Biografi dan Pemikiran Fatimah Mernissi (1)

BAB II
PEMBAHASAN
1. Biografi Fatimah Mernissi
Cara terbaik memahami karakter dan pemikiran seseorang adalah melalui
otobiografi maupun tulisan yang bersangkutan. Untuk mengetahui biografi
Fatimah Mernissi tidaklah sulit karena dalam beberapa karangannya ia dengan
jelas telah menceritakan dan mengenalkan kehidupannya, bahkan sejak kanakkanak hingga dewasa. Fatimah Mernissi lahir di sebuah Harem pada tahun 1940
di Fez, salah satu wilayah di Maroko. Masa kanak-kanak Mernissi dilalui
bersamaan dengan situasi kekacauan yang terjadi di Maroko akibat seringnya
pertempuran antara pasukan Kristen Spanyol dan Prancis. Mernissi menerima
pendidikan pertama secara tidak formal dari neneknya, Lalla Yasmina. Yasmina
banyak memberikan pelajaran tentang sejarah Islam, termasuk kisah Nabi
Muhammad dan kondisi-kondisi perempuan sebelum Islam. Ajaran dari neneknya
itulah yang kemudian mengarahkannya pada fokus kajiannya, yaitu tentang
perempuan.
Dalam bukunya ia mengatakan : "Throughout my childhood I had a very
ambivalent relationship with the Koran. It was taught to us in a Koranic School
in a particularly ferocious manner. But to my childish mind only the highly
fanciful Islam of my illiterate grandmother , Lai la Yasmina, opened tfye door for
me to a poetic religion.”1 Yang artinya adalah "Selama masa kanak-kanak, saya


memiliki hubungan perasaan yang bertentangan dengan al- Qur'an, di sekolah alQur'an kami diajar dengan cara yang keras. Namun bagi pikiran kanak-kanak
saya, hanya keindahan rekaan al- Qur’an versi nenek saya yang buta huruf, Lalla
Yasmina, yang telah membuka pintu menuju sebuah agama yang puitis".
Adapun pendidikan formalnya, diterima Mernissi di sebuah sekolah alQur’an yang didirikan oleh kelompok nasionalis sejak umur tiga tahun. Ketika itu
pula Mernissi kecil mulai menghafal al-Qur’an. Pendidikan tingkat menengahnya
diselesaikan di sekolah khusus perempuan yang didanai oleh protektorat Perancis.

1

Fatimah. Mernissi, Wanita Dalam Islam, terj Yaziar. Radiant, (Bandung; Pustaka, 1994), hlm 79

2

Mernissi melanjutkan studi perguruan tingginya di Prancis pada tahun
1957 dengan belajar Ilmu Politik di Sorbonne, Prancis, dan Universitas Brandeis
di Amerika Seikat pada tahun 1973 dimana ia mendapatkan gelar Doktor disana
dengan disertasinya yang berjudul “Beyond the veil, male-female Dynamics In
Modern Muslim Society” yang kemudian juga diterbitkan sebagai buku.2 Setelah
mendapatkan gelar Doktor, Mernissi melajutkan karirnya sebagai Professor di
Universitas Muhammad V di Rabath tahun 1974, ia juga mengajar di Universitas

tersebut dalam rentan waktu 1974 sampai 1980. Kemudian Fatimah Mernissi juga
tergbung dalam Morocco’s Institute universitaire de Recherce

Scientifique

sebagai seorang sosiolog feminis Timur Tengah. Selain itu Mernissi juga sering
menghadiri seminar-seminar antar negara mengenai perempuan. Fatimah
Mernissi juga menjadi Proffesor tamu di California University dan Harvard
University. Sementara itu dalam kegiatan sosial, Fatimah Mernissi juga aktif
dalam organisasi-organisasi dan juga gerakan-gerakan yang memperjuangkan
hak-hak perempuan dengan mengadakan studi-studi dan juga penelitianpenelitian.
Fatimah Mernissi juga menuangkan ide dan gagasanya dalam buku-buku
yang ia tulis. Karya-karya dari Fatimah Mernissi sarat akan pengalaman
individualnya yang telah mendorongnya melakukan riset terhadap berbagai hal
yang sudah mengganggu pemahaman keagamaanya selama ini. Beberapa karya
yang telah dihasilkanya adalah :
a) Veil and The Male Elite : A Feminist Interpretation of Women‟s
Rights in Islam (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia,

Menengok


KontroversiKeterlibatan

Wanita

Dalam

Politik

(Surabaya: Dunia Ilmu, 1997) yang kemudian ia revisi menjadi
Women and Islam : A Historical and Theological Enquiry

(diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Wanita Dalam Islam,
Bandung: Pustaka, 1994).

