Budaya Positivisme dan Problematika Pend

qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyu
iopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg
hjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcv
bnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwe
rtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopa
sdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjkl
zxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnm
qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyu
iopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg
hjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcv
bnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwe
rtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopa
sdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjkl
zxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnm
rtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopa
sdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjkl

Budaya Positivisme dan Problematika Pendidikan
Karakter di Indonesiai
Oleh: Arif Novianto1
Abstak

Pendidikan dapat dianalogikan seperti dua mata pedang, artinya pendidikan di satu
sisi dapat digunakan untuk membantu dan membebaskan manusia sedangkan
pendidikan disisi yang lain dapat digunakan untuk mengekang dan mengancam
kemerdekaan manusia. Itu semua tergantung siapa yang memegang mazhab
pendidikan tersebut dan apa kepentingan yang melatarbelakanginya. Ketika ranah
pendidikan terkungkum didalam dominasi Kapitalisme, maka dampak yang paling

nyata dari pendidikan tersebut adalah digunakannya ”Culture Positivism” didalam
mengeklusi nilai-nilai pendidikan. Yang dimana mengakibatkan Institusi pendidikan
dimetamorfosiskan menjadi Industrialisasi peserta didik yang hanya mengorientasikan
para peserta didiknya untuk beradaptasi terhadap dunia Industri semata, dan
menghilangkan jiwa

ktitisme dari pendidikan. Keadaan tersebut pasti akan

mengakibatkan munculnya berbagai problematika didalam pembentukan Karakter
setiap manusia. Sehingga dengan melakukan analisis terhadap masalah yang
ditimbulkan oleh budaya Positivisme diatas, maka kita dapat mengelaborasi
pengaruhnya terhadap penciptaan problematika Pendidikan Karakter di Indonesia
serta didalam melihat fenomena-fenomena seperti korupsi dan maraknya Politik Uang

di Indonesia sekarang ini.

Keywords: Budaya Positivisme, Kapitalisme dan Pendidikan Karakter

Mahasiswa Manajemen & Kebijakan Publik di Fakultas Ilmu Sosial & Politik (ISIPOL) – Universitas Gadjah Mada
(UGM). Kontak: arifnovianto92@gmail.com

1

80

Pendahuluan
Sejarah telah mencatat, seiring terus berkembangnya peradaban didunia, pendidikan kini
telah bermetamorfosis menjadi suatu proses yang sangat vital bagi kehidupan setiap manusia.
Yaitu untuk menempa diri mereka didalam mengarungi dan membentuk arah geraknya dunia.
Pendidikan ini menjadi penting, karena pada hakikatnya manusia yang dilahirkan ke dunia ini,
pasti memiliki berbagai kekurangan dan kelemahan dalam diri mereka. Sehingga tujuan dari
pendidikan ini merupakan media untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan mereka dan
juga merupakan media atau alat untuk membebaskan serta memerdekakan mereka2.
Pendidikan juga dapat dipahami sebagai alat untuk membentuk karakter setiap manusia

didalam upaya untuk menciptakan penyadaran atas kemerdekaan yang dimilikinya. Namun,
seiring dengan tumbuh berkembangnya dinamika peradaban didunia, kemudian tumbuh pula lah
sebuah budaya Positivisme yang dibawa oleh masyarakat kapitalis, yang telah mengakibatkan
tereduksinya hakikat dari pendidikan itu sendiri.
Pengaruh Kapitalisme dan budaya positivisme terhadap pendidikan tersebut sangat jelas,
yaitu ilmu yang didiseminasikan kepada peserta didik adalah ilmu yang mengorientasikan
mereka untuk beradaptasi dengan dunia masyarakat Industri, dengan mengorbankan aspek
Critical Subjectivity, yaitu kemampuan untuk melihat dunia secara kritis3. Sehingga dengan

pendidikan yang mengakar pada budaya positivisme ini, maka karakter yang terbentuk dari hasil
pendidikan tersebut adalah karakter-karakter manusia yang berpegang tegus pada prinsip
pragmatisme-oportunis dan meninggalkan prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Yaitu prinsip demokrasi, kesadaran kritis, kepedulian sosial, bertanggung jawab
serta prinsip Kemerdekaan dan memerdekakan.
Terperasuknya dunia pendidikan didalam kungkungan budaya positivisme ini, akan
mengakibatkan semakin jauhnya dunia pendidikan kita dengan hakikat pendidikan yang
sebagaimana pernah diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantoro, yaitu pendidikan yang seharusnya
adalah “Untuk memerdekakan manusia lahir maupun batin”. Dengan logika pragmatis2

Lihat H.AR Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan: pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan

kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik (Yogyakarta: Pustakan Pelajar, 2009:20-43)
3
Nuryatno, Agus. 2011. Mazhab Pendidikan Kritis: Menyikapi Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan.
Yogyakarta: Resist Book, Hlm. 57.

