BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan - DESIANA PUTRI IKAWATI MANUHUTU BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Keagenan

  Dalam teori keagenan (agency theory), hubungan keagenan muncul ketika satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut (Jensen dan Meckling, 1976) dalam Pradipta (2011).

  Hubungan teori keagenan adalah sebuah kontrak antara manajemen (agent) dengan investor (principal). Investor memiliki kepentingan agar dana yang diinvestasikanya memberikan pendapatan yang maksimal, sedangkan manajemen mempunyai kepentingan untuk memaksimumkan kesejahteraannya sendiri. Salah satu kendala yang akan muncul antara manajemen (agent) dan investor (principal) adalah adanya asimetri informasi. Asimetri informasi merupakan suatu keadaan dimana manajer memiliki akses informasi atas prospek perusahaan yang yang tidak dimiliki oleh pihak luar perusahaan. Kondisi ini memberikan kesempatan kepada agent untuk menggunakan informasi yang diketahuinya untuk memanipulasi pelaporan keuangan sebagai usaha untuk memaksimalkan keuntungannya. Asimetri informasi ini mengakibatkan terjadinya moral hazrad berupa usaha manajemen untuk melakukan earnings management (Palestin, 2008).

  Agency theory muncul berdasarkan adanya fenomena pemisahan antara

  pemilik perusahaan (pemegang saham) dengan para manajer yang mengelola perusahaan. Fakta-fakta empiris menunjukan bahwa para manajer tidak selamanya bertindak sesuai dengan kepentingan para pemilik perusahaan, melainkan sering kali terjadi bahwa pengelola perusahaan (direksi dan manajer) bertindak mengejar kepentingan mereka (Solihin, 2009:120).

2.2 Manajemen Laba

  Manajemen laba merupakan setiap tindakan manajemen yang dapat mempengaruhi angka laba yang dilaporkan. Scott (2000) dalam Pradipta (2011) menyatakan bahwa manajemen laba dapat dilakukan dengan beberapa strategi antara lain meningkatkan pendapatan atau keuntungan yaitu dengan mempercepat pencatatan pendapatan dan menunda biaya atau memindah biaya ke periode lain (income maximization and minimalization).

  Pola manajemen laba yang berkaitan dengan meningkatkan laba dapat dilakukan dengan cara taking a bath dan income maximization. Menurut Scott (2003), pola taking a bath terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan Chief Executive Officer (CEO) baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di masa yang akan datang. Pola Income maximization adalah memaksimalkan laba yang dilaporkan agar memperoleh bonus yang lebih besar. Income maximization dilakukan pada saat laba mengalami penurunan. Kecenderungan manajer untuk memaksimalkan laba juga dapat dilakukan pada perusahaan yang melakukan suatu pelanggaran perjanjian utang.

  Perilaku manajemen laba juga dapat dijelaskan melalui Positive

  

Accounting Theory . Watts dan Zhimmerman (1986) dalam Sosiawan (2012)

  merumuskan tiga hipotesis Positive Accounting Theory yang dapat dijadikan dasar motivasi tindakan manajemen laba. Pertama, The Bonus Plan

  Hypotesis . Pada perusahaan yang memliki rencana pemberian bonus, manajer

  perusahaan lebih menyukai metode akuntansi yang meningkatkan laba periode berjalan.

  Kedua, The Debt to Equity Hypotesis. Pada perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity tinggi, manajer perusahaan cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat meningkatkan pendapatan atau laba. Perusahaan dengan rasio debt to equity yang tinggi akan mengalami kesulitan dalam memperoleh tambahan dari pihak kreditor bahkan perusahaan terancam melanggar perjanjian utang.

  Ketiga, The Political Cost Hypotesis. Pada perusahaan besar memiliki biaya politik tinggi, manajer akan lebih memilih metode akuntasi yang menangguhkan laba yang dilaporkan dari periode sekarang ke periode masa mendatang sehingga dapat memperkecil laba yang dilaporkan. Biaya politik muncul karena profitabilitas perusahaan yang tinggi dapat menarik perhatian media dan konsumen.