2 Limmatus Sauda’, Hadis Misoginis Dalam Prespektif Heurmenetika Fatimah Mernissi , dalam
Mutawatir; jurnal keilmuan Tafsir Hadits Volume 4, No 2, Desember 2014, hlm 295

3


b) The Forgotten of Queen in Islam (diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia, Ratu-Ratu Islam Yang Terlupakan, Bandung: Mizan,
1994)
c) Islam and Democracy fear and the modern world (diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia, Islam dan Demokrasi : Antologi
Ketakutan (Yogyakarta: LKIS, 1994).
Kemudian berkat karya-karya yang ia tulis, baik dalam bentuk buku,
jurnal, maupun yang lainya, Fatimah Mernissi mendapatkan penghargaan sebagai
penulis dalam bidang keilmuan keagamaan dan kajian Islam. Pada 30 November
2015 Fatimah Mernissi meninggal dunia di Rabat Maroko. Tokoh Feminisme
yang sangat terkenal itu menghembuskan nafas terakhirnya dengan meninggalkan
banyak karya dan buah pemikiran-pemikiranya.
2. Pemikiran-Pemikiran Fatimah Mernissi
Pemikiran-pemikiran Fatimah Mernissi banyak ia tuangkan dalam karyakaryanya sebagai semangat dalam membangkitkan perempuan Islam dan
menjauhkanya dari kejumudan yang selama ini di alami. Pemikiran-pemikiranya
berasal dari pengalaman pribadinya yang menurutnya sangat tidak susai dengan
isi hatinya, hal itu juga dikarenakan lingkunganya yang membuat dia berfikir
demikian. Berikut beberapa pemikiran-pemikiran dari Fatimah Mernissi :
a. Pemikiran Fatimah Mernissi mengenai Hadits Misogini
Menurut Al-Qur’an, Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk semua

manusia dan sekaligus rahmat bagi seluruh alam. Hal itu berarti bahwa Nabi
Muhammad membawa kebajikan dan juga sebagai rahmat bagi semua umat
manusia dalam setiap waktu dan tempat. Oleh karena itu Hadits Nabi
merupakan sumber yang utama setelah al-Qur’an, dan mengandung ajaran
yang bersifat Universal, Temporal, dan Lokal.
Ada Hadits yang dibahas oleh Fatimah Mernissi yang sangat mengganggu
hatinya. Hadits-hadits itu secara tekstual sangat mendeskreditkan perempuan
sehingga memunculkan istilah misogini. Berikut adalah bahasan mengenai
hadits tersebut:


Hadits megenai kepemimpinan perempuan dalam pemmerintah

4

“Telah menceritakan kepada

kami

Utsman


bin

Haitsam telah

menceritakan kepada kami ‘Auf dari Hasan dari Abu Bakrah berkata :
Allah telah memberi manfaat kepadaku dengan kalimat pada hari
(perang) jamal, ketika menyampaikan kepada Rasulullah SAW. Bahwa
putri Kisra telah memerintah (memerintah) kerajaan persia, Rasulullah
Bersabda tidak akan sukses kaum (masyarakat) yang menyerahkan (untuk

memimpin) urusan mereka kepada perempuan.” (HR. Bukhari, Turmudzi,
an-Nasa’i)

Dalam Hadist tersebut, Fatimah Mernissi menaruh kecurigaan
terhadap hadits tersebut. Menurut Fatima mernissi diucapkan oleh Abu
bakrah, pada saat terjadi peperangan antara Ali dengan Aisyah. Pada saat
itu keadaan 'Aisyah sangat kritis, secara politik ia kalah, 'Aisyah
mengambil alih kota basrah, dan setiap orang yang memilih untuk tidak
bergabung dengan pasukan Ali harus memberikan dalih. Sebelum

