BAB IV ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN LINGKUNGAN - DOCRPIJM 1502707461BAB IV ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN LINGKUNGAN

BAB IV ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN LINGKUNGAN RPIJM bidang Cipta Karya membutuhkan kajian pendukung dalam hal

  lingkungan dan sosial untuk meminimalisir pengaruh negatif pembangunan infrastruktur bidang Cipta Karya terhadap lingkungan permukiman baik di perkotaan maupun di perdesaan. Kajian aspek lingkungaPn dan sosial meliputi acuan peraturan perundang- undangan, kondisi eksisting lingkungan dan sosial, analisis dengan instrumen, serta pemetaan antisipasi dan rekomendasi perlindungan lingkungan dan sosial yang dibutuhkan.

4.1 Analisis Sosial

  Aspek sosial terkait dengan pengaruh pembangunan infrastruktur bidang Cipta Karya kepada masyarakat pada taraf perencanaan, pembangunan, maupun pasca pembangunan/pengelolaan. Pada taraf perencanaan, pembangunan infrastruktur permukiman seharusnya menyentuh aspek-aspek sosial yang terkait dan sesuai dengan isu-isu yang marak saat ini, seperti pengentasan kemiskinan serta pengutamaan gender. Sedangkan pada saat pembangunan kemungkinan masyarakat terkena dampak sehingga diperlukan proses konsultasi, pemindahan penduduk dan pemberian kompensasi, maupun permukiman kembali. Kemudian pada pasca pembangunan atau pengelolaan perlu diidentifikasi apakah keberadaan infrastruktur bidang Cipta Karya tersebut membawa manfaat atau peningkatan taraf hidup bagi kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar Kota Bukittinggi.

  Dasar peraturan perundang-undangan yang menyatakan perlunya memperhatikan aspek sosial adalah sebagai berikut:

  1. UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional: Dalam rangka pembangunan berkeadilan, pembangunan sosial juga dilakukan dengan memberi perhatian yang lebih besar pada kelompok masyarakat yang kurang beruntung, termasuk masyarakat miskin dan masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil, tertinggal, dan wilayah bencana.

  Penguatan kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak di tingkat nasional dan daerah, termasuk ketersediaan data dan statistik gender.

  2. UU No. 2/2012 tentang Pengadaan UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Lahan bagi

  Pembangunan untuk Kepentingan Umum:

  Pasal 3: Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak.

  3. Peraturan Presiden No. 5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014:

  Perbaikan kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan melalui sejumlah program pembangunan untuk penanggulangan kemiskinan dan penciptaan kesempatan kerja, termasuk peningkatan program di bidang pendidikan, kesehatan, dan percepatan pembangunan infrastruktur dasar. Untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender, peningkatan akses dan partisipasi perempuan dalam pembangunan harus dilanjutkan.

  4. Peraturan Presiden No. 15/2010 tentang Percepatan penanggulangan Kemiskinan

  Pasal 1: Program penanggulangan kemiskinan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dunia usaha, serta masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil, serta program lain dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi.

  5. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional

  Menginstruksikan kepada Menteri untuk melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-masing.

  Tugas dan wewenang pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah Kota Bukittinggi terkait aspek sosial bidang Cipta Karya adalah:

  1. Pemerintah Pusat:

  a. Menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum yang bersifat strategis nasional ataupun bersifat lintas provinsi.

  b. Menjamin tersedianya pendanaan untuk kepentingan umum yang bersifat strategi nasional ataupun bersifat lintas provinsi.

  c. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha mikro dan kecil, serta program lain dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi di tingkat pusat.

  d. Melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional berperspektif gender, khususnya untuk bidang Cipta Karya.

  2. Pemerintah Provinsi:

  a. Menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum yang bersifat regional ataupun bersifat lintas kabupaten/kota.

  b. Menjamin tersedianya pendanaan untuk kepentingan umum yang bersifat regional ataupun bersifat lintas kabupaten/kota.

  c. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha mikro dan kecil, serta program lain dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi di tingkat provinsi.

  d. Melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan di tingkat provinsi berperspektif gender, khususnya untuk bidang Cipta Karya.

  3. Pemerintah Kota Bukittinggi: a. Menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum di Kota Bukittinggi.

  b. Menjamin tersedianya pendanaan untuk kepentingan umum di Kota Bukittinggi.

  c. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha mikro dan kecil, serta program lain dalam rangka peningkatan ekonomi di tingkat Kota.

  d. Melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan di tingkat Kota berperspektif gender, khususnya untuk bidang Cipta Karya.

4.1.1 Aspek Sosial Pada Perencanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya

A. Kemiskinan

  Aspek sosial pada perencanaan pembangunan bidang Cipta Karya diharapkan mampu melengkapi kajian perencanaan teknis sektoral. Salah satu aspek yang perlu ditindak- lanjuti adalah isu kemiskinan sesuai dengan kebijakan internasional MDGs dan Agenda Pasca 2015, serta arahan kebijakan pro rakyat sesuai direktif presiden.

  Gambaran Persentase penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan. Headcount Index secara sederhana mengukur proporsi yang dikategorikan miskin. Untuk mengukur beberapa indikator kemiskinan, seperti jumlah dan persentase penduduk miskin (headcount index-Po), indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index- P1),yang merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan, dan indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index- P2) Indeks yang memberikan informasi mengenai gambaran penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. P1 merupakan Nilai agregat dari poverty gap index menunjukkan biaya mengentaskan kemiskinan dengan membuat target transfer yang sempurna terhadap penduduk miskin dalam hal tidak adanya biaya transaksi dan faktor penghambat.

