EKSISTENSI BAKUL SEMANGGI GENDONG (Studi Tentang Kelembagaan Ekonomi Keluarga Dan Migrasi Khas Bakul Semanggi Gendong Di Kota Surabaya) Repository - UNAIR REPOSITORY

  semanggi gendong yang menjajakan semanggi dengan bermigrasi sirkuler ke Kota Surabaya, serta maknanya.

A. Eksistensi Bakul Semanggi Gendong

  Berdasarkan tabel tentang kharakteristik bakul semanggi gendong pada bab IV di muka, dapat disimpulkan bahwa bakul semanggi gendong di kota Surabaya memiliki ciri-ciri: 1). Seorang perempuan kategori setengah tua dan tua dengan pengalaman puluhan tahun, 2) Tingkat pendidikannya rendah, 3).Tingkat pendapatan tinggi jika dibandingkan dengan UMK Kota Surabaya, 4).Pengalaman diperoleh dari budaya genetik atau turun temurun, dan 5).

  Menjajakan ke Surabaya dengan bermigrasi sirkuler Di samping karakteristik tersebut, bakul semanggi gendong Surabaya memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh pedagang atau bakul yang lain. Ciri-ciri khas tersebut di antaranya: 1). Tradisional, baik dari bakul semanggi sendiri, seperti cara berpakaian, dagangan yang dijual, kemasannya, sampai pada cara memasarkannya. 2). Hanya dilakukan oleh perempuan, 3).Berasal dari satu lokasi tempat asal yang sama, 4)bermigrasi sirkuler hanya ke kota Surabaya, 5). Cara menjualnya digendong, berjalan kaki, berkeliling ke kampung-kampung di kota Surabaya, dan 6). Mempunyai pelanggan yang khas, orang tua.

  Selain krakteristik dan ciri-ciri khas yang telah dijelaskan tersebut, bakul semanggi gendong juga memberikan makna kepada diri merka sendiri tentang eksistensinya. Dari hasil wawancara mendalam dengan 9 (sembilan) subyek bakul semanggi gendong, didapatkan data yang disajikan pada tabel berikut ini :

  Tabel 9 : Makna Bakul Semanggi Gendong Berdasarkan penjelasan dan tabel 9 tersebut di atas bahwa proses mental yang dialami oleh bakul semanggi gendong Surabaya adalah melalui proses interpretasi dari bakul semanggi gendong sebelumnya dan merupakan hasil dari proses belajar, dengan memahami kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah tradisi genetik, yaitu turun-temurun yang melekat secara melembaga dalam lingkungan keluarga bakul semanggi gendong sendiri. Atas dasar pelembagaan inilah memaksa orang-orang di lingkungan keluarga yang terlahir dari bakul semanggi gendong juga harus melanjutkan tradisi generasi di atasnya yang menjadi bakul semanggi gendong Surabaya.

  Selain faktor tradisi turun-temurun, terdapat faktor-faktor lain yang ikut mengantarkan individu-individu tersebut menjadi bakul semanggi gendong, diantaranya adalah pendidikan yang rendah, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki terbatas, pengalaman yang cukup, faktor lingkungan alam sekitar yang mendukung, serta pelanggan yang setia di kota Surabaya.

  Sebagai sebuah warisan budaya yang tentunya sarat dengan nilai-nilai social capital, keberadaan bakul semanggi gendong sangat baik jika dianalisis dengan beberapa pendekatan teoritis khususnya dalam lingkup kajian ilmu sosial. Satu di antaranya adalah penulis meminjam logika berpikirnya teori Embedednes dari Granovetter tentang keterlekatan.

  Sebagai sebuah realita sosial, bakul semanggi gendong hadir dengan segala unsur yang menjadi bagian hidup mereka. Singkatnya, dapat ditarik sebuah benang merah bahwa bakul semanggi gendong merupakan satu kesatuan yang lahir dengan identitas budaya tersendiri yang menjadi ciri khas masyarakat Kendung.

  Bicara tentang keterlekatan bakul semanggi gendong dibandingkan dengan

  

embedednes- nya Granovetter yang mengedepankan tentang jaringan, maka embedednes bakul

  semanggi gendong ternyata tidak hanya jaringan, namun banyak faktor seperti yang sudah dijabarkan di muka tentang ciri-ciri khas bakul semanggi gendong. Dengan demikian, keterlekatan pelembagaan yang terjadi pada bakul semanggi gendong akan melengkapi dan menambahkan unsur-unsur keterlekatan yang telah ditemukan oleh Granovetter sebelumnya.

  Selain itu pula, yang membedakan antara keterlekatan Granovetter dengan bakul semanggi gendong adalah struktur masyarakatnya. Keterlekatan Granovetter terjadi pada struktur masyarakat yang sudah modern, sedang keterlekatan bakul semanggi gendong pada struktur masyarakat tradisional.

  Terdapat perbedaan pula keterlekatan antara bakul semanggi gendong dengan Granovetter, khususnya tentang jaringan untuk bermigrasi. Pada teori Granovetter, bermigrasi banyak dilakukan karena ada keterlekatan dengan keluarga dekat atau teman yang dekat, namun pada bakul semanggi gendong, bermigrasi dilakukan bukan karena ada hubungan atau kedekatan dengan keluarga atau teman dekat, tetapi karena keterlekatannya dengan pelanggan.

  Jika ditarik kembali ke akar permasalahan yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini adalah bakul semanggi gendong, disadari atau tidak, bakul semanggi gendong hadir dengan berbagai khazanah kebudayaan yang menjadi bagian terpenting dalam kehidupan mereka.

  Kebudayaan dipahami sebagai segala sesuatu yang terdiri atas berbagai komponen yang saling terkait yang menjadi bagian dari sistem budaya masyarakat. Salah satu hal yang bisa kita temukan pada bakul semanggi gendong adalah eksistensi dan konsistennya dalam mempertahankan tradisi menjadi bakul semanggi gendong di tengah maraknya budaya kuliner modern dan kuliner tradisional yang semakin bervariasi. Hal itu tercermin dari fenomena bakul semanggi gendong yang dilakukan demi melanggengkan sebuah tradisi yang telah dijunjung tinggi secara turun-temurun.

  Sementara itu pula dikemukakan oleh pakar budaya, Koentjaraningrat yang dilansir dari sebuah tulisannya, yaitu : “Tradisi budaya tampak dalam adat-istiadat yang dianut oleh kelompok masyarakat. Tradisi budaya menampilkan akumulasi keputusan-keputusan yang tergabung melalui proses historis dari anggota masyarakat. Akumulasi keputusan-keputusan itu menyangkut pengertian tentang sifat-sifat kelompok kebudayaan material, kewajaran dan keinginan untuk bertingkah laku, suasana dari tingkah laku tersebut” (Soraya, 2009: 7).

