BAB II TINJAUAN PUSTAKA - ALFI SAHRI ADE KHARISMA BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Asuhan keperawatan pasien osteoarthritis

  1. Pengkajian

  a. Identitas Identitas pasien yang biasa dikaji pada penyakit sistem muskuloskeletal adalah usia, karena ada beberapa penyakit muskuloskeletal banyak terjadi pada klien diatas usia 60 tahun.

  b. Keluhan utama Keluhan utama yang sering ditemukan pada klien dengan penyakit muskuloskeletal seperti osteoarthritis klien mengeluh nyeri pada persendian yang terkena, adanya keterbatasan gerak yang menyebabkan keterbatasan mobilitas.

  c. Riwayat penyakit sekarang Riwayat kesehatan ini berupa uraian mengenai penyakit yang diderita oleh klien dari mulai timbulnya keluhan yang dirasakan sampai klien dibawa ke Rumah sakit, dan apakah pernah memeriksa diri ke tempat lain selain rumah sakit umum serta pengobatan apa yang pernah diberikan dan bagaimana perubahannya dan data yang didapatkan saat pengkajian. xxv d. Riwayat penyakit dahulu Riwayat kesehatan yang lalu seperti riwayat penyakit muskuloskeletal sebelumnya, riwayat pekerjaan pada pekerja yang berhubungan dengan adanya penyakit muskuloskeletal, penggunaan obat-obatan, riwayat mengkonsumsi alkohol dan merokok.

  e. Riwayat penyakit keluarga Yang perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang menderita penyakit yang sama karena faktor genetic atau keturunan.

  f. Pemeriksaan fisik 1) Keadan umum

  Keadaan umum klien lansia yang mengalami gangguan muskuloskeletal biasanya lemah.

  2) Kesadaran Keadaan klien biasanya Composmetis dan Apatis.

3) Tanda-tanda vital Suhu meningkat (>37˚C).

  Nadi meningkat (N : 70-82x/menit). Tekanan darah meningkat atau dalam batas normal. Pernafasan biasanya mengalami meningkat atau normal. xxvi g. Pemeriksaan Review Of System (ROS) 1) Sistem pernafasan

  Dapat ditemukan peningkatan frekuensi nafas atau masih dalam batas normal.

  2) Sistem sirkulasi Kaji adanya penyakit jantung, frekuensi nadi apical, sirkulasi perifer, warna dan kehangatan.

  3) Sistem persarafan Kaji adanya hilangnya gerakan/sensasi, spasme otot, terlihat kelemahan/hilang fungsi. Pergerakan mata/kejelasan melihat, dilatasi pupi, agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri/ansietas). 4) Sistem perkemihan

  Perubahan pola berkemih, seperti inkontinensia urin, disuria, distesi kandung kemih, warna dan bau urin, dan kebersihannya.

  5) Sistem pencernaan Konstipasi, konsisten feses, frekuensi eliminasi, auskultasi bising usus, anoreksia, adanya distensi abdomen, adnya nyeri tekan abdomen.

  6) Sistem musculoskeletal Kaji adanya nyeri berat tiba-tiba atau mungkin terlokalisasi pada area jaringan, dapat berkurang pada imobilisasi, kekuatan otot, kontraktur, atrofi otot, laserasi kulit dan perubahan warna. xxvii h. Pola fungsi kesehatan Yang perlu dikaji adalah aktivitas apa saja yang biasanya dilakukan sehubungan dengan adanya nyeri pada persendian, ketidakmampuan mobilisasi. 1) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat Menggambarkan persepsi, pemeliharaan, dan penanganan kesehatan.

  2) Pola nutrisi Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan dan elektrolit, nafsu makan, diet, kesulitan menelan, ,mual/muntah, dan makanan kesukaan. 3) Pola eliminasi

  Menjelaskan pola ekskresi, kandung kemih, defekasi, ada tidaknya masalah defekasi, masalah nutrisi, dan pengguanaan kateter.

  4) Pola tidur dan istirahat Menggambarkan pola tidur, istirahat, dan persepsi terhadap energy, jumlah jam tidur pada siang dan malam, masalah tidur, dan insomnia.

  5) Pola aktivitas dan latihan Menggambarkan pola latihan, aktivitas, fungsi pernafasan dan sirkulasi, riwayat penyakit jantung, frekuensi, irama, dan kedalaman pernafasan. xxviii

  6) Pola hubungan dan peran Menggambarkan dan mengetahui hubungan dan peran klien terhadap anggota keluarga dan masyarakat sebagai tempat tinggal, pekerjaan, tidak punya rumah, dan masalah keuangan. 7) Pola sensori dan kognitif

  Menjelaskan persepsi sensori dan kognitif. Pola persepsi sensori meliputi pengkajian penglihatan, pendengaran,perasaan dan pembau.

