BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Pengertian - Rahmat Dwi Yanto BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Pengertian Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak

  menuju masa dewasa yang ditandai dengan perubahan baik fisik maupun psikis. Perubahan fisik yang tampak lebih jelas tubuh berkembang pesat mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai pula dengan berkembangnya kapasitas reproduksi (Agustiani, 2006). Masa remaja adalah masa transisi yang ditandai oleh adanya perubahan fisik, emosi dan psikis dimana usianaya yakni antara 10-19 tahun dan masa ini adalah suatu periode pematangan organ reproduksi manusia, dan sering disebut masa pubertas (Widyastuti dkk, 2009).

  Pubertas adalah periode dalam rentang perkembangan ketika anak-anak berubah dari mahluk aseksual menjadi makhluk seksual. Kata pubertas berasal dari kata latin yang berarti usia kedewasaan, kata ini lebih menunjuk pada perubahan fisik daripada perilaku yang terjadi pada saat individu secara seksual menjadi matang dan mampu memberikan keturunan (Hurlock, 2003). Monk (2001) mengemukakan bahwa pubertas dari kata puber (yaitu pubescent). Kata lain pubescere yang berarti mendapatkan puber atau rambut kemaluan, yaitu suatu tanda kelamin sekunder yang menunjukan perkembangan seksual. Bila selanjutnya

  13 dipakai istilah puber, maka yang dimaksudkan adalah remaja sekitar masa pemasakan seksual (Monks & Knoers, 2001).

  Sedangkan menurut Sarwono (2004) mendefinisikan remaja untuk masyarakat Indonesia, dengan berpedoman umum menggunakan batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah, diantaranya sebagai berikut:

  a. Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya ditandai mulai nampaknya seksual sekunder ( kriteria fisik) b. Kebanyakan masyarakat Indonesia, usia 11 tahun dianggap sudah akil baligh baik menurut adat maupun agama. Sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak- anak (kriteria sosial) c. Pada usia ini mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa seperti tercapainya identitas diri, tercapainya fase genital dan perkembangan psikososial, serta tercapainya puncak perkembangan kognitif dan moral.

2. Ciri-ciri Remaja

  Ciri-ciri remaja menurut Hurlock (2003) adalah:

  a. Meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi, maka pada masa itu perubahan emosi semakin menonjol disebabkan karena remaja berada dibawah tekanan sosial dalam menghadapi kondisi baru. b. Perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial c. Dengan berubahnya minat dan pola prilaku, maka nilai-nilai juga berubah, apa yang dianggap pada masa kanak-kanak dianggap tidak penting

  d. Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan, mereka menginginkan kebebasan, tapi mereka sering takut bertanggungjawab akan akibatnya

  Ciri-ciri remaja menurut Mappiare (2000) adalah: a. Kestabilan keadaan perasaan dan emosi.

  Pada masa ini fungsi perasaan berkembang sangat peka, remaja mengalami badai dan topan dalam kehidupan perasaan dan emosinya. Keadaan masa ini disebut juga sebagai

  “storm and stres ”.

  b. Hal sikap dan moral terutama menjelang akhir remaja awal.

  Organ-organ sekunder yang telah matang menyebabkan remaja mendekati lawan jenis, ada dorongan-dorongan seks dan ada pula kecenderungan untuk memenuhi dorongan tersebut c. Hal kecerdasan atau kemampuan mental.

  Kemampuan mental atau kemampuan berfikir sudah mulai sempurna.

  d. Status remaja awal yang sulit ditentukan.

  e. Remaja awal yang sangat sulit dihadapi.

  Remaja awal, merupakan individu yang banyak mengalami masalah. Masalah yang dihadapinya adalah sifat emosional dari remaja. Kemampuan berfikirnya lebih dkuasai oleh emosionalitasnya, sehingga kurang mampu mengadakan consensus dengan pendapat orang lain yang bertentangan dengan pendapat dirinya.

  f. Masa remaja awal adalah masa yang kritis.

  Masa ini dipengaruhi kerena perkembangan kognitifnya mulai meningkat, sehingga kemampuan pengamatan, berfikir dan analisisnya mulai tajam, dan kemampuan dalam menyelesaikan masalahnya mulai bervariatif.

3. Pembatasan Usia Remaja

  Lazimnya masa remaja dianggap mulai pada saat anak secra seksual menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum.

  Menurut Depkes RI (2003) adalah antara 10-19 tahun dan belum kawin. Sedangkan menurut BKKBN adalah 10-19 tahun (Widiastuti, dkk, 2009).

  Undang-undang No. 4 tahun 1978 mengenai kesejatrahan anak, remaja adalah individu yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum menikah.

  Namun menurut undang-undang perburuhan, anak dianggap remaja apabila telah mencapai usia 16-18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat tinggal. Menurut undang- undang perkawinan No. 1 tahun 1974, anak diagap sudah remaja apabila cukup matang untuk menikah, yaitu usia 16 tahun untuk anak perempuan dan 19 tahun untuk anak laki-laki (Proverawati & misaroh, 2009).

4. Perkembangan fisik pada masa remaja

  Perkembanagan fisik yang menyangkut perkembangan seksual adalah pertumbuhan organ-organ genital yang ada baik di dalam maupun di luar badan sangat menentukan bagi perkembangan tingkah laku selanjutnya. Istilah tanda-tanda kelamin primer menunjuk pada organ badan yang langsung berhubungan dengan proses reproduksi. Pada anak perempuan hal ini adalah rahim dan saluran telur, vagina, bibir kemaluan, dan klitoris (Monks & Knoers, 2002). Petunjuk pertama bahwa mekanisme reproduksi pada anak perempuan menjadi matang adalah datangnya haid atau menarche. Ini adalah permulaan dari serangkaian pengeluaran darah, lender, dan jaringan sel yang hancur dari uterus secara berkala, yang akan terjadi kira-kira setiap 28 hari sampai menopause. Periode haid umumnya terjadi pada jangka waktu yang sangat tidak teratur dan lamanya berbeda- beda pada tahun-tahun pertama. Periode ini dikenal sebagai tahap kemandulan remaja (Hurlock, 2007).

