Makalah Pertempuran Surabaya dan Bandung

PERTEMPURAN SURABAYA
DAN
PERISTIWA BANDUNG LAUTAN API
A. SITUASI

SURABAYA

SEBELUM

PERTEMPURAN

SURABAYA
1. Situasi Indonesia Secara Umum
Pada tanggal 15 September 1945, sekutu mendaratkan tentaranya di
Tanjung Priok yang disusul dengan pendaratan tentara sekutu yang dipimpin
oleh W.R. Paterrson. Untuk menjalankan tugas di Indonesia, sekutu
membentuk AFNEI denagn panglimanya Letjend Sir Philip Christison yang
membawahi 3 pasukan divisi, yaitu divisi Jakarta, Surabaya, dan Sumatra.
Tugas AFNEI :
 Menerima kekuasaan dari Jepang
 Membebaskan tawan perang dan interniran sekutu

 Melucuti dan mengumpulkan tentara Jepang kemudian dipulangkan
ke negaranya
 Menegahkan dan mempertahankan keadaan damai kemudian
disahkan kepada pemerintah sipil
 Menghimpun peperangan dan menuntut pejahat perang
Kedatangan sekutu di Indonesia awalnya diterima dengan baik oleh
pemerintah dan rakyat Indonesia. Ternyata kedatangan sekutu diboncengi
NICA, hal ini yang menimbulkan berbagai macam pertempuran di berbagai
kota menghadapi tentara jepang dan sekutu bahwa setelah jepang menyerah
kepada sekutu pada diduduki sampai kedatangan pasukan sekutu di daerah
tersebut termasuk Indonesia. Jepang berusaha menghalangi bangsa Indonesia
dalam mempertahankan kemerdekaan. Para pemuda Indonesia yang
tergabung dalam BKR berusaha melucuti senjata pasukan Jepang dengan
alasan:
 Mendapatkan senjata untuk mempertahankan kemerdekaan
 Agar senjata pasukan Jepang tidak jatuh ke tangan Belanda
 Agar pasukan Jepang tidak menyerang demi mempertahankan
“status quo”
Dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, dilakukan melalui
dua cara yaitu dengan perjuangan fisik/bersenjata ( Pertempuran Surabaya,

Pertempuran Ambarawa, dan Peristiwa Bandung Lautan Api) dan perjuangan

secara diplopmasi (Perjanjian Linggajati, Perjanjian Renville, KMB, dan
Perundingan Roem-Roeyen.

2. Situasi Surabaya
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman
pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00,
mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan
Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato,
sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan
menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina
kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di
Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang
sedang berlangsung di Surabaya.
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen
Sudirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil
Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon
Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI,
datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal

Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr.
Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera
diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman
menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui
kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman
mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan.
Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara
Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman,
sementara Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato.
Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera
Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman kembali ke dalam hotel
dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Kusno Wibowo
berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan
mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
26 Oktober 1945, tercapai persetujuan antara Bapak Suryo, Gubernur
Jawa Timur dengan Brigjen Mallaby bahwa pasukan Indonesia dan milisi
tidak harus menyerahkan senjata mereka. Sayangnya terjadi salah pengertian
antara pasukan Inggris di Surabaya dengan markas tentara Inggris di Jakarta
yang dipimpin Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
27 Oktober 1945, jam 11.00 siang, pesawat Dakota AU Inggris dari

Jakarta menjatuhkan selebaran di Surabaya yang memerintahkan semua tentara
Indonesia dan milisi untuk menyerahkan senjata. Para pimpinan tentara dan

milisi Indonesia marah waktu membaca selebaran ini dan menganggap Brigjen
Mallaby tidak menepati perjanjian tanggal 26 Oktober 1945.
28 Oktober 1945, pasukan Indonesia dan milisi menggempur pasukan
Inggris di Surabaya. Untuk menghindari kekalahan di Surabaya, Brigjen
Mallaby meminta agar Presiden RI Soekarno dan panglima pasukan Inggris
Divisi 23, Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk pergi ke Surabaya
dan mengusahakan perdamaian.
29 Oktober 1945, Presiden Soekarno, Wapres Mohammad Hatta dan
Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap bersama Mayjen Hawthorn
pergi ke Surabaya untuk berunding.
Pada siang hari, 30 Oktober 1945, dicapai persetujuan yang ditandatangani oleh Presiden RI Soekarno dan Panglima Divisi 23 Mayjen Hawthorn.
Isi perjanjian tersebut adalah diadakan perhentian tembak menembak dan
pasukan Inggris akan ditarik mundur dari Surabaya secepatnya. Mayjen
Hawthorn dan ke 3 pimpinan RI meninggalkan Surabaya dan kembali ke
Jakarta.
Pada sore hari, 30 Oktober 1945, Brigjen Mallaby berkeliling ke
berbagai pos pasukan Inggris di Surabaya untuk memberitahukan soal

persetujuan tersebut. Saat mendekati pos pasukan Inggris di gedung Internatio,
dekat Jembatan merah, mobil Brigjen Mallaby dikepung oleh milisi yang
sebelumnya telah mengepung gedung Internatio.
Karena mengira komandannya akan diserang oleh milisi, pasukan
Inggris kompi D yang dipimpin Mayor Venu K. Gopal melepaskan tembakan
ke atas untuk membubarkan para milisi. Para milisi mengira mereka diserang /
ditembaki tentara Inggris dari dalam gedung Internatio dan balas menembak.
Seorang perwira Inggris, Kapten R.C. Smith melemparkan granat ke arah
milisi Indonesia, tetapi meleset dan malah jatuh tepat di mobil Brigjen
Mallaby.
Granat meledak dan mobil terbakar. Akibatnya Brigjen Mallaby dan
sopirnya tewas. Laporan awal yang diberikan pasukan Inggris di Surabaya ke
markas besar pasukan Inggris di Jakarta menyebutkan Brigjen Mallaby tewas
ditembak oleh milisi Indonesia. Letjen Sir Philip Christison marah besar
mendengar kabar kematian Brigjen Mallaby dan mengerahkan 24000 pasukan
tambahan untuk menguasai Surabaya.