  Pada klien katarak dapat ditemukan gejala gangguan penglihatan perifer, kesulitan memfokuskan kerja mata dan merasa diruang gelap.

  8) Pola konsep diri Menggambarkan tentang sikap diri sendiri dan persepsi terhadap kemampuan konsep diri. Konsep diri menggambarkan gambaran diri, harga diri, peran diri dan identitas diri. 9) Pola seksual dan reproduksi Menggambarkan kepuasan/masalah terhadap seksualitas.

  10) Pola mekanisme koping Menggambarkan kemampuan untuk menangani stress.

  11) Pola tata nilai dan kepercayaan Menggambarkan dan menjelaskan pola, nilai keyakinan termasuk spiritual. xxix

  2. Diagnosa

  a. Nyeri berhubungan dengan agen injury (biologis, kimia, fisik, psikologis), ditandai dengan klien melaporkan adanya nyeri pada persendian, ekspresi wajah meringis.

  b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan dan ketidaknyamanan, kerusakan neuromuskuler, kehilangan integritas struktur tulang, kekakuan sendi atau kontraktur.

  c. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan pengobatan penyakit, trauma atau cedera, pembedahan ditandai dengan klien mengungkapkan mengenai perubahan dalam penampilan, struktur dan fungsi, perasaan negatif tentang tubuh (perasaan tidak berdaya, keputusan atau tidak ada kekuatan).

  3. Perencanaan

  a. Nyeri berhubungan dengan agen injury (biologis, kimia, fisik, psikologis), ditandai dengan klien melaporkan adanya nyeri pada persendian, ekspresi wajah meringis. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan klien melaporkan adanya nyeri dengan kriteria hasil : 1) Klien dapat mengetahui penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri dan tindakan pencegahan nyeri. xxx xxxi 2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri.

  3) Menunjukan tingkat nyeri. 4) Klien mengatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang. 5) Tanda-tanda vital dalam batas normal. 6) Ekspresi wajah tenang. Intervensi : 1) Manajemen nyeri

  a) Kaji secara komprehensif tentang nyeri, meliputi : lokasi, karakteristik, onset, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri dan faktor-faktor presipitasi. Rasional : untuk mengetahui penyebab nyeri, kualitas nyeri, lokasi nyeri, skala nyeri dan waktu terjadinya nyeri.

  b) Berikan posisi nyaman.

  c) Observasi isyarat-isyarat nonverbao dari ketidaknyamanan.

  d) Ajarkan tehnik nonfarmakologi (missal : relaksasi, guided imagery, terapi muasik, distraksi, aplikasi panas-dingin, massage).

  2) Pemberian Analgesik a) Monitor vital sign.

  b) Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat. b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan dan ketidaknyamanan, kerusakan neuromuskuler, kehilangan integritas struktur tulang, kekakuan sendi atau kontraktur. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan klien dapat menunjukan tingkat mobilitas dengan kriteria hasil: 1) Klien menunjukan pergerakan sendi.

  2) Klien menunjukan penggunaan alat bantu secara benar dengan pengawasan.

  3) Klien meminta bantuan untuk aktivitas mobilisasi jika diperlukan. 4) Klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan mandiri.

  Intervensi : 1) Terapi aktivitas : ambulasi (Exercise Therapy Ambulation).

  a) Ajarkan dan bantu klien untuk berpindah sesuai kebutuhan (missal: dari tempat tidur ke kursi).

  b) Pantau penggunaan alat bantu mobilitas (missal: tongkat, walker, kruk atau kursi roda).

  c) Rujuk ke ahli terapi fisik untuk program latihan.

  d) Ajarkan dan dukung klien dalam latihan ROM aktif atau pasif untuk mempertahankan kekuatan dan ketahanan otot. xxxii

  2) Terapi aktivitas : mobilisasi sendi

  a) Kolaborasi dengan terapi fisik dalam pengembangan program latihan.

  b) Jelaskan pada klien dan keluarga tentang magsud dan rencana latihan.

  c) Bantu klien untuk mengatur posisi yang optimal dalam ROM aktif/pasif.

  d) Motivavi klien untuk latihan ROM aktif/pasif dan merencanakan jadwal latihan.

  c. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan pengobatan penyakit, trauma atau cedera, pembedahan ditandai dengan klien mengungkapkan mengenai perubahan dalam penampilan, struktur dan fungsi, perasaan negatif tentang tubuh (perasaan tidak berdaya, keputusan atau tidak ada kekuatan). Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan klien menunjukan citra tubuh yang positif dengan kriteria hasil: 1) Klien mendemonstrasikan penerimaan terhadap perubahan bentuk tubuh.