peperangan itu terjadi, Aisyah banyak mengirim surat terhadap
pemukapemuka kaum muslim, untuk menjelaskan kepada mereka alasan
yang mendorongnya melakukan pemberontakan terhadap Ali, dan minta
dukungan dari mereka. Akan tetapi banyak dari mereka yang menahan diri
terlibat dalam insiden peperangan saudara termasuk Abu Bakrah.3
Menghadapi kejadian tersebut, opini publik terbagi menjadi dua: Apakah
ia harus mematuhi khalifah yang tidak adil (karena tidak pernah
menghukum pembunuh Utsman), atau memberontak menentangnya dan
mendukung 'Aisyah, meskipun hal itu bisa memicu terjadinya perang
saudara? Abu Bakrah mengingat hadits di atas, hanya sebagai pembuktian
dalam saat-saat yang kritis. 4
Dalam hal ini Fatimah Mernissi mengunakan metodologi Historis
dalam pengungkapan Hadits diatas, kemudian setelah menggunakan
metode

histori,

selanjutnya

yaitu


melakukan

verifikasi

dengan

menerapkan kaidah-kaidah metodologis yang telah didefinisikan oleh para

3

Fatimah. Mernissi, Wanita Dalam Islam, terj Yaziar. Radiant, (Bandung; Pustaka, 1994), hlm 68

4

Ibid, hlm 69

5

ulama, misal syarat-syarat perawi yang telah diajukan oleh Imâm Mâlik.

Menurut Imâm Mâlik, sebagaimana dikutip Mernissi, kualifikasi perawi
hadis tidak hanya dilihat dari kapasitas intelektualnya, tetapi yang lebih
penting dari itu adalah moral.
Apabila kaidah verifikasi diatas diterapkan kepada Abu Bakrah,
maka Abu Bakrah menjadi tidak masuk dalam kategori perawi hadits yang
kredibel.

Hal

ini

dikarenakan

dalam

salah

satu

biografinya


mengungkapkan bahwa Abu Bakrah pernah dicambuk oleh Khalifah
Umar bin Khattab karena memberikan kesaksian palsu. Berdasarkan dari
riwayat hidup Abu Bakrah tersebut maka nama Abu Bakrah sebagai
sumber hadits diatas harus ditolak karena riwayat hidupnnya yang kurang
baik.
Sensitifitas Mernissi terhadap masalah perempuan memang sangat
menonjol, terhadap hadis sekalipun. Hal ini terbukti dari objek hadis yang menjadi
sasaran kritiknya yaitu lebih menekankan pada kajian hadishadis yang
menyinggung perempuan, dan itu pun terbatas pada hadis yang terlihat benci
terhadap perempuan (misoginis). Bahkan Ahmad Baidowi sampai mengatakan
bahwa Mernissi adalah Feminis Rejekesionis yaitu menolak semua argumen dari
manapun sumbernya yang mendukung deskriminasi perempuan. Padahal
Mernissi sendiri mengatakan bahwa: ”Jika hak-hak wanita merupakan masalah
bagi sebagian kaum laki-laki Muslim modern, hal itu bukanlah karena al-Qur‟an
ataupun Nabi, bukan pula karena tradisi Islam, melainkan semata-mata karena
hak-hak tersebut bertentangan dengan kepentingan kaum elit laki-laki”.5 Dirinya

yakin bahwa al-Qur’an, Hadits Nabi, dan Islam sendiri sangat menghargai
perempuan, dia juga tidak percaya jika ada doktrin yang bersumber dari ketiganya

mendeskreditkan perempuan, maka doktrin tersebut perlu di kritisi karena bisa
jadi ada pihak yang memanfaatkan momen ini.
Dalam momen ini Mernissi mencontohkan beberapa penafsiran tentang
wanita yang ada di surga yang biasa disebut sebagai bidadari. Menurutnya dalam
al-Qur’an tidak pernah menyebutkan secara rinci mengenai bilangan bidadari
5