B. KRONOLOGI PERTEMPURAN SURABAYA
1. Awal Mula Pertempuran Surabaya
Letjen Sir Philip Christison marah besar mendengar kabar kematian

Brigjen Mallaby dan mengerahkan 24000 pasukan tambahan untuk

menguasai Surabaya. Secara diam-diam Sekutu memperkuat posisinya.
Tanggal 1 November pukul 08.00 Laksamana Muda Patterson dengan kapal
perang HMS Sussex tiba di Surabaya, 1500 pasukan didaratkan dengan kapal
Carron dan Cavallier. Tanggal 3 November menyusul pula Mayor Jendral
E.C.Manseergh, Panglima Divisi ke-5 Infanteri India, tiba di Surabaya
dengan membawa 24.000 pasukan, lengkap dengan panser, satu divisi arteleri
dilindungi dari Tanjungperak dan Ujung oleh satu kruiser dan empat
destroyer dengan meriam jarak jauh yang lengkap, ditambah 21 Sherman
tank dan meriam yang dilindungi 24 pesawat terbang jenis Mosquito
(pemburu) dan Thunmderbolts (pelempar bom). Pesawat-pesawat ini
berpangkalan di kapal-kapal perusak yang mengadakan straffing serta
menjatuhkan bom-bom di Surabaya. Kekuatan laut yang dikerahkan oleh
Inggris terdiri dari jenis kapal LST destroyer. Kapal itu dibawah komando
Naval Commander Force 64 yang dipimpin olehCaptain RCS Carwood.
Beberapa buah kapal ini sudah beroperasi sejak kedatangan Inggris 25
Oktober 1945. Dan banyak lagi kekuatan Inggris dari laut, udara dan darat
untuk menyerbu Surabaya 10 November 1945.


2. Ultimatun 10 November
Tanggal 9 November 1945, Mansergh menyerahkan 2 surat kepada
Gubernur Suryo. Yang pertama berupa ULTIMATUM yang ditujukan kepada
“All Indonesians of Sourabaya” lengkap dengan “Instructions”.
Yang kedua merupakan rincian dari ultimatum

tersebut.

Bunyi ultimatum yang disebarkan sebagai pamflet melalui pesawat udara
pada 9 November pukul 14.00. adalah :
“November, 9th. 1945.
TO ALL INDONESIANS OF SOERABAYA.
On October 28th, the Indonesians of Soerabaya treacherously and without
provocation, suddenly attacked the british Forces who came for the purpose of
disarming and concentrating the Japanese Forces, of bringing relief to Allied
prisoners of war and internees, and of maintaining law and order. In the fighting
which ensued British personel were killed or wounded, some are missing, interned
women and children were massacred, and finally Brigadier Mallaby was foully
murdered when trying to implement the truce which had been broken in spite of
Indonesian undertakings.

The above crimes against civilization cannot go unpunished. Unless therefore, the
following ordes are obeyed without fail by 06.00 hours on 10th.November at the
latest, I shall enforce them with all the sea, land and air forces at my disposal, and
those Indonesians who have failed to obey my orders will be solely responsible for
the bloodshed which must inevitably ensue.
(Signed) Maj.Gen.R.C.Mansergh
Commander Allied Land Forces,
East Java.

Instructions
My orders are:
1. All hostages held by the Indonesians will be returned in good condition by 10.00
hours 9th. November.
2. All Indonesian leaders, including the leaders of the Youth Movements, the Chief
Police and the the Chief Official of the Soerabaya Radio will report at Bataviaweg
by 18.00 hours, 9th November. They will approach in single file carrying any arms
they possess. These arms will be laid down at a point 100 yards from the
rendezvous, after which the Indonesians will approached with their hands above
their heads and will taken into custody, and must be prepared to sign a document of
unconditional surrender.

3. (a) All Indonesians unauthorized to carry arms and who are in possession of
same will report either to the roadside Westerbuitenweg between South of the
railway and North of the Mosque or to the junction of Darmo Boulevard and Coen
Boulevard by 18.00 hours 9 th November, carrying a white flag and proceeding in
single file. They will lay down their arms in the same manner as prescribed in the
preceeding paragraphs. After laying down their arms they will be permitted to
return to their homes. Arms and equipment so dumped will taken over by the
uniformed police and regular T.K.R. and guarded untill dumps are later taken over
by Allied Forces from the uniformed police and regular T.K.R.
(b) Those authorises to carry arms are only the uniformed police and the regular
T.K.R.
4. These will thereafter be a search of the city by Allied Forces and anyone found in
possession of firearms of conealing them will be liable to sentence of death.
5. Any attemp to attack or molest the Allied internees will be punishable by death.
6. Any Indonesian women and children who wish to leave the city may do so
provided that they leave by 19.00 hours on 9th November and go only towards
Modjokerto or Sidoardjo by road.
(Signed) Maj.Gen.R.C.Mansergh
Commander Allied Land Forces, East Java
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan isi dari ultimatum

Mansergh, sebagai berikut :
 Semua orang yang ditahan sebagai tanggungan orang Indonesia mesti
dikembalikan dalam keadaan baik, selambat - lambatnya pada jam 6
sore tanggal 9 November 1945.
 Semua pemimpin bangsa Indonesia, termasuk pemimpin Gerakan
Pemuda Indonesia, kepala Polisi, dan kepala Radio Surabaya mesti
datang ke Bataviaweg selambat - lambatnya pada pukul 6 sore tanggal
9 November 1945. mereka harus datang dengan baris satu - persatu,
serta segala macam senjata yang ada pada mereka. Segala senjata
tersebut harus diletakan (ditaruh) di tanah pada suatu tempat yang
jauhnya 100 meter dari tempat pertemuan itu. Kemudian mereka harus
datang ke muka dengan kedua tangan diangkat di atas kepala masing -

masing dan mereka akan ditahan, serta harus menandatangani surat
penyerahan dengan tidak pakai perjanjian apa-apa.
 Semua orang Indonesia yang bersenjata dan tidak berhak mempunyai
senjata harus menyerahkan senjata itu.
 Semua orang perempuan dan anak bangsa Indonesia yang tidak berhak
mempunyai


senjata

juga

mesti

datang

ke

sebelah

jalan

Westerbuitenwerg yang terletak di sebelah selatan dari jalan kereta api,
dan di sebelah utara dari masjid di situ atau di persimpangan Jalan
Darmo Boullevard dan Coen Boullevard, paling lambat pukul 6 sore
tanggal 9 November 1945 dengan membawa bendera merah putih dan
berbaris satu - persatu.
 Setelah semua pekerjaan itu selesai mereka tentara Serikat akan
memeriksa seluruh kota, dan apabila kedapatan masih ada orang
Indonesia yang menyimpan atau menyembunyikan senjata, mereka
akan dituntut, dengan hukuman mati.
 Semua

orang perempuan dan anak

bangsa Indonesia

harus

meninggalkan kota, mereka boleh melakukan itu selambat - lambatnya
pada waktu magrib tanggal 9 November 1945. Akan tetapi, hanya
boleh pergi menuju Mojokerto dan Sidoarjo melalui jalan raya.
 Tentara Serikat akan melakukan pembersihan di seluruh kota.
 Jika ultimatum ini tidak ditaati, Inggris akan menghancurkan seluruh
kota Surabaya.
 Ultimatum ini ditandatangai oleh Mayor Jenderal E.C. Mansergh,
Panglima Angkatan Darat Serikat di Jawa Timur. Adanya Ultimatum
ini para pemimpin di Surabaya mengadakan pertemuan.
Demikian peringatan Mansergh yang dikutip juga oleh Presiden
Soekarno dalam pidato radionya, Rabu malam, 31 Oktober 1945 pukul 19.30 di
Jakarta. Dalam pidato radionya Bung Karno dengan panjang lebar
mengisahkan kejadian di Surabaya saat itu. Dalam pidato itu antara lain
dinyatakan:

