Konsep Umum Penyakit Sifilis dan

BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi Sifilis
Sifilis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Treponema pallidum yang bersifat
kronis dan sistemik ditandai dengan lesi primer diikuti dengan erupsi sekunder pada kulit dan
selaput lendir kemudian masuk kedalam periode laten tanpa manifestasi lesi di tubuh diikuti
dengan lesi pada kulit, lesi pada tulang, saluran pencernaan, sistem syaraf pusat dan sistem
kardiovaskuler. Infeksi ini dapat ditularkan kepada bayi di dalam kandungan (sifilis
kongenital) (Hutapea, 2010).
2.2 Epidemiologi
Sifilis tersebar diseluruh dunia dan telah dikenal sebagai penyakit kelamin klasik yang
dapat dikendalikan dengan baik. Di Amerika Serikat kejadian sifilis dan sifilis kongenital
yang dilaporkan meningkat sejak tahun 1986 dan berlanjut sampai dengan tahun 1990 dan
kemudian menurun sesudah itu. Peningkatan ini terjadi terutama di kalangan masyarakat
dengan status sosial ekonomi rendah dan di kalangan anak-anak muda dengan kelompok usia
yang paling sering terkena infeksi adalah golongan usia muda berusia antara 20 – 29 tahun,
yang aktif secara seksual. Adanya perbedaan prevalensi penyakit pada ras yang berbeda lebih
disebabkan oleh faktor sosial daripada faktor biologis. Dari data tahun 1981-1989 insidensi
sifilis primer dan sekunder di Amerika Serikat meningkat 34% yaitu 18,4% per 100.000
penduduk. Dibanyak wilayah di AS, terutama di daerah perkotaan dan di daerah pedesaan
bagian selatan faktor risiko yang melatarbelakangi peningkatan prevalensi sifilis pada

kelompok ini antara lain pemakaian obat-obat terlarang, prostitusi, AIDS dan hubungan seks
pertama kali pada usia muda. Pada tahun 2003-2004 terjadi peningkatan prevalensi sifilis
sebanyak 8 % dari 2,5 menjadi 2,7 per 100.000 populasi. Sedangkan pada tahun 2006 – 2007
terjadi peningkatan 12% dari 3,3 menjadi 3,7 per 100.000 populasi (Liu,2009).

3

Etiologi dan morfologi
Sifilis disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum yang merupakan spesies Treponema

dari famili Spirochaetaceae, ordo Spirochaetales. Treponema pallidum berbentuk spiral,
negatif-Gram dengan panjang rata-rata 11 µm (antara 6-20 µm) dengan diameter antara 0,09
– 0,18 µm. Treponema pallidum mempunyai titik ujung terakhir dengan 3 aksial fibril yang

keluar dari bagian ujung lapisan bawah. Treponema dapat bergerak berotasi cepat, fleksi sel
dan maju seperti gerakan pembuka tutup botol (Hutapea, 2009).
4

Gejala klinis
Menurut hasil pemeriksaan histopatologis, perjalanan penyakit sífilis merupakan penyakit


pembuluh darah dari awal hingga akhir. Dasar perubahan patologis sífilis adalah inviltrat
perivaskular yang terdiri atas limfosit dan plasma sel. Hal ini merupakan tanda spesifik
namun tidak patognomonis untuk sífilis. Sel infiltrate tampak mengelilingi endotelial yang
berproliferasi sehingga menebal. Penebalan ini mengakibatkan timbulnya trombosis yang
menyebabkan fokus-fokus nekrosis kecil sebagai lesi primer.
Periode inkubasi sifilis biasanya 3 minggu. Fase sifilis primer ditandai dengan munculnya
tanda klinis yang pertama yang umumnya berupa tukak baik tunggal maupun multipel. Lesi
awal biasanya berupa papul yang mengalami erosi, teraba keras dan terdapat indurasi.
Permukaan dapat tertutup krusta dan terjadi ulserasi. Bagian yang mengelilingi lesi meninggi
dan keras. Pada pria biasanya disertai dengan pembesaran kelenjar limfe inguinal media baik
unilateral maupun bilateral.
Masuknya mikroorganisme ke dalam darah terjadi sebelum lesi primer muncul, biasanya
ditandai dengan terjadinya pembesaran kelenjar limfe (bubo) regional, tidak sakit, keras
nonfluktuan. Infeksi juga dapat terjadi tanpa ditemukannya chancer (ulkus durum) yang jelas,
misalnya kalau infeksi terjadi di rektum atau serviks. Tanpa diberi pengobatan, lesi primer
akan sembuh spontan dalam waktu 4 hingga 6 minggu.
Sepertiga dari kasus yang tidak diobati mengalami stadium generalisata, stadium dua,
dimana muncul erupsi di kulit yang kadang disertai dengan gejala konstitusional tubuh.
Timbul ruam makulo papuler bisanya pada telapak tangan dan telapak kaki diikuti dengan

