Pembangunan Wilayah Perbatasan Darat Ant
MENGEDEPANKAN PEMBANGUNAN
HALAMAN DEPAN NEGARAi
oleh Dr. Erdi, M.Si.
Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara
FISIP UNIVERSITAS TANJUNGPURA
Kunjungan Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo (Jokowi) ke
Kalbar, khususnya ke wilayah perbatasan Negara sangatlah
berarti, tidak saja bagi daerah ini tetapi juga bagi dignity
bangsa (Negara). Selama ini, kunjungan ke kawasan
perbatasan yang dilakukan oleh pembesar negeri setingkat
menteri selalu tidak ditindak-lanjuti dengan program. Janji
pengalokasian dana Negara untuk pembangunan kawasan
perbatasan yang luas dari sisi wilayah dan berpenduduk
kecil dengan jumlah milyaran, bahkan triliunan rupiah,
baru keluar dari mulut saja dan belum dari anggaran
Negara. Yang lebih miris lagi, janji itu kemudian hilang
bersamaan dengan berjalannya waktu. Semoga kali ini, janji
Presiden Jokowi tidak senasib dengan janji para
pendahulunya itu!
Janji Presiden untuk mengubah wajah perbatasan
karena merasa malu melihat kondisi miris perlu diapresiasi
oleh masyarakat. Sebagai akademisi, saya bangga dengan
keberpihakan Presiden tersebut dan juga bangga memiliki
Presiden seperti Jokowi! Hal yang lebih penting lagi adalah
adanya tindak-lanjut program pembangunan dengan
alokasi dana dari Negara untuk pembangunan kawasan
perbatasan. Alokasi sebesar Rp 1 triliun rupiah, mudahan
alokasi dimaksud adalah per tahun untuk masa 5 tahun
selama pemerintahan Jokowi - JK, sehingga kawasan
perbatasan Negara di Kalbar akan mendapat alokasi sebesar
Rp 5 triliun untuk masa lima tahun hingga 2019.
R. Dinggah, sosok tokoh masyarakat perbatasan
seperti dimuat pada harian Pontianak Post Minggu,
04.01.2015 sedih dengan kondisi “hancurnya” infrastruktur
dan sumberdaya manusia (SDM) di Perbatasan Sajingan
Besar. Melalui selulernya, Pak Dinggah bertutur kepada
penulis bahwa “usia kemerdekaan negeri yang sudah 70
tahun ini belum mampu mengubah SDM, kesejahteraan dan
infrastruktur menjadi lebih baik; sementara sumberdaya
alam, terutama hutan dan laut telah dikuras Negara untuk
pembangunan nasional, yakni untuk membangun
‘jembatan tanpa sungai’ di Ibukota Negara Jakarta sana”
1
uangkapnya dengan lantang tanpa tipu. Masih darinya
“jalan menuju perbatasan Sajingan Besar sepanjang 70 Km
dari Sambas, kondisinya bagaikan ‘bubur ayam’ yang tentu
membuat rakyat susah” ungkap tokoh Dayak Salako
berusia 86 tahun ini dengan nada miris dan sedih.
Meskipun
kondisi
SDM,
infrastruktur
dan
kesejahteraan rakyat terbilang hancur, R. Dinggah dan
masyarakat Sajingan Besar serta masyarakat perbatasan
Negara lainnya di Kalbar, yakni Badau, Jagoi Babang,
Entikong dan Senaning tetap memiliki semangat
nasionalisme dan kesetiaan yang sudah pakem terhadap
Pemerintah dan Negara Republik Indonesia. Kesetiaan dan
loyalitas yang tinggi ini belum berbanding lurus dengan
perhatian Negara kepada mereka.
Komitmen yang sama juga disampaikan oleh
Tumenggung Panca Benua, Bapak Ayim (86 tahun) di
Kembayan, Kabupaten Sanggau. Melalui selulernya, Pak
Tumenggung yang juga sangat kokoh pendiriannya ini
mengatakan bahwa komitmen dan kesetiaan masyarakat
perbatasan terhadap Negara dan pemerintah sudah tidak
perlu diragukan lagi. Namun, komitmen yang tinggi tersebut
belum terbalaskan oleh pemerintah pusat dalam bentuk
perhatian yang cukup kepada mereka.
Dari ungkapan kedua tokoh adat Dayak yang hebat ini,
tampaknya pemerintah pusat di bawah kepemimpinan
Presiden Jokowi perlu meninggalkan pendekatan lama
dalam
membangun
wilayah
perbatasan.