Ibid, hlm xxi

6

yang ada di surga, namun anehnya umat islam sendiri berebut untuk menentukan
bilangan tersebut, misal Imam al-Sindi menyebutkan ada 73 bidadari, kemudian
menurut al-Suyuti mengatakan ada 70 Bidadari, dan banyak lagi yang
menafsirkan jumlah bidadari yang ada di surga. Melihat fenomena seperti ini
membuat hati Mernissi menjadi berontak dan tidak terima dengan hal semacam
ini. Hal ini dilihat Mernissi sebagai suatu ketimpangan, hal itu dikarenakan ketika
urusan menyenanngkan laki-laki wanita sangat diagung-agungkan sedangkan
ketika urusan publik, perempuann seakan dipinggirkan sebagaimana problem
pemimpin perempuan. Islam seakan-akan menjadikan perempuan sekedar
pelengkap dan penghibur laki-laki.6
b. Pandangan Fatimah Mernissi Mengenai Jilbab
Bentuk pemikiran feminis muncul dalam masyarakat Muslim yang
mengalami modernisasi, pengembangan kota, pembentukan negara modern,
kolonialisasi dan imperialisasi, gerakan kemerdekaan nasional, peperangan
dan agresi serta demokratisasi. Feminisme perempuan Muslim menggugat
berbagai sistem patriarkhi dan merubahnya menjadi lebih legaliter.
Mernissi mengungkapkan bahwa agama harus dipahami secara
progresif untuk memahami realitas sosial dan kekuatan-kekuatannya, karena
agama telah dijadikan sebagai pembenar kekerasan. Menghindari hal-hal yang
primitif dan irasional adalah cara untuk menghilangkan penindasan politik dan
kekerasan. Menurutnya, bahwa campur aduknya antara yang profan dan yang
sakral, antara Allâh dan kepala negara, antara al-Qur'an dan fantasi-fantasi
imam harus direkonstruksi.
Mernissi menggugat penafsiran ayat-ayat al Qur’an seperti dalam surat
al Ahzab ayat 53, yang oleh para ulama dijadikan dasar lembaga hijab.
Berdasarkan pemahaman ini terjadi pemisah, bahwa hanya laki-laki yang boleh
memasuki sector public. Sedangkan perempuan hanya berpesan domestic.
Menurut Mernissi penafsiran penafsiran semacam ini harus dibongkar dengan

6

Fatimah Mernissi, Setara dihadapan Allah, terj Tim LSPPA, (Jogjakarta; LSPPA, 1995), hlm 147-160

7

mengembalikan makna bedasarkan konteks historisnya.7 Pemahaman yang
demikian ini dipengaruhi oleh pemikiran Qasim Amin, yang menurutnya
penutup wajah dengan cadar dan pengucilan perempuan dari masyarakat Islam
bukan sejarah Islam, tetapi merupakan kontruksi sosial dari masyarakat
patriarkhi, karena tidak ada satu pun nash yang tegas menyebutkannya.
c. Pemikiran Mengenai Nushuz
Nushūz adalah suatu konsep al-Qur’an; artinya pemberontakan seorang
istri terhadap kekuasaan suaminya yang Muslim. Nushuz menurut Fatima
Mernissi adalah keputusan istri untuk tidak mematuhi hasrat suaminya yang
ingin melakukan hubungan intim sehingga nantinya akan menuntut untuk
patuh kepada suami; seksualitas.8 Fatima Mernissi setuju dengan pendapat
Fatna Sabbah yang mengatakan bahwa kecantikan ideal dalam Islam adalah
patuh, berdiam diri dan tidak bergerak yaitu lembam dan pasif. Semua ini sama
sekali bukan ciri-ciri watak yang sepele juga tidak terbatas pada kaum wanita
saja. orang beriman mencurahkan seluruh hidupnya untuk mematuhi dan
menyembah Tuhan dan menuruti kehendak-Nya. Contoh aplikasi Fatima
Mernissi dalam surat An-Nisa ayat 128 tentang konsep nushūz yang dijelaskan
dalam beberapa aspek. Dalam menjelaskan nushūz dalam bahasa Arab, tidak
adanya padanan kata yang menjelaskan tentang pasangan terjadi perbedaan
linguistik yang memberikan suatu pesan yang sangat dijelaskan sehingga
menurutnya hal tersebut suatu mistifikas, suatu usaha untuk menyembunyikan
tidak adanya pasangan dalam keluarga Muslim.
Pembatasan ruang adalah ungkapan fisik dari pemingitan kaum wanita dari
ruang publik yaitu ruang pengetahuan dan kekuasaan. Dengan adanya ilmu
pengetahuan maka wanita dapat berkarya di ruang publik sehingga akan
terpenuhinya kebutuhan keluarga. Namun, dalam hal ini wanita yang berkarya
di ruang publik tidak serta merta harus patuh kepada suaminya seperti wanita
yang ada pada masa awal dahulu di Arab. Seorang wanita yang tidak mau
Fatimah Mernissi, The Veil and Male elite, terj. M. Masyhur Abadi, (Surabaya; Dunia Ilmu, 1997), hlm
130. pdf

7

Fatimah Mernissi, Pemberontakan Wanita, peran intelektual kaum wanita dalam sejarah Muslim, terj.
Rahmani Astuti, (Bandung; Mizan, 1999), hlm 5
8