  Tanda-tanda kelamin sekunder adalah tanda-tanda jasmaniyah yang tidak langsung berhubungan dengan proses reproduksi, namun merupakan tanda-tanda yang khas perempuan dan has laki-laki. Pertama kali yaitu rambut kemaluan, pada anak perempuan merupakan gambar segitiga dengan basis ke atas. Kemudian tanda kelamin sekunder yang paling penting pada wanita adalah tumbuhnya payudara dengan sedikit mencuatnya bagian punting susu. Hal ini terjadi pada usia antara 8-13 tahun. Baru pada stadium kemudian sebentar menjelang menarche maka jaringan pengikat disekitarnya mulai tumbuh hingga payudara mulai memperoleh bentuk yang dewasa (Monks & Knoers, 2002).

  Wiknjosastro (2005)menyatakan berdasarkan kematangan psikososial dan seksual, remaja akan melewati tahapan berikut : a) Masa remaja awal/dini (early adolence) umur 11-13 tahun

  Remaja awal dimulai kurang lebih antara usia 11 sampai 13 tahun (Wiknjosastro, 2005). Masa remaja awal kira-kira sama dengan masa sekolah menengah pertama dan mencangkup semua perubahan pubertas (Santrock, 2003).

  b) Masa remaja pertengahan (middleadolence) umur 14-16 tahun Minat pada karir, berpacaran, dan eksplorasi identitas seringkali lebih nyata dalam masa remaja akhir (Santrock, 2003). Terdapat pergerakan pasti menjauh dari keluarga. Hubungan seusia (Peer group) mendominsi di atas keluarga (Wiknjosastro, 2005). c) Masa remaja lanjut (lateadolence) umur 17-20 tahun Remaja akhir merupakan fase kematangan secara fisik. Kebanyakan remaja akhir mencapi body image yang stabil. Remaja akhir menjdi seseorang yang mandiri penuh sebagai warga negara yang produktif (Bopak, 2004).

B. Kecerdasan Emosional

  1. Pengertian Kecerdasan emosi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosi tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilih kepuasan, dan mengatur suasana hati (Goleman, 2000).

  Menurut Hapsariyanti (2006) kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam memahami, merasakan dan mengenali perasaan dirinya dan orang lain sehingga individu tersebut dapat mengendalikan perasaan yang ada dalam dirinya dan dapat memahami serta menjaga perasaan orang lain. Individu tersebut juga dapat memotivasi diri sendiri untuk menjadi pribadi yang lebih baik dalam kehidupan yang dijalani.

  Menurut Howes dan Herald (1999) dalam Mu‟tadin (2002) bahwa kecerdasan emosi sebagai komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi, lebih lanjut dikatakan bahwa emosi manusia berada di wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, akan menghadirkan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain.

  Salah satu faktor yang berpengaruh dalam belajar serta kesuksesan hidup adalah kecerdasan emosi, disamping adanya faktor yang berasal dari

  IQ. Para ahli psikologi mengatakan bahwa IQ hanya mempunyai peran 20% dalam menentukan keberhasilan hidup, sedangkan 80% sisanya ditentukan oleh faktor lain, diantara yang terpenting yaitu kecerdasan emosi. Goleman (2000) mengatakan bahwa kompetensi-kompetensi aktual yang mengantarkan kepada kesuksesan seseorang dalam pekerjaan apapun, membuktikan bahwa dalam menentukan prestasi puncak dalam pekerjaan IQ memang hanya menempati posisi kedua sesudah kecerdasan emosi (EQ).

  Kecerdasan emosi memang mempunyai perbedaan dengan kecerdasan spiritual (SQ), dan kecerdasan otak (IQ). Walaupun antara EQ, SQ, dan IQ mempunyai perbedaan tetapi ketiganya memiliki muatan yang sama penting untuk mensinergikan antara satu dengan lain.

  Keberadaan kecerdasan emosi (EQ) sangat diperlukan selain kecerdasan otak (IQ) dan kecerdsan spiritual (SQ). IQ yang merupakan kemampuan murni kognitif, relatif tidak dapat berubah sepanjang hidup manusia. Satiadarma (2003), mengemukakan bahwa Spiritual Quotien merupakan kesadaran dalam diri kita yang membuat kita menemukan dan mengembangkan bakat bawaan, intuisi, otoritas batin, kemampuan membedakan yang salah dan yang benar serta kebijaksanaan. Spiritual

  

Quotien (SQ) memberikan kemampuan untuk menemukan langkah yang

  lebih bermakna dan bernilai. Dengan demikian SQ merupakan landasan penting sehingga IQ dan EQ dapat berfungsi secara efektif. Goleman (2000) mengatakan bahwa kopetensi-kompetensi aktual yang mengantarkan kepada kesuksesan seseorang dalam pekerjaan apapun, membuktikan bahwa dalam menentukan prestasi puncak, dalam pekerjaan

  IQ memang hanya menempati posisi kedua sesudah kecerdasan emosi (EQ).

  2. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi Menurut Goleman (2000), aspek kecerdasan emosional terdiri dari lima, yaitu : a. Pengenalan diri (self-awareness).

