Al Ghazali dan Ibnu Rusyd .docx

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu memberikan
limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayahNya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan lancar dan sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan. Sholawatullah wasalamuhu semoga tetap kita limpahkan kepada
junjungan kita, habiibina, Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya dari
zaman kegelapan menuju zaman terang benderang dengan ajarannya yakni dinn
al islam
Atas terselesainya makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih
kepada:
1. Dr. Maftukhin, M.Ag, selaku ketua IAIN Tulungagung
2. Prof. Dr. H. Mujamil Qomar, M.Ag, selaku dosen pengampu mata
kuliah
3. Semua pihak yang telah ikut berpartisipasi dalam pembuatan makalah
ini.
Dan akhirnya, dalam penyusunan penulisan makalah ini mungkin masih
banyak sekali kesalahan dan sebagainya, untuk itu saran dan kritik bagi makalah
ini selalu kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah ini. khususnya,
dan bagi semua pihak yang mengkaji karya ini pada umumnya.

Tulungagung, 19 November 2016


penulis
1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menyaksikan perkembangan peradaban Barat yang fenomenal dan
spektakuler, pencapaian peradaban Barat sekarang ini bisa digolongkan puncak
peradaban umat manusia yang pernah dicapai sepanjang sejarah. Ilmu
pengetahuan dan teknologi canggih merupakan dua produk peradaban yang telah
dicapai bangsa Barat yang mampu memenuhi kebutuhan hidup umat manusia.
Sejak Revolusi Industri di Inggrisabad ke-16 dan Revolusi Prancis pada tahun
1789, Barat bergerak maju bagaikan anak panah yang dilepaskan dari busurnya.
Perkembangan peradaban itu terus melaju pesat meninggalkan peradaban
bangsa Timur yang memang sejalan dengan misi mereka yaitu membuat atau
menjadikan dunia Islam tidak mempunyai peran penting dalam mencoraki arus
sejarah global. Menurut Dr.H. Saiful Anwar, MA, tejadinya kesenjangan corak
dan laju perkembangan antara Barat dan Timur Islami itu timbul dari sebab-sebab
yang komplek. Salah satunya seringnya dikaitkan dengan kisah pertarungan antara

“agama” dan filsafat yang dimenangkan kubu pertama.1
Di sisi lain menurut A. Syafi’i Ma’arif, karena kekecewaan para ilmuwan
Barat terhadap doktrin-doktrin Gereja pada abad pertengahan , mereka akhirnya
melawan doktrin-doktrin tersebut. Perlawanan itu begitu sengit, bahkan
melampaui batas. Deskartes misalnya, tanpa ragu mengatakan bahwa moral dan
iman tidak ada sangkut pautnya dengan penalaran (reason). Sementara
Machiavelli (1467–1527), seorang filosof politik Italia yang telah terlebih dahulu
memproklamasikan terpisahnya moral dengan politik.2
Abu Hamid al-Ghazali (450 – 505 H/1058 – 1111 M) merupakan salah
seorang filosof yang melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap pemikiran
para filosof. Kritik pedas tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang terkenal
Tahafut al-Falasifat (The Inkoherence of the fhilosopher; Kerancuan Pemikir Para

1 Saepul Anwar, Filsafat Ilmu: Al-Ghazali Dimensi Ontologi Dan Aksiologi, (Bandung, Pustaka
Setia 2007), cet. I, hlm 14
2 A. Syafi’i Maarif, Peta Bumi Intlektualisme Islam Indonesia, (Bandung, Mizan, 1994), cet II,
hlm 20

2


Filosof).3 Disatu pihak, al-Ghazali mendapat gelar Hujjatul Islam (Argumen
Islam), dan dinyatakan oleh Ibn ‘Asakir sebagai Mujahid (Pembaharu) Islam abad
ke-5 H. tidak heran jika ia menduduki posisi penting di dunia Islam sepanjang
sejarah hidupnya.4 Sejak abadke-13 M dunia Islam lebih didominasi kalam dan
sufisme sehingga emperisme terhambat pekembangannya.
Karya al-Ghazali yang sangat monumental adalah Tahafut al-Falasifah
yang berisikan serangan terhadap kerancuan berfikir para filosof yang secara
lahiriah ditandingi dan dibantah oleh Ibn Rusyd melalui bukunya Tahafut alTahafut. Sebagai seorang filosof, Ibn Rusyd merasa perlu membela para filosof
dan pemikiran mereka serta mendudukkan masalah-masalah tersebut pada
proporsinya. Melalui karyanya yang berjudul Tahafut al-Tahafut, seolah-olah Ibn
Rusyd telah mengisyaratkan bahwa al-Ghazali-lah yang sebenarnya kacau dalam
berpikirnya.5
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Riwayat Al-Ghazali ?
2. Bagaiman Kritik Al-Ghazali Terhadap Para Filosof, Epistimologi dan
Moral ?
3. Bagaimana Riwayat Ibnu Rusyd ?
4. Bagaimana Kritik Ibnu Rusyd Terhadap Al-Ghazali, Metafisika dan
Metode Pembuktian Kebenaran ?
C. Tujuan Masalah

1. Untuk Mengetahui Riwayat Al-Ghazali
2. Untuk Mengetahui Kritik Al-Ghazali Terhadap Para Filosof, Epistimologi
dan Moral
3. Untuk Mengetahui Riwayat Ibnu Rusyd
4. Untuk Mengetahui Kritik Ibnu Rusyd Terhadap Al-Ghazali, Metafisika
dan Metode Pembuktian Kebenaran

3 Sirajudin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), hlm 159
4 Saepul Anwar, Filsafat Ilmu,.... hlm 16
5 Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd Dan Averoisme: Sebuah Pemberontakan Terhadap Agama,
(Jakarta, Gaya Media Pertama, 2004), cet. I, hlm 46

3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat hidup Al-Ghazali.
Al-Ghazali, lengkapnya Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn
Muhammad Al-Thusi Al-Ghazali, lahir di Thus, dekat Masykad, Khurasan,
tahun 450 H/1058 M.6 Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf,

karenanya ia hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dari
menenun wol.7 Ayah al-Ghazali, adalah seorang tasawuf yang saleh dan
meninggal dunia ketika al-Ghazali beserta saudaranya kecil. Akan tetapi
sebelum wafatnya ia telah menitipkan kedu anaknya tersebut kepada seorang
tasawuf pula untuk mendapatkan bimbingan dan pemeliharaan dalam
hidupnya.8
Akan tetapi, hal ini tidak berjalan lama. Harta warisan yang ditinggalkan
untuk bekal hidup kedua anaknya itu habis, sufi yang juga hidup sederhana ini
tidak mampu memberikan tambahan nafkah. Maka, al-Ghazali dan adiknya
dserahkan ke suatu madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi muridnya.
Di madrasah inilah al-Ghazali bertemu dengan Yusuf Al-Nassaj, seorang guru
sufi kenamaan pada masa itu, dan disini pula sebagai titik awal bagi
perkembangan intelektual dan spiritualnya kelak akan membawanya menjadi
seorang ulama besar yang berpengaruh dalam perkembangan pemikiran islam.9
Sepeninggal gurunya, al-Ghazali belajar di Thus pada seorang ulama yang
bernama Ahmad Ibnu Muhammad Al-Razakanya Al-Thusi. 10 Kemudian di
jurjan, dalam bidang hukum (fiqih) di bawah bimbingan Abu Nasr Al-Ismaili
(1015-1085 M). Pada usia 20 Al-Juwaini (1028-1085 M) yang kemudian
menjadi asisten gurunya sampai sang guru wafat. Al-Juwaini inilah yang
mengenalkan al-Ghazali pada filsafat termasuk logika dan filsafat alam lewat

