PERANAN KEJAKSAAN M E L A K U K A N PENGAW'ASAN TERHADAP TERPOJANA YANG DIJATUHI PIDANA BERSYARAT

PERANAN KEJAKSAAN M E L A K U K A N PENGAW'ASAN
TERHADAP TERPOJANA YANG DIJATUHI PIDANA
BERSYARAT

SKRIPSI
Diajukan sebagai saiah satu syarat
Untuk mempcrolch Gelar Sarjana Hukum
Program Studi Umu Hukum

Oleh:

Muhammad Ilham Romadboa

502012025

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS HUKUM
2016
i

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

F A K U L T A S HUKUM

PALEMBANG

PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN
\

Judul Skripsi

PERANAN KEJAKSAAN M E L A K U K A N PENGAWASAN
TERHADAP TERPIDANA Y A N G D U A T U H I PIDANA
BERSYARAT

Nama
Nim
Program Studi
Program Kekhususan

: Muhammad Ilham Romadhon
: 50 2012 025

: Ilmu Hukum
: Huknm Pidana

Pembimbing,
Dra. Hj. Lilies Anbah, SIL, MH.

Palembang,
P E R S E T U J U A N O L E H T I M PENGUJI:
Ketua

: H. Syamsuddin, SH^ MH

Anggota

: 1. Mulyadi TanzlU, S I L , M H
2. Rusniati, S E . , S H . , M H

DISAHKANOLEH
DEKAN F A K U L T A S H U K U M


April 2016

PENDAFTARAN UJIAN SKRIPSI

Pendaftaran Skripsi Sarjana Pakiiltas Hiikum Universitas Muhammadiyah
Palembang Strata 1 bagi :
Nama

Muhammad Ilham Romadhon

NIM

502012025

Program Studi

Ilmu Hukum

Prug. Kekhususan


Hukum Pidana

Judul Skripsi

PERANAN

MELAKUKAN
TERPIDANA
YAN(; DIJATUHI PIDANA B E R S Y A R A 1
PEN(;AWASAN

KEJAKSAAN

IKRHADAP

Dengan diterinianya skripsi ini. sesudah lulus dari Ujian Komprehensif. penuiis
bcrhak memakai gelar
SARJANA HUKUM

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI


Yang bcrtanda tangan di bawah ini :
Nama

: Muhammad Ilham Romadhon

NIM

:502012025

Program Studi

: Ilmu Hukum

Program Kekhususan : Hukum Pidana
Menyatakan bahwa karya ilmiah / skripsi saya yang beijudul:
PERANAN

KEJAKSAAN M E L A K U K A N PENGAWASAN T E R H A D A P


T E R P I D A N A YANG DIJATUHI PIDANA BERSYARAT
Adalah bukan merupakan karya tulis orang lain, baik sebagian maupun
keseiuruhan, kecuali dalam bentuk kutipan yang telah kami sebutkan sumbernya.
Demikian surat pemyataan ini saya buat dengan sebenar-benamya dan
apabila
pemyataan ini tidak benar, kami bersedia mendapatkan sanksi akademis.

Palembang,

'

Maret 2016

Muhammad Ilham Romadhon

iv

MOTTO:
''Hoi ofmng-orang beriman, taasttah ALLAH dan taoHlah Rasul (Nya),
dan UUl Amri diantara kamu, Kemudian Jika kamu berlainan pendapat teniang

sesuatu, maka kembaiika/Uak ia (sunndknya), jika kamu benar-benar beriman
kepada ALLAH dan kari kemudian, Yang demikian itu lebih baik aldbatnya**,
(QS, An-Nisa'ayai 59}

Kupersembakkan untuk :
>

EEDVA ORANG TVAKV yang setaiu memberikan do*a dan dukungan
serta do'ayang tutus demi masa depanku,

>

Seluruk keluarga besarku yang tidak btsa km sebtOkan satu persaiu, terima
kasih untuk dukungannya,

>

KEKASIH TERCINTA KHiYAROTVL ANASIH yang telah mendukung
dan seialu mendampingtku,


> Aimamaterku,

ABSTRAK
PERANAN KEJAKSAAN M E L A K U K A N PENGAWASAN
T E R H A D A P TERPIDANA Y A N G DIJATUHI PIDANA
BERSYARAT
Oleh
Muhammad Ilham Romadhon

Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui dan mendapatkan pengetahuan
yang jelas tentang peranan Kejaksaan melakukan pengawasan terhadap terpidana
yang dijatuhi pidana bersyarat. Permasalahan yang dibahas adalah Bagaimana
peranan Kejaksaan melakukan pengawasan terhadap terpidana yang dijatuhi
pidana bersyarat dan apakah hambatan pihak Kejaksaan dalam melakukan
pengawasan terhadap terpidana yang dijatuiii pidana bersyarat.
Jenis Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah jenis penelitian
hukum yang dipandang dari sudut tujuan penelitian hukum yaitu penelitian hukum
sosiologis, yang bersifat deskriptif atau menggambarkan, Setelah dilakukan
penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa ; Peran Kejaksaan melakukan
pengawasan terhadap terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat, setelah hakim

menjatuhkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang letap (in
kracht), kejaksaan mengeluarkan Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan
dan setelah selesai dibuat berita acara pelaksanaan putusan pengadilan, kemudian
pemberitahuan pemidanaan bersyarat. Bahwasanya hambatan pihak Kejaksaan
dalam melakukan pengawasan terhadap terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat,
yaitu : Belum melembaganya pola-pola pengawasan yang dilakukan dan sistem
kerjasama di dalam pengawasan, Tidak berkembangnya lembaga-lembaga
rekiasering swasta, yang justru merupakan sarana yang sangat penting dalam
pelaksanaan pengawasan dan pembinaan narapidana bersyarat, Pasal 280 ayat (4)
KUHAP yang mengatur peranan hakim pengawas dan pengamat dalam
pelaksanaan pidana bersyarat belum berftingsi sebagaimana mestinya,
berhubungan belum adanya peraturan peiaksana yang diatur dalam pasal KUHAP
tersebut

Kata Kunci: Kejaksaan, Terpidana, Pidana Bersyarat

vi

K A T A PENGANTAR


Assalamu^alaikum Wr.Wb.
Segala puji dan syukur senantiasa dipanjatkan kehadirat Allah SWT, serta
sholawat dan salam kepada nabi Muhammad Saw., karena atas rahmat dan nikmat
Nya jualah skripsi dengan judul : PERANAN K E J A K S A A N M E L A K U K A N
PENGAWASAN TERHADAP

TERPIDANA YANG DIJATUHI PIDANA

BERSYARAT.
Dengan segala kerendahan hati diakui bahwa skripsi ini masih banyak
mengandung kelemahan dan kekurangan. semua itu adalah disebabkan masih
kurangnya pengetahuan dan pengalaman penuiis, karenanya mohon dimaklumi.
Kesempatan yang baik ini penuiis ucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan dorongan dan bantuan, khususnya terhadap:

1. Bapak Dr. Abid Djazuli, SE., M M . , Rektor Universitas Muhammadiyah
Palembang beserta jajarannya;
2. Ibu Dr. Hj. Sri Suatmiati, SH., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Palembang beserta stafhya;
3. Bapak/Ibu Wakil Dekan I , I I , I I I dan IV, Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Palembang;
4. Bapak Mulyadi Tanzili, SH., M H selaku Ketua Prodi Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang;

vii

5. Ibu Dra. Hj. Lilies Anisah, SH.. MH.. selaku Pembimbing daiam penulisan
skripsi ini;
6. Ibu Hj YuliarKomariah. SH., MH., Pembimbing Akademik Penuiis;
7. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Palembang;
8. Kedua orang tuaku tercinta dan saudara-saudaraku terkasih.
Semoga segala bantuan materil dan moril yang telah menjadikan skripsi
ini dapat selesai dengan baik sebagai salah satu persyaratan untuk menempuh
ujian skripsi. semoga kiranya Allah Swt., melimpahkan pahaia dan rahmat kepada
mereka.