limfadenopati. Erupsi sekunder ini merupakan gejala klasik dari sifilis yang akan menghilang
secara spontan dalam beberapa minggu atau sampai dua belas bulan kemudian. Sifilis
sekunder dapat timbul berupa ruam pada kulit, selaput lendir dan organ tubuh dan dapat
disertai demam dan malaise. Juga adanya kelainan kulit dan selaput lendir dapat diduga sifilis
sekunder, bila ternyata pemeriksaan serologis reaktif. Pada kulit kepala dijumpai alopesia
yang disebut motheaten alopecia yang dimulai di daerah oksipital. Dapat dijumpai plakat
pada selaput lendir mulut, kerongkongan dan serviks. Pada beberapa kasus ditemukan pula
splenomegali. Penularan dapat terjadi jika ada lesi mukokutaneus yang basah pada penderita
sifilis primer dan sekunder. Namun jika dilihat dari kemampuannya menularkan kepada orang
lain, maka perbedaan antara stadium pertama dan stadium kedua yang infeksius dengan

stadium laten yang non infeksius adalah bersifat arbitrari, oleh karena lesi pada penderita
sifilis stadium pertama dan kedua bisa saja tidak kelihatan.
Lesi pada sifilis stadium dua bisa muncul berulang dengan frekuensi menurun 4 tahun
setelah infeksi. Namun penularan jarang sekali terjadi satu tahun setelah infeksi. Dengan
demikian di AS penderita sifilis dianggap tidak menular lagi setahun setelah infeksi.
Transmisi sifilis dari ibu kepada janin kemungkinan terjadi pada ibu yang menderita sifilis
stadium awal namun infeksi dapat saja berlangsung selama stadium laten. Penderita stadium
erupsi sekunder ini, sepertiga dari mereka yang tidak diobati akan masuk kedalam fase laten
selama berminggu minggu bahkan selama bertahun tahun. Fase laten merupakan stadium

sifilis tanpa gejala klinis namun dengan pemeriksaan serologis yang reaktif. Akan tetapi
bukan berarti perjalanan penyakit akan berhenti pada tingkat ini, sebab dapat terjadi sifilis
stadium lanjut berbentuk gumma, kelainan susunan syaraf pusat dan kardiovaskuler.
Terserangnya Susunan Syaraf Pusat (SSP) ditandai dengan gejala meningitis sifilitik akut dan
berlanjut menjadi sifilis meningovaskuler dan akhirnya timbul paresis dan tabes dorsalis.
Periode laten ini kadang kala berlangsung seumur hidup. Pada kejadian lain yang tidak dapat
diramalkan, 5 – 20 tahun setelah infeksi terjadi lesi pada aorta yang sangat berbahaya (sifilis
kardiovaskuler) atau gumma dapat muncul dikulit, saluran pencernaan tulang atau pada
permukaan selaput lendir.
Stadium awal sifilis jarang sekali menimbulkan kematian atau disabilitas yang serius,
sedangkan stadium lanjut sifilis memperpendek umur, menurunkan kesehatan dan
menurunkan produktivitas dan efisiensi kerja. Mereka yang terinfeksi sifilis dan pada saat
yang sama juga terkena infeksi HIV cenderung akan menderita sifilis SSP. Oleh karena itu
setiap saat ada penderita HIV dengan gejala SSP harus dipikirkan kemungkinan yang
bersangkutan menderita neurosifilis (neurolues).
Infeksi pada janin terjadi pada ibu yang menderita sifilis stadium awal pada saat
mengandung bayinya dan ini sering sekali terjadi sedangkan frekuensinya makin jarang pada
ibu yang menderita stadium lanjut sifilis pada saat mengandung bayinya.
Infeksi pada janin dapat berakibat terjadi aborsi, stillbirth atau kematian bayi karena lahir
prematur atau lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) atau mati karena menderita

penyakit sistemik.
Bayi yang menderita sifilis mempunyai lesi mukokutaneus basah yang muncul lebih
menyebar dibagian tubuh lain dibandingkan dengan penderita sifilis dewasa. Lesi basah ini
merupakan sumber infeksi yang sangat potensial.