  Semakin kecil nilai poverty gap index, semakin besar potensi ekonomi untuk dana pengentasan kemiskinan berdasarkan identifikasi karakteristik penduduk miskin dan juga untuk target sasaran bantuan dan program. Senmentara itu P2 memberikan informasi yang saling melengkapi pada insiden kemiskinan. Sebagai contoh, mungkin terdapat kasus bahwa beberapa kelompok penduduk miskin memiliki insiden kemiskinan yang tinggi tetapi jurang kemiskinannya (poverty gap) rendah, sementara kelompok penduduk lain mempunyai insiden kemiskinan yang rendah tetapi memiliki jurang kemiskinan yang tinggi bagi penduduk yang miskin. Menurut standar BPS terdapat 14 kriteria yang dipergunakan untuk menentukan keluarga/rumah tangga dikategorikan miskin, yaitu: 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.

  2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.

  3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.

  4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.

  5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

  6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.

  7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.

  8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.

  9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.

  10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.

  11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.

  12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan.

  13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.

  14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan minimal Rp. 500.000,- seperti sepeda motor kredit / non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

  Jika minimal 9 variabel terpenuhi maka suatu rumah tangga dikategorikan sebagai rumah tangga miskin.

B. Pengharusutamaan Gender

  Selain itu aspek yang perlu diperhatikan adalah responsivitas kegiatan pembangunan bidang Cipta Karya terhadap gender. Saat ini telah kegiatan responsif gender bidang Cipta Karya meliputi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan, Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project (NUSSP), Pengembangan Infrasruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW), Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasia Masyarakat (PAMSIMAS), Program Pembangunan Infrastruktur Perdesaan (PPIP), Rural

  

Infrastructure Support (RIS) to PNPM, Sanitasi Berbasis Masyarakat (SANIMAS), Rencana

  Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL), dan Studi Evaluasi Kinerja Program Pemberdayaan Masyarakat bidang Cipta Karya.

4.1.2 Aspek Sosial Pada Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya

  Pelaksanaan pembangunan bidang Cipta Karya secara lokasi, besaran kegiatan, dan durasi berdampak terhadap masyarakat. Untuk meminimalisir terjadinya konflik dengan masyarakat penerima dampak maka perlu dilakukan beberapa langkah antisipasi, seperti konsultasi, pengadaan lahan dan pemberian kompensasi untuk tanah dan bangunan, serta permukiman kembali.

1. Konsultasi masyarakat

  Konsultasi masyarakat diperlukan untuk memberikan informasi kepada masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang mungkin terkena dampak akibat pembangunan bidang Cipta Karya di wilayahnya. Hal ini sangat penting untuk menampung aspirasi mereka berupa pendapat, usulan serta saran-saran untuk bahan pertimbangan dalam proses perencanaan. Konsultasi masyarakat perlu dilakukan pada saat persiapan program bidang Cipta Karya, persiapan AMDAL dan pembebasan lahan.

  2. Pengadaan lahan dan pemberian kompensasi untuk tanah dan bangunan

  Kegiatan pengadaan tanah dan kewajiban pemberian kompensasi atas tanah dan bangunan terjadi jika kegiatan pembangunan bidang cipta karya berlokasi di atas tanah yang bukan milik pemerintah atau telah ditempati oleh swasta/masyarakat selama lebih dari satu tahun. Prinsip utama pengadaan tanah adalah bahwa semua langkah yang diambil harus dilakukan untuk meningkatkan, atau memperbaiki, pendapatan dan standar kehidupan warga yang terkena dampak akibat kegiatan pengadaan tanah ini.

  3. Permukiman kembali penduduk (resettlement)

  Seluruh proyek yang memerlukan pengadaan lahan harus mempertimbangkan adanya kemungkinan pemukiman kembali penduduk sejak tahap awal proyek. Bilamana pemindahan penduduk tidak dapat dihindarkan, rencana pemukiman kembali harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga penduduk yang terpindahkan mendapat peluang ikut menikmati manfaat proyek. Hal ini termasuk mendapat kompensasi yang wajar atas kerugiannya, serta bantuan dalam pemindahan dan pembangunan kembali kehidupannya di lokasi yang baru. Penyediaan lahan, perumahan, prasarana dan kompensasi lain bagi penduduk yang dimukimkan jika diperlukan dan sesuai persyaratan.

4.1.3 Aspek Sosial Pada Pasca Pembangunan Bidang Cipta Karya

  Output kegiatan pembangunan bidang Cipta Karya seharusnya memberi manfaat bagi masyarakat. Manfaat tersebut diharapkan minimal dapat terlihat secara kasat mata dan secara sederhana dapat terukur, seperti kemudahan mencapai lokasi pelayanan infrastruktur, waktu tempuh yang menjadi lebih singkat, hingga pengurangan biaya yang harus dikeluarkan oleh penduduk untuk mendapatkan akses pelayanan tersebut.

4.2 Analisis Ekonomi

4.2.1 Analisis Kemampuan Keuangan Daerah

  Dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan setiap komponen penerimaan daerah tersebut, maka peranan legislatif didalam mendorong kesadaran masyarakat di era otonomi daerah adalah sangat penting. Oleh karena itu koordinasi dan kerjasama yang harmonis antara pihak eksekutif dan legislatif dalam menggali dan mengelola sumber-sumber penerimaan PAD menjadi sangat penting.

  Disamping itu, peraturan perundang-undangan pajak dan Perda yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan pembangunan yang berkelanjutan perlu dilakukan penyempurnaan dan pembaharuan. Hal ini dapat dilakukan melalui perubahan peraturan-peraturan (Perda) yang baru sehingga dapat memperluas basis penerimaan PAD dan secara sekaligus mendorong peningkatan penerimaan PAD.

  Untuk mewujudkan efektifitas dan efisiensi pengeluaran/belanja Pemda ada beberapa strategi kebijaksanaan yang perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh.