6 A. Khudori Soleh, filsafat islam: dari klasik hingga kontemporer, (jogjakarta, Ar-Ruzz Media,
2013), hlm 133
7 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2014), hlm 159
8 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1990), hlm 135
9 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam,... hlm 160
10 Ibid, hlm 160

4

disiplin teologi, al-Ghazali juga belajar melakukan praktik tawasuf dibimbing
Abu Ali Al-Farmadzi (w. 1084 M).11
Pada 1091 M, al-Ghazali di undang oleh Nidham Al-Mulk (1063-1092 M),
wasir dari Sultan Malik syah I (1072-1092 M) untuk menjadi guru besar di
Nidhamiyah, Bagdad.12 Selama waktu itu ia tertimpa keragu-raguan tentang
kegunaan pekerjaannya, sehingga akhirnya ia menderita penyakit yang tidak
bisa diobati dengan obat lahiriyah13, akibat krisis ini, ia menderita sakit selama
enam bulan sehingga dokter kehabisan daya mengobatinya. Kemudian ia
meninggalkan semua jabatan yang disandangnya, seperti rektor dan guru besar
di Baghdad.14 Ia mulai mengasingkan diri dan melakukan pengembaraan
selama 10 tahun, dimulai ke Damaskus, Yerusalem, Makkah, kembali ke

Damaskus, dan terakhir di Baghdad.15 Sejak kepindahannya ke damasyik dan
dalam masa ini ia menuliskan buku-bukunya yang terkenal, antara lain ihya’
‘ulumuddin.16
Setelah sembuh dari penyakit rohaninya ini, Al-Ghazali kembali
memimpin Perguruan Tinggi Nizhamiyah di Baghdad atas desakan perdana
menteri Fakhr Al-Mulk, anak Nizam Al-Mulk. Setelah Perdana Mentri ini mati
terbunuh, ia kembali ke Thus tempat kelahirannya, disini ia membangun
Madrasah khan-kah (semacam praktik suluk) untul mengajar tasawuf. Usaha
ini ia lakukan sampai wafat pada tanggal 14 jumadil Akhir 505 H, bertepatan
pada tanggal 18 Desember 1111 M. Jasadnya dikebumikan di sebelah timur
benteng dekat Thabaran berdampingan dengan makam penyair yang terkenal
Al-Firdausy.17
Al-Ghazali banyak meninggalkan karya tulis. Menurut penelitian saiful
anwar, setidaknya ada 72 karya tulis yang diwariskan Al-Ghzali, yang secara
umum dapat dibagi dalam beberapa tema. Karya Al-Ghazali yang dianggap
11 A. Khudori Soleh, filsafat islam: dari klasik hingga kontemporer, ... hlm. 134
12 Ibid, hlm 134
13 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, ... hlm 135
14 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, ... hlm 161
15 A. Khudori Soleh, filsafat islam: dari klasik hingga kontemporer, ... hlm. 135

16 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, ... hlm 135
17 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, ... hlm 162

5

monumental adalah ihya’ ‘ulumuddin, sebuah kitab yang ditulis untuk
memulihkan keseimbangan dan keselarasan antara dimensi eksoterik dan
esoterik islam.18
B. Kritik Al-Ghazali terhadap filosof, Epistimologi, dan Moral
1) Kritik Al-Ghazali terhadap filosof
Al-Ghazali adalah orang yang pertama-tama

mendalami dan yang

sanggup mengeritiknya pula, hasil peninjauan terhadap filsafat dibukukannya
dalam bukunya Maqasid al-Falasifah dan Tahafut Al-Falasifah.19 Al-Ghazali
melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap pemikiran para filosoof.
Adapun yang dimaksud para filosof di sini dalam berbagai literatur disebutkan
ialah Aristoteles dan Plato, juga Al-Farabi dan Ibnu Sina karena kedua filosof
Muslim ini dipandang Al-Ghazali sangat bertanggung jawab dalam menerima

dan menyebarluaskan pemikiran filosof dari Yunani (Sokrates, Aristoteles, dan
Plato) di dunia Islam.20
Menurut Imam Al Gazali, mereka ini kurang teliti dalam masalah logika,
sehingga mereka keliru dalam banyak persoalan. Kesalahan para filosof
tersebut dalam bidang ketuhanan ada 20 masalah, yaitu:21
1. Membatalkan pendapat bahwa alam ini azali
2. Membatalkan pendapat mereka alam ini kekal
3. Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allahlah pencipta alam
semesta dan sesungguhnya alam ini diciptakanNya
4. Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha Pencipta
5. Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil
adanya dua tuhan
18 A. Khudori Soleh, filsafat islam: dari klasik hingga kontemporer, ... hlm 136
19 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, ... hlm 143
20 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, ... hlm 163
21 Ibid, hlm 162-163

6

6. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat

7. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi kepada ke
dalam al-jins dan al-fashl (diffirentia)
8. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basith
(simple) dan tidak mempunyai mahiyat (hakikat)
9. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah tidak berjism
10. Menjeleskan kelemahan pendapat mereka tentang al-dahr (kekal dalam
arti tidak berawal dan tidak berakhir)
11. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui selain
mereka
12. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam membuktikan bahwa
Allah hanya mengetahui dzat-Nya
13. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juziyyat
14. Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang
bergerak dengan kemauanNya
15. Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari
planet-planet
16. Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua
juziyyat
17. Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil
terjadinya sesuatu di luar hukum alam

18. Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar
(substansi) yang berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh
19. Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang mustahilnya
fana’(lenyap) sifat manusia
7

20. Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan
dibangkitkan dan yang akan menerima kesenangan dalam syurga dan
kepedihan dalam neraka hanyalah roh
Dalam 17 persoalan mereka dianggap sebagai ahlu al bid’ah, sementara
dalam 3 soal lainnya mereka dinilai kafir. Tiga persoalan tersebut adalah
anggapan bahwa
1. Alam bersifat qadim
2. Tuhan tidak mengetahui rincian sesuatu dan peristiwa
3. Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.
Alasan-alasan tiga soal tersebut, beserta bantahan-bantahannya dari AlGhazali, kami sebutkan dibawah ini:
1.