Infeksi kongenital dapat berakibat munculnya manifestasi klinis yang muncul kemudian
berupa gejala neurologis terserangnya SSP. Dan kadangkala infeksi kongenital dapat
mengakibatkan berbagai kelainan fisik yang dapat menimbulkan stigmatisasi di masyarakat
seperti gigi Hutchinson, saddlenose (hidung berbentuk pelana kuda), saber shins (tulang
kering berbentuk pedang), keratitis interstitialis dan tuli. Sifilis kongenital kadang
asimtomatik, terutama pada minggu-minggu pertama setelah lahir (Hutapea, 2009).
5

Pemeriksaan
Beberapa pemeriksaan terhadap sifilis dapat dilakukan dengan berbagai cara:

-

Pemeriksaan lapangan gelap (dark field) dengan bahan pemeriksaan dari bagian dalam
lesi. Ruam sifilis primer dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis. Serum diperoleh

dari bagian dasar atau dalam lesi dengan cara menekan lesi sehingga serum akan keluar.
Kemudian serum diperiksa pada lapangan gelap untuk melihat ada tidaknya T.pallidum
berbentuk ramping, dengan gerakan lambat dan angulasi. Bahan apusan lesi dapat pula
diperiksa dengan metode mikroskop fluoresensi, namun pemeriksaan ini memberikan
hasil yang kurang dapat dipercaya sehingga pemeriksaan dark field lebih umum
dilaksanakan.

-

Penentuan antibodi di dalam serum yang timbul akibat infeksi T.pallidum. Tes yang
dilakukan sehari-hari dapat menunjukkan reaksi IgM dan juga IgG tetapi tidak dapat
menunjukkan antibodi spesifik adalah tes Wasserman, tes Kahn, tes VDRL (Veneral
Diseases Research Laboratory), tes RPR (Rapid Plasma Reagin) dan tes Automated
Reagin. Tes-tes tersebut merupakan tes standar untuk sifilis dan memiliki spesifisitas
rendah sebab dapat menunjukkan hasil positif semu. Sedangkan tes RPCF ( Reiter
Protein Complement Fixation) merupakan tes yang dapat menunjukkan kelompok
antibodi spesifik. Tes dengan spesifitas tinggi dan dapat menentukan antibodi spesifik
sifilis ini adalah tes TPI, tes FTA-ABS, tes TPHA dan tes Elisa (Hutapea, 2009).
Menurut Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual Depkes RI tahun 2006,


diagnosa sifilis dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan serologis
terhadap darah dan likuor serebrospinalis.
6

Komplikasi
Sifilis stadium lanjut yang dapat menyebakan neurosifilis, sifilis kardiovaskuler, dan

sifilis benigna lanjut dapat menyebabkan kematian bila menyerang otak.
7

Sifilis dalam Kehamilan
Sifilis yang terkait dengan kehamilan adalah sifilis congenital. Merupakan penyakit yang

didapatkan janin dalam uterus dari ibu yang menderita sifilis. Infeksi sifilis terhadap janin

dapat terjadi pada setiap stadium sifilis dan setiap masa kehamilan. Dahulu dianggap infeksi
tidak dapat terjadi sebelum janin berusia 18 minggu, karena lapisan Langhans yang
merupakan pertahanan janin terhadap infeksi masih belum atrofi. Tetapi ternyata dengan
mikroskop elektron dapat ditemukan Treponema pallidum pada janin berusia 9-10 minggu.
(Arifin, 2010) Sifilis kongenital dini merupakan gejala sifilis yang muncul pada dua tahun

