BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori - SOIMATUL MUBAROKAH BAB II

  kehidupan manusia. Lanjut usia adalah suatu proses alami yang tidak bisa dihindarkan. Proses menjadi tua disebabkan oleh faktor bioligik yang terdiri dari tiga fase yaitu fase progresif, fase stabil dan fase regresif (Depkes RI, 2007).

  Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia apabila usianya 65 tahun keatas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan.

  Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis.

  Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Efendi, 2009).

  b.

  Batasan-batasan lanjut usia Menurut pendapat berbagai ahli dalam Efendi (2009) batasan- batasan umur yang mencakup batasan umur lansia adalah sebagai berikut:

  12

  1) Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas”.

  2) Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi menjadi empat kriteria berikut : a) usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun b) lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun c) lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun d) usia sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun.

  3) Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase yaitu :

  a) Fase inventus ialah 25-40 tahun,

  b) Fase virilities ialah 40-55 tahun,

  c) Fase presenium ialah 55-65 tahun,

  d) Fase senium ialah 65 hingga tutup usia. 4)

  Menurut Eliopolous batasan usia lanjut yaitu:

  a) Setengah tua yaitu usia antara 60- 74 tahun.

  b) Tua yaitu usia antara 75- 100 tahun.

  c) Sangat tua yaitu usia > 100 tahun. c.

  Proses Penuaan

  Aging process atau proses penuaan merupakan suatu proses biologis yang tidak dapat dihindari dan akan dialami oleh setiap orang.

  Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan (gradual) kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti serta mempertahankan struktur dan fungsi secara normal, ketahanan terhadap cedera, termasuk adanya infeksi. Proses penuaan sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit. Sebenarnya tidak ada batasan yang tegas, pada usia berapa kondisi kesehatan seseorang mulai menurun.

  Setiap orang memiliki fungsi fisiologis alat tubuh yang sangat berbeda, baik dalam hal pencapaian puncak fungsi tersebut maupun saat menurunnya. Umumnya fungsi fisiologis tubuh mencapai puncaknya pada usia 20-30 tahun. Setelah mencapai puncak, fungsi alat tubuh akan berada dalam kondisi tetap utuh beberapa saat, kemudian menurun sedikit demi sedikit sesuai dengan bertambahnya usia (Mubarak, 2009).

  Pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai masalah, baik secara biologis, mental, maupun ekonomi. Semakin lanjut usia seseorang, maka kemampuan fisiknya akan semakin menurun, sehingga dapat mengakibatkan kemunduran pada peran-peran sosialnya (Tamher, 2009). Oleh karena itu, perlu membantu lansia untuk menjaga harkat dan otonomi maksimal meskipun dalam keadaan kehilangan fisik, sosial dan psikologis (Smeltzer, 2009).

  d.

  Teroti – teori penuaan 1)

  Teori biologis Teori biologi mencakup teori genetik dan mutasi, immunology slow theory, teori stres, teori radikal bebas, dan teori rantai silang.

  a) Teori genetik dan mutasi. Menurut teori genetik dan mutasi, semua terprogram secara genetik untuk spesies-spesies tertentu.

  Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi.

  b)

  Immunology slow theory. Menurut immunology slow theory,

  sistem imun menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus kedalam tubuh yang dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.

  c) Teori stres. Teori stres mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stres yang menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.

  d) Teori radikal bebas. Radikal bebas dapat terbentuk dialam bebas, tidak stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat melakukan regenerasi.

  2) Teori psikologi Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Adanya penurunan dan intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan belajar pada usia lanjut menyebabkan mereka sulit untuk dipahami dan berinteraksi. Persepsi merupakan kemampuan interpretasi pada lingkungan. Dengan adanya penurunan fungsi sistem sensorik, maka akan terjadi pula penurunan kemampuan untuk menerima, memproses, dan merespons stimulus sehingga terkadang akan muncul aksi/reaksi yang berbeda dari stimulus yang ada.

  3) Teori sosial Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu teori interaksi sosial (social exchange theory), teori penarikan diri (disengagement theory), teori aktivitas (activity theory), teori kesinambungan (continuity theory), teori perkembangan (development

  theory), dan teori stratifikasi usia (age stratification theory).

  a) Teori interaksi sosial. Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lansia bertindak pada suatu situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Pada lansia, kekuasaan dan prestasinya berkurang sehingga menyebabkan interaksi sosial mereka juga berkurang, yang tersisa hanyalah harga diri dan kemampuan mereka untuk mengikuti perintah.

  b) Teori penarikan diri. Teori ini menyatakan bahwa kemiskinan yang diderita lansia dan menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan seorang lansia secara perlahan-lahan menarik diri dari pergaulan di sekitarnya.

  c) Teori aktivitas. Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung bagaimana seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktivitas serta mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting dibandingkan kuantitas dan aktivitas yang dilakukan.

  d) Teori kesinambungan. Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan lansia. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambarannya kelak pada saat ia menjadi lansia. Hal ini dapat terlihat bahwa gaya hidup, perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak berubah meskipun ia telah menjadi lansia.

  e) Teori perkembangan. Teori perkembangan menjelaskan bagaimana proses menjadi tua merupakan suatu tantangan dan bagaimana jawaban lansia terhadap berbagai tantangan tersebut yang dapat bernilai positif ataupun negatif. Akan tetapi, teori ini tidak menggariskan bagaimana cara menjadi tua yang diinginkan atau yang seharusnya diterapkan oleh lansia tersebut.

  f) Teori stratifikasi usia. Keunggulan teori stratifikasi usia adalah bahwa pendekatan yang dilakukan bersifat deterministik dan dapat dipergunakan untuk mempelajari sifat lansia secara kelompok dan bersifat makro. Setiap kelompok dapat ditinjau dari sudut pandang demografi dan keterkaitannya dengan kelompok usia lainnya.

