah, dilakukan dengan melawan hukum atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.12

8

Soerjono Soekanto,Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,Rajawali, Jakarta, 1985, Hlm. 10

9

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003: Hlm. 124.

10

Barda Nawawi Arief, ,Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung, Citra Aditya Bakri, 2001, Hlm.30-31

11

Moeljatno,Asas-Asas Hukum Pidana,Rineka Cipta, Jakarta, 1983, Hlm 54

12


(26)

12

f. Satwa yang dilindungi adalah Satwa yang mempunyai populasi kecil, Adanya penurunan yang tajam, daerah penyebaran yang terbatas (endemik)13

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini memuat uraian keseluruhan yang akan disajikan dengan tujuan guna mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan maka disajikan sistematika sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab yang menguraikan latar belakang, masalah dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab pengantar yang menguraikan pengertian-pengertian umum dari pokok bahasan yang memuat tinjauan mengenai penegakan hukum, tinjauan mengenai pelaku, serta tindak pidan perburuan dan perdagangan ilegal satwa yang dilindungi.

III. METODE PENELITIAN

Merupakn bab yang membahas tentang metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yang meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, ketentuan dan populasi sample, prosedur pengumpulan data serta analisis data yang diperoleh.

13


(27)

13

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan penjelasan dan pembahasan yang mengemukakan hasil penelitian mengenai analisis penegakan hukum pidana terhadap tidak pidana perburuan dan perdagangan ilegal satwa yang dilindungi dan faktor-faktor yang menghambat dalam penegakn hukum bagi pelaku tindak pidana perburuan dan perdagangan ilegal satwa yang dilindungi.

V. PENUTUP

Merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan dan kemudian beberapa saran yang dapat membantu serta bagi para pihak yang memerlukan.


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam interaksi kehidupan bermasyarakat dan bernegara1. Ditinjau dari sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas, yang diartikan sebagai upaya penegakan hukum yang melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum2. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknyahukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa3.

Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit.Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalam bunyi aturan formal maupun nilai-nilai

1

Barda Nawawi Arief,Bunga Rampai Kebijakan.Bandung, Citra Aditya Bakri, 2001,Hlm. 30-31

Ibid,Hlm. 20


(29)

☎ ✆

keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.

Dengan uraian diatas menjadi jelaslah bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio-kultural masyarakat indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum4.

Dua masalah central dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikarenakan kepada sipelanggar. Untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak kriminal, perlu kriteria umum sebagai berikut :

4Ibid,


(30)

✝6

1. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan

2. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasil yang akan dicapai 3. Apakah akan menambah beban penegak hukum yang tidak seimbang atau

nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya

4. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa, sehingga berbahaya bagi seluruh masyarakat

Bertolak dari pendekatan kebijakan itu, Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang sering disebut masalah kriminalisasi harus memperhatikan hal-hal fatal sebagai berikut :5

1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materil spiritual berdasarkan Pancasila

2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian

3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle)

4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperlihatkan kapasitas atau kemampuan daya kerja dai badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampuan bebas tugas (overbelasting)

5

Sudarto.1983.Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat “Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Alumni, Bandung,.Hlm. 84


(31)

17

Pendekatan nilai humanistik menuntut pula diperhatikannya ide “individualisasi pidana” dalam kebijakan hukum pidana. Ide individualisasi iniantara lain mengandung beberapa karakteristik sebagai berikut :

1. Pertanggung jawaban pidana bersifat pribadi atau perorangan (asas personal) 2. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas “tiada

pidana tanpa kesalahan”)

3. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku ada fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (pidana maupun berat-ringannya sanksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana (perubahan atau penyesuaian) dalam pelaksanaannya

penegakan hukum adalah6 : kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah atau pandangan-pandangan menilai yang menetapkan dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Dengan demikian penegakan hukum pidana merupakan suatu sistem yang menyangkut penyesuaian antara nilai dengan kaidah serta perilaku nyata manusia.

Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi prilaku yang dianggap pantas atau seharusnya. Prilaku atau sikap itu bertujuan untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian. Didalam menganalisa hukum, persoalan tidak terlepas dari peroprasinya tiga komponen

6


(32)

18

sistem hukum (legal sistem) yang dikatakan oleh Lawrence M. Friedman terdiri

dari komponen “struktur, substansi, dan kultur”7

Komponen struktur adalah bagian-bagian yang bergerak dalam mekanisme misalnya pengadilan. Komponen substansi merupakan hasil aktual yang diterbitkan oleh sistem hukum dan meliputi pula kaidah-kaidah hukum yang tidak tertulis. Sedangkan komponen kultur adalah nilai dan sikap yang mengikat sistemhukum itu secara bersamaan dan menghasilkan suatu bentuk penyelenggaraan hukum dalam budaya masyarakat secara keseluruhan.

Menurut Friedman8 komponen kultur memegang peranan yang sangat penting dalam penegakan hukum. Ada kalanya tingkat penegakan hukum pada suatu masyarakat sangat tinggi, karena didukung oleh kultur masyarakat, misalnya melalui partisipasi masyarakat ( public participation ) yang sangat tinggi pula dalam usaha melakukan pencegahan kejahatan melaporkan dan membuat pengaduan atas terjadinya kejahatan di lingkungannya dan bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam usaha penanggulangan kejahatan, meskipun komponen struktur dan substansinya tidak begitu baik dan bahkan masyarakat tidak menginginkan prosedur formal itu diterapkan sebagaimana mestinya. Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari penyelesaian masalah-masalah hukum yang terjadi di masyarakat, tidak seluruhnya diselesaikan melalui prosedur berdasarkan ketentuan hukum positif yang berlaku.

7

Friedman, Lawrence, M.Lawand Law Societyterjemahan Sihnu Basuki,PT. Tata Nusa, Jakarta, 2001

8Ibid,


(33)

19

Usaha menyelesaikan kasus kasus banyak pertimbangan-pertimbangan untuk menyelesaikannya tanpa diajukan ke pengadilan, hal ini menunjukan bahwa yang diinginkan masyarakat sebenernya bukan pada penegakan hukumnya akan tetapi pada nilai-nilai ketentraman dan kedamaian masyarakat, menurut masyarakat jalur penyelesaian melalui hukum atau pengadilan tidak akan memecahkan masalah, seringkali hanya memperluas pertentangan dan rasa tidak senang antara warga masyarakat yang berperkara dan demikian juga biasanya kasus yang diadukan terkadang tidak memiliki dasar hukum untuk diselesaikan secara hukum. Hal tersebut sekiranya sejalan dengan pandangan yang mengatakan penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi (kebijakan) yang membuat keputusan hukum tidak secara ketat diatur dalam undang-undang melaikan juga berdasarkan kebijaksanaan antar hukum dan etika. Oleh karena itu pertimbangan secara nyata hanya dapat diterapkan selektif dan masalah penanggulanagan kejahatan.

Menyangkut masalah diskresi, Soerjono Soekanto menyatakan bahwa diskresi merupakan pengambilan keputusan untuk mengatasi masalah yang dihadapi, dengan berpegangan pada peraturan.9 Meskipun demikian ada pula diskresi yang memungkinkan tanpa berpegangan pada peraturan, karena belum ada peraturannya.

Penerapan diskresi harus mempertimbangkan beberapa faktor yang menyangkut masalah :10

9

Ibid,Hlm. 6

10

Soerjono Soekanto & Sri Mamundji,Penelitian Hukum Normatif, Suatu tinjauan singkat, Rajawali, Jakarta, 1985, Hlm. 23


(34)

20

1. Apabila penegakan hukum bertindak, apakah akan ada pihak-pihak lain yang akan mengalami gangguan

2. Adakah yang dirugikan atau tidak

3. Kalau dilakukan penindakan tertentu, apakah akan menghasilkan situasi yang lebih baik dari pada sebelumnya

4. Apabila penegak hukum terpaksa melanggar perintah atasan untuk memperbaiki keadaan dan akibatnya bagaimana

5. Bagaimana menghadapi gangguan keamanan di peraian dalam keadaan tidak bertugas

6. Bagaimana menindak pihak bersalah yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan atasan atau rekan kerja

7. Apakah yang diharapkan dari penegak hukum

Persoalan penggunaan diskreasi dialami polisi dalam melaksanakan tugasnya di Amerika Serikat. Hukum dan ketertipan memiliki posisi yang bertentangan, karena didalam hukum terkadung pembatasan terhadap tata kerja untuk mencapai ketertiban.

B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum pidana

Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak pernah henti-hentinya dibicarakan. Perkataan penegakan hukum mempunyai konotasi menegakan, melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku didalam masyarakat, sehingga dalam konteks yang lebih luas penegakan hukum merupakan berlangsungnya perwujudan konsep-konsep yang abstrak menjadi kenyataan. Di dalam konsep proses tersebut hukum tidaklah mandiri, artinya ada faktor-faktor


(35)

21

lain yang erat dengan proses penegakan hukum tersebut yang harus ikut serta, yaitu masyarakat itu sendiri dan penegak hukumnya. Dalam hal ini, hukum tidak lebih hanya ide-ide atau konsep-konsep yang mencerminkan didalamnya.

Apa yang disebut keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum yang dituangkan dalam bentuk perundang-undangan dengan maksud mencapai tujuan tertentu. Namun demikian tidak bearti pula peraturan-peraturan hukum yang berlaku diartikan telah lengkap dan sempurna, melainkan suatu kerangka yang masih memerlukan penyempurnaan. Untuk merealisasikan tujuan hukum tersebut, sangat ditentukan tingkat profesionalisme aparat penegak hukum yang meliputi kemampuan dan keterampilan baik dalam menjabarkan peraturan-peraturan maupun di dalam penerapan.

Menurut Soerjono Soekanto yang mengatakan bahwa, penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, terdapat faktor yang mempengaruhinya.11

a. Faktor Hukum

Praktek penyelenggaraan penegakan hukum di lapangan, sering kali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal itu dikarenakan konsepsi keadilan merupakan rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak

11

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Rajawali press, Jakarta, 1983


(36)

22

bertentangan dengan hukum. Maka pada hakekatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencangkup law enforcement, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola perilaku nyata yang bertujuan mencapai kedamaian. Dengan demikian tidak bearti setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan oleh hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan yang mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan sesuai antara kebutuhan untuk menerapkan peraturan dengan fasilitas yang mendukungnya.

Sebagaimana diketahui bahwa hukum mempunyai unsur-unsur antara lain sebagai hukum perundang-undangan, hukum traktat,hukum yurisprudensi, hukum adat, dan hukum ilmuan atau doktrin. Secara ideal unsur-unsur itu harus harmonis, artinya tidak saling bertentangan baik secara vertikal maupun secara horizontal antara perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, bahasa yang dipergunakan juga harus jelas, sederhana dan tepat karena isinya merupakan pesan kepada warga masyarakat yang terkena perundang-undangan itu.

b. Kepribadian atau Mentalitas Pengak Hukum

Salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum pidana adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum, dengan mengutip pendapat J.E Sahetapi yang mengatakan bahwa dalam penegakan hukum pidana dan implementasi penegakan keadilan tanpa suatu kepalsuan / kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum (inklusif manusianya) kebenaran dan keadilan harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan.


(37)

23

c. Fasilitas Pendukung

Fasilitas pendukung mencangkup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu perangkat lunak adalah pendidikan, pendidikan yang diterima yang diterima oleh polisi dewasa ini cendrung pada hal-hal praktis konvensional sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan dalam tugasnya, antara lain pengetahuan tentang kejahatan komputer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal ini karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampun dan belum siap. Walau disadari tugas dari aparat begitu kompleks dan berat.

d. Tingkat Kesadaran Hukum dan Keputusan Masyarakat

Setiap warga masyarakat atau kelompok, pasti mempunyai kesadaran hukum, masalah yang timbul adalah masalah kepatuhan hukum, yakni tahap kepatuhan yang tinggi, sedang, atau rendah. Sebagaimana diketahui kesadaran hukum sebenarnya merupakan suatu proses yang mencangkup pengetahuan hukum, sikap hukum dan prilaku hukum.

e. Faktor Budaya dan Masyarakat

Secara analitis konsepsional terhadap berbagai jenis kebudayaan, apabila dilihat dari ruang lingkup dan perkembangannya di indonesia, adanya super-culture, culture, subculture dan counter-culture. Variasi kebudayaan yang demikian banyaknya dapat menimbulkan presepsi-presepsi tertentu terhadap penegakan hukum, variasi-variasi kebudayaan yang sangat sulit untuk diseragamkan, oleh karena itu penegakan hukum harus disesuaikan dengan kondisi setempat,


(38)

24

misalnya penegakan hukum di Banda Aceh akan berbeda dengan di Bandar Lampung.

Dari kelima faktor yang saling berkaitan diatas karena merupakan hal pokok dalam penegakan hukum, faktor penegakan hukum menepati titik sentral, ini disebabkan oleh karena undang-undang dibuat oleh para penegak hukum, penerapan dilaksanakan oleh penegak hukum, demikian juga penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh masyarakat luas.

Tahap-Tahap Penegakan Hukum Pidana

Menurut Barda Nawawi Arief, Tahap – tahap penegakan Hukum Pidana di bagi menjadi 3 bagian :12

a. Tahap formulasi, yaitu penegakan hukum pidana inabstasco oleh badan pembuatan umdang-undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keaadan dan situasi masa kini dan masa yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk perundang-undangan untuk mencapai perundang-undangan yang paling baik yaitu memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini juga disebut tahap kebijakan legislatif.

b. Tahap aplikasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan. Aparat peenegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan di daya guna. Tahap ini disebut sebagai tahap kebijakan yudikatif. c. Tahap eksekutif, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) hukum pidana secara

konkret oleh aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat pelaksana pidana bertugas menegakan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan dalam menjalankan tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan pidana yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan nilai-nilai keadilan serta daya guna.

12

Barda nawawi Arief,Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung, Citra Aditya Bakri, 2001, Hlm. 70


(39)

25

Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan jalinan mata rantai akifitas yang tidak terputus yang bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada nilai-nilai pidana dan pemidanaan.

Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkannya dengan istilah-istilah yang dipakai sehari-hari. Mengenai istilah tindak pidana di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia sering dipakai berbagai istilah seperti ; Peristiwa pidana (konstitusi RIS maupun UUDS Tahun 1950), perbuatan pidana (Undang-undang Darurat No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya), perbuatan yang boleh dihukum dan lain sebagainya.

Untuk menghindari berbagai istilah dan pengertian tetang tindak pidana maka dalam skripsi ini digunakan istilah “Tindak Pidana” dengan mengutip pengertian dari rumusan yang ditetapkan oleh tim pengkajian hukum pidana nasional sebagai berikut :

“Tindak pidana ialah perbuatan melakukan atau tindakan melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana”

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sekarang ini, tindak pidana tersebut dibagi menjadi dua kelompok yaitu kejahatan yang diatur dalam


(40)

26

buku kedua dan pelanggaran yang diatur dalam buku ketiga. Adapun kriteria yang digunakan untuk mengelompokan dari dua bentuk tindak pidana ini KUHP sendiri tidak memeberikan penjelasan sehingga orang beranggapan bahwa kejahatan tersebut adalah perbuatan-perbuatan atau tindak pidana yang lebih ringan, hal ini juga didasari bahwa pada kejahatan umumnya, sanksipidana yang diancam adalah lebih berat dari pada ancaman pidana yang ada pada pelanggaran.

Ditengah masyarakat kita juga mengenal istilah “kejahatan” yang menunjukan pengertian perbuatan melanggar norma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui putusan hakim agar dijatuhi pidana dan masih ada lagi istilah “kejahatan” menurut arti kriminalogi, namun pengertiannya terlampau luas karena mencangkup semua perbuatan tercela atau tindak asusila. Kejahatan dalam arti hukum yang sering dipakai sehari-hari oleh masyarakat itu, tidak lebih dari arti perbuatan pidana.

C. Perdagangan Illegal Satwa Burung yang dilindungi

Sampai saat ini belum ada sensus yang jelas mencatat jumlah dan jenis satwa burung yang ada di Indonesia. Sebagai gambaran terdapat sepuluh ribu jenis satwa burung yang tersebar diseluruh pelosok tanah air seperti burung Kakaktua dan burung Bayan.13DalamConvention On Internal Trade On Endangered Species Of Wild Flora And Fauna, merupakan konvensi internasional perdagangan kehidupan liar (satwa dan tumbuhan), Indonesia meratifikasi konvensi onternasional tersebut dengan dikeluarkanya keputusan Presiden No. 43 Tahun

13

Marpaung Lehden.Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan Dan Satwa,Erangga, Jakarta,1995, Hlm. 48


(41)

27

197814 yang memuat daftar jenis satwa (termasuk satwa burung) dan tumbuhan liar yang termasuk dalam katagori kelangkaan. Terkait dengan pemanfaatan satwa burung yang keberadaannya masih liar di alam, Di sini Balai Konservasi Sumber Daya Alam dalam hal ini berperan sebagai Polisi kehutanan yang berfungsi sebagai penegak hukum dalam koridor konservasi keragaman hayati.

1. Arti Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Konservasi sumber daya alam hayati diatur oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pada Pasal 1

Butir 1 dimuat arti “Sumber Daya Alam Hayati” sebagai berikut :

“Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non ayati disekitarnya secar keseluruhan membentuk ekosistem.”

Arti “Sumber daya alam hayati” tersebut pada pasal 1 butir 2 dimuat dari “Konservasi Sumber Daya Alam Hayati” sebagai berikut :

“Konservasi Sumber Daya Alam Hayati adalah pengelolaan sumber daya lam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesenambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas dan keaneka ragaman dan nilainya.”

2. Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelastarian Alam

Kawasan suaka alam diatur dalam pasal 14, 15, 16, 17, 18, dan 19 UU No. 5 Tahun 1990. Dalam pasal 14 desebutkan : “Kawasan Suaka Alam sebagaimana dimaksud Pasal 12 terdiri dari : a. Cagar alam ; b. Suaka margasatwa.”

14

http://www.menlh.go.id/perundang-undangan/keputusan-presiden/keputusan-presiden-no-43- tahun-1978-tentang-convention-on-international-trade-in-endangered-species-of-wild-fauna-and-flora, Situs di akses Tanggal 20, Jam 19.10


(42)

28

Cagar alam sebagaimana dimaksudkan di atas adalah kawasan yang memiliki ciri khas tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Sedangkan suaka margastwa ialah suatu kawasan hutan yang memiliki kekhasan berupa keunikan dan keragaman jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya15. Mengenal kawasan suaka alam dibedakan dengan kawasan pelestarian alam atas dasar pemanfaatan kawasan dimana dalam pemanfaatannya suaka alam tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat merubah keutuhan kawasan suaka alam sedangkan untuk pengelolaan kawasan pelestarian alam hanya inti dari kawasan tersebut. Kawasan pelestarian alam diatur dalam pasal 29, 30, 31, 32, 33, 34, dan 35 UU No. 5 Tahun 1990. Dalam pasal 29 ( 1 ) disebutkan : Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 1 angka 13 terdiri dari : a. Taman nasional; b. Taman hutan raya; c. Taman wisata alam.

Taman nasioanal sebagaimana yang dimaksud di atas adalah kawasan yang memiliki ekosistem asli, yang dikelola berdasarkan sistem pembagian zonasi pemanfaatannya untuk tujuan penelitian, perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan, pariwisata, dan rekreasi. Berbeda dengan hutan raya yang selain memiliki satwa dan tumbuhan asli juga memiliki jenis bukan asli atau buatan. Sedangkan taman buatan wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk tujuan wisata dan rekreasi alam.

15


(43)

29

3. Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Satwa Burung

Membicarakan mengenai tindak pidana kejahatan terhadap satwa burung, melibatkan beberapa jenis peraturan perundang-undangan seperti Undang-undang No. 5 Tahun 1990 jo. Peraturan pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang pemanfaatan jekis tumbuhan dan satwa liar dalam undang-undang No. 5 Tahun 1990 tidak tercantum tentang tindak perburuan satwa namun jika merujuk pada pasal 21 ayat (2) dapat ditafsirkan bahwa kegiatan berburu atau perburuan dan perdagangan satwa liar disamakan dengan kegiatan menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, mengangkut, memusnahkan, dan mengeluarkan satwa liar dilindungi dari suatu tempat ke tempat lain. Dalam undang-undang No. 5 Tahun 1990 yang mengatur tentang Konservasi Sumber Daya alam hayati dan ekosistemnya terdapat suatu pasal yang mengatur masalah pidana terhadap tindak pidana kejahatan satwa liar termasuk didalamnya satwa burung yaitu pasal 40 ayat (2), dan ayat (4) yang bunyinya :

“Ayat (2)barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 33 ayat (3) dipidanakan dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Ayat (4) barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling ama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).”

Dalam peraturan pemerintah No. 8 Tahun 1999 Pasal 17 ayat (1) yang berbunyi : “Perburuan jenis satwa liar dilakukan untuk keperluan olah raga buru (sport hunting), prolehan trofi (trofi hunting), dan perburuan tradisional oleh masyarakat setempat”.


(44)

30

Untuk jenis-jenis satwa burung yang dapat diperdagangkan berdasarkan peraturan pemerintah no. 8 tahun 1999 adalah jenis satwa liar yang tidak dilindungi, yang didapat dari alam, maupun hasil penangkaran, dalam hal ini satwa burung hasil penangkaran termasuk jenis satwa burung yang masuk kategori dilindungi namaun satwa tersebut adalah hasil dari pembiakan secara buatan yang teah mendapat izin menteri kehutanan. Satwa untuk keperluan penangkaran didapat dari habitat alam atau dari sumber-sumber yang sah menurut ketentuan pemerintah.

Tindak pidana kejahatan terhadap satwa burung berdasarkan pasal 40 ayat (2) dan ayat (4) adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (2). Perburuan dan perdagangan satwa burung secara ilegal adalah kegiatan yang bertujuan mendapatkan satwa burung tidak dalam keadaan sedang dibudidayakan dengan cara yang melawan hukum. Perburuan dan perdagangan illegal satwa burung dikategorikan kedalam satwa liar yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konsevasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekositemnya sebagaimana telah diuraikan di atas, jika perburuan dan perdagangan tersebut berorientasi ke luar negeri akan berakibat kerugian negara terhadap lingkungan yaitu hilangnya plasma nutfah dan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Sehingga negara berkewajiban untuk selalu menindak tegas para pelaku perburuan dan perdagangan illegal satwa burung dikawasan hutan seluruh indonesia.

4. Penyidikan Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Satwa Burung

Larangan memperdagangkan satwa burung secara illegal atau tindak pidana kejahatan terhadap satwa burung ditentukan dalam pasal 21 ayat (2) dan pasal 22


(45)

31

ayat (1) dan (2) undang-undang no. 5 Tahun 1990 ialah sebagai berikut: (2) setiap orang dilarang untuk :

a. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan, satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;

b. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;

c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ketempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

d. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, atau bagian-bagian lain satwa dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain didalam atau di luar Indonesia;

e. Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dilindungi

(1) Pengecualian dari larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 hanya dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa yang bersangkutan.

(2) Termasuk dalam penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar negeri dengan izin pemerintah.

Segala bentuk kegiatan seperti telah disebutkan dala pasal 21 ayat (2) dengan maksud diluar tujuan yang dimaksud dalam pasal 22 adalah pelanggaran. Mengenai tindak pidana kejahatan terhadap satwa burung yang berwenang melakukan penyidikan dalam hal ini seperti yang disebutkan dalam pasal 39 ayat (1) yaitu pejabat penyidik kepolisian negara repubik indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup dan tanggung jawab tugasnya meliputi pembinaan konservasi sumber daya alam


(46)

32

hayati dan ekosistemnya, yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.


(47)

✞✞

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.1

Bentuk usaha mencari dan mendapatkan jawaban atas masalah yang diajukan dengan cara data, dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan dengan dua cara, yakni pendekatan masalah yuridis normatif dan yuridis empiris2. Pendekatan secara yuridis normatif( library research ) adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama, menelaah beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi hukum, pandangan, dan doktrin-doktrin hukum, peraturan dan sistem hukum yang berkenaan dengan skripsi yang sedang dibahas atau menggunakan data sekunder diantaranya ialah asas, kaidah, norma, dan aturan hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya. Pendekatan ini dikenal dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan, dan dokumen lain yang berhubungan erat dengan penelitian ini.

1

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,

Rajawali, Jakarta, 1985, Hlm. 15 2Ibid,


(48)

✟ ✠

Pendekatan secara yuridis empiris disebut juga dengan sosiologis (field research) dilakukan dengan cara melakukan penelitian secara langsung turun kelapangan yaitu dengan melihat secara langsung penerapan peraturan perundang-undangan atau aturan hukum yang lain yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana perburuan dan perdagangan illegal satwa burung, serta melakukan wawancara dengan beberapa responden yang dianggap dapat memberikan informasi mengenai pelaksanaan penegakan hukum terhadap tindak perdagangan illegal satwa burung.

B. Sumber Dan Jenis Data

Setiap penelitian yang akan diteliti adalah gejala-gejala yang dihadapi, yang ingin diungkapkan kebenarannya, dan hasil tersebut biasanya disebut data untuk mendapatkan data atau jawaban yang tepat dalam membahas skripsi ini, serta sesuai dengan pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini maka penulis menggunakan 2 (dua) sumber data dan jenis data, yaitu :

1. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung berupa keterangan-keterangan dan pendapat dari para responden dan kenyataan-kenyataan sesuai dengan yang ada dilapangan melalui wawancara dan observasi.

2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, antara lain :

1) Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.


(49)

✡ ☛

2) Peraturan Pemerintahan No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

3. Data hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi, petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain berupa pendapat para sarjana atau ahli hukum, surat kabar, website, dan Kamus Bahasa Indonesia diantaranya : 1) Buku Literatur, 2) Hasil Karya Ilmiah Para Sarjana, 3) Hasil-Hasil Penelitian.

C. Penentuan Populasi Dan Sampel

Menurut Soerjono Soekanto, yang dimaksud dengan populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama.3Dalam penulisan skripsi ini, yang dijadikan populasi penelitian adalah penegakan hukum terhadap tindak pidana perburuan dan perdagangan illegal satwa burung yang khususnya terjadi diwilayah hukum polisi kehutanan atau wilayah tugas kelembagaan polisi kehutanan Provinsi Lampung.

Sampel adalah sejumlah obyek yang jumlahnya kurang dari populasi. Dalam menentukan sampel4, metode yang digunakan Purposive Sampling yaitu, metode pengambilan sampel berdasarkan atas pertimbangan maksud dan tujuan penelitian, dimana pemilihan responden disesuaikan dengan maksud dan tujuan yang hendak dicapaidan dianggap telah mewakili populasi terhadap masalah yang hendak diteliti.

Soerjono Soekanto.Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia. Pres. Jakarta: Hal.172


(50)

✍6

Sesuai dengan metode pengambilan sampel, populasi yang akan diteliti sebagaimana tersebut diatas, maka sampel dalam membahas skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Penyidik PNS. BKSDA Lampung : 1 orang 2. Pedagang satwa burung keliling : 1 orang 3. Penyidik Reskrimsus Polda : 1 orang 4. Dosen Fakultas hukum UNILA bagian hukum pidana: 1 orang +

Jumlah 4 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Dalam memperoleh data penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut : a. Studi kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan dengan maksud memperoleh data sekunder, yaitu dengan kegiatan studi dokumentasi dengan cara membaca, mencatat, menguntip buku dan referensi dan menelaah peraturan perundang-undanagan, juga informasi lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

b. Studi lapangan

Dilakukan untuk memperoleh data primer dengan menggunakan teknik wawancara secara langsung dengan responden yang telah direncanakan sebelumnya. Wawancara dilaksanakan secara langsung dan terbuka dengan mengadakan tanya jawab untuk mendapatkan keterangan atau jawaban yang bebas sengga data yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan.


(51)

✎ ✏

2. Pengolahan Data

Data yang terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data, kemudian diproses melalui pengolahan dan pengkajian data. Data tersebut diolah melalui proses : a. Editing yaittu memeriksa data yang didapat untuk mengetahui apakah data

yang didapat itu relavan dan sesuai dengan bahasan. Apabila terdapat data yang salah maka akan dilakukan perbaikan.

b. Klasifikasi sata, yaitu data yang telah selesai diseleksi kemudian diklasifikasi sesuai dengan jenis dan berhubungan dengan masalah penelitian.

c. Sistematisasi data, yaitu menempatkan data pada masing-masing bidang pembahasan yang dilakukan secara sistematis .

E. Analisis Data

Pada kegiatan analisis data ini, data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan mendeskrifsikan serta menggambarkan data dan fakta yang dihasilkan dari suatu penelitian dilapangan dengan suatu interpretasi, evaluasi dan pengetahuan umum.

Selanjutnya data yang diperoleh dari penelitian, baik data primer maupun data sekunder kemudian dianalisis dengan menggunakan metode induktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat umum dilanjutkan dengan penarikan kesimpulan yang bersifat khusus dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran-saran.


(52)

✑✑

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Penegakan hukum pidana terhadap pelaku perdagangan ilegal satwa burung dirasa belum berjalan secara maksimal. BKSDA sendiri dalam melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan ilegal satwa burung lebih mengutamakan kebijakan non penal, yaitu penyelesaiannya dilakukan dengan cara administratif dengan memberikan sanksi berupa peringatan baik secara lisan maupun secara tertulis, penyitaan satwa dilindungi baik dalam keadaan hidup maupun penutupan atau penghentian kegiatan penangkaran satwa burung dari jenis yang dilindungi untuk sementara waktu. Selain memberikan sanksi administratif, penegakan hukum secara non penal yang dilakukan BKSDA adalah dengan cara membentuk forum kemitraan dengan pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota yang bekerjasama dengan pihak eksekutif untuk bersam-sama melakukan pengawasan dan penyuluhan kepada masyarakat terhadap pentingnya konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.


(53)

✒6

2. Faktor-faktor penghambat yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan ilegal satwa burung, antara lain: Faktor Undang-Undang, yaitu belum efektifnya penerapan sanksi pidana denda dari UU No. 5 Tahun 1990 sehingga pelaku tidak merasa jera atas perbuatannya. Faktor aparat penegak hukum, yaitu kurangnya pengetahuan dan pemahaman dari aparat penegak hukum serta kurangnya jumlah personil polisi kehutanan yang hanya berjumlah 31 orang dalam menangani kasus perdagangan ilegal satwa burung. Selain itu adanya penerapan diskresi mengakibatkan kasus ini tidak pernah sampai ke pengadilan, karena tidak ada tuntutan dari jaksa. Jaksa tidak dapat menuntut apabila tidak ada laporan dari polisi kehutanan. Faktor sarana dan fasilitas, yaitu kurangnya sarana dan peralatan untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan perdagangan ilegal satwa burung. Serta dana oprasional yang diperlukan untuk turun ke lapangan cukup besar. Faktor masyarakat, yaitu kurangnya pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Faktor kebudayaan, yaitu adanya kebiasaan atau tradisi di kalangan masyarakat untuk memelihara atau memiliki satwa burung baik dalam keadaan hidup maupun dalam keadaan mati, maupun bagian-bagian tubuhnya sebagai kebanggan dalam sangkar atau lemarri pajangan dalam rumah.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas maka dalam hal ini penulis dapat memberikan saran sebagai berikut:


(54)

✓ ✔

1. Perlu adanya sikap yang lebih pro aktif dari aparat penegak hukum, khususnya polisi kehutanan dalam menyelidiki dan menyidik perdagangan ilegal satwa burung, tanpa harus menunggu laporan dari masyarakat. Penegakan hukum secara penal dirasa lebih efektif untuk menimbulkan efek jera. Selain itu juga penambahnan personil polisi kehutanan akan lebih menunjang efektifitas pengawasan terhadap perdagangan ilegal satwa burung di lapangan.

2. Pemerintah dalam hal ini BKSDA diharapkan dalam melakukan pengawasan tehadap perdagangan ilegal satwa burung lebih meningkatkan kerjasama dan koordinasi antara instansi pemerintah, lainnya yang terkait dan dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat aklan pentingnya kelestarian keaneka ragaman hayati dan ekosistemnya. Selain itu BKSDA juga diharapkan dapat membuat terobosan-terobosan baru dalam mengantisipasi aksi-aksi perdagangan ilegal satwa burung dalam wilayah tugasnya sesuai dengan perkembangan di lapangan.


(1)

✡ ☛

2) Peraturan Pemerintahan No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

3. Data hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi, petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain berupa pendapat para sarjana atau ahli hukum, surat kabar, website, dan Kamus Bahasa Indonesia diantaranya : 1) Buku Literatur, 2) Hasil Karya Ilmiah Para Sarjana, 3) Hasil-Hasil Penelitian.

C. Penentuan Populasi Dan Sampel

Menurut Soerjono Soekanto, yang dimaksud dengan populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama.3Dalam penulisan skripsi ini, yang dijadikan populasi penelitian adalah penegakan hukum terhadap tindak pidana perburuan dan perdagangan illegal satwa burung yang khususnya terjadi diwilayah hukum polisi kehutanan atau wilayah tugas kelembagaan polisi kehutanan Provinsi Lampung.

Sampel adalah sejumlah obyek yang jumlahnya kurang dari populasi. Dalam menentukan sampel4, metode yang digunakan Purposive Sampling yaitu, metode pengambilan sampel berdasarkan atas pertimbangan maksud dan tujuan penelitian, dimana pemilihan responden disesuaikan dengan maksud dan tujuan yang hendak dicapaidan dianggap telah mewakili populasi terhadap masalah yang hendak diteliti.

Soerjono Soekanto.Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia. Pres. Jakarta: Hal.172


(2)

✍6

Sesuai dengan metode pengambilan sampel, populasi yang akan diteliti sebagaimana tersebut diatas, maka sampel dalam membahas skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Penyidik PNS. BKSDA Lampung : 1 orang 2. Pedagang satwa burung keliling : 1 orang 3. Penyidik Reskrimsus Polda : 1 orang 4. Dosen Fakultas hukum UNILA bagian hukum pidana: 1 orang +

Jumlah 4 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Dalam memperoleh data penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut : a. Studi kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan dengan maksud memperoleh data sekunder, yaitu dengan kegiatan studi dokumentasi dengan cara membaca, mencatat, menguntip buku dan referensi dan menelaah peraturan perundang-undanagan, juga informasi lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

b. Studi lapangan

Dilakukan untuk memperoleh data primer dengan menggunakan teknik wawancara secara langsung dengan responden yang telah direncanakan sebelumnya. Wawancara dilaksanakan secara langsung dan terbuka dengan mengadakan tanya jawab untuk mendapatkan keterangan atau jawaban yang bebas sengga data yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan.


(3)

✎ ✏

2. Pengolahan Data

Data yang terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data, kemudian diproses melalui pengolahan dan pengkajian data. Data tersebut diolah melalui proses : a. Editing yaittu memeriksa data yang didapat untuk mengetahui apakah data

yang didapat itu relavan dan sesuai dengan bahasan. Apabila terdapat data yang salah maka akan dilakukan perbaikan.

b. Klasifikasi sata, yaitu data yang telah selesai diseleksi kemudian diklasifikasi sesuai dengan jenis dan berhubungan dengan masalah penelitian.

c. Sistematisasi data, yaitu menempatkan data pada masing-masing bidang pembahasan yang dilakukan secara sistematis .

E. Analisis Data

Pada kegiatan analisis data ini, data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan mendeskrifsikan serta menggambarkan data dan fakta yang dihasilkan dari suatu penelitian dilapangan dengan suatu interpretasi, evaluasi dan pengetahuan umum.

Selanjutnya data yang diperoleh dari penelitian, baik data primer maupun data sekunder kemudian dianalisis dengan menggunakan metode induktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat umum dilanjutkan dengan penarikan kesimpulan yang bersifat khusus dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran-saran.