“Surabaya merupakan satu kekuatan kita, bahwa di Surabaya TKR kita
tersusun dengan baik. Bahwa pemuda - pemuda dan kaum buruh telah
membentuk persatuan-persatuan yang sangat teguh.
Bahwa pertempuran - pertempuran kita dengan tentara Inggris pada
tanggal 28 Oktober sampai 30 Oktober 1945, kurang baik menggunakan
kekuatan itu dengan tidak didasarkan atas siasat bekerja bersama - sama
dengan bahagian di Indonesia lain, dan tidak didasarkan siasat yang bersifat
perjuangan lama, maka kini timbul keadaan yang melemahkan kekuatan di
Surabaya dan di Indonesia.”
Pada bagian akhir pidatonya, Bung Karno berpesan, bahwa musuh kita
bukan Sekutu, tetapi NICA. Oleh sebab itu, semua pertempuran dengan Sekutu
harus dihentikan. Setelah peristiwa tewasnya Mallaby, keadaan Surabaya makin
mencekam. Para pejuang Arek Suroboyo, terus siaga. Sementara biro - kontak
terus melakukan rapat - rapat, tanpa kehadiran Mallaby lagi.
3. Pertempuran 10 November 1945
Pada 10 November 1945, tepat pukul 06.00 pagi, Inggris
membombardir Kota Surabaya. Tentara Inggris mulai melancarkan serangan
berskala besar, yang diawali dengan bom udara ke gedung-gedung
pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri,
sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang. Inggris mulai membom
Surabaya dan perang sengit berlangsung terus menerus selama 10 hari. Dua
pesawat Inggris ditembak jatuh pasukan RI dan salah seorang penumpang
Brigadir Jendral Robert Guy Loder-Symonds terluka parah dan meninggal
keesokan harinya.
Menjelang senja, Inggris telah menguasai sepertiga kota. Surat kabar
Times di London mengabarkan bahwa kekuatan Inggris terdiri dari 25
ponders, 37 howitser, HMS Sussex dibantu 4 kapal perang destroyer, 12
kapal terbang jenis Mosquito, 15.000 personel dari divisi 5 dan 6000
personel dari brigade 49 The Fighting Cock.David Welch menggambarkan
pertempuran tersebut dalam bukunya, Birth of Indonesia (hal. 66).
Berbagai bagian kota Surabaya dibombardir dan ditembak dengan
meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia
kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari
penduduk. Serangan Pejuang RI terhadap Tank-Tank Inggris. Pejuang RI
berhasil menembak jatuh Pesawat Tempur Inggris. Terlibatnya penduduk
dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh menjadi
korban dalam serangan tersebut, baik meninggal mupun terluka.
Di pusat kota pertempuran adalah lebih dasyat, jalan-jalan diduduki
satu per satu, dari satu pintu ke pintu lainnya. Mayat dari manusia, kudakuda, kucing-kucing serta anjing-anjing bergelimangan di selokan-selokan.

Gelas-gelas berpecahan, perabot rumah tangga, kawat-kawat telephon
bergelantungan di jalan-jalan dan suara pertempuran menggema di tengah
gedung-gedung kantor yang kosong.
Perlawanan Indonesia berlangsung dalam dua tahap, pertama
pengorbanan diri secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya
bersenjatakan pisau-pisau belati menyerang tank-tank Sherman, dan
kemudian dengan cara yang lebih terorganisir dan lebih efektif, mengikuti
dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang”
Pertempuran berlangsung dengan ganas selama 3 minggu. seluruh
kota telah jatuh ke tangan sekutu.

Di luar dugaan pihak Inggris yang

menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga
hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang
berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan
pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah
serangan skala besar Inggris. Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan
ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab
Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri
mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu
masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih
patuh dan taat kepada para kyai) sehingga perlawanan pihak Indonesia
berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya.
Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak
terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini
mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya
akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris pada akhir bulan November 1945,
tepatnya tanggal 20 November 1945. Para pejuang Indonesia yang masih
hidup mengikuti ribuan pengungsi yang melarikan diri meninggalkan
Surabaya dan kemudian mereka membuat garis pertahanan baru mulai dari
Mojokerto di Barat hingga ke arah Sidoarjo di Timur.
4. Pidato Bung Tomo
Bismillahirrohmanirrohim..
MERDEKA!!!
Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia
terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya
kita semuanya telah mengetahui bahwa hari ini
tentara inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet
yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua
kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan
menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara
jepang
mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat
tangan
mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan

membawa bendera puitih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka
Saudara-saudara
di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah
menunjukkan
bahwa rakyat Indonesia di Surabaya
pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku
pemuda-pemuda yang berawal dari Sulawesi
pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali
pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan
pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera
pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di
surabaya ini
di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing
dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung
telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol
telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana
hanya karena taktik yang licik daripada mereka itu saudara-saudara
dengan mendatangkan presiden dan pemimpin2 lainnya ke Surabaya ini
maka kita ini tunduk utuk memberhentikan pentempuran
tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri
dan setelah kuat sekarang inilah keadaannya
Saudara-saudara kita semuanya
kita bangsa indonesia yang ada di Surabaya ini
akan menerima tantangan tentara inggris itu
dan kalau pimpinan tentara inggris yang ada di Surabaya
ingin mendengarkan jawaban rakyat Indoneisa
ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indoneisa yang ada di Surabaya
ini
dengarkanlah ini tentara inggris
ini jawaban kita
ini jawaban rakyat Surabaya
ini jawaban pemuda Indoneisa kepada kau sekalian
hai tentara inggris
kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk
kepadamu
kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu
kau menyuruh kita membawa senjata2 yang telah kita rampas dari tentara
jepang untuk diserahkan kepadamu
tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita
untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada
tetapi inilah jawaban kita:
selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah
yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih
maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga
Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah! keadaan genting!
tetapi saya peringatkan sekali lagi
jangan mulai menembak
baru kalau kita ditembak
maka kita akan ganti menyerang mereka itukita tunjukkan bahwa kita ini
adalah benar-benar orang yang ingin merdeka
Dan untuk kita saudara-saudara
lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka
semboyan kita tetap: merdeka atau mati!
Dan kita yakin saudara-saudara
pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita
sebab Allah selalu berada di pihak yang benar

percayalah saudara-saudara
Tuhan akan melindungi kita sekalian
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
MERDEKA!!!
5. Korban Pertempuran Surabaya
Setidaknya 6,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000
rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India
kira-kira sejumlah 600. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan
ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh
Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.
Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari
10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik
Indonesia hingga sekarang. Lebih dari 20.000 tentara indonesia, laskar dan
penduduk surabaya gugur dalam pertempuran ini. Kota surabaya benar-benar
hancur lebur di bumi hanguskan. Korban dipihak inggris lebih dari 1.500
serdadu tewas. Sedangkan 300 tentara inggris dari india serta pakistan memilih
disersi dan bergabung bersama pejuang republik Indonesia. Dunia internasional
mengutuk serangan Inggris di Surabaya serangan ini dianggap sebagai
perbuatan yang biadab.