pertama kehidupan anak, dan jika muncul setelah dua tahun pertama kehidupan anak disebut
dengan sifilis kongenital lanjut.
Sifilis dapat ditularkan oleh ibu pada waktu persalinan, namun sebagian besar kasus sifilis
kongenital merupakan akibat penularan in utero. Risiko sifilis kongenital berhubungan
langsung dengan stadium sifilis yang diderita ibu semasa kehamilan. Lesi sifilis kongenital
biasanya timbul setelah 4 bulan in utero pada saat janin sudah dalam keadaan
imunokompeten. Penularan in utero terjadi transplasental, sehingga dapat dijumpai
Treponema pallidum pada plasenta, tali pusat, serta cairan amnion. Treponema pallidum
melalui plasenta masuk ke dalam peredaran darah janin dan menyebar keseluruh jaringan.
Kemudian berkembang biak dan menyebabkan respons peradangan selular yang akan
merusak janin. (Ahmad, 2009) Kelainan yang timbul dapat bersifat fatal sehingga terjadi
abortus atau lahir mati atau terjadi gangguan pertumbuhan pada berbagai tingkat kehidupan
intrauterine maupun ekstrauterina.
Sifilis kongenital merupakan salah satu komplikasi sifilis yang berat. Akibat langsung
penyakit ini terhadap janin antara lain: kematian janin dalam kandungan, partus prematurus,
dan partus immaturus. Gejala yang ditemukan pada sifilis kongenital adalah: (Ahmad, 2009;
Hutapea, 2005)
-

Pertumbuhan intrauterine yang terlambat


-

Kelainan membrane mukosa: Mucous patch dapat ditemukan di bibir, mulut, farings,
laring dan mukosa genital. Rinitis sifilitika (snuffles) dengan gambaran yang khas berupa
cairan hidung yang mula mula encer tetapi kemudian menjadi pekat, purulen dan
hemoragik. Hidung menjadi tersumbat sehingga menyulitkan pemberian makanan.

-

Kelainan kulit, rambut dan kuku: Dapat berupa makula eritem, papula papuloskuamosa,
dan bula. Bila dapat sudah ada sejak lahir, tersebar secara simetris terutama pada telapak
tangan dan telapak kaki. Makula, papula, atau papulomatous tersebar secara generalisata
dan simetris. Di daerah yang lembab, papula menjadi erosif dan membasah atau menjadi
hipertrofik (kondiloma lata). Pada kasus yang berat tampak kulit menjadi keriput
terutama pada daerah muka sehingga bayi tampak seperti orang tua. Rambut jarang dan
kaku, alopesia areata terutama pada sisi dan belakang kepala. Alopesia dapat juga

mengenai alis dan bulu mata. Onikosifilitika disebabkan oleh papula yang timbul pada
dasar kuku dan menyebabkan kuku menjadi terlepas. Kuku baru yang tumbuh berwarna

suram, tidak teratur, dan menyempit pada bagian dasarnya.
-

Kelainan tulang: Pada 6 bulan pertama, osteokondritis, periostitis, dan osteitis pada
tulang-tulang panjang merupakan gambaran yang khas. Perubahan yang paling
mencolok tampak pada daerah pertumbuhan tulang di dekat epifisis. Epifisis
membesar, garis epifisis melebar dan tidak teratur. Pada batas metafisis dengan garis
kartilago epifisis tampak daerah kalsifikasi yang densitasnya meningkat dan tidak
teratur sehingga pemeriksaan sinar X memberikan gambaran seperti gigi gergaji.
Pseudoparalisis pada anggota gerak disebabkan oleh pembengkakan periartikular dan
nyeri pada ujung-ujung tulang sehingga gerakan menjadi terbatas. Osteokondritis
dapat dilihat pada pemeriksaan dengan sinar X setelah 5 minggu sedangkan periostitis
setelah 16 minggu. Tanda-tanda osteokondritis menghilang setelah enam bulan tetapi
periostitis menetap dan menjadi lebih jelas.

-

Kelainan kelenjar getah bening : terdapat limfadenopati generalisata

-


Kelainan alat-alat dalam: hepatomegali, splenomegali, nefritis, nefrosis, pneumonia.

-

Kelainan mata: korioretinitis, glaukoma, dan uveitis

-

Kelainan hematologi: anemia, eritroblastemia, retikulositosis, trombositopenia.

-

Kelainan susunan saraf pusat : meningitis sifilitika akut yang bila tidak diobati secara
adekuat akan menimbulkan hidrosefalus, kejang, dan mengganggu perkembangan
intelektual.