8

menuruti keinginan suaminya untuk melakukan hubungan intim tidak dianggap
memberontak dikarenakan dia berkarya dan memberikan kontribusi untuk
keluarga sedangkan wanita yang dianggap melakukan nushuz adalah wanita
yang menolak apa yang diminta suami sedangkan dia tidak berbuat apaapa. Wanita dijauhkan dari pengetahuan yang dianggap suci dan kolektif yaitu
dijauhkan dari ruang tempat keputusan-keputusan dengan aturan Ilahi, perintah
yang telah dirumuskan dan hukum yang telah diundangkan. Ketidak patuhan
seorang wanita menurutnya dianggap begitu menakutkan didunia Muslim
karena implikasi-implikasinya yang sangat besar. Mereka mengacu kepada
bahaya yang paling ditakuti di dalam Islam sebagai suatu psikologi kelompok:
individualisme. Masyarakat Muslim menolak tuntuan wanita untuk mengubah
kedudukan mereka.9
Permberontakan kaum wanita menimbulkan berbagai pertanyaan yang
berkaitan dengan individualisme. Pemberontakan kaum wanita dalam Islam
bukan hanya tentang isu-isu gender dan pembebasan kaum wanita namun hal
ini berakar dari ketakutan ummah: ketakutan menyimpang. Ketakutan individu
yang menuntut kepentingannya sebagai sumber organisasi sosial yang sah,
ketakutan terhadap inovasi, perpecahan, hancurnya mitos solidaritas kelompok
dan semangat kolektif yang telah berabad-abad. Perlawanan masyarakat
Muslim terhadap perubahan kedudukan dan hak asasi kaum wanita jika tidak
mempertimbangkan fungsi simbolis kaum wanita sebagai perwujudan
individualisme yang berbahaya yang nantinya akan membawa kepada
konsep bid’ah.

9

Ibid, hlm 188-189

9

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan makalah diatas maka dapat diambil kesimpulan mengenai
Fatimah Mernissi sebagai berikut :
1. Fatimah Mernissi lahir di Fez Maroko pada tahun 1940 disebuah
harem. Masa kanak-kanak Mernissi dilalui bersamaan dengan situasi
kekacauan yang terjadi di Maroko akibat seringnya pertempuran
antara pasukan Kristen Spanyol dan Prancis. Mernissi menerima
pendidikan pertama secara tidak formal dari neneknya, Lalla Yasmina.
Yasmina banyak memberikan pelajaran tentang sejarah Islam,
termasuk kisah Nabi Muhammad dan kondisi-kondisi perempuan
sebelum Islam. Dia meninggal pada tahun 2015 tepatnya pada tanggal
30 November pada usia 75 tahun dengan meninggalkan beberapa
karya seperti : Veil and The Male Elite : A Feminist Interpretation of
Women‟s Rights in Islam, The forgotten queen o Islam, women and
Islam, dan lain sebagainya.

2. Fatimah Mernissi mempunyai banyak sekali pemikiran-pemikiran
mengenai Feminisme yang betujuan untuk menggugah semangat
wanita-wanita Muslim untuk bangkit. Beberapa pemikiran fatimah
mernissi adalah sebagai berikut :






Pemikiran tentang hadits-hadits misogini, yang menurutnya hadits
tersebut sangat mendeskreditkan perepmpuan.
Selanjutnya adalah pemikiran mengenai Jilbab
Yang terakhir adalah pemikiran mengenai Nushuz yang artinya
pemberontakan seorang istri terhadap kekuasaan suaminya yang
Muslim

10

DAFTAR PUSTAKA
-

Mernissi Fatimah, Wanita Dalam Islam, terj Yaziar. Radiant, (Bandung; Pustaka,
1994),

-

Sauda’ Limmatus, Hadis Misoginis Dalam Prespektif Heurmenetika Fatimah
Mernissi, dalam Mutawatir; jurnal keilmuan Tafsir Hadits Volume 4, No 2,

Desember 2014. Pdf
-

Mernissi Fatimah, Setara dihadapan Allah, terj Tim LSPPA, (Jogjakarta; LSPPA,
1995). Pdf

-

Fatimah Mernissi, The Veil and Male elite, terj. M. Masyhur Abadi, (Surabaya;
Dunia Ilmu, 1997), Pdf

-

Mernissi Fatimah, Pemberontakan Wanita, peran intelektual kaum wanita dalam
sejarah Muslim, terj. Rahmani Astuti, (Bandung; Mizan, 1999)

11