C. TOKOH-TOKOH PERTEMPURAN SURABAYA
1. Gubernur Suryo
a. Biografi
Lahir di Magelang, 9 Juli 1898, Wafat di Ngawi, 10 September
1948 di makamkan di Magelang. Raden mas (R.M.) Suryo memiliki latar
belakang pendidikan kepamongprajaan antara lain OSVIA dan Bestuurs
School. Selain itu Suryo juga pernah mendapat pendidikan polisi di
Sukabumi.
Awal karirnya dirintis saat ia bekerja sebagai pamongpraja di
Ngawi, kemudian sebagai mantri di Madiun, dan pada masa penjajahan
belanda sebagai bupati Magetan. Pada masa penjajahan jepang, suryo
diangkat sebagai Syucokan (Residen) di Bojonegoro.
R.M. Suryo kemudian diangkat sebagai Gubernur Jawa Timur
pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Ibukota Provinsi Jawa
Timur ini berkedudukan di kota Surabaya.
Tahun 1947, R.M. Suryo diangkat sebagai anggota Dewan
Petimbangan Agung (DPA). Tanggal 10 september 1948, R.M. Suryo di
culik dan dibunuh oleh gerombolan PKI disaat sedang melakukan perjalanan
dinas ke Ngawi. Ketika itu PKI sedang bersiap untuk melakukan

pemberontakan. R.M.

Suryo mendapat

gelar Pahlawan

Kemerdekaan

Nasional seperti tertera pada SK Presiden RI No. 294 Tahun 1964.
b. Peranan Dalam Pertempuran Surabaya
Peran R.M. Suryo adalah sebagai penyemangat rakyat Surabaya
agar tidak menyerah kepada Sekutu. Tanggal 23 Oktober 1945, pasukan
Sekutu (AFNEI) dari Brigade di Surabaya. Kedatangan AFNEI sebenarnya
bertujuan melucuti pasukan Jepang dan memulangkanya ke negeri asal
mereka. Namun, ternyata pasukan Belanda turut membonceng dan ingin
menjajah Indonesia Kembali. Kemudian terjadilah pertempuran yang
menewaskan Brigjen Mallaby.
Sekutu menjadi amat marah dan mendatangkan pasukan
tambahan di bawah pimpinan Mayjend R.C. Mansergh. Tanggal 9 November
1945, sekutu mengultimatum agar para pejuang Surabaya menyerah. Masih
di tanggal yang sama, R.M. Suryo segera melakukan turun rembuk dengan
tentara keamanan rakyat (TKR). Hasilnya, 9 November 1945, pukul 23.00
WIB melalui siaran radio R.M. Suryo menyatakan menolak ultimatum
Inggris. R.M. Suryo juga memerintahkan rakyat Surabaya untuk siap
berperang melakukan perlawanan. Maka pada tanggal 10 November 1945
terjadilah

pertempuran

besar-besran

yang

sering

disebut

sebagai

Pertempuran 10 November.
2. Bung Tomo
a. Biografi
Sutomo atau lebih dikenal sebagal Bung Tomo dilahirkan di
Kampung Blauran, Surabaya, pada 3 Oktober 1920. Ayahnya bernama
Kartawan Tjiptowidjojo, Sutomo adalah sosok yang aktif berorganisasi
sejak remaja. Bergabung dalam Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), beliau
tercatat sebagai salah satu dari tiga orang pandu kelas I di seluruh Indonesia
saat itu.
Sutomo meninggal di Mekkah, ketika sedang menunaikan ibadah
haji. Jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke Indonesia dan dimakamkan di
TPU Ngagel, Surabaya. Bung Tomo, pahlawan pengobar semangat Juang
arek-arek Surabaya ini mendapat gelar pahlawan secara resmi dan
pemerintah pada tahun 2008.
b. Peranan dalam Pertempuran Surabaya
Ketika meletus pertempuran di Surabaya, 10 November 1945,
Bung Tomo tampil sebagai orator ulung di depan corong radio,
membakar semangat rakyat untuk berjuang melawan tentara Inggris dan
NICA-Belanda. Sejarah mencatat bahwa perlawanan rakyat Indonesia di

Surabaya yang terdiri atas berbagai suku bangsa sangat dahsyat. Tidak
ada rasa takut menghadapi tentara Inggris yang bersenjata lengkap.
Tanggal 10 November pun kemudian kita kenang sebagai Hari Pahlawan.
Salah satu kutipan dari Bung Tomo untuk menyemangati para pemuda
Surabaya adalah sebagai berikut :
“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah
merah jang dapat membikin setjarik kain poetih mendjadi merah &
putih, maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah kepada
siapapoen djuga!”

3. Brigjen AWS Mallaby
a. Biografi
Aubertin Walter Sothern (A.W.S.) Mallaby atau juga dikenal
dengan Brigadir Jenderal Mallaby (lahir di Britania Raya pada 1899 –
meninggal di Surabaya, Indonesia, 30 Oktober 1945 pada umur 46 tahun)
adalah brigadir jenderal Britania yang tewas dalam peristiwa baku
tembak 30 Oktober di Surabaya dan memicu keluarnya ultimatum Inggris
dan meledaknya Pertempuran 10 November.
Karier militer
 1941–1942: Deputi Direktur Operasi Militer, India.
 1943–1944: Direktur Operasi Militer, India
 1944–1945: Perwira Komandan Brigade 49 Divisi India, Hindia
Belanda
 1945: Tewas dalam pertempuran di Surabaya, Indonesia (Hindia
Belanda setelah proklamasi kemerdekaan)
b. Peranan dalam Pertempuran Surabaya
Brigadir Jenderal Mallby adalah komandan Brigade 49 Divisi
India dengan kekuatan ± 6.000 pasukan yang merupakan bagian dari
Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI), pasukan Sekutu yang
dikirim ke Indonesia setelah selesainya Perang Dunia II untuk melucuti
persenjataan tentara Jepang, membebaskan tawanan perang Jepang dan

mengembalikan Indonesia kembali menjadi Hindia Belanda kekuasaan
Belanda di bawah administrasi NICA (Netherlands Indies Civil
Administration). Mallaby memimpin pasukannya di Surabaya untuk ikut
mengambil alih daerah Surabaya.