  Kutipan tersebut sekali lagi memberi gambaran bahwa tradisi budaya yang dianut oleh bakul semanggi gendong tampak dari cara mereka dalam menjajakan dagangan semanggi yang sejak dahulu hingga sekarang tidak ada perubahan, dan semuanya dilakukan oleh kaum perempuan yang sudah berusia tidak muda lagi. Hal tersebut disinyalir merupakan tradisi turun temurun keluarga bakul semanggi gendong sendiri dan banyak dilakukan oleh masyarakat Kendung, khususnya perempuan generasi tua.

  Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tradisi yang dilakukan bakul semanggi gendong sulit untuk dilepaskan dari kehidupan sehari-hari mereka. Sebagai suatu bagian dari komponen kebudayaan, tradisi memegang peranan penting dalam masyarakatnya. Hal itulah yang menjadi landasan mengapa bakul semanggi gendongbegitu kuat mempertahankan sebuah tradisi mereka, dan inilah yang menurut Granovetter adalah keterlekatan, dan keterlekatan pada bakul semanggi gendong tersebut adalah keterlekatan pelembagaan yang ada pada bakul semanggi sendiri (internal) dan keterlekatan dari luar bakul gendong(eksternal).

  Selain faktor tradisi turun-temurun/genetik, dan ketrampilan yang mumpuni, terdapat faktor-faktor lain yang ikut mengantarkan individu-individu tersebut menjadi bakul semanggi gendong, diantaranya adalah pendidikan yang rendah, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki terbatas, pengalaman, faktor lingkunagan alam sekitar yang mendukung, serta pelanggan yang setia di kota Surabaya.

  Bakul semanggi gendong merupakan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat Kendung secara swadaya, mengelola sumber daya tumbuhan semanggi untuk dijadikan suatu kuliner yang khas,dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya beserta keluarganya. Bakul semanggi gendong di kota Surabaya merupakan salah satu bagian dari ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan menekankan pada strategi bertahan hidup (survival) bagi rakyat kecil dalam menjalani kehidupan. Sistem ekonomi kerakyatan berbasis pada kekuatan rakyat (Rintuh, 2005:5).

  Menurut Fuad Hasan (1996,94): “Manusia sebagai wujud yang eksistensinya menemukan peluang untuk aktualisasi diri terus menerus bukannya sekedar dihanyutkan oleh realitas disekitarnya”. Ini berarti bahwa manusia sebagai subjek tidak bersifat pasif terhadap lingkungan dan pengalaman-pengalamannya. Manusia dengan kemampuan akalnya, akan mengolah dan merencanakan pengalaman-pengalaman baru.

  E.B Taylor menempatkan konsep eksistensi atau survival sangat penting. Menurutnya, tidak satupun zaman seratus persen sesuai dengan keadaan masyarakatnya, sebab selalu terjadi adanya budaya-budaya yang masih survive dikala sudah masuknya taraf budaya yang lebih tinggi.

  Lebih lanjut, Koentjaraningrat, (1998:17) mengemukakan bahwa nilai budaya merupakan sebuah konsep yang hidup dalam alam pikiran manusia mengenai apa yang paling berharga dalam hidup. Secara fungsional sistem nilai tersebut mendorong individu untuk berperilaku seperti apa yang sudah ditentukan.

  Menurut Kahl (1968, 9), sistem nilai itu menjadi pedoman yang melekat erat secara emosional pada diri sesorang atau sekelompok orang, malah merupakan tujuan hidup yang diperjuangkan. Oleh karena itu, merubah sistem nilai manusia tidaklah mudah, dibutuhkan waktu, sebab,nilai-nilai tersebut merupakan wujud ideal dari lingkungan sosialnya.

  Beberapa pernyataan tersebut sangat tepat dengan keberadaan bakul semanggi gendong yang masih eksis di Kota Surabaya. Mereka mempertahankan tradisi lama dari nenek moyangnya, dan diturunkan ke genarasi bakul semanggi gendongyang sekarang ini. Tradisi tersbut sampai sekarang tidak berubah,yaitu tradisi menjajakan semanggi dengan ciri- cirinya sendiri. Demikian pula halnya sistem nilai yang dianut juga tetap tidak berubah walau perkembangan zaman sudah berubah. Nilai-nilai tersebut adalah

  Asumsi pendekatan fenomenologi dalam melihat realitas bakul semanggi gendong adalah bahwa bagi individu melakukan interaksi dengan sesamanya ada banyak cara penafsiran pengalaman dan makna. Itulah yang sebenarnya membentuk realitas tindakan yang ditampakkan dari keseharian bakul gendong semanggi.

  Fenomenologi berupaya untuk memahami makna kejadian, gejala yang timbul dan atau interaksi bagi individu pada situasi dan kondisi tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Ia mengkaji masuk ke dalam dunia makna yang terkonsep dalam diri individu bakul gendong semanggi, kemudian diekspresikan dalam bentuk fenomena. Ia berupaya menerobos untuk menjawab pertanyaan pertanyaan bagaimanakah struktur dan hakekat pengalaman terhadap suatu gejala bagi individu (Ritzer,1992:46; Orleans, 1997:1459; Campbell, 1994:234).

  Pemahaman bakul semanggi gendong khususnya tentang eksistensinya, dilihat dari

  

because motives atau motif sebab, bagaimana mereka tetap eksis menjalankan usaha bakul

  semanggi gendong. Pertama, selama belasan tahun para bakul semanggi gendong sudah berpengalaman menjadi bakul semanggi. Selain faktor turun-temurun, telah banyak pengalaman yang didapatkan seperti interaksi sesama bakul semanggi gendong terjalin baik. Demikian juga interaksi bakul semanggi gendong dengan pelanggannya, seperti yang disampaikan oleh subjek bakul semanggi gendong yang bernama ibu Salamah (56 tahun).

  “Pengalaman kulo geh saking Mak kaleh Mbah kulo. Saklintune geh saking sederek

kaleh morosepuh, konco-konco sami bakule, sakbendinten kan sering kepanggeh, sareng-

sareng berangkat saking Kendung teng Suroboyo neteh bemo”.

  Terjemahan: “Pengalaman saya diperoleh dari Mak (Ibu) dan Mbah (Nenek), serta saudara perempuann saya dan mertua. Selain itu, diperoleh dari interaksi dengan sesama teman bakul semanggi gendong, dimana hampir setiap hari berangkat dari Kendung menuju Kota Surabaya bersama-sama naik angkot”.

  Kedua , eksistensi bakul semanggi gendong juga didukung oleh mudahnya para bakul

  semanggi gendong mendapatkan bahan baku, yaitu dengan menanam sendiri, atau mendapatkan dari juragan, yaitu orang yang memasok bahan baku semanggi dan disediakan bagi para bakul semanggi gendong yang tidak menanam sendiri. Semua subjek bakul semanggi gendong mengatakan bahwa untuk mendapatkan bahan baku semanggi cukup mudah, seperti yang dikatakan subjek bakul yang bernama ibu Warsini (52 tahun) “ Saya telah menanam sendiri semanggi di pekarangan rumah saya, biar sempit lumayan bisa tumbuh terus asal harus selalu disiram air bila musim kemarau tiba”.