  Menurut De Angelo (1986) dalam I Guna dan Herawaty (2010) menyatakan konsep model akrual memiliki dua komponen, yaitu komponen

  discretionary dan non-discretionary. Komponen discretionary accruals

  merupakan bagian dari akrual yang memungkinkan manajer melakukan intervensinya dalam memanipulasi laba perusahaan. Hal ini disebabkan karena manajer memiliki kemampuan untuk mengontrolnya dalam jangka pendek. Komponen discretionary accrual diantaranya terdiri dari penilaian piutang, pengakuan biaya garansi (future warranty expense) dan aset modal

  (capitalization assents). Sedangkan komponen non-discreationary accruals ditentukan oleh faktor-faktor lain yang tidak dapat diawasi oleh manajer.

  Dalam penelitian ini, manajemen laba diukur dengan menggunakan proksi Discretionary Accrual yang diukur dengan The Modified Jones Model (1991).

  Manajemen laba merupakan fenomena yang sukar dihindari karena fenomena ini merupakan dampak dari penggunaan dasar akrual dalam penyusunan laporan keuangan.

2.3 Corporate Governance

  Menurut I Guna dan Herawaty (2010) mengemukan bahwa good

  

corporate governance atau tata kelola perusahaan yang baik dapat

  didefinisikan sebagai sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah bagi setiap stakeholders. Ada dua hal yang ditekankan dalam mekanisme ini yaitu pertama: pentingnya hak pemegang saham atau investor untuk memperoleh informasi dengan benar (akurat) dan tepat pada waktunya. Kedua: kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan secara akurat, tepat waktu dan transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholders.

  

Corporate governance merupakan konsep yang diajukan demi

  peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau monitoring kinerja manajemen dan menjamin akuntabilitas manajemen terhadap stakeholder dengan mendasarkan pada kerangka peraturan. Bila konsep ini diterapkan dengan baik maka diharapkan pertumbuhan ekonomi akan terus menanjak seiring dengan transparansi pengelolaan perusahaan yang makin baik dan nantinya menguntungkan banyak pihak (Nasution dan Setiawan, 2007).

  

Forum for corporate governance in Indonesia (FCGI, 2001) merumuskan

  tujuan dari corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (Stakeholders). Corporate governance mengandung empat unsur penting yaitu keadilan, transparansi, pertanggungjawaban, dan akuntabilitas yang diharapkan dapat menjadi suatu jalan dalam mengurangi konflik keagenan.

  

Corporate governance dapat didefinisikan sebagai suatu proses dan

  struktur yang digunakan oleh manajemen perusahaan (pemegang saham atau pemilik modal, komisaris datau dewan pengawas dan direksi) untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya. Adapun prinsip-prinsip

  Corporate Governance (Solihin, 2009: 125) yaitu : a. Transparansi (Transparancy), mewajibkan adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu, serta jelas dan dapat diperbandingkan, yang menyangkut keadaan keuangan, pengelolaan perusahaan, dan kepemilikan perusahaan.

  b. Akuntabilitas (Accountability), menjelaskan peran dan tanggungjawab serta mendukung usaha untuk penyeimbangan kepentingan manajemen dan pemegang saham, sebagaimana yang diawasi oleh dewan komisaris.

  c. Pertanggungjawaban (Responsibility), memastikan dipatuhinya peraturan-peraturan serta ketentuan yang berlaku sebagai cermin dipatuhinya nilai-nilai sosial.

  d. Independensi (Independency), untuk melancarkan pelaksanaan

  Good Corporate Governance , perusahaan harus dikelola secara

  independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.

  e. Kewajaran dan kesetaraan (fairness), dalam melaksanakan kegiatannya perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.