Wassalamu^alaikum wr.wb.
Palembang,

Maret 2016

Penuiis,

Muhammad Ilham Romadhon

viii

BAB I I I : PEMBAHASAN
A. Peranan Kejaksaan melakukan pengawasan terhadap
terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat
B.

34

Hambatan pihak Kejaksaan dalam melakukan
pengawasan terhadap terpidana yang dijatuhi pidana
bersyarat

42

BAB I V : PENUTUP
A. Kesimpulan

48

B. Saran-saran

49

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

X

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL

i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

ii

PENDAFTARAN UJIAN SKRIPSI

Hi

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

v

ABSTRAK

vi

KATA PENGANTAR

viii

DAFTAR ISI

X

BAB I rPENDAHULUAN
A. Latar Belakang

1

B. Permasalahan

6

C. Ruang Lingkup dan Tujuan

6

D. Defenisi Operasional

7

E. Metode Penelitian

7

F. Sistematika Penulisan

10

BAB I I : TINJAUAN PUSTAKA
A.

Pengertian Tindak Pidana

II

B.

Pertanggungjawaban Pidana

16

C. Jenis-jenis Putusan Pidana

22

D. Pengertian Pidana Bersyarat

28

E.

30

Kewenangan Kejak.saa.';

ix

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pergaulan manusia dalam kehidupan masyarakat tidak selamanya
beijalan dengan yang diharapkan,. manusia selalu dihadapkan pada masalahmasalah atau pertenlangan antar sesamanya, dalam keadaan demikian ini
hukum diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan ketertiban masyarakat.
Istilah hukum berasal dari kata "straf yang merupakan istilah yang
sering digunakan dalam sinonim dari istilah pidana. Istilah hukuman
yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti
yang tuas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi cukup
luas. Oleh karena itu pidana merupakan istilah lebih khusus, maka perlu
ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan
ciri-ciri dan sifatnya yang khas.'
Untuk memberikan gambaran yang lebih luas, berikut ini dikemukakan
pendapat dari beberapa sarjana sebagai berikut ; Menurut Sudarto, "Pidana
adalah nestapa yang diberikan oleh negara kepada seseorang, yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang Hukum Pidana, sengaja agar
dirasakan sebagai nestapa".'^
Pemberian nestapa atau penderitaan yang sengaja dikenakan kepada
seorang pelanggar ketentuan Undang-undang tidak lain dimaksudkan agar
orang itu menjadi jera. Hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam
mempertahankan norma yang diakui dalam hukum Sanksi yang tajam dalam

' Moelyatno, 2003, Hukum Pidana, Citra Bakti, Bandung, him. 6
^ Sudarto, 2002, Kapital selekta Hukum Pidana, Alunuii, Bandung, him. 109

1

2

hukun pidana inilah yang memhedakannya dengan bidang hukum lain seperti ;
bidang hukum perdata, maupun bidang administrasi negara.
Suatu pemidanaan pada hakekatnya merupakan sutau pengenaan
penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
Oleh karena itu pelaksanaan pidana tidak boleh melebihi keadaan yang secara
limitative dilarang oleh sanksi tertentu. Dengan kata Iain pemidanaan
merupakan suatu sanksi yang bersifat subside yaitu baru dan akan ditetapkan
apabila sanksi lain dapat manangguiangi keadaan.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia jenis pidana
yang mengancam terhadap pelakunya diatur dalam ketentuan pasal 10 K U H
Pidana yaitu :
a. Pidan Pokok terdiri dari :
a) Pidana Mati
b) Pidana penjara
c) Pidana kurungan'pidana denda
b. pidana tambahan, meliputi :
a) Pencabutan hak-hak tertentu
b) Perampasan barang-barang tertentu
c) Pengumuman putusan hakim
Dari jenis-jenis pidana pokok yang diancamkan terhadap pelaku tindak
pidana, yang paling tidak disukai adalah pidana pencabutan atau perampasan
kemerdekaan yaitu pidana penjara dan pidana kurungan. Banyak kritik yang
ditujukan pada jenis pidana ini, baik dilihat dari keberadaannya maupun akibat-

3

akibat lain yang menyertainya atau berhubungan dengan dirampasnya
kemerdekaan seseorang. Meskipun demikian banyak kritik yang ditujukan
pada pidana pencabutan

kemerdekaan

seseorang yang paling

banyak

direncanakan.
Tujuan alasan pembenar dari pidana pencabutan kemerdekaan adalah
untuk melindungi masyarakat. Tujuan ini hanya dapat dicapai bila selama masa
hilangnya kemerdekaan itu diarahkan sebanyak mungkin agar terpidana dapat
kembaii kepada masyarakat. Pelaksanaan pembinaan tersebut memakan waktu
yang cukup lama, demikian pula metode dan pembinaan akan tergantung pada
waktu yang tersedia, yang pada akhimya akan mempengaruhi hasil dari
pembinaan. Dengan mengesampingkan keadaan dalam factor-faktor lain,
waktu yang singkat dalam pidana penjara atau pidana kurungan akan
menghambat tercapainya tujuan tersebut.
Pidana penjara atau pidana kurungan yang singkat banyak

memiliki

kelemahan yang utama adalah dengan penjatuhan pidana penjara atau pidana
kurungan yang singkat, kesempatan untuk melakukan pembinaan belum
dianggap memadai. Selain itu dengan dijatuhkan pidana penjara atau kurungan
yang singkat hanya akan memberikan kesempatan kepada terpidana selama
dilembaga untuk belajar pada penjahat professional dan setelah menjalani
pidana justru bertambahlah jahat.
Sehubungan

dengan

kenyataan-kenyataan

tersebut

diatas,

maka

tindakan yang akan diambil adalah mencari serta merumuskan dengan teliti
alternative pidana pencabutan dan perampasan kemerdekaan dan salah satimya