Kontek
meninggalkan pendekatan keamanan ke pendekatan
kesejahteraan memang sudah dilakukan, tetapi masih
dalam tataran konsep dan belum pada tataran
implementasi. Pendekatan berbasis ekonomi kerakyatan
tampaknya
perlu
lebih
dikedepankan
ketimbang
pendekatan keamanan dan ketentraman saja. Setelah
peristiwa Konfrontasi Malaysia dan PGRS Paraku antara
tahun 1963 -1967, baik Pak Dinggah maupun Pak Ayim
kompak mengatakan bahwa kawasan perbatasan Negara
merupakan kawasan yang sangat aman karena telah dijaga
oleh masyarakat perbatasan dengan komitmen dan
kesetiaan kepada Bangsa dan Negara Republik Indonesia
yang sangat tinggi. Luar Biasa!
Sebenarnya, dana sebesar Rp 1 triliun per tahun
seperti yang dijanjikan oleh Presiden ketujuh ini masih
belum cukup untuk mengubah wajah kawasan perbatasan
2
di Kalbar yang tersebar di lima titik tersebut. Namun, ketika
pendanaan harus “berbagi” dengan daerah lain, maka
Rakyat Kalbar akan dapat memaklumi keterbatasan Negara
(pemerintah). Keberadaan program dari dana Rp 1 Triliun
per tahun itu akan sedikit dapat mengobati luka di hati
masyarakat perbatasan Negara selama ini.
Dari blue print Rencana Pembangunan Kawasan
Perbatasan Negara versi Bappenas diletakkan pada 11 isu
strategis nasional. Masyarakat di wilayah perbatasan
Negara ini pun setuju dengan ke-11 isu strategis tersebut.
Namun, ketika harus memilih dan menempatkan prioritas,
maka pembangunan infrastuktur jalan menjadi pilihan
pertama dan utama mereka. Mengapa harus jalan? Dengan
jalan yang bagus, masyarakat perbatasan akan dapat
merancang aktivitas ekonomi dalam rangka menyelamatkan
kehidupan ekonomi mereka yang telah terpuruk.
Masyarakat perbatasan tahu kebutuhan mereka dan
itu juga yang dipercaya oleh penulis dan juga para ahli
kebijakan public seperti Paterson (dalam Aslanbeigui dan
Choi, 1997) bahwa keberadaan akses transportasi yang baik
di wilayah perbatasan dan kawasan tertinggal akan dapat
mengubah kondisi krisis menjadi peluang bisnis. Hanya
dalam hitungan 3 hingga 5 tahun saja, kemiskinan yang
dalam di wilayah perbatasan Negara akan segera dapat
dituntaskan bilamana sarana transportasi terbangun
dengan baik, seperti prediksinya Gellardo (dalam Brunet
dan Jailly, 2007) yang telah dibuktikan saat pembukaan
border antara Uni Eropah (UE) dengan Afrika tahun 2003.
Hanya dalam waktu 4 tahun, kemiskinan Morocco di Afrika
dapat dituntaskan. Oleh karena itu, penulis juga yakin
dengan pengalaman UE dan Afrika tersebut sehingga
menyodorkan prediksi yang sama bahwa kemakmuran
masyarakat di kawasan perbatasan Negara antara Kalbar,
Indonesia dengan Sarawak, Malaysia akan tercipta dalam
tempo paling lama 5 tahun setelah akses transportasi di
wilayah tersebut terbuka dengan baik.
Dengan demikian, ketika prediksi ini berhasil, maka
Presiden Jokowi perlu melihat kembali hasil atau buah dari
kebijakan populisnya terhadap pembangunan kawasan
perbatasan itu dengan melakukan kunjungan ulang pada
akhir periode pertama dari kepemerintahannya dan
sekaligus untuk melihat perbedaan kondisi antara tahun
2015 dengan kondisi tahun 2019. Ketika perbedaan
3
tersebut dapat dibuktikan adanya, saya yakin Pak Jokowi
akan didukung kembali oleh masyarakat perbatasan pada
khususnya dan rakyat Kalbar serta masyarakat Indonesia
pada umumnya untuk kembali maju menjadi Calon
Preseden RI yang kedelapan.
Referensi
Brunet,
Emmanuel dan Jailly. 2007. Borderlands:
Comparing Border Security in North America and
Europe. University of Ottawa Press. Canada.
Peterson, Wallace C. “Institutions and Institutionalism –
Crisis and Opportunity” dalam Aslanbeigui, Nahid
dan Young Back Choi. 1997. Borderlands of
Economics: Essay in Honor of Daniel R. Rusfelf.