  Sedang subyek yang lain memasok dari juragan, seperti yang disampaikan oleh ibu Sumi (52 tahun) dan ke tujuh subyek bakul semanggi gendong yang lain, sebagai berikut:

  “Saya biasanya membeli dari juragan Darsining yang sudah menyediakan bahan- bahan semanggi’.

  Ketiga, eksistensi bakul semanggi gendong didukung oleh semangat yang kuat untuk

  tetap menjajakan semanggi karena penghasilan yang diperolehnya cukup banyak. Hal tersebut dapat dibandingkan dengan UMR tenaga kerja di Kota Surabaya yang pada tahun 2012 sebesar Rp 1.800.000,00 dan pada tahun 2014 ini mencapai Rp 2.200.000,00 per bulan. Penghasilan yang diperoleh bakul gendong semanggi ternyata jauh lebih besar dibandingkan dengan UMR tenaga kerja di Kota Surabaya, dan itulah yang menjadi motivasi tersendiri bagi bakul gendong semanggi untuk tetap eksis, seperti yang disampaikan oleh subjek penelitian yang bernama ibu Mu’ripah, umur 67 tahun, ibu Rukana, umur 66 tahun, dan ibu Ati, umur 59 tahun.

  “Kulo sek semangat sadean semanggi soale hasile cukup lumayan sakbedinten mbeto yotro daos saget nyukupi kebutuhan kaleh nyangoni putu-putu kulo”. (Ibu Mu’ripah)

  Terjemahan: Saya masih tetap semangat menjajakan kuliner semanggi karena terdorong oleh penghasilan yang cukup lumayan dan setiap hari selalu memegang uang untuk mencukupi kebutuhan dan untuk memberi uang saku cucu-cucu saya.

  “Kulo sadean semanggi teng Suroboyo saget angsal yotro Rp125.000.- sampai

Rp200.000,- sakbendintene, dados saget damel blonjo maleh kaleh nyangoni putu kulo’ (Ibu

  Rukana).

  Terjemahan: ‘Saya menjual semanggi di Surabaya bisa dapat uang sekitar Rp.125.000,- sampai Rp.200.000,- setiap hari, jadi bisa untuk belanja lagi dan memberi uang saku cucu saya’.

  Keempat , eksistensi bakul semanggi gendong juga didukung oleh pelanggan yang

  setia di Kota Surabaya. Dengan adanya pelanggan, maka memaksa bakul gendong untuk melakukan migrasi sirkuler. Semua subjek bakul gendong melakukan hal yang sama untuk menjajakan dagangan semangginya di Kota Surabaya. Bahkan salah satu bakul mengatakan yaitu ibu Mu’ripah (66 tahun), bahwa: “Kalau tidak dijajakan di kota Surabaya, di sekitar Kendung sendiri tidak laku, apabila laku harganya sangat murah dan tidak pernah habis, sehingga rugi dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari”.

  Hal yang sama juga dinyatakan oleh subyek bakul semanggi gendong yang lain seperti ibu Rukana, (65 tahun), ibu Salamah, (53 tahun), ibu Patemi, dan ibu Muni, seperti berikut:

  “Kulo niki sakben dinten sadeane geh teng Suroboyo, soale ked riyen mak kulo geh

  

sadean ngriki, nopomale pun gada langganan, nek teng Kendung utawi Benowo geh kurang

laku, wong teng ngriko gene, terus regine murah, dados hasile namung sekedhik ”.

  Diterjemahkan, “Saya ini setiap hari menjajakan ke Surabaya, karena sejak dulu ibu saya juga menjajakan di sini, apalagi sudah punya langganan, kalau di Kendung atau Benowo kurang laku, karena di sana tempatnya, sehingga hasilnya sangat kecil sekali”

  Kelima , eksistensi bakul semanggi gendong juga dodorong oleh motivasi. Motivasi

  yang dimaksud bisa berasal dari dalam dan dari luar. Motivasi dari dalam karena dorongan diri sendiri untuk meneruskan tradisi orang tua, dan kebutuhan hidup, dan motivasi dari luar terdorong untuk memenuhi selera pelanggan dan mendapatkan penghasilan.

  Pernyataan seperti tersebut seperti dikatakan oleh subjek bakul semanggi gendong ibu Muni, sebagai berikut:

  “Motivasi kulo sadean semanggi gendong niki geh nerusaken tradisine tiyang sepuh

kulo kaleh kebutuhan sakbindintene tambah kathah. Lah niku saget angsal hasil sing cukup

nek nyadene teng Suroboyo, soale pun gadhah langganan”.

  Diterjemahkan; “Motivasi saya jualan semanggi untuk melanjutkan tradisi orang tua saya dan kebutuhan yang tambah banyak. Itu bisa dicapai kalau menjualnya di Surabaya karena di sana sudah punya pelanggan”.

  Hierarki kebutuhan keluarga maupun kebutuhan perempuan bakul semanggi gendong sendiri menjadi motivasi untuk bekerja, terutama dalam memenuhi kebutuhan fisik, yaitu kebutuhan dasar manusia untuk menjaga agar dia dan keluarganya tetap hidup, seperti makanan, minuman, pakaian, dan perumahan.

  Dari semua jawaban subjek bakul semanggi gendong, secara because motives (motif sebab), bagaimana bakul semanggi gendong tetap eksis, ternyata banyak faktor yang mendukung, di antaranya adalah: 1) tradisi dan pengalaman turun temurun dari keluarga, pengalaman yang cukup; 2) mudah memperoleh bahan baku semanggi; 3) penghasilan dari menjajakan semanggi yang cukup banyak; 4) adanya pelanggan yang setia di Kota Surabaya, hingga bermigrasi sirkuler, dan 5) motivasi, dari dalam dan luar, baik dari diri sendiri maupun dari keluarga, serta lingkungan sekitar. Faktor-faktor tersebut telah melembaga dan melekat bertahun-tahun lamanya hingga terjadi keterlekatan./embededness. Atas dasar hasil penelitian terhadap subyek bakul semanggi gendong tersebut ditemukan proposisi sebagai berikut:

  Bakul semanggi gendong di Kota Surabaya tetap eksis karena ada keterlekatan kelembagaan ekonomi dan sosiologi.