4

adalah mengefektifkan pidana denda pada pelaku tindak pidana pelanggaran
sebagai alternative dalam memberikan balasan atau memulihkan keadaan,
disamping pidana badan tetap dipertahankan keberadaannya, apabila pelaku
tindak pidana pelanggaran tidak mau atau tidak mampu membayamya.
Pemberian pidana bersyarat adalah merupakan jalan keluar untuk
mengatasi kejahatan ringan agar jangan sampai terpidana bercampur dengan
narapidana berat guna menghindari sifat jahatnya. Jadi pidana bersyarat itu
merupakan altematif pcnghindaran ketularan tersebut karena terpidana berada
di luar lingkungan penjara, walaupun ada altematif pidana lainnya selain
pidana bersyarat. Hal ini didasarkan atas dasar pemikiran bahwa tidaklah
semua penjahat harus dimasukkan ke dalam penjara, akan tetapi khususnya
terhadap pelanggar pertama kali demi mencegah pengamh negatif dari
lingkungan masyarakat penjara. Roeslan Saleh pemah menyatakan bahwa :
"Tujuan pidana bersyarat adalah negatif yaitu meninggalkan pidana penjara
yang pendek waktunya, ini diadakan karena dirasakan bahwa pidana-pidana
demikian lebih banyak jeleknya dari pada baiknya (hilangnya pekerjaan,
ketularan kelakuan jelek, dan lain sebagainya).""*
Di dalam hukum positif, pidana bersyarat diatur pada Pasal 14 a ayat
(1), yang menyatakan bahwa :
Dalam hal dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya satu tahun atau
pidana kurungan, tidak termasuk pidana kumngan sebagai pengganti
denda, hakim dapat memerintahkan agar pidana tersebut tidak perlu
dijalankan, kecuali jika kemudian dengan suatu putusan ditentukan lain
atas dasar bahwa terpidana sebelum berakhimya masa percobaan yang
ditentukan sesuai dengan perintah, telah melakukan suatu tindak pidana
' Roeslan Saleh, 2008, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, him. 28.

5

atau selama masa percobaan tidak mentaati sesuai syarat khusus yang
mungkin telah ditetapkan di dalam perintah.''
Lebih lanjut dikatakan Muladi, bahwa penjatuhan pidana bersyarat
hanya dapat diberikan pada terpidana apabila penjatuhan pidana bersyarat
tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.

Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara asal lamanya tidak
lebih dari satu tahun. Jadi dalam hal ini pidana bersyarat dapat dijatuhkan
dalam hubungan dengan pidana penjara, dengan syarat hakim tidak ingin
menjatuhkan pidana lebih dari satu tahun. Yang menentukan bukaniah
pidana yang diancam atas tindak pidana yang dilakukan, tetapi pidana
yang akan dijatuhkan.

2.

Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehubungan dengan pidana kurungan,
dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda.
Mengenai pidana kurungan ini tidak akan diadakan pembatasan, sebab
maksimum dari pidana kurungan adalah satu tahun.

3.

Dalam hal ini menyangkut denda maka pidana bersyarat

dapat

dijatuhkan, dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran
denda betul-betul dirasakan berat oleh terdakwa.
Berdasarkan hal di atas dapat dikatakan bahwa pidana bersyarat dapat
dijatuhkan kepada si terpidana yang dijatuhi pidana penjara, pidana kurungan,
dan pidana denda, walaupun banyak kesimpang siuran pendapat tentang
keberadaan pidana bersyarat itu sendiri. Hal ini dikarenakan dalam masyarakat
bahwa putusan pidana bersyarat sinonim dengan putusan bebas {vrijspraak)
karena terpidana bebas di luar penjara.^
'' Muladi, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, him . 6
' Andi Hamzah, 2006, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, PT. Pradnya
Paramita, Jakarta, him. 66.

6

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penuiis tertarik untuk
mengkaji dan menganalisis hal yang bersangkut paut dengan

peranan

Kejaksaan melakukan pengawasan terhadap terpidana yang dijatuhi pidana
bersyarat, untuk maksud tersebut selanjutnya dirumuskan dalam skripsi ini
yang

berjudul

PENGAWASAN

PERANAN
TERHADAP

KEJAKSAAN
TERPIDANA

MELAKUKAN

YANG

DIJATUHI

PIDANA B E R S Y A R A T .

B. Permasalahan
Adapun permasalahan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana peranan Kejaksaan melakukan pengawasan terhadap terpidana
yang dijatuhi pidana bersyarat ?
2. Apakah hambatan pihak Kejaksaan dalam

melakukan pengawasan

terhadap terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat ?

C. Ruang Lingkup dan Tujuan
Untuk memperoleh pembahasan yang sistematis, sehingga sejalan
dengan permasalahan yang dibahas, maka yang menjadi titik berat pembahasan
dalam penelitian ini yang bersangkut paut dengan peranan Kejaksaan
melakukan pengawasan terhadap terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat .
Tujuan

Penelitian adalah

pengetahuan yang jelas tentang :

untuk mengetahui dan

mendapatkan

7

1. Peranan Kejaksaan melakukan pengawasan terhadap terpidana yang
dijatuhi pidana bersyarat
2. Hambatan pihak Kejaksaan dalam

melakukan pengawasan terhadap

terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat
D. Defenisi Operasional
1. Pengawasan adalah sebagai suatu kegiatan untuk memperoleh kepastian
apakah suatu pelaksanaan pekerjaan/kegiatan itu dilaksanakan sesuai
dengan rencana, aturan-aturan dan tujuan yang telah ditetapkan.
2. Kejaksaan adalah lembaga Negara yang melaksanakan kekuasaan Negara
dibidang penuntutan dan penyidikan pidana khusus berdasarkan KUHP.
3. Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
4. Pidana Bersyarat, yaitu menjatuhkan pidana kepada seseorang akan tetapi
pidana itu tidak usah dijalani kecuali dikemudian hari temyata terpidana
sebelum habis masa percobaan melakukan tindak pidana lagi atau
melanggar perjanjian yang diberikan oleh hakim. Jadi putusan pidana tetap
ada hanya pelaksanaan pidana itu ditangguhkan.

E . Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah jenis penelitian
hukum yang dipandang dari sudut tujuan penelitian hukum yaitu penelitian
hukum sosiologis, yang bersifat deskriptif atau uienggamoarkan.

8

2. Jenis dan Sumber data
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder yang terdapat dalam kepustakaan,
perundang-undangan

yang berupa

peraturan

yang terkait, jumal, hasil penelitian, artikel dan

buku-buku lainnya
Data yang berasal dari bahan-bahan hukum sebagai data utama yang
diperoleh dari pustaka, antara lain :
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum yang mempunyai otoritas {authoritatif) yang terdiri dari
peraturan perundang-undangan. antara lain. Undang-undang Nomor 8
tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang No. 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum

primer,

seperti

rancangan

undang-undang,

hasil-hasil

penelitian, hasilnya dari kalangan hukum, dan setemsnya.
c. Bahan Hukum Tersier
Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelesan
terhadap

bahan

hukum primer dan

sekunder,

seperti

kamus,

ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya
Sedangkan, Data Primer diperoleh melalui wawancara pada pihak
Kejaksaan Tinggi Palembang Palembang.

