makalah POSITIVISME dan HUKUM docx

POSITIVISME HUKUM

Istilah Positivisme berasal dari kata ponệre yang berarti meletakkan, kemudian menjadi
ebntuk pasif positus – a – um yang berarti diletakkan. Dengan demikian, positivism
menunjukkan pada sebuah sikap atau pemikiran yang meletakkan pandangan dan pendekatannya
pada suatu. Umumnya positivisme bersifat empiris.1
Positivisme hukum melihat bahwa yang terutama dalam melihat hukum adalah fakta
bahwa hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu di dalam masyarakat yang
mempunyai kewenangan untuk membuat hukum. Sumber dan validitas norma hukum bersumber
pada kewenangan tersebut.
Bagi aliran ini, hukum adalah fenomena sosial yang khusus disbanding fenomenafenomena sosial yang lainnya yang hanya dapat dibentuk, diadakan, dan diterapkan dalam ruang
lingkup tertentu, walaupun hukum tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor lain seperti moralitas,
agama, etika, dan lain sebagainya.
Pertanyaan “apa yang disebut sebagai hukum?” dapat ditelaah ke dalam dua pertanyaan.
Pertama, “apa hukum itu?”. Pertanyaan ini menyangkut sebuah usaha untuk menerangkan
hukum secara faktual yang ada dalam masyarakat manusia. Selain itu, juga merupakan sebuah
usaha untuk mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik dasar, struktur dasar dan prosedurprosedur serta konsep-konsep serta prinsip-prinsip yang mendasari keberadaan sebuah hukum.
Pertanyaan kedua, “apa hukum yang baik itu?”. Pertanyaan ini menyangkut pertanyaan model
ought, mengenai keharusan. Pertanyaan yang bersifat normative. Ada evaluasi terhadap hukum
yang ada. Evaluasi didasarkan terminology nilai baik dan buruk yang didasarkan pada standar
yang seyogianya dicapai oleh hukum yang baik. Hukum yang baik adalah hukum yang

memenuhi tujuan yang ingin dicapai dari adanya hukum dan juga hukum secara procedural
normatif memenuhi terciptanya sebuah hukum.
Salah satu tokoh dari mahzab positivisme hukum yang terkenal adalah John Austin. Ia
adalah pemikir positivis yang meneruskan pemikiran Bentham, dimana Ia menyebut dua istilah
1 Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manulang, Pengantar ke Filsafat Hukum. (Jakarta : Prenamedia
Grouop, 2007) hlm. 58

yang dapat dibandingkan dengan istilah Benthamian expositional jurisprudence dan normative
jurisprudence. Ilmu hukum analitis memerhatikan fakta-fakta mendasar dari hukum, asalusulnya, keberadaan dan konsep yang melatarinya. Ilmu hukum normatif memfokuskan diri pada
pertanyaan tentang kebaikan dan keburukan dari hukum yang ada. Aspek positif ajaran Austin
adalah sangat menyolok dalam pemisahan secara kaku antara hukum dan moral.
Bagi Austin, hukum merupakan perintah dari pihak yang berkuasa yang memiliki sanski.
Hukum adalah terpisah dari moral. Austin bersikukuh pada orang atau lembaga yang
menentukan sebagai sumber dari suatu command, yang dapat dianggap pada pijakan bahwa suatu
command merupakan pelaksanaan kehendak dari orang-orang tertentu.
Selanjutnya, John Austin membagi hukum itu atas :
1. Hukum Tuhan : hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk mahluk ciptaannya yang
Austin sebut sebagai “hukum yang memang demikian disebut sebagai hukum”
2. Hukum yang dibuat oleh manusia, yang terdiri dari :
(i) Hukum Positif : hukum yang dibuat oleh manusia sebagai superior politik atau

dalam melaksanakan hak-hak yang diberikan oleh petinggi-petinggi politik
tersebut.
(ii) Moralitas Positif adalah hukum yang dibuat oleh manusia tetapi tidak sebagai
petinggi politik atau dalam melaksanakan hak yang dimiliki. Hal ini mencakup
apa yang oleh Austin disebut sebagai hukum-hukum yang ada karena analogi,
misalnya aturan-aturan yang menyangkut keanggotaan seseorang dalam
kelompok tertentu.
Gagasan lain dalam teorinya adalah ketika Austin kemudian memperkenalkan istilah baru
tentang Independent Imperatives2. Istilah tersebut sebetulnya hanyalah penyebutan lain dari
konsep command yang dianggap jarang digunakan di masa itu. Austin meletakkan dua
pembedaan dasar dalam hukum, yakni : hukum Tuhan yang merupakan hukum dari Tuhan untuk
makhluk ciptaannya, serta hukum yang dibuat manusia yang terdiri dari hukum positif dan

2 See post, 757. Similiarly, Kelsen insists that the word “command” can only be used here in an
impresional and anonymous way, and divested of any psychlogical association, such as the “will” of the legislator. In
this sense it has hardly anything in common with a command properly so called : H. Kelsen, General Theory of Law
and State, pp.33-36.

moralitas positif, dimana keduanya merupakan dua hal yang berbeda namun tetap dalam satu
bingkai pencipta.

Hart memiliki kritik tersendiri terhadap pemikiran dari Austin. Hart menyayangkan
bahwa dalam teorinya, Austin tidak menjabarkan secara komperhensif perihal elemen-elemen
mendasar yang menjadi akar dari pemikirannya tersebut, seperti : ide mengenai tatanan,
kepatuhan, serta kebiasaan dan ancaman. Hart juga berpendapat bahwa dalam memandang
hukum dibutuhkan perspektif yang lebih luas yang mencakup aspek internal dan eksternal, dan
tidak hanya memandang hukum melalui kacamata kecil yang sebatas melingkupi command,
sovereignty, dan sanction.