ALTERNATIF SOLUSI KONFLIK SEPARATISME DALAM CERITA “CALON ARANG”

ALTERNATIF SOLUSI KONFLIK SEPARATISME DALAM CERITA “CALON ARANG”

Conflict Solution Alternative on Separatism in the Story of “Calon Arang”

Sukatman, Siswanto

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jember Jalan Kalimantan 37, Jember, Indonesia, Telepon/Faksimile (0331) 334988, 330738 Pos-­‐el: sukatman.fkip@unej.ac.id, maduwangi@gmail.com

(Naskah Diterima Tanggal 6 Maret 2016—Direvisi Akhir Tanggal 8 Mei 2016—Disetujui Tanggal 9 Mei 2016)

Abstrak: Penelitian ini bertujuan memaparkan (a) cerita Calon Arang sebagai mitos otonomi, (b) konteks historis cerita Calon Arang, (c) tradisi otonomi “Duplang Kamal-­‐Pandak” zaman kerajaan, dan (d) implikasi cerita Calon Arang bagi solusi konflik separatisme pada abad modern. Penelitian dilaksanakan dengan menerapkan pendekatan sastra lisan. Sasaran penelitian ini adalah konsep otonomi dalam cerita “Calon Arang” dan relevansinya dengan situs sejarah Rajegwesi-­‐Blam-­‐ bangan kuno di Lawang Seketheng dan situs “Duplang Kamal-­‐Pandak” di Arjasa Jember. Data pe-­‐ nelitian ini dikumpulkan dengan metode (a) dokumentasi, (b) observasi, dan (c) wawancara be-­‐ bas-­‐mendalam. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode heuristik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cerita rakyat “Calon Arang” merupakan mitos ilmu pengetahuan tentang ca-­‐ ra mengatasi konflik separatisme di Jawa pada zaman dahulu. Situs Duplang di Arjasa Jember me-­‐ rupakan bukti solusi konflik yang terjadi pada zaman pemerintahan raja Airlangga dengan otono-­‐ mi daerah. Pengetahuan tentang otonomi dalam cerita Calon Arang relevan untuk dipertim-­‐ bangkan sebagai solusi alternatif dalam menyelesaikan konflik separatisme.

Kata-­‐Kata Kunci: separatisme, otonomi, cerita “Calon Arang”

Abstract: This study aims to explain (a) Calon Arang as a myth of autonomy, (b) the historical con-­‐ text of Calon Arang, (c) the tradition of “Duplang Kamal-­‐Pandak autonomy, and (d) the implica-­‐ tions of Calon Arang as a solution to overcome separatist conflict in the modern age. This research was conducted by applying the oral literature approach. The target of this research is the concept of autonomy in the story of "Calon Arang" and its relevance to the historical sites of Rajegwesi in Lawang Seketheng and "Duplang Kamal-­‐Pandak" in Arjasa Jember. The data were collected by (a) documentation, (b) observation, and (c) in-­‐depth interviews. Data analysis was performed using heuristic methods. The results showed that “Calon Arang folklore” is a scientific myth on how to solve the separatist conflict in Java. “Duplang Kamal-­‐Pandak”in Arjasa Jember is a proof how to solve conflict that occurred during King Airlangga era using regional autonomy approach. Auto-­‐ nomy approach in “Calon Arang” is relevant to be considered as a solution in solving the separatist conflict.

Key Words: separatism, autonomy, story of "Calon Arang"

PENDAHULUAN

di Indonesia. Situasi demikian apabila ti-­‐ Konflik sosial antarkelompok masyara-­‐

dak dikelola dengan bijak dapat menye-­‐ kat, pertikaian politik yang bermuara pa-­‐

babkan suasana kehidupan masyarakat

da perebutan kekuasaan, perebutan hak Indonesia menjadi kurang kondusif. eksplorasi sumber daya alam, perang

Dampak lebih lanjut situasi ini dalam ideologi, dan separatisme masih terjadi

kancah internasional adalah terbangun-­‐

Alternatif Solusi Konflik … (Sukatman)

nya citra negatif terhadap Indonesia dan negeri Kahuripan dengan ibu kota Daha menurunnya wibawa Indonesia, baik se-­‐

yang sekarang menjadi kota Kediri. Kaji-­‐ bagai bangsa maupun negara.

an sastra lisan ini diharapkan dapat me-­‐ Jika berjalan terus, kondisi tersebut

nemukan solusi alternatif terhadap ma-­‐ akan membawa dampak negatif berke-­‐

salah separatisme. Berdasarkan pertim-­‐ panjangan di Indonesia: (a) pembangun-­‐

bangan tersebut, maka perlu dilakukan an nasional di segala bidang dapat ter-­‐

kajian terhadap cerita “Calon Arang”. hambat, (b) kepercayaan rakyat kepada

Cerita rakyat “Calon Arang”di Jawa pemimpin negara akan merosot, (c) me-­‐

Timur berlatar belakang politik era ke-­‐ muncaknya rasa kecewa masyarakat di

rajaan Kahuripan saat diperintah oleh berbagai daerah, (d) pencurian aset ne-­‐

Raja Airlangga. Raja Airlangga adalah ke-­‐ gara secara masif, (e) munculnya benih-­‐

turunan Udayana dari Bali. Menurut ca-­‐ benih separatisme pada kelompok etnis

tatan Overton (2014), Udayana memu-­‐ tertentu, (f) ketangguhan Indonesia da-­‐

tuskan keluar dari dinasti kerajaan Kam-­‐ lam persaingan global akan melemah,

boja dan pergi ke Jawa kemudian meni-­‐ dan puncaknya (g) Pancasila dan NKRI

kah dengan Putri Mahendradata di Bali akan terancam eksistensinya. Jika Panca-­‐

(hlm. 2).