D. PERTEMPURAN SURABAYA DAN HARI PAHLAWAN
Pertempuran yang meletus pada 10 November 1945 berawal dari
ultimatum pasukan Sekutu (yang diwakili Inggris) kepada para pejuang Indonesia,
khususnya di Surabaya. Pasukan Sekutu mulai berdatangan di Indonesia, termasuk
Surabaya, pada 15 September 1945 setelah Sekutu menang Perang Dunia (PD) II
melawan pasukan Amerika yang diperkuat Jerman dan Jepang. Puncaknya, kata
Hartoyik, adalah saat ultimatum diberikan oleh Mayor Jenderal Robert Mansergh
setelah tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby (pimpinan tentara Sekutu/Inggris
untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 di sekitar Jembatan Merah. Mansergh
merupakan pengganti Mallaby, dan menuduh bahwa yang menewaskan Mallaby
adalah pejuang Indonesia.
a.JUMLAH KORBAN
Soal perang di Surabaya, Eddy Samson memiliki fotokopi potongan
berita koran United Press terbitan Inggris. 20,000 tentara 100,000 sukarelawan
melawan 30,000 (puncak) didukung tank, pesawattempur, dankapalperang. Dalam
surat kabar bertanggal 22 November 1945 tertulis bahwa penyerangan Sekutu di
Kota Surabaya diduga telah menyebabkan 60.000 warga Kota Surabaya tewas,
termasuk sekitar 5.000 warga etnis Tionghoa yang bermukim di Surabaya. Sekitar
200.000 rakyat sipil berbondong-bondong mengungsi dari Surabaya untuk
menghindari perang.
b. WAKTU PERTEMPURAN
Menurut Eddy Emanuel Samson, yang juga ketua de Indo Club
Surabaya, peperangan tersebut tak bisa dilihat sebagai persoalan kalah atau
menang dalam jangka pendek., mereka akan bisa tundukkan Surabaya dalam 3
hari. Nyatanya, perang tersebut berlangsung hampir 100 hari hingga melewati
Desember 1945. Ini karena tak hanya pasukan resmi Republik Indonesia (yakni
Tentara Keamanan Rakyat) yang terlibat perang. Milisi - milisi rakyat yang
dibentuk oleh organisasi-organisasi keagamaan sepertu NU juga ikut

mendukung setelah munculnya resolusi jihad yang dicetuskan para ulama
Jatim, di antaranya KH. Hasyim Asy`ari (pendiri NU), KH. Wahab Hasbullah
serta para kyai pesantren lainnya.
Meskipun kalah, kegigihan dan militansi para pejuang arek - arek
Suroboyo dalam menghadapi pasukan penjajah telah mengilhami rakyat di
daerah - daerah lain di Indonesia untuk berani melawan penjajah baru. Di
antaranya di Jakarta pada tanggal 18 November, di Semarang pada 18
November, di Riau 18 November, di Ambarawa tanggal 21 November, di
Bandung 6 Desember dan di Medan pada 6 Desember.
Perjuangan arek - arek Suroboyo telah menggugah rasa kebersamaan
patriotik dalam perjuangan. Itu pula tampaknya alasan yang mendasari
Pemerintah di zaman Soekarno menetapkan 10 November sebagai Hari
Pahlawan.

c.KEPUTUSAN PRESIDEN
Menjelang tahun 1950-an, Presiden Soekarno menetapkan tanggal
tersebut sebagai Hari Pahlawan. Sebagaimana diusulkan Soemarsono, mantan
pimpinan tertinggi gerakan Pemuda Republik Indonesia (PRI) yang ikut ambil
bagian dalam peperangan sengit itu. Menurut sejarawan Universitas Indonesia
(UI) JJ Rizal, Bung Karno sengaja memanfaatkan momentum itu untuk
melegitimasi peran militer dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Sehingga
nilai kepahlawanan tersemat dalam sebuah perjuangan melawan agresi militer.
Untuk memobilasi kepahlawanan secara militeristik, makanya 10
November dijadikan Hari Pahlawan, Setelah Hari Pahlawan ditetapkan, figur figur yang secara historis ikut berjuang pun diberi gelar kepahlawanan.
Meskipun, kata Rizal, pada perjalanannya tolok ukur kepahlawanan ini tidak
mutlak dilihat dari sisi sejarah, melainkan dicampuri kepentingan rezim
penguasa. Pada masa Soekarno, tokoh-tokohnya 50 persen masih bisa
dipertanggungjawabkan. Tapi mulai zaman Soeharto. Indonesia menjadi
negara yang terus memproduksi pahlawan dengan penilaian yang lebih
cenderung pada pertimbangan politik. Dimana pahlawan lebih banyak berasal
dari lembaga Kemiliteran atau Kepolisian.

Mengenai makna Hari Pahlawan sendiri, sejarawan menilai, saat ini
lebih mengedepankan unsur seremoni belaka, tanpa menghayati nilai - nilai
perjuangan yang dipesankan oleh para pahlawan ini. Padahal, kata dia, yang
terpenting adalah mengambil tauladan dari nilai - nilai perjuangan untuk
diaplikasikan dalam kehidupan sehari - hari. Akan menjadi ironi jika
memperingati Hari Pahlawan sebatas seremoni.

E. SITUASI BANDUNG SEBELUM PERISTIWA BANDUNG
LAUTAN API
1. Bandung sebelum Kedatangan Inggris
Sebelum kedatangan Tentara Inggris di Bandung, beberapa tokoh
pimpinan di Bandung antara lain : Arji Kartawinata, Suriadarma, Omon
Abdurahman, Hidayat dan lain-lainya telah membentuk Badan Keamanan
Rakyat (BKR) yang terdiri dari para pemuda-pemuda bekas PETA, HEIHO
dan KNIL. Diluar Organisasi BKR, di Bandung telah terbentuk laskar-laskar
perjuangan yang ingin mempertahankan NKRI yang baru diproklamasikan
yaitu antara lain : Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI), Hisbullah,
Angkatan Pemuda Indonesia, Laskar Pangeran Fak-fak .
Dengan banyaknya jumlah pasukan dan laskar-laskar perjuangan di
daerah Priangan maka pada tanggal 15 September 1945 di Bandung dibentuk
sebuah badan koordinasi yang dinamakan “Majelis Dewan Perjuangan
Priangan” disingkat MDPP dibawah komando pimpinan Letkol Sutoko
dengan tujuan untuk mengkoordinasikan semua unsur kekuatan pasukan dan
laskar-laskar perjuangan yang ada, sehingga terjadi kesatuan komando dalam
perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 14
Desember 1945 Majelis Dewan Perjuangan Priangan diubah menjadi
“Majelis Persatuan Perjuangan Priangan” yang disingkat MPPP yang terdiri
dari semua pasukan-pasukan, laskar-laskar, jawatan-jawatan Sipil dan
perwakilan TKR.
Setelah terbentuknya Majelis Persatuan Perjuangan Priangan, maka
dimulailah gerakan untuk merebut tempat-tempat strategis di Kota Bandung
yang masih berada secara de-fakto ditangan kekuasaan Tentara Jepang. Pada
tanggal 27 September 1945 jam 11.00 pasukan Angkatan Muda PTT
dipimpin pleh Sutoko dan Nawawi Alif melakukan perebutan Kantor Pusat
Telepon Telegraf (PTT) yang berada di jalan Moh. Toha dengan
bersenjatakan bambu runcing dan berhasil menguasai kantor PTT. Pada
keesokan harinya tanggal 28 September 1945, Pemuda-pemuda Jawatan
Kereta Api (JKA) dibawah pimpinan Ir. Juanda berhasil menguasai Kantor