Apabila infeksi terjadi pada kehamilan maka luka primer di daerah genital mungkin tidak
dapat dikenal karena tempatnya atau kecilnya. Sebaliknya luka ini dapat lebih besar dari
biasanya bila vaskularisasi alat genital lebih banyak pada saat hamil. Infeksi primer dapat
menimbulkan chancre, tergantung pada besarnya inoculum serta imunitas penderita. Pada
kelainan sifilis sekunder, kelainan yang dapat ditemukan adalah limfadenopati dan rash.
Dalam banyak kasus, tidak diketahui bahwa seorang ibu menderita sifilis akibat penyakit
yang dapat asimptomatik. Kelahiran mati atau lahirnya bayi dengan sifilis kongenital
merupakan petunjuk awal ke arah diagnosis sifilis pada ibu. (Ahmad, 2009) Karena itu, perlu
dilakukan anamnesis tentang kemungkinan adanya kontak seksual dengan penderita sifilis.
Sifilis harus diobati segera setelah diagnosis ditegakkan, tanpa memandang tuanya
kehamilan. Semakin dini pengobatan diberikan, maka semakin baik prognosisnya bagi janin.
Sifilis primer yang tidak diobati secara adekuat, 25% akan menjadi sifilis sekunder dalam

waktu 4 tahun. Tanpa pengobatan, sifilis primer maupun sekunder 10% akan berkembang
menjadi sifilis kardiovaskular dan 16% menjadi neurosifilis. Sekitar 10% dari penderita yang
tidak diobati akan meninggal akibat langsung dari penyakit. Saat ini, pengobatan sifilis untuk
ibu hamil adalah dengan pemberian penisilin dan bagi penderita yang alergi terhadap
penisilin maka pemberian dilakukan secara desensitisasi. Eritromisin tidak dianjurkan karena
tidak bermanfaat mengobati sifilis pada janin. Untuk sifilis primer, sekunder, dan laten dini
(kurang dari 1 tahun) dapat diberikan benzatin penisilin G dengan dosis 2,4 juta IU secara
intramuskular dalam satu dosis. Untuk sifilis stadium laten lanjut dosis yang diberikan lebih
tinggi yaitu 7,2 juta IU penisilin G yang dibagi dalam 3 dosis, 1 dosis 2,4 juta IU per minggu
selama 3 minggu berturut-turut. (Ahmad, 2009; Mullick et al, 2005) Dosis tunggal penisilin
tersebut secara umum sudah melindungi janin dari sifilis. Abortus atau matinya janin dalam
kandungan pada saat atau setelah pengobatan tidak disebabkan karena gagalnya pengobatan
tetapi karena pengobatan terlambat diberikan. Follow up bulanan melalui pemeriksaan
serologi perlu dilakukan sehingga pengobatan ulang dapat diberikan bila perlu. Untuk sifilis
kongenital pada neonatus dapat diberikan aquaeous crystalline penicilin 100.000-150.000 IU
per KgBB per hari atau prokain penisilin 50.000 IU per KgBB per hari selama 10-14 hari
dibagi 2-3 dosis.
Jurnal :
Prevalence of syphilis in pregnancy and prenatal syphilis testing in Brazil: Birth in
Brazil study
Metode : Ini adalah studi kohort nasional berbasis rumah sakit yang dilakukan di Brasil
dengan 23.894 wanita postpartum antara 2011 dan 2012. Data diperoleh dengan
menggunakan wawancara dengan wanita postpartum, catatan rumah sakit, dan kartu
perawatan prenatal. Semua wanita postpartum dengan hasil tes serologi reaktif dicatat dalam
prenatal kartu perawatan atau sifilis diagnosis selama rawat inap untuk persalinan dianggap
kasus sifilis dalam kehamilan. Uji Chi-square digunakan untuk menentukan prevalensi
penyakit dan tingkat cakupan pengujian oleh wilayah tempat tinggal, warna kulit yang
dilaporkan sendiri, usia ibu, dan jenis prenatal dan perawatan persalinan anak unit.
Hasil : Perawatan prenatal tertutup 98,7% wanita postpartum. Sifilis tingkat cakupan
pengujian adalah 89,1% (satu tes) dan 41,2% (dua tes), dan prevalensi sifilis dalam
kehamilan adalah 1,02% (95% CI 0,84; 1,25). Tingkat cakupan prenatal lebih rendah diamati
di antara perempuan di wilayah Utara, perempuan adat, orang-orang dengan pendidikan yang
kurang, dan mereka yang menerima perawatan prenatal di unit perawatan kesehatan

masyarakat. Tingkat cakupan pengujian yang lebih rendah diamati antara penduduk di Utara,
Timur Laut, dan wilayah Midwest, antara muda dan non-putih wanita kulit warna, di antara
mereka dengan pendidikan rendah, dan mereka yang menerima perawatan prenatal di unit
perawatan kesehatan masyarakat. Peningkatan prevalensi sifilis diamati di antara perempuan
dengan