  2) Klien mengungkapkan kepuasan terhadap penampilan dan fungsi tubuh. xxxiii

  3) Mengungkapkan pengakuan terhadap perubahan aktual pada penampilan tubuh.

  Intervensi : 1) Peningkatan citra tubuh

  a) Kaji dan dokumentasikan respon verbal dan nonverbal klien tentang tubuh klien.

  b) Tentukan apakah perubahan fisik saat ini telah dikaitkan keadaan citra tubuh klien.

  c) Pantau frekuensi pernyataan yang mengkritik diri.

  d) Dorong klien untuk mengeksplorasi perubahan yang dialaminya.

  e) Bantu klien agar dapat menerima bantuan dari orang lain.

  4. Pelaksanaan

  a. Diagnosa Nyeri akut/kronis 1) Mengkaji secara komprehensif tentang nyeri, meliputi : lokasi, karakteristik, onset, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri dan faktor-faktor presipitasi. 2) Memberikan atau menganjurkan klien untuk posisi nyaman. 3) Mengobservasi isyarat-isyarat nonverbal dari ketidaknyamanan. 4) Mengajarkan tehnik nonfarmakologi (missal : relaksasi, guided imagery, terapi muasik, distraksi, aplikasi panas-dingin, massage). xxxiv b. Diagnosa Hambatan mobilitas fisik 1) Mengajarkan dan bantu klien untuk berpindah sesuai kebutuhan (missal: dari tempat tidur ke kursi).

  2) Memantau penggunaan alat bantu mobilitas (missal: tongkat, walker, kruk atau kursi roda).

  3) Merujuk ke ahli terapi fisik untuk program latihan. 4) Mengajarkan dan dukung klien dalam latihan ROM aktif atau pasif untuk mempertahankan kekuatan dan ketahanan otot.

  c. Diagnosa Gangguan citra tubuh 1) Mengkaji dan dokumentasikan respon verbal dan nonverbal klien tentang tubuh klien.

  2) Menentukan apakah perubahan fisik saat ini telah dikaitkan keadaan citra tubuh klien.

  3) Memantau frekuensi pernyataan yang mengkritik diri. 4) Mendorong klien untuk mengeksplorasi perubahan yang dialaminya. 5) Membantu klien agar dapat menerima bantuan dari orang lain.

  5. Evaluasi

  a. Diagnosa keperawatan : nyeri akut/kronis 1) Klien menunjukan kemampuan menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri dan tindakan pencegahan nyeri.

  2) Klien mampu mengenal tanda-tanda pencetus nyeri untuk mencari pertolongan. xxxv

  3) Klien melaporkan nyeri berkurang. 4) Klien mengungkapkan kenyamanan setelah nyeri berkurang. 5) Klien menunjukan tanda vital dalam batas normal. 6) Klien menunjukan ekspresi wajah tenang.

  b. Diagnosa keperawatan : Hambatan mobilitas fisik 1) Klien menunjukan penampilan yang seimbang.

  2) Klien menunjukan penampilan posisi tubuh. 3) Klien dapat melakukan pergerakan sendi. 4) Klien dapat melakukan perpindahan. 5) Klien dapat berjalan. 6) Klien menggunakan alat bantu secara benar dengan pengawasan. 7) Klien mau meminta bantuan untuk aktivitas sehari-hari secara mandiri.

  c. Diagnosa keperawatan : Gangguan citra tubuh 1) Klien mendemonstrasikan penerimaan perubahan bentuk tubuh.

  2) Klien puas dengan kemampuan dan fungsi tubuh. 3) Klien mau menyentuh bagian tubuh yang mengalami gangguan. 4) Klien dapat melakukan hubungan sosial yang dekat.

B. Lansia

  1. Definisi Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut pasal 1 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU xxxvi no. 13 tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun. Usia lanjut dapat digunakan usia emas karena tidak semua orang dapat mencapai usia tersebut, maka orang yang berusia lanjut memerlukan tindakan keperawatan, baik bersifat promotif maupun preventif, agar dapat menikmati masa usia emas serta menjadi usia lanjut yang berguna dan bahagia (Maryam, 2008).