  Berdasarkan hasil penelitian terhadap subyek bakul semanggi gendong, bagaimana mereka tetap eksis, secara in order to motives (motif supaya), agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya, seperti yang dijelaskan oleh subyek bakul semanggi gendong bernama ibu Sumi (52 tahun), seperti berikut ini::

  “Saya tetap menjadi bakul gendong semanggi supaya memperoleh kesejahteraan dan meningkatkan penghasilan. Saya ingin penghasilan yang cukup agar ekonomi keluarga saya lebih baik, sehingga dapat memenuhi kebutuhan, tidak hanya kebutuhan pokok, tetapi kebutuhan yang lainnya, misalnya dapat membeli tanah, membeli peralatan rumah tangga yang lebih baik, seperti : lemari es, televisi, kipas angin, dan yang lainnya”.

  Menurut subjek bakul semanggi gendong yang sama, ibu Sumi, dikatakan bahwa: “Jualan semanggi tidak akan memiliki makna apa-apa bila hanya sekedar tiap hari menjajakan semanggi di kota Surabaya yang butuh waktu perjalanan lama, dan akan sia-sia apabila tidak menghasilkan sesuatu yang lebih baik untuk kehidupan”.

  Dari hasil penelitian ini penulis menemukan proposisi bahwa:

  Makna Eksistensi bagi bakul semanggi gendong adalah sebuah perjuangan dan perjalanan panjaang dan harus bermanfaat bagi kehidupan keluarga.

  Penjelasan subyek bakul semanggi gendong, Ibu Sumi tersebut di atas, yang mempertanyakan tentang eksistensinya dikaitkan dengan budaya kuliner khas kota Surabaya, nampaknya tidak begitu penting, karena yang terpenting bagi dia (subjek Ibu Sumi), adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin lama semakin meningkat. Hal yang terpenting bagi nya bahwa setiap hari dapat uang, sehingga bisa menjajakan semanggi lagi dan keuntungannya dipakai untuk menambah kebutuhan keluarga.

  Hal yang berbeda dari jawaban bakul semanggi gendong yang lain, dijelaskan oleh ibu Mu’ripah, bahwa; “Selain untuk mencari uang, keberadaan saya sebagai bakul gendong sangat dibutuhkan oleh masyarakat pelanggan semanggi maupun pemerintah kota Surabaya, bila ada acara di Kelurahan, biasanya semanggi saya diborong, demikian juga dengan acara ulang tahun Kota Suabaya, saya juga diminta menyiapkan semanggi gratis yang disiapkan untuk masyarakat. Kuliner semanggi gendong ini adalah kuliner khas Kota pahlawan dan harus tetap dilestarikan, apalagi sekarang sudah banyak anak muda yang menjual semanggi bukan digendong, namun di jual di dalam gedung dan menetap, itu berarti sudah menghilangkan tradisi bakul semanggi yang asli. Kalau sekarang saya menjadi bakul gendong seperti ini berarti saya menghargai leluhur saya sendiri”.

  Eksistensi bakul semanggi gendong ini nampaknya tidak akan bertahan lama setelah generasi bakul gendong yang ada saat ini. Hal tersebut disampaikan oleh para bakul gendong, di antaranya: Ibu Patemi dan Ibu Munawaroh. Mereka mengatakan bahwa:

  “Jaman sakniki mboten gampang marisaken tradisi bakul semanggi gendong niki

teng anak-anak kulo. Lare-lare luweh seneng nyambut damel lintune, umpami teng pabrik,

toko, super market, kantor-kantor, lan sak lintune, sing terose mboten soro kados kulo”

  “Jaman sekarang ini sangat sulit untuk mewariskan tradisi bakul semanggi gendong kepada anak-anak saya. Mereka lebih senang bekerja yang lain, misalnya di pabrik, di toko- toko, super market, di kantor-kantor, dan yang lain, yang menurut mereka tidak sengsara seperti saya ini”.

  Dari hasil penelitian tersebut dapat penulis tarik sebuah proposisiyaitu:

  Eksistensi bakul semanggi gendong di Kota Surabaya bermotif ekonomi dan ekonomi tradisi”.

  Bakul semanggi gendong akan mewakili masyarakat Kendung, Benowo, tentang bagaimana cara dan sifat lokal untuk tetap dapat bertahan hidup (survive). Ini adalah realitas, tetapi juga sebuah proses ekonomi yang dilatarbelakangi oleh dukungan relasi sosial budaya secara kekeluargaan yang turun-temurun.Sebagaimana disebut oleh Whitehead sebagai

  

realitas adalah proses (Laurer, 2003:188). Realitas bukan sesuatuyang dibuat-buat, tetapi

  realitas ditetapkan menurut kejadian yang mengandung kreativitas, saling ketergantungan dan dialektika.

B. Migrasi Khas Bakul Semanggi Gendong Dan Maknanya

  Salah satu unsur bakul semanggi gendong tetap eksis adalah adanya

  

embededness/ keterlekatan bakul semanggi dengan pelanggan. Keterlekatan inilah hingga

  bakul semanggi gendong melakukan migrasi sirkuler ke Kota Surabaya. Lebih lanjut bagaimana migrasi yang dilakukan bakul semanggi gendong, maka akan didiskripsikan migrasi khas dan maknanya bagi bakul semanggi gendong sendiri.

  Bermigrasi sirkuler bagi bakul gendong semanggi merupakan kegiatan rutin yang setiap hari dilakukan. Migrasi bakul semanggi gendong adalah migrasi yang bersifat sementara karena dilakukan setiap hari dan selalu pulang balik atau yang biasa disebut dengan migrasi sirkuler, yaitu migrasi yang tidak menetap di daerah tujuan migrasi.

  Migrasi sirkuler bakul semanggi gendong bertujuan tidak untuk mencari pekerjaan atau yang lain, selain menjajakan dagangannya, yaitu semanggi gendong. Adapun migrasi sirkuler bakul semanggi gendong mempunyai rute-rute tertentu (Tabel 6, Bab IV), dan antara bakul semanggi gendong satu dengan yang lain bisa berbeda, atau kadang bisa sama.

  Hal tersebut karena dalam menjajakan dagangannya, bakul semanggi gendong tidak ada jadwal khusus, karena tidak ada perkumpulan atau paguyuban yang dibentuk secara khusus untuk bakul semanggi gendong, sehingga rute yang dilalui terserah kepada bakul semanggi gendong masing- masing. Hanya saja bakul semanggi gendong biasanya dalam bermigrasi menjajakan dagangannya akan melewati rute yang setiap hari dilalui, dengan cara bergilir setiap seminggu sekali melewati kampung-kampung yang sama, karena di situlah pelanggan- pelanggannya menunggu kedatangannya.