9

3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian hukum ini teknik pengumpulan data yang digunakan
yaitu melalui studi kepustakaan (library research) yaitu penelitian untuk
mendapatkan

data sekunder yang diperoleh dengan

mengkaji

dan

menelusuri sumber-sumber kepustakaan, seperti literatur, hasil penelitian
serta mempelajari bahan-bahan tertulis yang ada kaitannya

dengan

permasalahannya yang akan dibahas, buku-buku ilmiah, surat kabar,
perundang-undangan,

serta

dokumen-dokumen

yang

terkait

daiam

penulisan skripsi ini.
4. Teknik Analisa Data
Data

yang

diperoleh

diklasitikasikan, baru

dari

sumber

hukum

kemudian dianalisis

yang

dikumpuikan

secara kualitatif,

artinya

menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur,
sistematis, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan
interprestasi data dan pemahaman hasil analisis. Selanjutnya hasil dari
sumber

hukum tersebut dikonstruksikan berupa

kesimpulan

dengan

menggunakan logika beipikir induktif, yakni penalaran yang berlaku
khusus pada masalah tertentu dan konkrit yang dihadapi. Oleh karena itu
hal-hal yang dirumuskan secara khusus diterapkan pada keadaan umum,
sehingga hasil analisis tersebut dapat menjawab permasalahan dalam
penelitian.
F . Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari empat bab dengan sistemauka seoagai berikut:

10

Bab I , merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,
Permasalahan, Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian, Defenisi Operasional,
Metode Penelitian, serta Sistematika Penulisan.
Bab II, merupakan linjauan pustaka yang berisikan landasan teori yang
erat kaitannya dengan obyek penelitian, yaitu : Pengertian Pemidanaan,
Pertanggungjawaban Pidana Jenis-jenis Putusan Pidana, Pengertian Pidana
Bersyarat, Kewenangan Kejaksaan
Bab I I I , merupakan pembahasan yang berkaitan dengan

Peranan

Kejaksaan melakukan pengawasan terhadap terpidana yang dijatuhi pidana
bersyarat

dan Hambatan pihak Kejaksaan dalam

terhadap terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat
Bab IV berisikan Kesimpulan dan saran

melakukan pengawasan

BAB TI
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tindak Pidana
Istilah hukum pidana mengandung beberapa arti atau lebih tepat jika
dikatakan, bahwa Hukum Pidana itu dapat dipandang dari beberapa sudut,
yaitu pertama dari sudut Hukum Pidana dalam arti objektif dan Hukum Pidana
dalam arti subjektif.
Moeljatno menyatakan Hukum Pidana adalah bagian dari keseiuruhan
hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan untuk:
a. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu
bagi barang siapa, yang melanggar larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.*
d.
Kata "Tindak Pidana" merupakan terjemahan dari ""Strafbaarfeif\
Moeljatno memakai istilah perbuatan pidana dan beliau tidak setuju dengan
istilah "Tindak pidana" karena menurutnya tindak lebih pendek dari pada
"perbuatan" tapi tindak, tidak menunjukan kepada hal yang abstrak seperti
perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan konkret.^
^ Pipin Syarifin, 2004, //wAwm P/tiflrta/ncfortes/a, Pustaka Setia, Bandung, him. 13
^ Laden Marpaung, 2003, Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm.8

11

12

M.H.Tirta Amidjaya memakai istilah "Pelanggaran Pidana". Mr. E.
Litracht memakai istilah "Pristiwa Pidana", umumnya tindak pidana di
sinonimkan dengan Delik yang berasal dari bahasa latin yakni kata Delictum,
dalam kamus besar bahasa Indonesia tercantum sebagai berikut: Delik
pemberatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran
terhadap Undang - undang tindak pidana".
Mengenai definisi "Delik" (Strafbaar feit) dapat dibandingkan pendapat
para pakar, antara lain:
VOS

:Delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum oleh
undang - undang

VanHamel

:Delik adalah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap
hak - hak orang lain.

Simons

:Delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah
dilakukan dengan sengaja
seseorang

yang

dapat

ataupun tidak sengaja

oleh

dipertanggung jawabkan

atas

tindakannya dan oleh Undang - undang telah dinyatakan
^

sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat di hukum.
Berdasarkan rumusan Simons maka delik (Straftbaar feit) memuat

beberapa unsur yakni:
a. Suatu perbuatan manusia
b. Perbuatan itu dilarang dan di ancam dengan hukuman oleh undang undang,
c. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung
jawabkan.^
^ Ibid, hlm.9.
^ Loc.Cit

14

ada dasamya yang mana dasar tersebut lebih dikenal sebagai asas legalitas
(principle of legality) yaitu asas yang menentukan bahwa : "tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, jika tidak di tentukan
terlebih dahulu dalam perundang-undangan - (pasal 1 ayat 1 KUHPid) yang
lebih di kenal dalam bahasa latin sebagai nullum delictum nula poena sine
provia lege "
Hukum pidana dikenal beberapa kategorisasi tindak pidana atau
macam-macam tindak pidana seperti yang akan dijelaskan dibawah ini.
1. Tindak Pidana Menurut Doktrin
a. Dolus dan Culpa
Dolus yang berarti sengaja; delik dolus adalah merupakan perbuatan
sengaja yang dilarang dan diancam dengan pidana. Contoh : Pasal 338
menghilangkan nyawa orang KUH Pidana. Sedangkan Culpa berarti alpa
atau lalai ''culpose delicten'^ yang artinya perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana yang dilakukan dengan tidak sengaja, hanya
karena kealpaan (ketidak hati-hatian) saja. Contoh Pasal 188 KUHP
karena salahnya terjadi kebakaran.
b. Komisionis, Omisionis dan Komisionis Per Omisionis
Tindak pidana Komisionis yaitu tindak pidana yang terjadi dengan cara
berbuat sehingga perbuatan itu melanggar larangan. Seperti mencuri Pasal
362 dan membunuh Pasal 338 KUH Pidana, sedangkan omisionis delik
yang terjadi karena seseorang melaiaikan suruhan (tidak berbuat), biasanya
delik formil seperti Pasal 164 dan 165 K U H Pidana, Komisionis Per

15

Omisionis yakni delik yang pada umumnya dilakukan dengan perbuatan,
tetapi mungkin terjadi pula bila orang tidak berbuat (berbuat tapi yang
-

tampak tidak berbuat) seperti Pasal 338 K U H Pidana seorang ibu yang
hendak membunuh bayinya berbuat dengan tidak memberikan susu kepada
bayinya, jadi tidak berbuat.

c. Materil dan formil
Katagorisasi ini di dasarkan pada perumusan tindak pidana. Delik materil
yaitu delik yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang dilarang
dan diancam dengan pidana dan undang-undang. Sedangkan delik formil
yaitu delik yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang
dilarang dan di ancam dengan pidana oleh undang-undang
d. Without Victim dan With Victim
Without Victim delik yang dilakukan dengan tidak ada korban sedangkan
With Victim delik yang dilakukan dengan ada Korbannya beberapa atau
seorang tertentu.
2. Tindak Pidana Menurut KUH Pidana
Di dalam KUH Pidana yang berlaku di Indonesia sebelum tahun 1918 di kenal
tiga jenis tindak pidana yaitu :
a. Kejahatan (Crimes)
b. Perbuatan buruk (Delits)
c. Pelanggaran (contraventions)

16

Menurut K U H Pidana yang berlaku sekarang, tindak pidana itu ada
dalam dua jenis saja yaitu kejahatan dan pelanggaran. K U H Pidana tidak
memberikan ketentuan atau syarat-syarat untuk membedakan kejahatan dan
pelanggaran. KUH Pidana hanya menentukan semua ketentuan yang di muat
dalam buku I I adalah kejahatan sedangkan semua yang terdapat dalam buku III
adalah pelanggaran.
Kedua jenis tindak pidana tersebut bukan berdasarkan perbedaan
prinsipil, melainkan hanya perbedaan graduel saja. Kejahatan pada umumnya
diancam dengan pidana yang lebih berat dari pada pelanggaran. Selain itu
terdapat beberapa ketentuan yang termuat dalam buku I yang membedakan
antara kejahatan dan pelanggaran seperti:
1.