  2. Batasan lanjut usia Menurut badan kesehatan dunia (WHO, 2014), yang dikatakan lanjut usia tersebut dibagi menjadi tiga kategori yaitu : a. Usia lanjut (elderly) 60-74 tahun.

  b. Usia tua (old) 75-89 tahun.

  c. Usia sangat lanjut (very old) lebih dari 90 tahun. Sedangkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia membagi lanjut usia sebagai berikut : a. Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) keadaan ini dikatakan sebagai masa virilitas.

  b. Kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai masa presenium.

  c. Kelompok usua lanjut (lebih dari 65 tahun) yang dikatakan sebagai masa senium. xxxvii

  3. Ciri-ciri lansia Ciri-ciri yang dijumpai usia lanjut menurut Wahyunita dan Fitrah (2010), meliputi: a. Secara fisik : penglihatan dan pendengaran menurun, kulit tampak mengendur, aktivitas tubuh menurun, penumpukan lemak dibagian perut dan panggul.

  b. Secara psikologis : merasa kurang percaya diri, sering merasa kesepian, merasa sudah tidak dibutuhkan lagi dan tidak berguna, tipe optimis, dependen (ketergantungan), tipe marah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), putus asa (benci pada diri sendiri).

C. Osteoarthritis

  1. Definisi Osteoarthritis adalah suatu penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi, merupakan suatu penyakit kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang lambat dan tidak diketahui penyebabnya, meskipun terdapat beberapa faktor resiko yang berperan. Keadaan ini berkaitan dengan usia lanjut (Elvira, 2010). Faktor resiko osteoarthritis adalah usia di atas 55 tahun dimana pada usia tersebut wanita lebih banyak dibanding laki-laki. Pekerjaan mengangkat barang, naik tangga atau berjalan jauh juga merupakan faktor resiko (Hamijoyo, 2013). xxxviii

  Menurut Hamijoyo tahun 2014 gejala yang dialami biasanya nyeri yang muncul perlahan-lahan, nyeri biasanya dibangkitkan oleh suatu aktivitas fisik yang berat, nyeri biasanya memburuk ketika sendi digunakan dan membaik ketika istirahat, pada saat digerak an menimbulkan suara krepitus sein itu disertai bengkak dan kaku yang berlangsung kurang lebih 15-20 menit. Menurut Soeroso tahun 2006. Gambaran Radiografi sendi yang menyokong diagnosis osteoarthritis penyempitan celah sendi yang seringkali asimetri, peningkatan densitas tulang subkondral (sclerosis), kista pada tulang, osteofit pada pinggir sendi dan perubahan struktur anatomi sendi.

  Osteoarthritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak. Penyakit ini sifatnya kronik, berjalan progresif lambat, dan abrasi rawan sendi dan adanya gangguan pembentukan tulang baru pada permukaan persendian (Sylvia, 2005). Osteoarthritis adalah penyakit peradangan sendi yang sering muncul pada usia lanjut. Jarang dijumpai pada usia 40 tahun dan lebih sering dijumpai pada usia 60 tahun.

  2. Etiologi Osteoarthritis terjadi karena karena tulang rawan yang menjadi ujung dari tulang yang bersambung dengan tulang lain menurun fungsinya. Permukaan tulang halus rawan ini menjadi kasar dan menyebabkan iritasi. Jika tulang rawan ini sudah kasar seluruhnya, akhirnya tulang akan bertemu dengan tulang yang menyebabkan pangkal tulang menjadi rusak dan gerak pada sambungan akan menyebabkan nyeri dan ngilu. xxxix

  Beberapa faktor resiko untuk timbulnya osteoarthritis antara lain adalah :

  a. Usia Dari semua faktor resiko untuk timbulnya osteoarthritis faktor ketuaan adalah yang terkuat (Soeroso, 2007). Prevalensi dan beratnya osteoarthritis semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Osteoarthritis hamper tak pernah terjadi pada anak-anak, jarang pada umur 40 tahun dan sering pada umur diatas 60 tahun.

  b. Jenis Kelamin Wanita lebih sering terkena osteoarthritis lutut dan sendi, dan laki-laki lebih sering terkana osteoarthritis paha, pergelangan tangan dan leher.

  Secara keseluruhan dibawah 45 tahun frekuensi osteoarthritis kurang lebih sama pada laki dan wanita tetapi diatas 50 tahun frekuensi osteoarthritis lebih banyak pada wanita dari pada pria hal ini menunjukan adanya peran hormonal pada pathogenesis osteoarthritis (Soeroso, 2006).

  c. Riwayat Trauma sebelumnya Trauma pada suatu sendi yang terjadi sebelumnya, biasanya mengakibatkan malformasi sendi yang akan meningkatkan resiko terjadinya osteoarthritis. Trauma berpengaruh terhadap kartilago artikuler, ligament ataupun menikus yang menyebabkan biomekanika sendi menjadi abnormal dan memicu terjadinya degenerasi premature (Shiddiqui, 2008). xl d. Pekerjaan Osteoarthritis lebih sering terjadi pada mereka yang pekerjaannya sering memberikan tekanan pada sendi-sendi tertentu. Jenis pekerjaan juga mempengaruhi sendi mana yang terkena osteoarthritis. Sebagai contoh, pada tukang jahit, osteoarthritis lebih sering terjadi di daerah lutut, sedangkan pada buruh bangunan sering terjadi pada daerah pinggang (Dewi, 2009).

  e. Kegemukan Berat badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk timbulnya osteoarthritis baik pada wanita maupun pria.