sila dan NKRI rusak, maka “rumah be-­‐ Cerita “Calon Arang” diduga bukan sar” yang bernama Indonesia akan me-­‐

sekadar cerita rakyat tetapi telah men-­‐ ngalami disintegrasi. Seyogianya Indone-­‐

jadi mitos yang mengajarkan kepada sia dapat mengelola konflik dengan arif

bangsa Indonesia tentang menangani dan bijaksana sehingga terhindar dari

konflik separatisme. Seperti telah dite-­‐ keterpurukan sebagaimana yang dialami

mukan Ong (1989) dalam budaya lisan kerajaan Sri Wijaya dan Majapahit. Oleh

Cina, cerita lisan pada umumnya bersifat karena itu, kasus Gerakan Aceh Merdeka,

agonistik yaitu menjaga agar pengetahu-­‐ Republik Maluku Selatan, dan Organisasi

an dan tradisi tetap hidup dan kompetitif Papua Merdeka mendesak untuk ditun-­‐

(hlm. 37-­‐56). Konsep ini kemungkinan taskan secara damai.

besar juga berlaku dalam tradisi lisan In-­‐ Salah satu upaya yang perlu dilaku-­‐

donesia.

kan untuk mencegah dampak negatif Tradisi lisan, khususnya mitos, me-­‐ tersebut adalah mengatasi konflik de-­‐

nurut Oden (1992) memiliki kandungan ngan memanfaatkan kearifan lokal. Cara-­‐

(a) petunjuk-­‐petunjuk hidup, (b) gam-­‐ cara domestik yang mengakar dalam diri

baran aktivitas budaya, (c) nilai kultural, nenek moyang bangsa Indonesia itu pa-­‐

(d) petunjuk bagi manusia dalam me-­‐ tut diberdayakan. Pada masa lalu kearif-­‐

maknai hidup, dan (e) model pengeta-­‐ an lokal telah digunakan nenek moyang

huan yang menjelaskan hal-­‐hal yang su-­‐ untuk menyelesaikan masalah sosial dan

lit diterima akal. Sebagai sebuah bentuk kenegaraan. Sejalan dengan pemikiran

tradisi lisan, mitos mengandung nilai ke-­‐ ini, maka patut dicoba untuk menggali

arifan lokal yang dapat digunakan seba-­‐ kearifan lokal yang terdapat dalam cerita

gai sarana pendidikan dan juga mengan-­‐ “Calon Arang”.

dung nilai estetika, agama, dan nilai Berdasarkan kajian awal diduga ku-­‐

sosial (hlm. 1-­‐4).

at cerita “Calon Arang” dan konteks seja-­‐ Kandungan nilai yang penting ter-­‐ rahnya berpotensi untuk digunakan se-­‐

sebut menyebabkan suatu mitos dapat bagai solusi alternatif dalam mengatasi

berfungsi (a) untuk menyadarkan manu-­‐ konflik separatisme dengan cara otono-­‐

sia bahwa ada kekuatan dan wujud ter-­‐ mi daerah. Kisah “Calon Arang” terkait

tinggi yaitu Tuhan (Vaughan, 2002, hlm. dengan pemerintahan raja Airlangga di

4), (b) untuk mengajarkan sains tentang

ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 116-­‐129

aturan alam semesta kepada manusia, dan (c) untuk menata kehidupan masya-­‐ rakat dengan mengukuhkan berbagai aturan. Menurut Oden (1992), mitos da-­‐ pat berupa (a) kisah sejarah, (b) cerita dewa-­‐dewa, (c) penjelasan kehidupan manusia dan alam semesta, (d) keyakin-­‐ an primitif dan kebajikan moral, dan (e) cerita tradisional yang dilengkapi ritual tertentu (hlm. 1-­‐2).

Tradisi lisan mengemban fungsi se-­‐ bagai sistem proyeksi angan-­‐angan sua-­‐ tu masyarakat kolektifnya, melegitimasi aturan-­‐aturan kebudayaan, dan sebagai media pendidikan bagi masyarakat (Danandjaja, 2002, hlm. 17-­‐20). Jika tra-­‐ disi lisan berfungsi sebagai legitimasi aturan kebudayaan maka patut diduga cerita “Calon Arang” mengandung pela-­‐ jaran yang berharga untuk dikaji lebih jauh. Pelajaran yang berharga tersebut berupa kearifan lokal, yaitu sikap, pan-­‐ dangan, dan kemampuan suatu komu-­‐ nitas dalam mengelola lingkungan se-­‐ bagai jawaban kreatif terhadap masalah historis dan politis yang terjadi di wila-­‐ yah geografis tempat tinggalnya (Sudikan, 2002, hlm. 42-­‐43). Kearifan lo-­‐ kal digunakan masyarakat sebagai pan-­‐ dangan hidup, pengetahuan, dan strategi untuk menjawab masalah kehidupan-­‐ nya.

Pengkajian sumber lisan untuk menggali ideologi dan sejarah juga dila-­‐ kukan para ahli di berbagai belahan du-­‐ nia. Thomson (2012) menyarankan pe-­‐ manfaatan sumber lisan, termasuk cerita rakyat, sebagai sumber penelusuran ide-­‐ ologi dan sejarah karena dalam kehidup-­‐ an masyarakat yang masih berbudaya li-­‐ san, sumber tertulis sulit didapatkan (hlm. 25-­‐84). Jika hanya terpaku pada sumber tertulis, penelitian akan terhenti. Oleh karena itu, pengetahuan otonomi yang khas Nusantara perlu dikaji dengan memanfaatkan sumber lisan, termasuk cerita rakayat dan budaya lisan lainnya.

Otonomi daerah adalah kebebasan daerah untuk mengambil keputusan, baik politik maupun administratif, me-­‐ nurut prakarsa sendiri. Kemandirian ter-­‐ sebut ditandai tidak adanya intervensi pemerintah pusat dan tidak adanya ke-­‐ tergantungan daerah kepada pemerin-­‐ tah pusat. Konsep otonomi maknanya paralel dengan istilah desentralisasi se-­‐ hingga konsep desentralisasi juga terkait dengan desentralisasi politik dan admi-­‐ nistratif. Dalam perspektif politis, desen-­‐ tralisasi merupakan pelimpahan kekua-­‐ saan pemerintah pusat kepada pemerin-­‐ tah daerah. Secara administratif, desen-­‐ tralisasi merupakan pendelegasian ke-­‐ wenangan administratif dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (Ardika dan Sahrul, 2011, hlm. 114-­‐115).