  Mengenali perasaan sebagaimana yang terjadi adalah kunci dari kecerdasan emosi. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat individu berada dalam kekuasaan perasaan. Orang-orang yang memiliki keyakinan lebih tentang perasaannya dapat mengarahkan kehidupannya dengan lebih baik. Individu tersebut memiliki pengertian dan merasa mantap dalam mengambil keputusan terhadap kehidupan pribadinya, seperti dengan siapa akan menikah sampai ke pekerjaan apa yang akan dilakukan. b. Mengelola emosi atau pengendalian diri (self regulations) Mengelola perasaan secara tepat merupakan kemampuan yang diperlukan untuk mengendalikan diri. Orang-orang yang kurang dalam kemampuan ini terus menerus berada dalam perasaan menderita, sedangkan mereka yang dapat mengatasinya dapat merasa segar kembali jauh dari kemunduran dan ganggguan dalam kehidupan.

  c. Memotivasi diri sendiri (motivating ownself).

  Mengatur emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang mendasar untuk dapat memberikan perhatian, memotivasi diri dan menguasai diri, serta mengembangkan kreativitas. Orang-orang yang memiliki ketrampilan ini cenderung lebih produktif dan efektif dalam melakukan berbagai aktivitas.

  d. Mengenali emosi orang lain atau empati (empathy).

  Empati adalah dasar dari ketrampilan pribadi. Orang-orang yang empatik lebih peka dalam menangkap isyarat-isyarat sosial yang mengindikasikan apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh orang lain.

  e. Membina hubungan atau keterampilan sosial (sosial skills).

  Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan ketrampilan mengelola emosi orang lain. Orang-orang yang unggul dalam ketrampilan ini dapat melakukan segala sesuatu dengan baik. Mereka dapat melakukan interaksi dengan orang lain dengan lancar dalam pergaulan sosial.

  Dalam penelitian ini menggunakan lima aspek kecerdasan emosi menurut Goleman (2000) yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi atau pengendalian diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain atau empati, dan membina hubungan dengan orang.

  3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kecerdasan Emosi Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi menurut

  Goleman (2000) adalah:

  a. Lingkungan keluarga Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dalam mempelajari emosi, dan orang tualah yang sangat berperan.Anak mengidentifikasi perilaku orang tua kemudian diinternalisasikan akhirnya menjadi bagian dalam kepribadian anak. Kehidupan emosi yang dibangun di dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak, bagaimana anak dapat cerdas secara emosional.

  b. Lingkungan non keluarga Lingkungan yang dimaksud dalam hal ini adalah lingkungan masyarakat dan lingkungan pendidikan yang dianggap bertanggung jawab terhadap perkembangan kecerdasan emosi.Pergaulan dengan teman sebaya, guru, dan masyarakat luas.

  c. Otak Otak adalah organ yang penting dalam tubuh manusia, otaklah yang mempengaruhi dan mengontrol seluruh kerja tubuh, struktur otak manusia adalah sebagai berikut. 1) Korteks. Berfungsi membuat seseorang berada di puncak tangga evalusi. Memahami korteks dan perkembangan membantu individu menghayati mengapa sebagian individu sangat cerdas sedangkan yang lain sulit belajar. Korteks berperan penting dalam memahami kecerdasan emosi serta dalam memahami sesuatu secara mendalam, menganalisis mengapa kita mengalami perasaan tertentu, selanjutnya berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Korteks khususnya lobus frontalis dapat bertindak sebagai saklar peredam yang memberi arti terhadap situasi emosi sebelum berbuat sesuatu.

  2) Sistem Limbik. Bagian ini sering disebut sebagai bagian emosi yang letaknya jauh dalam hemisfer otak besar terutama bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan impuls. Sistem limbik meliputi hippocampus, tempat berlangsungnya proses pembelajaran emosi. Selain itu ada amigdala yang dipandang sebagai pusat pengendalian emosi pada otak.

  Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi menurut Hurlock (2004) adalah: a. Faktor kematangan

  Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan untuk memahami makna yang sebelumnya tidak dimengerti, memperhatikan satu rangsangan dalam jangka yang lebih lama dan memutuskan ketegangan emosi pada satu objek. Kemampuan mengingat dan menduga mempengaruhi emosi, sehingga seseorang menjadi reaktif terhadap rangsangan yang semula tidak mempengaruhi dirinya.

  Perkembangan kelenjar endokrin penting untuk mematangkan perilaku emosional, dan kelenjar adrenalin memainkan peran utama pada emosi. Faktor ini dapat dikendalikan dengan memelihara kesehatan fisik dan keseimbangan tubuh.

  b. Faktor belajar Faktor ini lebih penting karena merupakan faktor yang mudah dikendalikan. Cara mengendalikan lingkungan untuk menjamin pembinaan pola emosi yang diinginkan dan menghasilkan pola reaksi emosional yang tidak diinginkan merupakan pola belajar yang positif sekaligus tindakan preventif. Makin bertambahnya usia makin sulit mengubah pola reaksi. Ada lima jenis belajar yang turut menunjang pola perkembangan emosi yaitu belajar coba ralat, belajar dengan cara meniru, belajar dengan cara identifikasi, belajar melalui pengkodisian, dan pelatihan.

  Walgito (1997) membagi faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi menjadi dua yaitu : a. Faktor internal.

  Faktor internal adalah apa yang ada dalam diri individu yang mempengaruhi kecerdasan emosinya. Faktor internal ini memiliki dua sumber yaitu segi jasmani dan segi psikologis.Segi jasmani adalah faktor fisik dan kesehatan individu, apabila fisik dan kesehatan seseorang terganggu dapat dimungkinkan mempengaruhi kecerdasan emosinya. Segi psikologis mencakup didalamnya pengalaman, perasaan, kemampuan berpikir dan motivasi. b. Faktor Eksternal.

  Faktor eksternal adalah stimulus dan lingkungan dimana kecerdasan emosi berlangsung. Faktor eksternal meliputi : stimulus dan lingkungan atau situasi khususnya yang melatarbelakangi proses terbentuknya kecerdasan emosi.