  

Pertama, Adanya komitmen dan keinginan Pemda baik pihak eksekutif maupun pihak

  legislatif untuk benar-benar mengalokasikan dan menggunakan anggaran secara efektif dan efisien serta bermanfaat bagi masyarakat. Kedua, adanya desentralisasi manajemen terhadap unit-unit organisasi Pemda dalam penyediaan dan peningkatan pelayanan terhadap masyarakat terutama dinas-dinas dan UPTD. Tujuan dari kebijaksanaan ini adalah untuk lebih mendekatkan fungsi pelayanan terhadap masyarakat sesuai dengan prinsip otonomi itu sendiri. Ketiga, perlu peningkatan peran swasta untuk turut berinvestasi menyediakan sarana dan prasarana perkotaan yang bersifat komersial, sehingga anggaran pembangunan Pemda dapat diprioritaskan untuk peningkatan penyediaan jasa umum dan pemberdayaan masyarakat.

a. Program Intensifikasi Penerimaan Pajak .

  Program ini bertujuan untuk meningkatkan sumber penerimaan yang berasal dari pajak daerah di Kota Bukittinggi. Program intensifikasi ini bukanlah merupakan program yang baru dibidang perpajakan, tetapi dalam pelaksanaannya perlu lebih ditingkatkan.

  Langkah-langkah kegiatan yang dapat dilakukan melalui program ini adalah : (1). Melakukan penaksiran terhadap beban pajak harus benar-benar berdasarkan pada potensi pajak yang sebenarnya, karena itu kegiatan penghitungan potensi pajak perlu dilakukan. (2).

  Sistim pembayaran on-line perlu lebih dioptimalkan. (3). Kegiatan sosialisasi terhadap setiap perubahan tarif pajak perlu lebih ditingkatkan baik secara lansung kemasyarakat maupun melalui media masa. (4). Kegiatan pemberian insentif bagi wajib pajak yang membayar pajak tepat pada waktunya, serta sesuai dengan jumlahnya perlu diberikan. (5). Kegiatan menampilkan para wajib pajak melalui media RRI dan televisi dalam bentuk dialog perlu dicobakan, sehingga dapat meransang wajib pajak lainnya untuk melunasi kewajiban pajaknya.

  b. Program Ekstensifikasi

  Sasaran yang hendak dicapai melalui program ini adalah terjadinya perluasan basis penerimaan PAD terutama basis penerimaan pajak dan retribusi daerah. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan adalah : (1) Memperluas basis pajak hiburan misalnya pajak

  VCD dan Play station. (2). Memungut retribusi parkir terhadap kenderaan Plat Merah disetiap Kantor Dinas bila dimungkinkan. (3). Mencari sumber-sumber penerimaan baru yang potensial dan membuatkan Perdanya sehingga dapat dijadikan sebagai objek sumber penerimaan baru.

  c. Program Perhitungan dan Analisis Potensi Penerimaan PAD

  Tujuannya adalah untuk mengetahui seberapa besar potensi masing-masing komponen penerimaan PAD yang dimiliki. Sasaran yang ingin dicapai adalah agar penetapan target penerimaan pajak benar-benar berdasarkan potensi yang ada. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah : Melakukan studi atau penelitian untuk menghitung besarnya potensi masing-masing komponen penerimaan PAD tersebut

  d. Program Sosialisasi dan Peningkatan Kesadaran Masyarakat

  Program ini dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai macam media informasi TV, Radio, Koran dll. Disamping itu mengajak dan melibatkan pemimpin- pemimpin informal dalam meningkatkan kesadaran masyarakat dan juga dalam pengumpulan pajak.

  e. Program Peningkatan SDM

  Program ini dapat dilakukan dengan jalan meningkatkan pengetahuan dan keahlian (skill) Sumber Daya Manusia aparatur DPKAD serta melakukan penempatan kerja yang sesuai dengan bidang keahliannya tersebut.

  f. Program Kerjasama antara Pemda dengan Pihak Swasta

  Kerjasama antara Pemda/BUMD dengan pihak Swasta memang bukan merupakan penerimaan langsung oleh Pemerintah Daerah. Namun demikian, dengan adanya kerjasama tersebut merupakan salah satu sarana bagi pemerintah daerah dan dan BUMD untuk membiayai penyediaan, pemeliharaan serta pengelolaan prasarana pelayanan publik.

4.3 Analisis Lingkungan

4.3.1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)

  Definisi KLHS yaitu “ KLHS adalah proses sistematis untuk mengevaluasi pengaruh lingkungan hidup dari, dan menjamin diintegerasikannya prinsip-prinsip keberlanutan dalam, pengambilan, keputusan yang bersifat strategis”. Secara umum, KLHS berfungsi untuk menelaah efek dan/atau dampak lingkungan, sekaligus mendorong pemenuhan tujuan keberlanjutan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya dari suatu kebijakan, rencana atau program pembangunan. Fokus lingkup muatan dalam KLHS Revisi RTRW Kota Bukittinggi adalah evaluasi kembali kesesesuaian lahan dalam RTRW Kota Bukitittinggi Tahun 2010-2030 yang telah diPerdakan khususnya mengevaluasi kembali peruntukkan lahan lawasan lindung dan budidaya.

  Kajian pengaruh KRP (Kebijakan/Rencana/Program) terhadap kondisi Lingkungan Hidup di wilayah perencanaan bertujuan untuk menemukan KRP yang berpotensi mempengaruhi atau berdampak langsung terhadap kondisi lingkungan hidup di Kota Bukittinggi.