2.4 Kepemilikan Manajerial

  Kepemilikan manajerial adalah saham yang dimiliki oleh manajemen secara pribadi maupun saham yang dimiliki oleh anak cabang perusahaan bersangkutan beserta afiliasinya (I Guna dan Herawaty, 2010). Disamping itu manajemen laba sangat ditentukan oleh motivasi manajer perusahaan. Motivasi yang berbeda akan menghasilkan besaran manajemen laba yang berbeda, seperti antara manajer yang juga sekaligus sebagai pemegang saham dan manajer yang tidak sebagai pemegang saham. Dua hal tersebut akan mempengaruhi manajemen laba, sebab kepemilikan seorang manajer akan ikut menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan terhadap metode akuntansi yang diiterapkan pada perusahaan yang mereka kelola. Secara umum dapat dikatakan bahwa presentase tertentu kepemilikan saham oleh pihak manajemen cenderung mempengaruhi tindakan manajemen laba (Boediono, 2005).

2.5 Kepemilikan Institusional

  Kepemilikan institusional merupakan kepemilikan saham perusahaan oleh institusi seperti perusahaan asuransi, bank, dana pensiun, dan investment banking. Kepemilikan institusional merupkan salah satu cara untuk memonitor kinerja manajer dalam mengelola perusahaan sehingga dengan adanya kepemilikan oleh institusi lain diharapkan bisa mengurangi perilaku manajemen laba yang dilakukan manajer.

  Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif. Cornett et al.

  (2006) dalam Pujiati & Arfan (2013) menemukan adanya bukti yang menyatakan bahwa tindakan pengawasan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dan pihak investor institusional dapat membatasi perilaku para manajer. Tindakan pengawasan tersebut dapat mendorong manajer untuk lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan, sehingga akan mengurangi perilaku opportunistic atau mementingkan diri sendiri.

  Investor institusional merupakan pihak yang dapat memonitoring agen dengan kepemilikannya yang besar, sehingga motivasi manajer untuk mengatur laba menjadi berkurang. Prosentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat mempengaruhi proses penyusuan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen

2.6 Dewan Direksi

  Direksi bertugas dan bertanggung jawab secara kolegial dalam mengelola perusahaan. Masing-masing anggota direksi dapat melaksanakan tugas dan mengambil keputusan sesuai dengan pembagian tugas dan wewenangnya. Namun, pelaksanaan tugas oleh masing-masing anggota direksi tetap merupakan tanggung jawab bersama. Kedudukan masing-masing anggota direksi termasuk direktur utama adalah setara (Adrianto dan Anis, 2014).

  Dewan direksi adalah sistem manajemen yang memungkinkan optimalisasi peran anggota direksi dalam penyelenggaraan corporate

  

governance . Tugas dewan direksi adalah menelaah kinerja manajemen

  untuk meyakinkan bahwa perusahaan dijalankan secara baik dan kepentingan pemegang saham dilindungi. Peran direksi adalah organ yang menjalankan fungsi pengelolaan perusahaan dengan tujuan menciptakan nilai tambah bagi stakeholders (Khanafiyah, 2014). Jadi, dewan direksi memiliki peran penting dalam perusahaan yaitu untuk menentukan arah dan kebijakan perusahaan baik dalam jangka pendek maupun panjang.

  Dalam Adrianto dan Anis (2014) komposisi direksi harus memungkinkan pengambilan keputusan secara efektif, tepat dan cepat serta dengan bertindak independen. Dewan direksi bertanggung jawab terhadap pengelolaan perusahaan agar dapat menghasilkan keuntungan memastikan kesinambungan usaha. Dewan direksi mempertanggungjawabkan kepengurusannya dalam RUPS. Fungsi dari direksi yaitu meliputi kepengurusan, manajemen resiko, pengendalian internal, komunikasi dantanggung jawab sosial.

  a. Kepengurusan

  • Menyusun visi, misi dan nilai-nilai serta program jangka panjang dan jangka pendek perusahaan.
  • Mengendalikan sumber daya secara efektif dan efisien.
  • Memperhatikan kepentingan yang wajar dari pemangku kepentingan.
  • Dapat memberikan kuasa kepada komite atau karyawan untuk melaksanakan tugas tertentu, namun tanggung jawab tetap berada pada direksi.
  • Memiliki tata tertib dan pedoman kerja (charter).
b. Manajemen Resiko