  Kelemahannya adalah teori ini tidak dapat dipergunakan untuk menilai lansia secara perorangan, mengingat bahwa stratifikasi sangat kompleks dan dinamis serta terkait dengan klasifikasi kelas dan kelompok etnik.

  4) Teori spiritual Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang arti kehidupan.

  e.

  Perubahan yang terjadi pada lansia Seiring dengan pertambahan usia pada lansia, lansia banyak mengalami perubahan. Perubahan yang di alami lansia meliputi perubahan mental, fisik, dan kehidupan seksual. Perubahan mental meliputi: 1) daya ingat menurun, terutama peristiwa yang baru saja terjadi, 2) sering lupa/ pikun, sering sangat menggangu dalam pergaulan dengan lupa nama orang, 3) emosi berubah, sering marah-marah, harga diri tinggi, dan mudah tersinggung.

  Sedangkan perubahan fisik meliputi: 1) kekuatan fisik secara menyeluruh dirasakan berkurang, merasa cepat capek dan stamina menurun, 2) sikap badan yang semula tegap jadi membongkok, otot-otot mengecil, hipotrofis, 3) kulit mengerut dan menjadi keriput, garis-garis di wajah dan sudut mata, 4) rambut memutih dan pertumbuhan berkurang, 5) gigi mulai rontok, 6) pendengaran, daya cium, dan perasa mulut menurun, 7) perubahan pada mata, pandangan dekat berkurang, adaptasi gelap melambat, lingkaran putih pada kornea dan lensa menjadi keruh, dan 8) pengapuran pada tulang rawan.

  Perubahan fisiologis pada lanjut usia yang berkaitan dengan kejadian jatuh diantaranya adalah perubahan sistem muskuloskeletal, sistem persyarafan dan sistem sensoris (Lueckenotte, 2006). 1)

  Perubahan Muskuloskeletal Gangguan musculoskeletal pada usia lanjut merupakan salah satu kasus yang lazim dijumpai pada praktik sehari-hari. Penurunan progesif pada massa tulang total terjadi sesuai proses penuaan. Beberapa kemungkinan penyebab dari penurunan ini meliputi ketidak aktifan fisik, perubahan hormonal, dan pemecahan tulang (resorpsi

  

tulang). Perubahan muskuloskeletal antara lain pada jaringan

penghubung, kartilago, tulang, otot dan sendi.

  a) Jaringan penghubung (kolagen dan elastin) Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan penurunan hubungan pada jaringan kolagen, merupakan salah satu alasan penurunan mobilitas pada jaringan tubuh. Sel kolagen mencapai puncak mekaniknya karena penuaan, kekakuan dari kolagen mulai menurun. Kolagen dan elastin yang merupakan jaringan ikat pada jaringan penghubung mengalami perubahan kualitas dan kuantitasnya. Perubahan pada kolagen itu merupakan penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kemampuan untuk meningkatkan kekuatan otot, kesulitan bergerak dari duduk keberdiri, jongkok dan berjalan dan hambatan dalam melekukan aktivitas sehari-hari. upaya fisioterapi untuk mengurangi dampak tersebut adalah memberikan latihan untuk menjaga mobilitas.

  b) Kartilago Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan mengalami granulasi akhirnya permukaan sendi menjadi rata. Selanjutnya kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung ke arah progesif. Proteoglikan yang merupakan komponen dasar matrik kartilago berkurang atau hilang secara bertahap. Sehingga jaringan fibril pada kolagen kehilangan kekuatanya dan akhirnya kartilago cenderung mengalami fibrilasi. Kartilago mengalami kalsifikasi di beberapa tempat seperti pada tulang rusuk dan tiroid. Fungsi kartilago menjadi tidak efektif tidak hanya sebagai peredam kejut, tetapi sebagai permukaan sendi yang berpelumas. Konsekuensinya kartilago pada persendian menjadi rentan terhadap gesekan.

  Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar penumpu berat badan. Akibat perubahan itu sendi mudah mengalami peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak dan terganggunya aktivitas sehari-hari. Untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dapat diberikan teknik perlindungan sendi.

  c) Tulang Kekurangan kepadatan tulang, setelah diobservasi adalah bagian dari penuaan fisiologis. Trabekula longitudinal menjadi tipis trabekula tranversal terabsorbsi kembali, sehingga akibat perubahan itu, jumlah tulang spongiosa berkurang dan tulang kompakta menjadi tipis. Perubahan lain yang terjadi adalah penurunan estrogen sehingga produksi osteoklas tidak terkendali, penurunan penyerapan kalsium diusus, peningkatan haversi sehingga tulang keropos. Berikutnya jaringan tulang secara keseluruhan menyebabkan kekuatan dan kekakuan tulang menurun. Dampak berkurangnya kepadatan akan mengakibatkan osteoporosis. Osteoporosis lebih lanjut mengakibatkan nyeri, deformitas, fraktur. Latihan fisik dapat diberikan sebagai cara untuk mencegah osteoporosis. d) Otot Perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi.