  Segal (1987 dalam Helmi, 2004) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi pada remaja meliputi pengalaman romantis, kehidupan spiritual, lingkungan masyarakat, dan lingkungan keluarga.

  Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hapsariyanti (2006) faktor- faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi individu antara lain : a. Lingkungan keluarga

  Hubungan orang tua dengan anak menjadi faktor yang tidak sedikit pengaruhnya terhadap perkembangan anak pada umumnya demikian juga perkembangan kecerdasan emosi pada khususnya.

  b. Konsep diri (self concept) Konsep diri juga dipengaruhi oleh situasi lingkungan keluarga, khususnya suasana hubungan antara orang tua dengan remaja. Remaja yang memiliki konsep diri yang baik (sesuai dengan kenyataan dirinya) akan dapat memahami dan menerima perasaan-perasaan atau emosi yang dialami remaja ketika berinteraksi dengan lingkungannya. Apabila konsep diri individu tidak sesuai dengan yang diharapkannya akan menimbulkan perasaan negatif baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungan sekitarnya. Perasaan negatif tersebut dapat menyebabkan individu mengalami hambatan dalam mengelola perasaan atau emosi yang dialaminya.

  Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi adalah faktor lingkungan keluarga, faktor non keluarga, otak, kematangan, faktor belajar, dan konsep diri, faktor internal, eksternal, pengalaman romantis, dan kehidupan spiritual.

  4. Perkembangan Emosi pada Remaja Masa remaja merupakan masa transisi yaitu peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Monks (2004) menyatakan pada masa remaja (usia 12 sampai 21 tahun) terdapat beberapa fase, yaitu : fase remaja awal (usia 12 tahun sampai dengan 15 tahun), remaja pertengahan (usia 15 tahun sampai dengan 18 tahun), masa remaja akhir (usia 18 sampai 21 tahun). Remaja mengalami perubahan dalam sistem kerja hormon di dalam tubuhnya dan hal ini memberi dampak, baik berupa bentuk fisik (terutama organ-organ seksual) dan psikis terutama emosi.

  Perkembangan emosi pada remaja tidak terlepas dari perkembangan fisik, psikis, sosial, dan kepribadian. Hal tersebut merupakan satu kesatuan yang terjadi secara hampir bersamaan dan saling berhubungan antara satu dan lainnya. Santrock (2003) menjelaskan ada beberapa hal yang menjadi ciri perkembangan pada diri remaja yaitu :

  a. Identitas diri Remaja memiliki pemikiran tentang siapakah diri mereka dan apa yang membuat mereka berbeda dari orang lain. Mereka memegang erat identitas dirinya dan berpikir bahwa identitas dirinya tersebut bisa menjadi lebih stabil. Menurut Erikson (1997 dalam Santrock, 2003) para remaja berusaha untuk menemukan siapakah mereka sebenarnya, apa saja yang ada dalam diri mereka, dan arah mereka dalam menjalani hidup. Ketika remaja mengekplorasi dan mencari identitas, remaja seringkali bereksperimen dengan peran-peran yang berbeda. Remaja yang berhasil menghadapi identitas-identitas yang saling bertentangan akan mendapatkan pemikiran yang baru dan dapat diterima mengenai dirinya, sedangkan remaja yang tidak berhasil menyelesaikan krisis identitasnya akan mengalami kebimbangan identitas.

  b. Gender Hipotesis identifikasi gender menyatakan bahwa perbedaan psikologis dan tingkah laku di antara laki-laki dan perempuan meningkat selama masa remaja awal dikarenakan adanya peningkatan tekanan-tekanan sosialisasi masyarakat untuk menyesuaikan diri pada peran gender maskulin dan feminin yang tradisional. Peran pubertas pada intensifikasi gender bisa merupakan suatu tanda untuk mensosialisasikan diri dengan orang lain, misalnya : orang tua, kelompok sebaya, dan guru dimana para remaja mulai memasuki masa dewasa dan oleh karena itu harus mulai banyak bersikap sesuai dengan stereotipe perempuan dan laki-laki dewasa. Stereotipe yang beredar di masyarakat adalah bahwa perempuan itu lebih emosional, penuh perasaan, sedangkan laki-laki tidak (Santrock, 2003). c. Seksualitas Selama masa remaja, kehidupan remaja dihiasi oleh problem seksualitas. Masa remaja adalah waktu untuk penjelajahan dan eksperimen, fantasi seksual, dan kenyataan seksual untuk menjadikan seksualitas sebagai bagian dari identitas seseorang. Remaja memiliki keingintahuan yang tidak pernah terpuaskan. Mereka berpikir apakah mereka menarik secara seksual, apakah mereka akan tumbuh lagi, apakah orang lain akan mencintai mereka, dan apakah berhubungan seks adalah hal yang normal. Kebanyakan remaja secara bertahap berhasil membentuk identitas seksual yang matang, tapi sebagian besar diantara mereka melalui masa-masa yang rawan dan penuh kebingungan sepanjang perjalanan seksual mereka (Santrock, 2003).

  d. Perkembangan moral Perkembangan moral berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan remaja dalam interaksinya dengan orang lain. Ketika remaja mendapatkan penguatan untuk melakukan suatu tingkah laku yang sesuai dengan hukum dan konvensi sosial mereka cenderung untuk mengulang tingkah laku tersebut. Ketika mereka dihadapkan pada model yang bertingkah laku baik, para remaja pun cenderung meniru tingkah laku tersebut. Ketika remaja dihukum karena tingkah laku yang tidak bermoral atau tidak dapat diterima, tingkah laku ini dapat dihilangkan, namun memberikan sanksi berupa hukuman dapat mengakibatkan efek samping emosional pada remaja (Santrock, 2003).

  e. Prestasi Tekanan sosial dan akademis mendorong remaja kepada beragam peran yang harus mereka bawakan, peran yang seringkali menuntut tanggung jawab yang lebih besar. Prestasi menjadi hal yang sangat penting bagi remaja, dan remaja mulai menyadari bahwa pada saat inilah mereka dituntut untuk menghadapi kehidupan mereka nanti sebagai orang dewasa. Dihadapkan dengan berbagai tekanan di berbagai bidang kehidupan remaja, dapat menimbulkan permasalahan tersendiri bagi remaja. Remaja diharapkan mampu meninggalkan kebiasaan-kebiasaan, tingkah laku dan sikap kekanak-kanakan agar dapat belajar untuk bertingkah laku dan bersikap lebih dewasa. Masa remaja juga sering dianggap sebagai periode ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar.