  Setelah diketahui Indikasi Program pada RPI2-JM Kota Bukittinggi, dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) ini selanjutnya dilakukan identifikasi Program yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan, berdasarkan SEB Nomor 660/5113/SJ dan Nomor 04/MENLH/12/2010 tanggal 20 Desember 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) metode cepat untuk RTRW dan RPJMD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Untuk mengidentifikasi Program yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan pada Dokumen RPI2-JM Bidang Cipta Karya Kota Bukittinggi, dilakukan langkah-langkah analisis dengan menggunakan matriks kajian pengaruh Program terhadap isu-isu pembangunan berkelanjutan, langkah-langkah tersebut sebagai berikut : 1.

  Mencantumkan isu pembangunan berkelanjutan dan Program pada RPI2-JM Bidang Cipta Karya Kota Bukittinggi pada kolom dan baris matriks.

  2. Beri tanda “+” (positif) atau “-“ (negatif) untuk setiap isu pembangunan berkelanjutan yang berpotensi terkena pengaruh/dampak positif atau negatif dari Program pada RPI2-JM Bidang Cipta Karya Kota Bukittinggi.

3. Untuk setiap Program maka hitung frekuensi dampak positif (+) dan frekuensi dampak negatif (-) yang timbul (perhitungan dilakukan menurut baris matriks).

  Kebijakan yang menimbulkan frekuensi dampak positif atau negatif yang paling tinggi, dipandang sebagai kebijakan yang paling penting atau prioritas untuk dikaji 4. Untuk setiap isu pembangunan berkelanjutan, hitung frekuensi dampak positif (+) dan frekuensi dampak negatif (-) yang timbul (perhitungan dilakukan menurut kolom matriks). Isu pembangunan berkelanjutan paling tinggi frekuensi terkena dampak positif atau negatif, dipandang sebagai isu yang strategis untuk dikaji.

4.3.2 Kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)

  Dalam pelaksanaan program pembangunan di lapangan biasanya tidak semudah seperti apa yang tertuang dalam konsep perencanaan, berbagai kendala maupun dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan program memungkin terjadi gangguan-gangguan baik secara fisik/lingkungan maupu dampak sosial.

  Dalam upaya meminimalisasi dampak yang mungkin terjadi, maka perlu dikaji mengenai dampak lingkungan (AMDAL), di bawah ini akan diuraikan mengenai dampak lingkungan terhadap sub sektor-sub sektor infrastruktur yang menjadi program dalam penyusunan RPI2-JM Bidang PU/Cipta Karya, sebagai berikut:

1. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Sub Sektor Air Minum

  Penyajian mengenai Informasi Lingkungan (PIL) dalam proyek pengembangan air minum sangat penting adanya, hal ini untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya dampak-dampak baik secara fisik maupun sosial. Dalam hal program pengembangan air minum di Kota Bukittinggi yang akan direncanakan pembangunan reservoir serta jaringan perpipaan air minum diindikasikan akan terjadi beberapa dampak, diantaranya; a.

   Dampak Sosial Masyarakat

  Pembebasan lahan seluas ± 2 ha untuk pembangunan embung, diindikasikan akan terjadi keresahan sosial masyarakat pemilik lahan pada sekitar 15

  • – 20 KK terkait pembebasan lahan (ganti-rugi). Dampak tersebut dinilai tidak begitu penting dan bersifat sementara selama tahap pra konstruksi dan penyebarannya bersifat lokal. Upaya mitigasi dampak dapat dilakukan dengan memberikan informasi yang jelas, dalam musyawarah melibatkan aspirasi masyarakat dan tokoh masyarakat yang terkena dampak, pemberian kompensasi sesuai hasil kesepakatan dan musyawarah. Hal ini akan menjadi bagian dari syarat-syarat teknis dalam pelaksanaan proyek.

b. Gangguan Terhadap Utilitas Kota

  Kegiatan pekerjaan galian baik untuk pemasangan perpipaan yang tersebat di berbagai lokasi diduga akan menimbulkan gangguan terhadap trotoar, drainase, jembatan, halaman rumah milik masyarakat dan badan jalan. Dampak yang terjadi dinilai cukup penting, karena dapat mengganggu; aliran air pada drainase, kanyamanan pejalan kaki pada trotoar, masuk halaman rumah dan mengganggu lalu lintas pada badan jalan. Gangguan diperkirakan beberapa bulan selama tahap konstruksi dan penyebaran dampak dapat meluas di luar tapak kegiatan proyek. Upaya mitigasi dampak berupa : 1.

  Penataan utilitas kota dilakukan pada tahap perencanaan teknis Final Engineering Design (FED) 2. Identifikasi rencana pengembangan jaringan jalan dan drainase 3. Identifikasi rencana pengembangan utilitas lain (listrik dan telepon) 4. Upaya mitigasi di atas dimaksudkan agar dalam dokumen kontrak pekerjaan konstrusksi (spesifikasi teknis, gambar-gambar kontrak pelaksanaan proyek, syarat-syarat kontrak), masalah-masalah tersebut dan biaya penanggulangannya sudah dapat diperhitungkan dalam pelaksanaan proyek. Dengan demikian dapat dihindarkan pekerjaan antar sektor yang tumpang tindih pada kawasan/ruas jalan yang sama, akibat tidak ada keterpaduan dan koordinasi.

c. Penurunan Estetika Lingkungan

  Kegiatan pekerjaan galian tanah untuk pembuatan embung diduga akan menimbulkan dampak penurunan estetika lingkungan berupa ceceran material proyek, tumpukan bongkahan tanah yang tidak terpakai dll. Dampak yang terjadi dinilai kurang penting, diperkirakan terjadi beberapa bulan selama tahap konstruksi dan penyebaran dampak dapat meluas di luar tapak oleh material yang terbawa oleh alat berat. Upaya mitigasi dampak antara lain pembuatan pagar pembatas daerah kerja proyek, material yang tidak terpakai harus dibersihkan dari lokasi proyek dan menghindarkan penumpukan tanah di lokasi proyek, hal ini akan menjadi bagian dari syarat-syarat teknis pelaksanaan proyek.

2. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Sub Sektor Drainase

  Penyajian mengenai Informasi Lingkungan (PIL) dalam proyek pengembangan drainase sangat penting, hal ini untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya dampak-dampak baik secara fisik maupun sosial. Dalam hal program pengembangan drainase di Kota Bukittinggi yang direncanakan pembangunan drainase diindikasikan akan terjadi beberapa dampak, diantaranya;

  a. Dampak Sosial Masyarakat

  Pembangunan drainase Kota Lubuk Basung dan ibukota Kecamatan, diindikasikan akan terjadi keresahan sosial terkait dengan gangguan lingkungan permukiman penduduk dengan pekerjaan galian tanah, terjadi tumpukan tanah. Dampak tersebut dinilai tidak begitu penting karena permukiman yang dilalui jalur drainase dengan kepadatan penduduk rendah dan bersifat sementara selama tahap konstruksi dan penyebarannya bersifat lokal. Upaya mitigasi dampak dapat dilakukan dengan membersihkan material yang tidak terpakai, menghindari terjadinya penumpukan tanah. Hal ini akan menjadi bagian dari syarat-syarat teknis dalam pelaksanaan proyek.

  b. Penurunan Estetika Lingkungan

  Kegiatan pekerjaan galian tanah untuk pembuatan drainase diduga akan menimbulkan dampak penurunan estetika lingkungan berupa ceceran material proyek, tumpukan bongkahan tanah yang tidak terpakai dll. Dampak yang terjadi dinilai kurang penting, diperkirakan terjadi beberapa bulan selama tahap konstruksi dan penyebaran dampak tersebar di beberapa lokasi. Upaya mitigasi dampak antara lain pembuatan pagar pembatas daerah kerja proyek, material yang tidak terpakai harus dibersihkan dari lokasi proyek dan menghindarkan penumpukan tanah di lokasi proyek, hal ini akan menjadi bagian dari syarat-syarat teknis pelaksanaan proyek.

c. Gangguan Terhadap Utilitas Kota

  Kegiatan pekerjaan galian tanah untuk pembangunan drainase tersebar di berbagai lokasi diduga akan menimbulkan gangguan terhadap halaman rumah milik masyarakat dan badan jalan. Dampak yang terjadi dinilai kurang penting karena jalur yang dilalui termasuk kawasan kepadatan penduduk rendah dan banyak lahan kosong. Gangguan diperkirakan beberapa bulan selama tahap konstruksi dan penyebaran dampak dapat meluas di luar tapak kegiatan proyek. Upaya mitigasi dampak berupa; Upaya mitigasi dampak antara lain pembuatan pagar pembatas daerah kerja proyek, material yang tidak terpakai harus dibersihkan dari lokasi proyek dan menghindarkan penumpukan tanah di lokasi proyek, hal ini akan menjadi bagian dari syarat-syarat teknis pelaksanaan proyek.

3. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Sub Sektor Air limbah

  Penyajian mengenai Informasi Lingkungan (PIL) dalam proyek pengelolaan air limbah sangat penting, hal ini untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya dampak-dampak baik secara fisik/lingkungan maupun sosial. Dalam program pengelolaan air limbah di Kota Bukittinggi direncanakan pembangunan prasarana dan sarana air limbah, dalam pengembangan diindikasikan akan terjadi beberapa dampak, diantaranya;

a. Konflik Sosial Masyarakat

  Kegiatan pembangunan MCK umum akan membutuhkan lahan untuk penempatan bangunan, serta kedekatan lokasi septik tank dengan bangunan rumah akan menimbulkan bau, hal ini yang diindikasikan akan menimbulkan dampak. Rencana pembangunan yang akan dikembangkan di Kota Bukittinggi adalah pembangunan, perkiraan konflik yang akan terjadi masalah lahan yang akan digunakan untuk bangunan MCK, kedekatan lokasi MCK dengan bangunan rumah. Upaya mitigasi untuk mencegah timbulnya konflik antara lain; memberikan informasi dan penyuluhan kepada masyarakat akan pentingnya kesehatan dan kebersihan lingkungan, menyertakan tokoh masyarakat dalam penempatan lokasi bangunan, upaya desain bangun untuk pembuangan gas dari septik tank tidak diarahkan ke arah bangunan/disesuaikan dengan arah angin.

  b. Perubahan Pola Kebiasaan Masyarakat

  Pengoperasian MCK umum diduga akan merubah pola kebiasaan masyarakat bagi yang terbiasa buang hajat di sungai, pantai atau ruang terbuka lainnya. Upaya untuk mengantisipasi kebiasaan-kebiasaan lama yang dilakukan masyarakat dengan pola baru adalah memberikan penyuluhan/penerangan mengenai cara memanfaatkan/ menggunakan sarana MCK bagi yang tidak terbiasa, memberikan penyuluhan tentang kebersihan dan kesehatan, penyediaan kebutuhan air minum yang memadai.

  c. Penurunan Kualitas Air Tanah

  Kegiatan pembangunan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT), jika tidak bekerja seperti yang tidak diharapkan secara teknis; diduga berdampak pada penurunan kualitas air tanah. Untuk itu disarankan agar dalam tahap perencanaan teknis (DED), desain IPLT dirancang sedemikian rupa dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitarnya dan lokasi penempatan IPLT berada jauh dari lokasi badan air. Teknis operasional dan pra desain IPLT termasuk juga target penurunan BOD, COD dan bakteri colli yang terdapat dalam lumpur tinja.

  Berdasarkan penyajian informasi lingkungan, disimpulkan bahwa kegiatan proyek sanitasi (limbah manusia) tidak perlu dilanjutkan dengan proses Analisa Dampak Lingkangan (ANDAL) dalam melengkapi PJM ini.

4. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Sub Sektor Persampahan

  Penyajian mengenai informasi lingkungan (PIL) dalam proyek pengelolaan persampahan mengindikasikan bahwa dampak lingkungan yang terbawa serta oleh kegiatan-kegiatan proyek pengelolaan persampahan adalah sebagai berikut : a.

   Keresahan Sosial Masyarakat

  Direncanakan pembebasan lahan seluas ± 10 Ha untuk pembangunan 2 unit TPA dan 200 m² untuk 16 unit TPS dengan kapasitas tiap unit TPS 12 m³ sampah. Kegiatan ini diduga dapat menimbulkan keresahan sosial masyarakat sehubungan dengan penggantian (ganti rugi) tanah serta penempatan lokasi TPS dengan bangunan rumah penduduk. Dampak ini diperkirakan terjadi pada tahap konstruksi dan penyebaran bersifat lokal, jumlah KK yang terkena dampak sekitar ± 45 KK. Upaya mitigasi yang dilakukan adalah; memberikan informasi secara jelas kepada masyarakat mengenai rencana proyek, melakukan pendekatan dan musyawarah dengan masyarakat dan para tokoh dalam pembebasan tanah.

b. Penurunan Estetika Lingkungan

  Kegiatan pengelolaan sampah di TPS, TPA serta pengangkutan sampah dari TPS- TPS ke lokasi TPA diduga akan menimbulkan dampak penurunan estetika lingkungan berupa ceceran sampah di lokasi TPS dan TPA. Dampak yang terjadi dinilai cukup penting karena menimbulkan bau di sekitar lokasi TPS, jalur pengangkutan dan di lingkungan TPA, penyebaran dampak bersifat lokal. Upaya mitigasi dampak antara lain pengangkutan sampah dengan cepat dan teratur, menghindari terjadi tumpukan sampah, dilakukan harmonisasi waktu dalam pengumpulan dan pengangkutan sampah dari TPS, Penambahan sarana TPS serta penggunaan jaring-jaring (net) pada truk pengangkut sampah.

c. Pencemaran Air Tanah (Runoff) dan Air Tanah di Lokasi TPA

  Kegiatan pengelolaan sampah di TPA diduga akan menimbulkan dampak pencemaran air larian yang mengalir di atas permukaan tumpukan sampah biasanya mengandung bakteri colli dan BOD yang relative tinggi dan dampak pencemaran air sampah (leachate) dapat meningkatkan kandungan unsure-unsur kimia pada lahan dan air tanah yang ada di sekitarnya. Dampak yang terjadi cukup penting karena menimbulkan pencemaran tanah, diperkirakan terjadi selama masa TPA beroperasi. Upaya mitigasi dampak yang dilakukan antara lain; pengelolaan secara controlled landfill, perlu dibuatkan saluran drainase di sekeliling TPA dan saluran/kolam pengendali leachate, pembuatan beberapa sumur pengamat untuk memantau kualitas air sampah secara berkala.

  d. Penurunan Kualitas Udara

  Kegiatan pengelolaan sampah di TPA diduga akan menimbulkan dampak terhadap penurunan kualitas udara. Gangguan tersebut diakibatkan oleh sebaran asap dari proses pembakaran sampah kering, gangguan lainnya berupa peningkatan penyebaran gas metan (CH4), karbon dioksida (CO2), H2S dan N2. Gas-gas tersebut terjadi akibat dekomposisi sampah secara alamiah. Gas metan dan CO2, mempunyai sifat tidak berwarna dan tidak berbau. Gas metan diidentifikasi mudah terbakar, sehingga jika tidak dikendalikan akan terjadi kebakaran sampah yang diikuti oleh asap tebal, hal ini akan membahayakan lingkungan di sekitarnya.

  e. Gangguan Kesehatan Masyarakat

  Kegiatan pengambilan sampah dari TPS, pengangkutan sampah dari TPS menuju ke TPA dan pengelolaan sampah di TPA, diduga akan menimbulkan dampak terhadap kesehatan manusia khususnya bagi petugas pengelola sampah. Petugas dan pemulung sampah adalah yang sangat rentan dengan penyakit yang ditimbulkan sampah, seperti; penyakit kulit, pernapasan dan diarhea. Upaya mitigasi dampak yang dapat dilakukan khususnya petugas O & P adalah memperhatikan prosedur kesehatan dan keselamatan kerja (K-3), imunisasi dan penyuluhan kesehatan kepada petugas O & P serta pemulung.

  Pembangunan Bidang Cipta Karya bertujuan untuk peningkatan sarana dan prasarana permukiman yang mencukupi dan berkualitas. Dengan kondisi tersebut diharapkan tingkat kesejahteraan dan kesehatan masyarakat akan semakin baik. Manfaat tersebut juga dinikmati oleh masyarakat Kota Bukittinggi melalui kegiatan pembangunan Bidang Cipta Karya baik yang dibiayai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi maupun dengan anggaran Pemerintah Kota Bukittinggi sendiri. Pembangunan Bidang Cipta Karya diharapkan tetap berkelanjutan dalam rangka pemenuhan terhadap kebutuhan dan peningkatan sarana dan prasarana permukiman. Beberapa dampak kegiatan berbagai Sektor Bidang Cipta Karya yang diperoleh oleh masyarakat sebagai berikut : 1 .

  1 .

  Pengembangan Permukiman a a ) ) Penurunan proporsi rumah tangga kumuh; b )

  b )

  Penyebab dan dampak bencana dapat diminimalisir; c )

  c ) Infrastruktur Permukiman yang sudah dibangun dapat dimanfaatkan secara optimal.

  2 2 . .