Menurut Bryant dan White (dalam Iriyanto, 1991, hlm. 4-­‐5), desentralisasi politik adalah wewenang membuat ke-­‐ putusan dan kontrol tertentu terhadap sumberdaya yang diberikan kepada pe-­‐ merintah daerah. Konsekuensi penye-­‐ rahan wewenang tersebut adalah ada-­‐ nya pemberdayaan. Pemberdayaan akan menjamin hak, kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab pemerintahan dae-­‐ rah untuk dapat menyusun program, memilih alternatif, dan mengambil kepu-­‐ tusan sesuai dengan kepentingan dae-­‐ rahnya sendiri.

Dengan pemberdayaan, pemerintah daerah dan masyarakat dapat berparti-­‐ sipasi dalam pengambilan keputusan di tingkat daerah dan pusat, sehingga ko-­‐ munikasi pusat dan daerah tetap terjaga. Hal demikian dapat mengurangi gerakan separatisme yang bersumber dari ma-­‐ cetnya komunikasi pusat dan daerah. Di Indonesia, misalnya, Gerakan Aceh Mer-­‐ deka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS), Organisasi Papua Merdeka (OPM) pernah berusaha melepaskan diri dari NKRI, dan bahkan masih sedang terjadi. Penyebabnya di antaranya ada-­‐ lah pembangunan yang tidak merata dan

Alternatif Solusi Konflik … (Sukatman)

komunikasi pemerintah daerah dengan Gunung Argapura dan masyarakat desa pemerintah pusat macet. Jika terjadi se-­‐

Jireg Mas, Cerme, Bondowoso di lembah perti itu, otonomi merupakan jalan yang

Gunung Ijen.

terbaik, agar NKRI tetap utuh. Data penelitian ini dikumpulkan de-­‐ ngan (a) metode dokumentasi, (b) meto-­‐

METODE

de observasi, dan (c) metode wawancara Penelitian ini dilaksanakan dengan me-­‐

(Miles dan Huberman, 1994, hlm. 8-­‐12). nggunakan pendekatan sastra lisan, de-­‐

Metode dokumentasi (Bogdan dan ngan menerapkan metode heuristik. Me-­‐

Biklen, 1982, hlm. 97-­‐100) digunakan tode heuristik menurut Gottchalk (dalam

untuk memperoleh data berupa ketera-­‐ Anneahira, 2013, hlm. 1-­‐8) dilakukan de-­‐

ngan tentang objek cerita sejarah Rajeg-­‐ ngan langkah (a) mengumpulkan infor-­‐

wesi yang “terkubur” waktu, misalnya masi tentang subjek, (b) memilih subjek,

dalam kitab Babad Manik Angkeran. Pe-­‐ (c) menganalisis fakta yang terkumpul,

laksanaan metode dokumentasi ini di-­‐ dan (d) menafsirkan fakta yang ada de-­‐

bantu dengan instrumen pemandu pe-­‐ ngan mencari hubungan tema untuk me-­‐

manfaatan dokumen. Kegiatan observa-­‐ nemukan “makna sosial” yang ada ber-­‐

si dilaksanakan dengan panduan obser-­‐ dasarkan kata-­‐kata dan kalimat-­‐kalimat

vasi (Faisal, 1981, hlm. 30-­‐37) untuk me-­‐ yang ada pada dokumen cerita dan sum-­‐

nggali data berupa informasi cerita lisan ber lisan (folklor).

dan sejarah lisan dari masyarakat ten-­‐ Sasaran penelitian ini adalah aspek

tang negeri Rajegwesi-­‐Blambangan ku-­‐ otonomi daerah dalam cerita “Calon

no.

Arang” dan fenomena sejarah Kerajaan Metode wawancara bebas-­‐menda-­‐ Lawang Seketheng-­‐Blambangan kuno di

lam (Miles dan Huberman, 1994, hlm. 8-­‐ situs Gunung Hyang Bondowoso. Pegu-­‐

12) digunakan untuk menggali data be-­‐ nungan Argopura dengan puncak Gu-­‐

rupa (a) objek cerita lisan “Calon Arang” nung Hyang merupakan situs Kerajaan

dan sejarah keraton Rajegwesi yang ter-­‐ Rajegwesi atau Blambangan kuno, ter-­‐

sembunyi, (b) cerita yang terkait dengan masuk Lawang Seketheng di Gunung

kehidupan kerajaan dan peninggalan se-­‐ Hyang lereng utara. Lereng Hyang utara

jarah, dan (c) mitos-­‐mitos yang ada di se-­‐ masuk wilayah Situbondo dan lereng

kitar kehidupan raja atau kerajaan, yang Hyang selatan masuk wilayah Bondo-­‐

tidak terjaring melalui dokumen dan woso.

angket, atau sudah terjaring tetapi infor-­‐ Data penelitian ini berupa (a) teks

masinya tidak tuntas. Pelaksanaan wa-­‐ cerita “Calon Arang”, (b) situs sejarah ke-­‐

wancara bebas-­‐mendalam dipandu oleh rajaan Rajegwesi berupa prasasti “Dup-­‐

instrumen panduan wawancara (Boyce lang Kamal-­‐Pandak”, dan (c) cerita lisan

dan Neale, 2006, hlm. 4-­‐9) dengan modi-­‐ atau tuturan masyarakat tentang daerah

fikasi seperlunya.

