WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN KONSINYASI MINUMAN BERALKOHOL GOLONGAN C DI AJ SHOP SANUR.

(1)

SKRIPSI

WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN

PERJANJIAN KONSINYASI MINUMAN

BERARKOHOL GOLONGAN C DI AJ SHOP SANUR

I KOMANG RIANDIKA FEBI PRANATHA

NIM. 1116051050

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

SKRIPSI

WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN

PERJANJIAN KONSINYASI MINUMAN

BERARKOHOL GOLONGAN C DI AJ SHOP SANUR

I KOMANG RIANDIKA FEBI PRANATHA

NIM. 1116051050

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

iii

WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN

PERJANJIAN KONSINYASI MINUMAN

BERARKOHOL GOLONGAN C DI AJ SHOP SANUR

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

I KOMANG RIANDIKA FEBI PRANATHA NIM. 1116051050

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(4)

iv

Lembar Persetujuan Pembimbing

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 6 APRIL 2016

PEMBIMBING I

IDA BAGUS PUTRA ATMADJA, SH., MH NIP. 19541231 198303 1 018

PEMBIMBING II

A.A. SAGUNG WIRATNI DARMADI, SH., MH NIP. 195407201 98303 2 001


(5)

v

SKRIPSI TELAH DIUJI PADA TANGGAL 27 APRIL 2016

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor : 0660/UN14.4E/IV/PP/2016 Tanggal 18 APRIL 2016

Ketua : Ida Bagus Putra Atmadja, SH.,MH ( ) 19541231 198303 1 018

Sekretaris : A.A.Sagung Wiratni Darmadi, SH.,MH ( ) 19540720 198303 2 001

Anggota : Dr. I Made Sarjana, SH.,MH ( ) 19611231 198601 1 001

I Nyoman Darmadha. SH., MH ( ) 19541231 198103 1 033

I Made Dedy Priyanto, SH., M.Kn ( ) 19840411 200812 1 003


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban terakhir sebagai mahasiswa guna melengkapi persyaratan dalam menyelesaikan studi Program Sarjana (S1) pada Fakultas Hukum Universias Udayana. Adapun judul skripsi ini adalah

“WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN

KONSINYASI MINUMAN BERARKOHOL GOLONGAN C DI AJ SHOP

SANUR”.

Penulis menyadari bahwa apa yang tersusun dalam skripsi ini jauh dari apa yang diharapkan secara ilmiah. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Maka dari itu kritik, saran, bimbingan serta petunjuk-petunjuk dari semua pihak sangat diharapkan guna kelengkapan dan penyempurnaan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan yang sangat berbahagia ini dengan segala hormat penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:


(7)

vii

1. Bapak Prof. Dr. I. Gusti Ngurah Wairocana, S.H.,M.H, Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiartha, S.H.,M.H, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, S.H.,M.H, Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, S.H.,M.H, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak Anak Agung Gede Oka Parwata, S.H.,MSi, Ketua Program Non Reguler Fakultas Hukum Universitas Udayana.

6. Bapak I Made Budi Arsika, SH,. LLM., Pembimbing Akademis yang telah membimbing dari awal kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana

7. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, S.H.,M.H. Ketua bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana,

8. Bapak Ida Bagus Putra Atmadja, SH., MH. Sebagai pembimbing I yang dengan penuh perhatian dan berkenan meluangkan waktu serta tenaganya dalam memberikan bimbingan hingga terselesainya skripsi ini

9. Ibu Anak Agung Sagung Wiratni Darmadi, S.H.,M.H, Dosen Pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan berkenan meluangkan waktu serta tenaganya dalam memberikan bimbingan hingga terselesainya skripsi ini.


(8)

viii

10.Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membimbing dan mendidik penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

11.Bapak Ida Bagus Wedha Kusumajaya, S.H., dan Bapak I Gusti Ngurah Darmayuda Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu selama masa perkuliahan.

12.Bapak dan Ibu Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah cukup banyak membantu dalam pengurusan proses administrasi.

13.Bapak dan Ibu Pegawai Perpustakaan Universitas Udayana dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam memperoleh literature yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.

14.Kepada seluruh keluarga besar Fakultas Hukum Universitas Udayana Program Non Reguler.

15.Untuk orang tua penulis yang tiada hentinya memberikan dukungan, doa dan kasih sayang kepada penulis sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini.

16.Untuk seluruh sekuruh keluarga yang telah memberikan semangat dalam menjalankan perkuliahan dari awal sampai dengan terselesainya tugas skripsi ini.

17.Untuk sahabat tercinta Wisnu Wisesa, Gusten Keniten, Agung Atut, Agung Santo, Deva Reditya, Arya Pramanta, Ade Friska, Richard


(9)

ix

Draco, Mathias Hotma, Koming Anantha, Niko Cahyadi, Bennydiktus, Adis Sutha, Gung wah Anyo, Gung Darma, Surya Radika, seluruh sahabat DKB, wawewawe dan Leak Barak yang selalu memberikan dorongan dan semangat dalam membuat skripsi ini.

18.Untuk teman – teman Fakultas Hukum angkatan 2011 pada khususnya dan seluruh civitas akademis yang telah banyak memberikan dorongan mental dan semangat dalam membuat skripsi.

Akhir kata penulis harapkan skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak pada umumnya dan bagi perkembangan ilmu hukum pada khususnya.

Denpasar, 29 Maret 2016


(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN COVER ... ii

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... iii

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI………… .. v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... x

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... xiii

ABSTRAK ... xiv

ABSTRACT ... xv

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 6

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 7

1.5 Tujuan Penelitian ... 8

1.5.1 Tujuan Umum ... 8

1.5.2 TujuanKhusus ... 8

1.6 Manfaat Penelitian ... 9

1.6.1 Manfaat Teoritis ... 9

1.6.2 Manfaat Praktis ... 9

1.7 Landasan Teoritis ... 9


(11)

xi

1.8.1 Jenis Penelitian ... 15

1.8.2 Sifat Penelitian ... 15

1.8.3 Data dan Sumber Data ... 16

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data ... 17

1.8.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 17

BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI, DAN PERJANJIAN KONSINYASI 2.1 Wanprestasi ... 19

2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Wanprestasi ... 19

2.1.2 Bentuk – Bentuk Wanprestasi ... 23

2.1.3 Pengaturan Wanprestasi Dalam KUHPerdata ... 25

2.2 Perjanjian konsinyasi ... 27

2.2.1 Pengertian Perjanjian ... 27

2.2.2 Pengertian Perjanjian Konsinyasi ... 38

2.2.3 Konsinyasi Sebagai Perjanjian Campuran ... 41

2.2.4 Pihak – Pihak Dalam Perjanjian Konsinyasi ... 42

BAB III. FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN KONSINYASI DI AJ SHOP SANUR 3.1 Pelaksanaan Perjanjian Konsinyasi Dalam Penjualan Minuman Beralkohol Golongan C di Aj Shop Sanur ... 43

3.2 Penyebab Terjadinya Wanprestasi dalam Perjanjian Konsinyasi di AJ Shop Sanur ... 46


(12)

xii

BAB IV. UPAYA PENYELESAIAN HUKUM PARA PIHAK

AKIBAT WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN

PERJANJIAN KONSINYASI DI AJ SHOP SANUR

4.1 Akibat Hukum dari Wanprestasi karena Kesalahan

Debitur ... 49 4.2 Penyelesaian Hukum Para Pihak Akibat Wanprestasi

dalam Pelaksanaan Perjanjian Konsinyasi di AJ Shop

Sanur ... 53

BAB V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 54 5.2 Saran ... 55 DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RESPONDEN

RINGKASAN SKRIPSI


(13)

xiii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, 29 Maret 2016 Yang menyatakan

( I Komang Riandika Febi Pranatha.) NIM. 1116051050


(14)

xiv

Abstrak

Perjanjian adalah suatu tindakan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri kepada satu orang atau lebih. Dengan demikian berarti perjanjian juga akan melahirkan hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan bagi mereka yang membuat perjanjian. Judul penelitian ini adalah Wanprestasi Dalam Perjanjian Konsinyasi Minuman Beralkohol Golongan C di AJ Shop Sanur. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor apa yang menyebabkan AJ Sop Sanur melakukan wanprestasi sehingga menyebabkan PT. Pancaniaga Bali Perkasa Merugi dan bagaimana upaya penyelesaian sengketa yang terjadi atas wanprestasi dalam perjanjian konsinyasi antara PT. Pancaniaga Bali Perkasa dengan AJ Shop Sanur. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian empiris dengan cara meneliti perjanjian konsinyasi yang dilakukan oleh PT. Pancaniaga Bali Perkasa dengan AJ Shop Sanur. Sehingga mendapat data yang menyatakan bahwa AJ shop Sanur melakukan wanprestasi atas perjanjian konsinyasi yang telah disepakati.