  Penataan Bangunan dan Lingkungan a )

  a )

  Terfasilitasinya penyelenggaraan penataan bangunan dan lingkungan b )

  b )

  Mulai timbulnya kesadaran dan peran serta masyarakat dalam penataan lingkungan; c c ) ) Terfasilitasinya revitalisasi kawasan dan bangunan bersejarah/tradisional, ruang terbuka hijau, serta penanggulangan bencana alam.

  3 .

  3 .

  Penyediaan Air Minum a )

  a )

  Pemenuhan kebutuhan air baku untuk air minum masyarakat; b b ) ) Meningkatnya peran masyarkat dan Badan Usaha dalam penyediaan dan pengelolaan air minum; c )

  c )

  Terlaksananya pengembangan SPAM yang sesuai dengan kaidah teknis dan Penerapan Inovasi Teknologi. 4 .

  4 .

  Penyehatan Lingkungan dan Permukiman a )

  a )

  Terfasilitasinya pengembangan prasarana sanitasi, air limbah, drainase dan persampahan; b b ) )

  Meningkatknya cakupan akses sanitasi yang layak dan berkelanjutan; c )

  c )

  Meningkatkan prilaku hidup bersih dan sehat; d )

  d )

  Mulai timbulnya kesadaran dan peran serta masyarakat di bidang air limbah, drainase dan persampahan.

  4.3.3 Kegempaan

  Daerah Bukittinggi berdasarkan peta resiko gempa Indonesia yang dibuat oleh Direktorat Penyelidikan Masalah Air, Departemen Pekerjaan Umum (1980) termasuk kedalam koefesien zona (z) 1,56, percepatan gempa disain di batuan dasar untuk periode ulang 100 tahun wilayah Kota Bukittinggi adalah 139 gal atau koefesien gempa (k) sebesar 0,14. Gempa yang terjadi pada 13

  • – 18 November 1981, Kota Bukittinggi termasuk kedalam zona gempa dengan kekuatan intensitas III
  • – IV skala MMI. Menurut Masyhur Irsyam dan M. Asrurifak (2010), bahwa kejadian gempa bumi Padang tanggal 30 September 2009 berpengaruh terhadap Kota Bukittinggi termasuk kedalam zona 5 dengan percepatan gempa 0,25 g.

  Gempa tektonik yang terjadi tersebut di atas akan mempengaruhi terhadap aktivitas gunung api G. Marapi, seperti akan terjadi meningkatnya frekuensi getaran-getaran. Kota Bukittinggi dilihat dari pole struktur geologi adalah wilayah kota yang terdekat terhadap zona Sesar Sumatera (Semangko) sehingga bila terjadi gempa tektonik akan sangat mempengaruhi terhadap keberadaan kota itu terutama Permukiman yang sangat berdekatan dengan Ngarai Sianok.

  4.3.4 Zonasi Keleluasaan Pengorganisasian Ruang Lahan

  Wilayah Kota Bukittinggi dapat dibagi menjadi 4 (empat) zona keleluasaan penggunaan lahan. Analisis keleluasaan pengorganisasian ruang dilakukan dengan mempertimbangkan variabel: Sumberdaya geologi yang terdiri atas:

  a) Kemiringan lereng

  b) Karakteristik tanah dan batuan

  c) Produktifitas akuifer

  Bahaya geologi yang terdiri atas:

  a) Potensi gerakan tanah

  b) Kerawanan bencana gempa bumi

  c) Penyisih non geologi yang terdiri atas:

  d) Kawasan hutan dan kerawanan banjir

  Berdasarkan overlay peta berdasarkan variabel tersebut maka Penyelidikan Geologi Lingkungan Perkotaan Kota Bukittinggi dan Sekitarnya yang dilakukan pada tahun 2011 oleh Badan Geologi Pusat Sumber Daya air Tanah dan Geologi Lingkungan menghasilkan kategori: a) Tinggi (leluasa)

  b) Menengah (kurang leluasa)

  c) Kategori rendah (tidak leluasa)

  d) tidak layak

  1. Zonasi Keleluasaan Tinggi

  Zona ini mudah dalam pengorganisasian ruang dan memiliki kendala kecil untuk, pembangunan serta tidak memerlukan rekayasa teknis yang berat untuk pengembangan wilayah. Karakteristik lingkungan fisik pada zonasi ini, diantaranya;

   Bentang alam bergelombang hingga datar sehingga untuk pengembangan tidak memerlukan banyak pengupasan dan pengurugan,  Sumberdaya air terutama air tanah baik dalam kondisi tertekan maupun tak tertekan banyak dan mudah didapat dengan mutu cukup baik untuk air bersih yang didapat melalui sumur gall dan pemboran ( terkecuali untuk wilayah geologi lingkungan Kec. Mandiangin Koto Selayan dibagian barat) keterdapatan sumber air tanah potensinya kecil).

   Daya dukung tanah untuk tumpuan pondasi bangunan cukup baik untuk bangunan yang tidak berlantai jenis pondasi telapak dapat digunakan, tetapi untuk bangunan berat bertingkat pondasi sumuran, pondasi tiang (pancang atau Strauss) dapat dipakai dengan tertumpu pada tanah keras (batuan dasar).

   Faktor kendala yang ada relatif kecil, terkecuali untuk wilayah geologi lingkungan yang berada di dataran lembah di sekitar tepian Sungai Sianok dan anak cabangnya, berpotensi terkena banjir dan terkena gerakan tanah dari bagian atasnya. Intensitas kegempaan dalam skala sedang VII - VIII MMI dengan pecepatan gempa berkisar antara mencapai 0,25 g.

  2. Zonasi Keleluasaan Menengah

  Zona ini agak mudah dalam pengorganisasian ruang lahan dan pilihan jenis pengembangan pembangunan lahan yang memiliki kendala dan memerlukan penanganan untuk menunjang pengembangan wilayah, meliputi wilayah geologi lingkungan di Kec. Mandiangin Koto Selayan.

  Karakteristik lingkungan fisik pada zonasi ini: bentang alam bergelombang hingga datar yang disusun oleh tanah residu lapukan dari tufa berbatuapung Maninjau yang mempunyai daya dukung sedang.

  Faktor kendala di zonasi ini terutama potensi air tanah yang kecil, terutama di bagian baratlaut Kota Bukittinggi sekitar Jorong Puhun pintu kabun, Jorong Puhun kuriman Kec. Mandiangin Koto Selayan, kedudukan muka air tanah bebas (tak tertekan) dalam dengan fluktuasi yang tinggi. Air tanah dalam (tertekan hingga semi tertekan) akuifernya sangat dalam lebih dari dalamnya Ngarai Sianok lebih dari 100 m di bawah muka tanah setempat, dengan debit sumur kurang dari 5 l/dt. Pengelolaan pembangunan fisik memerlukan sumberdaya air bersih, seperti pemboran air tanah dalam. Intensitas kegempaan dalam skala sedang VII - VIII MMI dengan pecepatan gempa berkisar antara mencapai 0,25 g.

  3. Zonasi Keleluasaan Rendah

  Zona ini tidak mudah dalam pengorganisasian ruang lahan untuk pengembangan pembangunan umumnya memiliki kendala tinggi untuk pembangunan dan memerlukan rekayasa teknis yang lebih banyak, seperti terdapatnya tonjolan topografi berupa perbukitan landai. Karakteristik lingkungan fisik pada zonasi ini, diantaranya:  Bukit landai di wilayah bentangalam bergelombang hingga dataran.  Bukit landai ini berlereng landai hingga terjal, disusun oleh tanah dan batuan yang umumnya mempunyai daya dukung sedang hingga tinggi dari tufa berbatu apung Maninjau.

  Faktor kendala di zonasi ini dalam kategori sedang seperti sering terjadi erosi permukaan pada daerah bukaan yang berkembang menjadi gerakan tanah. Kesulitan untuk mendapatkan air tanah, setempat dijumpai air tanah dengan muka air tanah yang cukup dalam mencapai 100 m atau lebih. Pengelolaan lahan untuk pembangunan fisik memerlukan pemotongan lereng dan penimbunan dengan memperhatikan kestabilan lereng seta tingkat kewaspadaan terhadap terjadinya bencana beraspek geologi lainnya gempa bumi.

  4. Zonasi Tidak Layak

  Zona tidak layak ini merupakan zona yang tidak dapat dikembangkan untuk berbagai kegiatan pembangunan, yaitu berada pada satuan geologi lingkungan dengan bentang alam gawir Ngarai Sianok. Zona ini berada dalam pengaruh gempa bumi tektonik yang merupakan bagian dari zona Sesar Sumatera (Semangko), yang sensitif terjadinya gerakan tanah. Kawasan yang berada di bagian tepian gawir Ngarai Sianok hingga mencapai

  100 m atau lebih dari mulut gawir merupakan zona tidak layak yang perlu berfungsi sebagai buffer. Hasil analisis dari tingkat keleluasaan pemanfaatan lahan berdasarkan aspek geologi lingkungan dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.1 Tingkat Keleluasaan Pemanfaatan Ruang Berdasarkan Aspek Geologi Lingkungan

  Tingkat Keleluasaan Karakteristik Lingkungan Berdasarkan Aspek Geologi No Pemanfaatan Ruang Lingkungan

  

1 Tinggi (leluasa) Pengembangan lahan mudah dilakukan, tanpa memerlukan rekayasa

teknik: bentang alam dataran sampai bergelombang; daya dukung tanah sedang; ketersediaan air tanah sedang dengan mutu baik untk air bersih; erosi permukaan pada daerah permukaan miring; potensi gerakan tanah rendah.

  

2 Menengah (kurang Pengembangan lahan agak mudah dilakukan, memerlukan rekayasa

leluasa) teknik: bentang alam dataranbergelombang; daya dukung tanah

sedang; ketersediaan air tanah rendah dengan fluktuasi yang tinggi pada musim kemarau panjang; erosi permukaan pada daerah permukaan miring; potensi gerakan tanah rendah.

  4 Tidak layak Pengembangan lahan agak sulit dilakukan, memerlukan rekayasa teknik: bentang alam gawir berlereng terjal hingga tegak; zona sensitif terhadap gempa bumi tektonik yang berpotensi gerakan tanah dan sebagai jalur yang dipengaruhi sesar Sumatra (Semangko)

  Sumber: Geologi Lingkungan Perkotaan Kota Bukittinggi dan Sekitarnya (2015)

  Dari analisis kesesuaian lahan untuk pengembangan berdasarkan kriteria geologi lingkungan maka terlihat bahwa sebagian kawasan Puhun Pintu Kabun dan Bukit Apit Puhun merupakan kawasan yang leluasa untuk dimanfaatkan sebagai kawasan terbangun meskipun terdapat juga kawasan yang kurang leluasa dan tidak layak dibangun. Kawasan yang kurang leluasa untuk pengembangan kegiatan budidaya meskipun masih diperbolehkan terdapat pada kawasan dengan topogtrafi bergelombang dan kerentanan gerakan tanah menegah. Sedangkan pada kawasan pinggir ngarai yang berlereng terjal hingga tegak merupakan kawasan yang tidak layak untuk dibangun.

  

4.3.5 Kota Bukittinggi yang Sesuai Peruntukan Lahan Permukimannya Untuk

Pendukung Pembangunan Berkelanjutan

  Kriteria umum dan kaidah umum untuk peruntukan kawasan permukiman menurut Modul Terapan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.41/PRT/M/2007 yaitu: 1.