Jawatan Kereta Api, merebut dan menguasai Kantor Pertambangan, Kota
Praja, Karesidenan dan obyek-obyek militer di Gudang Utara.
Upaya untuk merebut tempat-tempat strategis terus berlanjut pada
tanggal 9 Oktober 1945 para pemuda dibawah pimpinan Ki Cokro berhasil
mengambil alih Pabrik Senjata Kiaracondong ACW (sekarang Pindad).
Bentrokan antara para pemuda dengan tentara Jepang yang secara de facto
masih memegang senjata meskipun sudah kalah dari Sekutu terus terjadi
seperti yang terjadi di Markas Kempetai Jepang di Jalan Heetjanweg
sekarang jalan Mohamad Toha, dan dilanjutkan dengan serangan pada malam
hari tanggal 11 Oktober 1945 dipimpin oleh Walikota Bandung Atmawinata
dan para pemuda dan berhasil melumpuhkan kekuatan Tentara Jepang di
Tegalega. Selanjutnya pemuda Ali Hanifiah berhasil merebut Gudang DKA
(Jawatan Kereta Api) dan kemudian juga Pasukan Abdullah Sajad berhasil
merampas persenjataan Batalyon 10 Jepang di Jalan Menado Bandung.
Dalam suasana yang masih hangat berhubung adanya insiden
bersenjata dengan tentara Jepang tersebut tibalah di Kota Bandung Brigjen
Mc. Donald bersama anak buahnya, mereka datang dari Jakarta menuju
Bandung dengan naik Kereta Api.

2. Insiden Perobekan Bendera
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia belum
sepenuhnya merdeka. Kemerdekaan harus dicapai sedikit demi sedikit
melalui perjuangan rakyat yang rela mengorbankan segalanya. Setelah
Jepang kalah, tentara Inggris datang untuk melucuti tentara Jepang. Mereka
berkomplot dengan Belanda (tentara NICA) dan memperalat Jepang untuk
menjajah kembali Indonesia.
Berita pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan dari Jakarta diterima
di Bandung melalui Kantor Berita DOMEI pada hari Jumat pagi, 17 Agustus
1945. Esoknya, 18 Agustus 1945, cetakan teks tersebut telah tersebar.
Dicetak dengan tinta merah oleh Percetakan Siliwangi. Di Gedung DENIS,
Jalan Braga (sekarang Gedung Bank Jabar), terjadi insiden perobekan warna
biru bendera Belanda, sehingga warnanya tinggal merah dan putih menjadi
bendera Indonesia. Perobekan dengan bayonet tersebut dilakukan oleh
seorang pemuda Indonesia bernama Mohammad Endang Karmas, dibantu
oleh Moeljono.
Tanggal 27 Agustus 1945, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR),
disusul oleh terbentuknya Laskar Wanita Indonesia (LASWI) pada tanggal 12

Oktober 1945. Jumlah anggotanya 300 orang, terdiri dari bagian pasukan
tempur, Palang Merah, penyelidikan dan perbekalan.
Peristiwa yang memperburuk keadaan terjadi pada tanggal 25
November 1945. Selain menghadapi serangan musuh, rakyat menghadapi
banjir besar meluapnya Sungai Cikapundung. Ratusan korban terbawa
hanyut dan ribuan penduduk kehilangan tempat tinggal. Keadaan ini
dimanfaatkan musuh untuk menyerang rakyat yang tengah menghadapi
musibah.
Berbagai tekanan dan serangan terus dilakukan oleh pihak Inggris dan
Belanda. Tanggal 5 Desember 1945, beberapa pesawat terbang Inggris
membom daerah Lengkong Besar. Pada tanggal 21 Desember 1945, pihak
Inggris menjatuhkan bom dan rentetan tembakan membabi buta di Cicadas.
Korban makin banyak berjatuhan.

F. KRONOLOGI BANDUNG LAUTAN API
1. Tentara Sekutu (Inggris) memasuki Kota Bandung.
Pada tanggal 12 Oktober 1945 Brigade Mc. Donald dari Devisi ke-23
Inggris tiba di Bandung atas persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.
Tujuan Mc. Donald ke Bandung adalah dalam rangka mengemban misi
Sekutu untuk melucuti Tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang
dan interniran Sekutu. Misi ini awalnya berjalan dengan baik, namun setelah
diketahui bahwa pasukan Inggris membiarkan bekas tawanan Jepang yaitu
orang-orang Belanda dan Indo Belanda mulai mempersenjatai diri dan mulai
bertindak arogan dan mulai membuat kekacauan-kekacauan ditambah dengan
hadirnya Orang-orang NICA Belanda maka, para pemuda dan pasukan TKR
dari Batalyon Achmad Wiranatakusumah mulai mengadakan serangan
terhadap pusat Kamp tawanan Belanda d Hotmanweg (sekarang Jalan
Supratman). Disamping itu patut kita kagumi keberanian dari salah seorang
pemuda Bandung yang gagah berani yaitu Pemuda E. Karmas yang dengan
keberaniannya naik keatas

Gedung Denis

(Sekarang Bank Karya

Pembangunan) terletak di jalan Braga, untuk merobek Bendera Belanda
Warna merah putih biru sehingga yang tinggal warna merah dan putihnya
saja. Inggris tidak senang dengan kejadian tersebut sehingga Tentara Inggris
mulai melakukan balas dendam dengan melakukan pemboman-pemboman
terhadap Cicadas, Lengkong Besar dan Tegalega yang merupakan Markas
Batalyon TKR.
Tanggal 14 Oktober Tentara Inggris telah berhasil menyusun Markas
Komandonya di Hotel Savoy Homan dan Hotel Preanger dan mulai
mengadakan “Case fire Order” atau gencatan senjata melalui kontak

hubungan dengan pejabat-pejabat pemerintah RI di Bandung antara lain
dengan Walikota Bandung. Dari pertemuan tersebut disepakati terbentuknya
“Badan Penghubung” yang dalam hal ini pihak Inggris diwakili oleh Kapten
Gray dan Clark sedangkan Indonesia diwakili Syamsurizal dan Male
Wiranatakusuma. Dari Badan penghubung diperoleh kesepakatan dengan
pihak Sekutu bahwa dalam segala hal, pihak Sekutu harus meminta
pertimbangan dan persetujuan Pemerintah RI di Bandung namun untuk
usulan yang kedua dimana Inggris meminta agar senjata yang dimiliki
penduduk diserahkan ke pahak Inggris tidak dapat dipenuhi. Akibatnya
ketegangan antara kedua belah pihak tak terhindarkan lagi. Dalam situasi dan
kondisi ketidak pastian tersebut pada tanggal 23 Nopember 1945, 19 orang
serdadu Inggris yaitu orang-orang India dan Pakistan, menyeberang ke pihak
kita lengkap dengan persenjataannya dan dua buah Truk. Mereka itu sudah
jemu dan lelah berperang dan bersimpati terhadap perjuangan Kemerdekaan
Indonesia.
Pihak