(15)

xv Abstract

Agreement is an act in which one or more persons bind themselves to one person or more . Thus meaning the agreement will also bring forth the rights and obligations in the field of property law for those who make the appointment. The title of this research is the Default In Consignment Agreement Alcoholic Beverage AJ Shop Class C in Sanur . The purpose of this study was to determine what caused AJ Sop Sanur in default , causing PT . Pancaniaga Bali Perkasa Loss and how efforts to resolve the dispute over the breach in the consignment agreement between PT . Pancaniaga Bali Perkasa with AJ Shop Sanur . The method used is the method of empirical research by examining the consignment agreement made by PT . Pancaniaga Bali Perkasa with AJ Shop Sanur . So it gets the data to claim that AJ shop Sanur do defaults on consignment agreement that has been agreed upon .


(16)

(17)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di eraglobalisasi saat ini, kebutuhan manusia dan pengusaha pada umumnya semakin meningkat, hingga menyebabkan pertumbuhan ekonomi semakin berkembang. Hal ini menyebabkan para pengusaha untuk mendorong timbulnya inovasi dalam suatu kerjasama diantara para pengusaha guna mendukung adanya suatu peningkatan perekonomian diantara para pengusaha tersebut. Akibat dari gejala tersebut menyebabkan munculnya banyak perjanjian kerjasama diantara para pengusaha yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan perputaran roda perekonomian para pengusaha yang semakin membaik dan juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Ada beberapa perjanjian yang di dalam praktek sehari-hari mempunyai sebutan nama tertentu, tetapi tidak diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan, setidak-tidaknya di Indonesia belum diberikan pengaturan secara khusus,1 beberapa contoh perjanjian tak bernama adalah perjanjian sewa beli, Franchise, Leasing, dan Konsinyasi. Masih banyak lagi perjanjian-perjanjian tak bernama yang dikenal dalam praktek perekonomian dan bisnis di Indonesia.

Salah satu perjanjian tak bernama yang popular di dunia kerjasama dan bisnis adalah perjanjian konsinyasi atau yang biasa disebut perjanjian bagi hasil atau bisa juga disebut titip-jual. Perjanjian kerjasama konsinyasi ini pada

1

J. Satrio .1995, Hukum Perikatan Perikatan Yang Lahir Dari PerjanjianBuku I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, ( selanjutnya di tulis J. Satrio 1 ), h. 148.


(18)

2

perkembangannya banyak diterapkan oleh para pelaku usaha baik skala kecil, menengah, dan perusahaan besar sekalipun. Kerjasama dengan sistem konsinyasi adalah kerjasama yang pelaksanaannya dengan cara salah satu pihak memiliki barang / produk yang di tempatkan di lokasi pihak lainnya, pihak yang ditempati berkewajiban mempromosikan dan menjual barang tersebut dengan berbagai macam cara, retail maupun grosir, dan pembayaran baru dilakukan jika barang sudah terjual oleh pemilik tempat dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan dengan dikurangi komisi dari hasil penjualan.2 Hubungan antara Supplier dan pemilik tempat didasarkan pada kesepakatan para pihak yang dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis atau kesepakatan lisan, dengan kata lain didasarkan pada dua unsur yang terkait, yaitu hukum dan kepercayaan.

Pada dasarnya hubungan tersebut adalah hubungan hukum, tetapi yang tampak dalam praktek sehari-hari adalah hubungan kepercayaan. Berdasarkan kepercayaan pemilik toko bahwa barang supplier akan laku di pasaran dan memberi keuntungan bagi pemilik toko dan juga sebaliknya bagi supplier yang memperoleh keuntungan.

Pada prinsispnya perjanjian kerjasama dengan sistem konsinyasi ini tidak diatur secara khusus dan mengenai bentuk dan isi perjanjian diserahkan kepada kesepakatan pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Ini sesuai dengan ketentuan mengenai perikatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), khususnya dalam Buku III KUHPerdata yang mempunyai sistem

2

http : // www.google.com/penjualan konsinyasi/forum positif dari dahlanforum.htm. tanggal 27 September 2010.


(19)

3

terbuka dan adanya asas kebebasan berkontrak. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata ditentukan bahwa Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan dalam pasal ini dikenal dengan istilah Pacta Sunt Servanda.

Kebebasan berkontrak mengandung pengertian bahwa para pihak bebas memperjanjikan apa saja asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, Ketertiban umum dan kesusilaan. Mengenai sebab dari suatu perjanjian haruslah halal, hal ini diatur dalam Pasal 1337 ditentukan bahwa Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Perjanjian konsinyasi ini mengikuti atau diatur dalam Pasal 1319 menentukan semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat di dalam bab ini dan bab yang lalu.

Ruang lingkup kajian hukum kontrak tak bernama atau innominaat adalah berbagai kontrak yang muncul dan berkembang dalam masyarakat. Hukum kontrak innominat bersifat khusus, sedangkan hukum kontrak atau hukum perdata merupakan hukum yang bersifat umum, artinya bahwa kontrak-kontrak innominaat berlaku terhadap peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Apabila dalam Undang-undang khusus tidak diatur maka kita mengacu pada peraturan yang bersifat umum, sebagaimana yang tercantum dalam buku III KUHPerdata.3

3

Salim H.S., 2003, Perkembangan Hukum Innominat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, ( selanjutnya ditulis Salim HS 1 ), h.5.


(20)

4

PT. Pancaniaga Bali Perkasa adalah salah satu dari sekian banyak perusahaan Distributor Minuman Berarkohol di Denpasar yang menggunakan sistem perjanjian konsinyasi dengan para suppliernya berdasarkan prinsip kepercayaan, dan perjanjian yang digunakan antara supplier dan PT. Pancaniaga Bali Perkasa adalah kesepakatan lisan dan Nota serah terima barang atau check list barang dari para pihak. Dalam prakteknya tidak jarang terjadi adanya suatu permasalahan yang diakibatkan karena seiring perjalanan pelaksanaan perjanjian kerjasama konsinyasi ada suatu keadaan atau situasi yang diluar dugaan para pihak dalam perjanjian tersebut sehingga menyebabkan tidak terlaksananya atau kurang terlaksana dengan penuh klausa-klausa dalam perjanjian kerjasama dengan sistem konsinyasi tersebut, seperti karena kelalaian pihak supplier yang telat mengirim barang atau dari distributor berkaitan dengan hilang atau rusaknya barang. Hal ini sebenarnya tidak menjadi masalah jika para pihak dapat mengerti dan menerima serta melakukan perubahan-perubahan dalam klausa perjanjian kerjasama konsinyasinya, tetapi yang menjadi permasalahan adalah karena sistem perjanjian yang digunakan tidak atau belum diatur secara khusus dalam suatu peraturan perundang-undangan dan bentuk perjanjiannya adalah perjanjian lisan sehingga para pihak kesulitan untuk mencari suatu solusi yang mempunyai kekuatan dan kepastian hukum bagi parapihak kaitannya dengan Pelaksanaannya.

Salah satu outlet yang menerapkan sistem perjanjian konsinyasi kepada suppliernya di denpasar adalah A.J Shop yang beralamat di Jalan Merta Sari no 106 sanur, Denpasar. Dapat diketahui disini bahwa perjanjian konsinyasi yang dilakukan oleh pihak supplier sebagai pemilik barang dan pihak A.J Shop sebagai


(21)

5

pihak yang menyediakan tempat untuk mendistribusikan dan tempat untuk menjual barang–barang yang diperjanjikan dengan sistem konsinyasi.

Hubungan antara supplier dan outlet ini didasarkan pada kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam perjanjian tertulis. Dimana supplier mempercayakan produknya dititipkan di A.J Shop, dan pihak A.J Shop mempercayakan produk dari supplier akan laku terjual di pasaran yang akan memberikan keuntungan bagi para pihak. Namun dalam prakteknya sering terjadi pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya, dengan demikian maka para pihak berada dalam keadaan wanprestasi.

Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.4 Wanprestasi yang terjadi atas perjanjian tersebut misalnya seperti; keterlambatan supplier mengirimkan barang yang akan dititipkan di Aj Shop, dan keterlambatan pihak Aj Shop melakukan pembayaran kepada supplier atas barang yang telah laku terjual. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakan antara perikatan yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang serta akibat hukum dari perikatan tersebut. Akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki berdasarkan perjanjian yang telah disepakati para pihak sebelumnya sedangkan, akibat hukum dari suatu perjanjian yang lahir dari undang-undang merupakan hubungan hukum para pihak yang ditentukan oleh undang-undang.

4

Salim HS, 2003, Hukum Kontrak: Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, ( selanjutnya di tulis Salim HS 2 ), h.98.


(22)

6

Namun dalam pelaksanaannya sering terjadi pelanggaran atau lalai melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang telah diperjanjikan. Menurut Suharnoko, apabila atas perjanjian yang disepakati terjadi pelanggaran, maka dapat diajukan gugatan wanprestasi, karena adanya hubungan kontraktual antara pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang menderita kerugian. Apabila tidak ada hubungan antara pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang menderitakerugian, maka dapat diajukan gugatan perbuatan melawan hukum. Berdasarkan uraian diatas, sangat menarik untuk di teliti lebih mendalam dalam suatu karya ilmiah yaitu pada pembuatan skripsi yang berjudul

WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN KONSINYASI

MINUMAN BERARKOHOL GOLONGAN C DI AJ SHOP SANUR

1.2 Rumusan Masalah

1. Faktor apakah yang menyebabkan terjadinya wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian konsinyasi di Aj Shop sanur?