80

oportunis yang dibawa oleh Budaya Positivisme ini, akibat yang ditimbulkannya adalah
terciptanya para Pelajar atau murid yang berkarakter serba praktis. Hal tersebut memiliki
korelasi terhadap fenomena-fenomena yang berkembang di Indonesia dewasa ini. Seperti
fenomena maraknya tindakan Korupsi, fenomena suburnya money politik di setiap ajang
kontestasi politik dan fenomena-fenomena lainnya.
Budaya Positivisme dan Indoktrinasi Pendidikan
Budaya Positivisme lahir seiring dengan tumbuh berkembangnya masyarakat
Kapitalisme didunia. Untuk dapat menciptakan efisiensi dan efektifitas kerja, agar dapat
memaksimalkan keuntungan dari sebuah pola produksi, para kapitalis menggunakan institusi
pendidikan formal sebagai alat untuk langsung melatih setiap manusia agar memiliki
kemampuan atau keahlian khusus didalam mendukung dunia Industri. Dengan cara itu para
kapitalis tidak perlu repot-repot lagi untuk melatih para buruhnya. Karena mereka telah
memiliki kemampuan dan keahlian khusus tersendiri. Sehingga dengan begitu para kapitalis

dapat menghemat biaya produksi dan dapat memaksimalisasi hasil-hasil produksinya.
Namun,pendidikan yang diharapkan oleh masyarakat kapitalis tersebut bertentangan
dengan hakikat pendidikan secara umum serta dengan hakikat pendidikan yang tercantum
didalam konstitusi Negara Indonesia. Hakikat pendidikan secara umum dapat dimaknai sebagai
sebuah media transformasi sosial dan media didalam memerdekakan setiap manusia. Sedangkan
hakikat pendidikan berdasarkan konstitusi kita adalah merupakan alat untuk “Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa”. Sedangkan hakikat pendidikan yang diharapkan oleh masyarakat kapitalis
ini lebih merupakan media didalam mendapatkan kerja. Sehingga ada perbedaan yang begitu
mencolok antara ketiganya.
Mode of thought yang digunakan oleh budaya positivisme didalam mencapai hakikat

pendidikan yang sebagaimana diharapkan oleh masyarakat kapitalis diatas adalah dengan
rasional teknokratik, yang mempunyai dua karakter utama, yaitu konformitas dan uniformitas4.
Konformitas mengarahkan para Pelajar atau murid untuk bersikap pasif dan adaptif terhadap
teks (buku pelajaran) dan konteks (realitas kehidupan. Sedangkan karakter Uniformitas

4

Ibid;


80

mengarahkan para pelajar untuk menciptakan one-dimensional man and society (manusia dan
masyarakat satu dimensi).
Dengan rasional teknokratik ini, relasi yang ada dalam dunia pendidikan lebih bersifat
Indoktrinasi. Hubungan antara guru dan murid lebih bersifat Dominasi. Artinya guru adalah
subyek dan murid adalah obyek, guru mengajar dan murid diajar, guru mengetahui dan murid
tidak mengetahui, guru menerangkan dan murid mendengarkan serta guru berfikir dan murid
difikirkan.
Pendidikan tersebut menurut Paulo Freire adalah sebuah model Pendidikan Gaya Bank.
Nilai dari Pendidikan dianggap sebagai sebuah kegiatan menabung, dimana murid adalah
celengan dan guru sebagai penabungnya. Sehingga ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan
para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan5. Hasilnya pada jangka
panjang membuat murid sepenuhnya memusatkan diri untuk melanjutkan apa yang sudah
diterima dari guru tanpa mau mempertanyakan lagi. Keadaan tersebut sebagaimana dikatakan
oleh Hannah Arend6, merupakan sebuah proses pemanipulasian kesadaran.
Dengan konsep pendidikan di dalam budaya positivisme tersebut, maka karakterkarakter yang terbentuk lebih bersifat negatif. Murid yang dimaknai hanya sebagai obyek dari
pendidikan, dikonstruksi menjadi seperti kumpulan keledai yang berkarakter penurut, patuh dan
berfikir serba praktis. Mereka teraleniasi dari kehidupannya dan terkekang didalam jiwa
sosialnya. Hal ini disebabkan apa yang ditekankan dalam proses pembelajaran adalah bagaimana