Qadimnya Alam.
Filosof-filosof mengatakan bahwa alam ini qadim. Qadimnya Tuhan atas

alam sama dengan qadim-nya ilat atas ma’lul (sebab atas akibat), yaitu dari
segi zat dan tingkatan, bukan dari segi zaman. Berikut ini kami sebutkan
alasan-alasan mereka, dan untuk tiap-tiap alasan, kami sebutkan pula bsntahan
Al-Ghazali.
a. Alasan pertama dan jawaban Al-Ghazali
Mustahil timbul yang baharu dari yang qodim, proposisi ini berlaku
bagi sebab akibat, dengan arti, jika Allah qadim, maka terjadinya alam
merupakan keniscayaan (pasti) dan hal ini akan menjadi kadim keduaduanya (Allah dan Alam). Jika diandaikan Allah yang Qadim sudah ada,
sedangkan alam belum lagi ada, karena merupakan kemungkinan semata,
dan setelah itu alam diadakan-Nya, maka apa alasannya bahwa alam
diadakan sekarang.22

22 Ibid, hlm 168

8

Atau kalau dikatakan, bahwa Tuhan mula-mula, tidak menghendaki
adanya, maka timbul pertanyaan, mengapa kehendak tersebut timbul dan
dimana pula timbulnya. Apakah pada zat-Nya ataukah pada selain zat-Nya
juga tidak mungkin, karena zat tuhan tidak menjadi tempat perkara yang
baru. Timbul kehendak Tuhan pada selain zat-Nya juga tidak mungkin,
karena kalau demikian, berarti bukan Dia yang mempunyai kehendak,
melainkan zat lain.23
Jawaban Al-Ghazali: tidak ada apapun bagi Allah menciptakan alam
sejak azali dengan irada-Nya yang kadim, pada waktu diadakan-Nya.
Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang belum
dikehendaki-Nya. Oleh karena itulah, jika Allah menetapkan ciptaan-Nya
dalam satu waktu dan tidak dalam waktu yang lain, tidaklah mustahil
terciptanya yang baru dari zat yang qadim. Alasanya, iradah Allah bersifat
mutlak dan tidak dihalangi oleh waktu atau tempat.24
b. Alasan kedua dan jawaban Al-Ghazali.
Keterdahuluan wujud Allah dari alam hanya dari segi esensi, bukan
dari segi zaman. Hal ini sama seperti keterdahuluan bilangan satu dari dua
atau keterdahuluan gerak dari pada cincin. Kedua jenis ini serupa tinkatanya
dalam zaman. Jika demikian keadaan antara Allah dan alam, harus keduanya
kadim atau baharu dan tidak mungkin salah satunya qadim dan yang lainnya
baharu. Andaikankan Allah mendahului alam dari segi zaman, bukan dari
segi zat, ini berarti ada zaman sebelum alam diwujudkan. Oleh sebab itu,
Allah mendahului zaman terbatas pada satu sisi dan tidak terbatas pada sisi
awal. Ini berarti sebelum ada zaman yang tidak terbatas akhirnya.25
Atau, yang dikehendaki dengan perkataan Tuhan lebih dari pada alam
dan zaman, dari segi zaman, bukan dari segi zat, maka artinya sebelum alam
dan zaman tersebut, sudah terdapat suatu zaman, dimana ‘Adam (tidak ada)
murni terdapat didalamnya, sebagai hal yang mendahuluinya.
23 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, ... hlm 145
24 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, ... hlm 169
25 Ibid, hlm 169

9

Dengan perkataan lain, sebelum terdapat dimana alam ini wujud,
sudah ada zaman yang tidak terbatas. Dan ini adalah suatu perlawanan, jika
ada batas pada salah satu ujungnya, maka harus ada batas pula pada
ujungnya yang lain, begitupun sebaliknya.
Jawaban Al-Ghazali: menurutnya, memang wujud Allah lebih dahulu
dari alam dan zaman. Zaman baharu dan diciptakan. Sebelum zaman
diciptakan tidak ada zaman, kemudian alam diciptakan Allah. Jadi dalam
keadaan pertama kita bayangkan adanya Allah saja, dan dalam keadaan
yang kedua kita bayangkan ada dua esensi yaitu Allah dan alam, dan tidak
perlu kita membayangkan adanya esensi yang ketiga, yakni zaman.26
c. Alasan ketiga dan jawaban Al-Ghazali.
Tiap-tiap yang baru didahului oleh bendanya, untuk dapat dikatakan
bahwa benda itu baru. Jadi yang baru tidak bisa terlepas dari benda, dan
benda itu sendiri tidak baru. Yang baru hanyalah shurah (form), aradl (sifatsifat) dan cara-cara/peristiwa-peristiwa yang mendatangkan kepada benda.
Pikiran ini masih perlu dijelaskan. Tiap-tiap yang baru, sebelum terjadinya,
tidak lepas dari tiga sifat: (1) mungkin wujud; (2) tidak mungkin bisa
wujud; (3) wajib wujudnya.27
Sifat yang kedua tidak mungkin terjadi, sebab alam ini telah menjadi
wujud yang nyata. Sedangkan sifat yang ketiga juga tidak dapat dibenarkan,
sebab yang wajib wujudnya, tidak akan lenyap, sedang alam ini peristiwaperistiwa yang terjadi di dalamnya, asalnya ada, kemudian tidak ada, dan
sebaliknya. Akan tetapi mungkin wujud, merupakan sifat yang tidak dapat
berdiri sendiri, artinya membutuhkan perkara yang lain.
Jawaban Al-Ghazali: sifat mungkin yang disebut diatas, merupakan
pekerjaan pikiran. Sesuatu yang dikirakan oleh akal dapat wujud, dan
perkiraan ini tidak mustahil, maka sesuatu tersebut disebut perkara yang
mungkin. Kalau perkiraan itu mustahil, maka perkara tersebut dinamai
26 Ibid, hlm 170
27 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, ... hlm 147

10

perkakara yang mustahil. Kalau tidak dapat diperkirakan tidak adanya,
maka disebut perkara yang wajib (yang mesti dan selamanya ada). Ketigatiga perkara tersebut adalah pekerjaan pikiran, yang tidak memerlukan
sesuatu wujud tersendiri diluar pikiran, untuk dapat disifati denga sifat-sifat
tersebut.28
2.

Tuhan Tidak Mengetahui yang Juz’iyyat (Perkara Kecil)
Para filosof Muslim, menurut Al-Ghazali berpendapat bahwa Allah
hanya mengetahui zat-Nya dan tidak mengakui yang selain-Nya (juz’iyyat).
Ibnu Sina mengatakan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu denga ilmuNya yang kulli. Alasan para filosof muslim, Allah tidak mengetahui yang
juz’iyyat, bahwa dialam ini mengalami perubahan-perubahan, jika Allah
mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu membawa perubhan kepada
zat-Nya. Perubahan pada objek ilmu akan membawa perubahan yang punya
ilmu (bertambah atau kurang). Ini mustahil terjadi pada Allah.
Jawaban Al-Ghazali: menurutnya pedapat para filosof itu merupakan
kesalahan fatal. Lebih lanjut Al-ghazali menjelaskan bahwa, perubahan yang
terjadi pada objek ilmu tidak merubah ilmu. Karena ilmu merupakan sesuatu
yang berangkaian dengan zat. Kemudian Al-Ghazali mengumpamakan
dengan, bila seseorang berada disebelah kanan anda, lalu berpindah ke
sebelah kiri, kemudian berpindah kedepan atau kebelakang, maka yang
berubah adalah dia bukan Anda. Demikian ilmu Allah. 29 Ia mengetahui
dengan ilmu-Nya yang satu semenjak azali dan tidak berubah sedikit pun,
meskipun alam mengalami banyak perubahan.
Al-Ghazali menguatkan argumennya dengan ayat-ayat Al-Qur’ab,
diantaranya:
a) QS Yunus; 61“....Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun
sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih

28 Ibib, hlm 147
29 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, ... hlm 173

11

kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua
tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”
b) QS Al-Hujurat; 16 “.... Allah mengetahui apa yang di langit dan apa
yang di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”
Perbedaan Al-Ghazali dengan Filosof Muslim, disebabkan perbedaan
mereka dalam menetapkan sifat denga zat Tuhan. Para Filosof Muslim
mengidentikkan anatara sifat dengan zat, dengan demikian Tuhan
mengetahui sesuatu yang (kulliyat dan juz’iyyat), dan meraka tidak pernah
mengatakan, Allah tidak mengetahui. Sedangkan Al-Ghazali memisahkan
antara sifat dengan zat Tuhan, Allah memiliki zat beserta sifatnya, bukan zat
tanpa sifat. Sifat-sifat itu Qadim dan mempunyai wujud di luar zat (qaimat
bi zatihi). Dengan pendapat Al-Ghazali diatas, para filosof Muslim tidak
membenarkan karena akan membawa berbilang yang qadim, dengan kata
lain Allah tidak lagi esa.
3.