  Kegemukan ternyata tak hanya berkaitan dengan osteoarthritis pada sendi yang menanggung beban, tapi juga dengan osteoarthritis sendi lainnya (tangan atau sternoklavikula). Pada kondisi ini terjadi peningkatan beban mekanis pada tulang dan sendi (Soeroso, 2007).

  f. Faktor gaya hidup Banyak penelitian telah membuktikan bahwa faktor gaya hidup mampu mengakibatkan seseorang mengalami osteoarthritis.

  Contohnya adalah kebiasaan merokok. Merokok dapat meningkatkan kandungan karbon monoksida dalam darah, mengakibatkan jaringan kekurangan oksigen dan dapat menghambat pembentukan tulang rawan (Pratiwi, 2007). xli

D. Nyeri

  1. Definisi Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang actual atau potensial.

  Masalah fisiologis pada lanjut usia dengan osteoarthritis adalan nyeri (Perry & Potter,2005). Nyeri pada osteoarthritis disebabkan oleh synovial dan degredasi kartilago berkaitan dengan degradasi kolagen dan proteoglikan oleh enzim autolitik seluler. VAS adalah alat pengukur itensitas nyeri efisien yang telah digunakan secara luas dalam penelitian dan pengaturan klinis (Welchekdkk,2009).

  Menurut Tamsuri (2007), nyeri adalah suatu keadaan yang mampu mempengaruhi keberadaan seseorang yang mengalaminya. Nyeri juga suatu kondisi dimana seseorang merasakan perasaan tidak menyenangkan atau tidak nyaman yang bersifat subyektif dan perasaan ini akan terasa berbeda pada setiap yang mengalaminya karena hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan apa yang sedang dirasakan.

  2. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

  a. Usia Usia merupakan variable yang penting dalam mempengaruhi nyeri pada individu. Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan dalam memahami nyeri dan prosedur pengobatan yang dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak kecil yang belum bisa mengucapkan kata-kata juga xlii mengalami kesulitan mengungkapkan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada kedua orang tua atau perawat.

  Pada lansia seorang perawat harus melakukan pengkajian lebih rinci ketika seorang lansia melaporkan adanya nyeri. Sebagian lansia terkadang pasrah terhadap apa yang mereka rasakan, mereka menganggap bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi penuaan yang tidak bisa dihindari.

  b. Jenis kelamin Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam berespon terhadap nyeri. Hanya beberapa budaya yang menganggap bahwa seorang laki-laki harus lebih berani dan tidak boleh menangis dibandingkan dengan anak perempuan dalam situasi yang sama ketika merasakan nyeri.

  c. Kebudayaan Perawat sering kali berasumsi bahwa cara berespon pada setiap individu dalam masalah nyeri adalah sama, sehingga mereka mencoba mengira bagaimana pasien berespon terhadap nyeri. Sebagai contoh, apabila seorang perawat yakin bahwa menangis dan merintih mengindikasikan suatu ketidakmampuan dalam mengontrol nyeri, akibatnya pemberian terapi bisa jadi tidak cocok untuk klien berkebangsaan Meksiko-Amerika yang menangis keras tidak selalu xliii mengekspresikan pengalaman nyeri sebagai sesuatu yang berat atau mengharaokan perawat melakukan intervensi.

  d. Makna nyeri Makna nyeri pada seseorang mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Seorang wanita yang merasakan nyeri saat bersalin akan mengekspresikan nyeri secara berbeda dengan wanita lainnya yang nyeri karena dipikul.

  e. Lokasi dan tingkat keparahan nyeri Nyeri yang dirasakan bervariasi dalam intensitas dan tingkat keparahan pada masing-masing individu. Nyeri yang dirasakan mungkin terasa ringan, sedang atau bisa jadi merupakan nyeri yang berat. Dalam kaitannya dalam kualitas nyeri, masing-masing individu bervariasi, ada yang melaporkan seperti tertusuk-tusuk, nyeri tumpil, berdenyut, terbakar, dan lain-lain.