  Bakul semanggi gendong dalam melakukan tindakan migrasi sirkuler tentu dilandasi berbagai alasan mendasar yang mendorong mereka. Ada beberapa hal yang memotivasi mereka untuk melakukan migrasi. Motivasi berasal dari kata motivation yang berarti dorongan, kata kerja motivasi yaitu motif berarti alasan dan daya penggerak (Suryobroto, 1984). Salah satu teori motivasi yang terkenal adalah teori kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham Maslow. Menurut Maslow bahwa setiap diri manusia itu terdiri atas lima kebutuhan yaitu; kebutuhan fsiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan status atau ego dan kebutuhan aktualisasi diri. Pemenuhan kebutuhan yang dinyatakan oleh Maslow didasarkan pada dua asumsi yaitu: pertama, kebutuhan seseorang yang bergantung pada apa yang dimilikinya; kedua, kebutuhan yang merupakan hirarki yang dapat dilihat berdasarkan kepentingannya (Alma,2001: 78).

  Teori kebutuhan Maslow secara konseptual didukung dengan pendapat David Mcclelland. Dalam bukunya berjudul The Achieving Society, David mengungkapkan bahwa dorongan untuk mencapai keberhasilan merupakan motif yang penting untuk menentukan keberhasilan seseorang dalam berusaha (Alma,2001:27). Konsep The Need for Achievment, menjelaskan konsep mengenai kebutuhan atau dorongan untuk berprestasi dan tidak sekedar untukmeraih imbalan material yang besar tetapi karena ingin mendapatkan kepuasan karena pekerjaan yang dilakukan mencapai hasil yang baik. (Budiman,1986:23-34)

  Teori ini relevan dengan permasalahan yang akan dibahas, untuk memahami lebih dalam lagi tentang makna bakul gendong semanggi bagi dirinya sendiri dalam mempertahankan eksistensinya sehingga mereka tetap melakukan aktivitas bermigrasi untuk menjajakan semanggi yang selama ini menjadi sumber perekonomian bagi kehidupan mereka.

  Hasil penelitian terkait dengan migrasi bakul semanggi gendong, migrasi bagi mereka memiliki makna yang berbeda-beda. Migrasi sirkuler bagi bakul semanggi gendong ada yang bermakna ekonomi maupun non ekonomi, seperti yang dipaparkan di bawah ini.

  Migrasi sirkuler bakul semanggi gendong bermakna ekonomi, seperti yang dikatakan oleh para subyek penelitian, antara lain; ibu Ati, ibu Mu’ripah, ibu Rukana, ibu Muni, ibu Warsini, ibu Munawaroh, ibu Patemi dan ibu Sumi, artinya bahwa: “Dengan melakukan migrasi sirkuler, maka kami dapat merubah kondisi ekonomi keluarga yang serba kekurangan agar menjadi lebih baik, karena dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari, termasuk membiayai anak sekolah”. Mereka mengatakan bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum kalau kaum itu sendiri tidak mengubahnya.

  Migrasi sirkuler sebagai bakul semanggi gendong memiliki makna religius, bila dikaitkan dengan pekerjaan Nabi Muhammad SAW, bahwa pada masa hidupnya, beliau bekerja sebagai pedagang. Berdagang merupakan suatu migrasi sirkuler yang bertujuan ingin merubah nasib.

  Berkaitan dengan keyakinan agama bakul gendong yaitu agama Islam, menjajakan semanggi atau berdagang semanggi adalah sebuah simbol dalam melaksanakan ajaran agama, hal ini berarti bahwa migrasi sirkuler memiliki makna kesadaran religiusitas, seperti yang dikatakan oleh ibu Rukana, ibu Salamah dan ibu Mu’ripah, bahwa:

  “Dengan melakukan migrasi sirkuler, harus tetap mempertahankan kesadaran akan kewajiban beribadah baik sholat wajib yang harus dilakukan maupun ibadah yang lainnya seperti menjual dengan keuntungan yang sewajarnya, tidak pelit, bahkan menyediakan kuliner khas yang langka seperti semanggi ini adalah merupakan sebuah ibadah. Selain untuk memenuhi tambahan kebutuhan keluarga, dengan migrasi sirkuler akan bermanfaat bagi orang lain atau pelanggan yang kangen dengan kuliner khas Surabaya ini, sekaligus ikut melestarikan budaya kulinernya, itu adalah wujud ibadah”.

  Makna yang lain dari migrasi sirkuler bakul semanggi gendong adalah makna solidaritas, seperti yang dijelaskan oleh beberapa subjek bakul gendong antara lain, ibu Rukana, ibu Mu’ripah, ibu Patemi dan ibu Muni, bahwa:

  “Dengan migrasi sirkuler menjadi bakul gendong semanggi, kami ini bisa berangkat bersama-sama menyewa kendaraan, biayanya patungan, bahkan bila diantara kami belum ada uang akan ditalangi atau dipinjami dulu oleh bakul yang lain yang punya kelebihan uang”.

  Kejadian seperti itu sering dialami oleh mereka, tidak hanya pada saat melakukan migrasi saja, tetapi akibat dari perjalanan migrasi sirkuler tersebut mereka menjadi lebih dekat antara satu dengan yang lain, apalagi mereka merupakan tetangga, baik tetangga dekat maupun tetangga satu dusun, sehingga bila ada kesulitan akan saling membantu.

  Migrasi sirkuler bakul semanggi gendong juga bermakna pengetahuan, artinya bahwa: “Dengan melakukan migrasi sirkuler kami memikili kesadaran yang baik tentang pengetahuan, terutama diri sendiri tentang anak-anak kami akan pentingnya pendidikan, sehingga terdorong untuk memberikan pendidikan terhadap anak-anak lebih baik seperti orang-orang Surabaya”.

  Pernyataan ini dikatakan oleh subjek bakul semanggi gendong ibu Salamah, Ibu Munawaroh dan ibu Sumi. Mereka menginginkan anak-anak mereka bisa bekerja enak dikemudian hari, supaya tidak seperti mereka yang sengsara karena pendidikan mereka hanya SD atau bahkan ada yang tidak tamat.

  Migrasi sirkuler bakul gendong semanggi bermakna tradisi, artinya adalah bahwa migrasi yang dilakukan oleh bakul gendong semanggi sudah merupakan tradisi yang turun temurun dari para pendahulu keluarga bakul gendong tersebut, seperti yang dijelaskan oleh subyek bakul semanggi bernama ibu Munawaroh, usia 54 tahun, asal Desa Kendung.

  “Saya telah menjadi bakul gendong semanggi sejakusia37tahun.Pengalaman saya peroleh dari ibu mertua yang dulu juga menjadi bakul gendong semanggi di kota Surabaya. Saya tertarik menjadi bakul gendong karena ingin membantu ekonomi keluarga dan ingin tetap mempertahankan tradisi keluarga tentang semanggi, apalagi ibu mertua saya sudah semakin tua, siapa lagi yang akan melanjutkan kalau bukan saya”.