Lawang Seketheng dan desa Jireg di Bon-­‐ Analisis data dilakukan dengan me-­‐ dowoso. Sumber data penelitian menca-­‐

metode historiografi kup (a) teks cerita lisan dari masyarakat,

nggunakan

kontemporer (Thomson, 2012, hlm. 120-­‐ (b) sumber data tentang prasasti “Dup-­‐

298). Langkah-­‐langkah analisis data lang Kamal-­‐Pandak” diambil dari situs

mencakup (1) mengumpulkan informasi megalitikum dan juru pelihara situs di

tentang subjek (cerita lisan “Calon desa Kamal, Arjasa, Jember, dan (c) sum-­‐

Arang”, folklor, dokumen sejarah Rajeg-­‐ ber data tentang Keraton Lawang

wesi dan sebagainya), (b) memilih Seketheng dan Situs Jireg adalah masya-­‐

subjek (di mana, siapa, kapan, dan bagai-­‐ rakat Wringin Bondowoso di lembah

mana), (2) menafsirkan fakta yang ada

ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 116-­‐129

dengan mencari hubungan tema untuk menemukan “makna sosial” yang ada berdasarkan kata-­‐kata dan kalimat-­‐kali-­‐ mat yang ada pada cerita lisan “Calon Arang” dari sumber lisan, (4) menemu-­‐ kan gejala perilaku di tataran permuka-­‐ an dan menemukan motif tindakan, dan (5) menuliskan temuan dalam bentuk deskripsi secara kronologis.

Instrumen penelitian ini mencakup instrumen pengumpul data dan instru-­‐ men panduan analisis data. Instrumen pemandu pengumpulan dokumen digu-­‐ nakan untuk memperoleh data berupa kitab klasik, cerita, dan hasil penelitian yang terkait dengan situs kerajaan Ra-­‐ jegwesi, dan cerita sejarah Rajegwesi. In-­‐ strumen pemandu wawancara bebas-­‐ mendalam digunakan untuk menjaring data berupa (a) deskripsi situs sejarah Rajegwesi di Gunung Argopuro dan Ijen; (b) informasi untuk rekonstruksi objek sejarah yang berupa wilayah kerajaan Rajegwesi; dan (c) informasi yang beru-­‐ pa bangunan kuno dan situs sejarah lain-­‐ nya. Selain itu, instrumen pemandu wa-­‐ wancara ini juga digunakan untuk tri-­‐ anggulasi pengumpulan data yang belum terungkap atau belum tuntas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bagian hasil penelitian ini dipapar-­‐ kan (a) cerita “Calon Arang” sebagai mi-­‐ tos otonomi, (b) konteks historis cerita “Calon Arang”, (c) tradisi otonomi “Dup-­‐ lang Kamal-­‐Pandak” zaman kerajaan, dan (d) implikasi cerita “Calon Arang” bagi alternatif solusi konflik separatisme abad modern.

Cerita “Calon Arang” sebagai Mitos Otonomi

Sampai sekarang ini masyarakat Jawa mempersepsi cerita “Calon Arang” bera-­‐ sal dan terjadi di Bali. Akan tetapi, mas-­‐ yarakat Bali mempersepsi cerita tersebut berasal dan terjadi di Jawa. Ada juga masyarakat Jawa yang memper-­‐

sepsi cerita ini terjadi di Jawa, yaitu di Kediri Jawa Timur, karena di Kediri ada desa Gurah dan ada situs yang diyakini sebagai tempat Calon Arang dahulu ting-­‐ gal.

Terlepas dari perbedaan persepsi yang ada, berdasarkan observasi di Gu-­‐ nung Argopuro lereng utara ditemukan (a) situs kuno yang disebut Watu La-­‐ wang Seketheng di Kecamatan Wringin Bondowoso; (b) desa Jireg Mas Kecamat-­‐ an Cerme yang di situ terdapat Gua Jireg di lembah Gunung Ijen; (c) di desa Solor Kecamatan Cerme terdapat situs megali-­‐ tikum Solor yang diduga tempat ritual kuno; (d) Desa Girah atau Jirah dalam di-­‐ alek Madura berubah menjadi Jireg sam-­‐ pai sekarang masih dapat ditemukan; (e) situs penyembahan kepada Dewi Durgha amat terasa di kawasan Bondowoso ter-­‐ bukti ditemukannya patung Dewi Durgha kuno dan “Betoh Kyai” (Dewa Siwa kuno), (f) pemakaman peti batu yang tutupnya diukir gambar Dewi Durga ditemukan di kawasan Bondowo-­‐ so, dan (g) nama desa Mangli masih da-­‐ pat ditemukan di Bondowoso dan Jem-­‐ ber sebagai toponim nama Ratna Mangali dan diduga Ratna Mangali dan Empu Bahula pernah tinggal di kawasan ini. Berdasarkan fakta ini maka Keraton Lawang Seketheng tempat tinggal Calon Arang diduga kuat berada di dukuh Wa-­‐ tu Lawang Seketheng Desa Wringin, Bondowoso dan bukan di Kabupaten Ke-­‐ diri. Nama tempat Kediri dalam cerita “Calon Arang” memang benar tetapi pe-­‐ nyebutan konteks itu adalah Kediri seba-­‐ gai ibukota negara Kahuripan dan La-­‐ wang Seketheng-­‐Rajegwesi merupakan bagian dari wilayah Negeri Kahuripan.

Masyarakat Bondowoso pada umumnya tidak menyadari bahwa Calon Arang yang mempertahankan negerinya dari kekuasaan Airlangga sebenarnya ada di Bondowoso. Ada kecenderungan fakta ini ditutup-­‐tutupi karena Calon Arang digambarkan sebagai pawang

Alternatif Solusi Konflik … (Sukatman)

santet yang menakutkan. Hampir tidak sesuai harapan, Calon Arang adalah ratu ada pemikiran yang menonjolkan bahwa

yang kuat dan sakti sehingga ia tidak pemberontakan Calon Arang bermotif

tunduk. Sampai akhirnya Airlangga men-­‐ politik. Bukti arkeologis menguatkan

cari alternatif lain.

dugaan bahwa pemberontakan Calon Empu Baradha memilih strategi Arang bermotif mempertahankan diri

yang halus dengan langkah kekeluarga-­‐ karena istana Lawang Sekheteng di kera-­‐

an, yaitu mengawinkan muridnya Empu jaan Rajegwesi dahulunya adalah daerah

Bahula dengan anak Calon Arang berna-­‐ swatantra. Yang diinginkan Calon Arang

ma Ratna Mangali, sambil menyadarkan kemungkinan besar adalah otonomi.