memiliki dan mengakumulasi pengetahuan, bukan bagaimana memahami, mengkritik,
memproduksi dan menggunakan pengetahuan sebagai alat untuk mengubah realitas (Paul
Allman dalam Nuryatno, 2013).
Selain itu, budaya positivisme ini juga digunakan oleh kelas kapitalis untuk dapat
mempertahankan eksistensinya. Eksistensi kapitalisme akan terus terjaga, ketika masih ada
ketimpangan-ketimpangan didalam masyarakat. Seperti ketimpangan pendapatan antara buruh
dengan pengusaha dan ketimpangan kepimilikan antara orang kaya dengan orang miskin. Lewat
5
6

Freire, Paulo. 2011. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, hlm. 52.
Prasetyo, eko. 2011. Orang Miskin Dilarang Sekolah. Yogyakarta: Resist Book, hlm. 127-128.

80

hegemoni nilai-nilai yang ada di masyarakat, para kapitalis juga berusaha untuk melakukan
produksi dan re-produksi nilai, tujuan, dan pemahaman mereka. Sehingga karakter kritis dari
seorang murid dan masyarakat berusaha untuk disingkirkan, untuk diganti dengan karakterkarakter ber-tipe penurut, patuh dan menerima apa adanya. Dengan karakter tersebut, maka para
kapitalis akan tetap terjaga eksistensinya, karena tidak pernah ada orang-orang yang akan
dengan kritis menentang mereka dan berusaha merusak eksistensinya.

Sehingga pendidikan dibawah hegemoni kapitalisme tersebut, tidak akan pernah
menghasilkan para murid yang kritis dan sadar akan kemerdekaan yang dimilikinya serta
mengetahui makna dari dunia yang ditempatinya. Akan tetapi malahan menghasilkan para murid
dengan karakter pragmatis-oportunis yang menganggap dunia ada untuk membentunya, bukan
dia ada untuk membentuk dunia.
Logika Pragmatisme-oportunis didalam Pendidikan
Didalam cara pandang pragmatis-oportunis, hal yang terpenting dari sebuah pendidikan
adalah tentang apa hasil atau capaian yang telah atau akan didapatkan. Sedangkan proses dari
pendidikan itu sendiri, tidak begitu dianggap penting didalam budaya tersebut. Artinya perhatian
pendidikan hanya tertuju pada hasil dan tidak memperdulikan apakah untuk mencapai hasil
tersebut dengan menggunakan jalan pintas nan praktis ataupun dengan mempermalukan ilmu
pengetahuan itu sendiri.
Selain itu, bagi kaum pragmatis-oportunis pilihan bertekun dalam dunia pendidikan
adalah kekonyolan, bahkan ketololan. Dalam roh pragmatis dan oportunis tersebut juga
menganggap bahwa keterlibatan mereka dalam dunia pendidikan pertama-tama dan utama demi
kepentingan pribadi yang sesaat7. Dan cara pandang tersebutlah yang searah dengan harapan
para kapitalis untuk digunakan didalam memutar roda-roda Industrialisasi mereka.
Sehingga kemudian tidak mengherankan ketika muncul suatu paradigma baru di tengah
masyarakat, bahwa pendidikan dianggap sebagai bagian dari investasi sosial. Artinya pendidikan
dimaknai sebagai alat untuk mendapatkan pekerjaan. Alhasil pertimbangan dari setiap orang tua


7

Susila, sidharta. 2011. Jangan Berbohong Untuk Pendidikan. Kompas. Jakarta: 25 November.

80

didalam menyekolahkan anaknya adalah agar kelak mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan
besaran investasi atau dana yang telah dikeluarkannya.
Hal tersebut terjadi tak terlepas dari pengaruh budaya positivisme yang sudah merasuk
dan mulai menyatu di dalam kehidupan masyarakat. Yaitu lewat berbagai negosiasi dan
pembenturan makna terhadap budaya dan nilai-nilai lokal di masyarakat. Yang akhirnya berhasil
didominasi oleh budaya positivisme melalui sokongan masyarakat kapitalis, dengan
mengerahkan berbagai sumber daya yang dimilikinya, seperti: institusi pendidikan, ilmu
pengetahuan, kebijakan puvlik, televisi, radio, fashion, Koran, gaya hidup, dll. Sehingga lewat
dominasi tersebut, kemudian para kapitalis dapat dengan leluasa membentuk karakter dan logika
berfikir dari sebagian besar masyarakat di Indonesia agar dapat sesuai dengan tujuan hidup dari
kelas kapitalis.
Pendidikan Karakter dan Problematika kehidupan bernegara
Melihat kenyataan sekarang ini, dimana dominasi budaya positivisme telah merasuk

kedalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tak pelak telah menimbulkan
berbagai problematika yang secara langsung telah menggoyahkan tatanan kehidupan bernegarabangsa itu sendiri. Budaya positivisme yang telah melahirkan manusia-manusia dengan
karakter-karakter pragmatis, pragtis, dan oportunis, juga turut andil didalam mendistorsi prosesproses politik, ekonomi, birokrasi pelayanan publik, dan penegakan hukum.
Kita dapat melihat bagaimana dampak yang dihasilkan oleh budaya positivisme ini
didalam tataran kehidupan di pemerintahan Negara Indonesia. Penyakit korupsi serta fenomena
maraknya money politik di setiap ajang kontestasi politik merupakan sebagian dari buah budaya
postivisme ini. Kasus korupsi yang selama ini telah menjadi penyakit didalam pemerintahan
kita, bila kita urai lebih dalam, itu terjadi karena disebabkan oleh lemahnya pendidikan karakter
dari setiap wakil rakyat selain juga masalah stuktur atau sistem didalamnya.
Para wakil rakyat yang sudah diarahkan untuk berkarakter pragmatis-oportunis, akan
lebih berfikir serba praktis dan lebih berfikir untuk mementingkan kepentingannya sendiri
dibanding kepentingan-kepentingan dari masyarakat luas. Mereka melakukan tindakan atas

80

dasar “apa yang akan saya dapatkan” bukan “apa yang akan saya berikan”. Sehingga secara
tidak langsung mereka telah menafikan peran dan tugas yang seharusnya mereka lakukan.
Keadaan tersebutlah yang kemudian menghadirkan maraknya tindakan korupsi di
berbagai lini jenjang pemerintahan. Korupsi terjadi karena dianggap sebagai jalan pintas yang
sangat praktis didalam mengatasi masalah keuangan yang dihadapinya. Dengan karakter

pragmatis-oportunis ini, maka para koruptor tersebut tidak berfikir panjang tentang akibatakibat yang ditimbulkannya. Mereka lebih berfikir jangka pendek, tentang hasil yang
didapatkannya, tapi disatu sisi mereka tidak berfikir tentang bagaimana kesengsaraan ratusan
atau bahkan jutaan rakyat akibat hak-haknya yang telah mereka rampas.
Maraknya fenomena politik uang (money politic) di setiap ajang kontestasi politik di
Indonesia, juga dapat diurai berdasarkan kegagalan peran Negara didalam membentuk etika dan
karakter setiap rakyatnya. Pemerintah Negara ini secara leluasa memberikan ruang bagi tumbuh
berkembangnya budaya positivisme. Itu terjadi karena frame berfikir pemerintah memang lebih
condong ke pandangan neo-liberalisme dan kapitalisme untuk sekarang ini.
Dengan karakter-karakter pragmatis-oportunis yang telah dibentuk oleh budaya
positivisme, telah menimbulkan dilematika tersendiri di setiap ajang kontestasi politik
(Pemilihan Umum). Para konstituen (Warga Negara Pemilih) yang sudah terjangkit oleh budaya
positivisme ini, memiliki kecendrungan untuk berfikir dalam jangka pendek di setiap ajang
kontestasi politik yang diikutinya. Hal tersebutlah yang menjadikan maraknya fenomena politik
uang, baik ditingkat nasional, lokal dan desa sekalipun.
Politik uang ini terjadi karena ada dua sisi magnet yang saling tarik menarik didalamnya.
Artinya ada dua kepentingan yang saling mempengaruhi, yaitu kepentingan dari pihak calon
wakil rakyat atau pemimpin dengan kepentingan dari pihak Konstituen. Dengan politik uang,
bagi pihak calon pemimpin merupakan cara yang paling praktis untuk dapat memenangkan
setiap ajang kontestasi politik. Sedangkan bagi para konstituen, politik uang tersebut adalah cara
untuk memperoleh hasil (imbalan) secara cepat dan nyata, tanpa harus menunggu kebijakankebijakan dari pemimpin pemenang PEMILU yang dalam hal ini, pasti akan memakan waktu
yang lama.