  Menurunnya jumlah dan ukuran serabut otot, meningkatnya jaringan penghubung dan jaringan lemak pada otot mengakibatkan efek negatif. Perubahan otot pada penuaan antara lain menurunya jumlah serabut otot, atrofi pada beberapa serabut otot dan fibril menjadi tidak teratur dan hipertropi pada serabut otot yang lain, penurunan 30% massa otot, meningkatnya jaringan lemak, degenerasi miofibril. Dampak dari perubahan otot tersebut adalah menurunya kekuatan, menurunnya fleksibilitas, meningkatnya waktu reaksi dan menurunnya kemampuan fungsional otot. Untuk mencegah perubahan lebih lanjut dapat diberikan latihan untuk mempertahankan mobilitas.

  e) Sendi Pada lanjut usia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligamen dan fasia mengalami penurunan elastis, ligamen, kartilago dan jaringan periartikular mengalami penurunan daya lentur dan elastisitas. Terjadi degenerasi, erosi, kalsifikasi pada kartilago dan kapsul sendi. Sendi kehilangan fleksibilitasnya sehingga terjadi penurunan luas gerak sendi, gangguan jalan dan aktivitas keseharian lainnya. Upaya pencegahan kerusakan sendi antara lain memberikan teknik perlindungan sendi dalam beraktivitas.

  2) Perubahan Sistem Persarafan Sistem neurologis, terutama otak adalah suatu faktor utama dalam penuaan. Neuron-neuron menjadi semakin komplek dan tumbuh, tetapi neuron-neuron tersebut tidak dapat mengalami regenerasi.

  Perubahan struktural yang paling terlihat terjadi pada otak itu sendiri. Walaupun bagian lain dari sistem saraf pusat juga terpengaruh. Perubahan ukuran otak yang dipengaruhi oleh atrofi girus dan dilatasi sulkus dan ventrikel otak. Korteks serebral adalah daerah otak yang paling besar dipengaruhi oleh kehilangan neuron. Penurunan aliran darah serebral dan penggunaan oksigen dapat pula terjadi dengan penuaan. Perubahan dalam sistem neurologis dapat termasuk kehilangan dan penyusutan neuron, dengan potensial 105 kehilangan yang diketahui pada usia 80 tahun. Secara fungsional terdapat suatu perlambatan reflek tendon, terdapat kecenderungan ke arah tremor dan langkah yang pendek-pendek atau gaya berjalan dengan langkah kaki melebar disertai dengan berkurangnya gerakan yang sesuai.

  Waktu reaksi menjadi lebih lambat, dengan penurunan atau hilangnya hentakan pergelangan kaki dan pengurangan reflek lutut, bisep dan trisep terutama karena pengurangan dendrit dan perubahan pada sinaps, yang memperlambat konduksi (Stanley, 2006). Menurut Pujiastuti (2009), lanjut usia mengalami penurunan koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Penuaan menyebabkan penurunan persepsi sensorik dan respon motorik pada susunan susunan saraf pusat. Hal ini terjadi karena susunan saraf pusat pada lanjut usia mengalami perubahan. Berat otak pada lansia berkurang berkaitan dengan berkurangnya kandungan protein dan lemah pada otak sehingga otak menjadi lebih ringan. Akson, dendrit dan badan sel saraf banyak mengalami kematian, sedang yang hidup banyak mengalami perubahan. Dendrit yang berfungsi untuk komunikasi antar sel mengalami perubahan menjadi lebih tipis dan kehilangan kontak antar sel. Daya hantar saraf mengalami penurunan 10% sehingga gerakan menjadi lamban. Akson dalam medula spinalis menurun 37%. Perubahan tersebut mengakibatkan penurunan kognitif, koordinasi, keseimbangan, kekuatan otot, reflek, perubahan postur dan waktu reaksi. Hal itu dapat dicegah dengan latihan koordinasi dan keseimbangan. Menurut Stanley (2006), manifestasi klinis yang berhubungan dengan defisit neurologis pada klien lanjut usia dapat dipandang dari berbagai perspektif: fisik, fungsional, kognisi dan komunikasi.

  a) Fisik Dampak dari penuaan pada system saraf pusat sukar untuk ditentukan, karena hubungan fungsi sistem ini dengan sistem tubuh yang lain. Dengan gangguan perfusi dan gangguan aliran darah serebral, lanjut usia berisiko lebih besar untuk mengalami kerusakan serebral dan metabolisme yang sudah diketahui.