  • Menyusun dan melaksanakan sistem manajemen resiko perusahaan yang mencakup seluruh aspek kegiatan perusahaan.
  • Untuk setiap pengembalian keputusan strategis, termasuk penciptaan produk atau jasa baru, harus diperhitungkan dengan seksama dampak resikonya, dalam arti adanya keseimbangan antara hasil dan beban resiko.
  • Untuk memastikan dilaksanakannya manajemen resiko dengan baik, perusahaan perlu memiliki unit kerja atau penanggung jawab terhadap pengendali resiko.

  c. Pengendalian Internal

  • Menyusun, memiliki dan melaksanakan sistem pengendalian internal, termasuk auditor internal dan auditor eksternal.
  • Perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek, perusahaan negara, perusahaan yang menghimpun dan mengelola dana masyarakat, perusahaan yang produk atau jasanya digunakan oleh masyarakat luas, serta perusahaan yang mempunyai dampak luas terhadap kelestarian lingkungan, harus memiliki satuan kerja pengawasan internal.
  • Satuan kerja pengawasan internal bertugas membantu direksi dalam memastikan pencapaian tujuan dan kelangsungan usaha.

  • Satuan kerja pengawasan internal bertanggung jawab kepada direktur utama dan mempunyai hubungan fungsional dengan dewan komisaris melalui komite audit.

  d. Komunikasi Direksi harus memastikan kelancaran komunikasi dengan pemangku kepentingan dengan memberdayakan fungsi sekretaris perusahaan. Fungsi sekretaris perusahaan adalah memastikan kelancaran komunikasi dan menjamin tersedianya informasi bagi pemangku kepentingan.

  e. Tanggungjawab Sosial Dalam rangka mempertahankan kesinambungan usaha perusahaan, direksi harus dapat memastikan dipenuhinya tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Direksi harus mempunyai perencanaan tertulis yang jelas dan fokus dalam melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.

2.7 Komite Audit

  Komite audit merupakan komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan perusahaan. Komite audit dibentuk oleh suatu perusahaan yang berfungsi untuk memberikan pandangan mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan kebijakan keuangan, akuntansi, dan pengendalian intern. Selain itu, keberadaan komite audit juga berfungsi untuk membantu dewan komisaris dalam mengawasi pihak manajemen dalam menyusun laporan keuangan (I Guna & Herawaty, 2010).

  Tujuan dari keberadaan komite audit di perusahaan adalah

  1. Memberikan kepastian bahwa laporan keuangan yang dikeluarkan oleh manajemen perusahaan telah sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum serta disajikan secara wajar dan tidak menyesatkan.

  2. Memberikan kepastian bahwa pengendalian internal perusahaan telah memadai.

  3. Melakukan pengawasan dan menindaklanjuti kemungkinan penyimpangan material dalam bidang keuangan dan implikasi hukumnya.

  4. Memberikan rekomendasi dalam pemilihan auditor eksternal yang akan melakukan audit diperusahaan.

2.8 Kompensasi Bonus

  Bonus plan hypotesis merupakan salah satu motif pemiilihan suatu metode akuntansi tidak terlepas dari positif accounting theory.

  Hipotesis ini menyatakan bahwa manajer perusahaan dengan rencana bonus lebih menyukai metode akuntansi yang meningkatkan laba periode berjalan. Jika perusahaan memiki kompensasi (bonus

  scheme), maka manajer akan cenderung melakukan tindakan yang mengatur laba bersih untuk dapat memaksimalkan bonus yang mereka terima (Palestin, 2008).

  Menurut Pujiati dan Arfan (2013) pemberian bonus seringkali dikaitkan dengan tingkat laba bersih yang dihasilkan pada tahun yang bersangkutan. Manajer akan berusaha mengatur laba bersih sedemikian rupa sehingga dapat memaksimalkan bonusnya. Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan yang sebenarnya akan bertindak oportunis untuk melakukan manajemen laba.