Kebangkitan Jazmani di Akhirat
Menurut para filosof Muslim, yang akan dibangkitkan di Akhirat nanti
adalah rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur. Jadi yang akan
merasakan kebahagian atau kepedihan adalah rohani saja. Kendatipun ada
gambaran dari agama berupa materi Akhirat, seperti surga dan neraka,
semua itu pada dasarnya simbol-simbol untuk memudahkan pemahaman
orang awam.30 Padahal. Di akhirat terlalu suci dari apa yang digambarkan
oleh orang awam
Jawaban Al-Ghazali: menurut Al-ghazali, gambaran Al-Qur’an dan
hadis Nabi SAW. Tentang kehidupan di akhirat bukanlah mengacu pada
kehidupan rohani saja. Akan tetapi, pada kehidupan jasmani dan rohani.
Jasad dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah
hidup di dunia untuk menikmati nikmat surgawi yang bersifat rohani
jasmani, dan juga merasakan adzab neraka yang bersifat rohani dan jasmani.
Kehidupan di surga dan neraka yang bersifat jasmani dan rohani itu,

30 Ibid, hlm 175

12

menurut Al-Ghazali, bukanlah sesuatu yang mustahil. Oleh karena itu
gambaran Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW. Itu harus dipahami secara hakiki.
Pemahaman bahwa kehidupan di surga dan neraka bersifat rohani saja,
menurut Al-Ghazali, adalah pemahaman yang mengingkari adanya
kebangkitan jasad di hari akhir. Pemahaman demikian menurutnya,
bertentangan dengan apa yang telah diajarkan Al-Qur’an dan hadis Nabi
SAW.dan karena itu dikufurkannya.31

2) Epistimologi
Secara historis, epistimologi permasalahan pertama yang muncul dari
pikiran manusia. Justru aktivitas filsafat dimulai dalam wilayah metafisika.
Apa itu dunia? Apa itu jiwa? Dan sebagai mana pertanyaan-pertanyaan pertama
yang mengganggu pikiran manusia yang selanjutnya mereka mencoba untuk
menemukan jawaban. Akan, tetapi, mereka mendapati berbagai jawaban
tentang hal-hal tersebut beragam dan saling bertentangan. Berangkat dari fakta
ini mereka sampai kepada pertanyaan yang tidak lagi mengarah pada dunia
luar, tetapi justru mereka arahkan kepada dirinya sendiri tentang apakah intlek
manusia mampu menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. Pada titik
inilah manusia masuk dalam kawasan epistimologi.
Epistimologi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu epistem yang berarti
pengetahuan dan logos yang berarti penjelasan atau ilmu. Jadi, secara
epistimologis, adalah ilmu tentang pengetahuan. Seperti yang telah disinggung
diatas, secara epistimologi merupakan refleksi kritis tentang metafisika. Ia
merupakan ikhtiar untuk menjawab mengapa dan bagaimana jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan metafisika tersebut saling bertentangan. Disini terlihat
jelas bahwa filsafat epistimologi berorientasi pada subjek yang memikirkan
dan mengetahui. Pertanyaan mendasar yang diajukan oleh epistimologi adalah
bagaimana diri manusia dapat mengetahui? Pertanyaan filsafat demikian adalah
31 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, Konsep, Filsuf, Dan Ajaranya, (Bandung, Pustaka
Setia, 2009), hlm 171-172

13

pertanyaan yang berangkat dari rasa curiga dan ragu terhadap kebenaran
pengetahuan yang ada pada manusia.32
Al-Ghazali, merupaka sosok orang yang selalu haus akan ilmu
pengetahuan, kehausan itu pada akhirnya mengantarkannya pada keinginan
yang semakin jauh, yaitu keinginan untuk mengetahui hakikat segala sesuatu.
Untuk ini semua yang pertama harus dirumuskan arti tahu.
Akhirnya, nyatalah kepadaku bahwa arti ilmu atau tahu yang
sesungguhnya ialah tersingkapnya sesuatu dengan jelas sampai tidak ada lagi
keraguan untuk ragu-ragu; tidak mungkin salah atau keliru; tidak ada di hati
tempat untuk perasaan itu. Rasa aman dari bahaya salah atau keliru tersebut
harus diperkuat dengan suatu keyakinan sedemikian rupa sehingga andai kata
disangkal oleh seorang yang sakti, yaitu misalnya mampu mengubah tongkat
menjadi ular; hal itu tidak akan dapat menimbulkan keraguan sedikit pun
terhadap keyakinan tadi.33
Inilah yang dinamakan dengan pengetahuan yang sesungguhnya,
yaitu pengetahuan tentang sesuatu dengan sangat yakin sehingga tidak
ada keraguan dalam memeganginya. Pengetahuan seperti itu disimbolkan
Al-Ghazali dengan tingkat kepastian matematis yang tidak tergoyahkan
oleh intimidasi apa pun.34
Setelah mendefinikan makna tahu, ia kemudian memeriksa pengetahuan
yang dimilikinya selama ini yang bersumber dari indera dan akal. Ia menguji
kredibilitas pengetahuan dari kedua sumber tersebut. Yang pertama kali
diselidikinya ialah indera.
Akhirnya, tentang ini aku ragu-ragu karena hatiku berkata,
“bagaimana mungkin indera dapat dipercaya. Penglihatan mata sebagai
indera terkuat adakalanya seperti menipu. Engkau, misalnya, melihat
bayang-bayang diam, padahal setelah lewat sesaat, ternyata ia bergerak
32 Ahmad Zainal Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim, (Yogyakarta, LKiS, 2004), hlm 129-130
33 Ibid, hlm 146
34 Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
1996). hlm 75