  Dengan penurunan kecepatan konduksi saraf, reflek yang lebih lambat, dan respon yang tertunda untuk berbagai stimulus yang dialami maka terdapat pengurangan sensasi kinestetik.

  b) Fungsi Defisit fungsional pada gangguan neurologis berhubungan dengan penurunan mobilitas pada lanjut usia, yang disebabkan oleh penurunan kekuatan, rentang gerak dan kelenturan. Penurunan pergerakan merupakan akibat dari kifosis, pembesaran sendi- sendi, kesenjangan dan penurunan tonus otot. Atrofi dan penurunan jumlah serabut otot dengan jaringan fibrosa secara berangsur-angsur menggantikan jaringan otot. Dengan penurunan massa otot, kekuatan dan pergerakan secara keseluruhan, lanjut usia memperlihatkan kelemahan secara umum dihubungkan dengan degenerasi system ekstrapiramidal. Kekejangan dapat diakibatkan oleh cedera motor neuron di dalam susunan saraf pusat. Kejang yang berat dapat mengakibatkan berkurangnya fleksibilitas, postur tubuh dan mobilitas fungsional, juga nyeri sendi, kontraktur dan masalah dengan pengaturan posisi. Tendon dapat mengalami sklerosis dan penyusutan, yang menyebabkan penurunan hentakan tendon. Defisit mobilitas fungsional dan pergerakan membuat lanjut usia menjadi sangat rentan untuk mengalami gangguan integritas kulit dan jatuh.

  3) Perubahan Sensori Banyak lanjut usia memiliki masalah sensoris yang berhubungan dengan perubahan normal akibat penuaan. Defisit sensoris perubahan penglihatan merupakan bagian dari penyesuaian berkesinambungan yang datang dalam kehidupan usia lanjut. Perubahan penglihatan mempengaruhi pemenuhan aktifitas kebutuhan sehari-hari. Perubahan penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam proses penuaan termasuk penurunan kemampuan untuk melakukan akomodasi, konstriksi pupil akibat penuaan dan perubahan warna serta kekeruhan lensa mata. Perubahan penglihatan pada awalnya dimulai dengan terjadinya presbiopi, kehilangan kemampuan akomodatif di mulai pada dekade keempat kehidupan, ketika seseorang memiliki masalah dalam membaca huruf-huruf yang kecil.

  Kerusakan akomodasi mata terjadi karena otot-otot siliaris menjadi lemah dan lebih kendur, dan lensa mengalami sklerosis dengan kehilangan elastisitas dan kemampuan untuk memusatkan data (penglihatan jarak dekat). Ukuran pupil menurun karena sfingter pupil mengalami sklerosis. Miosis pupil dapat mempersempit lapang pandang dan mempengaruhi penglihatan perifer pada tingkat tertentu. Perubahan warna misalnya menguning dan meningkatnya kekeruhan lensa kristal yang terjadi dari waktu ke waktu dapat menimbulkan katarak. Katarak menimbulkan tanda dan gejala penuaan yang mengganggu penglihatan dan aktivitas setiap hari. Penglihatan yang kabur dan seperti terdapat selaput di atas mata adalah gejala umum, yang mengakibatkan kesukaran dalam mengfokuskan penglihatan dan membaca. Selain itu lanjut usia harus didorong untuk menggunakan lampu yang terang dan tidak menyilaukan. Sensitivitas terhadap cahaya sering terjadi, menyebabkan lanjut usia sering mengedipkan mata terhadap cahaya terang atau ketika berada di luar pada siang hari yang cerah. Lanjut usia memerlukan penggunaan cahaya pada malam hari di dalam rumah dan waktu tambahan untuk melakukan penyesuaian penglihatan terhadap perubahan kekuatan penerangan ketika meninggalkan suatu lingkungan yang memiliki pencahayaan baik ke suatu lingkungan yang pencahayaan redup. Lanjut usia harus diajarkan untuk menggunakan tangan mereka sebagai pemandu pada pegangan tangga dan menggunakan cat yang terang pada bagian tepi anak tangga (Stanley, 2006) Kehilangan pendengaran pada lanjut usia disebut presbikusis.

  Penyebab tidak diketahui tetapi berbagi faktor yang telah diteliti adalah nutrisi, faktor genetika, suara gaduh, hipertensi, stress emosional. Penurunan pendengaran terutama berupa sensorineural, tetapi juga dapat berupa komponen konduksi yang berkaitan dengan presbikusis. Penurunan pendengaran sensorineural terjadi saat telinga bagian dalam dan komponen saraf tidak berfungsi dengan baik (saraf pendengaran, batang otak atau jalur kortikal pendengaran). Penyebab dari perubahan konduksi tidak diketahui, tetapi masih berkaitan dengan perubahan pada tulang di dalam telinga tengah, dalam bagian koklear atau di dalam tulang mastoid. Dalam presbikusis, suara konsonan derngan nada tinggi merupakan yang pertama kali terpengaruh, dan perubahan dapat terjadi secara bertahap. Karena perubahan berlangsung lambat, lanjut usia mungkin tidak segera mencari bantuan yang dalam hal ini sangat penting sebab semakin cepat kehilangan pendengaran dapat diidentifikasi dan alat bantu diberikan, semakin besar kemungkinan untuk berhasil. Karena kehilangan pendengaran pada umunya berlangsung secara bertahap. Dua masalah fungsional pendengaran pada populasi lanjut usia adalah ketidakmampuan untuk mendeteksi volume suara dan ketidakmampuan untuk mendeteksi suara dengan nada frekuensi tinggi seperti beberapa konsonan misalnya f, s, sk, sh dan Perubahan- perubahan ini dapat terjadi pada salah satu atau kedua telinga. 4)

  Perubahan system respirasi Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunya aktifitas dari silia, paru-paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat, menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasaan maksimum menurun, kedalaman bernafas menurun, alveoli ukuranya melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang oksigen pada arteri menurun menjadi 75 mmHg, CO² pada arteri tidak terganti, kemampuan pegas dinding dada dan kekuatan otot pernafasan akan menurun seiring dengan pertambahan usia (Maryam,