Percobaan (poeging) atau membantu (mcdeplictigheid) untuk pelanggaran
tidak dipidana pasal 54 dan 60 KUH Pidana.

2.

3.

Daluwarsa (verjaring)

bagi kejahatan lebih

lama dari pada bagi

pelanggaran pasal 78 dan 84 KUH Pidana.
Pengaduan (klacht) hanya ada terhadap beberapa kejahatan dan tidak ada
pada pelanggaran

4.

Peraturan pada perbarengan (samenloop) adalah berlainan untuk kejahatan
dan pelanggaran.

>. Pertanggungjawaban Pidana
AJaran kemampuan bertanggung]awab ini mengenai keadaan jiwa atau
batin seseorang yang normal atau sehat ketika melakukan tindak pidana. Arti

17

kemampuan bertanggung)awab dalam M.v.T, diterangkan secara negative,
bahwa tidak mampu bertanggung) awab dari pembuat adalah :
1. dalam hal pembuat tidak diberi kebebasan memilih antara berbuat
atau tidak berbuat apa yang oleh undang-undang dilarang.
2. dalam hal pembuat ada di dalam keadaan tertentu, sehingga ia tidak
dapat mengisyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hokum
dan tidak mengerti akibat perbuatannya.''
Keterangan secara negative kemampuan bertanggung-jawab dalam
M.v.T tersebut, temyatalah bahwa pembentuk undang-imdang mengambil
sebagai pokok pangkal bahwa pada umumnya orang-orang mempunyai
jiwa/batin yang normal/sehat, sehingga mampu bertanggung jawab atas
perbuatannya.
Hanyalah apabila ada keragu-raguan tentang kemampuan bertanggung
jawab ini pada terdakwa, maka kemampuan bertanggung jawab ini harus
dibuktikan.
Menurut Van Hamel, orang mampu bertanggung-jawab itu harus
memenuhi tiga syarat, yaitu;
1. mampu untuk menginsyafi makna dan akibat sungguh-sungguh
dari perbuatannya sendiri;
2. mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan
dengan ketertiban masyarakat;
3. mampu untuk menentukan kehendakanya dalam melakukan
perbuatan.'^^"^

" SoQan Sastrawidjaja,2003, Hukum Pidana Asas Pidana sampai dengan Alasan
Peniadaan Pidana, Armico, Bandung, him. 181.
^^Ibid., him. 182.
lbid.,\i\m. 182.

18

Menurut Simons, mampu bertanggung-jawab adalah mampu untuk
menginsyafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan
itu mampu untuk menentukan kehendaknya.
Meniuoit Moeljatno, dengan menyimpulkan ucapan-ucapan sarjana
menginsyafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan
itu mampu untuk menentukan kehendaknya.
1. kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik
dan yang buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan
hukum;
2. kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.'"*
Yang pertama merupakan faktor akal, yaitu dapat membedakan antara
perbuatan yang diperbolehkan dengan yang tidak. Yang kedua merupakan
faktor perasaan atau kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya
dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak boleh.
Selanjutnya

dapat

dikatakan

bahwa

orang

yang

tidak mampu

I

bertanggung jawab adalah orang yang keadaan jiwa/batin tidak seperti apa
yang dirumuskan di atas. Keadaan jiwa/batin tidak normal/sehat itu, yang
menurut

pasal

44

KUHP

disebabkan

karena

jiwanya cacat

dalam

pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit. Tidak mampu bertanggung
jawab ini dapat dikatakan merupakan alasan peniadaan kesalahan (alasan
pemaaf), yang dapat dibedakan dengan alasan pemaaf-alasan pemaaf yang
lainnya, seperti yang diatur dalam pasal-pasal: 48 KUHP (daya paksa): 49 ayat
(2) KUHP (bela paksa lampau batas); 51 ayat (2) KUHP (perintah jabatan tidak
^^Ibid, him. 183.

19

sah). Kalau dalam tidak mampu bertanggung jawab fungsi jiwa^ati^^ya itu
disebabkan karena memang organ jiwa/batin tidak normal, sedangkan dalam
pemaaf-alasan pemaaf yang lainnya fungsi jiwa/batinnya tidak normal itu
disebabkan karena keadaan dari luar organ jiwa/batinnya adalah normal.
Cara untuk menentukan ketidak mampuan bertanggung jawab terhadap
seseorang, sehingga ia tidak dapat dipidana ada 3 sistem yaitu:
1. Sistem deskriptif (menyatakan), yaitu dengan cara menentukan
dalam perumusannya yaitu sebab-sebabnya tidak mampu bertangung
jawab. Menurut sistem ini, jika psikiater telah menyatakan seseorang
sakit jiwa, maka dengan sendirinya ia tidak dapat dipidana.
2. Sistem normatif (menilal), yaitu dengan cara hanya menyebutkan
akibatknya yakni tidak mampu bertanggung jawab tanpa menentukan
sebab-sebabnya, yang penting di sini adalah apakah orang itu mampu
bertanggung jwab atau tidak? Jika dipandang tidak mampu
bertanggung jawab, maka apa yang menjadi sebabnya tidak perlu
dipikirkan lagi.
3. Sistem deskriptif-normatif, yaitu dengan cara gabungan dari cara
butir 1 dan 2 tersebut, yakni menyebutkan sebab-sebabnya tidak
mampu bertangung jawab. Dan hal ini harus sedemikian rupa
akibatnya hingga dipandang atau dinilai sebagai tidak mampu
bertanggung jawab.''*
Sistem butir 3 inilah yang dianut oleh KUHP kita. Dengan cara
gabungan ini maka untuk dapat menentukan bahwa terdakwa tidak mampu
bertanggung jawab, dalam praktik diperlukan adanya kerja sama antara
psikiater dengan hakim. Psikiater yang menentukan ada atau tidak adanya
sebab-sebab yang ditentukan dalam undang-undang sedangkan hakim yang
menilai apakah karena sebab-sebab itu terdakwa mampu bertanggung jawab
atau tidak.