  f. Ansietas (kecemasan) Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks, ansietas yang dirasakan seorang sering kali meningkatkan persepsi nyeri, akan tetapi nyeri juga dapan menimbulkan perasaan ansietas.

  g. Keletihan Keletihan atau kelelahan yang dirasakan seseorang akan meningkatkan sensasi nyeri dan menurunkan kemampuan koping individu. xliv h. Pengalaman sebelumnya Setiap individu belajar dari pengalaman yang telah dirasakan oleh individu tidak berarti bahwa individu tersebut akan mudan dalam menghadapi nyeri pada masa yang mendatang. Seorang yang biasa merasakan nyeri akan lebih siap dan mudah mengantisipasi nyeri dari pada individu yang mempunyai pengalaman sedikit tentang nyeri. i. Dukungan keluarga dan sosial

  Individu yang mengalami nyeri sering kali membutuhkan dukungan, bantuan, perlindungan dari keluarga lain, atau teman terdekat.

  Walaupun nyeri masih dirasakan oleh klien, kehadiran orang terdekat akan menimbulkan kesepian dan kekuatan (Prasetyo, 2010).

  3. Intensitas nyeri Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri yang dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual, dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda.

  Pengukuran subjektif nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai alat pengukur nyeri seperti skala visual analog, skala numeric, skala nyeri deskriptif atau skala nyeri Wong-Bakers (Tamsuri, 2006). xlv

  4. Pemeriksaan nyeri Terdapat beberapa komponen yang harus diperhatikan seorang perawat di dalam memulai mengkaji respon nyeri yang dialami oleh klien. Tamsuri

  (2006) mengidentifikasikan komponen-komponen tersebut diantaranya:

  a. Penentuan ada tidaknya nyeri Dalam melakukan pengkajian terhadap nyeri, perawat harus mempercayai ketika pasien melaporkan adanya nyeri, walaupun dalam observasi perawat tidak menemukan adanya cedera atau luka. Setiap nyeri yang dilaporkan oleh klien adalah nyata.

  b. Karakteristik nyeri (metode P, Q, R, S, T) 1) Faktor pencetus (P: Provocate)

  Perawat mengkaji tentang penyebab atau stimulus-stimulus nyeri pada klien, dalam hal ini perawat juga dapat melakukan observasi bagian- bagian tubuh yang mengalami cedera. Apabila perawat mencurigai adanya nyeri psikogenik maka perawat harus dapat mengeksplore perasaan klien dan menanyakan perasaan-perasaan apa yang dapat mencetuskan nyeri.

  2) Kualitas (Q: Quality) Kualitas nyeri merupakan sesuatu yang subjektif yang diungkapkan oleh klien, sering kali klien mendeskripsikan nyeri dengan kalimat- kalimat: tajam, tumpul, berdenyut, berpindah-pindah, seperti tertindih, xlvi perih, tertusuk dan lain-lain, dimana tiap-tiap klien mungkin berbeda- beda dalam melaporkan kualitas nyeri yang dirasakan.

  3) Lokasi (R: Regio) Untuk mengkaji lokasi nyeri maka perawat menerima klien untuk menunjukan semua bagian/daerah yang dirasakan tidak nyaman oleh klien. Untuk melokalisasi nyeri lebih spesifik, maka perawat dapat meminta klien untuk melacak daerah nyeri dari titik ysng psling nyeri, kemungkinan hal ini akan sulit apabila nyeri yang dirasakan bersifat difus (menyebar).

  4) Keparahan (S: Savere) Karakteristik paling subjektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien sering kali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah.

  5) Durasi (T: Time) Durasi nyeri adalah kapan nyeri terjadi atau muncul pada klien.

  c. Skala Analog Visual Skala Analog Visual (Visual Analog Scale, VAS) merupakan suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberikan kebebasan penuh pada pasien untuk mengidentifikasi tingkat keparahan nyeri yang dirasakan. Skala analog visual merupakan pengukur keparahan xlvii nyeri yang lebih sensitive karena pasien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau angka.

  Tidak Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri ada ringan paling sedang hebat sangat nyeri hebat

  Gambar 2.1 Visual Analog Scale

  d. Skala NRS (Numeric Rating Scale) Skala ini berbentuk garis horizontal yang menunjukan angka-angka dari 0-10, yaitu angka 0 menunjukan tidak ada nyeri dan angka 10 menunjukan nyeri yang paling hebat. Skala ini merupakan garis panjang berukuran 10 cm, yaitu setiap panjangnya 1 cm diberi tanda. Skala ini dapat dipakai pada klien dengan nyeri yang hebat atau klien yang baru mengalami operasi. Tingkat angka yang ditunjukan oleh klien dapat digunakan untuk mengkaji efektivitas dari intervensi pereda rasa nyeri.