  2008). 5)

  Perubahan system kulit(integumentary system) Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak, permukaan kulit menjadi kering (karena kehilangan proses kratinasi serta perubahan ukuran dan bentuk-bentuk sel epidermis), menurunya respon terhadap trauma, mekanisme proteksi kulit menurun yaitu produksi serum menurun, gangauan pigmentasi kulit, kulit kepala dan rambut menipis berwarna kelabu rambut dalam hidung dan telinga menebal, berkurangnya elastisitas akibat dari menurunya cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan kuku lebih lambat, kelenjar keringat berkurang dari jumlah dan fungsinya, kuku menjadi memudar kurang bercahaya (Maryam, 2008).

  6) Perubahan mental Perubahan mental lansia dapat berupa perubahan sikap yang semakin egosentrik, mudah curiga dan bertambah pelit atau tamak bila menginginkan sesuatu. Lansia tetap mengharapakan di beri peranan dalam masyarakat. Sikap umum yang di temukan yaitu hampir semua lansia mempunyai keinginan berumur panjang. Jika meninggalpun mereka ingin meninggal dengan terhormat. Faktor yang mempengaruhi meliputi perubahan fisik, kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturuan dan lingkungan (Nugroho, 2008).

  7) Perubahan psikososial Nilai seseorang diukur melalui produktifitasnya dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila mengalami pensiun, seseorang akan mengalami kehilangan, yaitu kehilangan finansial, kehilangan status, kehilangan teman, dan kehilangan pekerjaan (Nugroho, 2008).

  2. Jatuh a.

  Pengertian jatuh Jatuh adalah kejadian yang tidak disengaja yang mengakibatkan lansia terbaring dilantai atau berada pada tingkat yang lebih rendah

  (Kellogg International Work Group, 1987 dalam Newton, 2008). Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan oleh penderita atau saksi mata yang melihat kejadian dan mengakibatkan seseorang mendadak terbaring atau terduduk dilantai dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka (Reuben, 1996 dalam Darmojo, 2008). Jatuh merupakan suatu kejadian yang menyebabkan subyek yang sadar menjadi berada di permukaan tanah tanpa disengaja. Kejadian jatuh tersebut adalah dari penyebab yang spesifik yang jenis dan konsekuensinya berbeda dari mereka yang dalam keadaan sadar mengalami jatuh (Stanley & Particia, 2009).

  Jatuh akan menyebabkan cedera jaringan lunak, bahkan fraktur pangkal paha atau pergelangan tanggan. Keadaan tersebut menyebabkan nyeri dan imobilisasi dengan segala akibat (Tamher & Noorkasiani, 2009). Berdasarkan beberapa pengertian jatuh di atas, dapat disimpulkan bahwa jatuh adalah kejadian tiba-tiba dan tidak disengaja yang mengakibatkan seseorang terbaring atau terduduk di lantai.

  Jatuh merupakan masalah fisik yang sering dialami oleh lansia akibat proses penuaan (Pudjiastuti, 2009). Jatuh dapat mengakibatkan trauma serius, seperti nyeri, kelumpuhan bahkan kematian. Hal ini menimbulkan rasa takut dan hilangnya rasa percaya diri sehingga lansia membatasi aktivitasnya sehari-hari yang menyebabkan menurunnya kualitas hidup pada lansia yang mengalaminya (Stockslager & Schaeffer, 2008). Untuk mengatasi masalah akibat jatuh inilah diperlukan penanganan yang sesuai untuk mencegah kejadian jatuh (Stanley dan Bare, 2006).

  Jatuh dapat disebabkan oleh karena berkurangnya stabilitas tubuh yang dibentuk oleh system sensorik yaitu penglihatan, pendengaran, fungsi vesibuler dan proprioseptif, kemudian oleh system saraf pusat yang akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input sensorik, berperan juga fungsi kognitif dari lansia, bila mengalami demensia atau kepikunan resiko jatuh akan lebih besar. Selanjutnya system musculoskeletal juga merupakan faktor yang penting, karena gangguan pada system musculoskeletal akan mengakibatkan gangguan gaya berjalan (kelambanan dalam bergerak, langkah yang pendek, penurunan irama dan pelebaran base support). Selain itu perlambatan reaksi mengakibatkan seseorang lansia terlambat mengantisipasi bila terpleset atau tersandung yang dapat mengakibatkan jatuh (Setianing, 2010).

  b.

  Faktor penyebab terjadinya jatuh Faktor penyebab jatuh pada lansia dibagi menjadi 2 bagaian yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik:

  1) Faktor intrinsik

  a) System saraf pusat

  Stroke dan TIA (Tarancient Ischemic Attack) yang menyebabkan hemiparase sering mengakibatkan jatuh pada lansia, Parkinson yang mengakibatkan kekakuan alat gerak, maupun depresi yang menyebabkan lansia tidak terlalu perhatian saat berjalan.