Inggris

mengeluarkan

ultimatum

agar

orang-orang

India/Pakistan itu diserahkan kembali ke pihak Inggris. Ultimatum itu ditolak
oleh pihak Indonesia. Untuk menghadapi segala kemungkinan yang mungkin
timbul, maka TKR dan para pemuda mulai mengadakan persiapan-persiapan
untuk serangan malam dengan menempatkan barikade-barikade di jalan-jalan
dibeberapa tempat di kota Bandung untuk menghambat gerak maju tentara
Inggris di Bandung. Pada malam hari tanggal 24 Nopember 1945 dengan
serentak kita memadamkan aliran listrik di seluruh kota Bandung, untuk
kemudian secara serentak TKR dan para Pemuda dibawah Komando
pertempuran Letkol Arudji Kartawinata selaku Komandan TKR, mengadakan
serangan-serangan terhadap kedudukan Tentara Inggris di Kota Bandung
Utara dan Hotel Preanger serta Savoy Homan yang ada disebelah selatan.
Komando serangan tersebut diberikan melalui pemancar radio “Banteng
Hitam” yang berlokasi di Gang Asmi. Akibat serangan mendadak dan
bertubi tubi, maka pihak Sekutu tidak mampu lagi menghadapi pasukan TKR
dan para pejuang, sehingga Inggris mengambil siasat untuk melakukan
perundingan sambil menyusun siasat baru.

2. Banjir Sungai Cikapundung dan Ultimatum Sekutu
Akhir bulan Nopember 1945 adalah saat-saat yang merupakan harihari kelabu bagi penduduk kota Bandung. Inggris mulai melakukan “offensif
balas” terhadap kedudukan TKR, Laskar Pejuang dan pemuda serta
penduduk kota Bandung. Disamping menghadapi serangan-serangan musuh,
penduduk kota Bandung harus menghadapi musibah banjir besar sungai

Cikapundung yang terjadi pada Minggu malam tanggal 25 Nopember 1945.
Banjir besar sungai Cikapundung yang penuh dengan keganasan telah
meremdam daerah-daerah Lengkong Besar, Sasak Gantung, Banceuy dan
daerah Balubur yang telah berubah menjadi Telaga. Banjir besar itu telah
menelan ratusan orang korban dan menurut penyelidikan banjir itu
diakibatkan oleh sabotase yang dilakukan oleh agen-agen NICA yang telah
menjebol pintu air Cikapundung di Bandung utara atas yaitu Dago.
Penderitaan dan kepedihan penduduk Bandung belum berakhir, datang
kembali ujian berat yang harus dipikul oleh rakyat Bandung. Pada tanggal 27
Nopember 1945 Markas Besar Tentara Inggris di Bandung mengeluarkan
ultimatum yang ditujukan kepada Penduduk Bandung. Isi Ultimatum tersebut
berbunyi “Orang-orang Indonesia yang bertempat tinggal di daerah utara
Kota Bandung dengan batas rel kereta api yang membujur dari barat ke
timur, mereka yang tinggal di sebelah utara rel kereta api harus meninggalkan
rumah dan halaman mereka dan pindah ke selatan rel Kereta Api”. Alasan
dari Brigjen Mac Donald adalah untuk menjaga keamanan jangan sampai
orang-orang tidak berdosa terbunuh dan teraniaya. Batas ultimatum adalah
tanggal 29 Nopember 1945 pukul 12.00 WIB. Apabila sampai batas waktu
yang ditentukan tidak ditaati maka Inggris/Belanda akan menangkap setiap
orang-orang yang ditemui dan menembak mati setiap orang Indonesia yang
bersenjata.
Setelah tersiarnya ultimatum Sekutu tersebut maka beberapa penduduk
yang mendiami daerah Bandung Utara pindah ke bagian Selatan. Tetapi
unsur-unsur bersenjata kita tetap tinggal di utara dan membentuk kantongkantong gerilya disekitar rumah sakit Boromeus, Sekeloa dan Sadang Serang.
Setelah batas waktu ultimatum habis, maka Sekutu menetapkan dan
mengumumkan bahwa Bandung telah terbelah Dua, bagian utara adalah
daerah Sekutu sedangkan bagian selatan adalah daerah RI. Selanjutnya
pasukan Sekutu/Inggris mulai menembaki pemukiman penduduk yang masih
bertahan disebelah utara rel Kereta Api dan berusaha menguasai Gedung Sate
yang sudah menjadi milik Republik Indonesia. Para pemuda yang terdiri
dari : Didi Kamarga, Malhatarudin, Subengat, Suryono, Suhado, Rana dan
Susilo dengan gagah berani berusaha untuk mempertahankan Gedung sate
dari serbuan Sekutu dan bertempur dengan senjata seadanya tanggal 3
Desember 1945 melawan sekutu sehingga ketujuh pejuang tersebut gugur
sebagai ratna mempertahankan Republik Indonesia.
Dalam waktu yang hampir bersamaan terjadi pertempuan melawan
Sekutu di sekitar Unpad, Cihaurgelis, Viaduc, Ciatel dan Lengkong tanggal 6

Desember 1945, TKR, laskar dan para pemuda dapat mengimbangi tentara
Sekutu, hingga Sekutu harus mengerahkan 3 buah pesawat jenis F 51
Musteng, 2 buah pesawat B 25 dan diperkuat oleh Tank-tank dan Pasukan
Ghurka yang bergerak dari markas tentara sekutu di Hotel Homan dan
Preanger untuk dapat menembus barekade-barekade yang dipasang
disepanjang Jalan Lengkong dan akhirnya Sekutu dapat membebaskan para
interniran Belanda yang berada di Ciatel.