  Hurlock (2003) mengatakan, meningginya emosi terutama karena remaja berada di bawah tekanan sosial dalam menghadapi kondisi baru, karena selama masa kanak-kanak ia kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan tersebut.

  Santrock (2003) mengatakan, bahwa masa remaja biasanya memiliki energi yang besar, emosi berkobar-kobar, sedangkan pengendalian diri belum sempurna. Remaja juga sering mengalami perasaan tidak aman, tidak tenang, dan khawatir kesepian.

  Monks (2001) berpendapat, dalam masa remaja umumnya terjadi pertentangan batin dalam diri remaja. Di satu pihak remaja memiliki keinginan bebas dari kekuasaan, melepaskan diri dari orangtua, mempunyai rasa ingin tahu, mencari dan menemukan identitas dirinya, sementara di sisi lain remaja masih membutuhkan kehadiran orang lain khususnya orang tua yang dapat memberikan bimbingan, arahan, dukungan, dan kasih sayangnya dalam proses perubahan pola perilaku yang dialami remaja dari masa kanak-kanak menuju dewasa.

  Tanggung jawab hidup remaja yang semakin meningkat, menjadi masalah tersendiri bagi remaja karena tuntutan peningkatan tanggung jawab tidak hanya datang dari orang tua atau keluarga, tetapi juga dari masyarakat sekitar. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah (Hurlock, 2003).

  Lewin (1996) dalam Sarwono (2004) menggambarkan keadaan perkembangan emosi pada remaja, yaitu : a. Pemalu dan perasa, tetapi sekaligus juga cepat marah dan agresif sehubungan belum jelasnya batas-batas antara berbagai sektor di lapangan psikologik remaja.

  b. Ketidakjelasan batas-batas tersebut menyebabkan pula remaja terus- menerus merasakan pertentangan antara sikap, nilai, ideologi, dan gaya hidup. Konflik ini dipertajam dengan keadaan diri remaja yang berada diambang peralihan antara masa anak-anak dan dewasa, sehingga remaja dapat disebut manusia „marginal‟.

  c. Konflik sikap, nilai, dan ideologis muncul dalam bentuk ketergantungan emosi yang meningkat.

  d. Ada kecenderungan pada remaja untuk mengambil posisi yang sangat ekstrim dan mengubah kelakuannya secara drastis, akibatnya sering muncul tingkah laku radikal dan memberontak dikalangan remaja.

  e. Bentuk-bentuk khusus dari tingkah laku remaja akan ditentukan oleh sifat dan kekuatan dorongan-dorongan yang saling berkonflik.

  5. Kecerdasan emosional pada Remaja Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam memotifasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan yang berakibat pada frustasi, mengendalikan emosi atau dorongan hati, tidak melebih- lebihkan kesenangan dan menjaga beban stres agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, atau bisa merasakan perasaan yang sedang dirasakan orang lain (empati), dapat mengadakan hubungan baik dengan orang lain (Goleman, 2000).

  Ketrampilan sosial dan emosi merupakan bagian dari kecerdasan emosional mempunyai manfaat yang luas bagi tingkah laku, pola berfikir remaja dilingkungan masyarakat ataupun disekolah agar mencapai hasil prestasi yang baik.

  Menurut Goleman (2000) bentuk-bentuk ketrampilan sosial dan emosional yang harus dimiliki remaja antara lain sebagai berikut :

  1) Dapat mengelola emosi dengan baik.

  Contoh : a. Dapat lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa.

  b. Lebih mampu mengungkapkan amarah dengan tepat tanpa berkelahi.

  c. Berkurangnya perilaku negatif dan merusak diri sendiri.

  d. Berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan.

  e. Berkurangnya perkelahian dan gangguan di sekolah.

  f. Perasaan yang positif terhadap diri sendiri, sekolah dan keluarga.

  2) Mampu memanfaatkan emosi dengan baik.

  Contoh : a. Mampu bertanggungjawab kepada diri sendiri.

  b. Mampu memusatkan perhatian kepada tugas.

  c. Nilai pada tes-tes prestasi semakin meningkat.

  d. Kurangnya impulsif dan lebih mampu menguasai diri. 3) Dapat membina hubungan baik dengan orang lain.

  Contoh :

  a. Meningkatkan kemampuan menganalisis dan memahami hubungan.

  b. Mampu dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan persengketaan.

  c. Mampu dan terampil dalam berkomunikasi. d. Mudah bergaul, bersahabat, dan terlibat dengan teman sebaya.

  e. Mampu memikirkan kepentingan kelompok dan selaras dalam kelompok.

  f. Lebih suka bekerja sama dan menolong. 4) Dapat membaca emosi orang lain.

  Contoh : a. Mampu menerima sudut pandang orang lain.

  b. Memperbaiki empati dan kepekaan terhadap perasaan orang lain.

  c. Mampu mendengarkan pendapat orang lain serta maksud yang tersirat.

  5) Memiliki kesadaran diri.