  Gambar 2.2 Numeric Rating Scale xlviii

  5. Klasifikasi nyeri

  a. Nyeri akut yang merupakan nyeri yang dialami secara mendadak dan dalam waktu yang singkat (sekitar 6 bulan) saja dan akan segera hilang.

  b. Nyeri kronis adalah nyeri yang timbul secara perlahan dan akan berlangsung dalam waktu yang panjang (lebih dari 6 bulan).

  6. Jenis nyeri

  a. Nyeri Nosiseptif Nyeri ini pada umumnya terjadi pada stimulasi singkat yang tidak merusak jaringan serta tidak memerlukan penanganan secara khusus.

  Contohnya: nyeri yang terjadi pada saat menjalani operasi dan nyeri yang timbul akibat tusukan jarum infus.

  b. Nyeri Inflamatorik Pada umumnya nyeri ini terjadi pada stimulasi yang kuat dan dalam waktu yang panjang sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Nyeri ini bisa menjadi nyeri akut atau kronis karena itu penderita biasanya memerlukan tindakan medis untuk mengatasinya. Contohnya: rheumatoid arthritis.

  c. Nyeri Neuropatik Nyeri yang terjadi akibat adanya kerusakan jaringan pada sistem saraf perifer atau sentral. Contohnya: nyeri yang dirasakan pasca mengalami stroke.

  d. Nyeri Fungsional xlix

  Nyeri ini terjadi karena terjadinya respon yang abnormal pada sistem saraf seperti hipersensitifitas aparatur sensorik. Beberapa yang sering dialami seperti nyeri dada dan nyeri pada kepala.

E. Kompres hangat

  1. Definisi Kompres hangat adalah tindakakan memberikan rasa hangat untuk memenuhi kebutuhan rasa nyaman mengurangi untuk membebaskan nyeri, mengurangi atau mencegah spasme otot dan memberikan rasa hangat pada daerah tertentu (Hidayat, 2008).

  Kompres air hangat juga dapat meningkatkan aliran darah untuk mendapatkan efek analgesik dan relaksasi otot sehingga proses inflamasi berkurang (Lemone & Burke, 2010). Air hangat yang digunakan biasanya bersuhu 40,5˚C sampai 43˚C kemudian diletakan pada kain kemudian dikompreskan pada daerah sendi yang mengalami nyeri selama 20 menit, ganti kompres per 5 menit agar tetap hangat (Kusyati, 2006).

  Kompres hangat adalah suatu metode dalam penggunaan suhu hangat setempat yang dapat menimbulkan beberapa efek fisioligis, antara lain efek vasodilatasi, meningkatkan premeabilitas kapiler, meningkatkan metabolisme seluler, merelaksasi otot, meningkatkan aliran darah ke suatu area. Kompres hangat dapat meningkatkan suhu jaringan dan sirkulasi darah lokal, yang l dapat menghambat produk metabolisme inflamasi seperti prostaglandin, bradikinin dan histamine sehingga dapat mengurangi nyeri (Hager, 2003).

  Tidak hanya kompres hangat tetapi kompres jahe juga efektif untuk mengurangi nyeri. Kompres jahe adalah salah satu kombinasi antara terapi hangat dan terapi relaksasi yang bermanfaat pada penderita nyeri sendi. Jahe mengandung senyawa Phenol yang terbukti memiliki efek anti radang dan diketahui ampuh mengusir penyakit sendi juga ketegangan yang dialami otot sehingga dapat memperbaiki sistem muskuloskeletal yang menurun (Susilowati, 2015).

  2. Tujuan

  a. Melebarkan pembuluh darah dan memperbaiki peredarah darah di jaringan tersebut.

  b. Pada otot, panas memiliki efek menurunkan ketegangan.

  c. Meningkatkan sel darah putih secara total dan fenomena reaksi peradangan serta adanya dilatasi pembuluh darah yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi darah serta peningkatan kapiler (Fauziyah, 2013).

  3. Cara pemberian kompres hangat

  a. Persiapan alat dan bahan 1) Botol atau kain yang dapat menyerap air.

2) Air hangat dengan suhu 40,5˚C sampai 43˚C.

  3) Thermometer.

  b. Tahap kerja li lii 1) Cuci tangan. 2) Jelaskan pada klien mengenai prosedur yang akan dilakukan.

  3) Masukan air kedalam air hangat, lalu diperas. 4) Tempatkan kain yang sudah diperas pada daerah yang akan dikompres.