  Hal serupa juga dikatakan oleh subjek bakul semanggi gendong yang lain, Ibu Muni, (59 tahun), seperti berikut:

  “Saya merupakan warga asli Kendung yang telah lama menjadi bakul gendong semanggi. Sudah 26 tahun lamanya. Hampir seluruh keluarga saya bekerja sebagai bakul gendong semanggi. Menjadi bakul gendong semanggi merupakan suatu tradisi dalam keluarga saya pada jaman saya masih muda, bahkan jika salah satu anggota keluarga ada yang menolak untuk menjadi bakul gendong semanggi, terutama perempuan, maka ia akan dikucilkan”.

  Bakul semanggi gendong merupakan kumpulan dari beberapa masyarakat biasa yang berasal dari satu lokasi pinggiran kota Surabaya dan mengadu nasib di kota Surabaya.

  Tuntutan ekonomi yang besar menjadi dorongan yang membuat mereka berjuang keras dan mengadu nasib bersaing dalam perekonomian kota. Tuntutan pendidikan yang rendah serta permodalan yang kecil, ditunjang dengan pengalaman dan tradisi genetik yang turun temurun, menjadi alasan utama mereka memilih menjadi bakul semanggi gendong. Persamaan nasib dan kebersamaan yang selalu dipupuk menimbulkan rasa persaudaraan yang tinggi diantara bakul semanggi gendong. Memiliki tujuan yang sama untuk mendapatkan hasil yang banyak, sesungguhnya mereka anggap sebagai hal yang utama, bagi mereka rasa solidaritas dan persaudaraan merupakan pemenuhan kebutuhan yang tidak bisa tergantikan, seperti yang disampaikan subyek bakul berikut:

  “Geh kulo kadang sadean semanggi teng Suraboyo ketelasan krupuk puli soale tiang

tumbas semanggi terus kaleh tumbas kerupuke kathah, dados cepet telas, tapi untung ketemu

konco sing sami bakul semanggi, kulo saget nempel krupuke rumiyen, gih disukani ”(Ibu

Patemi,2012).

  “Ya saya kadang jualan semanggi ke Surabaya kehabisan krupuk puli karena banyak pelanggan yang beli semanggi minta krupuk lebih banyak, jadi cepat habis, tetapi untung ada teman sesama bakul semanggi , sehingga saya bisa pinjam dulu dan diberi”

  Bakul semanggi gendong sebagai bagian dari anggota masyarakat tentunya memiliki budaya hidup tersendiri di antara sesamanya. Uniknya, rasa kekerabatan yang tinggi mereka perlihatkan ketika mereka bertemu saling menjajakan semanggi di Surabaya. Bakul semanggi gendong memiliki perilaku yang unik, ini terasa ketika mereka kekurangan krupuk puli atau daun pisang untuk wadah, ternyata mereka saling membantu satu dengan yang lain, sehingga terjadi budaya solidaritas yang tinggi.

  Pada masyarakat Jawa, khususnya Jawa Timur, kebudayaan dikenal sebagai kebudayaan arek. Budaya arek sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan), hubungan sesama manusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungan (palemahan), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana(tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akanJawa Timur sebagai sebuah wilayah didukung beragam corak kebudayaan.Secara kultural Jawa Timur memiliki tiga corak budaya dominan yaitu, budaya Mataraman, budaya Arek, dan budaya Pandalungan. Budaya Arek di wilayah utara mencakup Surabaya, Gresik, Lamongan, Tuban, sementara untuk budaya Mataraman yang dipengaruhi Solo dan Yogyakarta, mencakup Blitar, Tulungagung, Kediri, Ponorogo, Madiun. Untuk budaya Pandalungan dipengaruhi budaya Madura.

  Keberagaman corak budaya di Jawa Timur ini makin didukung oleh lingkungan berupa pesisiran, gunung, dan sungai, serta kedekatan Jawa Timur dengan wilayah lainnya seperti Madura, dan Bali.

  Dilihat dari sisi budaya bakul semanggi gendong sendiri karena lokasi asal bakul semanggi gendong secara geografis terletak di wilayah Surabaya Barat, namun secara budaya termasuk budaya arek karena wilayah semanggi terletak di antara Surabaya dan Gersik.

  Arek adalah sintesis perjuangan. Sebuah karakter yang berkodefikasi kultural. Tapi bukan etnosentristik. Terbentuk dari alam yang keras, penuh bencana dan berkontribusi pada pertumbuhan zamannya. Sebuah konsepsi seduluran masif. Hampir tak bisa ditawar-tawar. Sebuah penyatuan berbagai konsepsi seduluran, seperti Cina, Arab dan Madura. Meskipun, Madura secara intrinsik juga terbangun dalam konsepsi seduluran Cina dan Arab.

  Menurut Autar (2012), Sintesis perjuangan arek adalah perlawanan naturalistik dan komunal. Pijakan naturalistiknya sangat erat dengan kondisi alam yang penuh tantangan di masa lalu. Inilah yang membedakannya dengan kebudayaan-kebudayaan lain di Nusantara. Daya juang yang tumbuh dalam manusia Arek adalah kemampuannya menempatkan diri secara simultan. Tidak gradual seperti dalam masyarakat Jawa pada umumnya dan kebudayaan yang banyak dipengaruhi kebudayaan Jawa maupun Sunda dan Melayu.

  Satu hal lagi, adalah militansi. Arek bukan manusia yang mudah menyerah oleh keadaan apapun, hal itu telah dibuktikan dalam sejarah bagaimana perlawanan arek-arek Surabaya dalam mempertahankan kemerdekaan negara Republik Indonesia, dimana sekutu ingin merebut kembali dengan menyerang dan menduduki kota Surabaya. Arek-arek Surabaya dengan beraninya melawan tentara sekutu yang persenjataannya lebih modern dan ternyata mereka berhasil merebut kembali Kota Surabaya ini ke pangkuan Ibu Pertiwi.

  Aspek-aspek keberanian dan kenekatan dari masyarakat pendukung budaya arek (Basundoro, 2012), merupakan kontribusi dari keberanian dan kenekatan orang-orang Madura. Keterbukaan dan egalitarian masyarakat pendukung budaya arek, merupakan kontribusi dari budaya pesisir. Solidaritas yang kuat, guyub dan rukun merupakan kontribusi dari budaya pedesaan yang agraris.

  Dengan demikian, budaya arek merupakan hibrid atau gabungan atau cangkokan dari budaya pesisir Surabaya, budaya Madura, dan agraris dari pedesaan di kawasan hinterland yaitu Surabaya pinggiran, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Malang dan sekitarnya.

  Memasuki abad 20 hingga abad Millenium ini, Arek mengalami tafsir yang cenderung logosentrik. Arek adalah 1945, adalah hari pahlawan, adalah Suroboyo dan seterusnya. Rekonstruksi kultur Arek adalah membuka seluruh pintu gerbang keberadaannya. Menerima secara sadar dan terbuka terhadap unsur-unsur pembentuknya, bukan mempertahankan diri pada situasi kekinian yang telah mengalami kontaminasi historis.