  Contoh : a. Mengenali dan merasakan emosi sendiri.

  b. Lebih mampu memahami penyebab timbulnya perasaan.

  c. Mengenali perbedaan perasaan dan tindakan.

C. Persepsi

  1. Pengertian Menurut Budirahayu (2003), persepsi merupakan penafsiran terhadap stimulus yang terorganisir yang mempengaruhi sikap dan perilaku. Persepsi merupakan bagian yang penting bagi seseorang dalam mengambil keputusan. Persepsi seseorang terhadap suatu objek akan menentukan tindakan yang akan dilakukan terhadap objek yang bersangkutan. Bentuk atau sifat tindakannya tergantung dari keadaan individu yang mengamati dan mengiterpretasi. Menurut Wardoyo (2002), persepsi merupakan aktivitas yang integrated, maka seluruh apa yang ada dalam individu seperti penilaian, pengalaman, keyakinan, dan sikap- sikap yang lain yang ada dalam diri individu akan ikut berperan dalam individu tersebut. Berdasarkan hal tersebut dapat di kemukakan bahwa dalam persepsi itu sekalipun stimulusnya sama tetapi hasil dari setiap individu dapat berbeda. Keadaan tersebut memberikan gambaran bahwa persepsi persepsi bersifat individu.

  Dari pengertian persepsi dapat disimpulkan, Persepsi merupakan penafsiran terhadap stimulus terorganisir yang mempengaruhi sikap dan prilaku.Persepsi merupakan bagian dari seseorang untuk mengambil keputusan terhadap objek di mana menentukan bentuk atau sifat tindakannya tergantung dari keadaan individu yang mengamati dan mengiterpretasi (Budirahayu, 2003).

  Menurut Slamet (2003) persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia. Melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu indera penglihat, pendengar, peraba, perasa dan pencium. Persepsi sebagai apa yang ingin dilihat oleh seseorang yang belum tentu sama dengan fakta yang sebenarnya, dan inilah yang menyebabkan timbulnya interprestasi berbeda tentang apa yang dilihat dan dialami oleh dua orang yang mengalami hal yang sama. Menurut Rakhmat (2004) persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan melampirkan pesan.

  Penelitian yang dilakukan Lisa Puspitasari (2010), menyatakan bahwa persepsi dapat mempengaruhi pola asuh orang tua terhadap anak.

  Dalam penelitian ini juga disebutkan bahwa persepsi remaja dapat mempengaruhi kecerdasan emosional pada remaja. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa persepsi remaja mempunyai hubungan positif dengan pola asuh orang tua yang akan mengakibatkan perubahan pada kecerdasan emosional individu.

  2. Macam-macam persepsi dan proses terjadinya persepsi Sunaryo (2002) menyatakan ada dua macam persepsi, yaitu

  

External Perception dan Internal Percepcion. External Perception adalah

  persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang datang dari luar individu. Sedangkan Internal Preception adalah persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang berasal dari dalam individu. Dalam hal ini yang menjadi objek adalah dirinya sendiri. Dengan persepsi individu dapat menyadari dan dapat mengerti tentang keadaan lingkungan yang ada di sekitarnya maupun tentang keadaan diri individu yang bersangkutan (internal preception). Alat penghubung antara individu dengan dunia luar adalah indra. Persepsi merupakan suatu proses yang didahului pengindraan, yaitu dengan diterimanya stimulus oleh reseptor, diteruskan ke otak atau pusat saraf yang diorganisasikan dan diinterprestasikan sebagai proses psikologis. Akhirnya individu menyadari tentang apa yang dilihat dan didengarkan (Sunaryo, 2002) Sobur (2003) menyatakan tingkah laku seseorang merupakan fungsi dari cara dia memandang. Oleh karena itu, untuk mengubah tingkah laku seseorang, harus dimulai dari mengubah persepsinya. Dalam proses persepsi, terdapat tiga komponen utama yaitu : Pertama seleksi adalah proses penyaringan oleh indera terhadap rangsangan dari luar, intensitas dan jenisnya dapat banyak atau sedikit.

  Kedua interprestasi, yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Interprestasi dipengaruhi berbagai faktor, seperti pengalaman masa lalu, sitem nilai yang dianut, motivasi, kepribadian, dan kecerdasan. Interprestasi juga tergantung pada kemampuan seseorang untuk mengadakan pengategorian informasi yang diterimanya, yaitu proses mereduksi informasi yang kompleks menjadi sederhana. Ketiga interprestasi dan presepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku sebagai reaksi.

  3. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi Sobur (2003) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi adalah : a. Seleksi yaitu proses penjaringan oleh indra terhadap rangsangan dari luar, intensitas dan jenisnya. b. Interpretasi yaitu proses mengorganisasikan informasi atau objek sehingga mempunyai arti bagi seseorang, kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku.

  Wijaya (2000) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi adalah : a. Lingkungan meliputi (warna, bunyi, sinar, ekonomi, sosial, politik), faktor ini mempengaruhi seseorang dalam menafsirkan atau menerima rangsang.

  b. Konsepsi adalah pendapat dan teori seseorang dengan segala keindahannya.

  c. Faktor yang berkaitan dengan konsep seseorang tentang dirinya sehingga akan mempunyai sebuah keyakinan bahwa bentuk dan sifat rangsangan berdasarkan penilaian pribadi.

  d. Faktor yang berkaitan dengan motif dan tujuan individu untuk menafsirkan suatu rangsang.

  e. Faktor pengalaman masa lampau.