2. Bagaimana Upaya Penyelesaian Hukum Para Pihak Akibat Wanprestasi dalam Pelaksanaan Perjanjian Konsinyasi di AJ Shop Sanur?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Untuk memperoleh pembahasan yang terarah sehingga tidak menyimpang dari pokok permasalahan yang di bahas, maka akan di batasi ruanglingkup permasalahannya sehingga pembahasan akan dapat di uraikan secara sistematis sebagai suatu karya ilmiah. Adapun ruang lingkup dari pembahasan prmasalahan ini adalah:


(23)

7

1. Terhadap masalah pertama akan dibahas tentang faktor penyebab terjadinya wanprestasi yang dalam hal ini dilakukan oleh pihak AJ Shop Sanur.

2. Terhadap masalah ke dua akan dibahas tentang upaya penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian konsinyasi minuman beralkohol di AJ shop Sanur.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan terhadap judul – judul penelitan yang serupa atau mempunyai kemiripan dengan topic yang ada dalam proposal skripsi ini adalah :

No Judul Penulis Rumusan Masalah

1 Pelaksanaan Perjanjian

Konsinyasi di Mirota Batik Kaliurang

Yogyakarta

Anwar Arjanto

Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2010

1. Bagaimana pelaksanaan perjanjian konsinyasi di mirota batik kaliurang yogyakarta? 2. Bagaimana pengaturan hak dan

kewajiban para pihak tentang risiko dan kelalaian, dalam kaitannya dengan bentuk perjanjian konsinyasi secara lisan di mirota batik kaliurang ?

2 Upaya Hukum

Parapihak Akibat

Ricky Nicolas. Siahaan

1. Bagaimanakah Upaya Hukum yang di Tempuh Para Pihak


(24)

8

Wanprestasi Dalam Pelaksanaan Perjanjian

Konsinyasi Di Distro Slackers

Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2012

Akibat Wanprestasi Dalam Pelaksanaan Perjanjian Konsinyasi di Distro Slackers?

1.5 Tujuan Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi tujuan penulisan adalah: 1.5.1 Tujuan Umum

1. Untuk melakukan Tri Dharma perguruan tinggi, khususnya pada Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar. 2. Untuk melatih diri dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah

secara tertulis.

3. Untuk perkembangan ilmu hukum

4. Untuk pembulat studi diri dalam bidang hukum 1.5.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui faktor apa yang menyebabkan Aj Shop Sanur melakukan wanprestasi sehingga PT. Pancaniaga Bali Perkasa merugi.

2. Untuk mengetahui upaya penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian konsinyasi minuman beralkohol di AJ Shop Sanur.


(25)

9

1.6 Manfatat Penelitian

1.6.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan akan berguna bagi kepentingan pengembangan ataupun penambahan wawasan kalangan akademisi sekaligus melengkapi khasanah dunia ilmu pengetahuan, shususnya ilmu pengetahuan hukum perikatan tentang konsinyasi 1.6.2 Manfaat Praktis

Dari hasil hasil penelitian ini akan bermanfaat sebagai sumbangan informasi dan pemahaman kepada masyarakat tentang perjanjian konsinyasi barang, selain itu penelitian ini dapat di jadikan sebagai salah satu kelengkapan syarat untuk meraih gelar sarjana di bidang hukum.

1.7 Landasan Teoritis

Lahirnya tanggung jawab hukum perdata berdasarkan wanprestasi diawali dengan adanya perjanjian yang melahirkan hak dan kewajiban. Perjanjian diawali dengan adanya janji. Apabila dalam hubungan hukum berdasarkan perjanjian tersebut, pihak yang melanggar kewajiban tidak melaksanakan atau melanggar kewajiban yang di bebankan kepadanya maka ia dapat dinyatakan lalai (wanprestasi) dan atas dasar itu ia dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum berdasarkan wanprestasi.

Tanggung jawab hukum dengan dasar wanprestasi didasari adanya hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual timbul karena perjanjian atau karena undang-undang. Aturan mengenai hukum perjanjian di Indonesia diatur dalam


(26)

10

KUHPerdata buku ke tiga tentang perikatan. Van Dunne mengatakan perjanjian

adalah “suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata

sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”5

H.salim H.S et all, mengartikan

kontrak atau perjanjian adalah “Hubungan hukum antara subyek hukum yang satu

dengan subyek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subyek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subyek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah

disepakatinya.”6

Berdasarkan pemahaman diatas maka hukum perjanjian dapat diartikan sebagai hukum terhadap janji-janji (The law of promises). Parapihak melakukan janji-janji adalah bebas dan apayang mereka lakukan tidak ada pihak lain yang memaksa sebagaimana dijamin dalam asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Janji-janji yang di buat itu kemudian mengikat mereka dan menimbulkan hak dan kewajiban diantara mereka.

Pengertian perjanjian sebagaimana tercantum dalam pasal 1313

KUHPerdata adalah “Sesuatu perbuatan dengan nama satu atau dua orang atau

lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Menurut KUHPerdata perjanjian mempunyai kekuatan hokum mengikat apabila telah memenuhi empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam pasal 1330 KUHPerdata, yaitu:

1. Sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

5

Salim HS, H.Abdullah, dan Wiwiek Wahyuningsih, 2007, Perancangan Kontrak dan

Memorandum Of understanding, PT. Sinar Grafika, Jakarta, h. 8.

6Ibid . h. 9.


(27)

11

3. Sesuatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal

Pada saat perjanjian itu sah maka perikatan itu mengikat parapihak yang membuatnya. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata : perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi parapihak yang membuatnya. Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata : Suatu perjanjian tidak dapat di tarik kembali kecuali berdasarkan kesepakatan para pihak atau karena alasan yang dinyatakan oleh undang-undang.

Apabila ada salah satu pihak yang tidak menghormati janji (kewajiban) berarti ada pihak yang kepentingannya dilanggar maka hukum memberikan perlindungan atas kepentingan para pihak yang dilanggar janjinya tersebut. Kepentingan yang di lindungi dalam hukum perjanjian adalah kepentingan ekonomi. Tanggung jawab ini lahir dari adanya pelanggaran terhadap sebuah perjanjian. Janji-janji dalam konsep hukum perikatan adalah prestasi. Rumusan prestasi dalam hukum perikatan Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan pasal 1234 KUHPerdata, yaitu berupa:

a. Memberikan sesuatu b. Berbuat sesuatu c. Tidak berbuat sesuatu

Ada banyak cara untuk meningkatkan volume penjualan dan pemasaran antara lain: dengan penjualan cicilan, konsinyasi, agen maupun cabang. Konsinyasi biasanya digunakan oleh perusahaan yang bergerak dibidang pakaian jadi / makanan yang dititipkan pada department store/supermarket atau dalam


(28)

12

rangka memperkenalkan produk baru. Barang yang dititipkan disebut barang konsinyasi (consignment out) oleh consignor dan disebut barang komisi(consignment-in) oleh consignee.Perjanjian Konsinyasi ini merupakan jenis kontrak innominaat, Hukum Kontrak Innominat adalah keseluruhan kaidah hukum yang mengkaji berbagai kontrak yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat dan kontrak ini belum dikenal pada saat KUH Perdata diundangkan.7

Konsinyasi sendiri mengandung pengertian suatu perjanjian dimana salah satu pihak yang memiliki barang menyerahkan sejumlah barang kepada pihak tertentu untuk dijualkan dengan harga dan syarat yang diaturdalam perjanjian. Pihak yang menyerahkan barang (pemilik) disebut Konsinyor / consignor/ pengamanat. Pihak yang menerima barang Konsinyasi disebut Konsinyi / Consigner / Komisioner. Bagi konsinyor barang yang dititipkan kepada konsinyi untuk dijualkan disebut barang konsinyasi (konsinyasi keluar /consigment out)

Terdapat 4 hal yang merupakan ciri dari transaksi Konsinyasi yaitu : 1) Barang Konsinyasi harus dilaporkansebagai persediaan oleh Konsinyor,

karena hak untuk barang masih berada pada Konsinyor.

2) Pengiriman barang Konsinyasi tidak menimbulkan pendapatan bagi Konsinyor dan sebaliknya.

3) Pihak Konsinyor bertanggungjawab terhadap semua biaya yang berhubungan dengan barang Konsinyasi kecuali ditentukan lain.

4) Komisioner dalam batas kemampuannya berkewajiban untuk menjaga keamanan dan keselamatan barang- barang komisi yang diterimanya.


(29)

13

Sedangkan alasan Komisioner menerima perjanjian Konsinyasi, antara lain:

1) Komisioner terhindar dari resiko kegagalan memasarkan barang tersebut. 2) Komisioner terhindar dari resiko rusaknya barang atau adanya fluktuasi

harga.

3) Kebutuhan akan modal kerja dapat dikurangi.