  Kontaminasi historis ini juga berakibat pada rendahnya pemahaman generasi masa kini terhadap konteks sosio-kultural Arek. Yakni, masyarakat kampung dengan segala pandangan keterbelakangannnya. kekumuhan dan ketidakberdayaan.

  Masyarakat kampung, bukan masyarakat yang terstratifikasi seperti sekarang ini. Tetapi adalah masyarakat baru yang terbentuk dari pembenahan moralitas dan disiplin Hindu- Jawa. Jika ingin ditarik lebih jauh, maka masyarakat kampung adalah pembentuk jiwa, ideologi dan pengetahuan yang selalu dikesampingkan dalam memahami kultur Arek.

  Akibatnya, Arek menjadi ilusi masa lalu.

  Arek dan kampung adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Melalui dinamika kampung, Arek tersublimasi menjadi sebuah gerakan bersama. Pelabuhannya adalah integrasi sosial yang mampu menyederhanakan problematika berkehidupan di tengah- tengah masyarakat. Penyederhanaan ini bisa dimaknai sebagai pemberian nuansa ketenteraman, keselamatan dan keguyuban. Disinilah kebiasaan-kebiasaan dikembangkan menjadi tradisi maupun sebagai pengetahuan antar masyarakat dalam kultur Arek.

  Menurut Leli Kusuma dkk. dalam penelitiannya yang berjudul “Ekspansi Pedagang Acung Kintamani ke Daerah Domisili Wisatawan di Kota Denpasar” Tahun 2008 mengungkap bagaimana keberadaan pedagang acung yang berasal dari daerah Kintamani Bangli berusaha masuk ke perekonomian daerah kota khususnya Denpasar dan mampu mendominasi usaha dagang acung khususnya di daerah wisata perhotelan yang ada di Denpasar.

  Pedagang acung Kintamani datang bersaing dalam sistem perekonomian kota dan menyesuaikan diri dengan sistem yang ada sehingga berhasil dalam melakukan usaha sektor informal tersebut. Keretakan dan kerusakan dalam hubungan antar manusia dan antar kelompok, sehingga lahir disintegrasi sosial. Selain itu, muncul pula alienasi kesadaran, yang ditandai oleh hilangnya keseimbangan kemanusian karena meletakkan rasio atau akal pikiran sebagai satu-satunya penentu kehidupan, yang menampilkan rasa dan akal budi (Nazir, 1988:6).

  Berbagai keterasingan tersebut sesungguhnya bertentangan dengan ajran-ajaran atau kearifan lokal yang kita kenal selama ini baik di tingkat nasional maupun lokal. Di tingkat nasional kita mengenal istilah gotong royong, tenggang rasa (tepa salira), dan musyawarah mufakat. Pada tataran lokal kita mengenal bermacam-macam konsep yang maknanya sama. Noronga' uchugawoni, noro' uchu geo, alisi tafa daya-daya, hulu ta

  

farwolo-wolo (berat sama dipikul, ringan sama dijinjing) kata orang Nias. Sigilik seguluk

selunglung sebayantaka (susah senang kita harus sama-sama)kata orang Bali (Imawan

  2004:1).

  Secara sadar dan terencana perlu kiranya dikembangkan konsep sadar budaya, termasuk revitalisasi kearifan lokal tersebut.Selain itu, penggalian atau penemuan kembali kearifan-kearifan lokal dalam menumbuhkan budaya multikultural di antara berbagai etnik perlu terus dilakukan dalam membentengi diri menghadapi gelombang pengaruh budaya global.

  Dari informasi tersebut tampak bahwasannya budaya masyarakat Indonesia pada umumnya adalah gotong-royong dan bekerja sama masih mereka terapkan. Berhubungan dengan budaya bakul semanggi gendong, secara umum sama seperti budaya masyarakat Indonesia pada umumnya, tetapi secara substansial, budaya bakul semanggi gendong menurut penulis telah dibentuk oleh budaya arek, yang memiliki ciri-ciri pantang menyerah, berani, selalu menanamkan konsep seduluran, kental dengan kehidupan kampung, dan lain-lain. Inilah yang sangat mempengaruhi budaya bakul gendong semanggi, dimana secara geografis tempat asal mereka berbatasan dengan Kabupaten Gresik yang merupakan hinterland Surabaya di wilayah utara dan barat.

  Dengan semangat bekerja keras untuk mempertahankan ekonomi dan tradisinya, dibutuhkan bentuk solidaritas dan kekerabatan yang sangat kuat antar bakul gendong semanggi.Hal tersebut menjadi bukti bahwa keberadaan mereka sebagai bentuk yang tidak terorganisasi, bekerja keras menjajakan kuliner semanggi dan bersaing dengan perekonomian kota metropolitan Surabaya yang keras, mereka mampu bertahan hingga sekarang. Dengan demikian, dalam migrasi sirkuler khas bakul semanggi gendong dan misi budaya yang mereka terapkan adalah budaya arek yang merupakan simbol keberanian, pantang menyerah, dan mandiri.

  Pemaparan tersebut membawa penulis menemukan proposisi:

   Migrasi sirkuler khas bakul gendong semanggi di Surabaya telah membawa misi budaya arek yang lekat dengan simbol keberanian, pantang menyerah dan kemandirian.

  Perspektif fenomenologi digunakan untuk memahami pemahaman bakul semanggi gendong terhadap makna migrasi sirkuler yang dilakukannya.Pemahaman tentang pemahaman ini diharapkan menghasilkan suatu temuan yang dapat menambahkan peneliti mencapai "sesuatu itu sendiri" dan tujuan filsafatnya adalah suatu filsafat tanpa adanya praduga-praduga. Ungkapan yang terkenal dari Husserl adalah "seseorang mengurung dunianya yang bersifat objektif, dengan cara memahami dunia yang bersifat subjektif, oleh karena itu diperlukan metode yang disebut "reduksi", dan dengan reduksi ini mendorong kaum fenomenologi untuk mentransformasikan dirinya sendiri ke dalam sosok peneliti yang tidak berkepentingan (Zeitlin, dalam Juhanda & Anshori, 1998: 216-217).

  Penggunaa fenomenologi untuk memahami fonomena migrasi bakul semanggi gendong sebagai sebuah keterlekatan kelembagaan dan realitas subjektif membutuhkan metode khusus, metode khusus yang dimaksudkan adalah "reduksi". Husserl mengatakan, yang paling penting adalah mengembangkan suatu metode yang akurat sehingga mampu mendorong.Inti dari pemikiran Husserl tentang “reduksi" adalah untuk melampaui pemikiran sampai bisa melakukan refleksi.Dengan refleksi maka sesuatu yang sebelumnya sudah diketahui menjadi dipertanyakan kembali. Jika kajian migrasi selama ini telah diketahui faktor-faktor penyebabnya, maka menjadi dipertanyakan lebih mendalam tentang bagaimana proses dan makna migrasi bakul gendong bagi mereka? Fakta-fakta yang dulunya tidak diperhatikan (dianggap tidak penting), proses "reduksi" menjadi suatu sikap yang memperhatikan akan hal itu, sehingga mendapatkan sesuatu yakni makna migrasi bagi mereka. Di saat peneliti mulai merefleksi dunia yang telah "tereduksi" maka segera akan menemukan bahwa dunia bukanlah bersifat pribadi, tetapi suatu dunia makna dan nilai yang telah diciptakan secara inter subjektif.