Tabel 2.9 Penelitian Terdahulu No Judul Penelitian Penelitian Hasil Penelitian

  power terhadap

  I Guna & Herawaty (2010)

  independensi auditor,

  good corporate governance,

  6 Pengaru mekanisme

  management

  X1= Institutional investor tidak berpengaruh signifikan terhadap earnngs management X2= Jumlah saham yang dimiliki manajer tidak berpengaruh terhadap earnings management X3= Anggota dewan direksi berpengaruh signifikan terhadap earnings management X4= Susunan komite audit tidak berpengaruh signifikan terhadap earnings management X5= DER tidak berpengaruh terhadap earnings

  manajemen laba Pradipta (2011)

  governance terhadap

  5 Analisis pengaruh mekanisme corporate

  X1= Kompensasi tidak berpengaruh terhadap manajemen laba X2= Leverage tidak berpengaruh positif terhadap manajemen laba X3= Ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba X4= Earning power berpengaruh positif terhadap manajemen laba

  manajemen laba Sosiawan (2012)

  perusahaan, earnings

  1 Pengaruh struktur kepemilikan dan praktik

  leverage , ukuran

  4 Pengaruh kompensasi,

  X1= Kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap manajemen laba X2= Kepemilikan isntitusional berpengaruh negatif terhadap manajemen laba X3= Kompensasi bonus berpengaruh positif terhadap manajemen laba

  Pujiati & Arfan (2013)

  3 Pengaruh struktur kepemilikan dan kompensasi bonus terhadap manajemen laba

  X1= Kompensasi bonus tidak berpengaruh terhadap manajemen laba X2= Leverage berpengaruh positif terhadap manajemen laba X3= Pajak berpengaruh positif terhadap manajemen laba

  Wijaya & Christiawan (2014)

  2 Pengaruh kompensasi bonus, leverage, dan pajak terhadap manajemen laba

  X1= Kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba X2= Dewan komisaris tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba X3= Komite audit tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba X4= Kualitas audit tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba

  terhadap manajemen laba Shiyammurti (2014)

  corporate governance

  X1= Kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap manajemen laba X2= Kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap manajemen laba

  No

  corporate governance

  10 Pengaruh kompensasi bonus dan leverage terhadap manajemen

  X1= Kepemilikan institusional berpengruh terhadap manajemen laba X2= Kepemilikan manajerial berpengauh terhadap manajemen laba X3= Dewan direksi tidak berpengaruh terhadap manajemen laba X4= Komite audit berpengaruh terhadap manajemen laba X5= Kebijakan hutang berpengaruh terhadap manajemen laba

  Adrianto & Anis (2014)

  dan kontrak hutang terhadap praktik manajemen laba

  corporate governance

  9 Pengaruh struktur

  X1= Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap manajemen laba X2= Kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap manajemen laba X3= Dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap manajemen laba X4= Ukuran dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap manajemen laba X5= Komite audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba

  pada manajemen laba Sari & Putri (2014)

  8 Pengaruh mekanisme

  kualitas audit dan faktor lain terhadap manajemen laba

  X1= Struktur kepemilikan berpengaruh negatif terhadap manajemen laba X2= Dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap manajemen laba X3= Komite audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba X4= Ukuran KAP berpengaruh negatif terhadap manajemen laba X5= Kompensasi bonus berpengaruh positif terhadap manajemen laba

  Palestin (2008)

  kompensasi bonus terhadap manajemen laba

  governance dan

  7 Analisis pengaruh struktur kepemilikan, praktik corporate

  X5= Independensi auditor tiidak berpengaruh terhadap manajemen laba X6= Leverage berpengaruh terhadap manajemen laba X7= Kualitas audit berpengaruh terhadap manajemen laba

  Hasil Penelitian

  X3= Komite audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba X4= Komisaris independen tidak berpengaruh terhadap manajemen laba

  Judul Penelitian Peneliti

  Elfira (2014) X1= Kompensasi bonus berpengaruh positif terhadap manajemen laba X2= Leverage berpengaruh negatif terhadap laba manajemen laba

2.10 Kerangka Pemikiran

  Berdasarkan landasan teori dan penelitian terdahulu, penelitian ini menggunakan variabel independen kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dewan direksi, komite audit, dan kompensasi bonus, sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah manajemen laba.