Calon Arang untuk kembali ke ajaran Menurut penjelasan lisan seorang

yang benar. Selama itu, Calon Arang me-­‐ pemerhati budaya Jawa, cerita-­‐cerita Ja-­‐

lakukan ritual Hindu berhaluan kiri. Da-­‐ wa itu perlu dipahami secara jernih ka-­‐

lam Hindu faham kiri, orang meninggal rena orang Jawa zaman dahulu menggu-­‐

tidak langsung diperabukan tetapi dima-­‐ nakan perlambang yang halus untuk me-­‐

kamkan dalam keranda batu yang terka-­‐ nyampaikan pikiran dan protesnya. Da-­‐

dang terbuka dan menebarkan bau lam kasus Calon Arang, narasumber ini

bangkai yang menakutkan. menyampaikan ulasan sebagai berikut.

Diplomasi Baradha untuk membu-­‐ juk Calon Arang agar sadar tidak mudah.

Calon Arang itu seorang janda, tapi jan-­‐

Pertengkaran mulut terjadi dan ber-­‐

da ratu yang punya negara sendiri. Ten-­‐

ujung ingin saling membunuh. Berkat

tu dia akan marah kalau negerinya di-­‐

ketangguhan Empu Baradha, Calon

ambil orang lain. Sama seperti kita, ten-­‐

Arang dapat dikalahkan. Dalam versi lain

tu akan marah kalau tiba-­‐tiba rumah ki-­‐

secara lisan, ada penduduk yang menu-­‐

ta direbut orang. Menurut cerita leluhur

turkan bahwa sebenarnya Calon Arang

saya, Calon Arang itu bukan dongeng tetapi sungguhan. Nama keratonnya di

sudah mau insyaf. Akan tetapi, faktanya

Seketheng, negerinya Rajegwesi. Nah

pertempuran itu tetap terjadi seperti da-­‐

ya lucu kalo tempat negerinya di Kediri.

lam kutipan berikut.

Rajegwesi itu daerah Timur, sekitar Ba-­‐

nyuwangi sana, makanya di sana ada Menurut cerita, prajurit Kauripan tidak pantai Rajegwesi. Tapi kekuasaan Ra-­‐

mampu menandingi Rajegwesi karena jegwesi itu sampai Ngawi, makanya di

prajurit Rajegwesi banyak yang kebal Ngawi ada tinggalan sejarah Rajegwesi

senjata. Calon Arang itu leluhurnya su-­‐ juga. Di Kediri ada orang yang menye-­‐

ka bertapa dan banyak yang ahli sen-­‐ but tinggalan Calon Arang, saya kira itu

jata, seperti pande besi begitu. Tetapi faham yang sealiran Calon Arang, bu-­‐

pande saat itu tidak mempan api dan kan tempatnya Calon Arang. Ya santet

senjata tajam, karena suka tirakat. Kata atau tenung itu ada di seluruh Jawa,

orang, gurunya senjata itu bernama bahkan di Banten juga ada dan lebih

Empu Bojro Setowo. Maksudnya, itu le-­‐ ampuh. Ilmu kebal juga banyak dari

luhur yang mengajari limu kebal dan Banten dulunya. (Wawancara di Lodo-­‐

membuat senjata, terus secara turun-­‐ yo Blitar dengan Bapak Soekemi, 20

temurun sampai zaman Rajegwesi. April 2015).

(Wawancara di Lodoyo Blitar dengan Bapak Soekemi, 20 April 2015).

Untuk mengatasi amuk Calon

Arang, Airlangga menggunakan pende-­‐ Solusi konflik tersebut dilakukan katan kekuasaan dengan mengirim

dengan cara meluruskan faham Calon tentara untuk menundukkan Kedaton

Arang yang sesat. Calon Arang pun Lawang Seketheng. Ternyata tidak

menyadari dan meninggal secara sem-­‐ purna menuju surga. Pada saat itu

ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 116-­‐129

Pendeta Baradha mendatangi Calon Arang di desa Girah untuk menuntaskan masalah, seperti dalam kutipan berikut.

Pendeta Baradhah pergi menuju Girah diikuti tiga muridnya. Sepanjang perja-­‐ lanan, sang Pendeta menghidupkan mayat-­‐mayat yang masih utuh. Sebe-­‐ lum sampai desa Girah, dua muridnya disuruh kembali ke Lemah Tulis. Di tengah makam tempat Calon Arang bersemedi, pendeta Bharadah bertemu dengan Calon Arang dan dua muridnya. Calon Arang minta ruwat. Terjadilah adu kesaktian. Calon Arang meninggal setelah diberi petunjuk, muksa menuju surga. Wokcirsa dan Mahesawadana di-­‐ terima menjadi biksuni (Marwoto, 1989, hlm. 8).

Dalam kehidupan nyata, penyelesai-­‐ an konflik politik ini dibuktikan dengan kehidupan keluarga Empu Bahula dan Ratna Mangali yang hidup berjodoh se-­‐ rasi. Untuk menentramkan istana Kera-­‐ ton Lawang Seketheng (Rajegwesi), oto-­‐ nomi dilaksanakan. Hal demikian sesuai dengan Prasasti “Duplang Kamal-­‐Pan-­‐ dak” sebagai tradisi otonomi yang telah ada dari generasi terdahulu. Prasasti ter-­‐ sebut meneguhkan wilayah yang terben-­‐ tang dari desa Kamal di Arjasa Jember sampai dengan desa Pandak di Tapen Bondowoso menjadi daerah swatantra atau otonomi, dan istana “Lawang Se-­‐ ketheng” ada di dalam kawasan tersebut. Menurut tuturan narasumber dari Jem-­‐ ber, cerita “Calon Arang” terjadi di kawa-­‐ san Jember sampai Bondowoso, seperti pada penjelasan berikut.