14

sedikit demi sedikit, tidak diam saja. Engkau juga melihat bulan nampak
kecil, padahal bukti-bukti berdasarkan ilmu ukur menunjukkan bahwa
bintang lebih besar dari pada bumi.” Hal-hal semacam ini disertai
dengan contoh-contoh yang lain dari pendapat indra menunjukkan bahwa
hukum-hukum indrawi dapat ditumbangkan oleh akal dengan bukti-bukti
yang tidak dapat disangkal.35
Sampai sini, gugurlah keyakinan Al-Ghazali terhadap indera sebagai
instrumen yang dapat mengantarkan pada pengetahuan yang sesungguhnya
tentang hakikat segala sesuatu. Dia pun menyelidiki akal.36
Mungkin tidak ada yang dapat dipercaya pengertian-pengertian
Awwali (pengertian yang bersifat aksiomatris dan asasiah), seperti
pengeertian bahwa sepuluh lebih banyak dari pada tiga.37
Akan tetapi, terhadap pengetahuan awwali ini pun ia didera keraguan
yang luar biasa. Terjadi perang batin antara keyakinan dan keraguan, ini
berdasarkan refleksi tumbangnya pengetahuan inderawi atang pengetahuan
akal, apakah pada suatu saat nanti pengetahuan akal dapat didustakan,
sebagaimana pengetahuan inderawi didustakan oleh pengetahuan akal?
Krisis ini berlangsung hampir selama dua bulan. Setelah ia sembuh danm
menemukan keseimbangannya kembali, dengan rasa aman dan yakin, ia
akhirnya dapat menerima pengertian awwali dari akal. Penerimaan

ini

dikarenakan, dalam pendangannya, hal itu merupakan pengertian yang
memang telah ada. Dengan modal pengetahuan awwali ini, Al-Ghazali
meneruskan pengembaraan intlektuannya untuk mendapatkan pengetahuan
yang terang benderang tentang hakikat segala sesuatu. Ditelitinya empat
golongan pencari kebenaran yang ada saat itu: ahli ilmu kalam, golongnan
batiniah, kaum filsuf, dan golongan sufi. Ia berharap dapat menemukan apa
yang dicarinya, minimal dari salah satu keempat golongan tersebut. 38
35 Ahmad Zainal Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim, .... hlm 148
36 Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali, .... hlm 126-127
37 Ahmad Zainal Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim, .... hlm 149
38 Ibid, hlm 150

15

Dari ilmu kalam, filsafat, sampai pada Batiniah, ia mendapat pengetahuanpengetahuan yang bernilai. Akan tetapi, dari ketiganya ia belum menemukan
apa

yang

dicarinya,

pengetahuan

tentang

hakikat

segala

sesuatu,

“tersingkapnya sesuatu dengan jelas sehingga tidak lagi ruang untuk ragu”.
Akhirnya tinggal satu jalan yang belum ia masuki, yaitu jalan sufiah. Jalan ini
tidak dapat ditempuh tetapi denga ilmu dan amal. Yang diutamakan dengan
jalan ini adalah pengalaman, bukan perkataan. Karena itulah jalan ini harus
ditempuh dengan suluk dan dzauq (perjalan batin).39
Selama kurang lebih sepuluh tahun, Al-Ghazali menempuh jalan sufisme
secara intensif. Selama itu, ia menemukan banyak pengetahuan yang
meyakinkan tentang hakikat segala sesuatu seperti yang dicarinya selama ini.
Dibukakan rahasia yang tak terhitung jumlahnya.
... apa yang selama ini dikatakan orang tentang suatu jalan yang
dimulai

dengan

membersihkan

hati-sebagai

syarat

pertama,

mengosongkan sama sekali sesuatu selain Allah, dan kunci pintu laksana
takbiratul al-ihram bagi sembahyang ialah tenggelamnya hati dalam
dzikir kepada Allah dan akhirnya fana sama sekali kepada Allah... Di
awal

perjalanan

ini,

dimulailah

peristiwa-peristiwa

mukasyafah

(terbukanya rahasia-rahasia) dan musyahadah (penyaksian secara
langsung),... Dari tingkat ini, seseorang naik ke beberapa tingkat yang
meninggi jauh diatas ukuran kata-kata... Akhirnya, sampailah kederajat
yang begitu dekat (kepada-Nya) sampai ada yang mengira hulul atau
ittihad atau wusul.40
Disinilah Al-Ghazali apa yang dicarinya. Jalan sufiahlah yang dapat
mengantarkannya sampai pada pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat
segala sesuatu sampai ketingkat keyakinan matematis. Betapa jauh perbedaan
orang yang mengalami mabuk, sekalipun ia belum pernah mendengarkan
penjelasan tentang mabuk.41
39 Ibid, hlm 151-152
40 Ibid, hlm 152
41 Ibid, hlm 153

16

Semakin jelas di sini bahwa teori dzauq Al-Ghazali tidak dimaksudkan
untuk menegasikan alat-alat pengenal yang lain. Ia hanya menekankan bahwa
setiap instrumen pengenal memiliki batas kemampuan sendiri-sendiri yang
hanya cocok dalam batas-batas wilayah. Barang kali sumbangan terbesar dalam
kajian epistimologi adalah usahanya dalam memperluas wilayah pengetahuan
manusia melampaui pengetahuan inderawi dan atau logika semata-mata. 42
3) Pandangan tentang etika
Al-Ghazali juga membahas tentang etika yang dapat dilihat pada ajaran
tasawufnya. Menurut Al-Ghazali orang sufi benar-benar berada diatas jalan
yang benar, berakhlaq yang baik dan berpengetahuan yang benar. Mengenahi
tujuan pokok etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang
terkenal, al-takhaluq bitakhaluq, bi-akhlaqillah ‘ala thaqatil basyariyah, atau
pada semboyannya yang lain, al-isyafu bi-shifatirrahman ala thaqalilbasyariyah.
Maksud semboyan itu ialah agar manusia sejauh kesanggupan meniru-niru
perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, penyayang pengampunan
(pemaaf), dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas,
beragama, dan sebagainya. Dalam ihya’ ‘ulumuddin itu Al-Ghazali mengupas
rahasia-rahasia ibadat dari tasawuf dengan mendalam sekali. Misalnya dalam
mengupas soal at-thaharah ia tidak hanya mengupas kebersihan badan lahir
saja, tetapi juga kebersihan rohani. Dalam penjelasan yang panjang lebar
tentang salat, puasa dan haji, kita dapat menyimpulkan bahwa bagi Al-Ghazali
semua amal ibadah yang wajib itu merupakan pangkal dari segala jalan
pembersihan rohani.
Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan
rohaninya dan rasa akrabnya (taqarrub) terhadap Tuhan. Sesuai dengan prinsip
Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa,
yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian
alam. Dalam hal ini ia sama sekali tidak cocok dengan prinsip filsafat klasik
42 Ibid, hlm 159

17

Yunani yang menganggap Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif
menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap
materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali, sesuai dengan prinsip Islam, mengaku bahwa kebaikan
tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang
disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan berlebihan. Bagaimana cara bertaqarrub kepada Allah itu, Al-Ghazali memberikan beberapa cara latihan yang
langsung mempengaruhi rohani. Di antaranya yang terpenting ialah almuraqabah, yaknimereka diawasi terus oleh Tuhan, dan al-muhasabah, yakni
senantiasa mengoreksi diri sendiri.
Menurut Al-Ghazali, kesenangan itu ada dua tingkatan yaitu kepuasan dan
kebahagian (lazzat dan sa’adah). Kepuasan ialah apabila kita mengetahui
kebenaran sesuatu. Bertambah banyak mengetahui kebenaran itu, bertambah
banyak mengetahui kebenaran itu, bertambah banyak orang yang merasakan
kebahagiaan.
Akhirnya kebahagian tertinggi itu ialah mengetahui sumber dari segala
kebahagiaan itu sendiri. Itulah yang dinamakannya ma’rifatullah, yaitu
mengenal adanya Allah tanpa syak sedikit juga, dengan penyaksian hati, yang
sangat yakin (musyahadatul ghaib). Apabila sampai kepada penyaksian itu,
manusia akan merasakan suatu kebahagiaan yang begitu memuaskan sehingga
sukar dilukiskan.43

C. Riwayat Ibn Rusyd
Ibnu Rusyd, averroes, nama lengkap adalah Abu Al-Walid muhammad ibn
Ahmad ibn rusyd, lahir di kota kordoba, andalus (spayol sekarang), tahun 1126
M, dari keluarga bangsawan dan terpelajar44, atau sekitar lima belas setelah
kematian Abu Hamid Al-Ghazali.45 Selain disebut Ibn Rusyd, ia juga sering
43 Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta, Rineka Cipta, 2010), hlm 71-72
44 Khudori Soleh, Filsafat Islam, (jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 154.
45 Aminnulla el-Hadi, Ibn Rusyd Membela Tuhan (Surabaya, LPAM, 2004 ), hlm. 27.