  Gangguan kognitif (Demensia) ialah kondisi keruntuhan kemampuan intelek yang progresif setelah mencapai pertumbuhan & perkembangan tertinggi (umur 15 tahun) karena gangguan otak organik, diikuti keruntuhan perilaku dan kepribadian, dimanifestasikan dalam bentuk gangguan fungsi kognitif seperti memori, orientasi, rasa hati dan pembentukan pikiran konseptual. Lansia dengan demensia menunjukan persepsi yang salah terhadap bahaya lingkungan, tergangunya keseimbangan tubuh dan apraxia menyebabkan kejadian jatuh pada lansia meningkat. Demensia terdapat pada sekitar 3% lansia yang berusia antara 65-74 tahun dan meningkat sampai 47% pada usia jompo (lebih dari 80 tahun) (Tamher & Noorkasiani, 2009). Henize (2008) dalam penelitiannya dengan hasil menunjukan bahwa lansia dengan demensia memiliki faktor resiko untuk mengalami jatuh.

  Gangguan penglihatan (gangguan sistem sensori) seperti katarak, glukoma, degenerasi mokular, ganguan visus paska stroke, dan reiopati diabetika meningkat sesuai dengan umur. Adanya ganguan penglihatan pada lansia menyebabkan lansia kesuliatan saat berjalan sehingga lansia sering menabrak objek kemudian terjatuh. Kerr et. al. (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ganguan penglihatan memiliki resiko untuk menyebabkan kejadian jatuh atau insiden lainya yang membuat cedera.

  b) Muskuloskeletal

  Faktor musculoskeletal merupakan fakor yang benar-benar murni milik lansia yang berperan besar terhadap terjadinya kejadian jatuh pada lansia. Gangguan muskuloskeletal menyebabkan gangguan gaya berjalan dan keseimbangan. Hal ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis. Perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan gerak, langkah yang pendek, penurunan irama, dan pelebaran bantuan basal. Kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan cenderung mudah goyah. Keterlambatan mengantisipasi bila terpeleset, tersandung, dan kejadian tiba-tiba dikarenakan terjadi perpanjangan waktu reaksi sehingga memudahkan jatuh (Reuben, 1996; Kane, 1994; Tinetti, 1992; Campbell & Brocklehurst, 1987 dalam Darmojo, 2008).

  c) Gangguan gaya berjalan Salah satu bentuk aplikasi fungsional dari gerak tubuh adalah pola jalan. Keseimbangan, kekuatan dan fleksibilitas diperlukan untuk mempertahankan postur tubuh yang baik. Gangguan gaya berjalan dapat disebabkan oleh karena ganguan musculoskeletal dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis. Ada beberapa gangguan gaya berjalan yang sering ditemukan pada lansia diantaranya : (1)

  Gangguan gaya berjalan hemiplegik Pada hemiplegik terdapat kelemahan dan spastisitas ekstermitas uniteral dengan fleksi pada ekstermitas atas dan ekstermitas bawah dalam keadaan ekstensi. Ekstermitas bawah dalam keadaan ekstensi sehingga berakibat kaki memanjang. Pasien harus mengayunkan sambil memutar kakinya untuk melangkah kedepan. Jenis ganguan berjalan ini ditemukan pada lesi tipe Upper Motor Neuron (UMN).

  (2) Gangguan gaya berjalan diplegik Jenis gangguan gaya berjalan ini biasanya ditemukan pada lesi periventricular bilateral. Eksermitas bawah lebih lumpuh dibandingkan dengan ekstermitas atas karena akson trakus

  

kortikospinalis yang mempersarafi ekstermitas bawah

letaknya lebih dekat dengan ventrikel otak.

  (3) Gangguan gaya berjalan neurophaty Gangguan gaya berjalan jenis ini biasanya ditemukan pada penyakit perifer dimana ekstermitas bawah bagian distal lebih sering diserang. Karena terjadi kelemahan dalam dorsifleksi kaki maka pasien harus mengangkat kakiya lebih tinggi untuk menghindari pergeseran ujung kaki dengan lantai.

  (4) Gangguan gaya berjalan miophaty Adanya kelainan otot, otot-otot proksimal pelvic girdle (tulang pelvis yang menyongkong pergerakan ekstermitas bawah) menjadi lemah. Oleh karena itu, terjadi ketidakseimbangan pelvis bila melangkah kedepan, sehingga pelvis miring kekaki sebelahnya, akibatnya terjadi goyangan dalam berjalan.

  (5) Gangguan gaya berjalan parkinsonian Terjadi regiditas dan bradiknesia dalam berjalan akibat ganguan di ganglia basalis. Tubuh membungkuk kedepan, langkah kaki memendek, lamban dan terserat disertai dengan ekspresi wajah seperti topeng. (6)

  Gangguan gaya berjalan ataxia Langkah berjalan menjadi lebar, tidak stabil dan mendadak akibatnya badan memutar kesamping dan jika berat badan pasien akan jatuh. Jenis gangguan berjalan ini dijumpai pada gangguan cerebellum.

  (7) Gangguan gaya berjalan khoreoform Merupakan ganguan gaya berjalan dengan hyperkinesia akibat gangguan ganglia basalis tipe tertentu. Terdapat pergerakan yang ireguler seperti ular dan involunter baik pada ekstermitas bawah maupun atas.