Dan alasan-alasan Konsinyor untuk mengadakan perjanjian Konsinyasi : 1) Konsinyasi merupakan cara untuk lebih memperluas pemasaran.

2) Resiko-resiko tertentu dapat dihindar kan misalnya komisioner bangkrut maka barang konsinyasi tidak ikut disita.

3) Harga eceran barang tersebut lebih dapat dikontrol.8

Menurut Sulaiman S Manggala karakteristik dari penjualan konsinyasi sebagai berikut :

1) Konsinyasi merupakan satu-satunya produsen atau distributor memperoleh daerah pemasaran yang lebih luas.

2) Konsinyor dapat memperoleh spesialis penjualan.

3) Harga jual eceran barang konsinyasi dapat dikendalikan oleh pihak konsinyor yang masih menjadi pemilik barang ini. 9

Pihak konsinyor menetapkan perjanjian mengenai penyerahan hak atas barang dan juga hasil penjualan barang-barang konsinyasi. Konsinyi bertanggung jawab terhadap barang-barang yang diserahkan kepadanya sampai barang-barang

8

www.google.com, doc/34305325/cessie-konsinyasi subrogasi. 27 September 2010. 9


(30)

14

tersebut terjual kepada pihak ketiga. Hak Konsinyi berhak memperoleh penggantian biaya dan imbalan penjualan dan berhak menawarkan garansi atas barang tersebut. Kewajiban Konsinyi harus melindungi barang konsinyasi, harus menjual barang konsinyasi, harus memisahkan secara fisik barang konsinyasi dengan barang dagangan lainnya, dan Mengirimkan laporan berkala mengenai kemajuan penjualan barang konsinyasi.

Pada bab II buku III KUH Perdata berjudul Perikatan yang lahir dari

kontrak atau perjanjian. Penggunaan kata “atau” menunjukkan bahwa pengertian

antara perjanjian dan kontrak menurut buku III KUH Perdata adalah sama. Dalam kehidupan sehari-hari kita menafsirkan pengertian Hukum Kontrak adalah keseluruhan dari kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.10

Kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik, sesuai dengan asas kepatutan, tidak melanggar prinsip kepentingan umum, dan juga harus sesuai dengan kebiasaan.11Dalam hukum kontrak ada prinsip yang sangat mendasar yaitu prinsip perlindungan kepada pihak yang dirugikan akibat adanya wanprestasi dari pihak lainnya dalam kontrak yang bersangkutan dan juga ada prinsip keseimbangan berupa perlindungan pihak yang melakukan wanprestasi.12

Dalam perikatan perjanjian konsinyasi antara supplier dan distributor seringkali menimbulkan berbagai macam permasalahan di dalam pelaksanaannya, seperti misalnya berkaitan dengan resiko. Resiko adalah kewajiban untuk

10

Salim H.S. 2003, Perkembangan Hukum Innominat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta., ( Selanjutnya di tulis Salim HS 3 ), h.4.

11

Munir Fuady, 1999, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, PT. Citra AdityaBakti,Bandung. h. 80.

12Ibid. h. 96.


(31)

15

memikul kerugian jika ada suatu kejadiandiluar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian.13 Kelalaian para pihak juga sering muncul seiring berjalannya kerjasama para pihak dalam perjanjian konsinyasi. Yang dimaksud lalai adalah apabila seseorang tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinya atau memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan.14

Sistem Penjualan konsinyasi adalah pengiriman atau penitipan barang dari pemilik kepada pihak lain yang bertindak sebagai agen penjualan. Hak milik dari pada barang, tetap masih berada pada pemilik barang sampai barang tersebut terjual. Sistem penjualan konsinyasi ini dapat dipakai untuk penjualan semua jenis produk.15

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Mengacu pada rumusan masalah, maka penelitian yang dilakukan adalah metode penelitian hukum empiris, yaitu penelitian yang berfokus pada perilaku masyarakat hukum (law in action), dan penelitian ini memerlukan data primer sebagai data utama di samping data sekunder ( bahan hukum ). 1.8.2 Sifat Penelitian

Penelitian hukum empiris yang di pergunakan dalam penyusunan skripsi tentang Penyelesaian Wanprestasi Dalam Perjanjian Konsinyasi di AJ

13

Subekti, 200, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT Intermasa,Jakarta. h. 144. 14

Ibid. h. 147.

15


(32)

16

SHOP Sanur” ini bersifat deskriptif. Penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif ini menggambarkan gambaran secara sistematis, faktual dan akurat, mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serat hubungan antarfenomena yang diselidiki. Ini bersifat yuridis yaitu pemecahan masalah dengan menganalisa peraturan-peraturan dan teori teori yang ada, kemudian dikaitkan dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi di masyarakat.

1.8.3 Data dan Sumber Data

Sumber data yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah diatas adalah:

1. Data Kepustakaan dan Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang di peroleh secara tidak langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah terokumen dalam bentuk bahan-bahan hukum, terdiri dari :

a. Bahan HukumPrimer

Bahan hukum primer, yaitu suatu cara untuk memperoleh data sekunder yang di dapat dengan menelaah bahan bacaan yang akan di bahas.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum skunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum yang terdiri dari buku ketiga KUHPerdata dan buku lainnya yang terkait yang membahas tentang wanprestasi dalam perjanjian konsinyasi.


(33)

17

2. Data Lapangan atau Data Primer

a. Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan yaitu baik dari responden maupun informan.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian Penyelesain Wanprestasi dalam Perjanjian Konsinyasi di Aj Shop Sanur menggunakan teknik pengumpulan data, yaitu:

1) Teknik Studi Dokumen

Teknik studi dokumen merupakan teknik atau cara pengumpulan data yang dilakukan atas bahan-bahan hokum baik primer maupun sekunder

2) Teknik Wawancara (interview)

Teknik wawancara adalah proses percakapan dengan maksud mengkontraksi mengenai orang, kejadian, organisasi, motivasi, perasaan, dan sebagainya yang dilakukan dua pihak yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dengan orang yang diwawancarai.

1.8.5 Teknik Pengolahan dan Analisa Data

Dalam penelitian ini data di olah dan dianalisa secara kualitatif yaitu suatu pengumpulan data tanpa menggunakan angka-angka,grafik dan table. Dalam penelitian dengan teknik deskriptif kualitatif maka keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer maupun data sekunder, akan diolah dan


(34)

18

dianalisis dengan cara menyusun data secara sistematis,digolongkan dalam pola dan tema, dikatagorisasikan dan di klasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data lainnya, dilakukan interprestasi untuk memahami makna data dalam situasi social, dan dilakukan penafsiran dari perspektif penelitian setelah memahami keseluruhan kualitas data,16 proses analisis tersebut dilakukan secara terus menerus sejak pencarian data di lapangan dan berlanjut terus hingga pada tahap analisis. Setelah dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan disajikan secara deskritif kualitatif dan sistematis.

16


(35)

(36)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN

PERJANJIAN KONSINYASI

2.1 Wanprestasi

2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Wanprestasi

Perkataan wanprestasi berasal dari Bahasa Belanda yang artinya prestasi buruk. Wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur.1

Pengertian mengenai wanprestasi belum mendapat keseragaman, masih terdapat bermacam-macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi, sehingga tidak terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah mana yang hendak dipergunakan. Istilah mengenai wanprestasi ini terdapat di berbagai istilah yaitu ingkar janji, cidera janji, melanggar janji, dan lain sebagainya.

Dengan adanya bermacam-macaam istilah mengenai wanprestsi ini, telah menimbulkan

kesimpang siuran dengan maksud aslinya yaitu “wanprestasi”. Ada beberapa sarjana yang tetap menggunakan istilah “wanprestasi” dan memberi pendapat tentang pengertian mengenai

wanprestasi tersebut.

Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu

1


(37)

perjanjian. Barangkali dalam Bahasa Indonesia dapat dipakai istilah “pelaksanaan janji untuk

prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya janji untuk wanprestasi.”2

R. Subekti mengemukakan bahwa “wanprestasi” itu adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam yaitu:3

1. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya.

2. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana yangdiperjanjikan.

3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat.

4. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan.

Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa apabila debitur “karena kesalahannya” tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, maka debitur itu wanprestasi atau cidera janji. Kata karena salahnya sangat penting, oleh karena debitur tidak melaksanakan prestasi yang diperjanjikan sama sekali bukan karena salahnya.4

Menurut J Satrio, wanprestasi adalah suatu keadaan di mana debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya.5

Yahya Harahap mendefinisikan wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurutselayaknya. Sehingga menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau

2

Wirjono Prodjodikoro, 1999, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, h.17. 3

R.Subekti, 1970, Hukum Perjanjian, Cetakan Kedua,Pembimbing Masa, Jakarta, ( selanjutnya di tulis R. Subekti 1 ), h. 50.

4

R. Subekti, 1979, Hukum Perjanjian, Cetakan Keempat, Pembimbing Masa, Jakarta, ( selanjutnya di tulis R. Subekti 2 ), h. 59.

5

http://radityowisnu.blogspot.com/2012/06/wanprestasi-dan-ganti-rugi.html,diakses pada tanggal 06 April 2015, pukul 16.43 WITA.