  Walgito (1997) mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi adalah : a. Keadaan stimulus, berujud manusia yang akan dipersepsi

  b. Situasi atau keadaan sosial yang melatarbelakangi stimulus

  c. Keadaan orang yang mempersepsi

D. Stres

  1. Pengertian Stres adalah reaksi/respons tubuh terhadap stresor psikososial

  (tekanan mental/beban kehidupan). Stres dewasa ini digunakan secara bergantian untuk menjelaskan berbagai stimulus dengan intensitas berlebihan yang tidak disukai berupa respons fisiologis, perilaku dan subjektif terhadap stresor, konteks yang menjembatani pertemuan antara individu dengan stimulus yang membuat stres, semua sebagai suatu sistem (Hidayah, 2007).

  Hawari (2001) dalam Sriati (2008) mengatakan bahwa stres menurut Hans Selye merupakan respon tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Stresor psikososial adalah setiap keadaan/peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga seseorang itu terpaksa mengadakan adaptasi/penyesuaian diri untuk menanggulanginya. Namun, tidak semua orang mampu melakukan adaptasi dan mengatasi stresor tersebut, sehingga timbulah keluhan-keluhan antara lain stres (Sriati, 2008).

  2. Gejala Stres Berikut ini adalah gejala-gejala psikologis stres : kecemasan, ketegangan, kebingungan dan mudah tersinggung, perasaan frustasi, rasa marah, dan dendam (kebencian), sensitif dan hyperactivity, memendam perasaan, penarikan diri depresi, komunikasi yang tidak efektif, perasaan terkucil dan terasing, kebosanan dan ketidakpuasan kerja, kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual, dan kehilangan konsentrasi, kehilangan spontanitas dan kreativitas serta menurunnya rasa percaya diri.

  Gejala-gejala perilaku dari stres adalah : menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan, menurunnya prestasi (performance) dan produktivitas, meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat- obatan, perilaku sabotaj dalam pekerjaan, perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan), mengarah ke obesitas, perilaku makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai bentuk penarikan diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba, kemungkinan berkombinasi dengan tanda-tanda depresi, meningkatnya kecenderungan berperilaku beresiko tinggi, seperti menyetir dengan tidak hati-hati dan berjudi, meningkatnya agresifitas, vandalisme, dan kriminalitas, menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman serta kecenderungan untuk melakuka n bunuh diri.

  Pengalaman stres sangat individual. Stres yang luar biasa untuk satu orang tidak semestinya dianggap sebagai stres oleh yang lain.

  Demikian pula, gejala dan tanda-tanda stres akan berbeda pada setiap individu (AAT Sriati, 2007).

  3. Sumber Stres (Stresor) Stresor adalah semua kondisi stimulasi yang berbahaya dan menghasilkan reaksi stres, misalnya jumlah semua respons fisiologis nonspesifik yang menyebabkan kerusakan dalam sistem biologis. Stres

  reaction acute (reaksi stres akut) adalah gangguan sementara yang

  muncul pada seorang individu tanpa adanya gangguan mental lain yang jelas, terjadi akibat stres fisik dan atau mental yang sangat berat, biasanya mereda dalam beberapa jam atau hari (Hidayah, 2007).

  Kerentanan dan kemampuan koping (coping capacity) seseorang memainkan peranan dalam terjadinya reaksi stres akut dan keparahannya.

  Jenis stresor meliputi fisik, psikologis, dan sosial. Stresor fisik berasal dari luar diri individu, seperti suara, polusi, radiasi, suhu udara, makanan, zat kimia, trauma, dan latihan fisik yang terpaksa (Hidayah, 2007).

  Pada stresor psikologis tekanan dari dalam diri individu biasanya yang bersifat negatif yang menimbulkan frustasi, kecemasan, rasa bersalah, khawatir berlebihan, marah, benci, sedih, cemburu, rasa kasihan pada diri sendiri, serta rasa rendah diri, sedangkan stresor sosial yaitu tekanan dari luar disebabkan oleh interaksi individu dengan lingkungannya. Banyak stresor sosial yang bersifat traumatik yang tak dapat dihindari, seperti kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, pensiun, perceraian, masalah keuangan, pindah rumah dan lain-lain (Hawari, 2001).

  Papero (1997) dalam Sriati (2008) menyatakan ada empat variabel psikologik yang dianggap mempengaruhi mekanisme respon stres : a. Kontrol : keyakinan bahwa seseorang memiliki kontrol terhadap stresor yang mengurangi intensitas respons stres. b. Prediktabilitas : stresor yang dapat diprediksi menimbulkan respons stres yang tidak begitu berat dibandingkan stresor yang tidak dapat diprediksi.

  c. Persepsi : pandangan individu tentang dunia dan persepsi stresor saat ini dapat meningkatkan atau menurunkan intensitas respons stres.

  d. Respons koping : ketersediaan dan efektivitas mekanisme mengikat ansietas dapat menambah atau mengurangi respons stres (Sriati, 2008).

  4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres Kondisi-kondisi yang cenderung menyebabkan stres disebut stresors. Meskipun stres dapat diakibatkan oleh hanya satu stresors, biasanya karyawan mengalami stres karena kombinasi stresors. Menurut Robbins (2001) ada tiga sumber utama yang dapat menyebabkan timbulnya stres pada keluarga terhadap anak remaja yaitu :

  (1) Faktor Lingkungan Keadaan lingkungan yang tidak menentu akan dapat menyebabkan pengaruh pembentukan struktur organisasi yang tidak sehat terhadap anak remaja.Dalam faktor lingkungan terdapat tiga hal yang dapat menimbulkan stres bagi keluarga yaitu ekonomi, teman sebaya dan teknologi. Perubahan yang sangat cepat karena adanya penyesuaian terhadap ketiga hal tersebut membuat seseorang mengalami ancaman terkena stres.Hal ini dapat terjadi, misalnya teman sebaya yang lebih mapan yang mampu membeli tegnologi yang lebih baik seperti handphone membuat kecemburuan sosial pada diri remaja kemudian meminta kepada orang tuanya yang memiliki ekonomi yang rendah dan memberikan efek stres yang luar biasa pula kepada orang tua. (2) Faktor Organisasi