  Dari hasil penelitian tentang makna migrasi sirkuler bagi bakul semanggi gendong, dapat disimpulkan bahwa makna migrasi sirkuler yang dilakukan memiliki makna antara lain: 1) Migrasi sirkuler bakul gendong bermakna ekonomi; 2. Migrasi sirkuler bakul gendong bermakna religius; 3) Migrasi sirkuler bakul gendong bermakna solidaritas; 4) Migrasi sirkuler bakul gendong bermakna pengetahuan, dan 5) Migrasi sirkuler bakul gendong bermakna tradisi.

  Dengan demikian, tindakan bakul semanggi gendong melakukan migrasi sirkuler khas ke Surabaya dapat penulis temukan proposisisebagai berikut:

   Migrasi sirkuler khas bakul semanggi gendong semanggi di Kota Surabaya bermakna ekonomi, religius, solidaritas, pengetahuan, dan tradisi.

  Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang berfokus pada analisis pemahaman dan pemaknaan, dengan paradigma definisi sosial yang bergerak pada kajian mikro. Metode analisis data menggunakan first order understanding, yakni meminta peneliti aliran ini menanyakan kepada subjek penelitian guna mendapatkan penjelasan yang benar, informasi inilah yang disebut eksternalisasi menurut pemahaman Berger. Selanjutnya. peneliti melakukansecond order understanding, yakni peneliti memberikan interpretasi terhadap interpretasi subjek penelitian guna memperoleh suatu makna baru mengenai alasan yang mendasari tindakan mereka memilih bekerja menjadi bakul semanggi gendong, dengan menjaga eksistensi serta melakukan migrasi sirkuler, konstruksi sosial menjadi bakul semanggi gendong dan maknanya, informasi inilah yang disebut objektivasi menurut pemahaman Berger.

  Pada konteks memahami makna bakul semanggi gendong ini digunakan pendekatan fenomenologi Berger dan Luckman sebagaimana pandangan ini menyatakan bahwa tindakan manusia adalah sebagai produk proses internalisasi dan eksternalisasi, artinya setiap tindakan yang dilakukan manusia dilakukan secara dialektik bagi dirinya sendiri, serta dalam dirinya dengan kondisi masyarakat di sekitarnya. Masyarakat adalah produk individu (eksternalisasi) dan sebaliknya masyarakat mempengaruhi kembali individu (internalisasi), (Berger, 1994:210). Dalam konsep ini Berger menempatkan subjek terteliti sebagai subjek yang kritis dan problematik, artinya menyertakan pengetahuan yang dimiliki oleh subjek peneliti.

  Dengan demikian untuk memahami makna bakul semanggi gendong bagi dirinya sendiri meliputi proses eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi.

  Proses eksternalisasi pada hakekatnya adalah proses penyesuaian dengan struktur sosial yang ada. Dalam hal ini adalah struktur sosial masyarakat sekitar bakul gendong yang didominasi oleh struktur masyarakat pedagang dan buruh.

  Bakul semanggi gendong dimaknai di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar sebagai seorang perempuan yang bekerja sebagai bakul semanggi gendong di kota Surabaya, mempertahankan tradisi keluarga yang turun- temurun, dan menjadi tulang punggung bagi keluarga.

  Usaha menjadi bakul semanggi gendong tidak semua orang mampu melakukannya. Dengan keahlian memasak daun semanggi menjadi suatu kuliner yang khas dan menjadi ikon kota Surabaya serta digemari oleh sebagian masyarakat kota Surabaya, tentunya akan menjadi beban tersendiri bagi bakul semanggi gendong untuk menjaga dan melestarikannya.

  Selama ini harus diakui bahwa masih sedikit dan terbatassuatu penelitian yang mendalam dan komprehensiftentang bakul semanggi gendong.Kajian mendalam yang dimaksud adalah melihat bagaimanaperilaku dan aktivitas para bakul semanggi gendong yang lebih didominasi oleh aspek ekonomi yang ternyata menyimpan potensi dan nilai-nilai sosial budaya. Nilai-nilai tersebut sesungguhnya merupakan suatu bentuk nilai yang muncul dari tatanan kedaerahan yang berbentuk ikatan-ikatan budaya,persaudaraan, sehingga nilai- nilaiinilah yang menjadi simbol kearifan lokal (local wisdom).

Dokumen yang terkait

Praktek Sewa Beli Di Indonesia (Suatu Pengamatan Atas Kasus-Kasus Sewa Beli Di Surabaya) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 5 55

PEMBANGUNAN DI ERA DESENTRALISASI Studi Kritis Realitas Pembangunan Dan Kelembagaan Di Kabupaten Blitar Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 105

PEMBANGUNAN DI ERA DESENTRALISASI Studi Kritis Realitas Pembangunan Dan Kelembagaan Di Kabupaten Blitar Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 181

KOORDINASI DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Studi Pada Kantor Bersama Samsat Di Surabaya) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 195

KOMUNITAS AMBON DAN BUDAYA RANTAU (Studi Tentang Pengetahuan Kearifan Lokal Di Kalangan Komunitas Ambon Dalam Memaknai Identitas Budayanya Di Kota Surabaya) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 3 245

Pola Tindakan Dalam Mereaksi Kondisi Sakit Pada Masyarakat Miskin (Studi Deskriptif Tentang Persepsi Sehat-Sakit Di Kelurahan Sidotopo Wetan Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 123

IMPLEMENTASI PROGRAM SUBSIDI LANGSUNG TUNAI (Studi Deskriptif tentang Implementasi Program Subsidi Langsung Tunai di Kecamatan Bulak Kota Surabaya) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 190

IMPLEMENTASIPENANGGULANGAN BENCANA(Studi Deskriptif di SATLAK PB dalam Penanggulangan Bencana Kota Surabaya) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 17

PERSEPSI WISATAWAN ASING TERHADAP PUSAT INFORMASI PARIWISATA KOTA SURABAYA (SURABAYA TOURISM INFORMATION CENTER) (Studi Deskriptif Tentang Persepsi Pengguna Terhadap Pusat Informasi Pariwisata Kota Surabaya) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 18

EKSISTENSI BAKUL SEMANGGI GENDONG (Studi Tentang Kelembagaan Ekonomi Keluarga Dan Migrasi Khas Bakul Semanggi Gendong Di Kota Surabaya) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 130