(38)

dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian.6

Hal ini mengakibatkan apabila salah satu pihak tidak memenuhi atau tidak melaksanakan isi perjanjian yang telah mereka sepakati atau yang telah mereka buat maka yang telah melanggar isi perjanjian tersebut telah melakukan perbuatan wanprestasi. Dari uraian tersebut di atas dapat mengetahui maksud dari wanprestasi itu, yaitu pengertian yang mengatakan bahwa

seorang dikatakan melakukan wanprestasi bilamana “tidak memberikan prestasi sama sekali,

terlambat memberikan prestasi, melakukan prestasi tidak menurut ketentuan yang telah

ditetapkan dalam pejanjian”. Faktor waktu dalam suatu perjanjian adalah sangat penting, karena

dapat dikatakan bahwa pada umumnya dalam suatu perjanjian kedua belah pihak menginginkan agar ketentuan perjanjian itu dapat terlaksana secepat mungkin, karena penentuan waktu pelaksanaan perjanjian itu sangat penting untuk mengetahui tibanya waktu yang berkewajiban untuk menepati janjinya atau melaksanakan suatu perjanjian yang telah disepakati.

Dengan demikian bahwa dalam setiap perjanjian prestasi merupakan suatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perjanjian. Prestasi merupakan isi dari suatu perjanjian, apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian maka dikatakan wanprestasi.

Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang melakukannya dan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.

Dasar hukum wanprestasi yaitu:

6 Ibid.


(39)

Pasal 1238 KUHPerdata: “Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu,atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini

mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.

Pasal 1243 KUHPerdata: “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu

perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.

2.1.2 Bentuk – Bentuk Wanprestasi

Adapun bentuk – bentuk dari wanprestasi yaitu :7 a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Sehubungan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.

b. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.

Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetap tidak tepat waktunya.

c. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.

Debitur yang memenuhi prestasi Tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:8 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.

7

J. Satrio,1999, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, ( Selanjutnya di tulis J. Satrio 2 ), h.84. 8 Ibid.


(40)

2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya. 3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang - kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan.

Menurut Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:

“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang

harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.

Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (ingebrekestelling). Adapun bentuk – bentuk somasi menurut Pasal 1238 KUHPerdata adalah:

1. Surat perintah.

Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat

–lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploitjuru Sita”. 2. Akta.

Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta Notaris. 3. Tersimpul dalam perikatan itu sendiri.

Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.


(41)

Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan Secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut kepengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.

Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fataltermijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi. 2.1.3 Pengaturan Wanprestasi Dalam KUHPerdata

Pasal 1235 KUHPerdata:

“dalam tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termasuk kewajiban si berhutang

untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak

keluarga yang baik, sampai pada saat penyerahan.”

Penyerahan menurut Pasal 1235 KUHPerdata dapat berupa penyerahan nyata maupun penyerahan yuridis.

Dalam hal ini debitur tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya dan ada unsur kelalaian dan salah, maka ada akibat hukum yang atas tuntutan dari kreditur bisa menimpa debitur, sebagaimana diatur dalam Pasal 1236 KUHPerdata dan Pasal 1243 KUHPerdata, juga diatur pada Pasal1237 KUHPerdata.

Pasal 1236 KUHPerdata:

“si berhutang adalah wajib untuk memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berhutang,

apabila ia telah membawa didinya dalam keadaan tidak mampu menyerahkan bendanya, atau telah tidak merawat sepatutnya guna menyelamatkannya”.


(42)

“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai

diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau

dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.

Pasal 1236 KUHPerdata dan Pasal 1243 KUHPerdata berupa ganti rugi dalam arti: 1. Sebagai pengganti dari kewajiban prestasi perikatannya.

2. Sebagian dari kewajiban perikatan pokoknya atau disertai ganti rugi atas dasar cacat tersembunyi.

3. Sebagai pengganti atas kerugian yang diderita kreditur.

4. Tuntutan keduanya sekaligus baik kewajiban prestasi pokok maupun ganti rugi keterlambatannya.

Pasal 1237 KUHPerdata:

“dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu

semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang. maka sejak debitur lalai,

maka resiko atas obyek perikatan menjadi tanggungan debitur.”

Pada umumnya ganti rugi diperhitungkan dalam sejumlah uang tertentu. Dalam hal menentukan total, maka kreditur dapat meminta agar pemeriksaan perhitungan ganti rugi dilakukan dengan suatu prosedur tersendiri yang diusulkan.Kalau debitur tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya, maka debitur dapat dipersalahkan, maka kreditur berhak untuk menuntut ganti rugi.

2.2Perjanjian Konsinyasi


(43)

Dalam ilmu hukum yang kita pelajari menjelaskan bahwa suatu perjanjian dan perikatan itu merujuk pada dua hal yang berbeda, perikatan ialah suatu hal yang lebih bersifat abstrak, yang mana lebih menunjuk dalam hubungan hukum pada suatu harta kekayaan antara dua orang ataupun dua pihak atau lebih. Perikatan lebih luas dari perjanjian, yang mana tiap-tiap perjanjian adalah perikatan, tetapi perikatan belum tentu seuatu perjanjian. Dengan demikian berarti suatu perjanjian ini juga akan melahirkan suatu hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut.9

Pada umumnya didalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat, suatu perikatan itu lahir dari suatu bentuk perjanjian yang di buat antara mereka yang saling mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut, dan tak dapat dipungkiri pula bahwa suatu perjanjian memiliki peran penting dalam berkegiatan didalammasyarakat baik dibidang ekonomi, sosial maupun politik sekalipun. Eksistensi sebuah perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat ditemukan landasannya pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat dengan KUH

Perdata) yang menjelaskan bahwa: “ Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena

undang-undang”. Selain ketentuan diatas, juga terdapat Pasal lain yang menjelaskan terkait hal diatas seperti pada Pasal 1313 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa: “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau

lebih”. Kemudian terdapat pula pengertian perjanjian menurut para sarjana, menurut Subekti,

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.10 Selain dari pengertian dari Subekti tadi, terdapat pengertian dari seorang R.Setiawan yang menyatakan bahwa Persetujuan adalah suatu

9

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004, Perikatan yang lahir Dari Perjanjian, Ed. I, Cet.II, PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta, h.2.

10


(44)

perbuatan, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja, dan sangat luas karena dengan dipergunakan perkataan perbuatan tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum.11

Melalui beberapa pengertian terkait perjanjian tadi maka jelaslah bahwa memang suatu perikatan lahir dari sebuah perjanjian atau persetujuan. Namun daripengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata diatas masih terdapat ketidakjelasan didalamnya, hal ini disebabkan dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu maka harus dicari dalam doktrin. Menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untu menimbulkan akibat hukum. Definisi ini, telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban).

Menurut Teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dalam teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus melihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. 12 Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian, menurut teori baru, yaitu :

a. Tahap Pra-Contractual, yaitu tahap terjadinya penawaran dan penerimaan.

b. Tahap Contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak, c. Tahap Post-Contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.

11

R.Setiawan, 1977, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, h.49. 12

Salim HS, 2014, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia (buku kesatu), Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya di tulis Salim HS 4) h. 15-16.


(45)

Kemudian muncul kembali pendapat dari para sarjana terkait pengertian perjanjian yaitu menurut Charless L.Knapp dan Nathan M. Crystal mengatakan yaitu,

contract is an agreement between two or more persons- not merely a shared belief, but common understanding as to something that is to be done in the future by one or both of them” (Charless L. Knapp dan Nathan M. Crystal, 1993: 2).

Artinya, kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, tidak hanya memberikan kepercayaan tetapi secara bersama-sama saling pengertian untuk melakukan sesuatu pada masa mendatang oleh seseorang atau keduanya dari mereka.13

Sesungguhnya banyak sekali pendapat dan sumber yang memberi pengertian tentang perjanjian itu sendiri, seperti dalam Black’s Law Dictionary, yang diartikan dengan “contract is an agreement between two or more person which creates an obligation to do or not to do particular thing.” Artinya kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, yang

mana kontrak itu menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara sebagian (Black’s Law Dictionary, 1979: 291).

Melalui beberapa penjelasan diatas menjelaskan beberapa pengertian tentang perjanjian serta terkait perjanjian yang merupakan salah satu sumber dari perikatan menegaskan kembali bahwa perjanjian melahirkan sebuah perikatan, sehingga menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut. Kewajiban yang dibebankan pada debitor dalam perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditor dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut.14

Jika ditelaah secara baik-baik pada Pasal 1313 KUH Perdata menjelaskan bahwa suatu perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya pada orang lain, hal ini berarti dari

13

Ibid.

14


(46)

sebuah perjanjian dapat menimbulkan suatu kewajiban atas suatu prestasi dari satu atau lebih pihak kepada salah satu atau lebih pihak lainnya yang memiliki hak atas prestasi tersebut.