Routledge. London.
i
Telah dimuat pada harian Rakyat Kalbar, edisi Jum’at 23 Januari
2015 pada rubric “Kolom”
4
HALAMAN DEPAN NEGARAi
oleh Dr. Erdi, M.Si.
Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara
FISIP UNIVERSITAS TANJUNGPURA
Kunjungan Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo (Jokowi) ke
Kalbar, khususnya ke wilayah perbatasan Negara sangatlah
berarti, tidak saja bagi daerah ini tetapi juga bagi dignity
bangsa (Negara). Selama ini, kunjungan ke kawasan
perbatasan yang dilakukan oleh pembesar negeri setingkat
menteri selalu tidak ditindak-lanjuti dengan program. Janji
pengalokasian dana Negara untuk pembangunan kawasan
perbatasan yang luas dari sisi wilayah dan berpenduduk
kecil dengan jumlah milyaran, bahkan triliunan rupiah,
baru keluar dari mulut saja dan belum dari anggaran
Negara. Yang lebih miris lagi, janji itu kemudian hilang
bersamaan dengan berjalannya waktu. Semoga kali ini, janji
Presiden Jokowi tidak senasib dengan janji para
pendahulunya itu!
Janji Presiden untuk mengubah wajah perbatasan
karena merasa malu melihat kondisi miris perlu diapresiasi
oleh masyarakat. Sebagai akademisi, saya bangga dengan
keberpihakan Presiden tersebut dan juga bangga memiliki
Presiden seperti Jokowi! Hal yang lebih penting lagi adalah
adanya tindak-lanjut program pembangunan dengan
alokasi dana dari Negara untuk pembangunan kawasan
perbatasan. Alokasi sebesar Rp 1 triliun rupiah, mudahan
alokasi dimaksud adalah per tahun untuk masa 5 tahun
selama pemerintahan Jokowi - JK, sehingga kawasan
perbatasan Negara di Kalbar akan mendapat alokasi sebesar
Rp 5 triliun untuk masa lima tahun hingga 2019.
R. Dinggah, sosok tokoh masyarakat perbatasan
seperti dimuat pada harian Pontianak Post Minggu,
04.01.2015 sedih dengan kondisi “hancurnya” infrastruktur
dan sumberdaya manusia (SDM) di Perbatasan Sajingan
Besar. Melalui selulernya, Pak Dinggah bertutur kepada
penulis bahwa “usia kemerdekaan negeri yang sudah 70
tahun ini belum mampu mengubah SDM, kesejahteraan dan
infrastruktur menjadi lebih baik; sementara sumberdaya
alam, terutama hutan dan laut telah dikuras Negara untuk
pembangunan nasional, yakni untuk membangun
‘jembatan tanpa sungai’ di Ibukota Negara Jakarta sana”
1
uangkapnya dengan lantang tanpa tipu. Masih darinya
“jalan menuju perbatasan Sajingan Besar sepanjang 70 Km
dari Sambas, kondisinya bagaikan ‘bubur ayam’ yang tentu
membuat rakyat susah” ungkap tokoh Dayak Salako
berusia 86 tahun ini dengan nada miris dan sedih.
Meskipun
kondisi
SDM,
infrastruktur
dan
kesejahteraan rakyat terbilang hancur, R. Dinggah dan
masyarakat Sajingan Besar serta masyarakat perbatasan
Negara lainnya di Kalbar, yakni Badau, Jagoi Babang,
Entikong dan Senaning tetap memiliki semangat
nasionalisme dan kesetiaan yang sudah pakem terhadap
Pemerintah dan Negara Republik Indonesia. Kesetiaan dan
loyalitas yang tinggi ini belum berbanding lurus dengan
perhatian Negara kepada mereka.
Komitmen yang sama juga disampaikan oleh
Tumenggung Panca Benua, Bapak Ayim (86 tahun) di
Kembayan, Kabupaten Sanggau. Melalui selulernya, Pak
Tumenggung yang juga sangat kokoh pendiriannya ini
mengatakan bahwa komitmen dan kesetiaan masyarakat
perbatasan terhadap Negara dan pemerintah sudah tidak
perlu diragukan lagi. Namun, komitmen yang tinggi tersebut
belum terbalaskan oleh pemerintah pusat dalam bentuk
perhatian yang cukup kepada mereka.
Dari ungkapan kedua tokoh adat Dayak yang hebat ini,
tampaknya pemerintah pusat di bawah kepemimpinan
Presiden Jokowi perlu meninggalkan pendekatan lama
dalam
membangun
wilayah
perbatasan.