18

dipanggil dengan kun’yah Abu al-Walid. Ia berasal dari keluarga terpandang
serta mempunyai akses cukup penting kepada dunia hukum dan politik. Karena
ada kesamaan nama dengan kakeknya, yakni Muhammad ibn Ahmad, yang
juga dipanggil dengan kun’yah Abu al-Walid, maka yang dibahas ini disebut
dengan julukan al-Hafid atau Ibn Rusyd “sang cucu”, sementara kakeknya
dijuluki sebagai Ibn Rusyd al-Jadd atau “sang kakek”.46
Mengenai latar belakang pendidikannya, dapat disebut secara ringkas
bahwa sebagaimana keluarganya yang terkenal keahlian dan kedalaman ilmu
mereka dalam bidang agama, maka Ibn Rusyd pun mendapat pengajaran ilmuilmu keagamaan, maka Ibn Rusyd pun mendapat pengajaran ilmu-ilmu bahasa
(Arab), fiqih, dan teologi klasik. Dari ayahnya ia belajar dengan cara
menghafal kitab Al-Muwaththa’ Imam Malik. Di samping kepada ayahnya, ia
juga belajar kepada beberapa ulama seperti Abu Muhammad ibn Rizq, Abu alQosim ibn Basykuwal, Abu Marwan ibn Masarrah, dan Abu Bakr ibn Sahnun.
Sementara dalam bidang kalam, madzhab Asy’ariyyah adalah yang dominan,
termasuk ajaran yang dibawa melalui pengaruh Al-Ghazali. Sedangkan dalam
ilmu kedokteran ia belajar kepada Abu Marwan ibn Juraiwil al-Balansi dan
Abu Ja’far ibn Harun Tarrajjali. Sementara dalam bidang bidang filsafat tidak
diperoleh informasi kepada siapa ia belajar. Jika ada dugaan bahwa ia
mempelajari filsafat dari Ibn Bajjah atau Ibn Thufail, maka dugaan itu sangat
sulit dipastikan.47
Sebagaimana dijelaskan bahwa Ibnu Rusyd berasal dari keluarga faqih
maka jabatan pertama yang ia raih adalah hakim. Hal itu terbukti pada 565
H/1169 M, ia diangkat sebagai qadhi Seville, yang menjadi ibu kota andalusia.
Ia kembali ke cordova sepeluh tahun kemudian sebagai qadhi, seraya tetap
sering mengunjungi Seville dan Marakesh. Setelah diangkat untuk masa
jabatan kedua sebagai qaddi seville pada tahun 575 H/1179 M, ia menjadi
qadhi kepala kota cordova tiga tahun kemudian. Beberapa bulan sebelumnya,
ia menggantikan ibnu thufail sebagai dokter sang sultan dan setelah Abu Yusuf
naik tahta, saudara dari pengusaha sebelumnya, pada 580 H/1184 M, ia hidup
46 Ibid, hlm. 27.
47 Ibid, hlm. 28-29.

19

di dekatnya dan menjadi teman akrab. Dalam upacara-upacara kekhalifahan,
Ibnu Rusyd secara simbolis ditempatkan pada tingkat tertinggi dalam hierarki
Al-Muwahhidun.48
Dengan realistis yang dialami sebagai qadhi, dokter dan didukung oleh
berbagai penguasaan ilmu, seperti matematika, fisika, astronomi, kedokteran,
logika dan filsafat Ibnu Rusyd menjadi ulama dan filsuf yang sulit ditandingi.
Kehebatan dapat dilihat dari berbagai karya yang telah ditulis., meskipun
diakhir hidupnya, mendapat tuduhan besar sehingga ia dibuang dari tanah
kelahirannya.49
Tuduhan yang dilontarkan kepadanya berkenaan tentang penulisannya
dalam beberapa bukunya mengenai pengakuan bahwa dia telah melihat jerapah
didalam taman raja orang-orang barat. Dalam pembelaannya, ibnu rusyd
mengatakan bahwa ia telah menulis “raja dua negeri”. Kisah kedua
mengemukakan, dia telah menulis bahwa venus itu suci. Kisah ketiga
mengemukakan, dia menyangkal kebenaran historis mengenai orang-orang ‘Ad
yang disebut-sebut di dalam Al-Qur’an. Hal itu mengakibatkan Ibnu Rusyd
bukan saja dihukum buang, tetapi juga tulisannya dibakar di muka umum.
Sebuah manifesto yang menentang filsafat dan para filsuf dikeluarkan dan
disebarkan di setiap tempat di Andalusia dan Marrakusy, yang melarang studistudi yang dianggap membahayakan serta memerintahkan pembakaran semua
buku yang berhubungan dengan ilmu-ilmu semacam itu, tetapi aib yang
diderita oleh Ibnu Rusyd tidak berlangsung lama. Dan Al-Mansyur,
sekembalinya dari Marakussy, mengampuni dan memanggilnya kembali. Ibnu
Rusyd pergi ke Marrakusy, dan meninggal pada tahun 595 H/1198 M.50

D. Kritik Ibnu Rusyd terhadap Al-ghazali, Metafisika, dan Metode
Pembuktian Kebenaran.

48 Dedi Supriadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2009), hlm 226
49 Ibid, hlm 227
50 Ibid, hlm 227-228

20

1) Kritik Ibnu Rusyd terhadap Al-ghazali.
Sehubung dengan sanggahan yang mematikan dari Al-Ghazali terhadap
para filosof Muslim, Ibnu Rusyd sebagai seorang filosof Muslim merasa wajib
menjawab sanggahan tersebut, yang tidak pula kalah mautnya dari sanggahan
tersebut, yang tidak pula kalah mautnya dari sanggahan Al-Ghazali. Untuk
jelasnya dibawah ini kita kedepankan jawaban Ibnu Rusyd dalam tiga butir
masalah tersebut sebagai berikut:
1. Qadimnya Alam.
Menurut Al-Ghazali, - sesuai dengan keyakinan kaum teolog- alam
diciptakan Allah dari tiada (al-ijad min al’adam, creatio ex nihilo).
Penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya pencipta. Yang ada tidak
butuh kepada yang mengadakan. Justru itulah alam ini diciptakan dari ada
menjadi tiada. Sementara itu, menurut filosof muslim, alam ini qadim,
dengan arti alam ini diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah ada. 51
Selain itu ia juga mengingatkan bahwa paham qadim-Nya alam tidak harus
membawa pada pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya atau tidak
dijadikan oleh Tuhan. Bagi para filosof muslim, alam itu dikatakan qadim,
justru karena alam itu diciptakan tuhan, yakni diciptakan sejak qidam/azali.
Karena diciptakan-Nya sejak qidam, alam itu menjadi qidam pula.
Bagaimanapun, Tuhan dan alam tidak sama karena Tuhan adalah qadim
yang mencipta, sedangkan alam adalah qadim yang dicipta.52
Menurut Ibnu Rusyd, Al-Ghazali keliru menarik kesimpulan bahwa
tidak ada seseorang filosof muslim pun yang berpendapat bahwa qadimnya
alam sama dengan qadimnya Allah, tetapi yang mereka maksudkan adalah
yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari
tiada (al-adam), menurut filosof Muslim adalahh suatu yang mustahil dan
tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil kosong) tidak bisa terjadi
sesuatu. Oleh karena itulah, materi asal alam ini mesti kadim.53
51 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam,... hlm 232
52 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, .... hlm 232
53 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam,... hlm 233