Dengan demikian dimungkinkan suatu perjanjian melahirkan lebih dari satu perikatan, dengan kewajiban berprestasi yang saling bertimbal balik. Debitor disatu sisi menjadi kreditor pada sisi yang lain juga pada saat yang bersamaan, dan ini merupakan suatu karakteristik khusus dari perikatan yang lahir dari suatu perjanjian.

Dalam membuat ataupun melaksanakan suatu perjanjian tidak dapat dilakukan dengan sembarangan, namun dalam membuat dan melaksanakan suatu perjanjian patutnya kita mengetahui asas-asas yang terdapat dalam suatu perjanjian, adapun asas-asas umum hukum dalam perjanjian tersebut antara lain:

a. Asas Kebebasan Berkontrak, asas ini memiliki landasan hukumnya pada Pasal 1338 ayat

1 KUH Perdata yang menyatakan “semua persetujuan yang dibuat secara sah, berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” yang juga menjelaskan bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian yang isisnya apa saja yang ia kehendaki.

b. Asas Konsensualitas, asas ini memiliki landasan hukumnya pada Pasal 1320 angka 1 yang dalam bunyi Pasalnya menyatakan salah satu sahnya suatu perjanjian jika adanya kesepakatan antara mereka yang mengikatkan diri, hal ini dapat di artikan bahwa kata sepakat berarti telah terjadi konsensus secara tulus tidak ada kekilapan, paksaan atau penipuan (Pasal 1321 KUH Perdata).

c. Asas Kepercayaan, ketika seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak itu bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya dikemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan, maka perjanjian tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, para pihak


(47)

mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.15

d. Asas Kedudukan yang Sama atau Seimbang, asas ini dapat dikatakan memiliki dasar

hukumnya pada Pasal 1320 ayat 2 KUH Perdata yaitu “Kecakapan untuk membuat perjanjian”. Hal ini dijabarkan kembali dalam Pasal 1330 KUH Perdata yaitu tentang cakap dalam membuatsuatu perjanjian oleh orang yang sudah dewasa menurut Pasal 1330 KUH Perdata dan tidak berada dibawah pengampuan seperti pada Pasal 1433 KUH Perdata. Karena apabila seseorang yang normal membuat perjanjian dengan orang yang tidak normal dalam hal fisik maupun psikologis, berarti terjadi akan ketidakseimbangan dimana kondisi orang yang secara fisik dan psikologis kuat berhadapan dengan orang yang secara fisik dan psikologis lemah, jadi suatu perjanjian dapat dibuat apabila terdapat suatu kedudukan yang seimbang diantara mereka yang akan mengikatkan diri dalam perjnjian tersebut.

e. Asas Itikad Baik, asas ini dapat dilihat dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang

berbunyi : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas itikad baik ini

menyatakan bahwa sesungguhnya para pihak antara pihak kreditur dan pihak debitur haruslah melaksanakan suatu perjanjian dengan dilandasi itikad baik didalamnya.

f. Asas Kepastian Hukum, bahwa pada Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan dalam suatu perjanjian sebagai produk hukum haruslah memiliki suatu kepastian hukum, yang mana kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya bahwa suatu perjanjian yaitu memiliki kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

15

Mariam Darus Badrulzaman,dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.87.


(48)

g. Asas perjanjian mengikat para pihak, asas ini memiliki landasan hukum pada Pasal 1338 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa perjanjian berlaku (mengikat) sebagai undang-undang, dan pada Pasal 1339 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa perjanjian mengikat juga untuk segala sesuatu karena sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan dan kebiasaan. Secara umumnya suatu perjanjian akan bersifat mengikat para pihak yang ikut dalam perjanjian tersebut untuk saling melaksanakan kewajibannya masing-masing sesuai yang disepakati dalam perjanjian tersebut.16

Pada dasarnya asas-asas umum dalam hukum perjanjian tersebut udah sepatutnya digunakan dalam membuat dan melaksanakan suatu perjanjian.

Selain dalam membuat dan melaksanakan suatu perjanjian dengan melihat beberapa asas-asas umum dalam hukum perjanjian, juga suatu hal yang wajib di penuhi dalam melaksanakan suatu perjanjian yaitu memperhatikan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian.

Dalam ilmu hukum kontrak (Law Of Contract) di Amerika ditentukan adanya empat syarat sahnya perjanjian, yaitu : (a).Adanya penawaran (offer) serta penerimaan (acceptance), (b). Adanya penyesuaian kehendak (meeting of minds), (c). Adanya prestasi (konsiderasi), dan (d). Adanya kewenangan hukum para pihak (competent legal parties) dan pokok persoalan yang sah (legal subjectmatter). 17Sedangkan dalam hukum eropa kontinental seperti kita, syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menjelaskan terkait empat syarat sahnya suatu perjanjian antara lain :

16

I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum

Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, h.49.

17

Salim HS, 2002, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika Offset, Jakarta, (selanjutnya di tulis Salim HS 5 ), h.161.


(49)

a. Adanya kesepakatan antara mereka yang mengikatkan dirinya, maksud dari kesepakatan itu adalah terjadinya suatu persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.

b. Adanya kecakapan untuk membuat perikatan, maksud dari kecakapan disini adalah kecakapan dalam bertindak yaitu kecakapan atau kemampuan untuk melakukan suatu perbuatan hukum, perbuatan hukum itu sendiri adalah suatu perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Jadi orang yang akan mengadakan suatu perjanjian adalah harus orang yang sudah cakap dan wenang untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana ditegaskan dan ditentukan pada KUH Perdata, disana dijelaskan bahwa orang cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Untuk ukuran kedewasaan seseorang itu sendiri juga dijelaskan yaitu berusia 21 tahun dan atau sudah kawin (dijelaskan dalam Pasal 1330 KUH Perdata). Sedangkan orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum yaitu : (1). Anak dibawah umur, (2). Orang yang masih dibawah pengampuan, (3). Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang - undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu (dijelaskan dalam Pasal 1330ca KUH Perdata).

c. Adanya suatu persoalan atau obyek tertentu, maksudnya adalah dalam membuat dan melaksanakan suatu perjanjian haruslah ditentukan suatu obyek atau persoalan yang jelas yang akan diperjanjiakan di dalam perjanjian itu nantinya, obyek ataupun persoalan tersebut biasanya berupa prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur.18

18


(50)

d. Adanya suatu sebab yang tidak terlarang atau sebab yang halal, memang tidaklah terdapat penjelasan terkait suatu sebab yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Namun Hoge Raad pada tahun 1927 memberi pengertian suatu sebab yang halal (orzaak) sebagai suatu yang menjadi tujuan para pihak. Kemudian pengertian lebih lanjut terkait suatu sebab yang halal dijelaskan pada Pasal 1335 hingga 1337 KUH Perdata, yang mana Pasal 1335

menjelaskan bahwa : “Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu

sebab yang palsu atau terlarang tidaklah mempunyai kekuatan hukum.”19

Untuk sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi keempat syarat tersebut. Jika salah satu syarat atau beberapa syarat bahkan semua syarat tidak dipenuhi, maka perjanjian itu tidak sah. Jadi, syarat sahnya suatu perjanjian berlaku secara komulatif, dan bukan limitatif.20 Sedangkan dalam Pasal 1337 KUH Perdata pun disebutkan hal yang dilarang, Maksudnya suatu sebab yang terlarang apabila bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Suatu perjanjian didalamnya terdiri atas subyek dan obyek perjanjian. Dalam hal ini akan lebih membahas terkait subyek dari perjanjian itu sendiri, pada dasarnya subyek dari perjanjian itu ialah seseorang atau pihak yang melaksanakan perjanjian tersebut. Yang mana didalam suatu perjanjian pasti terjadi suatu hubungan hukum diantara para pihak dalam perjanjian tersebut yaitu ada yang sebagai kreditur dan ada yang sebagai debitur. Seorang kreditur ialah seseorang atau pihak yang berhak atas sesuatu (prestasi), sedangkan debitur ialah seseorang atau pihak yang berkewajiban untuk memenuhi sesuatu (prestasi) yang diperjanjikan dalam perjanjian tersebut. Suatu perjanjian tidak dapat dilakukandengan hanya satu subyek, melainkan perjanjian

19

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, h.161

20


(51)

dapat dilakukan dengan adanya dua subyek atau lebih, karena jika hanya suatu pernyataan sepihak saja tidak akan bisa menimbulkan suatu perjanjian.