Calon Arang kalau menurut saya ada di wilayah Bondowoso dan Jember. La itu nama tempat Mangli di Jember, Mangli di Bondowoso itu buktinya. Katanya mbah-­‐mbah dulu keluarganya Roro Mangli, anaknya Calon Arang, ada di Pakis, daerah Panti dekat Gunung Rengganis di atas sana. Kalau menurut saya, Calon Arang menebar santet itu ya

jahat. Tapi kalau tidak ada penyebab-­‐ nya masak ya tau-­‐tau nyantet? Sebab-­‐ nya ya itu, orang-­‐orang Kediri mau me-­‐ rebut wilayahnya. (Wawancara di Pat-­‐ rang Jember dengan Emy Saiful, 18 April 2015).

Menurut hasil kajian cerita Babad Manik Angkeran, Jawa Timur adalah tempat para brahmana Siwa-­‐Budha ter-­‐ tua di Jawa. Keluarga brahmana Kapakis-­‐ an di wilayah Rajegwesi merupakan ge-­‐ nerasi tertua dibandingkan Kapakisan Pasuruan, Kapakisan Bali, dan Kapakisan Lombok (Tattwa, 2003, hlm. 1-­‐5). Didu-­‐

ga daerah Pakis di Panti Jember terkait dengan para pendahulu Calon Arang, yakni tetua brahmana Siwa-­‐Budha di kawasan Rajegwesi. Setelah Majapahit, runtuh daerah ini dikenal sebagai Blam-­‐ bangan. Kerajaan Blambangan secara resmi didirikan oleh Lembu Miruda (Arifin, 1995, hlm. 53-­‐61), yang dalam versi lisan disebut Lembu Anisraya atau Rangga Anisraya.

Cerita “Calon Arang” mengandung pemikiran bahwa dalam situasi konflik separatisme biasanya terjadi (a) perbe-­‐ daan kepentingan yang menumbuhkan bibit permusuhan, (b) permusuhan me-­‐ munculkan pemikiran perpecahan, (c) perseteruan hanya dapat selesai jika di-­‐ lakukan perundingan secara kekeluar-­‐ gaan, (d) jika perundingan tidak ada titik temu akan menyebabkan peperangan, (e) pihak yang salah dan kalah akan me-­‐ nyerah, (f) pihak yang menyerah sebaik-­‐ nya diberi otonomi sebagai solusi saling menghormati dan bukan menumpas ha-­‐ bis. Strategi yang dilakukan Empu Baradha dalam menyelesaikan konflik separatisme seperti ini merupakan solusi otonomi yang khas Nusantara, yang sebelumnya dilaksanakan negeri Mataram Kuno dan kerajaan Kahuripan. Bahkan, kerajaan Singasari dan Majapa-­‐ hit juga menerapkan tradisi “Duplang Kamal-­‐Pandak”.

Alternatif Solusi Konflik … (Sukatman)

Konteks Historis Konfliks “Calon Arang”

Situs sejarah “Duplang Kamal-­‐Pandak” di Desa Kamal, Kecamatan Arjasa, Kabupa-­‐ ten Jember memberikan inspirasi bahwa daerah Jember dan Bondowoso merupa-­‐ kan daerah yang diistimewakan dan net-­‐ ral (Sukatman, 2016, hlm. 7-­‐11). Daerah tersebut tidak boleh diperebutkan, yang hal itu telah disepakati sejak zaman ku-­‐ no. Duplang Kamal-­‐Pandak di Arjasa Jember adalah prasasti penetapan dae-­‐ rah terlarang (duplang) untuk semua ke-­‐ turunan agar tidak mengganggu wilayah ini karena daerah ini adalah tempat pe-­‐ nyimpanan abu Prabu Ajisaka dan para leluhurnya. Situs “Duplang Kamal-­‐Pan-­‐ dak” dibangun tahun 61 Saka atau 139 Masehi. “Selo Duplang Kamal-­‐Pandak ing Inggil Tanpa Aksara” adalah kronogram yang menyatakan tahun 61 Saka. Sela duplang bernilai 1. Kamal-­‐Pandak berni-­‐ lai angka 6. Inggil bernilai kronogram 0. Tanpa aksara bernilai 0. Secara lengkap bernilai tahun 0061 Saka atau 139 Ma-­‐ sehi. Wilayah larangan tersebut mulai desa Kamal (Arjasa Jember) sampai desa Pandak (di Tapen Bondowoso). Penetap-­‐ an prasasti tersebut bertepatan dengan peringatan 10 tahun wafatnya Empu Withadarma, yang dalam versi lisan di-­‐ kenal dengan Ajisaka. Ajisaka wafat ta-­‐ hun 51 Saka atau 129 Masehi. Peristiwa wafatnya Ajisaka ditandai dengan pra-­‐ sasti Watu Layar di pantai Payangan dan Tanjung Papuma Jember.

Wilayah “Duplang Kamal-­‐Pandak” semula diduga kuat merupakan daerah swatantra atau perdikan yang diketuai oleh pemimpin agama Hindu dan Budha, kerajaan bawahan, atau kerajaan yang tengah berkembang. Daerah Kamal di Arjasa sampai dengan desa Pandak di Tapen diakui sebagai wilayah netral dan terlarang (“duplang”), tidak boleh dikua-­‐ sai oleh pihak yang memperebutkan yang dikenal dengan “daerah perdikan”. Menurut Christie (1964), pantangan

“Kamal-­‐Pandak” itu tidak boleh dilang-­‐ gar, jika dilanggar akan mendatangkan bencana (hlm. 53-­‐62). Akan tetapi, pen-­‐ jelasan Christie tersebut sebenarnya bukan dalam konteks “Kamal-­‐Pandak” di Jember-­‐Bondowoso, melainkan “Ka-­‐ mal-­‐Pandak” di Lodoyo sampai Tulung-­‐ agung, sekitar Abad X.