21

Kelihatannya, menurut pemikiran Al-Ghazali, pada saat Allah
menciptakan alam, yang ada hanyalah Allah sendiri, dan tidak ada sesuatu
pun selain-Nya. Sementara itu, menurut pemikiran para filosof Muslim, di
kala Allah menciptakan alam sudah ada sesuatu selain allah dari sesuatu
yang sudah ada itulah alam diciptakan Allah.54
Untuk mendukung pendapatnya, Ibnu Rusyd mengemukakan
sejumlah ayat Al-Qur’an: QS Al-Anbiya’: 30, Hud: 7, Fushshilat: 11 dan AlMu’minun: 12-14. Dari keterangan ayat-ayat tersebut, dapat disimpulkan
bahwa sebelum alam ini diciptakan sudah ada sesuatu yang lain, yakni ma’
(air) dan dukhan (uap).
2. Tuhan Tidak Mengetahui yang Juz’iyyat (Perkara Kecil)
Menurut Al-Ghazali para filosof Muslim berpendapat bahwa Allah
tidak mengetahui yang parsial di alam. Dalam menjawab tuduhan ini, Ibnu
Rusyd menegaskan bahwa Al-Ghazali salah faham sebab tidak ada para
filosof Muslim yang mengatakan demikian. Yang dimaksudkan para filosof
Muslim adalah pengetahuan Allah yang parsial tidak sama dengan
pengetahuan manusia. Pengetahuan Allah bersifat qadim sejak azali. Allah
mengetahui segala yang terjadi di alam ini, betapapun kecilnya, sedangkan
manusia bersifat baharu. Begitu pula pengetahuan Allah berbentuk sebab,
sedangkan manusia berbentuk akibat. Demikian juga menurut Ibnu Rusyd,
pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan Juz’i (parsial) dan kully (umum).
Juz’i adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi
hanya bisa ditangkap dengan pancaindra. Kully, mencakup berbagai jenis.
Kully bersifat abstrak, yang hanya dapat diketahui melalui akal. Allah
bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat pancaindra
untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itulah, kata Ibnu Rusyd, tidak
ada para filosof Muslim yang mengatakan Ilmu Allah juz’i dan kully.55

54 Ibid.
55 Ibid, hlm 235-236

22

Ibnu Rusyd membedakan ilmu qadim dan ilmu baru terhadap hal
yang kecil tersebut, sebagai berikut: 56
Bagi kami, cara untuk menghilangkan keragu-raguan ialah
mengetahui bahwa keadaan ilmu qadim terhadap wujud, berbeda
dengan keadaan ilmu qadim terhadap wujud, berbeda dengan ilmu
baru terhadap wujud, sebab adanya wujud tersebut menjadi sebab
dan illat bagi ilmu kita, sedangkan ilmu qadim menjadi illat ada
sebab bagi wujud. Jadi keragu-raguan telah dapat dihilangkan, dan
kita tidak perlu memegangi pendirian bahwa apabila pada ilmu
yang qadim tidak terjadi perubahan, artinya Tuhan tidak
mengetahui perkara tersebut dengan ilmu yang baru, tetapi dengan
ilmu yang qadim.
Ringkasan, dalam tulisan Harun, Ibnu Rusyd berpandangan bahwa
Al-Ghazali salah paham karena kaum filsuf tidak pernah mengatakan yang
demikian. Yang dikatakan kaum filsuf, menurut Ibnu Rusyd, ialah bahwa
pengetahuan Tuhan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama
dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu. Pengetahuan manusia
dalam hal ini mengambil bentuk efek, sedang pengetahuan Tuhan
merupakan sebab, yaitu sebab bagi wujudnya perincian tersebut.
Selanjutnya, pengetahuan manusia bersifat baru dan pengetahuan Tuhan
bersifat qadim, yaitu semenjak azali, Tuhan mengetahui segala hal-hal yang
terjadi di alam. Betapa pun kecilnya.57
3. Kebangkitan Jazmani di Akhirat
Menurut Ibnu Rusyd sanggahan Al-Ghazali terhadap para filosof
Muslim, tentang kebangkitan jasmani di Akhirat tidak ada, adalah tidak
benar. Mereka tidak mengantakan demikian. Sanggahan Al-Ghazali tetang
kebangkitan rohani ketika manusia dibangkitkan nanti. Al-Ghazali

56 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, .... hlm 238
57 Ibid, hlm 239

23

berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan itu adalah jasmani, Al-Ghazali
berkata:
“... adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan Muslim,
keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani manusia
tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang
terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan
pahala atau hukuman itu pun akan bersifat spiritual dan bukan
hanya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam
menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat spiritual
karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara salah mereka
menolak adanya pahala dan hukuman bersifat jasmani dan mereka
dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang
mereka nyatakan itu.”58
Semua agama, tegas Ibnu Rusyd, mengakui adanya hidup kedua di
Akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenaihi bentuknya. Diantara
mereka ada yang berpendapat bahwa yang akan di bangkitkan hanya rohani
dan ada pula yang mengatakan rohani dan jasmani. Namun yang jelas,
kehidupan akhirat tidak sama dengan kehidupan di dunia ini. Hal ini sesuai
dengan hadis: “di sana akan dijumpai apa yang tak pernah dilihat mata,
tidak pernah didengar telinga dan tak pernah melintas dalam fikiran”, dan
ucapan Ibnu Abbas: “tidak akan dijumpai di akhirat hal-hal yang bersifat
keduniaan kecuali nama saja.” Hidup di akhirat tentu saja lebih tinggi dari
pada hidup di dunia.59
Menurut Ibnu Rusyd, sikap Al-Ghazali sendiri tidak konsisten, saling
bertentangan dangan ucapan sendiri. Dalam buku tahafut al-falasifah, AlGhazali mengatakan tidak ada seorang muslim pun yang berpendapat bahwa
kebangkitan jasmani tidak ada. Akan tetapi, dalam bukunya mengenai