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

  Kepemilikan Manajerial (X1)

H1(-)

  Kepemilikan

H2(-)

  Institusional (X2)

  Manajemen

  Dewan Direksi (X3) H3(+)

  Laba (Y)

H4(-)

  Komite Audit (X4) Kompensasi Bonus

  H5( +)

  (X5)

  

2.10.1 Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Manajemen

Laba

  Kepemilikan manajerial merupakan faktor yang dianggap berpengaruh terhadap manajemen laba. Kepemilikan manajerial adalah kepemilikan saham oleh manajemen secara pribadi maupun saham yang dimiliki anak cabang perusahaan bersangkutan (I Guna dan Herawaty, 2010). Jika manajer mempunyai kepemilikan pada perusahaan, maka manajer juga mempunyai kepentingan didalamnya. Besar kecilnya jumlah kepemilikan saham manajerial dalam perusahaan dapat mengindikasikan adanya kesamaan kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham, namun jika kepentingan manajer dan pemilik dapat disejajarkan, manajer tidak akan termotivasi untuk memanipulasi informasi atau melakukan manajemen laba sehingga kualitas informasi akuntansi dan keinformatifan laba dapat meningkat (Faisal, 2004) dalam (Pujiati dan Arfan, 2013). Dengan memperbesar kepemilikan manajerial diharapkan dapat mengurangi adanya tindakan manajemen laba dan besarnya kepemilikan manajerial diharapkan dapat meningkatkan kualitas dalam pelaporan keuangan serta laba yang dihasilkan. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : H

  1 : Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.

  

2.10.2 Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Manajemen

Laba

  Kepemilikan institusional merupakan faktor yang dianggap berpengaruh terhadap manajemen laba. Kepemilikan institusional merupakan salah satu cara untuk mengawasi kinerja manajer dalam mengelola perusahaan sehingga dengan adanya kepemilikan oleh institusi lain diharapkan bisa mengurangi perilaku manajemen laba yang dilakukan manajer (Pujiati dan Arfan, 2013). Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

  H

  2 : Kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.

2.10.3 Pengaruh Dewan Direksi terhadap Manajemen Laba

  Jumlah Dewan Direksi (board ofdirector) berpengaruh terhadap efektif tidaknya pengawasan kinerja manajer (CEO).

  Jumlah dewan direksi yang semakin banyak, mengakibatkan proses pengawasan kurang efektif dan dapat meningkatkan praktik manajemen laba oleh manajemen. Manajemen akan lebih bebas dalam melakukan manajemen laba karena dewan direksi menjadi kurang waspada akibat kurangnya komunikasi dan koordinasi antar dewan dengan jumlah yang besar (Purwandari,

  2011). Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : H

  3 : Dewan direksi berpengaruh positif terhadap manajemen laba.

  2.10.4 Pengaruh Komite Audit terhadap Manajemen Laba

  Komite audit merupakan faktor memiliki pengaruh terhadap manajemen laba dimana komite audit akan mengurangi terjadinya praktik manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Jaggi dan Leung (2007) dalam Adrianto dan Anis (2014) menunjukan bahwa komite audit sangat berperan dalam mengurangi earnings management pada perusahaan dengan kepemilikan yang terkontrolisasi. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

  H : Komite audit berpengaruh negatif terhadap manajemen

  4 laba.

  2.10.5 Pengaruh Kompensasi Bonus terhadap Manajemen Laba

  Pemberian bonus seringkali dikaitkan dengan tingkat laba bersih yang dihasilkan pada tahun yang bersangkutan. Manajer akan berusaha mengatur laba bersih sedemikian rupa sehingga memaksimalkan bonusnya. Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan yang sebenarnya akan bertindak

  opportunistic untuk melakukan manajemen laba (Pujiati dan

  Arfan, 2013). Jika perusahaan memiliki kompensasi, maka manajer akan cenderung melakukan tindakan yang mengatur laba bersih untuk dapat memaksimalkan bonus yang mereka terima (Palestin, 2008). Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

  H

  5 : Kompensasi bonus berpengaruh positif terhadap manajemen laba.