Dalam peristiwa “Kamal-­‐Pandak” di Lodoyo-­‐Blitar sampai Tulungagung ter-­‐ sebut, yang berebut wilayah adalah Raja Airlangga di Kahuripan dan Anak Wungsu di Bali, yang sebenarnya bersa-­‐ udara. Oleh karena itu tidak baik jika be-­‐ rebut wilayah sesama saudara. Pada saat akan turun tahta, Airlangga meminta tolong pendeta Budha yakni Empu Baradha untuk membagi kerajaan Kahu-­‐ ripan menjadi dua yaitu Jawa Timur ba-­‐ gian utara dan bagian selatan (Siwisang, 2013b, hlm. 36-­‐37). Sebelah utara sungai Brantas diberikan kepada putra perta-­‐ manya yang bernama Samarawijaya (Jayawarsa), dengan pusat pemerintah-­‐ an di Daha. Sebelah selatan Brantas dibe-­‐ rikan kepada putranya yang bernama Panji Gasakan atau Jayengrana dengan pusat pemerintahan di Sidoarjo.

Tugas Empu Baradha membagi ke-­‐ rajaan Kahuripan menjadi dua bagian tersebut terkait dengan urusan wilayah Kahuripan paling timur. Ada wilayah yang tidak mau tunduk kepada Kahu-­‐ ripan, yaitu istana Keraton Lawang Seke-­‐ theng-­‐Rajegwesi. Diduga kuat istana La-­‐ wang Seketheng-­‐Rajegwesi tidak mau tunduk dengan Empu Baradha karena merasa lebih tua. Kapakisan-­‐Rajegwesi adalah kerajaan leluhur yang paling tua dari Kapakisan-­‐Pasuruan, Kapakisan-­‐ Lombok, dan Kapakisan Bali sehingga keturunan Rajegwesi tidak mau tunduk pada Kahuripan yang merupakan trah Kapakisan-­‐Pasuruan, yang diduga kera-­‐ jaan Kapakisan Kuno di Pasuruan. Na-­‐ ma-­‐nama desa Kuno seperti Pakis, Kan-­‐ dangan, Kedung Kandang, dan Cemoro Kandang mengarah pada situs kerajaan

ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 116-­‐129 Jawa Purba berhaluan Siwa-­‐Budha yang

menyadari dan dapat rukun kembali. La-­‐ berkiblat ke Gunung Bromo dan Semeru.

zimnya, di daerah Kamal Pandak dima-­‐ Dalam tata wilayah baru, daerah

kamkan leluhur dari dua pihak yang ber-­‐ tersebut sekarang menjadi wila-­‐yah

selisih.

Malang. Empu Baradha menemui jalan bun-­‐

Tradisi Otonomi “Duplang Kamal-­‐

tu ketika Airlangga harus membagi dua

Pandak” Zaman Kerajaan

kerajaan Kahuripan. Rajegwesi menolak Pada zaman dahulu, wilayah “Kamal-­‐ anak Airlangga, karena Rajegwesi bera-­‐

Pandak” berupa daerah swatantra yang sal dari leluhur yang lebih tua. Semen-­‐

dipimpin oleh pemimpin agama Hindu tara Raja Kapakisan Bali sebagai saudara

dan Budha, kerajaan bawahan setara bu-­‐ paling muda, ingin menguasai Rajegwesi.

pati, atau kerajaan yang tengah ber-­‐ Untuk menghindari perang saudara,

kembang menjadi besar. Contoh negeri Baradha memutuskan Rajegwesi mandi-­‐

swatantra tertua adalah negeri “Kamal— ri. Karena Empu Baradha berhasil be-­‐

Pandak” di lembah gunung Argapura, runding dengan Rajegwesi maka dite-­‐

yakni sebuah perdikan Syiwa-­‐Budha guhkan kembali tradisi “Duplang Kamal-­‐

yang dahulunya merupakan negeri Hin-­‐ Pandak”. Daerah “Duplang” artinya ter-­‐

du yang mengamalkan Wedha pertama halang atau daerah larangan, yang pe-­‐

kali, yang dikenal sebagai Medhang nandanya ditanami pohon asam (kamal)

Kamulan.

yang kerdil di Arjasa Jember sampai de-­‐ Data arkeologis menguatkan bahwa sa Pandak di Tapen Bondowoso. Prasasti

masyarakat di sekitar Argapura me-­‐ ini meneguhkan bahwa daerah Kamal

nyembah Durgha dan Syiwa-­‐Budha. Mi-­‐ sampai Pandak kawasan Rajegwesi se-­‐

salnya, dengan ditemukannya patung bagai daerah otonomi tidak boleh dipe-­‐

Dewi Durgha purba (Betoh Nyai) seperti rebutkan antarsaudara. Siapa yang mela-­‐

pada gambar 2.

nggar akan ditimpa bencana. Bukti ter-­‐ tulis tradisi “Duplang Kamal-­‐Pandak” ada dalam kitab Negarakertagama dan bukti arkeologis berupa situs “Duplang Kamal-­‐Pandak”(Gambar 1) ada di Dup-­‐ lang Desa Kamal Kecamatan Arjasa Jem-­‐ ber.

Gambar 2: Patung “Betoh Nyae”

di Pakauman Grujugan Bondowoso

Patung Siwa Kuno (Betoh Kyai), se-­‐ perti pada gambar 3, dan juga menhir se-­‐ bagai simbol Siwa, ditemukan juga di wi-­‐ layah Jember, Bondowoso, dan Situbon-­‐

Gambar 1: Prasasti “Duplang-­‐Kamal Pandak”:

do.