58 Ibid, hlm 234
59 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam,... hlm236-237

24

tasawuf, ia mengemukakan bahwa pendapat kaum sufi yang ada nanti hanya
kebangkitan rohani.60
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara AlGhazali dan para filosof Muslim hanya perbedaan interpretasi tentang ajaran
dasar Islam, bukan perbedaan antara menerima atau menolak ajaran dasar
tersebut. Dengan arti hanya perbedaan ijtihad antara Al-Ghazali dan filosof
Muslim, atau dengan kata lain, perbedaan otak antara satu orang Muslim
dengan otak seorang Muslim lain dalam memahami ayat-ayat tentang
kebangkitan di akhirat. Hal ini lumrah terjadi di kalangan ulama islam.
Perbedaan seperti ini tidak akan membawa pada kekafiran. Lebih lanjut
Ibnu Rusyd menekankan hadis Rasulullah Saw: “siapa yang benar berijtihad
di bidangnya ia mendapat dua pahala dan siapa yang salah dalam ijtihadnya
ia mendapat satu pahala,”61
2) Metafisika62
Ibnu Rusyd telah membahas tantang wujud, sifat sifatnya dan hubungan
Tuhan dengan alam. Ketiga hal tersebut menjadi pokok pembahasan metafisika
Ibnu Rusyd. Di samping itu Ibnu Rusyd meneliti berbagai golongan Islam
dalam mencari Tuhan. Golongan tersebut terdiri dari Asy’ariah, Mu’tazilah,
Batiniah, dan Hasywiah: masing-masing golongan tersebut memiliki
pandangan tersendiri tentang Tuhan. Di samping itu Ibnu Rusyd juga meninjau
pemikiran Al-Ghazali.
Tentang Ghazali, maka menurut Ibnu Rusyd, ia telah mengisi bukunya
Tahafut al-Falasifah dengan pikiran-pikiran sofistis, dan kata-katanya tidak
sampai pada tingkat keyakinan serta tidak mencerminkan hasil pemahamannya
terhadap filsafat itu sendiri. Pembicaraan Al-Ghazali terhadap pemahamannya
pikiran-pikiran filosof-filosof dengan cara demikian, tidak pantas baginya,
sebab tidak terlepas dari satu dan dua hal. Pertama, ia sebenarnya memahami
pikiran-pikiran tersebut, tetapi tidak disebutkan disini secara benar-benar dan
60 Ibid, hlm 237
61 Ibid
62 Sudarsono, Filsafat Islam, .... hlm 102-104

25

ini adalah perbuatan orang-orang buruk. Kedua, ia memang tidak memahami
benar-benar, dan dengan demikian maka ia membicarakan sesuatu yang tidak
dikuasainya, dan ini merupakan perbuatan orang-orang bodoh. Golongan
Asy’ariah mengatakan bahwa kepercayaan tentang wujud Tuhan tidak lain
adalah melalui akal. Menurut Ibnu Rusyd, untuk ini mereka tidak menempuh
jalan yang ditunjukkan oleh syara’ karena berdasarkan baharunya alam atas
tersusunnya dari bagian-bagian yang tidak terbagi-bagi itu adalah baru. Kalau
kita memperhatikan alam ini baru, maka ia mesti ada pembuatnya yang baru,
dan pembuat ini membutuhkan kepada pembuat yang lain, dan begitu
seterusnya sampai tidak berkesudahan. Kalau kita memperhatikan alam ini
qadim (azali), maka pembuat yang berhubungan dengan perkara-perkara yang
dibuatnya adalah qadim pula, dan dengan demikian maka perkara-perkara yang
dibuatnya adalah qadim juga.
Golongan Mutakalimin Asy’ariyah mengatakan bahwa perbuatan yang
baru

adalah karena iradah (kehendak) yang qadim. Maka Ibnu Rusyd

menjawab bahwa perkataan tersebut tidak dapat diterima, karena iradah itu
bukan perbuatan yang berhubungan dengan perkaya yang dibuat. Jika perkara
yang tersebut baru, karena perbuatan itu dari zat yang membuat, lain dari
perkara yang dibuat, dan lain pula dari iradah. Lagi pula iradah tersebut
menjadi syarat adanya perbuatan, bukan perbuatan itu sendiri.
Dengan demikian, maka jalan yang ditempuh oleh golongan Asy’ariyah
tentang barunya alam tidak dapat dipahami orang-orang awam, tetapi juga
tidak memuaskan bagi golongan filosof, karena jalan tersebut bersifat jadali
bukan burhani. Atau tentang dengan perkataan lain, jalan tersebut tidak teoritis
burhani, bukan pula jalan dari syara yang menyakinkan. Jalan-jalan dari syara
apabila diteliti, maka mengandung dua syarat, yaitu menyakinkan dan
bersahaja tidak tersusun, yakni tidak banyak dasar-dasar pikirannya yang
dengan sendirinya juga kesimpulannya berhaja juga.
Golongan hasywiyah berpendirian bahwa jalan mengetahui Tuhan ialah
sama’ (pendengaran, riwayat), bukan akal (pikiran). Iman bagi mereka ialah
mendengarkan apa yang dikatakan oleh syara’ tanpa mengusahakan syara’.
26

Mereka jelas tidak memenuhi maksud syara’ yang mengajak untuk
mempercayai wujud tuhan melalui dalil-dalil pikiran.
Mengenai golongan tasawuf, maka menurut Ibnu Rusyd cara penelitian
mereka bukan bersifat pikiran, yakni yang terdiri dari dasar-dasar pikiran atau
premise-premise dan kesimpulan, karena mereka mengira bahwa pengetahuan
tentang Tuhan dan wujud-wujud lain diterima oleh jiwa ketika sudah terlepas
dari hampatan-hampatan kebendaan dan ketika pikirannya tertentu kepada
perkara yang dicarinya. Cara tersebut menurut Ibnu Rusyd bukanlah cara
kebanyakan orang sebagai orang, yakni sebagai makhluk yang mempunyai
pikiran dan diserukan memakai pemikirannya. Selain itu, jalan tersebut
menyalai syara’ yang menyerukan pemakaian pikiran.
Mengenai adanya tuhan, Ibnu Rusyd mengemukakan bahwa ada dua cara
untuk membuktikannya, yaitu: kedua cara ini dimulai dari manusia dan tidak
dari alam, karena manusia itu yang berfikiran. Dengan penelitian dan
penyingkapan rahasia-rahasia alam oleh akal, maka dalil al-inayah dan (quran)
memperkuat adanya Tuhan.
3) Metode Pembuktian Kebenaran.
Metode burhani ini bisa digunakan dan dijumpai dalam filsafat paripatetik
yang secara eksklusif mengandalkan deduksi rasional dengan menggunakan
silogisme yang terdiri dari premis-premis dan konklusi. Metode ini
dikembangkan oleh al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.63
Teori

pengetahuan dalam perspektif burhani dikemukakan oleh Ibn

Rusyd. Sementara perspektif bayani dipresentasikan oleh para fuqaha, yang
terlembaga dalam diri Al-Ghazali. Epistemologi irfani dihadirkan oleh para
pemikir tasawuf falsafi semacam Al-Shuhrawardi. Banyak yang berkesimpulan
bahwa pemikiran Islam dan rasional pasca Ibn Rusyd terasa mati, disebabkan
pintu ijtihad dan rasionalisme tidak berkembang dan terus mengalami
kemunduran.
63 Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta, Gre Publising, 2011), Hlm 77

27

Burhan secara bahasa adalah argumentasi yang kuat dan jelas.
Dalam

istilah

logika,

alburhan

adalah

aktifitas

intelektual

untuk

membu