Sesuai dengan yang telah dibahas sebelumnya bahwa dalam perjanjian terdapat subyek dan obyek perjanjian, kini akan dibahas lebih dalam terkait obyek perjanjian itu sendiri, bahwa sesungguhnya jika subyek dalam perjanjian itu ialah orang atau pihak yang melaksnakan perjanjian, maka obyek dari perjanjian itu sendiri ialah hal yang diperjanjikan didalam suatu perjanjian atau yang biasa dikenal dengan istilah prestasi. Yang mana dalam hal ini seorang debiturberkewajiban memenuhi suatu prestasi dan seorang kreditur berhak atas prestasi tersebut. Suatu prestasi dalam suatu perjanjian adalah dapat berupa barang dan jasa, maksud dari jasa sebagai obyek perjanjian adalah dengan orang dapat menjual jasa mereka sebagai sesuatu yang di perdagangkan, bukan hanya itu namun suatu sikap atau tindakan juga dapat dijadikan sebagai obyek perjanjian. Namun dalam KUH Perdata hanya menyebutkan bahwa sikap pasif dapat menjadi obyek perjanjian, yang prestasinya dapat berbentuk untuk tidak berbuat sesuatu, begitu juga kebalikan dari sikap pasif yaitu aktif sama halnya dapat menjadi obyek perjanjian.21

Menurut salah seorang sarjana, Patrik Purwahid, untuk suatu sahnya perjanjian diperlukannya syarat-syarat tertentu terkait obyek perjanjian itu antara lain:

a. Obyeknya haruslah tertentu atau ditentukan, adalah dalam Pasal 1320 sub 3 dijelaskan bahwa obyeknya tertentu sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian.

b. Obyeknya haruslah memungkinkan untuk dilaksanakan atau dipenuhi, suatu obyek yang diperjanjikan haruslah suatu hal yang memungkinkan untuk dilaksanakan atau dipenuhi, karena jika suatu obyek perjanjian itu ialah suatu hal yang tidak mungkin atau mustahil

21


(52)

untuk dilakukan atau dipenuhi dalam kondisi yang ditentukan maka obyek tersebut tidaklah dapat dijadikan suatu obyek perjanjian.

c. Obyeknya tidaklah suatu yang dilarang (diperbolehkan), sesuai dengan Pasal 1335 Jo. 1337 KUH Perdata yaitu bahwa suatu perjanjian tidak memiliki kekuatan mengikat jika obyeknya tidak asli atau palsu ataupun suatu hal terlarang. Dikatakan terlarang jika obyek tersebut dilarang oleh undang-undang ,ataupun bertentangan dengan kesusilaan ataupun ketertiban umum.

d. Obyeknya dapat dinilai dengan uang, maksudnya ialah sesuai dengan definisi yang ditentukan untuk suatu perikatan ialah sesuatu yang berhubungan hukum yang lingkupnya dalam harta kekayaan. 22

2.2.2. PengertianPerjanjian Konsinyasi

Dalam dunia perdagangan memang terdapat bermacam-macam kendala dan cara untuk memperdagangkan sesuatu, pada kesehariannya jumlah calon pelanggan maupun pelanggan pada suatu wilayah adalah berbeda dan terbatas adanya, banyak cara dalam meningkatkan penjualannya, salah satunya dengan memperluas daerah pemasarannya,selain itu ada juga dengan cara meningkatkan volume penjualan dengan sistem penjualan cicilan, konsinyasi, hingga agen ataupun cabang. Pada kali ini akan membahas lebih kepada system konsinyasi khususnya pada perjanjian konsinyasi.

Perjanjian konsinyasi adalah suatu bentuk perjanjian dimana salah satu pihak yang memiliki sejumlah barang menyerahkan barang tersebut kepada pihak tertentu untuk dijualkan dengan harga dan syarat yang telah diatur dalam suatu perjanjian. Dalam hal ini pihak atau orang yang menyerahkan barang (pemilik barang) disebut sebagai konsinyor, sementara pihak atau


(53)

orang yang menerima barang serahan dari pemilik tadi ialah disebut sebagai konsinyi. Dalam proses ini barang yang dititipkan oleh konsinyor kepada konsinyi disebut barang konsinyasi.

Dalam kepustakaan hukum perjanjian, terdapat banyak pendapat yang membagi perjanjian kedalam perjanjian bernama (Nominaat) dan perjanjian tidak bernama (Innominaat). Yang dinamakan dengan perjanjian bernama adalah perjanjian khusus yang diatur dalam KUH Perdata, mulai dari Bab V tentang Jual Beli sampai dengan Bab XVIII tentang Perdamaian, sedangkan yang disebut dengan perjanjian tidak bernama adalah perjanian yang tidak diatur dalam KUH Perdata. Dalam praktek dunia usaha ini dikenal adanya berbagai macam perjanjian yang tidak dapat kita temukan dalam KUH Perdata, misalnya perjanjian mengenai sewa guna usaha, hak opsi leasing, perjanjian titip jual (konsinyasi), bangun-pakai-serah, dan masih banyak lagi.

Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, bahwa pembagian perjanjian kedalam perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernaman tidak banyak memberikan banyak arti, oleh karena pembedaan tersebut pada hakekatnya tidak menyentuh pada konsep maupun suatu konsepsi tertentu yang dapat dipergunakan secara konsisten.23

Dalam hal ini, suatu perjanjian konsinyasi termasuk dalam suatu perjanjian tidak bernama, hal ini dikarenakan perjanjian konsinyasi ini muncul, tumbuh serta berkembang dalam masyarakat itu sendiri dan juga belum dikenal didalam KUH Perdata, dan perjanjian konsinyasi ini memiliki dasar berlakunya yaitu asas kebebasan berkontrak.24

Perjanjian konsinyasi ialah termasuk dalam jenis perjanjian Innominaat (tidak bernama) dan jenis perjanjian innominaat ini memiliki pengaturan di dalam Buku III KUH Perdata. Di

23

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, h.83 .

24

Salim HS, 2009, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, cet.6, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya di tulis Salim HS 6 ),h.28.


(54)

dalam buku III KUH Perdata, hanya ada satu Pasal yang mengatur tentang kontrak

innominaatini, yaitu pada Pasal1319 KUHPerdata yang berbunyi: “Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam Bab ini dan Bab yang lalu.”25

Dalam penjelasan ini tegas menjelaskan bahwa suatu perjanjian Innominaat walaupun tidak dikenal atau tak bernama tetaplah harus tundukakan peraturan umum perjanjian dalam KUH Perdata.

Pada dasarnya perjanjian titip jual yang dikenal dengan istilah perjanjian konsinyasi ini memiliki dasar berlaku dalam KUH Perdata secara terpisah, yang mana perjanjian konsinyasi ini memiliki unsur jual beli yang mengambil dasar pada Pasal1457-1460 KUHPerdata, dan juga disertai dengan suatu bentuk perjanjian penitipan yang menggunakan dasar hukum pada Pasal 1694 -1739 KUHPerdata, dengan demikian suatu perjanjian konsinyasi juga memiliki unsur essensialiayaitu pada perjanjian jual beli yang merupakan suatu persetujuan dimana penjual mengikatkan dirinya untuk menyerahkan kepada pembeli suatu barang sebagai milik dan menjaminnya pembeli mengikatkan diri untuk membayar sesuai harga yang diperjanjikan sebelumnnya.

2.2.3 Konsinyasi Sebagai Perjanjian Campuran

Perjanjian konsinyasi merupakan perjanjian penitipan barang yang disertai dengan pemberian kuasa untuk menjual atas barang yang diserahkan oleh konsinyor kepada konsinyi. Perjanjian yang demikian adalah perjanjian campuran. Definisi mengenai perjanjian campuran

25


(55)

adalah sebagai berikut, perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian.26

Secara umum sengketa perjanjian campuran dapat diselesaikan dengan dua cara, yaitu penyelesaian sengketa melalui jalur lembaga peradilan (litigasi), atau melalui jalur penyelesaian di luar pengadilan (non-litigasi).27 Dasar hukumnya adalah Pasal 16 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa pengadilan tidak menutup usaha menyelesaikan perkara perdata secara perdamaian. Adapun peraturan yang mempertegas ketentuan tersebut adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

2.2.4 Pihak-pihak Dalam Perjanjian Konsinyasi

Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa suatu perjanjian memiliki subyek dan obyek perjanjian, maka dalam hal ini perjanjian konsinyasi juga memiliki pihak-pihak dalam perjanjian konsinyasi itu sendiri, yang mana pada umumnya subyek perjanjian itu ialah dapat berupa manusia dan atau badan hukum, terdapat pihak-pihak yang mengadakan suatu perjanjian adalah satu pihak yang berhak atas suatu prestasi dan satu pihak lainnya adalah yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut. Di dalam perjanjian konsinyasi dalam penjualan minuman beralkohol ini terdapat beberapa pihak-pihak yang menjadi subyek hukum dalam perjanjian yang terdiri dari :

1. Aj Shop Sanur, yaitu perusahaan yang berkegiatan dalam pendistribusian dan penjualan barang atau produk

26

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Cet I(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 69.

27

I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Cet I(Denpasar: Udayana University Press, 2010), hlm. 1.


(56)

2. Supplier yaitu perusahaan yang berkegiatan dalam hal pengadaan atau penyediaan barang dan juga sebagai pemasok barang atau produk untuk Aj Shop Sanur.


(1)

dapat dilakukan dengan adanya dua subyek atau lebih, karena jika hanya suatu pernyataan sepihak saja tidak akan bisa menimbulkan suatu perjanjian.