  Gangguan gaya berjalan yang terjadi akibat proses menua tersebut antara lain disebabkan oleh: (1) Kekakuan jaringan penghubung (2) Berkurangnya massa otot (3) Perlambatan konduksi saraf (4) Penurunan visus/lapang pandang (5) Kerusakan proprioseptif

  Yang dapat menyebabkan: (1) Penurunan range of motion (ROM) sendi (2) Penurunan kekuatan otot, terutama menyebabkan kelemahan ekstremitas bawah (3) Perpanjangan waktu reaksi (4) Kerusakan persepsi dalam (5) Peningkatan postural sway (goyangan badan)

  2) Faktor Ekstrinsik

  a) Lingkungan Faktor lingkungan terutama yang belum dikenal mempunyai risiko terhadap jatuh sebesar 31 % (Shobha, 2007). Faktor lingkungan terdiri dari penerangan yang kurang, benda-benda di lantai (seperti tersandung karpet), peralatan rumah yang tidak stabil, tangga tanpa pagar, tempat tidur atau tempat buang air yang terlalu rendah, lantai yang tidak rata, licin atau menurun, karpet yang tidak di lem dengan baik, keset yang tebal atau menekuk pinggirnya, benda-benda alas lantai yang licin dan mudah tergeser serta alat bantu jalan yang tidak tepat.

  b) Aktifitas Sebagian besar jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktifitas biasa seperti berjalan, naik atau turun tangga dan mengganti posisi. Hanya sedikit sekali jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktifitas berbahaya seperti mendaki gunung atau olahraga berat. Jatuh juga sering terjadi pada lansia dengan banyak kegiatan dan olahraga, mungkin disebabkan oleh kelelahan atau terpapar bahaya yang lebih banyak. Jatuh juga sering terjadi pada lansia yang immobile (jarang bergerak ketika tiba-tiba ingin pindah tempat atau mengambil sesuatu tanpa pertolongan (Suyanto, 2008).

  Penelitian selama setahun terhadap 4.862 penderita yang dirawat di rumah sakit atau panti jompo, didapatkan penderita dengan risiko jatuh paling tinggi adalah penderita aktif, dengan sedikit gangguan keseimbangan (Probosuseno, 2009). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Barnedh (2007) terhadap 300 lansia di Puskesmas Tebet bahwa lansia dengan aktivitas rendah (tidak teratur berolahraga) berisiko 7,63 kali menderita gangguan keseimbangan dibandingkan lansia dengan aktivitas tinggi. Oleh karena itu, prinsip dari manajemen pada lansia dengan keluhan instabilitas dan jatuh antara lain melakukan terapi aktivitas berupa penguatan otot dan pengulangan latihan gaya berjalan serta alat-alat bantu untuk berjalan (Kane dkk, 2006).

  c) Obat

  • –obatan Jumlah obat yang diminum merupakan faktor yang bermakna terhadap penderita. Empat obat atau lebih meningkatkan risiko jatuh. Jatuh akibat terapi obat dinamakan
jatuh iatrogenik. Obat-obatan yang meningkatkan risiko jatuh diantaranya obat golongan sedatif dan hipnotik yang dapat mengganggu stabilitas postur tubuh, yang mengakibatkan efek samping menyerupai sindroma parkinson seperti diuretik/ anti hipertensi, antidepresan, antipsikotik, obat-obatan hipoglikemik dan alkohol.

  c.

  Pencegahan jatuh Upaya pencegahan perlu dilakukan untuk meminimalisir kejadian jatuh pada lansia. Terdapat tiga usaha pokok pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya jatuh pada lansia, mengidentifikasi faktor resiko dilakukan untuk mencari adanya faktor intrinsik resiko jatuh, keadaan lingkungan rumah yang berbahaya yang dapat menyebabkan jatuh harus dihilangkan. Adapun upaya penilaian keseimbangan dan gaya berjalan dilakukan untuk berpindah tempat dan pindah posisi, penilaian postural sangat di perlukan untuk mengurangi faktor penyebab terjadinya jatuh. Serta mengatur atau mengatasi fraktur situasional dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaaan rutin kesehatan lansia secara periodik (Suyanto, 2008). Dibawah ini akan diuraikan beberapa metode pencegahan jatuh pada lansia : 1)

  Latihan Fisik Latihan fisik diharapkan dapat mengurangi resiko jatuh dengan meningkatkan kekuatan tungkai dan tangan, memperbaiki keseimbangan, koordinasi dan meningkatkan, reaksi terhadap bahaya lingkungan, latihan fisik juga bisa mengurangi kebutuhan obat-obat sedatife. Latihan fisik yang dianjurkan yang melaih kekuaan tungkai, tidak terlalu berat dan semampunya seperti berjalan kaki. 2)

  Modifikasi lingkungan Keadaan lingkungan rumah yang berbahaya dan dapat menyebabkan jatuh harus dihilangkan. Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak menyilaukan. Lantai rumah datar, tidak licin, bersih dari benda-benda kecil yang susah dilihat. Peralatan rumah tangga yang sudah tidak aman (lapuk, dapat bergeser sendiri) sebaiknya diganti, peralatan rumah ini sebaiknya diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan/tempat aktifitas lansia. Kamar mandi dibuat tidak licin, sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya, pintu yang mudah dibuka. WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi pegangan di dinding.