Kontek
meninggalkan pendekatan keamanan ke pendekatan
kesejahteraan memang sudah dilakukan, tetapi masih
dalam tataran konsep dan belum pada tataran
implementasi. Pendekatan berbasis ekonomi kerakyatan
tampaknya
perlu
lebih
dikedepankan
ketimbang
pendekatan keamanan dan ketentraman saja. Setelah
peristiwa Konfrontasi Malaysia dan PGRS Paraku antara
tahun 1963 -1967, baik Pak Dinggah maupun Pak Ayim
kompak mengatakan bahwa kawasan perbatasan Negara
merupakan kawasan yang sangat aman karena telah dijaga
oleh masyarakat perbatasan dengan komitmen dan
kesetiaan kepada Bangsa dan Negara Republik Indonesia
yang sangat tinggi. Luar Biasa!
Sebenarnya, dana sebesar Rp 1 triliun per tahun
seperti yang dijanjikan oleh Presiden ketujuh ini masih
belum cukup untuk mengubah wajah kawasan perbatasan
2
di Kalbar yang tersebar di lima titik tersebut. Namun, ketika
pendanaan harus “berbagi” dengan daerah lain, maka
Rakyat Kalbar akan dapat memaklumi keterbatasan Negara
(pemerintah). Keberadaan program dari dana Rp 1 Triliun
per tahun itu akan sedikit dapat mengobati luka di hati
masyarakat perbatasan Negara selama ini.
Dari blue print Rencana Pembangunan Kawasan
Perbatasan Negara versi Bappenas diletakkan pada 11 isu
strategis nasional. Masyarakat di wilayah perbatasan
Negara ini pun setuju dengan ke-11 isu strategis tersebut.
Namun, ketika harus memilih dan menempatkan prioritas,
maka pembangunan infrastuktur jalan menjadi pilihan
pertama dan utama mereka. Mengapa harus jalan? Dengan
jalan yang bagus, masyarakat perbatasan akan dapat
merancang aktivitas ekonomi dalam rangka menyelamatkan
kehidupan ekonomi mereka yang telah terpuruk.
Masyarakat perbatasan tahu kebutuhan mereka dan
itu juga yang dipercaya oleh penulis dan juga para ahli
kebijakan public seperti Paterson (dalam Aslanbeigui dan
Choi, 1997) bahwa keberadaan akses transportasi yang baik
di wilayah perbatasan dan kawasan tertinggal akan dapat
mengubah kondisi krisis menjadi peluang bisnis. Hanya
dalam hitungan 3 hingga 5 tahun saja, kemiskinan yang
dalam di wilayah perbatasan Negara akan segera dapat
dituntaskan bilamana sarana transportasi terbangun
dengan baik, seperti prediksinya Gellardo (dalam Brunet
dan Jailly, 2007) yang telah dibuktikan saat pembukaan
border antara Uni Eropah (UE) dengan Afrika tahun 2003.
Hanya dalam waktu 4 tahun, kemiskinan Morocco di Afrika
dapat dituntaskan. Oleh karena itu, penulis juga yakin
dengan pengalaman UE dan Afrika tersebut sehingga
menyodorkan prediksi yang sama bahwa kemakmuran
masyarakat di kawasan perbatasan Negara antara Kalbar,
Indonesia dengan Sarawak, Malaysia akan tercipta dalam
tempo paling lama 5 tahun setelah akses transportasi di
wilayah tersebut terbuka dengan baik.
Dengan demikian, ketika prediksi ini berhasil, maka
Presiden Jokowi perlu melihat kembali hasil atau buah dari
kebijakan populisnya terhadap pembangunan kawasan
perbatasan itu dengan melakukan kunjungan ulang pada
akhir periode pertama dari kepemerintahannya dan
sekaligus untuk melihat perbedaan kondisi antara tahun
2015 dengan kondisi tahun 2019. Ketika perbedaan
3
tersebut dapat dibuktikan adanya, saya yakin Pak Jokowi
akan didukung kembali oleh masyarakat perbatasan pada
khususnya dan rakyat Kalbar serta masyarakat Indonesia
pada umumnya untuk kembali maju menjadi Calon
Preseden RI yang kedelapan.
Referensi
Brunet,
Emmanuel dan Jailly. 2007. Borderlands:
Comparing Border Security in North America and
Europe. University of Ottawa Press. Canada.
Peterson, Wallace C. “Institutions and Institutionalism –
Crisis and Opportunity” dalam Aslanbeigui, Nahid
dan Young Back Choi. 1997. Borderlands of
Economics: Essay in Honor of Daniel R. Rusfelf.
Routledge. London.
i
Telah dimuat pada harian Rakyat Kalbar, edisi Jum’at 23 Januari
2015 pada rubric “Kolom”
4