  5) Angkat kain tersebut setelah 20 menit, dan lakukan kompres ulang jika nyeri belum teratasi.

  6) Kaji perubahan yang terjadi selama kompres dilakukan. 7) Cuci tangan (Uliyah & Hidayat, 2008).

F. Jahe

  1. Pengertian Jahe (Zingiber Officinale Rosc) termasuk dalam daftar prioritas WHO sebagai tanaman obat yang paling banyak digunakan didunia. Rimpangnya yang mengandung zingiberol dan kurkuminoid terbukti berkhasiat mengurangi peradangan dan nyeri sendi. Jahe menekan sintesis prostaglandin melalui inhibisi cyclooxygenase-1 dan cyclooxygenase-2, hasil penemuan selanjutnya menyatakan bahwa jahe juga menekan biosintesis leukotrin dengan menghambat 5-lipoxygenase, dan dalam penelitian sebelumnya dinyatakan bahwa dua inhibitor cyclooxygenase dan 5-lipoxygenase memiliki riwayat terapeutik lebih baik dan efek samping lebih sedikit dibandingkan dengan NSAIDs (Grzanna dkk, 2005).

  Jahe (Zingiber Officinale Rosc) mempunyai kegunaan yang cukup beragam, antara lain sebagai rempah, minyak atsiri, pemberi aroma, ataupun sebagai obat (Bartley & Jacobs, 2000).

  Jahe dapat mengurangi nyeri dan kekakuan pada satu atau lebih sendi, untuk penanganan sendi dosis yang dianjurkan 510-1000mg/hari serbuk jahe.

  Pemberian ekstrak jahe 1gr/hari selama 4 minggu atau lebih efektif dibandingkan dengan placebo dan sama efektifnya dengan ibuprofen dalam meredakan nyeri (Leach & Kumar, 2008).

  2. Jenis tanaman jahe Jahe (Zingiber Officinale Rosc) adalah tanaman herbal dari family zingi barance dikenal 3 jenis jahe yaitu : a. Jahe gajah atau jahe besar/jahe badak berwarna putih kekuningan.

  b. Jahe emprit atau jahe putih, bentuknya agak pipih berserabut lembut.

  c. Jahe merah, memiliki kandungan minyak atsiri lebih besar yaitu sekitar 2,58-2,72% jika dilihat dari ukuran rimpang yang agak kecil, ruas rata dan sedikit menggembung (Rahman, 2004).

  3. Kandungan Zingerol, gingerol dan shogaol merupakan kandungan yang bermanfaat untuk mengurangi nyeri osteoarthritis. Jahe memiliki sifat pedas, pahit dan aromatic dari oleoresin. Oleoresin memiliki potensi antiinflamasi dan antioksidan yang kuat kandungan air dan minyak tidak menguap pada jahe berfungsi sebagai enhancer (bahan) yang dapat meningkatkan permeabilitas liii oleoresin sehingga dapat menembus kulit tanpa menyebabkan iritasi atau kerusakan hingga sirkulasi perifer(Swarbick & Boylan, 2002).

  4. Manfaat Jahe memiliki banyak kegunaan, yaitu 10 dehydiogengerdione (rimpang) penekan prostaglandin, 10 gingerdione (rimpang) penekan prostaglandin, 6 gingerol (rimpang) merangasang keluarnya ASI, penghambat enzim siklo oksigenasi, penekan prostaglandin, alpha-linolenic (rimpang) anti perdarahan diluar haid, merangsang kekebalan tubuh, merangsang produksi getah bening (Dwiyanto, 2009).

  5. Efek farmakologi Pada serangkaian kasus, jahe dapat mengurangi nyeri dan kekakuan pada satu atau lebih sendi pada pasien. Bahkan mampu mngurangi obat-obat antiartritis. Untuk penanganan rematoid artritis dan osteoarthritis, dosis yang dianjurkan 510-1000 mg/hari serbuk jahe. Pemberian ekstrak jahe 1 gr/hari selama 4 minggu lebih efektif dibandingkan dengan plasbo dan sama efektifnya dengan ibuprofen dalam meredakan nyeri pada osteoarthritis (Leach & Kumar, 2008).

  6. Efek merugikan jahe Didalam evidence synthesis, Leach & Kumar (2008) menyatakan bahwa ada dua penelitian yang melaporkan efek merugikan jahe seperti rasa panas pada lambung (6,9%), perubahan rasa (7,5%)< dyspepsia, nausea dan konjungtivis masing-masing (1,5%). Namun demikian tidak ada kejadian- liv kejadian berat yang merugikan sehingga menyebabkan penderita masuk rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan atau kematian (Arif, 2010). lv