Negeri Otonomi

“Batu Nyai” merupakan perwujud-­‐ Bangunan ini dimaksudkan agar di-­‐

an Dewi Durgha dalam wujud primitif. kemudian hari anak cucu ingat di situlah

Dewi Durgha adalah istri Dewa Siwa leluhurnya dimakamkan sehingga kedua

yang dipercaya sebagai Dewi Kesuburan. pihak yang berselisih diharap mampu

Oleh sebab itu, patung “Betoh Nyae” (versi Madura) sering ditemukan di

Alternatif Solusi Konflik … (Sukatman)

ladang milik penduduk Jawa Kuna. Pa-­‐ tung “Betoh Kyai” sebenarnya adalah pa-­‐ tung Agastya kuno yang penggambaran-­‐ nya sesuai taraf imajinasi masyarakat se-­‐ kitar Argapura saat itu.

Gambar 3: Patung “Betoh Kyai” yang ditemukan di Bondowoso

Sejak sekitar abad VII, wilayah Jawa Tengah mulai berkembang dan melan-­‐ jutkan kejayaan Medang Kamulan. Cerita versi lisan menyebutkan bahwa Prabu Boko pernah berkuasa di kawasan Jawa Tengah. Data tertulis tidak cukup men-­‐ dukung era itu karena masih merupakan lanjutan budaya lisan era Medang Kamu-­‐ lan di Jawa Timur. Sejak Raja Sanna ter-­‐ catat dalam prasasti, budaya tulis mulai menguat sehingga memudahkan para peneliti dan penulis sejarah. Raja Sanna memerintah Medang-­‐Mataram dengan damai dan makmur. Ia amat menghor-­‐ mati negeri leluhurnya di Duplang Ka-­‐ mal-­‐Pandhak. Penghormatan Mataram Kuno terhadap Negeri Medang Kamulan tersebut dapat dibuktikan dengan ada-­‐ nya prasasti perbatasan yaitu Prasasti Watu Gong Rambipuji Jember.

Penelitian Prasasti Watu Gong Ram-­‐ bipuji di Jember dengan hasil pembaca-­‐ an aksara berbunyi “PAVĀTE JĀVA”. Ka-­‐ ta Pavate Java dari bahasa Sansekerta dari akar kata Pa + Vāte + Jāva, yang pe-­‐ ngucapannya dalam bahasa Jawa men-­‐ jadi Pawates Jawa. Pawates Jawa mak-­‐ sudnya ‘perbatasan Jawa’. Kronogram pada bangunan ini dapat ditemukan ber-­‐ bunyi “Gong Tunggal Sapta Aksara”. Kata gong berwatak satu (1), tunggal ju-­‐

ga berwatak satu (1), lalu sapta

berwatak tujuh (7) dan aksara bermak-­‐ na ‘telah dituliskan’. Dalam tradisi menu-­‐ lis biasanya ada pembuka dan penutup tulisan, yang fungsinya sebagai tanda baca setara dengan tanda titik sehingga jumlah aksaranya ada tujuh. Kronogram ini mengandung pesan: “Telah dituliskan perbatasan kerajaan Jawa pada tahun 711 Saka atau 789 Masehi”. Kemung-­‐ kinan besar prasasti ini dibangun tahun 711 Saka atau 789 Masehi. Terdapat su-­‐ ngai atau dalam bahasa Jawa disebut “kali” di sebelah timur Watu Gong ini. Kemudian asosiasi kata “Kali” dan “Wa-­‐ tes” ini memunculkan nama daerah Kali-­‐ wates (Sukatman, 2016, hlm. 9-­‐18).

Wilayah Lodoyo di Blitar sampai Boyolangu kecamatan Campur Darat Tu-­‐ lungagung adalah daerah Barat Daya ke-­‐ rajaan Kahuripan. Wilayah tersebut ti-­‐ dak mau tunduk kepada Airlangga kare-­‐ na wilayah ini juga milik Rajegwesi. Pemberian otonomi daerah ini dikenal dengan Prasasti Pradhah yang ditandai Gong Pradhah di Lodoyo Blitar. Situs ini sekarang ada di Lodoyo, yang masa da-­‐ hulu merupakan kawedanan (pembantu bupati). Sampai sekarang tradisi otono-­‐ mi tersebut dilestarikan dengan acara “Siraman Gong Mbah Pradhah” di Lodo-­‐ yo.

Kasus Tulungagung dahulu juga di-­‐ tangani Empu Baradha (Siwisang, 2013c, hlm. 18-­‐19). Daerah kadipaten Campur juga tidak mau tunduk kepada Airlangga. Karena jasa besarnya ikut mendirikan kerajaan Kahuripan, wilayah ini selanjut-­‐ nya diberi otonomi dengan sebutan dae-­‐ rah Tulungagung yang artinya ‘pertolo-­‐ ngan besar’. Sejak saat itu wilayah kadi-­‐ paten Campur dikenal dengan Tulung-­‐ agung. Di kemudian hari “daerah terla-­‐ rang” ini dilanggar oleh anak cucu Airlangga, yakni Daha (Kediri). Kediri menguasai wilayah Kerajaan Lodoyo (wilayah Jenggala) sehingga perebutan terjadi lagi. Kediri dan Jenggala saling membunuh sehingga dua kerajaan

ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 116-­‐129 hancur dan lahirlah Singasari yang dipe-­‐

Seiring perkembangan Islam, tempat itu lopori oleh Ken Arok yang merupakan

tidak berkembang lagi. Ada informasi keturunan Jenggala dari generasi

bahwa di tempat ini dahulu Empu Rajegwesi. Wilayah kerajaan Lodoyong

Baradha, Empu Bahula, Empu Tantular, ini dari Lodoyo Blitar sampai Campur

dan Patih Gajah Mada pernah tinggal. Darat Tulungagung. Setelah kerajaan Lo-­‐

Menurut informasi masyarakat setem-­‐ doyong surut, kemudian muncul kera-­‐

pat, situs air terjun Madakaripura di Su-­‐ jaan Singasari.

kapura dekat Gunung Bromo pernah di-­‐ Pada zaman kerajaan Singasari ti-­‐

gunakan Gajah Mada untuk meditasi dak banyak dibicarakan otonomi. Akan

atau bertapa. Isu yang beredar di masya-­‐ tetapi, waktu itu Singasari membawahi