Sesuai dengan yang telah dibahas sebelumnya bahwa dalam perjanjian terdapat subyek dan obyek perjanjian, kini akan dibahas lebih dalam terkait obyek perjanjian itu sendiri, bahwa sesungguhnya jika subyek dalam perjanjian itu ialah orang atau pihak yang melaksnakan perjanjian, maka obyek dari perjanjian itu sendiri ialah hal yang diperjanjikan didalam suatu perjanjian atau yang biasa dikenal dengan istilah prestasi. Yang mana dalam hal ini seorang debiturberkewajiban memenuhi suatu prestasi dan seorang kreditur berhak atas prestasi tersebut. Suatu prestasi dalam suatu perjanjian adalah dapat berupa barang dan jasa, maksud dari jasa sebagai obyek perjanjian adalah dengan orang dapat menjual jasa mereka sebagai sesuatu yang di perdagangkan, bukan hanya itu namun suatu sikap atau tindakan juga dapat dijadikan sebagai obyek perjanjian. Namun dalam KUH Perdata hanya menyebutkan bahwa sikap pasif dapat menjadi obyek perjanjian, yang prestasinya dapat berbentuk untuk tidak berbuat sesuatu, begitu juga kebalikan dari sikap pasif yaitu aktif sama halnya dapat menjadi obyek perjanjian.21

Menurut salah seorang sarjana, Patrik Purwahid, untuk suatu sahnya perjanjian diperlukannya syarat-syarat tertentu terkait obyek perjanjian itu antara lain:

a. Obyeknya haruslah tertentu atau ditentukan, adalah dalam Pasal 1320 sub 3 dijelaskan bahwa obyeknya tertentu sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian.

b. Obyeknya haruslah memungkinkan untuk dilaksanakan atau dipenuhi, suatu obyek yang diperjanjikan haruslah suatu hal yang memungkinkan untuk dilaksanakan atau dipenuhi, karena jika suatu obyek perjanjian itu ialah suatu hal yang tidak mungkin atau mustahil

21


(2)

untuk dilakukan atau dipenuhi dalam kondisi yang ditentukan maka obyek tersebut tidaklah dapat dijadikan suatu obyek perjanjian.

c. Obyeknya tidaklah suatu yang dilarang (diperbolehkan), sesuai dengan Pasal 1335 Jo. 1337 KUH Perdata yaitu bahwa suatu perjanjian tidak memiliki kekuatan mengikat jika obyeknya tidak asli atau palsu ataupun suatu hal terlarang. Dikatakan terlarang jika obyek tersebut dilarang oleh undang-undang ,ataupun bertentangan dengan kesusilaan ataupun ketertiban umum.

d. Obyeknya dapat dinilai dengan uang, maksudnya ialah sesuai dengan definisi yang ditentukan untuk suatu perikatan ialah sesuatu yang berhubungan hukum yang lingkupnya dalam harta kekayaan. 22

2.2.2. PengertianPerjanjian Konsinyasi

Dalam dunia perdagangan memang terdapat bermacam-macam kendala dan cara untuk memperdagangkan sesuatu, pada kesehariannya jumlah calon pelanggan maupun pelanggan pada suatu wilayah adalah berbeda dan terbatas adanya, banyak cara dalam meningkatkan penjualannya, salah satunya dengan memperluas daerah pemasarannya,selain itu ada juga dengan cara meningkatkan volume penjualan dengan sistem penjualan cicilan, konsinyasi, hingga agen ataupun cabang. Pada kali ini akan membahas lebih kepada system konsinyasi khususnya pada perjanjian konsinyasi.

Perjanjian konsinyasi adalah suatu bentuk perjanjian dimana salah satu pihak yang memiliki sejumlah barang menyerahkan barang tersebut kepada pihak tertentu untuk dijualkan dengan harga dan syarat yang telah diatur dalam suatu perjanjian. Dalam hal ini pihak atau orang yang menyerahkan barang (pemilik barang) disebut sebagai konsinyor, sementara pihak atau


(3)

orang yang menerima barang serahan dari pemilik tadi ialah disebut sebagai konsinyi. Dalam proses ini barang yang dititipkan oleh konsinyor kepada konsinyi disebut barang konsinyasi.

Dalam kepustakaan hukum perjanjian, terdapat banyak pendapat yang membagi perjanjian kedalam perjanjian bernama (Nominaat) dan perjanjian tidak bernama (Innominaat). Yang dinamakan dengan perjanjian bernama adalah perjanjian khusus yang diatur dalam KUH Perdata, mulai dari Bab V tentang Jual Beli sampai dengan Bab XVIII tentang Perdamaian, sedangkan yang disebut dengan perjanjian tidak bernama adalah perjanian yang tidak diatur dalam KUH Perdata. Dalam praktek dunia usaha ini dikenal adanya berbagai macam perjanjian yang tidak dapat kita temukan dalam KUH Perdata, misalnya perjanjian mengenai sewa guna usaha, hak opsi leasing, perjanjian titip jual (konsinyasi), bangun-pakai-serah, dan masih banyak lagi.

Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, bahwa pembagian perjanjian kedalam perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernaman tidak banyak memberikan banyak arti, oleh karena pembedaan tersebut pada hakekatnya tidak menyentuh pada konsep maupun suatu konsepsi tertentu yang dapat dipergunakan secara konsisten.23

Dalam hal ini, suatu perjanjian konsinyasi termasuk dalam suatu perjanjian tidak bernama, hal ini dikarenakan perjanjian konsinyasi ini muncul, tumbuh serta berkembang dalam masyarakat itu sendiri dan juga belum dikenal didalam KUH Perdata, dan perjanjian konsinyasi ini memiliki dasar berlakunya yaitu asas kebebasan berkontrak.24

Perjanjian konsinyasi ialah termasuk dalam jenis perjanjian Innominaat (tidak bernama) dan jenis perjanjian innominaat ini memiliki pengaturan di dalam Buku III KUH Perdata. Di

23

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, h.83 .

24

Salim HS, 2009, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, cet.6, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya di tulis Salim HS 6 ),h.28.


(4)

dalam buku III KUH Perdata, hanya ada satu Pasal yang mengatur tentang kontrak innominaatini, yaitu pada Pasal1319 KUHPerdata yang berbunyi: “Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam Bab ini dan Bab yang lalu.”25

Dalam penjelasan ini tegas menjelaskan bahwa suatu perjanjian Innominaat walaupun tidak dikenal atau tak bernama tetaplah harus tundukakan peraturan umum perjanjian dalam KUH Perdata.

Pada dasarnya perjanjian titip jual yang dikenal dengan istilah perjanjian konsinyasi ini memiliki dasar berlaku dalam KUH Perdata secara terpisah, yang mana perjanjian konsinyasi ini memiliki unsur jual beli yang mengambil dasar pada Pasal1457-1460 KUHPerdata, dan juga disertai dengan suatu bentuk perjanjian penitipan yang menggunakan dasar hukum pada Pasal 1694 -1739 KUHPerdata, dengan demikian suatu perjanjian konsinyasi juga memiliki unsur essensialiayaitu pada perjanjian jual beli yang merupakan suatu persetujuan dimana penjual mengikatkan dirinya untuk menyerahkan kepada pembeli suatu barang sebagai milik dan menjaminnya pembeli mengikatkan diri untuk membayar sesuai harga yang diperjanjikan sebelumnnya.

2.2.3 Konsinyasi Sebagai Perjanjian Campuran

Perjanjian konsinyasi merupakan perjanjian penitipan barang yang disertai dengan pemberian kuasa untuk menjual atas barang yang diserahkan oleh konsinyor kepada konsinyi. Perjanjian yang demikian adalah perjanjian campuran. Definisi mengenai perjanjian campuran

25


(5)

adalah sebagai berikut, perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian.26

Secara umum sengketa perjanjian campuran dapat diselesaikan dengan dua cara, yaitu penyelesaian sengketa melalui jalur lembaga peradilan (litigasi), atau melalui jalur penyelesaian di luar pengadilan (non-litigasi).27 Dasar hukumnya adalah Pasal 16 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa pengadilan tidak menutup usaha menyelesaikan perkara perdata secara perdamaian. Adapun peraturan yang mempertegas ketentuan tersebut adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

2.2.4 Pihak-pihak Dalam Perjanjian Konsinyasi

Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa suatu perjanjian memiliki subyek dan obyek perjanjian, maka dalam hal ini perjanjian konsinyasi juga memiliki pihak-pihak dalam perjanjian konsinyasi itu sendiri, yang mana pada umumnya subyek perjanjian itu ialah dapat berupa manusia dan atau badan hukum, terdapat pihak-pihak yang mengadakan suatu perjanjian adalah satu pihak yang berhak atas suatu prestasi dan satu pihak lainnya adalah yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut. Di dalam perjanjian konsinyasi dalam penjualan minuman beralkohol ini terdapat beberapa pihak-pihak yang menjadi subyek hukum dalam perjanjian yang terdiri dari :

1. Aj Shop Sanur, yaitu perusahaan yang berkegiatan dalam pendistribusian dan penjualan barang atau produk

26

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Cet I(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 69.

27

I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Cet I(Denpasar: Udayana University Press, 2010), hlm. 1.


(6)

2. Supplier yaitu perusahaan yang berkegiatan dalam hal pengadaan atau penyediaan barang dan juga sebagai pemasok barang atau produk untuk Aj Shop Sanur.