''' R. Achmad Soema DiParadja, 2003, Asas-asas Hukum Pidana, Alumni, Bandung,
hlra. 14

20

Daiam hal pasal 44 KUHP, psikiater yang menentukan adanya jiwa
cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit, sedangkan
hakim

yang

menilai bahwa

karena

sebab-sebab

itu terdakwa

dapat

dipertanggung jawabkan atas perbuatannya.
Hakim memerlukan pendapat dari seorang psikiater, tetapi pendapat
dari seorang psikiater ini tidak mengikat keputusan hakim. Hakim bebas untuk
menentukan pendapatnya sendiri, meskipun dalam praktik pada umumnya
hakim mengikuti pendapat dari seorang psikiater itu. Mungkin pula daiam hal
ini seorang psikiater memberikan pendapatnya mengenai apakah terdakwa
yang dalam keadaan jiwa sedemikian itu dapat atau tidak dapat dipertanggung
jawabkan terhadap perbuatannya, yang sesungguhnya merupakan tugas hakim
untuk menentukannya. Akan tetapi mungkin juga pendapat tersebut tidak
diberikan oleh seorang psikiater, karena ia merasa tidak berwenang.
Keadaan jiwa yang cacat dalam pertumbuhannya dalam pasal 44 KUHP
itu ialah disebabkan karena dungu atau pandir. Kemabukan tidak termasuk
golongan ini, kecuali apabila kemabukan itu ditimbulkan oleh penyakit jiwa.
Demikian pula kebutaaksaraan tidak termasuk dalam golongan ini, kecuali
kebutaaksaraan itu disebabkan oleh karena pertumbuhan jiwa yang cacat itu.
Seseorang yang membawa dirinya dalam keadaan tidak sadar, dengan
maksud agar ia dalam ketidaksadaran itu menjadi berani melakukan suatu
tindak pidana dengan

minum-minuman keras atau

memabukkan

diri,

menggunakan narkotika, dan sebagainya, kehendak imtuk melakukan tindak
pidana itu telah ada padanya sebelum membawa dirinya dalam keadaan tidak

21

sadar, sehingga kepadanya dapat dipertanggung jawabkan atas tindak pidana
yang telah dilakukannya itu. Demikian pula seseorang yang membawa dirinya
dalam keadaan tidak sadar, karena minum-minuman keras, menggimakan
narkotika, dan sebagainya, harus dapat mengira bahwa daiam ketidaksadaran
itu besar kemungkinan ia bisa melakukan suatu tindak pidana, sehingga
kepadanya dapat dipertanggung jawabkan atas tindak pidana yang telah
dilakukannya itu.
Di dalam praktik dijumpai bebrapa macam keadaan jiwa yang hanya
sebagian

dihinggapi penyakit jiwa,

yang disebut

dengan

tidak dapat

dipertanggung jawabkan sebagaian. Orang yang dihinggapi penyakit jiwa ini
disebut dengan psychopaten. Macam dari penyakit jiwa ini seperti:
1. KJeptomanie, yaitu penyakit jiwa yang berupa kesukaan untuk
mengambil sesuatu jenis barang tertentu kepunyaan orang lain tanpa
disadarinya atau di luar kehendaknya. Misalnya kesukaan untuk
mengambil pulpen, sedangkan jenis barang lainnya tidak. Jadi
apabila ia melihat pulpen tanpa disadarinya lalu diambilnya dan terus
pergi. Daiam perbuatan-perbuatan lainnyajiwanya normal.
2. Pyromanie, yaitu penyakit yang berupa kesukaan untuk melakukan
pembakaran tanpa alasan sama sekali dan di luar kehendaknya. Akan
tetapi untuk perbuatan-perbuatan lainnyajiwanya normal.
3. Nymphomanie, yaitu penyakit jiwa pada seorang laki-laki jika
bertemu dengan seorang wanita maka berbuat yang tidak senonoh,
untuk perbuatan-perbuatannya lainnyajiwanya normal.'^
Pertanggungjawaban dari si pembuat atas perbuatan Pidana yang telah
dilakukan, dan perbuatan itu tercela dan dengan kesalahan itu bisa sengaja
atau kelalaian.'*

" SoQan Sastrawidjaja, Op.Cil, him. 186.
Bambang Pumomo, 2001, asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta,
.him. 24.

22

Subjek Hukum Pidana adalah manusia dalam kualifikasi tertentu, antara
lain :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

C.

Penanggung jawab peristiwa Pidana;
Polisi yang melakukan penyidikan;
Jaksa yang melakukan penuntutan;
Pengacara;
Hakim yang mengadili;
Petugas lembaga permasyarakatan
putusan Hakim.

yang melaksanakan

eksekusi

Jenis-jenis Putusan Pidana
Proses peradilan akan berakhir dengan suatu putusan akhir. Dalam
putusan pengadilan, maka hakim akan menyatakan pendapatnya tentang apa
yang telah dipertimbangkannya sebelum menjatuhkan keputusan. Dalam
Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Pasal 1 ayat 11 bahwa "Putusan pengadilan
adalah pemyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka
yang dapat bempa pemidanaan atau bebas dari segala tuntutan hukum serta
menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang."
Mengenai putusan hakim di antara sarjana hukum Indonesia tidak
sama dalam pemakaiannya. Ada yang memakai dengan macam keputusan, ada
yang menggunakan unsur keputusan hakim dan ada juga yang menggunakan isi
keputusan hakim. Perbedaan itu bukaniah suatu hal yang mendasar hanya saja
mungkin para sarjana tersebut menggunakan istilahnya hanya karena faktor
kebiasaan belaka. Perbedaan dalam penggunaan istilah tersebut pada dasamya
mempunyai makna yang sama, dan dalam pengertian ini yang digunakan istilah

Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, 1988, Intisari Hukum Pidana, Ghalia
Indonesia, Jakarta, him.30

23

putusan hakim. Putusan hakim itu diikhtiarkan dari hasii pemeriksaan, yang
didapat dari saksi-saksi,

alat bukti terdakwa dipersidangan

yang

ada

relevansinya dengan dakwaan.
Mengenai jenis-jenis putusan hakim diatur dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 Pasal 191 KUHAP yang berbunyi:
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan
terdakwa atau perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
(2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada
terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana,
maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukiun.
Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 191 ayat (1 dan 2) di atas
maka dapat diketahui adanya putusan berupa pembebasan terdakwa, apabila
menurut hasil pemeriksaan pengadilan, temyata kesalahan yang dituduhkan
kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan Pasal 191 ayat (1)
sedangkan pada Pasal 191 ayat (2) putusan lepas dari segala tuntutan hukum,
hal ini Jika menurut hasil pemeriksaan di sidang pengadilan perbuatan
terdakwa terbukti tapi temyata tidak merupakan tindakan pidana, jadi dari
uraian di atas ada dua jenis putusan hakim, yakni: putusan bebas dan putusan
lepas dari segala tuntutan hukum.
Selain dari ketentuan tersebut diatas maka keputusan hakim ini ada
lagi ketentuan yang mengatumya seperti yang terdapat dalam Pasal 193 ayat
(1) KUHAP yang

berbunyi sebagai berikut: "Jika pengadilan berpendapat

24

bahwa terdakwa bersalah

melakukan tindak pidana yang didakwakan

kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana".
Dari pasal tersebut di atas, maka pengadilan akan menjatuhkan pidana
jika berdasarkan hasil pemeriksaan, terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana yang dituduhkan kepadanya. Jadi dari dua hal tersebut di atas, yaitu
pasal 191 dan pasal 193 KUHAP maka berarti ada tiga jenis keputusan hakim
dalam arti vonis, yaitu :
1. Putusan bebas
2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum
3. Putusan berupa pidana
Menurut Andi Hamzah, setiap putusan hakim merupakan salah satu di
antara tiga kemungkinan, di atas yaitu :
1. Pemidanaan atau penjatuhan pidana atau tata tertib
2. Putusan bebas
3. Putusan lepas dari segala tuntutan hakim.
Selain itu menurut Hedrastanto Yudowidagdo, ia membedakan jenis
keputusan hakim dengan menemukakan unsur keputusan itu, yakni:
1. Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa
2. Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan
hukum
3. Putusan yang mengandung penghukuman terdakwa.

Andi Hamzah, Op.CiL. hlm.23.

25

Dari uraian di atas, maka para sarjana sependapat bahwa ada tiga
keputusan hakim, berikut ini akan dijelaskan mengenai masing-masing putusan
hakim.
1. Putusan Bebas
Putusan bebas akan djatuhkan oleh hakim jika pengadilan berpendapat
bawa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas kesalahan yang
didakwakan kepadanya secara sah dan menyakinkan tidak terbukti, maka
terdakwa diputus bebas.
Dakwaan tidak terbukti bahwa apa yang telah diisyarakatkan oleh
pasal 183 KUHAP tidak terpenuhi, yakni :
a. Bahwa alat bukti yang dianut dalam sistem pembuktian adalah
sistem negatif menurut undang-undang.
b. Bahwa sistem negatif menurut undang-undang menghendakinya
alat-alat bukti yang sah yang dapat menjadi pedoman dalam
mengambil putusan hakim.
Apabilal hakim memutus bebas, maka terdakwa yang berada dalam
tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga, kecuali ada alasan
lain yang sah menurut hakim untuk menyatakan bahwa setiap terdakwa tetap
berada dalam tahanan.
Jaksa penuntut umum segera melaksanakan keputusan hakim terhadap
terdakwa untuk segera dibebaskan dari tahanan seketika itu, sedangkan
terhadap barang bukti yang disita dalam perkara di pengadilan menetapkan

Prodjohamidjojo, 2004, Putusan Pengadilan, Ghalia Indonesia, Jakarta, hhm. 13

26

bahwa barang sitaan diserahkan kepada

yang paling berhak yang namanya

tercantum dalam putusan itu kecuali barang bukti itu harus dirampas untuk
kepentingan Negara atau dimusnahkan sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.
2. Putusan Lepas Dari Tuntutan Hukum
Menurut pasal

191 ayat (2) KUHAP, dinyatakan bahwa jika

pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
tersebut terbukti secara sah dan tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak
pidana, atau karena adanya hal-hal >'ang dapat menghapus pidana tuntutan
hukum.
^

Keputusan ini dapat terjadi bilamana tuduhan jaksa terhadap terdakwa

terbukti, perbuatan terdakwa itu bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran,
atau karena semuanya hal-hal penghapusan pidana seperti keadaan mendesak
atau terpaksa atau dalam melaksanakan tugas.
Dalam kaitannya dengan keputusan lepas dari segala tuntutan hukum
Soedirjo mengemukakan bahwa:
Pelepasan dari segala tuntutan hukum dijatuhkan apabila terdapat hal-hal
yang menghapuskan pidana baik yang menyangkut diri perbuatannya
sendiri maupun menyangkut diri pelaku perbuatan itu sebagaimana
terdapat dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 K U H Pidana. Hal-hal yang
menghapus pidana dalam pasal-pasal ini bersifat umum, disamping itu
terdapat hal-hal yang menghapus pidana secara khusus, misaJ pasal 166
dan 316 KUH Pidana.^^
Kemungkinan-kemungkinan yang Iain diputus lepasnya terdakwa dari
segala tuntutan hukum yakni, berkenaan dengan keadaan terdakwa sendiri,

Soedirjo, 2003, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, Jakarta, Akademika
Presindo, him. 58.

27

sebagaimana diatur dalam pasal 44 K U H Pidana yakni: "Barang siapa
melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung] awabkan kepadanya,
disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau karena penyakit
(Ziekelijke Stroring), tidak dapat dipidana.
Pasal 48 KUH Pidana berbunyi: "Barang siapa melakukan perbuatan
karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana". Pasal 49 KUH Pidana berbunyi:
"Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk melakukan pembelaan
karena ada serangan atau ancaman seketika itu yang melawan hukum, terhadap
diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan (Een baarheid)
atau harta benda sendiri maupun orang lain tidak dipidana". Pasal 50 K U H
Pidana berbunyi: "Barang siapa melakukan perbuatan imtuk melaksanakan
perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang tidak
dipidana".
Ketentuan dalam KUH Pidana tersebut dapat diketahui bahwa, jika
seseorang terdakwa yang didakwakan oleh penuntut umum telah melakukan
tindak pidana tertentu, namun pada diri pribadi terdapat unsur-unsur pasalpasal tersebut di atas, maka hakim akan memutuskan terdakwa dengan
keputusan lepas dari segala tuntutan hukum hal yang

demikian dalam

hukuman pidana disebut alasan pemaaf.
Keputusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan
hukum, maka akan berlangsung seperti peristiwa pada pembebasan, yaitu
mengenai status tahanan orang yang salah tangkap, juga mengenai barang bukti
yang disita. Pada putusan yang mengandung pembebasan terdakwa tidak dapat

28

dimintakan banding selain dari pada itu juga sebagaimana yang diatur dalam
pasal 67 KUHAP juga tidak dapat dimintakan banding dengan alasan-alasan
"Bebas mumi dan bebas berselubung", namun dalam sistem KUH Pidana hal
tersebut tidak dapat dimintakan lagi.
3.

Putusan Berupa Pemidanaan
Pasal

193 ayat

(1) KUHAP

berpendapat bahwa terdakwa bersalah

yang berbunyi :"Jika

pengadilan

melakukan tindak pidana yang

didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana". Dari ketentuan
tersebut diatas berarti bahwa putusan yang berupa pemidanaan akan dijatuhkan
apabila terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya.

I. Pengertian Pidana Bersyarat
Lembaga yang dimaksudkan di dalam tulisan ini bukaniah lembaga
dimana para tahanan harus menjalankan pidana mereka atau yang dikenal
dengan

lembaga pemasyarakatan,

melainkan lembaga

hukum yang

disebutkan di dalam hukum positif yang secara langsung ada hubungarmya
dengan pemidanaan-pemidanaan yang dilakukan oleh hakim, dan di sini
termasuk pula Lembaga Pemasyarakatan (LP).
Secara umum yang dikatakan bahwa pidana bersyarat adalah suatu
sistem pidana dimana terhadap terpidana dijatuhkan pidana penjara, akan
tetapi pidana penjara tersebut tidak perlu dijalani olehnya, apabila pada

29

masa percobaan

yang telah ditentukan ia tidak melakukan suatu

pelanggaran terhadap syarat-syarat yang telah ditentukan.
Jadi kalau dipandang sepintas lalu, putusan pidana bersyarat tersebut
seolah-olah ringan, namun dalam kenyataannya justru jenis pidana ini
merupakan beban atau psikologis yang dirasakan oleh pelanggar/pelaku
kejahatan itu.
Apabila
masyarakat),
masyarakat

dipandang
maka beban

dari

segi

kemasyarakatan

(pandangan

mental tersebut

akan bertambah, sebab

sering memberi "cap" bahwa

seseorang yang pemah

tersangkut dalam suatu perkara dianggap telah mempunyai kesalahan
besar, sehingga sering kali dijauhi dalam pergaulan sehari-hari oleh
masyarakat

lingkungannya, seperti

yang dikemukakan oleh

Djoko

Prakoso, yaitu tindak pidana tidak hanya tidak enak dirasa pada waktu
dijalani tetapi sesudah itu orang yang dikenai pidana masih merasakan
akibatnya berupa "cap" oleh masyarakat bahwa ia pemah berbuat jahat,
"cap" ini disebut stigma.^'
Adapun mengenai syarat-syarat yang dimaksud dalam penjatuhan
pidana bersyarat menurut Pasal 14a ayat (4) KUHP yaitu :
Perintah itu tidak diberikan, melainkan jika hakim dapat berkeyakinan,
sesudah dilakukan pemeriksaan yang teliti. bahwa dapat dilakukan
pengawasan terhadap orang yang dihukum itu dalam hal memenuhi
perjanjian umum, bahwa ia tidak akan melakukan perbuatan yang dapat
dihukum dan dalam hal memenuhi perjanjian istimewa, jika sekiranya
janji itu diadakan juga.

^' Djoko Prakoso, 2004, Masalah Pemberian Pidana Dalam Bentuk Praktek
Peradilan, Ghalia, Jakarta, him. 4

30

Menurut R. Soesilo berdasarkan isi ketentuan Pasal 14a ayat (4) di
atas persyaratan dibagi atas 2 (dua) yaitu : Pertama, syarat umum yaitu di
mana si terpidana tidak melakukan suatu perbuatan pidana lagi, dan syarat
ini mutlak ada dalam menjatuhkan pidana bersyarat.
Kedua, syarat khusus/istimewa yaitu syarat-syarat yang menyertai
syarat umum dan syarat ini dapt ditentukan oleh hakim. Sedangkan
undang-undang sendiri telah tidak memberikan penjelasan tentang syaratsyarat khusus, keciiali hanya mengatakan bahwa syarat-syarat khusus itu
I
tidak boleh membatasi kebebasan terpidana untuk beragama dan tidak
boleh membatasi terpidana untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang sah
menurut ketatanegaraan (Pasal 14c ayat (3) KUHP).
Untuk

lebih jelasnya

mengenai

syarat-syarat

khusus

dalam

penjatuhan pidana bersyarat ini, maka penuiis mencantumkan contoh
keputusan Mahkamah Agung yaitu

: Mahkamah Agung Republik

Indonesia dalam putusan kasasinya tanggal 25 Februari 1975 No.
66.K/Kr/1974 dapat membenarkan syarat khusus yang telah ditetapkan
oleh

Pengadilan Negeri yang menyatakan

bahwa tertuduh

harus

mengembalikan tanah tersebut kepada saksi.
E.

Kewenangan Kejaksaan
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan, merupakan salah satu sub sistem
Soesilo, 2009, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,
Politea, Bogor, him. 41.
A.F. Lamintang, 2006, Hukum Penintensicr Indonesia, Armico, Bandung, him. 142

32

5. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Tugas dan kewenangan kejaksaan juga di pertegas juga di dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang mana
posisi kejaksaan sebagai lembaga penuntutan di dalam sistem peradilan pidana,
mempunyai kewenangan:
1.

menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik
pembantu;

2.

mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan
dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan
memberi

petunjuk

dalam rangka

penyempumaan

penyidikan dari

penyidik;
3.

memberikan perpanjangan

penahanan,

melakukan

penahanan

atau

penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya
dilimpahkan oleh penyidik;
4.

membuat surat dakwaan;

5.

melimpahkan perkara ke pengadilan;

6.

menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari
dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada
terdakwa maupim kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah
ditentukan;

7.

melakukan penuntutan;

33

8.

menutup perkara demi kepentingan umum;

9.

mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;

10. melaksanakan penetapan hakim.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tugas dan kewenangan
kejaksaan adalah penuntutan umum, penyidikan tindak pidana tertentu,
mewakiii negara atau pemerintah dalam perkara perdata dan tata usaha negara
serta memberikan pertimbangan hukum kepada istansi pemerintah dan
mewakiii kepentingan umum.

BAB III
HASIL P E N E L I T I A N DAN PEMBAHASAN

A.

Peranan Kejaksaan melakukan pengawasan terhadap terpidana yang
dijatuhi pidana bersyarat
Pemikiran dasar yang melandasi sanksi pidana bersyarat sebenamya
sangat sederhana. Pidana ini secara keseiuruhan bertujuan untuk menghindari
terjadinya tindak pidana lebih lanjut, dengan cara menolong terpidana agar
belajar hidup produktif di dalam masyarakat yang telah dirugikan olehnya.
Cara yang terbaik untuk mencapai

tujuan ini adalah dengan

cara

mengarahkan sanksi pidana ke dalam masyarakat, d

Dokumen yang terkait

FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI K E P U T U S A N K O N S U M E N D A L A M P E MB E L I A N G U L A P A S I R K E MA S A N B E R L A B E L D A N TI DAK BERLABEL D I K A B U P A T E N J E M B E R

0 2 10

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI K E P U T U S A N K O N S U M E N D A L A M P EMB E L I A N G U L A P A S I R K EMA S A N B E R L A B E L D A N TIDAK BERLABEL D I K A B U P A T E N J E M B E R

0 4 17

R E S P O N TA N A M A N C A B E M E R A H T E R H A D A P P U P U K N K M A J E M U K YA N G D I A P L I K A S I K A N S E C A R A L A N G S U N G M E L A L U I TA N A M A N

0 0 10

K E K U A T A N H U K U M H A S I L P E M E R I K S A A N PUSAT LABORATORIUM FORENSIK POLRI TERHADAP BARANG B U K T I T I N D A K PIDANA P S I K O T R O P I K A

0 0 71

K E K U A T A N DO'A TERHADAP K E Y A K I N A N SISWA D A L A M B E L A J A R D I S E K O L A H DASAR N E G E R I 30 PAGAR DEWA K E C A M A T A N L U B A I MUARA E N I M

0 1 79

P E N E G A K A N H U K U M T E R H A D A P T I N D A K PIDANA P E R J U D I A N DAN K E N D A L A N Y A DI P O L S E K B E L I T A N G I I

0 0 79

DASAR P E R T I M B A N G A N H A K I M M E N Y A T A K A N S U R A T DAKWAAN B A T A L D E M I H U K U M D A L A M TINDAK PIDANA K O R U P S I

0 0 63

K E B I J A K A N H U K U M PIDANA D A L A M M E N A N G G U L A N G I T I N D A K PIDANA P E R P A J A K A N M E N U R U T U N D A N G - U N D A N G N0.28 T A H U N 2007 T E N T A N G P E R P A J A K A N

0 0 83

T I N D A K PIDANA K A S U S P E N C U R I A N DI D E S A K A R Y A M A J U K E C A M A T A N K E L U A N G K A B U P A T E N MUSI B A N Y U A S I N (STUDI K A S U S : DI P O L S E K K E L U A N G )

0 1 63

SANKSI PIDANA TERHADAP P E L A K U K E K E R A S A N TERHADAP PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN KORBAN

0 0 63