3. Pengeboman Sekutu terhadap daerah Cicadas dan Tegalega
Daerah Cicadas merupakan jalur pelintasan para pejuang dari daerah
Bandung selatan ke daerah Bandung Utara atau sebaliknya, sehingga Inggris
pada tanggal 14 Desember 1945 membombardir Cicadas untuk memutus
jalur perlintasan jalan yang biasa digunakan oleh para pejuang dan untuk
mengamankan gudang senjata Bojong Koneng yang ditunggui tentara
Jepang. Inggris menempatkan pasukan Gurkha sebagai Pos terdepan didepan
Rumah Sakit Santo Yusuf (sekarang). Pada siang hari merekalah yang
mengendalikan keadaan tetapi pada malam hari secara gerilya pejuang
kitalah yang menguasai keadaan.
Pertempuran-pertempuran secara seporadis antara tentara Inggris dan
TKR, Laskar-laskar dan para pemuda terus berlangsung disepanjang garis
demarkasi rel kereta api sampai akhir tahun 1945 hingga awal tahun 1946,
dan garis demarkasi sepanjang Viaduct-Cikudapateuh sepenuhnya masih
dalam pengawasan pasukan kita.
Pada tanggal 20 Maret 1946 tentara Inggris melancarkan serangan
udaranya dengan membombardir daerah Tegalega dan sekitarnya dengan
mengerahkan 2 Pesawat pembom B 25. Tegalega dijadikan target serangan
Sekutu karena di daerah tersebut terletak Markas TRI Batalyon Sumarsono,
Anggota Pasukan Istimewa dan Studio Radio Republik Indonesia Bandung
sehingga banyak jatuh korban di pihak kita terutama para penduduk yang
tidak berdosa, sehingga kejadian ini mendapatkan protes dari walikota
Bandung Samsurizal tetapi dijawab oleh Inggris bahwa pembomanpemboman yang dilakukan sekutu adalah sebagai pembalasan terhadap pihak
TRI yang telah melepaskan tembakan mortir ke arah kedudukan Inggris di
Utara jalan rel kereta api sehingga banyak wanita dan anak – anak yang
menjadi korban.

4. Kota Bandung Menjelang Peristiwa Bandung Lautan Api
Menghadapi perlawanan para pejuang TRI, laskar dan para pemuda
yang semakin menjadi jadi, makin lama Inggris mengalami kekurangan
pasukan sehingga perlu mendatangkan bala bantuan dari Jakarta.

Menghadapi situasi tersebut, TRI bersama para pemuda dan laskar-laskar
perjuangan mulai mengadakan persiapan untuk mengadakan penghadangan
terhadap konvoi Sekutu yang akan memasuki kota Bandung. Dibawah
kendali pimpinan Mayor Sumarsono, Komandan Batalyon II Resimen Kota
Bandung siap melakukan penghadangan terhadap pasukan Sekutu di jalan
Foker (sekarang jalan Garuda).
Tidak berapa lama iring-iringan konvoi sekutu berdatangan memasuki
kota Bandung dari arah Cimahi. Iring-iringan tersebut cukup panjang
diperkirakan berkekuatan 1000 orang diperkuat dengan kendaraan-kendaraan
Power Wagon, Tank, Jeep dan lain-lainnya. Setelah iring-iringan konvoi
memasuki Jalan Foker mendapatkan serangan secara mendadak dari batalyon
Sumarsono sehingga mereka tidak sempat menghindar atau berlindung
sehingga Inggris mendatangkan bala bantuan pasukan dari Andir yang
sebagian besar adalah pasukan Gurkha akibatnya pasukan kita terdesak dan
mulai merubah pola penyerangan bersifat

seporadis. Dalam suasana

pertempuran tersebut, seorang Kapten Ghurka yang bernama Mirza bersama
dengan sebagian anak buahnya menyeberang ke pihak kita bersama
kendaraan Power Wagon beserta persenjataan dan munisinya. Kapten Mirza
kemudian bergabung dengan Batalyon Sumarsono.
Menjelang Magrib pasukan-pasukan penghadang yang sudah berhasil
mengadakan penghadangan terhadap konvoi Sekutu di Jalan Foker
mengundurkan diri kedaerah Situ Aksan (sekarang situnya sudah tidak ada
dan berubah menjadi pemukiman padat). Hasil dari penghadangan tersebut
antara lain pasukan TRI berhasil merebut sebagian perbekalan musuh, senjata
dan sebuah pemancar radio. Dari pihak TRI dan pemuda beberapa
prajurit/pemuda gugur dan demikian pula dipihak musuh.

5. Ultimatum kedua dan Bandung dibumihanguskan
Pertempuran demi pertempuran yang terus berkecamuk di Kota
Bandung membuat gerah dan panas telinga bagi Sekutu/Inggris, dan Inggris
tidak ingin membiarkan kondisi ini berlarut-larut yang dapat menghilangkan
gengsinya dimata dunia, karena mereka adalah sebagai pemenang Perang
Dunia Ke II harus tersandung oleh TRI, Laskar dan para pemuda yang
mereka sebut “pemuda peyem”, tentara kemaren sore yang minim teori,
taktik dan pengalaman pertempuran. Inggris tidak mau lagi berurusan dengan
walikota Bandung tetapi langsung melakukan diplomasi dengan pemerintah
Pusat RI di Jakarta. Tanggal 22 Maret 1946 jam 13.30 pimpinan
Sekutu/Inggris di Bandung menelpon kekantor pemerintahan Republik
Indonesia di Bandung, menyatakan adanya pesan dari Head Quartes bahwa

Mayor Jenderal Didi Kartasasmita dan wakil menteri Mr. Syafrudin
Prawiranegara telah tiba di Bandung untuk menyampaikan amanat Perdana
Menteri RI Sutan Syahrir.
Sebagai kelanjutan agar diperoleh keputusan yang pasti tentang
amanat Perdana Menteri RI, maka Jenderal Mayor Didi Kartasasmita sebagai
Komandan Komandemen I Jawa Barat didampingi oleh Komandan TRI
Divisi III Kolonel A.H. Nasution kembali ke Jakarta tanggal 23 Maret 1946.
Tanggal 24 Maret 1946 pukul 10.00 WIB Komandan TRI Divisi III Kolonel
A.H. Nasution tiba kembali di Bandung dari Jakarta dan langsung
memberikan penjelasan kepada Pemerintahan Sipil, Polisi, Badan Pekerja,
KNI Priangan serta Badan-badan perjuangan tentang hasil pertemuanya
dengan Perdana Menteri RI.
Dikatakan oleh A.H. Nasution bahwa Pemerintah Pusat tetap pada
keputusan yang telah diambil untuk kepentingan deplomasi yaitu “Semua
orang dan pasukan bersenjata selambat-lambatnya tanggal 24 Maret 1946
harus meninggalkan kota Bandung keluar hingga jarak 11 kilometer dan tidak
diperbolehkan

melakukan

pembakaran-pembakaran

atau

pengrusakan

pengrusakan”. Karena pendirian Pemerintah Pusat tetap seperti keputusan
semula akhirnya dengan berat hati patuh atas keputusan Pemerintah Pusat.
TRI minta pengunduran waktu sampai 10 hari karena perlu persiapan, tetapi
ditolak oleh Inggris. Dilain pihak Syamsurizal (Walikota Bandung)
bersikukuh untuk tetap tinggal di dalam kota bersama masyarakat kota
Bandung. Untuk menghindari jatuhnya korban, maka pukul 16.00 tanggal 24
Maret 1946 Komandan Divisi III mengirimkan pesan supaya pemerintah kota
Bandung jam 22.00 harus meninggalkan kota sebab seluruh kota akan
dib