80

Artinya politik uang terjadi karena didasari oleh logika berfikir yang serba praktis dan
dengan pertimbangan jangka pendek. Itu terjadi karena lebih dikedepankannya karakter-karakter
pragmatis-oportunis dibanding karakter-karakter kritis, bertanggung jawab, kepedulian sosial
serta karakter kedemokrasian. Sehingga dengan karakter pragmatis-oportunis ini lebih berpijak
pada kepentingan jangka pendek, tetapi melupakan dampaknya yang akan sangat berbahaya
pada jangka yang lebih panjang, seperti: kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat karena
kurangnya integritas dan kapabilitas dari pemimpin yang terpilih.
Kesimpulan & Solusi
Hadirnya budaya positivisme yang dibawa oleh kapitalisme dunia, secara tidak langsung
telah menimbulkan berbagai problematika di kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Budaya
positivisme ini dimasukkan ke dalam logika berfikir masyarakat melalui dua arah, yaitu melalui
dunia pendidikan formal dan melalui dinamika kehidupan masyarakat sehari-hari. Masyarakat
tidak dalam keadaan benar-benar sadar ketika menerima dan mengaplikasikan budaya
positivisme ini. Itulah yang dilakukan oleh para kapitalis agar hegemoninya dapat benar-benar
tertancap secara menyeluruh didalam kehidupan masyarakat.
Sehingga pendidikan kritis yang menyadarkan merupakan media yang paling utama
untuk dapat membebaskan setiap manusia dari rantai budaya positivisme ini. Pendidikan kritis
ini

memiliki

perbedaan

dengan

budaya

positivisme

yang

cenderung

mengabaikan

pengembangan sikap kritis didalam diri peserta didik. Didalam mazhab pendidikan kritis, proses
pembelajaran akan lebih diorientasikan untuk membangun sikap kritis-reflektif didalam diri
peserta didik8.
Dengan pendidikan kritis, karakter-karakter pragmatis-oportunis yang cenderung
memiliki tujuan menghamba kepada kepentingan dunia industri mulai dinomer duakan.
Sedangkan karakter-karakter demokrasi, kesadaran kritis, kepedulian sosial, bertanggung jawab,
kreatif, mandiri, disiplin, dan jujur merupakan bagian yang paling utama. Serta dengan
pendidikan kritis ini jugalah yang akan dapat membekali semangat “self-reliance” (jiwa yang
percaya kepada kekuatan sendiri) dan “self help” (jiwa berdikari) bagi para peserta didik.

8

Novianto, arif. 2012. Polemik Pendidikan Nasional. Okezone[dot]com. Jakarta: 14 Mei.

80

Maka, dengan pendidikan kritis inilah yang merupakan salah satu media untuk dapat
mengatasi berbagai masalah yang mendera Indonesia selama ini, seperti: korupsi, money politik,
konflik sosial, dan lain sebagainya. Untuk kemudian dalam jangka panjang dapat menciptakan
karakter-karakter masyarakat yang dapat menyelaraskan diri dengan dinamika didalam
kehidupan berdemokrasi. Dan juga dapat membawa arah bangsa Indonesia ini kejalan lurus
menuju cita-cita konstitusi kita, yaitu untuk menciptakan kesejahtraan, kemakmuran dan
keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Terimakasih.

80

Daftar Pustaka:
Buku:
-

Anyon, Jean. 2011. Marx and Education. New York: Roudledge Press.

-

Darmaningtyas & Edi Subkhan. 2012. Manipulasi Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta:
Resist Book.

-

Freire, Paulo. 2011. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

-

Freire, Paulo. 2007. Politik Pendidikan: Kebudayaan Kekuasaan dan
Pembebasan. Yogyakarta :Pustaka Pelajar.

- H.AR Tilaar & Riant Nugroho. 2009. Kebijakan Pendidikan: pengantar untuk memahami
kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik . Yogyakarta:
Pustakan Pelajar.
-

Nuryatno, Agus. 2011. Mazhab Pendidikan Kritis: Menyikapi Relasi Pengetahuan Politik
dan Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book.

- Prasetyo, eko. 2011. Orang Miskin Dilarang Sekolah. Yogyakarta: Resist Book.

Majalah dan Surat Kabar:
-

Novianto, arif. 2012. Polemik Pendidikan Nasional. Okezone[dot]com. Jakarta: 14 Mei.

-

Susila, sidharta. 2011. Jangan Berbohong Untuk Pendidikan. Kompas. Jakarta: 25
November.

i

Esai ini merupakan finalis lomba cipta Esai nasional yang diselenggarakan oleh LPPM Obsesi – STAIN Purwakarta
pada 2013 dan di Bukukan dengan judul “Pendidikan Karakter: Wacana dan Kepengaturan”

80