(4)

✑✑

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Penegakan hukum pidana terhadap pelaku perdagangan ilegal satwa burung dirasa belum berjalan secara maksimal. BKSDA sendiri dalam melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan ilegal satwa burung lebih mengutamakan kebijakan non penal, yaitu penyelesaiannya dilakukan dengan cara administratif dengan memberikan sanksi berupa peringatan baik secara lisan maupun secara tertulis, penyitaan satwa dilindungi baik dalam keadaan hidup maupun penutupan atau penghentian kegiatan penangkaran satwa burung dari jenis yang dilindungi untuk sementara waktu. Selain memberikan sanksi administratif, penegakan hukum secara non penal yang dilakukan BKSDA adalah dengan cara membentuk forum kemitraan dengan pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota yang bekerjasama dengan pihak eksekutif untuk bersam-sama melakukan pengawasan dan penyuluhan kepada masyarakat terhadap pentingnya konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.


(5)

✒6

2. Faktor-faktor penghambat yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan ilegal satwa burung, antara lain: Faktor Undang-Undang, yaitu belum efektifnya penerapan sanksi pidana denda dari UU No. 5 Tahun 1990 sehingga pelaku tidak merasa jera atas perbuatannya. Faktor aparat penegak hukum, yaitu kurangnya pengetahuan dan pemahaman dari aparat penegak hukum serta kurangnya jumlah personil polisi kehutanan yang hanya berjumlah 31 orang dalam menangani kasus perdagangan ilegal satwa burung. Selain itu adanya penerapan diskresi mengakibatkan kasus ini tidak pernah sampai ke pengadilan, karena tidak ada tuntutan dari jaksa. Jaksa tidak dapat menuntut apabila tidak ada laporan dari polisi kehutanan. Faktor sarana dan fasilitas, yaitu kurangnya sarana dan peralatan untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan perdagangan ilegal satwa burung. Serta dana oprasional yang diperlukan untuk turun ke lapangan cukup besar. Faktor masyarakat, yaitu kurangnya pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Faktor kebudayaan, yaitu adanya kebiasaan atau tradisi di kalangan masyarakat untuk memelihara atau memiliki satwa burung baik dalam keadaan hidup maupun dalam keadaan mati, maupun bagian-bagian tubuhnya sebagai kebanggan dalam sangkar atau lemarri pajangan dalam rumah.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas maka dalam hal ini penulis dapat memberikan saran sebagai berikut:


(6)

✓ ✔

1. Perlu adanya sikap yang lebih pro aktif dari aparat penegak hukum, khususnya polisi kehutanan dalam menyelidiki dan menyidik perdagangan ilegal satwa burung, tanpa harus menunggu laporan dari masyarakat. Penegakan hukum secara penal dirasa lebih efektif untuk menimbulkan efek jera. Selain itu juga penambahnan personil polisi kehutanan akan lebih menunjang efektifitas pengawasan terhadap perdagangan ilegal satwa burung di lapangan.

2. Pemerintah dalam hal ini BKSDA diharapkan dalam melakukan pengawasan tehadap perdagangan ilegal satwa burung lebih meningkatkan kerjasama dan koordinasi antara instansi pemerintah, lainnya yang terkait dan dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat aklan pentingnya kelestarian keaneka ragaman hayati dan ekosistemnya. Selain itu BKSDA juga diharapkan dapat membuat terobosan-terobosan baru dalam mengantisipasi aksi-aksi perdagangan ilegal satwa burung dalam wilayah tugasnya sesuai dengan perkembangan di lapangan.


Dokumen yang terkait

Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)

1 74 133

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN SATWA YANG DILINDUNGI (Studi Putusan Perkara No. 331/Pid.Sus/2011/PN.TK.)

2 15 53

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP ADVOKAT PELAKU TINDAK PIDANA SUAP

16 72 52

UPAYA PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL BKSDA DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU PEMBUNUHAN SATWA YANG DILINDUNGI (Studi di Wilayah BKSDA Lampung)

0 10 56

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Satwa Liar yang Dilindungi ( Studi Putusan Nomor 1731/Pid.Sus/2015/PN.Medan dan Nomor 124/Pid.Sus/2016/PN.Mdn)

3 47 124

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Satwa Liar yang Dilindungi ( Studi Putusan Nomor 1731 Pid.Sus 2015 PN.Medan dan Nomor 124 Pid.Sus 2016 PN.Mdn)

0 0 8

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Satwa Liar yang Dilindungi ( Studi Putusan Nomor 1731 Pid.Sus 2015 PN.Medan dan Nomor 124 Pid.Sus 2016 PN.Mdn)

0 0 1

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Satwa Liar yang Dilindungi ( Studi Putusan Nomor 1731 Pid.Sus 2015 PN.Medan dan Nomor 124 Pid.Sus 2016 PN.Mdn)

0 0 26

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Satwa Liar yang Dilindungi ( Studi Putusan Nomor 1731 Pid.Sus 2015 PN.Medan dan Nomor 124 Pid.Sus 2016 PN.Mdn)

0 0 24

Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Satwa Liar yang Dilindungi ( Studi Putusan Nomor 1731 Pid.Sus 2015 PN.Medan dan Nomor 124 Pid.Sus 2016 PN.Mdn)

0 0 3