  Didalam organisasi terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan stres yaitu role demands, interpersonal demands, organizational structure dan organizational leadership. Pengertian dari masing-masing faktor organisasi tersebut adalah sebagai berikut : a. Role Demands

  Robbins (2001) mengatakan peraturan dan tuntutan dalam pekerjaan yang tidak jelas dalam suatu organisasi akan mempengaruhi peranan orang tua untuk memberikan hasil akhir yang ingin dicapai bersama dalam suatu organisasi di dalam keluarga.

  b. Interpersonal Demands Mendefinisikan tekanan yang diciptakan oleh keluarga lainnya dalam organisasi. Hubungan komunikasi yang tidak jelas antara orang tua dengan anak remaja akan dapat menyebabkan komunikasi yang tidak sehat. Sehingga pemenuhan kebutuhan dalam organisasi terutama yang berkaitan dengan kehidupan sosial akan menghambat perkembangan sikap dan pemikiran antara anak remaja dengan teman sebayanya. c. Organizational Structure Mendefinisikan tingkat perbedaan dalam organisasi dimana keputusan tersebut dibuat dan jika terjadi ketidak jelasan dalam struktur pembuat keputusan atau peraturan maka akan dapat mempengaruhi anak remaja dalam organisasi.

  d. Organizational Leadership Berkaitan dengan peran yang akan dilakukan oleh seorang pimpinan atau ayah dalam suatu organisasi. Karakteristik pemimpin menurut The Michigan group Robbins (2001) dibagi dua yaitu karakteristik pemimpin yang lebih mengutamakan atau menekankan pada hubungan yang secara langsung antara pemimpin keluarga dengan anggota keluarga serta karakteristik pemimpin yang hanya mengutamakan atau menekankan pada hal pekerjaan saja. Empat faktor organisasi di atas juga akan menjadi batasan dalam mengukur tingginya tingkat stres. Pengertian dari tingkat stres itu sendiri adalah muncul dari adanya kondisi-kondisi suatu keluarga atau masalah yang timbul yang tidak diinginkan oleh individu dalam mencapai suatu kesempatan, batasan-batasan, atau permintaan- permintaan dimana semuanya itu berhubungan dengan keinginannya dan dimana hasilnya diterima sebagai sesuatu yang tidak pasti tapi penting.

  (3) Faktor Individu Pada dasarnya, faktor yang terkait dalam hal ini muncul dari dalam keluarga, masalah pribadi dan karakteristik pribadi dari keturunan.

  Hubungan pribadi antar keluarga yang kurang baik akan menimbulkan akibat pada keluarga yang kurang harmonis akibat tersebut dapat terbawa dalam lingkungan tempat anak remaja bergaul. Karakteristik pribadi dari keturunan bagi tiap individu yang dapat menimbulkan stres terletak pada watak dasar alami yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Sehingga untuk itu, gejala stres yang timbul pada tiap-tiap pekerjaan harus diatur dengan benar dalam kepribadian seseorang.

  5. Stres pada remaja Menurut Windle & Mason (2004) ada empat faktor yang dapat membuat remaja menjadi stres, yaitu penggunaan obat-obat terlarang, kenakalan remaja, pengaruh negative dan masalah akademis.

  Garfinkel (dalam Walker, 2002) mengatakan secara umum penyebab stres pada remaja adalah : 1) Putus dengan pacar 2) Perbedaan pendapat dengan orang tua 3) Bertengkar dengan saudara perempuan dan laki-laki 4) Perbedaan pendapat antara orang tua 5) Perubahan status ekonomi pada orang tua 6) Sakit yang diderita oleh anggota keluarga

  7) Masalah dengan teman sebaya 8) Masalah dengan orang tua

  Menurut Walker (2002), ada tiga faktor yang dapat menyebabkan remaja menjadi stres, yaitu : 1) Faktor biologis, yaitu : a. Sejarah depresi dan bunuh diri di dalam keluarga.

  b. Penggunaan alcohol dan obat-obat di dalam keluarga.

  c. Siksaan secara seksual dan fisik di dalam keluarga.

  d. Penyakit yang serius yang diderita remaja atau anggota keluarga.

  e. Sejarah keluarga atau individu dari kelainan psikiatris seperti kelainan makanan, skozoprenia, manik depresif, gangguan perilaku dan kejahatan.

  f. Kematian salah satu anggota keluarga.

  g. Ketidakmampuan belajar atau ketidakmampuan mental atau fisik.

  h. Perceraian orang tua. i. Konflik dalam keluarga. 2) Faktor kepribadian, yaitu :

  a. Tingkah laku impulsive, obsesif dan ketakutan yang tidak nyata.

  b. Tingkah laku agresif dan antisosial.

  c. Penggunaan dan ketergantungan obat terlarang. d. Hubungan sosial yang buruk dengan orang lain, menyalahkan diri sendiri dan merasa bersalah.

  e. Masalah dengan tidur atau makan. 3) Fakror psikologis dan sosial, yaitu :

  a. Kehilangan orang yang dicintai, seperti kematian teman atau anggota keluarga, putus cinta, kepindahan teman dekat atau keluarga.

  b. Tidak dapat memenuhi harapan orang tua seperti kegagalan dalam mencapai tujuan, tinggal kelas dan penolakan sosial.

  c. Tidak dapat menyelesaikan konflik dengan anggota keluarga, teman sebaya, guru, pelatih, yang dapat mengakibatkan kemarahan, frustasi dan penolakan.

  d. Pengalaman yang dapat membuatnya merasa rendah diri dapat mengakibatkan remaja kehilangan harga diri atau penolakan.

  e. Pengalaman buruk seperti hamil atau masalah keuangan.