  3) Manajemen obat-obatan Obat-obatan yang menyebabkan hipotensi postural, hipoglikemik atau penurunan kewaspadaan harus diberikan sangat selektif dan dengan penjelasan yang komprehensif pada lansia dan keluargannya tentang risiko terjadinya jatuh akibat minum obat tertentu. Gunakan alat bantu berjalan jika memang di perlukan selama pengobatan. 4)

  Memperbaiki kebiasaan lansia Berdiri dari posisi duduk atau jongkok dengan cara tidak terlalu cepat dan tidak dengan mengangkat barang sekaligus. Mengambil barang dengan cara yang benar dari lantai dan hindari olahraga berlebihan.

  5) Alas kaki Hindari sepatu berhak tinggi, tidak berjalan dengan kaos kaki karena sulit untuk menjaga keseimbangan. Memakai alas kaki antiselip.

  6) Alat bantu jalan Alat bantu berjalan yang dipakai lansia baik berupa tongkat,

  

tripod, kruk atau walker harus dibuat dari bahan yang kuat tetapi

  ringan, aman tidak mudah bergeser serta sesuai dengan ukuran tinggi badan lansia.

  7) Penilaian keseimbangandan gaya berjalan Setiap lansia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan badannya dalam melakukan gerakan pindah tempat, pindah posisi. Penilaian

  

postural sway sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh

  pada lansia. Bila goyangan badan pada saat berjalan sangat berisiko jatuh, maka diperlukan bantuan latihan oleh rehabilitasi medik. Penilaian gaya berjalan (gait) juga harus dilakukan dengan cermat apakah penderita mengangkat kaki dengan benar pada saat berjalan, apakah kekuatan otot ekstremitas bawah penderita cukup untuk berjalan tanpa bantuan. Kesemuanya itu harus dikoreksi bila terdapat kelainan/penurunan.

  8) Mengatur atau mengatasi fraktur situasional Faktor situasional yang bersifat serangan akut, penyakit yang dideriata lansia dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin kesehatan lansia secara periodik. Faktor situasional bahaya lingkungan dapat dicegah dengan mengusahakan perbaikan lingkungan seperti tersebut diatas. Faktor situasional yang berupa aktifitas fisik dapat dibatasi sesuai dengan kondisi kesehatan penderita. Perlu diberitahukan pada penderita aktifitas fisik seberapa jauh yang aman bagi penderita, aktifitas tersebut tidak boleh melampaui batasan yang diperbolehkan baginya sesuai hasil pemeriksaan kondisi fisik. Bila lansia sehat dan tidak ada batasan aktifitas fisik, maka dianjurkan lansia tidak melakukan aktifitas fisik sangat melelahkan atau berisiko tinggi untuk terjadinya jatuh.

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Teori

  Modifikasi Sumber : Lueckenotte (2006), Nugroho (2008), Efendi (2009) Batasan-batasan lanjut usia: a)

  usia pertengahan (middle age) ialah 45- 59 tahun b) lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun c) lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun d) usia sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun.

  Sumber : Efendi(2009) Resiko jatuh pada lansia : Perubahan pada lansia: 1. Musculoskeletal 2. System persarafan 3. Sensori 4. System respirasi 5. System integument 6. Mental 7. Psikososial Sumber: Lueckenotte (2006) Factor Penyebab Jatuh: Factor Intrinsik: 1. System saraf pusat 2. Demensia (ganguan kognitif) 3. Ganguan system sensori (penglihatan dan pendengaran) 4. Gangguan gaya berjalan Factor Ekstrinsik:

  1. Lingkungan 2. Aktifitas 3. Obat-obatan Sumber : Nugroho (2008) Jatuh / kecelakaan Lansia

  Faktor-Faktor Yang..., SOIMATUL MUBAROKAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2016 Berdasarkan kerangka teori di atas dapat di susun kerangka konsep sebagai berikut: Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian jatuh pada lansia

  1. Ganguan gaya berjalan

  2. Ganguan penglihatan

  3. Ganguan kognitif

  4. Aktifitas

  5. Lingkungan Kejadian jatuh pada lansia

  6. Ganguan system saraf pusat

  7. Obat-obatan

Bagan 2.2 Bagan Kerangka Konsep Hipotesis pada penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1.

  Ha = Ada hubungan faktor gangguan gaya berjalan terhadap kejadian jatuh pada lansia di Desa Batursari, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang. Ho = Tidak ada hubungan faktor gangguan gaya berjalan terhadap kejadian jatuh pada lansia di Desa Batursari, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang 2. Ha = Ada hubungan faktor gangguan penglihatan terhadap kejadian jatuh pada lansia di Desa Batursari, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang. Ho = Tidak ada hubungan faktor gangguan penglihatan terhadap kejadian jatuh pada lansia di Desa Batursari, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang.

  3. Ha = Ada hubungan faktor gangguan kognitif (demensia) terhadap kejadian jatuh pada lansia di Desa Batursari, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang. Ho = Tidak ada hubungan faktor gangguan kognitif (demensia) terhadap kejadian jatuh pada lansia di Desa Batursari, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang.

  4. Ha = Ada hubungan faktor lingkungan terhadap kejadian jatuh pada lansia di Desa Batursari, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang.

  Ho = Tidak ada hubungan faktor lingkungan terhadap kejadian jatuh pada lansia di Desa Batursari, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang

  5. Ha = Ada hubungan faktor aktifitas terhadap kejadian jatuh pada lansia di Desa Batursari, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang.

  Ho = Tidak ada hubungan faktor aktifitas terhadap kejadian jatuh pada lansia di Desa Batursari, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang.