SANKSI PIDANA TERHADAP P E L A K U K E K E R A S A N TERHADAP PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN KORBAN
SANKSI PIDANA TERHADAP P E L A K U K E K E R A S A N
TERHADAP PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN
KORBAN
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk
Menempuh Ujian Sarjana Hukum
Oleh
IRA OFIANDA
50 2011
252
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
FAKULTAS HUKUM
2015
PALEMBANG
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH P A L E M B A N G
FAKULTAS HUKUM
PERSETUJUAN PAN PENGESAHAN
Judul Skripsi
S A N K S I PIDANA T E R H A D A P P E L A K U
K E K E R A S A N T E R H A D A P PEREMPUAN DAN
PERLINDUNGAN KORBAN
Nanui
: IRA OFIANDA
Nim
: 50 2011 252
Program Studi
: Ilmu Hukum
Program Kekhususan : Hukum Pidana
Pembimbing,
Luil Maknun, SH., MH
Palembang,
P E R S E T U J U A N O L E H T I M PENGUJI:
Ketua
: Dr. Hj. Sri Sulastri, SH., M.Hum
Anggota
: I . Zulfikri Nawawi, SH., MH.
jF
2. Mona Wulandari, SH., MH
DISAHKAN O L E H
DEKAN F A K U L T A S HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMAOtVAH PALEMBANG
Dr. Hj. SRXSUATMIATI, SH, M.Hum
NBM/NIDN : 791348/0006046009
ii
April 2015
MOTTO
:
^Sesungguhnya kepunyan AUah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia
menghidupkan dan mematikan dan sekali - kali tidak ada pelindung
dan penolong bagimu selain Allah
( QS.At-Taubah : 116)
Ku persembahkan Skripsi ini kepada:
•
Mama Roflko dan Papa Irwansyah yang
lercinta
•
Adikku Irma Navia Sarij M. Rafty dan
M. Rizky Agung yang tersayang
•
Kakek Aim. Marwan, //. Aminnuddin dan
Nenek Nurhayati, Hj. Nur Hasanah yang
tercinta
•
Kekasih yang keiak mendampingi hidupku
Dirga ISata
•
Sahabai-sahabai terhaikku
Rico, Bobby, Yamin, Debby & Ulfa
•
Almamater yang ku banggakan
iii
JUDUL SKRIPSI
: SANKSI
PIDANA
TERHADAP
PELAKU
K E K E R A S A N T E R H A D A P PEREMPUAN D A N
PERLINDUNGAN KORBAN
Penulis,
Pembimbing
IRA OFIANDA
LUIL MAKNUN, SH. M H
ABSTRAK
Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah :
1. Apakah Sanksi Pidana terhadap pelaku kekerasan terhadap perempuan ?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana kekerasan
terhadap perempuan ?
Selaras dengan tujuan yang bermaksud untuk mengetahui sanksi pidana
terhadap pelaku kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hukum terhadap
korban tindak pidana kekerasan terhadap perempuan, maka jenis penelitian ini
adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif (menggambarkan), oleh
karenanya tidak bermaksud untuk menguji hipotesa.
Teknik penggumpulan data dititikberatkan kepada penelitian kepustakaan
dengan cara mengumpulkan data primer dan data sekunder yang telah diperoleh
selanjutnya diolah secara kualitatif yang hasilnya disajikan secara deskriptif, pada
tahap akhir akan dilakukan penarikan kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap
perempuan yaitu dengan melakukan pemeriksaan terhadap alat-alat bukti
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), dan terhadap pasal-pasal yang diterapkan adalah berdasarkan
ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
2. Perlindungan Hukum terhadap Korban Kekerasan terhadap perempuan
bahwa sampai saat ini belum ada ketentuan yang khusus mengatur
bagaimana perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana kekerasan
terhadap perempuan, namun akan dibenkan perlindungan hukum sebagai
saksi korban serta memberikan perlindungan dari segala bentuk aneaman
yang datang dari si pelaku.
iv
K A T A PENGANTAR
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, serta
shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW,
beserta
keluarganya
menyelesaikan
dan
sekripsi
para
ini
yang
sahabat,
berjudul
sehingga
:
penulis
"SANKSI
dapat
PIDANA
T E R H A D A P P E L A K U K E K E R A S A N T E R H A D A P PEREMPUAN D A N
PERLINDUNGAN KORBAN".
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak
kekeliruan dan kekhilafan semua ini karena penulis
kekurangan,
adalah sebagai
manusiabiasa yang tak luput dari kesalahan dan banyak kakurangan, akan
tetapi berkat adanya bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai
pihak, akhimya kesukaran dan kesulitan tersebut dapat dilampaui, oleh
karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih
kepada :
1. Bapak H . M . Idris, SE. M.Si selaku Rektor Universitas Muhammadiyah
Palembang.
2. Ibu Dr. H j . Sri Suatmiati, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Palembang.
3. Bapak/Ibu Wakil Dekan I , I I , I I I , I V Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Palembang.
4. Ibu L u i l Maknun, SH. M H , selaku Ketua Bagian Hukum Pidana pada
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang, dan selaku
Pembimbing Skripsi yang telah banyak memberikan petunjuk-petunjuk
dan arahan-arahan dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini serta
selaku Pembimbing Akadcmik.
5. Bapak dan Ibu Dosen serta Karyawan dan karyawati Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Palembang.
6. Ayahanda Irwansyah dan Ibunda Rofiko, serta adik- adikku Irma novia
sari, M.rafly dan M . Rizky agung
serta seluruh keluarga yang telah
banyak memotivasi penulis untuk meraih gelar kesarjanaan ini.
7. Kekasihku Dirga Nata yang selalu memberikan semangat serta motifasi
dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.
8. Untuk teman-teman seperjuangan
Richo novrianto, Bobby M.P.W,
Maria Ulfa, Debby yuswira, Yamin Kumiawan, Aprinza Rizky, rionaldy
G.P, Dewi, Ana, Mahmudd, Posko 361 .
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak
yang membacanya, untuk itu penulis mohon kritik dan saran yang sifatnya
membangun demi kesempumaan di dalam penulisan skripsi ini sehingga
nantinya skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Palembang,
Penulis
IRA O F I A N D A
vi
2015
D A F T A R ISI
H A L A M A N JUDUL
i
H A L A M A N PERSETUJUAN D A N PENGESAHAN
ii
H A L A M A N MOTTO D A N PERSEMBAHAN
iii
ABSTRAK
iv
K A T A PENGANTAR
v
D A F T A R ISI
vii
BAB I PENDAHULUAN
1
A . Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
7
C. Ruang Lingkup dan Tujuan
7
D. Metode Penelitian
8
E. Sistematika Penulisan
10
BAB I I TINJAUAN PUSTAKA
11
A . Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana
11
B. Jenis-jenis Tindak Pidana
15
C. Pertanggung Jawaban Pidana
19
D. Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan
22
BAB I I I PEMBAHASAN
28
A . Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Kekerasan Terhadap Perempuan..28
B. Perlindungan
Hukum
Terhadap
Perempuan
Korban
Kekerasan
Terhadap
37
vii
B A B I V PENUTUP
47
A . Kesimpulan..
47
B. Saran
48
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kompleksnya masalah tindak pidana yang terjadi sekarang ini
membuat banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh perangkatperangkat hukum. Mulai dari tindak pidana ringan seperti halnya
pelanggaran lalu lintas sampai dengan tindak pidana berat seperti
pembunuhan
yang
dilakukan
dengan
berencana
atau
bahkan
pembunuhan sadis, begitupun tindak pidana lainnya yaitu tindak pidana
kekerasan terhadap perempuan khususnya pemerkosaan. Dalam media
massa kasus pemerkosaan sering muneul, terutama kasus pemerkosaan
yang terjadi di kota Palembang. Tindak pidana perkosaan tidak saja
dilakukan terhadap anak tirinya sendiri atau bahkan lebih kejamya lagi
terhadap anak kandungnya sendiri. Hal i n i jelas melanggar aturan
hukum tindak pidana dan terutama juga norma agama seolah-olah
norma lain mentolerir.
Timbulnya kasus kesusilaan khususnya pemerkosaan yang ada di
kota Palembang, disebabkan para pelaku yang mengalami gairah seks
yang luar biasa, hal ini disebabkan para pelaku ada yang suka menonton
film V C D / D V D porno yang oleh pelaku di dapat dari para penjual
V C D / D V D baik di toko-toko maupun pada pedagang emperan. Ada
1
juga faktor meningkatnya pemerkosaan
disebabkan
pelaku tindak
pidana yang sudah lama tidak berhubungan intim dengan isterinya dan
dilampiaskan kepada orang lain atau bahkan terhadap anaknya sendiri.
Tak
hanya
itu para
pelaku
tindak
pidana
pemerkosaan
yang
terbilang masih remaja dan dibawah umur pun saat ini sudah banyak
terjadi. Kemajuan
teknologi saat ini di salah gunakan, bukan hanya
lewat Handphone yang berfitur lengkap, dengan menjamumya wametwamet di setiap sudut kota membuat mereka bebas meng-update film,
cerita, gambar porno yang mudah didapat dari situs lokar maupun luar
negeri.'
Contoh kasus pemerkosaan yang ditangani Polisi Kota Besar
Palembang, antara lain dilakukan oleh Antonio Latumente Darmanto
kepada anak tirinya yang berumur 13 tahun. Kejadiannya terjadi pada
tahun 2007, dimana tersangka melakukan tindakannya sekitar j a m 05:00
W I B pada saat anak tirinya tertidur. Pada saat itu antara korban dan
tersangka tidur dalam satu ruangan, tersangka langsung mendekati anak
tirinya dan memeluknya dari belakang, merasa tidak ada perlawanan
korbanpun diperkosa.
Kasus di atas adalah salah satu saja dari sekian banyak kasus
perkosaan yang ada seperti, perkosaan yang dilakukan oleh guru dengan
' Sarlito Wirawan, Fakror-faklor Knminogen, Bina Grafika, Jakarta, 1999. hal. 26
^ Satreskrim POLTABES Palembang, Statistik Kejahatan Kota Palembang tahun 2007,
Laporan tahunan POLTABES Palembang, 2007, hal. 17
muridnya, antara pelayan dengan majikannya, atau bahkan oleh orang
tua dengan anak kandungnya sendiri. Dari kasus ini pula ada beberapa
faktor yang menyebabkan korban tidak melapor ke pihak yang berwajib.
Beberapa faktor itu diantaranya :
1. Korban merasa ketakutan akibat tekanan dan aneaman dari pelaku,
2. Korban
merasa
malu
dan mengalami guncangan j iwa akibat
perkosaan tersebut, dan
3. Proses birokrasi yang berbelit -belit di tingkat penyidikan.
Jika
ditihat
dari
beberapa
faktor
diatas,
korban memang
seharusnya mendapat perlindungan, sebab dari kejadian yang mereka
alami mengakibatkan trauma sendiri, dan diharapkan kepada aparat
penegak hukum agar dapat lebih tegas, serius dalam menjalankan aturan
hukum terutama yang berhubungan dengan masalah kesusilaan dalam
hal i n i pemerkosaan. Terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana
tersebut dapat
dikenakan pasal 285
sampai 288 K U H P
tentang
pemerkosaan.
Pasal 285, yang berbunyi : "
barang siapa dengan kekerasan
atau aneaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya
bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman
penjara selama-lamanya dua belas tahun...." Maksud pasal di atas
^ Yahya Harahap, Pembahasan KVH & KUHAP, Pustaka Abadi, Jakarta, 1987,
hal.24
apabila seorang laki-laki melakukan perkosaan dengan mengancam
seorang perempuan yang bukan isterinya dipenjara selama dua belas
tahun. Jika seorang perempuan yang bukan isterinya memaksa seorang
laki-laki untuk diperkosa maka si wanita tersebut tidak dikenakan
sanksi, sebagaimana
dijelaskan oleh R. Soesilo, dimana pembuat
undang-undang temyata menganggap tidak perlu menentukan hukuman
bagi perempuan yang memaksa untuk bersetubuh, bukanlah sematamata oleh karena paksaan oleh seorang perempuan terhadap laki-laki
dipandang tidak mengakibatkan sesuatu yang bumk atau merugikan.
Bukankah seorang perempuan ada bahaya untuk melahirkan anak dari
kejadian itu. Pasal 286, yang berbunyi : "...barang siapa bersetubuh
dengan perempuan yang bukan isterinya, sedang diketahuinya, bahwa
perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, di hukum selama-lamanya
sembilan tahun..."
Pasal 287, yang menyatakan ;
-
ayat 1 : "... barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan
isterinya,
sedang diketahuinya, bahwa perempuan itu
pingsan atau tidak berdaya, di hukum selama-lamanya
sembilan tahun..."
-
ayat 2 : "... penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan,
kecuali kalau umumya perempuan itu belum sampai dua belas tahun
atau j i k a ada salah satu yang tersebut pasal 291 dan294..."
pada intinya jika suatu kejahatan tersebut menyebabkan luka berat
pada tubuh korban dijatuhi hukuman selama-lamanya dua belas
tahun, dan jika korban tersebut meninggal dijatuhi hukuman selamalamanya lima belas tahun. Sedangkan dalam pasal 294, yang
ada
pada intinya di hukum selama-lamanya tujuh tahun jika tersangka
melakukan perbuatan cabul baik terhadap anak kandungnya, anak
tirinya, atau anak pcliharaanya, yang diketahui anak tersebut belum
dewasa.
Pasal 288, yang berbunyi:
-
ayat 1 : "...barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita yang
diketahuinya atau harus sepatutnya disangkanya, bahwa
perempuan itu belum masanya buat dikawinkan, dihukum
penjara selama-lamanya empat tahun. kalau perbuatan itu
berakibal badan perempuan mendapat luka..."
-
ayat 2 : "...kalau perbuatan itu menyebabkan perempuan mendapat
luka berat. dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya
delapan tahun...."
-
ayat 3 : "... j i k a perbuatan itu mengakibatkan kematian perempuan
itu dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya delapan
tahun....""*
Dari penjelasan di atas jika dilihat dari sanksi yang dijatuhkan
R. Soesilo, KUHP dan KUHAP Indonesia, PT. Agung, Jakarta, 1989, h.35.
tahun...."^
Dari penjelasan di atas jika dilihat dari sanksi yang dijatuhkan
oleh Hakim tidak setimpal dengan perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku, sebab j i k a kita lihat dari media cetak maupun elektronik korban
yang mengalami perkosaan tersebut mengalami depresi atau trauma
yang berat, hal ini diperlukan
suatu kebijakan hukum
terutama
mengenai pemerkosaan yang sanksinya lebih berat. Kebijakan hukum
pidana menurut Marc Ancel adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada
akhimya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan
hukum positif dirumuskan
secara lebih baik dan untuk memberi
pedoman tidak saja tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan
undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana
putusan hakim.
Menurut S.R. Sianturi, suatu pemidanaan harus sesuai dengan
undang-undang,
oleh
karena
itu para
penegak
hukum
dalam
menjalankan tugasnya (dalam hal ini peradilan) terikat pada kekuataan
perundangan-undangan sehingga kesewenang-wenangan. Hal ini berarti
terdapat hubungan bagi setiap pencari keadilan (yang juga terikat pada
ketentuan perundang-undangan).
Dari uraian tersebut diatas dan dalam rangka memenuhi salah
satu persyaratan untuk menempuh ujian sarjana hukum di Universitas
R. Soesilo, KUHP dan KUHAP Indonesia, PT. Agung, Jakarta, 1989, hal.35.
7
Muhammadiyah Palembang, penulis tertarik menelili
permasalahan
tersebut dengan menulis skripsi yang berjudul : " S A N K S I P I D A N A
TERHADAP PELAKU KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
DAN P E R L I N D U N G A N K O R B A N " .
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan eksistensi
pidana mati, penulis
menemukan beberapa permasalahan
sebagai
berikut:
1. Apakah
sanksi
pidana
terhadap
pelaku
kekerasan
terhadap
perempuan ?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana
kekerasan terhadap perempuan ?
C . Ruang Lingkup dan Tujuan.
Ruang
lingkup
penelitian
terutama
dititik
beratkan
pada
penelusuran sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan
terhadap perempuan dan perlindungan hukum terhadap korban tindak
pidana kekerasan terhadap perempuan tanpa menutup kemungkinan
menyinggung pula hal-hal lain yang ada kaitannya dengan permasalahan
tersebut.
8
Tujuan penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan sanksi pidana terhadap pelaku
tindak pidana kekerasan terhadap perempuan.
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap korban tindak
pidana kekerasan terhadap perempuan.
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai tambahan
informasi bagi ilmu pengetahuan, khususnya dibidang ilmu hukum
tentang kebijakan pidana, sekaligus merupakan sumbangan pikiran
yang dipersembahkan sebagai pengabdian pada Almamater
D. Metode Penelitian.
Selaras dengan tujuan yang bermaksud untuk mengetahui sanksi
pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap perempuan
dan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana kekerasan
terhadap perempuan, maka jenis penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif yang bersifat deskriptif (menggambarkan), oleh karenanya
tidak bermaksud untuk menguji hipotesa.
•
Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data skunder dititikberatkan kepada
penelitian kepustakaan (library research) dengan cara mengkaji:
a) Bahan hukum primer, yaitu
bahan
hukum yang bersifat
mengikat seperti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan
semua ketentuan peraturan yang berlaku.
b) Bahan skunder yaitu bahan hukum seperti terori, hiotesa,
pendapat para ahli maupun penelitian terdahulu yang sejalan
dengan permasalahan dalam skripsi ini.
c) Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang menjelaskan
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus
bahasa, ensiklopedi dan lain sebagainya.
•
Teknik pengolahan data
Setelah data terkumpul, maka data tersebut diolah guna
mendapatkan data yang terbaik. Dalam pengolahan data tersebut,
penulis melakukan kegiatan editing yaitu data yang diperoleh
diperiksa dan diteliti lagi mengenai kelengkapan, kejelasan dan
kebenarannya, sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahan.
•
Analisa data
Analisa data dilakukan secara kualitatif yang dipergunakan
untuk mengkaji aspek-aspek normatif atau yuridis melalui metode
yang bersifat deskriptif analitis yaitu menguraikan gambaran dari
data yang diperoleh dan menghubungkannya satu dengan yang lain
untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang bersifat umum.
£ . Sistematika Penulisan
Rencana penulisan skripsi ini akan disusun secara keseluruhan
dalam 4 (empat) Bab dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I
: Merupakan bab
pendahuluan
yang menguraikan latar
belakang, rumusan masalah, ruang lingkup dan tujuan dan
metode penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB I I
: Merupakan tujuan pustaka yang berisi paparan
tentang
Kerangka teori yang erat kaitannya dengan permasalahan
yang akan dibahas.
BAB III
: Merupakan pembahasan yang menggambarkan
tentang
hasil penelitian, sehubungan dengan permasalahan hukum
yang diangkat.
BAB I V
: Merupakan bagian penutup
dari pembahasan yang di
format dalam kesimpulan dan saran.
BAB I I
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana.
Mengenai pengertian tindak pidana diantara para sarjana tidak
ada kesatuan pendapat, mereka menyebut tindak pidana itu dengan
istilah mereka masing-masing, antara lain
a. Menurut Moelyanto, merupakan perbuatan pidana dalam arti suatu
perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman.
b. Wirjono Prodjodikoro, menggunakan istilah tindak pidana, yang
artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman
pidana.^
Beberapa pengertian yang diberikan oleh para sarjana barat
mengenai istilah tindak pidana atau dalam bahasa Belanda yaitu :
"Strafbaar Feit", antara lain :
a. Menurut Simon, tindak pidana adalah perbuatan salah dan melawan
hukum yang diancam dengan pidana dan dilakukan oleh seseorang
yang mampu bertanggung jawab.
b. Menurut Van Hamel, merumuskan sama dengan perumusan Simon,
hanya saja ditambahkannya bahwa perbuatan harus pula patut di
^ Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, P.T. Eresco, Bandung,
1996, hal.60
11
pidana.
c. Menurut Vos, tindak pidana, adalah suatu peristiwa yang dinyatakan
dapat dipidana oleh undang-undang,
d. Menurut Pompe, tindak pidana adalah suatu pelanggaran kaidah
terhadap para pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan
adalah
wajar
untuk menyelenggarakan
ketertiban hukum
dan
menjamin kesejahteraan umum.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan tindak pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian
perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan lainnya, terhadap perbuatan tersebut sehingga dapat diancam
dengan pidana. Perbuatan manusia itu barulah akan merupakan tindak
pidana apabila memenuhi syarat-syarat yang dimuat di dalam dalil
hukum yang bersangkutan.
Perbuatan-perbuatan
tertentu
yang
oleh
undang-undang
dijadikan tindak pidana merupakan perbuatan yang membahayakan
kepentingan umum yang mempunyai arti kaedah yang besar bagi
masyarakat untuk keseluruhan atau perorangan di dalam masyarakat
sehingga dengan demikiaan suatu perbuatan merupakan tindak pidana
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :^
a. Harus ada perbuatan manusia;
Ibid, hal. 27
b. Perbuatan itu bertentangan dengan hukum ;
c. Perbuatan
tersebut
dilakukan
oleh
orang
yang
dapat
dipertanggungj awabkan
d. Orang tersebut dapat dipersalahkan.
Pada dasamya tiap-tiap tindak pidana hams terdiri dari beberapa
unsur, adapun unsur-unsur dari tindak pidana tersebut menumt para
sarjana, antara lain :
a. Menurut S.R. Sianturi yang menyebutkan unsur-unsur tindak
pidana y a i t u :
-
subyek:
-
bersifat melawan hukum (dari tindakam) ;
-
kesalahan:
-
suatu tindakan yang dilarang atau harus oleh undang-undang dan
terdapat pelanggamya diancam pidana ;
-
waktu, tempat dan keadaan (unsur obyektif lainnya)
b. Menumt
Moelyanto,
menyebutkan unsur-unsur tindak pidana
adalah :
-
kelakuan dan akibat yang disamakan dengan perbuatan ;
-
hal ikhwal antar keadaan yang menyertai perbuatan ;
-
keadaan tambahan yang memberatkan pidana ;
-
unsur melawan hukum yang obyektif;
-
unsur melawan hukum yang subyektif.
D i tambahkannya pula bahwa sekalipun dalam perumusan delik
tidak terdapat unsur melawan hukum, namun jangan dikira bahwa
perbuatan
tersebut
tidak
melawan hukum
karena
bagaimanapun
perbuatan tersebut sudah sedemikian wajar sifat melawan hukumnya,
sehingga tidak perlu dinyatakan tersendiri.
Menurut Simon, berdasarkan perumusan mengenai tindak pidana
akan terlihat unsur-unsur dari tindak pidana, yaitu :
- perbuatan manusia;
- perbuatan manusia itu harus melawan hukum ;
- perbuatan itu diancam oleh undang-undang ;
- harus dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab ;
- perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan si pembuat
Dari beberapa batasan maupun pengertian yang diberikan oleh
para sarjana di atas, jelas terlihat adanya materi sebab-akibat, bersifat
melawan hukum dan kesalahan. Dimana secara bersamaan ketiga
materi tersebut sering dirumuskan sebagai bagian dari norma dalam
suatu pasal tindak pidana.
Dalam kebutuhan praktik, perumusan dari unsur-unsur tindak
pidana sangat memudahkan pekerjaan penegak hukum. Apakah suatu
^ Moeljatno, Hukum Pidana Indonesia, Bina Aksara Jakarta, 1983, hal. 62
^ Ibid, hal. 223
peristiwa telah memenuhi unsur-unsur dari suatu tindak pidana yang
dirumuskan
dalam
pasal
undang-undang,
maka
diadakanlah
penyesuaian atau pencocokan (bagian-bagian atau kejadian-kejadian)
dari peristiwa tersebut dengan unsur-unsur dari tindak pidana yang
didakwakan. Jika temyata sudah sesuai, maka dapat ditentukan bahwa
peristiwa itu merupakan suatu tindak pidana yang telah terjadi, serta
dapat dipertanggungj awabkan kepada subyeknya.
B. Jenis-jenis Tindak Pidana.
D i dalam K U H P ada dua macam pembagian tindak pidana yaitu
kejahatan yang ditempatkan dalam Buku ke-II dan pelanggaran yang
ditempatkan di Buku ke-III. Walaupun sudah ada pembagian
yang
demikian didalam K U H P tidak ada pasal pun yang memberikan dasar
pembagian tersebut, walaupun pada Bab-bab dari Buku ke-1 selalu
ditemukan
penggunaan
pelanggaran.
kejahatan
istilah
tindak
Selain dari pada pembagian
dan pelanggaran,
menumt S.R.
pidana,
kejahatan,
tindak pidana
dan
sebagai
Sianturi, masih dikenal
pembedaan lain yang dasamya terletak pada :
a. Cara pemmusannya yaitu Delik Formal dan Delik Materil.
Pada Delik Formal, yang dimmuskan adalah tindakan yang
dilarang
(beserta hal
atau
keadaan
lainnya) dengan
tidak
mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut. Contoh pasal362
KUHP tentang pencurian. Pada Delik Materil, selain dari tindakan
yang dilarang masih harus ada akibat yang ditimbul dari tindakan
tersebut. Contoh pasal 338 K U H P tentang pembunuhan.
b. Cara melakukan tindak pidana, yaitu yang perlu dibedakan antara
Delik Komisi, Delik Omisi, serta Delik Campuran Komisi dan
Omisi.
Delik
adalah
Komisi,
pelanggamya
diancam
tindakan
pidana.
aktif
yang
dilarang untuk
Contoh tindakan
aktif
yang
dilarang membunuh (pasal 338 KUHP), dan dilarang mencuri
(pasal 362 KUHP).
Delik Omisi, adalah suatu tindakan positif yang diharuskan,
dimana j i k a tidak dilakukan diancam dengan pidana. Contoh pasal
164 K U H P tentang wajib melaporkan kejahatan tertentu, dan
pasal 224 KUHP tentang kehamsan menjadi saksi.
Delik
Campuran
Komisi
dan
Omisi
adalah
suatu
tindakan
mencakup pengertian melakukan sambil tidak melakukan suatu
tindakan yang dilarang dan dihamskan. Contoh pasal 306 KUHP
tentang
membiarkan
seseorang
wajib
dipeliharanya
yang
mengakibatkan matinya orang itu.
c. Ada atau tidaknya pengulangan ataa kelanjutan, antara Delik
Mandiri dan Delik Berlanjut.
Dikatakan Delik Mandiri j i k a tindakan yang dilakukanya satu kali
saja untuk pelaku dipidana sedangkan Delik Berlanjut bilamana
tindakan yang sama berulang dilakukan dan merupakan atau dapat
dianggap sebagai tindakan kelanjutan dari tindakan semula.
d. Berakhimya atau berkesinambangnya suatu delik.
Kebanyakan
suatu
tindakan
sudah
sempuma,
jika
pelaku
melakukan suatu tindakan terlarang, menurut undang-undang,
tetapi
dalam
beberapa
berkesinambungan
meneruskan
terus
perampasan
hal,
dengan
suatu
tindakan
sendirinya.
kemerdekaan
terlarang,
Contohnya
seseorang (pasal
:
333
KUHP). Pada delik berkesinambungan berbeda dengan delik
berlfinjut. Pada delik berkesinambungan keadaan yang merupakan
tindak pidanan itu berlanjut terns, sedangkan delik berlanjut
tidak.^
e. Apakah tindakan terlarang itu merupakan kebiasaan dari pelaku
atau tidak.
Dalam
hal i n i , Delik
Bersahaja
berhadapan
dengan
Delik
Kebiasaan. Misalnya dalam delik kebiasaan dapat dilihat pada
pasal 481 K U H P mengenai penodaan. Dalam hal ini harus
dibedakan antara kebiasaan melakukan suatu delik
bersahaja
dengan kebiasaan sebagai mata pencaharian yang merupakan
pemberatan pidana, seperti pasal 295 ayat2 K U H P tentang
" Ibid, hal. 63
kesusilaan.
f. Apakah pada tindak pidana itu keadaan yang memberatkan atau
meringankan pidana.
Tindakan ini dibedakan sebagai:
- Delik-delik biasa.
- Dikualifisir (diperberat).
- Delik diplivisir (diperingan).
Pada delik dikualifisir dan delik diplivisir mempunyai unsur-unsur
yang dipunyai delik-delik biasa disamping unsur keadaan yang
memberatkan pidana untuk delik-delik biasa dan unsur keadaan
yang meringankan untuk delik diplivisir. Contoh keadaan yang
meringankan adalah pasal 341 K U H P terhadap pasal 338 K U H P ,
pasal 308 K U H P terhadap pasal 305 dan 306 KUHP.
g. Bentuk kesalahan pelaku.
Delik Sengaja adalah perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana. Contoh pasal362 KUHP. Delik alpa adalah
perbuatan yang dilarang dan diancam pidana yang dilakukan
dengan tidak sengaja, hanya karena kealpaan atau ketidak hatihatian saja. Contoh pasal 359 K U H P tentang mengakibatkan
orang mati atau luka karena salahnya.
h. Apakah
tindak
pidana
itu
mengenai
ketatanegaraan atau pemerintah negara.
hak
hidup
negara,
Dalam hal ini dibedakan antara delik umum dan delik politik.
Dalam delik politik yang penting adalah hakekat dari tindak
pidana itu, motif dari tindak pidana itu tidak penting, walaupun
hal itu dilakukan karena hendak mendapatkan keuntungan.
i.
Perbedaan subyek.
Dibedakan antara delik khusus dengan delik umum. Subyek delik
didalam hukum pidana pada
kalimat "Barang siapa
umumnya dirumuskan dengan
". Subyek delik khususnya hanya
orang-orang atau golongan tertentu yang dianggap sebagai pelaku
dari tindak pidana khusus yang bersangkutan seperti antara lain :
disebut sebagai
pegawai negeri, militer, nahkoda,
laki-laki,
wanita, pedagang, dan sebagainya.
j.
Cara penuntutan, dalam hal ini dibedakan antara delik aduan
dengan delik dakwaan karena jabatan.
Pelaku dari delik aduan hanya dituntut karena adanya pengaduan,
sedangkan pada delik dakwaan pelakunya dituntut oleh petugas
karena memang itulah dia ditugaskan. Dengan kata lain tidak
perlu adanya pengaduan. Jadi tanpa ada kerja sama dari pihak
korban atau yang diinginkan.
C . Pertanggung Jawaban Pidana.
Dalam hal alasan yang menghapuskan pidana dikenal beberapa
penggolongan atau pembeda. Dalam teori hukum pidana biasanya
alasanyang menghapuskan pidana dibedakan menjadi:
1. Alasan pembenar, yaitu alasan yang dapat menghapuskan sifat
melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh
terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar.
2. Alasan pemaaf, yaitu alasan penghapusan kesalahan terdakwa,
perbuatan yang dilakukan terdakwa tetapi bersifat melawan
hukum. Jadi tetap merupakan perbuatan pidana tetapi dia tidak
dipidana karena tidak ada kesalahan.
3. Alasan penghapusan penuntutan, disini yang dipersoalkan bukan
pada ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf. Jadi tidak ada
pikiran mengenai sifat perbuatannya maupun sifat orang yang
melakukan perbuatannya, tetapi pemerintah menganggap bahwa
atas dasar kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaliknya tidak
diadakan penuntutan. Yang menjadi pertimbangan di sini adalah
kepentingan umum. Contohnya pasal 53 KUHP, kalau terdakwa
dengan
sukarela
mengurungkan
niat
percobaannya
untuk
melakukan suatu kejahatan.'**
Menurut memori penjelasan (M.v.T) alasan penghapusan pidana
dibagi menjadi :
1. Alasan-alasan yang terdapat dalam batin terdakwa yaitu pasal 44
Ibid, hal. 69
KUHP.
2. Alasan-alasan yang diluar, diatur dalam pasal 48-51 K U H P
Biasanya dalam Bab I I I Buku ke-1 K U H P yang dipandang orang
sebagai alasan pembenaran adalah :
1. Pasal 49 ayat (1) K U H P , mengenai pembelaan terpaksa.
2. Pasal
50 KUHP,
mengenai pelaksanaan
ketentuan undang-
undang.
3. Pasal 51 ayat (1) KUHP, tentang melaksanakan perintah jabatan.
Sedangkan yang dianggap sebagai alasan pemaaf adalah pasal 49
ayat (2) tentang pembelaan yang melampaui batas.
Selain dari pada itu menurut teori hukum pidana (doktrin) masih
dikenal pembelaan lainnya, yaitu dasar-dasar peniadaan pidana secara
umum dengan yang secara khusus. Dasar-dasar umum ditentukan
dalam Bab I I I Buku ke-1 KUHP. sedangkan dasar-dasar khusus
terdapat dalam berbagai pasal undang-undang, contohnya pasal 166,
pasal 221 ayat (2), pasal 367 ayat (1) K U H P .
Mengenai pengurangan pidana, secara umum ditentukan dalam
pasal 47 KUHP, yang didasari pada usia belum dewasa, pasal 53 K U H P
mengenai percobaan melakukan melakukan percobaan dan pasal 57
KUHP mengenai pembantuan kejahatan, selain itu secara khusus dasar
pengurangan pidana dapat pula ditemukan dalam pasal-pasal tertentu
dari Buku ke-11 K U H P dan diluar K U H P . Contohnya pasal 305, pasal
306 Jo pasal 338 KUHP, pasal 341 dibandingkan dengan pasal 338 dan
340 KUHP, pasal 110 K U H P M , yaitu j i k a insubordinasi militer di luar
dinas.
Dalam hal penambahan pidana dalam Bab I I I ke-I K U H P ada 2
macam yang diatur dalam pasal 52 dan 52 (a) KUHP, sebagai berikut:
a. Seorang
pegawai negeri melanggar kewajiban khusus
dari-
jabatannya.
b. Waktu melakukan kejahatan menggunakan bendera kebangsaan
Indonesia.
Selain dari pada itu menurut S.R Sianturi dikenal pula beberapa
keadaan yang menjadi dasar penambahan hukuman pidana, yaitu :
a. Karena pengulangan (recidive),
b. Karena perbarengan atau gabungan (samenloop),
c. Karena beberapa keadaan khusus tertentu yang ditentukan dalam
beberapa pasal tindak pidana
d. Karena beberapa keadaan yang juga menjadi atas umum bagi
suatu ketentuan umum pidana khusus.
D. Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan.
Tindak
pidana
kekerasan
terhadap
perempuan
terutama
perkosaan bukan merupakan suatu jenis kejahatan yang baru. Ia sama
tuanya dengan keberadaan kehidupan manusia di dunia ini. Perkosaan
bukan hanya terjadi dalam masyarakat modem, melainkan juga terjadi
dalam masyarakat primitif, tetapi hanya waktu dan tempatnya saja
berbeda.
Istilah perkosaan merupakan istilah hukum yang digunakan
sebagao tuduhan pada tersangka yang telah melakukan perbuatan
memaksakan
kehendak
terhadap
orang
lain.
Selain
itu
istilah
perkosaan ini juga digunakan oleh hakim sebagai istilah dalam putusan
pidana yang dibuatnya. Menumt Kamus Bahasa Indonesia, perkosaan
berarti:
-
proses, cara, perbuatan memperkosa
-
pelanggaran dengan kekerasan
Sedangkan arti memperkosa, adalah :
-
memasukkan
dengan
kekerasan,
memaksa
dengan
kekerasan,
menggagahi,
-
melanggar (menyerang) dengan kekerasan.
Dalam
ilmu
kedokteran,
menurut
Abdul
Mun'im
Idris
perkosaan mempunyai arti sendiri, yaitu persetubuhan, maksudnya
disini adalah
"... Suatu peristiwa dimana alat kelamin laki-laki masuk ke
dalam alat kelamin perempuan sebagian atau selumhnya dan dengan
" Abdul Mun'im Idris, Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman dalam Proses
Penyidikan, PT. Karya Una Press, Jakarta, 1982, hal. 113
atau tanpa terjadinya pancaran air mani..."
Selanjutnya menurut M . H . Tittamidjaja memberikan pengertian
pemerkosaan, yaitu : "... suatu tindakan persetubuhan sebelah dalam
dari kemaluan laki-laki dan perempuan yang pada umumnya dapat
menimbulkan kehamilan. Tidak perlu telah terjadi pengeluaran air mani
dalam kemaluan perempuan. Sedangkan pengertian bersetubuh saat i n i
diartikan bahwa penis telah penetrasi ke dalam vagina...."
Dalam K U H P tindak pidana pemerkosaan oleh pembentuk
undang-undang secara yuridis di atur dalam pasal 285 sampai dengan
pasal 288 KUHP. Dalam pasai 285 K U H P yang dinyatakan sebagai
berikut :
"...barang siapa dengan kekerasan atau aneaman
kekerasan
memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, di
hukum karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya
dua belas tahun..."
Tindak pidana perkosaan yang diatur dalam pasal 285 K U H P
itu temyata hanya mempunyai imsur-unsur objektif, masing-masing,
yaitu Y
a. barang siapa;
b. dengan kekerasan atau ;
Leden Marpaung, Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Masalah Preprensinya, Sinar
Grafika, Jakarta, 1996, hal. 59
c. aneaman kekerasan ;
d. memaksa;
e. seorang wanita :
f. bersetubuh dengan dia;
g. d i luar perkawinan .
Selain dari unsur-unsur objektif di atas dalam pasal 285 K U H P
terdapat juga unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam perkosaan antara
lain : unsur kekerasan dalam melakukan persetubuhan dengan wanita
yang bukan istrinya. Adanya unsur kekerasan tersebut merupakan unsur
yang membedakan dengan kekerasan kesusilaan lainya.
Dalam perspektif kriminologi menurut Made Darma Weda yang
utama
dalam pemerkosaan
yang utama
bukan unsur
kekerasan
melainkan : "Cocent atau persetujuan" sehingga seorang suami pun
dapat melakukan perkosaan terhadap istrinya bilamana istrinya tidak
memberikan persetujuan untuk suatu hubungan seks (marita lerape).
Dalam kepustakaan kriminologis, Stephen Box yang dikutip oleh
Made Darma Weda, membagi tipologi perkosaan sebagai berikut Y
a. Sadistic Rape, yaitu perkosaan yang dilakukan secara sadis. Si
pelaku mendapatkan kepuasan seksual bukan karena bersetubuh,
tetapi karena perbuatan kekerasan terhadap Genitalia dalam
tubuh.
'•^ Emzul Fajri & R^u Aprilia Senja. Pengantar Kriminologi, Penerbit PT.Agung, Jakarta, 1998, hal. 201
b. Anger Rape yaitu merupakan ungkapan pemaksaan yang karena
kemarahan
dilakukan dengan
sifat brutal secara fisik.
Seks
menjadi senjatanya dalam hal i n i tidak diperolehnya kenikmatan
seksual, yang dituju kadang kali keinginan untuk mempermalukan
si korban.
c. Domination Rape, yaitu perkosan yang dilakukan oleh mereka
yang ingin menunjukkan kekuasaannya. Tidak ada maksud untuk
menyakitinya. Keinginannya yaitu bagaimana memilikinya secara
seksual.
d. Seduction turned into rape yaitu pemerkosaan yang ditandai
dengan adanya relasi antara pelaku dan korban. Jarang digunakan
kekerasan fisik dan tidak ada maksud dipermalukan. Yang dituju
adalah kepuasan di pelaku dan si korban menyesali dirinya karena
sikapnya yang kurang tegas.
e. Exploration Rape, yaitu merupakan pemerkosaan di mana wanita
sangat bergantung dari pelaku, baik dari sosial maupun ekonomi.
Acap kali terjadi di mana isteri di paksa oleh suami. Kalaupun ada
persetujuan, itu bukan karena ada keinginan seksual dari si isteri
melainkan acap kali demi kedamaian rumah tangga.
Terhadap tipe kejahatan seduction rape dan exploration rape
kemungkinan timbul adanya :
-
Victimpre Cipi Tated, dimana perkosaan berlangsung dengan korban
sebagai faktor pencetus
-
Adanya kasus pemerkosaan semu atau penipuan ;
-
Perkosaan
mumi,
korban takut melapor karena
faktor
sosial
ekonomi;
-
Perkosaan ekspresif, bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan laten
(seks) tidak bertujuan lain ;
-
Perkosaan instrumental, bertujuan di luar pemenuhan kebutuhan
seks, misalnya pelampiasan dendam.
BAB III
PEMBAHASAN
. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan
Terhadap Perempuan.
Hal
melakukan
ini tidak terlepas dari usaha para penegak hukum
penyuluhan-penyuluhan
tentang
kekerasan
terhadap
perempuan serta kasus hukum lainnya, selain itu penegak hukum
juga telah melakukan razia terhadap para pedagang/penjual
kaset
porno, termasuk melakukan razia pada tiap-tiap sekolah. Dari data
itu pula hakekat keberadaan hukum yang sebenamya, menurut Aksi
Sinurat adalah bukan bagaimana bentuk peraturan hukum yang baik,
melainkan bagaimana hukum tersebut dipraktekkan atau ditegakkan
dalam masyarakat. Praktek dari penegakan hukumlah sebenamya
yang dapat dirasakan oleh pencari keadilan.
Menumt Santun Simamora, untuk memberikan suatu keadilan
maka seorang penegak hukum memeriksa dengan cermat segala alatalat bukti yang telah secara tegas disebutkan di dalam perundangundangan yaitu pasal 184 K U H A P yang berbunyi :
28
a. Alat bukti yang sah ialah Y
1. keterangan sal {si :
2. keterangan a h l i ;
3. surat;
4. petunjuk;
5. keterangan terdakwa.
b. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan
Alat-alat bukti tersebut haruslah dikaji sedemikian rupa oleh
penegak hukum dan hakim agar sampai kepada suatu yang benarbenar menegakkan keadilan. Setelah itu mempertimbangkan dengan
memberikan penilaian atas peristiwa itu serta menghubungkannya
dengan hukum yang berlaku, untuk selanjutnya memberikan suatu
kesimpulan dengan menyatakan suatu hukum yang berlaku terhadap
peristiwa itu.
Apabila alat bukti yang diajukan kurang cukup, baik alat bukti
yang berupa benda mati maupun saksi, walaupun hakim memeriksa
dan mengadili perkara pidana tersebut yakin akan yang dakwakan
kepada terdakwa, maka hakim akan membebaskan terdakwa dari
segala dakwaan. Hal ini sesuai dengan teori pembuktian yang dianut
Negara kita yaitu, Teori Negatif (De Negatief
Wettellijk Bewijs
Moeljatno, Pembahasan KUHP dan KUHAP Indonesia, Bina Grafika, Jakarta,
1998. hal.26
30
Theorie).
Menurut teori tersebut. Hakim baru akan menjatuhkan pidana
kepada seorang terdakwa bilamana alat bukti yang ditentukan dalam
undang-undang (yaitu minimal dua alat bukti) terpenuhi dan hakim
yakin akan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa dan bahwa
terdakwalah pelakunya.
Hal ini ditegaskan pula di dalam pasal 6 ayat 2 Undangundang N o . 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi sebagai berikut
"...Tiada seorang juapun yang dapat dijatuhi pidana kecuali
apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut
undang-undang,
mendapat
keyakinan
bahwa
seseorang
yang
dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan
yang dituduhkan atas dirinya
Terhadap kasus pemerkosaan yang ditangani di POLRESTA
Palembang,
sanksi
yang
dijatuhkan
akan
dilimpahkan
pada
Pengadilan Negeri Palembang. Biasanya sanksi yang dijatuhkan
hanya berkisar satu hari sampai dua belas tahun penjara, tanpa ada
ketentuan minimum khusus, serta tidak adanya pedoman pemidanaan
yang jelas. Kendati pasal 285 telah memberi aneaman hukuman dua
" Yahya Harahap, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia Tinjauan Yundis formal,
PT.Bina Aksara, Jakarta, 1997. hal. 23
31
belas tahun penjara kepada pelaku pemerkosaan,
kenyataannya
hukuman maksimal tersebut
namun dalam
nyaris tidak
pemah
diterapkan. Akan tetapi sudah ada yang mendekati maksimal yaitu
sembilan tahun penjara. Disamping itu hal ini dimungkinkan akibat
sulitnya pembuktian terhadap kasus pemerkosaan tersebut.
Dari perkara tersebut dalam praktek penegakan hukum kasus
pemerkosaan terdapat persoalan yang cukup kompleks serangkaian
persoalan, yaitu antara lain :
a. Kurangnya laporan dari korban pemerkosaan.
Menurut Suparman
sebagian
Marzuki kultur masyarakat
besar memandang
persoalan
yang
Indonesia
berkaitan
dengan
kesusilaan masih sangat tabu untuk dibicarakan dimuka umum,
apalagi masalah pemerkosaan. Sekali pun masyarakat kita sangat
mencela perbuatan tersebut, akan tetapi kultur masyarakat yang
demikian akan membentuk sikap korban untuk enggan melaporkan
kepada pihak berwajib apalagi untuk melaporkan hal tersebut.
Masih
perkosaan
menumt
takut
dan
Suparman
tertekan
Marzuki
apabila
sebagian
melaporkan
korban
kejadian
menimpanya. Ketakutan ini dikarenakan adanya aneaman dari pelaku
baik secara fisik maupun psikis. Dari hal yang ditimbulkan ini akan
menimbulkan dark number dalam mempengamhi kebijakan yang
32
diambil untuk mengatasi masalah tindak pidana ini.
b. Persoalan pembuktian
Dalam
masalah
penegakan
pembuktian
hukum
untuk
terhadap
memenuhi
kasus
pemerkosaan,
unsur-unsur
terhadap
perbuatan yang dituduhkan merupakan persoalan yang cukup sulit
yang antara lain dikarenakan tidak adanya saksi yang mengetahui
secara langsung atas perbuatan yang terjadi, akan tetapi tidaklah
bijaksana j i k a kesulitan dalam pembuktian ini dijadikan alasan untuk
tidak melarang perbuatan pemerkosaan.
Guna memperoleh kesaksian akan kebenaran materil dalam
pemeriksaan kasus pemerkosaan. Hakim dapat berpegang pada alat
bukti petunjuk.
Menurut pasal 188 K U H A P petunjuk adalah "... perbuatan
kejadian atau keadaan persesuaiannya, baik antara yang satu dengan
yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya
petunjuk
bukanlah alat pembuktian langsung tetapi pada dasamya hal-hal yang
disimpulkan dari alat-alat pembuktianyang lain menurut pasal 188
ayat 2 K U H A P hanya diperoleh dari :
a. Keterangan saksi
b. surat dan
33
c. keterangan terdakwa.
Selanjutnya dalam ayat 3 dari pasal ini menekankan bahwa
penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap
keadaan tertentu dilakukan oleh Hakim dengan arif bijaksana, setelah
ia
mengadakan
pemeriksaan
dengan
penuh
kecermatan
dan
kesamaan berdasarkan hati nuraninya.
Sebagai contoh kasus pemerkosaan, yang terjadi
dalam
sebuah kamar tertutup. Hakim dapat menggunakan petunjuk. Korban
dapat dijadikan saksi. Keberadaan korban dalam kamar terkunci
dengan pelaku sebenamya sah memberikan petunjuk terhadap apa
yang terjadi dalam kamar terkunci tersebut.
c. Kedudukan perempuan dalam masyarakat.
Kedudukan perempuan pada umumnya berada dalam posisi
tersubordinasi secara kultur dan diterima secara kultural. Perempuan
memiliki otoritas yang lebih kecil dan berada dalam kedudukan yang
lemah dari pada laki-laki. Perempuan selalu ditempatkan sebagai
pihak yang memberikan pelayanan terhadap pihak yang kekuasaan
secara
ekonomi,
bersangkutan.
sosial,
dan
politik
atas
masyarakat
yang
34
d. Modal aparat penegak hukum
Pemerkosaan adalah merupakan bentuk tindak pidana yang
bukan semata-mata pelanggaran terhadap peraturan hukum pidana
saja, melainkan didalamnya terkait dengan nilai-nilai norma yang
hendak ditegakkan. Kualitas moral aparat penegak hukum ikut
menentukan kualitas produk hukum yang ditegakkan.
Aparat penegak hukum memiliki otoritas penganan suatu
perkara
dalam
situasi
dimana
aparat
tersebut
memperbesar,
memanipulasi atau menyelewengkan otoritas kekuasaannya, maka
timbullah
titik
rawan
hubungan
non
yuridis
yang
mudah
menimbulkan pemerkosaan. Maka dari itu aparat penegak hukum
diharuskan memiliki integritas moral yang baik.
e. Terjadinya pergeseran nilai dalam masyarakat.
Tidak terkoordinasinya kebijakan yang berkaitan langsung
maupun tidak langsung dengan tindak pidana pemerkosaan tersebut
dalam prakteknya menimbulkan kontradiksi yang pada gilirannya
akan
membingungkan
masyarakat
untuk
penegak hukum untuk menegakkan hukum.
menaati
hukum
dan
Sedangkan menurut Soerjono Soekanto masalah penegakan
hukum
pada
pokoknya
dipengaruhi
beberapa
faktor,
yaitu
diantaranya Y
a. Faktor hukumnya sendiri, yaitu yang dibatasi oleh undangundang saja ;
b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum;
c. Faktor
sarana atau
fasilitas yang mendukung
penegakan
hukum ;
d. Faktor masyarakat yaitu lingkungan di mana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan;
e. Faktor kebudayaan. yaitu sebagai hasil karya cipta dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Dari kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan dengan
eratnya oleh karena merupakan esensi dari penegakanhukum serta
tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum.
Menurut Harkristuti Harkrisnowo selain faktor-faktor diatas
khususnya dalam proses peradilan pidana, terdapat pula masalahmasalah yang harus diperhatikan yaitu misalnya :
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, C V .
Rajawaii Press, Jakarta, 1986, hal.5
36
a. Kesulitan
untuk
mendapatkan
keterangan
saksi,
karena
keengganan para saksi untuk terlibat dalam proses peradilan
yang
sering
kali
lama
dan
berbelit-belit,
serta
kemungkinan rasa takut saksi pada (aneaman)
adanya
tersangka
pelaku tindak pemerkosaan.
b. Terbatasnya pemahaman dan keahlian penegak hukum dalam
menangani
kasus
tindak
kekerasan
terhadap
perempuan
mempunyai dampak yang cukup luas dalam memprosesnya.
c. Paradigma dalam pembuktian yang mendasarkan pada asas
'"unus testis nullus testis" (satu saksi bukan saksi) merupakan
satu dari sekian kendala yang dijumpai dalam pemeriksaan
kasus tindak kekerasan, terutama pemerkosaan. Hal i n i antara
lain
disebabkan
sebenamya
dapat
oleh
karena
dijadikan
Visum Et Repertum
alat bukti
yang
untuk menunjang
keterangan saksi (korban), sering kali tidak dimiliki oleh
korban. Umumnya, setelah diperkosa korban akan langsung
membersihkan diri karena dianggap kotor akan apa yang telah
diperbuat oleh pelaku pada dirinya dan ini sangat menyulitkan
dokter untuk menemukan bekas-bekas perkosaan, itupun kalau
korban datang ke dokter.
Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa di
dalam persidangan kasus perkosaan, masalah pembuktian adanya
unsur
kekerasan
dan
aneaman
kekerasan
serta
persetubuhan
merupakan hal yang sangat menentukan. Apabila unsur ini dapat
dibuktikan secara meyakinkan maka hakim dengan keyakinan yang
diperoleh dari bukti-bukti yang lengkap selama persidangan dan
didukung dengan adanya visum et repertum dari dokter ahli akan
menjatuhkan putusan sesuai rasa keadilan di dalam masyarakat yaitu
dengan hukuman yang seberat-beratnya bagi pelaku pemerkosaan.
B. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Terhadap
Perempuan.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa tidak sedikit korban kekerasan
terhadap
perempuan
khususnya
pemerkosaan
yang
mengalami
penderitaan fisik, juga mengalami penderitaan psikis dan kalau
korban tersebut melanjutkan persoalannya
ke Pengadilan maka
penderitaannya pun semakin kompleks sebab demi kepentingan
yuridis sebagai saksi korban ia pun harus menceritakan kembali
persoalan
pribadi
yang
ia
alami.
Selain
itu ia
pun
harus
mengeluarkan biaya medis, pengacara dan biaya transportasi ketika
ia dipanggil pihak penyidik, penuntut umum dan pengadilan belum
38
lagi persolan pribadinya yang dikorankan oleh wartawan.
Dengan
mengkritisi
dampak
pemerkosaan
sebagaimana
dipaparkan di atas kiranya sudah sepantasnyalah hak-hak korban
pemerkosaan diberi perlindungan baik oleh pemerintah
masyarakat
maupun
sebagai bagian dari komponen Negara. Oleh karena
Negara belum memberi perlindungan secara langsung dan konkrit,
sementara konsep pemidanaan yang ada dalam hukum positif saat ini
hanya berorientasi kepada pelaku tindak pidana saja,
sehingga
kedudukan dan perlindungan korban tampaknya tidak diperhatikan
secara langsung dan konkrit bahkan terkesan diabaikan.
Sehubungan
dengan
meningkatnya
kekerasan
terhadap
perempuan dalam masyarakat, maka akhir-akhir ini semakin marak
diperbincangkan baik dalam bentuk berita maupun opini mengenai
solusi untuk menghentikan kekerasan tersebut. Tidak sedikit kaum
perempuan memberi tanggapan atau reaksi yang keras agar pelaku
pemerkosaan dikenakan hukuman seberat-beratnya atau
dijatuhi
pidana mati.
Tanggapan
atau
reaksi
semcam
ini tidaklah
berlebihan
mengingat masalah perkosaan memang menunjukkan problematika
sosial yang serius. Hanya saja ada satu hal yang kurang mendapat
perhatian, yaitu mengenai perlindungan terhadap hak-hak korban
pemerkosaan dan mencari solusi penanggulangannya. Sementara itu
beban penderitaan yang sudah dialami oleh perempuan yang sudah
diperkosa justru
kurang
mendapat
perhatian
untuk
dicarikan
solusinya.
Berbeda dengan data sebelumnya j i k a dilihat dari label yang
diterima oleh Kepolisian Kota Besar Palembang bahwa kekerasan
terhadap perempuan sudah sangat meresahkan masyarakat, apalagi
seperti
pada
kasus
penganiayaan
dalam
tiga
tahun
terakhir
merupakan kasus yang paling banyak terjadi yaitu sebanyak 162
kasus,
disusul
dengan
335
KUHP
atau
perbuatan
tidak
menyenangkan total kasus dalam tiga tahun terakhir 70 kasus, lalu
kasus pemerkosaan sendiri dengan total 36 kasus, pelecehan dengan
total 16 kasus, kekerasan dalam rumah tangga untuk U U No. 23
tahun 2002sebanyak 10 kasus dan terakhir untuk U U N o . 23 tahun
2004 tentang kekerasan dalam rumah tangga total 6 kasus.
Menurut aparat penegak hukum ada beberapa kendala yang
terjadi dalam penanganan kasus i n i yaitu karena korban tidak
melapor secepatnya,
dan para korban perkosaan banyak yang
merahasiakan sampai bertahun-tahun. Oleh karena itu seharusnya
korban yang mengalami pemerkosaan untuk segera melapor, agar
supaya penanganannya lebih cepat.
Masih menurut penegak hukum tadi, tidak dilaporkannya atau
diprosesnya
tindak
kekerasan
terhadap
perempuan,
membawa
konsekuensi
pelaku bebas berkeliaran
TERHADAP PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN
KORBAN
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk
Menempuh Ujian Sarjana Hukum
Oleh
IRA OFIANDA
50 2011
252
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
FAKULTAS HUKUM
2015
PALEMBANG
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH P A L E M B A N G
FAKULTAS HUKUM
PERSETUJUAN PAN PENGESAHAN
Judul Skripsi
S A N K S I PIDANA T E R H A D A P P E L A K U
K E K E R A S A N T E R H A D A P PEREMPUAN DAN
PERLINDUNGAN KORBAN
Nanui
: IRA OFIANDA
Nim
: 50 2011 252
Program Studi
: Ilmu Hukum
Program Kekhususan : Hukum Pidana
Pembimbing,
Luil Maknun, SH., MH
Palembang,
P E R S E T U J U A N O L E H T I M PENGUJI:
Ketua
: Dr. Hj. Sri Sulastri, SH., M.Hum
Anggota
: I . Zulfikri Nawawi, SH., MH.
jF
2. Mona Wulandari, SH., MH
DISAHKAN O L E H
DEKAN F A K U L T A S HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMAOtVAH PALEMBANG
Dr. Hj. SRXSUATMIATI, SH, M.Hum
NBM/NIDN : 791348/0006046009
ii
April 2015
MOTTO
:
^Sesungguhnya kepunyan AUah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia
menghidupkan dan mematikan dan sekali - kali tidak ada pelindung
dan penolong bagimu selain Allah
( QS.At-Taubah : 116)
Ku persembahkan Skripsi ini kepada:
•
Mama Roflko dan Papa Irwansyah yang
lercinta
•
Adikku Irma Navia Sarij M. Rafty dan
M. Rizky Agung yang tersayang
•
Kakek Aim. Marwan, //. Aminnuddin dan
Nenek Nurhayati, Hj. Nur Hasanah yang
tercinta
•
Kekasih yang keiak mendampingi hidupku
Dirga ISata
•
Sahabai-sahabai terhaikku
Rico, Bobby, Yamin, Debby & Ulfa
•
Almamater yang ku banggakan
iii
JUDUL SKRIPSI
: SANKSI
PIDANA
TERHADAP
PELAKU
K E K E R A S A N T E R H A D A P PEREMPUAN D A N
PERLINDUNGAN KORBAN
Penulis,
Pembimbing
IRA OFIANDA
LUIL MAKNUN, SH. M H
ABSTRAK
Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah :
1. Apakah Sanksi Pidana terhadap pelaku kekerasan terhadap perempuan ?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana kekerasan
terhadap perempuan ?
Selaras dengan tujuan yang bermaksud untuk mengetahui sanksi pidana
terhadap pelaku kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hukum terhadap
korban tindak pidana kekerasan terhadap perempuan, maka jenis penelitian ini
adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif (menggambarkan), oleh
karenanya tidak bermaksud untuk menguji hipotesa.
Teknik penggumpulan data dititikberatkan kepada penelitian kepustakaan
dengan cara mengumpulkan data primer dan data sekunder yang telah diperoleh
selanjutnya diolah secara kualitatif yang hasilnya disajikan secara deskriptif, pada
tahap akhir akan dilakukan penarikan kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap
perempuan yaitu dengan melakukan pemeriksaan terhadap alat-alat bukti
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), dan terhadap pasal-pasal yang diterapkan adalah berdasarkan
ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
2. Perlindungan Hukum terhadap Korban Kekerasan terhadap perempuan
bahwa sampai saat ini belum ada ketentuan yang khusus mengatur
bagaimana perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana kekerasan
terhadap perempuan, namun akan dibenkan perlindungan hukum sebagai
saksi korban serta memberikan perlindungan dari segala bentuk aneaman
yang datang dari si pelaku.
iv
K A T A PENGANTAR
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, serta
shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW,
beserta
keluarganya
menyelesaikan
dan
sekripsi
para
ini
yang
sahabat,
berjudul
sehingga
:
penulis
"SANKSI
dapat
PIDANA
T E R H A D A P P E L A K U K E K E R A S A N T E R H A D A P PEREMPUAN D A N
PERLINDUNGAN KORBAN".
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak
kekeliruan dan kekhilafan semua ini karena penulis
kekurangan,
adalah sebagai
manusiabiasa yang tak luput dari kesalahan dan banyak kakurangan, akan
tetapi berkat adanya bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai
pihak, akhimya kesukaran dan kesulitan tersebut dapat dilampaui, oleh
karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih
kepada :
1. Bapak H . M . Idris, SE. M.Si selaku Rektor Universitas Muhammadiyah
Palembang.
2. Ibu Dr. H j . Sri Suatmiati, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Palembang.
3. Bapak/Ibu Wakil Dekan I , I I , I I I , I V Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Palembang.
4. Ibu L u i l Maknun, SH. M H , selaku Ketua Bagian Hukum Pidana pada
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang, dan selaku
Pembimbing Skripsi yang telah banyak memberikan petunjuk-petunjuk
dan arahan-arahan dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini serta
selaku Pembimbing Akadcmik.
5. Bapak dan Ibu Dosen serta Karyawan dan karyawati Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Palembang.
6. Ayahanda Irwansyah dan Ibunda Rofiko, serta adik- adikku Irma novia
sari, M.rafly dan M . Rizky agung
serta seluruh keluarga yang telah
banyak memotivasi penulis untuk meraih gelar kesarjanaan ini.
7. Kekasihku Dirga Nata yang selalu memberikan semangat serta motifasi
dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.
8. Untuk teman-teman seperjuangan
Richo novrianto, Bobby M.P.W,
Maria Ulfa, Debby yuswira, Yamin Kumiawan, Aprinza Rizky, rionaldy
G.P, Dewi, Ana, Mahmudd, Posko 361 .
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak
yang membacanya, untuk itu penulis mohon kritik dan saran yang sifatnya
membangun demi kesempumaan di dalam penulisan skripsi ini sehingga
nantinya skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Palembang,
Penulis
IRA O F I A N D A
vi
2015
D A F T A R ISI
H A L A M A N JUDUL
i
H A L A M A N PERSETUJUAN D A N PENGESAHAN
ii
H A L A M A N MOTTO D A N PERSEMBAHAN
iii
ABSTRAK
iv
K A T A PENGANTAR
v
D A F T A R ISI
vii
BAB I PENDAHULUAN
1
A . Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
7
C. Ruang Lingkup dan Tujuan
7
D. Metode Penelitian
8
E. Sistematika Penulisan
10
BAB I I TINJAUAN PUSTAKA
11
A . Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana
11
B. Jenis-jenis Tindak Pidana
15
C. Pertanggung Jawaban Pidana
19
D. Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan
22
BAB I I I PEMBAHASAN
28
A . Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Kekerasan Terhadap Perempuan..28
B. Perlindungan
Hukum
Terhadap
Perempuan
Korban
Kekerasan
Terhadap
37
vii
B A B I V PENUTUP
47
A . Kesimpulan..
47
B. Saran
48
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kompleksnya masalah tindak pidana yang terjadi sekarang ini
membuat banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh perangkatperangkat hukum. Mulai dari tindak pidana ringan seperti halnya
pelanggaran lalu lintas sampai dengan tindak pidana berat seperti
pembunuhan
yang
dilakukan
dengan
berencana
atau
bahkan
pembunuhan sadis, begitupun tindak pidana lainnya yaitu tindak pidana
kekerasan terhadap perempuan khususnya pemerkosaan. Dalam media
massa kasus pemerkosaan sering muneul, terutama kasus pemerkosaan
yang terjadi di kota Palembang. Tindak pidana perkosaan tidak saja
dilakukan terhadap anak tirinya sendiri atau bahkan lebih kejamya lagi
terhadap anak kandungnya sendiri. Hal i n i jelas melanggar aturan
hukum tindak pidana dan terutama juga norma agama seolah-olah
norma lain mentolerir.
Timbulnya kasus kesusilaan khususnya pemerkosaan yang ada di
kota Palembang, disebabkan para pelaku yang mengalami gairah seks
yang luar biasa, hal ini disebabkan para pelaku ada yang suka menonton
film V C D / D V D porno yang oleh pelaku di dapat dari para penjual
V C D / D V D baik di toko-toko maupun pada pedagang emperan. Ada
1
juga faktor meningkatnya pemerkosaan
disebabkan
pelaku tindak
pidana yang sudah lama tidak berhubungan intim dengan isterinya dan
dilampiaskan kepada orang lain atau bahkan terhadap anaknya sendiri.
Tak
hanya
itu para
pelaku
tindak
pidana
pemerkosaan
yang
terbilang masih remaja dan dibawah umur pun saat ini sudah banyak
terjadi. Kemajuan
teknologi saat ini di salah gunakan, bukan hanya
lewat Handphone yang berfitur lengkap, dengan menjamumya wametwamet di setiap sudut kota membuat mereka bebas meng-update film,
cerita, gambar porno yang mudah didapat dari situs lokar maupun luar
negeri.'
Contoh kasus pemerkosaan yang ditangani Polisi Kota Besar
Palembang, antara lain dilakukan oleh Antonio Latumente Darmanto
kepada anak tirinya yang berumur 13 tahun. Kejadiannya terjadi pada
tahun 2007, dimana tersangka melakukan tindakannya sekitar j a m 05:00
W I B pada saat anak tirinya tertidur. Pada saat itu antara korban dan
tersangka tidur dalam satu ruangan, tersangka langsung mendekati anak
tirinya dan memeluknya dari belakang, merasa tidak ada perlawanan
korbanpun diperkosa.
Kasus di atas adalah salah satu saja dari sekian banyak kasus
perkosaan yang ada seperti, perkosaan yang dilakukan oleh guru dengan
' Sarlito Wirawan, Fakror-faklor Knminogen, Bina Grafika, Jakarta, 1999. hal. 26
^ Satreskrim POLTABES Palembang, Statistik Kejahatan Kota Palembang tahun 2007,
Laporan tahunan POLTABES Palembang, 2007, hal. 17
muridnya, antara pelayan dengan majikannya, atau bahkan oleh orang
tua dengan anak kandungnya sendiri. Dari kasus ini pula ada beberapa
faktor yang menyebabkan korban tidak melapor ke pihak yang berwajib.
Beberapa faktor itu diantaranya :
1. Korban merasa ketakutan akibat tekanan dan aneaman dari pelaku,
2. Korban
merasa
malu
dan mengalami guncangan j iwa akibat
perkosaan tersebut, dan
3. Proses birokrasi yang berbelit -belit di tingkat penyidikan.
Jika
ditihat
dari
beberapa
faktor
diatas,
korban memang
seharusnya mendapat perlindungan, sebab dari kejadian yang mereka
alami mengakibatkan trauma sendiri, dan diharapkan kepada aparat
penegak hukum agar dapat lebih tegas, serius dalam menjalankan aturan
hukum terutama yang berhubungan dengan masalah kesusilaan dalam
hal i n i pemerkosaan. Terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana
tersebut dapat
dikenakan pasal 285
sampai 288 K U H P
tentang
pemerkosaan.
Pasal 285, yang berbunyi : "
barang siapa dengan kekerasan
atau aneaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya
bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman
penjara selama-lamanya dua belas tahun...." Maksud pasal di atas
^ Yahya Harahap, Pembahasan KVH & KUHAP, Pustaka Abadi, Jakarta, 1987,
hal.24
apabila seorang laki-laki melakukan perkosaan dengan mengancam
seorang perempuan yang bukan isterinya dipenjara selama dua belas
tahun. Jika seorang perempuan yang bukan isterinya memaksa seorang
laki-laki untuk diperkosa maka si wanita tersebut tidak dikenakan
sanksi, sebagaimana
dijelaskan oleh R. Soesilo, dimana pembuat
undang-undang temyata menganggap tidak perlu menentukan hukuman
bagi perempuan yang memaksa untuk bersetubuh, bukanlah sematamata oleh karena paksaan oleh seorang perempuan terhadap laki-laki
dipandang tidak mengakibatkan sesuatu yang bumk atau merugikan.
Bukankah seorang perempuan ada bahaya untuk melahirkan anak dari
kejadian itu. Pasal 286, yang berbunyi : "...barang siapa bersetubuh
dengan perempuan yang bukan isterinya, sedang diketahuinya, bahwa
perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, di hukum selama-lamanya
sembilan tahun..."
Pasal 287, yang menyatakan ;
-
ayat 1 : "... barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan
isterinya,
sedang diketahuinya, bahwa perempuan itu
pingsan atau tidak berdaya, di hukum selama-lamanya
sembilan tahun..."
-
ayat 2 : "... penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan,
kecuali kalau umumya perempuan itu belum sampai dua belas tahun
atau j i k a ada salah satu yang tersebut pasal 291 dan294..."
pada intinya jika suatu kejahatan tersebut menyebabkan luka berat
pada tubuh korban dijatuhi hukuman selama-lamanya dua belas
tahun, dan jika korban tersebut meninggal dijatuhi hukuman selamalamanya lima belas tahun. Sedangkan dalam pasal 294, yang
ada
pada intinya di hukum selama-lamanya tujuh tahun jika tersangka
melakukan perbuatan cabul baik terhadap anak kandungnya, anak
tirinya, atau anak pcliharaanya, yang diketahui anak tersebut belum
dewasa.
Pasal 288, yang berbunyi:
-
ayat 1 : "...barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita yang
diketahuinya atau harus sepatutnya disangkanya, bahwa
perempuan itu belum masanya buat dikawinkan, dihukum
penjara selama-lamanya empat tahun. kalau perbuatan itu
berakibal badan perempuan mendapat luka..."
-
ayat 2 : "...kalau perbuatan itu menyebabkan perempuan mendapat
luka berat. dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya
delapan tahun...."
-
ayat 3 : "... j i k a perbuatan itu mengakibatkan kematian perempuan
itu dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya delapan
tahun....""*
Dari penjelasan di atas jika dilihat dari sanksi yang dijatuhkan
R. Soesilo, KUHP dan KUHAP Indonesia, PT. Agung, Jakarta, 1989, h.35.
tahun...."^
Dari penjelasan di atas jika dilihat dari sanksi yang dijatuhkan
oleh Hakim tidak setimpal dengan perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku, sebab j i k a kita lihat dari media cetak maupun elektronik korban
yang mengalami perkosaan tersebut mengalami depresi atau trauma
yang berat, hal ini diperlukan
suatu kebijakan hukum
terutama
mengenai pemerkosaan yang sanksinya lebih berat. Kebijakan hukum
pidana menurut Marc Ancel adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada
akhimya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan
hukum positif dirumuskan
secara lebih baik dan untuk memberi
pedoman tidak saja tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan
undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana
putusan hakim.
Menurut S.R. Sianturi, suatu pemidanaan harus sesuai dengan
undang-undang,
oleh
karena
itu para
penegak
hukum
dalam
menjalankan tugasnya (dalam hal ini peradilan) terikat pada kekuataan
perundangan-undangan sehingga kesewenang-wenangan. Hal ini berarti
terdapat hubungan bagi setiap pencari keadilan (yang juga terikat pada
ketentuan perundang-undangan).
Dari uraian tersebut diatas dan dalam rangka memenuhi salah
satu persyaratan untuk menempuh ujian sarjana hukum di Universitas
R. Soesilo, KUHP dan KUHAP Indonesia, PT. Agung, Jakarta, 1989, hal.35.
7
Muhammadiyah Palembang, penulis tertarik menelili
permasalahan
tersebut dengan menulis skripsi yang berjudul : " S A N K S I P I D A N A
TERHADAP PELAKU KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
DAN P E R L I N D U N G A N K O R B A N " .
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan eksistensi
pidana mati, penulis
menemukan beberapa permasalahan
sebagai
berikut:
1. Apakah
sanksi
pidana
terhadap
pelaku
kekerasan
terhadap
perempuan ?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana
kekerasan terhadap perempuan ?
C . Ruang Lingkup dan Tujuan.
Ruang
lingkup
penelitian
terutama
dititik
beratkan
pada
penelusuran sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan
terhadap perempuan dan perlindungan hukum terhadap korban tindak
pidana kekerasan terhadap perempuan tanpa menutup kemungkinan
menyinggung pula hal-hal lain yang ada kaitannya dengan permasalahan
tersebut.
8
Tujuan penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan sanksi pidana terhadap pelaku
tindak pidana kekerasan terhadap perempuan.
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap korban tindak
pidana kekerasan terhadap perempuan.
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai tambahan
informasi bagi ilmu pengetahuan, khususnya dibidang ilmu hukum
tentang kebijakan pidana, sekaligus merupakan sumbangan pikiran
yang dipersembahkan sebagai pengabdian pada Almamater
D. Metode Penelitian.
Selaras dengan tujuan yang bermaksud untuk mengetahui sanksi
pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap perempuan
dan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana kekerasan
terhadap perempuan, maka jenis penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif yang bersifat deskriptif (menggambarkan), oleh karenanya
tidak bermaksud untuk menguji hipotesa.
•
Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data skunder dititikberatkan kepada
penelitian kepustakaan (library research) dengan cara mengkaji:
a) Bahan hukum primer, yaitu
bahan
hukum yang bersifat
mengikat seperti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan
semua ketentuan peraturan yang berlaku.
b) Bahan skunder yaitu bahan hukum seperti terori, hiotesa,
pendapat para ahli maupun penelitian terdahulu yang sejalan
dengan permasalahan dalam skripsi ini.
c) Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang menjelaskan
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus
bahasa, ensiklopedi dan lain sebagainya.
•
Teknik pengolahan data
Setelah data terkumpul, maka data tersebut diolah guna
mendapatkan data yang terbaik. Dalam pengolahan data tersebut,
penulis melakukan kegiatan editing yaitu data yang diperoleh
diperiksa dan diteliti lagi mengenai kelengkapan, kejelasan dan
kebenarannya, sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahan.
•
Analisa data
Analisa data dilakukan secara kualitatif yang dipergunakan
untuk mengkaji aspek-aspek normatif atau yuridis melalui metode
yang bersifat deskriptif analitis yaitu menguraikan gambaran dari
data yang diperoleh dan menghubungkannya satu dengan yang lain
untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang bersifat umum.
£ . Sistematika Penulisan
Rencana penulisan skripsi ini akan disusun secara keseluruhan
dalam 4 (empat) Bab dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I
: Merupakan bab
pendahuluan
yang menguraikan latar
belakang, rumusan masalah, ruang lingkup dan tujuan dan
metode penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB I I
: Merupakan tujuan pustaka yang berisi paparan
tentang
Kerangka teori yang erat kaitannya dengan permasalahan
yang akan dibahas.
BAB III
: Merupakan pembahasan yang menggambarkan
tentang
hasil penelitian, sehubungan dengan permasalahan hukum
yang diangkat.
BAB I V
: Merupakan bagian penutup
dari pembahasan yang di
format dalam kesimpulan dan saran.
BAB I I
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana.
Mengenai pengertian tindak pidana diantara para sarjana tidak
ada kesatuan pendapat, mereka menyebut tindak pidana itu dengan
istilah mereka masing-masing, antara lain
a. Menurut Moelyanto, merupakan perbuatan pidana dalam arti suatu
perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman.
b. Wirjono Prodjodikoro, menggunakan istilah tindak pidana, yang
artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman
pidana.^
Beberapa pengertian yang diberikan oleh para sarjana barat
mengenai istilah tindak pidana atau dalam bahasa Belanda yaitu :
"Strafbaar Feit", antara lain :
a. Menurut Simon, tindak pidana adalah perbuatan salah dan melawan
hukum yang diancam dengan pidana dan dilakukan oleh seseorang
yang mampu bertanggung jawab.
b. Menurut Van Hamel, merumuskan sama dengan perumusan Simon,
hanya saja ditambahkannya bahwa perbuatan harus pula patut di
^ Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, P.T. Eresco, Bandung,
1996, hal.60
11
pidana.
c. Menurut Vos, tindak pidana, adalah suatu peristiwa yang dinyatakan
dapat dipidana oleh undang-undang,
d. Menurut Pompe, tindak pidana adalah suatu pelanggaran kaidah
terhadap para pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan
adalah
wajar
untuk menyelenggarakan
ketertiban hukum
dan
menjamin kesejahteraan umum.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan tindak pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian
perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan lainnya, terhadap perbuatan tersebut sehingga dapat diancam
dengan pidana. Perbuatan manusia itu barulah akan merupakan tindak
pidana apabila memenuhi syarat-syarat yang dimuat di dalam dalil
hukum yang bersangkutan.
Perbuatan-perbuatan
tertentu
yang
oleh
undang-undang
dijadikan tindak pidana merupakan perbuatan yang membahayakan
kepentingan umum yang mempunyai arti kaedah yang besar bagi
masyarakat untuk keseluruhan atau perorangan di dalam masyarakat
sehingga dengan demikiaan suatu perbuatan merupakan tindak pidana
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :^
a. Harus ada perbuatan manusia;
Ibid, hal. 27
b. Perbuatan itu bertentangan dengan hukum ;
c. Perbuatan
tersebut
dilakukan
oleh
orang
yang
dapat
dipertanggungj awabkan
d. Orang tersebut dapat dipersalahkan.
Pada dasamya tiap-tiap tindak pidana hams terdiri dari beberapa
unsur, adapun unsur-unsur dari tindak pidana tersebut menumt para
sarjana, antara lain :
a. Menurut S.R. Sianturi yang menyebutkan unsur-unsur tindak
pidana y a i t u :
-
subyek:
-
bersifat melawan hukum (dari tindakam) ;
-
kesalahan:
-
suatu tindakan yang dilarang atau harus oleh undang-undang dan
terdapat pelanggamya diancam pidana ;
-
waktu, tempat dan keadaan (unsur obyektif lainnya)
b. Menumt
Moelyanto,
menyebutkan unsur-unsur tindak pidana
adalah :
-
kelakuan dan akibat yang disamakan dengan perbuatan ;
-
hal ikhwal antar keadaan yang menyertai perbuatan ;
-
keadaan tambahan yang memberatkan pidana ;
-
unsur melawan hukum yang obyektif;
-
unsur melawan hukum yang subyektif.
D i tambahkannya pula bahwa sekalipun dalam perumusan delik
tidak terdapat unsur melawan hukum, namun jangan dikira bahwa
perbuatan
tersebut
tidak
melawan hukum
karena
bagaimanapun
perbuatan tersebut sudah sedemikian wajar sifat melawan hukumnya,
sehingga tidak perlu dinyatakan tersendiri.
Menurut Simon, berdasarkan perumusan mengenai tindak pidana
akan terlihat unsur-unsur dari tindak pidana, yaitu :
- perbuatan manusia;
- perbuatan manusia itu harus melawan hukum ;
- perbuatan itu diancam oleh undang-undang ;
- harus dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab ;
- perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan si pembuat
Dari beberapa batasan maupun pengertian yang diberikan oleh
para sarjana di atas, jelas terlihat adanya materi sebab-akibat, bersifat
melawan hukum dan kesalahan. Dimana secara bersamaan ketiga
materi tersebut sering dirumuskan sebagai bagian dari norma dalam
suatu pasal tindak pidana.
Dalam kebutuhan praktik, perumusan dari unsur-unsur tindak
pidana sangat memudahkan pekerjaan penegak hukum. Apakah suatu
^ Moeljatno, Hukum Pidana Indonesia, Bina Aksara Jakarta, 1983, hal. 62
^ Ibid, hal. 223
peristiwa telah memenuhi unsur-unsur dari suatu tindak pidana yang
dirumuskan
dalam
pasal
undang-undang,
maka
diadakanlah
penyesuaian atau pencocokan (bagian-bagian atau kejadian-kejadian)
dari peristiwa tersebut dengan unsur-unsur dari tindak pidana yang
didakwakan. Jika temyata sudah sesuai, maka dapat ditentukan bahwa
peristiwa itu merupakan suatu tindak pidana yang telah terjadi, serta
dapat dipertanggungj awabkan kepada subyeknya.
B. Jenis-jenis Tindak Pidana.
D i dalam K U H P ada dua macam pembagian tindak pidana yaitu
kejahatan yang ditempatkan dalam Buku ke-II dan pelanggaran yang
ditempatkan di Buku ke-III. Walaupun sudah ada pembagian
yang
demikian didalam K U H P tidak ada pasal pun yang memberikan dasar
pembagian tersebut, walaupun pada Bab-bab dari Buku ke-1 selalu
ditemukan
penggunaan
pelanggaran.
kejahatan
istilah
tindak
Selain dari pada pembagian
dan pelanggaran,
menumt S.R.
pidana,
kejahatan,
tindak pidana
dan
sebagai
Sianturi, masih dikenal
pembedaan lain yang dasamya terletak pada :
a. Cara pemmusannya yaitu Delik Formal dan Delik Materil.
Pada Delik Formal, yang dimmuskan adalah tindakan yang
dilarang
(beserta hal
atau
keadaan
lainnya) dengan
tidak
mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut. Contoh pasal362
KUHP tentang pencurian. Pada Delik Materil, selain dari tindakan
yang dilarang masih harus ada akibat yang ditimbul dari tindakan
tersebut. Contoh pasal 338 K U H P tentang pembunuhan.
b. Cara melakukan tindak pidana, yaitu yang perlu dibedakan antara
Delik Komisi, Delik Omisi, serta Delik Campuran Komisi dan
Omisi.
Delik
adalah
Komisi,
pelanggamya
diancam
tindakan
pidana.
aktif
yang
dilarang untuk
Contoh tindakan
aktif
yang
dilarang membunuh (pasal 338 KUHP), dan dilarang mencuri
(pasal 362 KUHP).
Delik Omisi, adalah suatu tindakan positif yang diharuskan,
dimana j i k a tidak dilakukan diancam dengan pidana. Contoh pasal
164 K U H P tentang wajib melaporkan kejahatan tertentu, dan
pasal 224 KUHP tentang kehamsan menjadi saksi.
Delik
Campuran
Komisi
dan
Omisi
adalah
suatu
tindakan
mencakup pengertian melakukan sambil tidak melakukan suatu
tindakan yang dilarang dan dihamskan. Contoh pasal 306 KUHP
tentang
membiarkan
seseorang
wajib
dipeliharanya
yang
mengakibatkan matinya orang itu.
c. Ada atau tidaknya pengulangan ataa kelanjutan, antara Delik
Mandiri dan Delik Berlanjut.
Dikatakan Delik Mandiri j i k a tindakan yang dilakukanya satu kali
saja untuk pelaku dipidana sedangkan Delik Berlanjut bilamana
tindakan yang sama berulang dilakukan dan merupakan atau dapat
dianggap sebagai tindakan kelanjutan dari tindakan semula.
d. Berakhimya atau berkesinambangnya suatu delik.
Kebanyakan
suatu
tindakan
sudah
sempuma,
jika
pelaku
melakukan suatu tindakan terlarang, menurut undang-undang,
tetapi
dalam
beberapa
berkesinambungan
meneruskan
terus
perampasan
hal,
dengan
suatu
tindakan
sendirinya.
kemerdekaan
terlarang,
Contohnya
seseorang (pasal
:
333
KUHP). Pada delik berkesinambungan berbeda dengan delik
berlfinjut. Pada delik berkesinambungan keadaan yang merupakan
tindak pidanan itu berlanjut terns, sedangkan delik berlanjut
tidak.^
e. Apakah tindakan terlarang itu merupakan kebiasaan dari pelaku
atau tidak.
Dalam
hal i n i , Delik
Bersahaja
berhadapan
dengan
Delik
Kebiasaan. Misalnya dalam delik kebiasaan dapat dilihat pada
pasal 481 K U H P mengenai penodaan. Dalam hal ini harus
dibedakan antara kebiasaan melakukan suatu delik
bersahaja
dengan kebiasaan sebagai mata pencaharian yang merupakan
pemberatan pidana, seperti pasal 295 ayat2 K U H P tentang
" Ibid, hal. 63
kesusilaan.
f. Apakah pada tindak pidana itu keadaan yang memberatkan atau
meringankan pidana.
Tindakan ini dibedakan sebagai:
- Delik-delik biasa.
- Dikualifisir (diperberat).
- Delik diplivisir (diperingan).
Pada delik dikualifisir dan delik diplivisir mempunyai unsur-unsur
yang dipunyai delik-delik biasa disamping unsur keadaan yang
memberatkan pidana untuk delik-delik biasa dan unsur keadaan
yang meringankan untuk delik diplivisir. Contoh keadaan yang
meringankan adalah pasal 341 K U H P terhadap pasal 338 K U H P ,
pasal 308 K U H P terhadap pasal 305 dan 306 KUHP.
g. Bentuk kesalahan pelaku.
Delik Sengaja adalah perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana. Contoh pasal362 KUHP. Delik alpa adalah
perbuatan yang dilarang dan diancam pidana yang dilakukan
dengan tidak sengaja, hanya karena kealpaan atau ketidak hatihatian saja. Contoh pasal 359 K U H P tentang mengakibatkan
orang mati atau luka karena salahnya.
h. Apakah
tindak
pidana
itu
mengenai
ketatanegaraan atau pemerintah negara.
hak
hidup
negara,
Dalam hal ini dibedakan antara delik umum dan delik politik.
Dalam delik politik yang penting adalah hakekat dari tindak
pidana itu, motif dari tindak pidana itu tidak penting, walaupun
hal itu dilakukan karena hendak mendapatkan keuntungan.
i.
Perbedaan subyek.
Dibedakan antara delik khusus dengan delik umum. Subyek delik
didalam hukum pidana pada
kalimat "Barang siapa
umumnya dirumuskan dengan
". Subyek delik khususnya hanya
orang-orang atau golongan tertentu yang dianggap sebagai pelaku
dari tindak pidana khusus yang bersangkutan seperti antara lain :
disebut sebagai
pegawai negeri, militer, nahkoda,
laki-laki,
wanita, pedagang, dan sebagainya.
j.
Cara penuntutan, dalam hal ini dibedakan antara delik aduan
dengan delik dakwaan karena jabatan.
Pelaku dari delik aduan hanya dituntut karena adanya pengaduan,
sedangkan pada delik dakwaan pelakunya dituntut oleh petugas
karena memang itulah dia ditugaskan. Dengan kata lain tidak
perlu adanya pengaduan. Jadi tanpa ada kerja sama dari pihak
korban atau yang diinginkan.
C . Pertanggung Jawaban Pidana.
Dalam hal alasan yang menghapuskan pidana dikenal beberapa
penggolongan atau pembeda. Dalam teori hukum pidana biasanya
alasanyang menghapuskan pidana dibedakan menjadi:
1. Alasan pembenar, yaitu alasan yang dapat menghapuskan sifat
melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh
terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar.
2. Alasan pemaaf, yaitu alasan penghapusan kesalahan terdakwa,
perbuatan yang dilakukan terdakwa tetapi bersifat melawan
hukum. Jadi tetap merupakan perbuatan pidana tetapi dia tidak
dipidana karena tidak ada kesalahan.
3. Alasan penghapusan penuntutan, disini yang dipersoalkan bukan
pada ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf. Jadi tidak ada
pikiran mengenai sifat perbuatannya maupun sifat orang yang
melakukan perbuatannya, tetapi pemerintah menganggap bahwa
atas dasar kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaliknya tidak
diadakan penuntutan. Yang menjadi pertimbangan di sini adalah
kepentingan umum. Contohnya pasal 53 KUHP, kalau terdakwa
dengan
sukarela
mengurungkan
niat
percobaannya
untuk
melakukan suatu kejahatan.'**
Menurut memori penjelasan (M.v.T) alasan penghapusan pidana
dibagi menjadi :
1. Alasan-alasan yang terdapat dalam batin terdakwa yaitu pasal 44
Ibid, hal. 69
KUHP.
2. Alasan-alasan yang diluar, diatur dalam pasal 48-51 K U H P
Biasanya dalam Bab I I I Buku ke-1 K U H P yang dipandang orang
sebagai alasan pembenaran adalah :
1. Pasal 49 ayat (1) K U H P , mengenai pembelaan terpaksa.
2. Pasal
50 KUHP,
mengenai pelaksanaan
ketentuan undang-
undang.
3. Pasal 51 ayat (1) KUHP, tentang melaksanakan perintah jabatan.
Sedangkan yang dianggap sebagai alasan pemaaf adalah pasal 49
ayat (2) tentang pembelaan yang melampaui batas.
Selain dari pada itu menurut teori hukum pidana (doktrin) masih
dikenal pembelaan lainnya, yaitu dasar-dasar peniadaan pidana secara
umum dengan yang secara khusus. Dasar-dasar umum ditentukan
dalam Bab I I I Buku ke-1 KUHP. sedangkan dasar-dasar khusus
terdapat dalam berbagai pasal undang-undang, contohnya pasal 166,
pasal 221 ayat (2), pasal 367 ayat (1) K U H P .
Mengenai pengurangan pidana, secara umum ditentukan dalam
pasal 47 KUHP, yang didasari pada usia belum dewasa, pasal 53 K U H P
mengenai percobaan melakukan melakukan percobaan dan pasal 57
KUHP mengenai pembantuan kejahatan, selain itu secara khusus dasar
pengurangan pidana dapat pula ditemukan dalam pasal-pasal tertentu
dari Buku ke-11 K U H P dan diluar K U H P . Contohnya pasal 305, pasal
306 Jo pasal 338 KUHP, pasal 341 dibandingkan dengan pasal 338 dan
340 KUHP, pasal 110 K U H P M , yaitu j i k a insubordinasi militer di luar
dinas.
Dalam hal penambahan pidana dalam Bab I I I ke-I K U H P ada 2
macam yang diatur dalam pasal 52 dan 52 (a) KUHP, sebagai berikut:
a. Seorang
pegawai negeri melanggar kewajiban khusus
dari-
jabatannya.
b. Waktu melakukan kejahatan menggunakan bendera kebangsaan
Indonesia.
Selain dari pada itu menurut S.R Sianturi dikenal pula beberapa
keadaan yang menjadi dasar penambahan hukuman pidana, yaitu :
a. Karena pengulangan (recidive),
b. Karena perbarengan atau gabungan (samenloop),
c. Karena beberapa keadaan khusus tertentu yang ditentukan dalam
beberapa pasal tindak pidana
d. Karena beberapa keadaan yang juga menjadi atas umum bagi
suatu ketentuan umum pidana khusus.
D. Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan.
Tindak
pidana
kekerasan
terhadap
perempuan
terutama
perkosaan bukan merupakan suatu jenis kejahatan yang baru. Ia sama
tuanya dengan keberadaan kehidupan manusia di dunia ini. Perkosaan
bukan hanya terjadi dalam masyarakat modem, melainkan juga terjadi
dalam masyarakat primitif, tetapi hanya waktu dan tempatnya saja
berbeda.
Istilah perkosaan merupakan istilah hukum yang digunakan
sebagao tuduhan pada tersangka yang telah melakukan perbuatan
memaksakan
kehendak
terhadap
orang
lain.
Selain
itu
istilah
perkosaan ini juga digunakan oleh hakim sebagai istilah dalam putusan
pidana yang dibuatnya. Menumt Kamus Bahasa Indonesia, perkosaan
berarti:
-
proses, cara, perbuatan memperkosa
-
pelanggaran dengan kekerasan
Sedangkan arti memperkosa, adalah :
-
memasukkan
dengan
kekerasan,
memaksa
dengan
kekerasan,
menggagahi,
-
melanggar (menyerang) dengan kekerasan.
Dalam
ilmu
kedokteran,
menurut
Abdul
Mun'im
Idris
perkosaan mempunyai arti sendiri, yaitu persetubuhan, maksudnya
disini adalah
"... Suatu peristiwa dimana alat kelamin laki-laki masuk ke
dalam alat kelamin perempuan sebagian atau selumhnya dan dengan
" Abdul Mun'im Idris, Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman dalam Proses
Penyidikan, PT. Karya Una Press, Jakarta, 1982, hal. 113
atau tanpa terjadinya pancaran air mani..."
Selanjutnya menurut M . H . Tittamidjaja memberikan pengertian
pemerkosaan, yaitu : "... suatu tindakan persetubuhan sebelah dalam
dari kemaluan laki-laki dan perempuan yang pada umumnya dapat
menimbulkan kehamilan. Tidak perlu telah terjadi pengeluaran air mani
dalam kemaluan perempuan. Sedangkan pengertian bersetubuh saat i n i
diartikan bahwa penis telah penetrasi ke dalam vagina...."
Dalam K U H P tindak pidana pemerkosaan oleh pembentuk
undang-undang secara yuridis di atur dalam pasal 285 sampai dengan
pasal 288 KUHP. Dalam pasai 285 K U H P yang dinyatakan sebagai
berikut :
"...barang siapa dengan kekerasan atau aneaman
kekerasan
memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, di
hukum karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya
dua belas tahun..."
Tindak pidana perkosaan yang diatur dalam pasal 285 K U H P
itu temyata hanya mempunyai imsur-unsur objektif, masing-masing,
yaitu Y
a. barang siapa;
b. dengan kekerasan atau ;
Leden Marpaung, Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Masalah Preprensinya, Sinar
Grafika, Jakarta, 1996, hal. 59
c. aneaman kekerasan ;
d. memaksa;
e. seorang wanita :
f. bersetubuh dengan dia;
g. d i luar perkawinan .
Selain dari unsur-unsur objektif di atas dalam pasal 285 K U H P
terdapat juga unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam perkosaan antara
lain : unsur kekerasan dalam melakukan persetubuhan dengan wanita
yang bukan istrinya. Adanya unsur kekerasan tersebut merupakan unsur
yang membedakan dengan kekerasan kesusilaan lainya.
Dalam perspektif kriminologi menurut Made Darma Weda yang
utama
dalam pemerkosaan
yang utama
bukan unsur
kekerasan
melainkan : "Cocent atau persetujuan" sehingga seorang suami pun
dapat melakukan perkosaan terhadap istrinya bilamana istrinya tidak
memberikan persetujuan untuk suatu hubungan seks (marita lerape).
Dalam kepustakaan kriminologis, Stephen Box yang dikutip oleh
Made Darma Weda, membagi tipologi perkosaan sebagai berikut Y
a. Sadistic Rape, yaitu perkosaan yang dilakukan secara sadis. Si
pelaku mendapatkan kepuasan seksual bukan karena bersetubuh,
tetapi karena perbuatan kekerasan terhadap Genitalia dalam
tubuh.
'•^ Emzul Fajri & R^u Aprilia Senja. Pengantar Kriminologi, Penerbit PT.Agung, Jakarta, 1998, hal. 201
b. Anger Rape yaitu merupakan ungkapan pemaksaan yang karena
kemarahan
dilakukan dengan
sifat brutal secara fisik.
Seks
menjadi senjatanya dalam hal i n i tidak diperolehnya kenikmatan
seksual, yang dituju kadang kali keinginan untuk mempermalukan
si korban.
c. Domination Rape, yaitu perkosan yang dilakukan oleh mereka
yang ingin menunjukkan kekuasaannya. Tidak ada maksud untuk
menyakitinya. Keinginannya yaitu bagaimana memilikinya secara
seksual.
d. Seduction turned into rape yaitu pemerkosaan yang ditandai
dengan adanya relasi antara pelaku dan korban. Jarang digunakan
kekerasan fisik dan tidak ada maksud dipermalukan. Yang dituju
adalah kepuasan di pelaku dan si korban menyesali dirinya karena
sikapnya yang kurang tegas.
e. Exploration Rape, yaitu merupakan pemerkosaan di mana wanita
sangat bergantung dari pelaku, baik dari sosial maupun ekonomi.
Acap kali terjadi di mana isteri di paksa oleh suami. Kalaupun ada
persetujuan, itu bukan karena ada keinginan seksual dari si isteri
melainkan acap kali demi kedamaian rumah tangga.
Terhadap tipe kejahatan seduction rape dan exploration rape
kemungkinan timbul adanya :
-
Victimpre Cipi Tated, dimana perkosaan berlangsung dengan korban
sebagai faktor pencetus
-
Adanya kasus pemerkosaan semu atau penipuan ;
-
Perkosaan
mumi,
korban takut melapor karena
faktor
sosial
ekonomi;
-
Perkosaan ekspresif, bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan laten
(seks) tidak bertujuan lain ;
-
Perkosaan instrumental, bertujuan di luar pemenuhan kebutuhan
seks, misalnya pelampiasan dendam.
BAB III
PEMBAHASAN
. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan
Terhadap Perempuan.
Hal
melakukan
ini tidak terlepas dari usaha para penegak hukum
penyuluhan-penyuluhan
tentang
kekerasan
terhadap
perempuan serta kasus hukum lainnya, selain itu penegak hukum
juga telah melakukan razia terhadap para pedagang/penjual
kaset
porno, termasuk melakukan razia pada tiap-tiap sekolah. Dari data
itu pula hakekat keberadaan hukum yang sebenamya, menurut Aksi
Sinurat adalah bukan bagaimana bentuk peraturan hukum yang baik,
melainkan bagaimana hukum tersebut dipraktekkan atau ditegakkan
dalam masyarakat. Praktek dari penegakan hukumlah sebenamya
yang dapat dirasakan oleh pencari keadilan.
Menumt Santun Simamora, untuk memberikan suatu keadilan
maka seorang penegak hukum memeriksa dengan cermat segala alatalat bukti yang telah secara tegas disebutkan di dalam perundangundangan yaitu pasal 184 K U H A P yang berbunyi :
28
a. Alat bukti yang sah ialah Y
1. keterangan sal {si :
2. keterangan a h l i ;
3. surat;
4. petunjuk;
5. keterangan terdakwa.
b. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan
Alat-alat bukti tersebut haruslah dikaji sedemikian rupa oleh
penegak hukum dan hakim agar sampai kepada suatu yang benarbenar menegakkan keadilan. Setelah itu mempertimbangkan dengan
memberikan penilaian atas peristiwa itu serta menghubungkannya
dengan hukum yang berlaku, untuk selanjutnya memberikan suatu
kesimpulan dengan menyatakan suatu hukum yang berlaku terhadap
peristiwa itu.
Apabila alat bukti yang diajukan kurang cukup, baik alat bukti
yang berupa benda mati maupun saksi, walaupun hakim memeriksa
dan mengadili perkara pidana tersebut yakin akan yang dakwakan
kepada terdakwa, maka hakim akan membebaskan terdakwa dari
segala dakwaan. Hal ini sesuai dengan teori pembuktian yang dianut
Negara kita yaitu, Teori Negatif (De Negatief
Wettellijk Bewijs
Moeljatno, Pembahasan KUHP dan KUHAP Indonesia, Bina Grafika, Jakarta,
1998. hal.26
30
Theorie).
Menurut teori tersebut. Hakim baru akan menjatuhkan pidana
kepada seorang terdakwa bilamana alat bukti yang ditentukan dalam
undang-undang (yaitu minimal dua alat bukti) terpenuhi dan hakim
yakin akan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa dan bahwa
terdakwalah pelakunya.
Hal ini ditegaskan pula di dalam pasal 6 ayat 2 Undangundang N o . 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi sebagai berikut
"...Tiada seorang juapun yang dapat dijatuhi pidana kecuali
apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut
undang-undang,
mendapat
keyakinan
bahwa
seseorang
yang
dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan
yang dituduhkan atas dirinya
Terhadap kasus pemerkosaan yang ditangani di POLRESTA
Palembang,
sanksi
yang
dijatuhkan
akan
dilimpahkan
pada
Pengadilan Negeri Palembang. Biasanya sanksi yang dijatuhkan
hanya berkisar satu hari sampai dua belas tahun penjara, tanpa ada
ketentuan minimum khusus, serta tidak adanya pedoman pemidanaan
yang jelas. Kendati pasal 285 telah memberi aneaman hukuman dua
" Yahya Harahap, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia Tinjauan Yundis formal,
PT.Bina Aksara, Jakarta, 1997. hal. 23
31
belas tahun penjara kepada pelaku pemerkosaan,
kenyataannya
hukuman maksimal tersebut
namun dalam
nyaris tidak
pemah
diterapkan. Akan tetapi sudah ada yang mendekati maksimal yaitu
sembilan tahun penjara. Disamping itu hal ini dimungkinkan akibat
sulitnya pembuktian terhadap kasus pemerkosaan tersebut.
Dari perkara tersebut dalam praktek penegakan hukum kasus
pemerkosaan terdapat persoalan yang cukup kompleks serangkaian
persoalan, yaitu antara lain :
a. Kurangnya laporan dari korban pemerkosaan.
Menurut Suparman
sebagian
Marzuki kultur masyarakat
besar memandang
persoalan
yang
Indonesia
berkaitan
dengan
kesusilaan masih sangat tabu untuk dibicarakan dimuka umum,
apalagi masalah pemerkosaan. Sekali pun masyarakat kita sangat
mencela perbuatan tersebut, akan tetapi kultur masyarakat yang
demikian akan membentuk sikap korban untuk enggan melaporkan
kepada pihak berwajib apalagi untuk melaporkan hal tersebut.
Masih
perkosaan
menumt
takut
dan
Suparman
tertekan
Marzuki
apabila
sebagian
melaporkan
korban
kejadian
menimpanya. Ketakutan ini dikarenakan adanya aneaman dari pelaku
baik secara fisik maupun psikis. Dari hal yang ditimbulkan ini akan
menimbulkan dark number dalam mempengamhi kebijakan yang
32
diambil untuk mengatasi masalah tindak pidana ini.
b. Persoalan pembuktian
Dalam
masalah
penegakan
pembuktian
hukum
untuk
terhadap
memenuhi
kasus
pemerkosaan,
unsur-unsur
terhadap
perbuatan yang dituduhkan merupakan persoalan yang cukup sulit
yang antara lain dikarenakan tidak adanya saksi yang mengetahui
secara langsung atas perbuatan yang terjadi, akan tetapi tidaklah
bijaksana j i k a kesulitan dalam pembuktian ini dijadikan alasan untuk
tidak melarang perbuatan pemerkosaan.
Guna memperoleh kesaksian akan kebenaran materil dalam
pemeriksaan kasus pemerkosaan. Hakim dapat berpegang pada alat
bukti petunjuk.
Menurut pasal 188 K U H A P petunjuk adalah "... perbuatan
kejadian atau keadaan persesuaiannya, baik antara yang satu dengan
yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya
petunjuk
bukanlah alat pembuktian langsung tetapi pada dasamya hal-hal yang
disimpulkan dari alat-alat pembuktianyang lain menurut pasal 188
ayat 2 K U H A P hanya diperoleh dari :
a. Keterangan saksi
b. surat dan
33
c. keterangan terdakwa.
Selanjutnya dalam ayat 3 dari pasal ini menekankan bahwa
penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap
keadaan tertentu dilakukan oleh Hakim dengan arif bijaksana, setelah
ia
mengadakan
pemeriksaan
dengan
penuh
kecermatan
dan
kesamaan berdasarkan hati nuraninya.
Sebagai contoh kasus pemerkosaan, yang terjadi
dalam
sebuah kamar tertutup. Hakim dapat menggunakan petunjuk. Korban
dapat dijadikan saksi. Keberadaan korban dalam kamar terkunci
dengan pelaku sebenamya sah memberikan petunjuk terhadap apa
yang terjadi dalam kamar terkunci tersebut.
c. Kedudukan perempuan dalam masyarakat.
Kedudukan perempuan pada umumnya berada dalam posisi
tersubordinasi secara kultur dan diterima secara kultural. Perempuan
memiliki otoritas yang lebih kecil dan berada dalam kedudukan yang
lemah dari pada laki-laki. Perempuan selalu ditempatkan sebagai
pihak yang memberikan pelayanan terhadap pihak yang kekuasaan
secara
ekonomi,
bersangkutan.
sosial,
dan
politik
atas
masyarakat
yang
34
d. Modal aparat penegak hukum
Pemerkosaan adalah merupakan bentuk tindak pidana yang
bukan semata-mata pelanggaran terhadap peraturan hukum pidana
saja, melainkan didalamnya terkait dengan nilai-nilai norma yang
hendak ditegakkan. Kualitas moral aparat penegak hukum ikut
menentukan kualitas produk hukum yang ditegakkan.
Aparat penegak hukum memiliki otoritas penganan suatu
perkara
dalam
situasi
dimana
aparat
tersebut
memperbesar,
memanipulasi atau menyelewengkan otoritas kekuasaannya, maka
timbullah
titik
rawan
hubungan
non
yuridis
yang
mudah
menimbulkan pemerkosaan. Maka dari itu aparat penegak hukum
diharuskan memiliki integritas moral yang baik.
e. Terjadinya pergeseran nilai dalam masyarakat.
Tidak terkoordinasinya kebijakan yang berkaitan langsung
maupun tidak langsung dengan tindak pidana pemerkosaan tersebut
dalam prakteknya menimbulkan kontradiksi yang pada gilirannya
akan
membingungkan
masyarakat
untuk
penegak hukum untuk menegakkan hukum.
menaati
hukum
dan
Sedangkan menurut Soerjono Soekanto masalah penegakan
hukum
pada
pokoknya
dipengaruhi
beberapa
faktor,
yaitu
diantaranya Y
a. Faktor hukumnya sendiri, yaitu yang dibatasi oleh undangundang saja ;
b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum;
c. Faktor
sarana atau
fasilitas yang mendukung
penegakan
hukum ;
d. Faktor masyarakat yaitu lingkungan di mana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan;
e. Faktor kebudayaan. yaitu sebagai hasil karya cipta dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Dari kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan dengan
eratnya oleh karena merupakan esensi dari penegakanhukum serta
tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum.
Menurut Harkristuti Harkrisnowo selain faktor-faktor diatas
khususnya dalam proses peradilan pidana, terdapat pula masalahmasalah yang harus diperhatikan yaitu misalnya :
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, C V .
Rajawaii Press, Jakarta, 1986, hal.5
36
a. Kesulitan
untuk
mendapatkan
keterangan
saksi,
karena
keengganan para saksi untuk terlibat dalam proses peradilan
yang
sering
kali
lama
dan
berbelit-belit,
serta
kemungkinan rasa takut saksi pada (aneaman)
adanya
tersangka
pelaku tindak pemerkosaan.
b. Terbatasnya pemahaman dan keahlian penegak hukum dalam
menangani
kasus
tindak
kekerasan
terhadap
perempuan
mempunyai dampak yang cukup luas dalam memprosesnya.
c. Paradigma dalam pembuktian yang mendasarkan pada asas
'"unus testis nullus testis" (satu saksi bukan saksi) merupakan
satu dari sekian kendala yang dijumpai dalam pemeriksaan
kasus tindak kekerasan, terutama pemerkosaan. Hal i n i antara
lain
disebabkan
sebenamya
dapat
oleh
karena
dijadikan
Visum Et Repertum
alat bukti
yang
untuk menunjang
keterangan saksi (korban), sering kali tidak dimiliki oleh
korban. Umumnya, setelah diperkosa korban akan langsung
membersihkan diri karena dianggap kotor akan apa yang telah
diperbuat oleh pelaku pada dirinya dan ini sangat menyulitkan
dokter untuk menemukan bekas-bekas perkosaan, itupun kalau
korban datang ke dokter.
Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa di
dalam persidangan kasus perkosaan, masalah pembuktian adanya
unsur
kekerasan
dan
aneaman
kekerasan
serta
persetubuhan
merupakan hal yang sangat menentukan. Apabila unsur ini dapat
dibuktikan secara meyakinkan maka hakim dengan keyakinan yang
diperoleh dari bukti-bukti yang lengkap selama persidangan dan
didukung dengan adanya visum et repertum dari dokter ahli akan
menjatuhkan putusan sesuai rasa keadilan di dalam masyarakat yaitu
dengan hukuman yang seberat-beratnya bagi pelaku pemerkosaan.
B. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Terhadap
Perempuan.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa tidak sedikit korban kekerasan
terhadap
perempuan
khususnya
pemerkosaan
yang
mengalami
penderitaan fisik, juga mengalami penderitaan psikis dan kalau
korban tersebut melanjutkan persoalannya
ke Pengadilan maka
penderitaannya pun semakin kompleks sebab demi kepentingan
yuridis sebagai saksi korban ia pun harus menceritakan kembali
persoalan
pribadi
yang
ia
alami.
Selain
itu ia
pun
harus
mengeluarkan biaya medis, pengacara dan biaya transportasi ketika
ia dipanggil pihak penyidik, penuntut umum dan pengadilan belum
38
lagi persolan pribadinya yang dikorankan oleh wartawan.
Dengan
mengkritisi
dampak
pemerkosaan
sebagaimana
dipaparkan di atas kiranya sudah sepantasnyalah hak-hak korban
pemerkosaan diberi perlindungan baik oleh pemerintah
masyarakat
maupun
sebagai bagian dari komponen Negara. Oleh karena
Negara belum memberi perlindungan secara langsung dan konkrit,
sementara konsep pemidanaan yang ada dalam hukum positif saat ini
hanya berorientasi kepada pelaku tindak pidana saja,
sehingga
kedudukan dan perlindungan korban tampaknya tidak diperhatikan
secara langsung dan konkrit bahkan terkesan diabaikan.
Sehubungan
dengan
meningkatnya
kekerasan
terhadap
perempuan dalam masyarakat, maka akhir-akhir ini semakin marak
diperbincangkan baik dalam bentuk berita maupun opini mengenai
solusi untuk menghentikan kekerasan tersebut. Tidak sedikit kaum
perempuan memberi tanggapan atau reaksi yang keras agar pelaku
pemerkosaan dikenakan hukuman seberat-beratnya atau
dijatuhi
pidana mati.
Tanggapan
atau
reaksi
semcam
ini tidaklah
berlebihan
mengingat masalah perkosaan memang menunjukkan problematika
sosial yang serius. Hanya saja ada satu hal yang kurang mendapat
perhatian, yaitu mengenai perlindungan terhadap hak-hak korban
pemerkosaan dan mencari solusi penanggulangannya. Sementara itu
beban penderitaan yang sudah dialami oleh perempuan yang sudah
diperkosa justru
kurang
mendapat
perhatian
untuk
dicarikan
solusinya.
Berbeda dengan data sebelumnya j i k a dilihat dari label yang
diterima oleh Kepolisian Kota Besar Palembang bahwa kekerasan
terhadap perempuan sudah sangat meresahkan masyarakat, apalagi
seperti
pada
kasus
penganiayaan
dalam
tiga
tahun
terakhir
merupakan kasus yang paling banyak terjadi yaitu sebanyak 162
kasus,
disusul
dengan
335
KUHP
atau
perbuatan
tidak
menyenangkan total kasus dalam tiga tahun terakhir 70 kasus, lalu
kasus pemerkosaan sendiri dengan total 36 kasus, pelecehan dengan
total 16 kasus, kekerasan dalam rumah tangga untuk U U No. 23
tahun 2002sebanyak 10 kasus dan terakhir untuk U U N o . 23 tahun
2004 tentang kekerasan dalam rumah tangga total 6 kasus.
Menurut aparat penegak hukum ada beberapa kendala yang
terjadi dalam penanganan kasus i n i yaitu karena korban tidak
melapor secepatnya,
dan para korban perkosaan banyak yang
merahasiakan sampai bertahun-tahun. Oleh karena itu seharusnya
korban yang mengalami pemerkosaan untuk segera melapor, agar
supaya penanganannya lebih cepat.
Masih menurut penegak hukum tadi, tidak dilaporkannya atau
diprosesnya
tindak
kekerasan
terhadap
perempuan,
membawa
konsekuensi
pelaku bebas berkeliaran